Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transaksional terhadap Motivasi Kerja Karyawan

(1)

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL

TERHADAP MOTIVASI KERJA KARYAWAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

ISNEINI NAMIRA HRP

051301017

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transaksional terhadap Motivasi Kerja Karyawan Isneini Namira Hrp dan Emmy Mariatin

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan gaya kepemimpinan transformasional sebagai prediktor positif bagi komitmen organisasi. Globalisasi menciptakan ancaman semakin banyaknya persaingan bisnis yang menuntut perusahaan untuk memiliki sumberdaya manusia yang berkomitmen tinggi. Variable gaya kepemimpinan transformasional diyakini dapat memberikan sumbangan efektif dalam meningkatkan komitmen organisasi tersebut.

Penelitian ini melibatkan 80 orang staff PT.Indonesia Asahan Aluminium Power Plant. Metode pengambilan data yang digunakan adalah teknik purposive sampling. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan analisa regresi linear sederhana. Alat ukur yang digunakan adalah skala komitmen organisasi dengan realibilitas 0.938 dan skala gaya kepemimpinan transformasional dengan realibilitas 0.965. Dari hasil penelitian ini diperoleh rxy = 0.469, R square 0.220 (p<0.05) yang berarti gaya kepemimpinan

transformasional terbukti menjadi prediktor positif bagi komitmen organisasi dengan sumbangan efektif sebesar 22% dan garis regresi yang diperoleh Y= 88.852 + 0.322X. Hasil penelitian juga menunjukkan mayoritas subjek penelitian memiliki komitmen organisasi tergolong tinggi dan mempersepsikan gaya kepemimpinan transformasional atasannya tergolong tinggi


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT karena hanya berkat rahmat dan karunia-Nya peneliti berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul “ Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transaksional terhadap Motivasi Kerja Karyawan PTP N IV Kebun Adolina ”. Salawat dan salam peneliti ucapkan kepada nabi besar Muhammad SAW yang telah memberikan suri tauladan dalam kehidupan di dunia dan berketuhanan untuk bekal kehidupan di akhirat kelak.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak baik dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. Emmy Mariatin, M.A., PhD., Psikolog selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sabar membimbing saya selalu mendukung dan memotivasi saya mengerjakan skripsi ini hingga terselesaikan.

3. Ibu Dra. Elvi Andriani Yusuf, M.Si., psikolog selaku dosen Pembimbing Akademik sejak awal peneliti berada di Fakultas Psikologi selalu mendukung dan membimbing sehingga peneliti memiliki motivasi yang kuat untuk menyelesaikan studi dengan baik.

4. Bapak Ferry Novliadi, M.Si., psikolog dan dan Ibu Lili Garliah, M.Si., psikolog yang telah berkenan menjadi penguji ahli pada skripsi saya. Ditengah kesibukan Bapak dan Ibu, saya beruntung karena telah diberi kesempatan untuk diuji dan kemudian diberi masukan yang membangun.


(4)

5. Ibu Dra. Gustiarti Leila, M.Si, M.Kes., psikolog selaku koordinator bagian Psikologi Industri dan Organisasi yang telah banyak membantu dalam proses pengerjaan skripsi saya.

6. Orangtua peneliti, Ayahanda Ir. H. Yunan Syahrin Harahap dan Ibunda Hj. Syahrumiati Siregar yang telah bersusah payah membesarkan, mengasuh, mendidik dan memberikan dorongan semangat bagi peneliti dengan penuh kesabaran dan kasih sayang. Atas semua yang telah diberikan orang tua kepada peneliti patut mendapatkan apresiasi yang setinggi-tingginya. Neni janji akan menjadi kebanggaan buat mama dan papa. Kepada Adinda tercinta Aswin Pratama Harahap yang telah banyak memberikan dukungan, ”jangan malas-malas belajar ya dek”.

7. Uda Prof. H. Yundi Fitrah, M. Hum., PhD., dan Nanguda Dra. Hj. Aprillitzavivayarti., MM., yang telah memberikan semangat, nasihat dan banyak memberikan masukan dalam menyelesaikan penelitian ini.

8. Bapak Senior Manager PTP N IV Kebun Adolina yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian dan semua Karyawan yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk mengisi skala penulis.

9. Kak Pohan dan Bapak Dedi Barus yang telah membantu penulis dalam menyebarkan skala dan menyediakan data yang diperlukan penulis dalam penyusunan skripsi ini.

10.Ratna Soneta, Wahyu Pramana Jati, dan Alfian Harapan yang telah menjadi inspirasiku, memberikan banyak dukungan, semangat dan motivasi, dan mau mendengarkan keluh kesah peneliti terima kasih ya atas semuanya.


(5)

11.Retno Suryani, yang telah bersedia dan tidak terhitung untuk keberapa kalinya meminjamkan KTM nya sehingga penulis dapat mempergunakannya untuk meminjam buku di perpustakaan, Makasih banyak ya eno.

12.Bang Mirza, saudara sepupuku yang telah bersedia meminjamkan buku SPSS nya selama pengerjaan skripsi ini.

13.Bang Yudhi Saputra Siregar yang telah memberikan semangat penulis, udah begitu baik, dan selalu mengingatkan kepada penulis agar skripsi ini dapat diselesaikan dengan cepat.

14.Sahabat-sahabat ku tercinta Ayu, Dinda, Tia, Fani, Yuli, Bayu, Ade, yang selalu ada bersama peneliti disaat suka maupun duka semoga persahabatan kita tetap abadi selamanya.

15.Seniorku dan sekaligus teman seperjuanganku Kak Desi, Kak Hilma, Kak Aci, Kak Vida yang telah membantu penulis dalam kehidupan sehari- hari di dunia perkuliahan.

16. Teman-teman seperjuanganku 2005 di Fakultas Psikologi Diah, Mega, Noni, Ema, Cici, Qorin, Isha, Citra, Anggi, Ika, Endang, Yoland, Icha, Ela dan masih banyak lagi anak-anak stambuk 2005 yang tidak mungkin penulis ucapkan satu persatu. Terima kasih saran dan masukan serta semangat yang kalian berikan.

17.Kak Erna di psycho-lib, yang sudah banyak memberikan bantuan dan semangat bagi penulis, makasih banyak ya kak.

18.Adek, Edo, Sari, Reno, Meri, Tissa, Nila, dan semua sahabat- sahabat ku yang ada di Padang terima kasih atas dukungan dan doa kalian semua.

19.Semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu, terima kasih.


(6)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di masa mendatang.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi banyak pihak terutama untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Juni 2010


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... .i

DAFTAR ISI... .v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN... .xi

BAB I PENDAHULUAN... .1

A. Latar Belakang ... .1

B. Tujuan Penelitian... .9

C. Manfaat Penelitian... .9

D. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II LANDASAN TEORI ... 12

A. Motivasi Kerja... 12

1. Definisi Motivasi Kerja... 12

2. Tahap Pembentukan Motivasi Kerja... 14

3. Aspek-aspek Motivasi Kerja... 16

4. Ciri-ciri Individu Berkomitmen ... 18

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Kerja... 18

B. Gaya Kepemimpinan Atasan... 20

1. Definisi Gaya Kepemimpinan... 20

2. Tipe Gaya Kepemimpinan ... 22

3. Gaya Kepemimpinan Transaksional ... 23

a. Definisi Gaya Kepemimpinan Transaksional ... 23

b. Aspek-aspek Gaya Kepemimpinan Transaksional ... 25


(8)

D. Hipotesa Penelitian ... 31

BAB III METODE PENELITIAN ... 32

A. Identifikasi Variabel Penelitian... 32

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian... 32

1. Komitmen Organisasi ... 32

2.Gaya Kepemimpinan Transaksional ... 33

C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 34

1. Karakteristik Subjek Penelitian... 34

2. Teknik Pengambilan Sampel ... 34

3. Jumlah Sampel Penelitian ... 35

D. Metode Pengumpulan Data... 36

1. Skala Motivasi Kerja... 36

2. Skala Gaya Kepemimpinan Transaksional ... 37

E. Uji Validitas, dan Reliabilitas Alat Ukur ... 39

1. Uji Validitas ... 39

2. Uji Reliabilitas ... 39

3. Uji Daya Beda Aitem... 40

F. Metode Analisa Data ... 41

1. Uji Normalitas... 42

2. Uji Linieritas ... 42

G. Hasil Uji Coba Alat Ukur... 43

H. Pelaksanaan Penelitian... 45

BAB IV ANALISA DATA... 48


(9)

2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 49

3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Masa Kerja ... 49

4. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan... 50

B. Hasil Penelitian ... 50

1. Hasil Uji Asumsi... 50

a. Uji normalitas... 51

b. Uji Linearitas ... 52

2. Hasil Utama Penelitian ... 52

3. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetetik... 54

4. Kategorisasi data Penelitian... 56

C. Pembahasan... 60

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 67

A. Kesimpulan ... 67

B. Saran... 68


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Distribusi aitem skala komitmen organisasi sebelum uji coba ... 37

Tabel 2 Distribusi aitem skala gaya kepemimpinan transformasional sebelum uji coba ... 38

Tabel 3 Distribusi aitem skala komitmen organisasi setelah uji coba... 43

Tabel 4 Distribusi aitem skala komitmen organisasi penelitian... 44

Tabel 5 Distribusi aitem skala gaya kepemimpinan transformasional setelah uji coba ... 44

Tabel 6 Distribusi aitem-aitem skala gaya kepemimpinan transformasional penelitian ... 45

Tabel 7 Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin ... 48

Tabel 8 Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia ... 49

Tabel 9 Gambaran subjek penelitian berdasarkan masa kerja ... 49

Table 10 Gambaran subjek penelitian berdasarkan tingkat pendidikan... 50

Tabel 11 Hasil uji normalitas ... 51

Tabel 12 Hasil uji linieritas ... 52

Tabel 13 Hasil analisis korelasi... 53

Tabel 14 Hasil analisis varians... 53

Tabel 15 Koefisien b0 dan b1 ... 54

Tabel 16 Nilai empirik dan nilai hipotetik komitmen organisasi... 55

Tabel 17 Nilai empirik dan nilai hipotetik gaya kepemimpinan transformasional... 56


(11)

Tabel 20 Norma kategorisasi gaya kepemimpinan transformasional ... 59

Tabel 21 Kategorisasi gaya kepemimpinan transformasional... 58

Table 22 Matriks Kategorisasi Variabel Gaya Kepemimpinan Transformasional Terhadap Variabel Komitmen Organisasi ... 58


(12)

Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transaksional terhadap Motivasi Kerja Karyawan Isneini Namira Hrp dan Emmy Mariatin

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan gaya kepemimpinan transformasional sebagai prediktor positif bagi komitmen organisasi. Globalisasi menciptakan ancaman semakin banyaknya persaingan bisnis yang menuntut perusahaan untuk memiliki sumberdaya manusia yang berkomitmen tinggi. Variable gaya kepemimpinan transformasional diyakini dapat memberikan sumbangan efektif dalam meningkatkan komitmen organisasi tersebut.

Penelitian ini melibatkan 80 orang staff PT.Indonesia Asahan Aluminium Power Plant. Metode pengambilan data yang digunakan adalah teknik purposive sampling. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan analisa regresi linear sederhana. Alat ukur yang digunakan adalah skala komitmen organisasi dengan realibilitas 0.938 dan skala gaya kepemimpinan transformasional dengan realibilitas 0.965. Dari hasil penelitian ini diperoleh rxy = 0.469, R square 0.220 (p<0.05) yang berarti gaya kepemimpinan

transformasional terbukti menjadi prediktor positif bagi komitmen organisasi dengan sumbangan efektif sebesar 22% dan garis regresi yang diperoleh Y= 88.852 + 0.322X. Hasil penelitian juga menunjukkan mayoritas subjek penelitian memiliki komitmen organisasi tergolong tinggi dan mempersepsikan gaya kepemimpinan transformasional atasannya tergolong tinggi


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Dalam era globalisasi, isu yang paling banyak dikembangkan adalah isu persaingan global dimana terjadi persaingan bebas yang tidak ada lagi batasannya dalam suatu wilayah atau negara tertentu. Persaingan bebas ini menuntut perusahaan-perusahaan untuk terus berbenah, agar tetap dapat bersaing dalam perdagangan bebas tersebut. Salah satu hal yang terpenting agar suatu perusahaan memiliki kemampuan bersaing yang tinggi adalah penanganan sumber daya manusia yang baik. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Mutakin (2008) bahwa agar mampu bertahan dan bersaing dalam perdagangan bebas, perusahaan harus memanfaatkan sumber daya manusia yang handal seoptimal mungkin melalui praktek-praktek organisasional secara luwes dan cepat tanggap terhadap perubahan lingkungan.

Suatu perusahaan akan dapat mencapai tujuannya bila didukung sumber daya manusia yang berkualitas, salah satunya adalah karyawan yang memiliki motivasi kerja yang baik. Menurut Widardi (2001) bahwa seseorang yang sangat termotivasi dalam bekerja adalah orang yang melaksanakan upaya maksimal, guna mencapai tujuan produksi unit kerjanya dan organisasi di mana ia bekerja. Motivasi mempersoalkan bagaimana caranya mendorong gairah kerja bawahan, agar mereka mau bekerja keras dengan memberikan semua kemampuan dan keterampilannya untuk mewujudkan tujuan perusahaan (Hasibuan, 1996).

Pada dasarnya perusahaan bukan saja mengharapkan karyawan yang mampu, cakap, dan terampil, tetapi yang terpenting mereka mau bekerja giat dan berkeinginan untuk mencapai hasil kerja yang optimal. Kemampuan, kecakapan, dan keterampilan


(14)

karyawan tidak ada artinya bagi perusahaan, jika mereka tidak mau bekerja keras dengan mempergunakan kemampuan, kecakapan, dan keterampilan yang dimilikinya. Motivasi ini penting karena dengan motivasi ini diharapkan setiap individu karyawan mau bekerja keras dan antusias untuk mecapai produktivitas kerja yang tinggi (Hasibuan, 1996).

Memotivasi ini sangat sulit, karena pimpinan sulit untuk mengetahui kebutuhan (needs) dan keinginan (wants) yang diperlukan bawahan dari hasil pekerjaan itu. Orang-orang mau bekerja untuk dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan (fisik dan mental), baik itu kebutuhan yang disadari (conscious needs) maupun kebutuhan yang tidak disadari (unconscious needs)-nya.

Motivasi mengacu kepada jumlah kekuatan yang mengasilkan, mengarahkan, dan mempertahankan usaha dalam perilaku tertentu. Bila orang bekerja keras dan melakukan pekerjaannya dengan baik, seringkali diartikan bahwa ia memiliki motivasi kerja yang tinggi. Bila orang tidak melakukannya dengan baik atau kelihatannya tidak cukup keras berusaha maka kesimpulannya adalah berlawanan, ia tidak mempunyai motivasi (Jewell & Siegel, 1998).

Motivasi berasal dari kata latin ”movere” yang berarti “dorongan atau daya penggerak” (Hasibuan, 1996). Hal yang sama juga diungkapkan oleh As’ad (2003) yang mengatakan bahwa motivasi seringkali diartikan dengan istilah dorongan. Dorongan atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat sehingga motivasi tersebut merupakan kekuatan yang menggerakkan manusia untuk bertingkah laku dan di dalam perbuatannya itu mempunyai tujuan tertentu.

Luthans (2006) mengatakan bahwa motivasi adalah proses yang dimulai dengan defisiensi fisiologis atau psikologis yang menggerakkan perilaku atau


(15)

elemen yang berinteraksi dan saling tergantung yaitu kebutuhan, dorongan, dan insentif. Kebutuhan memmbentuk dorongan yang bertujuan pada insentif.

Menurut Robbins (2002) bahwa motivasi adalah keinginan untuk melakukan sesuatu dan menentukan kemampuan bertindak untuk memuaskan kebutuhan individu. Suatu kebutuhan (needs), berarti suatu kekurangan secara fisik maupun psikologis yang membuat keluaran tertentu terlihat menarik. Suatu kebutuhan yang tidak terpenuhi menciptakan ketegangan, sehingga merangsang dorongan dalam diri individu. Dorongan-dorongan ini menghasilkan suatu pencarian untuk menentukan tujuan-tujuan tertentu yang jika tercapai akan memuaskan kebutuhan dan menyebabkan penurunan ketegangan.

Motivasi ini hanya diberikan kepada para bawahan (karyawan). Motivasi mempersoalkan bagaimana caranya mendorong gairah kerja bawahan, agar mereka mau bekerja keras dengan memberikan semua kemampuan dan keterampilannya untuk mewujudkan tujuan perusahaan. Pada dasarnya perusahaan bukan saja mengharapkan karyawa yang “mampu, cakap, dan terampil”, tetapi yang terpenting mereka maubekerja giat dan berkeinginan untuk mencapai hasil kerja yang optimal. Kemampuan, kecakapan, dan keterampilan karyawan tidak ada artinya bagi perusahaan jika mereka tidak mau bekerja keras dengan mempergunakan kemampuan, kacakapan, dan kecakapan yang dimilikinya. Motivasi penting karena dengan motivasi ini diharapkan setiap karyawan mau bekerja keras dan antusias untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi (Hasibuan, 1996).

Karyawan-karyawan yang termotivasi berada dalam suau kondisi tertekan. Untuk mengurangi ketegangan ini, mereka melakukan aktivitas. Semakin besar tekanan, semakin banyak akivitas yang dibutukan untuk mengurangi ketegangan tersebut. Oleh karena itu, ketika kita melihat para karyawan bekerja keras


(16)

melaksanakan aktivitasnya, kita dapat menyimpulkan bahwa mereka di dorong oleh keinginan untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan (Robbins, 2002).

Motivasi penting karena dengan motivasi ini diharapkan setiap bawahan mau bekerja keras dan antusias untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi (Cokroaminoto, 2007). Motivasi kerja juga tidak kalah penting dalam upaya mendorong bawahan dalam melaksanakan tugasnya dan pekerjaannya sehingga dapat berjalan lancar, dimana motivasi kerja mempunyai pengaruh yang besar terhadap perilaku bawahan di dalam perusahaan (Rivai, 2004).

Tercapai atau tidaknya suatu tujuan perusahaan tidak semata-mata karena perusahaan telah memiliki bawahan dengan kemampuan yang baik dan tinggi, tetapi juga dipengaruhi oleh hal-hal lain yang mendorong timbulnya motivasi kerja bawahan tersebut untuk bekerja dengan baik. Motivasi kerja bawahan itu sendiri dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya ialah lingkungan kerja, dalam hal ini ialah faktor kepemimpinan suatu perusahaan (Ruky, 2001).

Kepemimpinan dalam sebuah perusahaan berfungsi untuk memandu, menuntun, membimbing, membangunkan motivasi-motivasi kerja, mengemudikan organisasi, menjalin komunikasi yang baik, melakukan pengawasan secara teratur, dan mengarahkan pada bawahannya kepada sasaran yang ingin dituju. Bawahan dalam sebuah perusahaan akan mampu bekerja dengan baik jika pemimpin dapat menjalankan perannya secara baik (Hanggoro, 2002). Keberhasilan kepemimpinan pada sebuah perusahaan dapat dilihat dari kemampuan pemimpin memotivasi bawahannya untuk dapat bekerja dengan baik (Kartono, 2003). Kepemimpinan efektif dan produktif merupakan kekuatan dinamis yang dapat menumbuhkan motivasi, aspirasi, koordinasi dan integrasi pada perusahaan dalam pencapaian tujuan bersama


(17)

Kepemimpinan secara langsung maupun tidak langsung mempunyai pengaruh yang positif terhadap peningkatan motivasi kerja bawahannya. Hal ini didukung oleh Sinungan (1987) yang menyatakan bahwa kepemimpinan yang termasuk di dalam lingkungan organisasi merupakan faktor potensi dalam meningkatkan motivasi kerja. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Arep dan Tanjung (2003) yang menyatakan bahwa kepemimpinan sebagai sumber motivasi dalam bekerja sehingga seorang pemimpin diharapkan dapat menguasai atau mempengaruhi serta memotivasi karyawannya.

Seorang pemimpin memiliki cara tersendiri dalam memotivasi karyawannya yang disebut dengan gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpinan mempunyai peran yang penting dalam mempengaruhi cara kerja bawahan. Karena kepemimpinan merupakan kekuatan aspirasional, kekuatan semangat, dan kekuatan moral yang kreatif, yang mampu mempengaruhi para anggota untuk mengubah sikap, sehingga mereka konform dengan keinginan pemimpin (Schaffer, 2008).

Teori yang paling terkenal berkaitan dengan motivasi salah satunya adalah

teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow. Maslow membuat hipotesis bahwa dalam

diri setiap manusia terdapat lima tingkatan kebutuhan, yaitu kebutuhan fisik, rasa aman, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri. Kebutuhan yang paling dasar yang harus dipuaskan orang pertama kali adalah kebutuhan fisiologi. Kemudian kebutuhan tersebut diikuti oleh kebutuhan akan rasa aman, sosial (afilasi), dan keutuhan penghargaan (harga diri). Di puncak dari hierarki adalah kebutuhan akan pemenuhan diri sendiri. Setiap kebutuhan tersebut harus di puaskan menurut giliran. Sekali dipuaskan, kebutuhan itu berhenti memotivasi perilaku, dan kebutuhan berikutnya dalam hieraki tadi menjadi kebutuhan yang kuat. Penerapan di tempat kerja


(18)

mengartikan bahwa orang sewaktu bekerja melakukan usaha untuk memenuhi kebutuhan paling rendah yang belum terpuaskan (Jewell & Siegel, 1996)

Bass (1985) mengembangkan gaya kepemimpinan berdasarkan pendapat Maslow mengenai tingkatan kebutuhan manusia. Untuk memenuhi kebutuhan bawahan yang lebih tinggi seperti afiliasi, harga diri dan aktualisasi diri hanya dimungkinkan terpenuhi melalui praktik kepemimpinan transformasional. Sedangkan kebutuhan karyawan yang lebih rendah, seperti kebutuhan fisik, dan rasa aman dapat terpenuhi dengan baik melalui praktik kepemimpinan transaksional. Pemenuhan kebutuhan karyawan tersebut mampu meningkatkan motivasi kerja pada karyawan sehingga dapat mencapi tujuan perusahaan

Menurut Bass (1985) ada dua macam gaya kepemimpinan yaitu gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional. Namun penelitian ini hanya berfokus pada gaya kepemimpinan transaksional saja. Seorang pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan transaksional membantu karyawannya dalam meningkatkan motivasi untuk mencapai hasil yang diinginkan dengan dua cara, yang pertama yaitu seorang pemimpin mengenali apa yang harus dilakukan bawahan untuk mencapai hasil yang sudah direncanakan setelah itu pemimpin mengklarifikasikan peran bawahannya kemudian bawahan akan merasa percaya diri dalam melaksanakan pekerjaan yang membutuhkan perannya. Yang kedua adalah pemimpin mengklarifikasi bagaimana pemenuhan kebutuhan dari bawahan akan tertukar dengan penetapan peran untuk mencapai hasil yang sudah disepakati.

Pengaruh gaya kepemimpinan transaksional terhadap motivasi juga dijelaskan oleh Thomas (2003) yang mengatakan bahwa gaya kepemimpinan transaksional sebagai suatu gaya kepemimpinan yang mendapatkan motivasi para bawahannya


(19)

pada hasil dari tugas dan hubungan dari pekerja yang baik dalam pertukaran untuk penghargaan yang diinginkan. Kepemimpinan transaksional mendorong pemimpin untuk menyesuaikan gaya dan perilaku mereka untuk memahami harapan bawahan.

Bass (1985) mengemukakan bahwa faktor-faktor pembentuk gaya kepemimpinan transaksional terdiri atas tiga, yaitu : imbalan kontingensi, manajemen eksepsi aktif, dan manjemen eksepsi pasif. Yang pertama adalah imbalan kontingen (contingent reward), faktor ini dimaksudkan bahwa bawahan memperoleh pengarahan dari pemimpin mengenai prosedur pelaksanaan tugas dan target-target yang harus dicapai. Bawahan akan menerima imbalan dari pemimpin sesuai dengan kemampuannya dalam mematuhi prosedur tugas dan keberhasilannya mencapai target-target yang elah ditentukan. Faktor yang kedua adalah manajemen eksepsi aktif (active management by exception), faktor ini menjelaskan tingkah laku pemimpin yang selalu melakukan pengawasan secara direktif terhadap bawahannya. Pengawasan direktif yang dimaksud adalah mengawasi proses pelaksanaan tugas bawahan secara langsung. Hal ni bertujuan untuk mengantisipasi dan meminimalkan tingkat kesalahan yang timbul selama proses kerja berlangsung. Seorang pemimpin transaksional tidak segan mengoreksi dan mengevaluasi langsung kinerja bawahan meskipun proses kerja belum selesai. Tindakan tersebut dimaksud agar bawahan mampu bekeja sesuai dengan standar dan prosedur kerja yang telah ditetapkan. Faktor yang terakhir yaitu manajemen eksepsi pasif (passive management by exception), faktor ini menjelaskan seorang pemimpin transaksional akan memberikan peringatan dan sanksi kepada bawahannya apabila terjadi kesalahan dalam proses yang dilakukan oleh bawahan yang bersangkutan. Namun apabila proses kerja yang dilaksanakan masih berjalan sesuai standar dan prosedur, maka pemimpin transaksional tidak memberikan evaluasi apapun kepada bawahan.


(20)

Gaya kepemimpinan transaksional menurut Bass 2003) berpengaruh terhadap motivasi kerja bawahan yang ditunjukkan untuk memperoleh imbalan kerja dalam jumlah yang layak sesuai dengan hasil kerja mereka, serta untuk memperoleh penghargaan melaui imbalan sehingga bawahan terpacu untuk bekerja dengan lebih baik. Pemimpin transaksional memiliki kemampuan mengidentifikasi keinginan bawahan dan membantunya mencapai tingkat prestasi yang lebih tinggi dengan memberikan imbalan yang memuaskan. Proses tersebut disertai pula dengan kejelasan tentang penyelesaian pekerjaan dan besarnya imbalan yang akan diterima.

Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa gaya kepemimpinan transaksional memiliki peranan sangat penting untuk memotivasi bawahannya dengan menekankan pada pemberian imbalan sehingga perusahaan dapat mencapai tujuanya. Pada penelitian ini peneliti tertarik untuk meneliti “pengaruh gaya kepemimpian transaksional terhadap motivasi kerja bawahan”.

A. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, peneliti merumuskan permasalahan yang ingin diketahui dari penelitian ini yaitu, bagaimana pengaruh gaya kepemimpian transaksional terhadap motivasi kerja bawahan?

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa besar pengaruh gaya kepemimpian transaksional terhadap motivasi kerja bawahan


(21)

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam pengembangan ilmu psikologi, khususnya bidang Psikologi Industri dan Organisasi terutama dalam bidang perilaku organisasi mengenai pengaruh gaya kepemimpian transaksional terhadap motivasi kerja bawahan.

b. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi peneliti-peneliti lain yang ingin meneliti mengenai perilaku organisasi sebagai referensi teoritis dan empiris.

c. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian diharapkan dapat menambah teknik pengukuran konsep gaya kepemimpina transaksioal dan motivasi kerja.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran sejauhmana gaya kepemimpinan transaksional dapat mempengaruhi motivasi karyawan dalam berbagai kegiatan yang dilaksanakan diperusahaan sesuai dengan kesepakatan antara pimpinan dengan bawahan. Selain itu diharapkan dapat memberi informasi mengenai seberapa besar gaya kepemimpinan transaksional yang diterapkan oleh atasan dan seberapa besar tingkat motivasi kerja bawahan dalam perusahaan, sehingga apabila bawahan mempunyai tingkat motivasi yang rendah, perusahaan dapat memberikan intervensi yang tepat.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I Pendahuluan


(22)

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Di sini digambarkan mengenai berbagai tinjauan literatur dan hasil penelitian sebelumnya mengenai gaya kepemimpian transaksional dan motivasi kerja bawahan. Bab II Landasan teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Memuat landasan teori tentang gaya kepemimpian transaksional dan motivasi kerja bawahan. Bab ini juga mengemukakan hipotesa sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang menjelaskan pengaruh gaya kepemimpian transaksional terhadap motivasi kerja bawahan

Bab III Metodologi penelitian

Bab ini menguraikan identifikasi variabel, defenisi operasional variabel, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji daya beda item dan reliabilitas alat ukur, serta metode analisa data yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian.

Bab IV Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini berisi tentang hasil penelitian yang disertai dengan interpretasi dan pembahasan.

Bab V Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Bab ini menguraikan kesimpulan sebagai jawaban permasalahan yang diungkapkan berdasarkan hasil penelitian dan saran penelitian yang meliputi saran praktis dan saran untuk penelitian selanjutnya.


(23)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. MOTIVASI KERJA 1. Definisi Motivasi Kerja

Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan motivasi (motivation) sebagai proses yang menjelaskan intensitas, arah dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya. Motivasi adalah suatu proses dimana kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan serangkaian kegiatan yang mengarah kepada tercapainya tujuan tersebut (Munandar, 2001). Kebutuhan yang dimaksudkan adalah suatu keadaan dalam diri (internal state) yang menyebabkan hasil-hasil atau keluaran-keluaran tertentu yang menarik. Menurut kamus psikologi Chaplin (2005), motivasi didefinisikan sebagai suatu variabel penyelang (yang ikut campur tangan) yang digunakan untuk menimbulkan faktor-faktor tertentu di dalam organisme, yang membangkitkan, mengelola, mempertahankan, dan menyalurkan tingkah laku, menuju satu sasaran.

Menurut As'ad (2003), motivasi seringkali diartikan dengan istilah dorongan. Dorongan atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat sehingga motivasi tersebut merupakan kekuatan yang menggerakkan manusia untuk bertingkah laku dan di dalam perbuatannya itu mempunyai tujuan tertentu. Sama halnya dengan Munandar (2001) yang menyatakan bahwa motivasi adalah suatu proses dimana kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan serangkaian kegiatan yang mengarah kepada tercapainya tujuan tertentu.

Motivasi mewakili proses-proses psikologikal yang menyebabkan timbulnya, diarahkannya, dan terjadinya persistensi kegiatan-kegiatan sukarela (volunter) yang


(24)

diarahkan ke arah tujuan tertentu (Mitchell dalam Winardi, 2001). Motivasi merupakan hasil sejumlah proses, yang bersifat internal atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi, dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu (Gray et al, dalam Winardi, 2001).

Hariandja (2002) menyatakan bahwa motivasi diartikan sebagai faktor-faktor yang mengarahkan dan mendorong perilaku atau keinginan seseorang untuk melakukan suatu kegiatan yang dinyatakan dalam bentuk usaha yang keras atau lemah. Selain itu, motivasi juga merupakan keinginan, tujuan, kebutuhan, dan dorongan. Motivasi merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam menentukan perilaku seseorang, termasuk perilaku kerja.

Motivasi kerja secara umum didefinisikan sebagai suatu dorongan energi yang mengatur antara keinginan dan kebutuhan individu untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan pekerjaan sehingga ia mampu untuk menentukan bagaimana bentuk, arah, intensitas, dan durasi dalam bekerja (Shani dan Lau, 2005).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja adalah sekelompok pendorong yang berasal baik dari dalam maupun dari luar individu untuk melakukan pekerjaan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya.

2. Teori-teori Motivasi Kerja a. Teori Isi


(25)

a.1. Teori Hierarki Kebutuhan Maslow (Maslow’s Need-Hierarchy Theory)

Abraham Maslow menyatakan bahwa manusia mempunyai sejumlah kebutuhan yang diklasifikasikannya menjadi lima tingkat kebutuhan (Robbins, 2003), yaitu :

a. Fisiologis, antara lain rasa lapar, haus, perlindungan (pakaian dan perumahan), seks, dan kebutuhan jasmani lain.

b. Keamanan, antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional.

c. Sosial, mencakup kasih sayang, rasa memiliki, menerima dengan baik, da persahabatan.

d. Penghargaan, mencakup faktor internal, seperti harga diri, otonomi, dan prestasi, serta faktor eksternal, seperti status, pengakuan, dan perhatian.

e. Aktualisasi diri, dorongan yang ada dalam diri seorang individu untuk menjadi individu yang sesuai kemampuannya.

Maslow membagi kelima kebutuhan tersebut menjadi dua kelompok, yaitu : tingkat tinggi dan tingkat rendah (Robbins, 2003). Kebutuhan fisiologis dan kebutuhan keamanan termasuk dalam golongan tingkat rendah, sedangkan kebutuhan sosial, penghargaan dan aktualisasi diri termasuk dalam golongan tingkat tinggi. Pembagian ke dalam dua kelompok tersebut berdasarkan alasan bahwa kebutuhan tingkat tinggi dipenuhi secara intenal (dalam diri individu itu), sedangkan kebutuhan tingkat rendah terutama dipenuhi secara eksternal (misalnya dengan upah, kontrak serikat buruh, dan masa kerja).


(26)

a.2. Teori ERG Alderfer (Alderfer’s ERG theory)

Clayton Alderfer berpendapat bahwa manusia mempunyai tiga kelompok kebutuhan inti, yaitu : eksistensi (existence), hubungan (relatedness), dan perkembangan (growth), yang disebut dengan teori ERG (Robbins, 2003). Kebutuhan eksistensi mencakup kebutuhan fisiologis dan kebutuhan perlindungan, keamanan, serta keselamatan fisik. Kebutuhan hubungan mencakup kbutuhan sosial atau hubungan antar pribadi. Kebutuhan perkembangan mencakup kebutuhan pengembangan diri (aktualisasi diri) (Berry dan Houston, 1993).

Teori EGR menyatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan eksistensi, hubungan, dan perkembangan terletak pada satu kesinambungan kekonkritan, dengan kebutuhan eksistensi sebagai kebutuhan yang paling konkrit dan kebutuhan perkembangan sebagai kebutuhan yang abstrak (Munandar, 2001). Beberapa dasar pikiran dari teori ini adalah bahwa : (1) semakin lengkap satu kebutuhan yang lebih konkrit terpuaskan, semakin besar keinginan atau dorongan untuk memuaskan kebutuhan abstrk, dan (2) semakin kurang lengkap satu kebutuhan semakin besar keinginanya untk memuaskan (Munandar, 2001)

Sesuai dengan teori Maslow, teori Alderfer ini menganggap bahwa fulfillment-progression (maju ke pemenuhan kebutuhan yang lebih tingi tingkatannya sesudah kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah terpuaskan) juga penting (Munandar, 2001). Menurut Alderfer, jika kebutuhan tingkat yang lebih tinggi tidak dapat terpuaskan, maka individu me-regress, kembali ke usaha untuk memuaskan kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah. Gejala itu disebut dengan frustration-regression (Munandar, 2001).


(27)

a.3. Teori Dua Faktor Herzberg (Herzberg’s Two-Faktor Theory)

Berry dan Houston (1993) menyatakan bahwa teori dua faktor Herzberg menekankan pada akibat dari perilaku yang termotivasi. Kebutuhan dipandang sebagai suatu hal yang mendorong perilaku. Teori dua faktor sebenarnya merupakan teori mengenai kepuasan kerja, tetapi dapat pula digunakan dalam motivasi kerja.

Teori dua faktor Herzberg menyatakan bahwa manusia mempunyai dua kebutuhan yang harus dipuaskan, dan dua kebutuhan itu berkaitan dengan dua akibat. Kebutuhan-kebutuhan itu adalah :

a. Lingkungan kerja yang sehat dan aman. Kebutuhan ini berkaitan dengan faktor hasil yang disebut hygiene disebut juga faktor pemeliharaan (maintenance) (Herzberg; dalam Newstrom dan Davis, 1993), karena berperan dalam memelihara tingkat motivasi karyawan. Faktor hygiene merupakan hasil kerja ekstrinsik yang meliputi kebijakan dan administrasi perusahaan, pengawasan, gaji, hubungan dengan atasan, dan kondisi kerja secara fisik. Herzberg juga mengatakan bahwa faktor pemeliharaan lebih menitikberatkan pada job context

(suasana atau keadaan kerja), karena lebih terkait dengan lingkungan disekitar pekerjaan.

b. Perkembangan dan pertumbuhan diri, yang berkaitan dengan faktor hasil yang disebut faktor motivasi (motivasional). Faktor motivasi merupakan hasil kerja instrinsik yang meliputi prestasi, penghargaan, tanggung jawab, dan promosi. Hal-hal tersebut dianggap sebagai instrinsic motivator, karena merupakan bagian integral dari pekerjaan. Herzberg juga mengatakan bahwa faktor motivasi (motivasional factor) menitikberatkan pada job content (isi atau muatan kerja) (Newstrom dan Davis, 1993).


(28)

Herzberg (dalam Newstrom dan Davis, 1993) menyatakan bahwa untuk membedakan antara job context dan job content, serupa dengan membedakan antara motivasi ekstrinsik dan instrinsik. Motivasi ekstrinsik merupakan penghargaan dari luar individu yang terlepas dari sifat pekerjaan, dan tidak memberikan kepuasan langsung ketika melakukan suatu pekerjaan, contohnya adalah rencana pengundurn diri, asuransi kesehatan, dan liburan. Motivasi instrinsik merupakan penghargaan dari dalam individu yang dirasakan individu ketika melakukan pekerjaan, dan memiliki hubungan langsung antara pekerjaan dengan penghargaan tersebut.

a.4. Teori Kebutuhan McClelland (McClelland’s Acquired Neds Theory)

Teori kebutuhan McClelland dikemukakan oleh David McClelland dan kawan-kawannya (Dubrin dkk., 1996). Mclelland (dalam Dubrin dkk., 1996) engatkan bahwa ketika kedudukan kebutuhan kuat, maka akan mendorong individu untuk melakukan kegiatan guna memuaskan kebutuhan tersebut. Teori ini berfokus pada tia kebutuhan (Robbins, 2003), yaitu :

a. Kebutuhan akan prestasi (n’Ach); dorongan untuk mengungguli, berprestasi yang berkaitan dengan standar tertentu, dan berusaha untuk sukses.

b. Kebutuhan akan kekuasaan (n’Pow); kebutuhan untuk mengendalikan, mempengaruhi tingkah laku, tanggung jawab terhadap orang lain.

c. Kebutuhan akan afiliasi (n’Aff); keinginan untuk berhubungan antar pribadi dengan ramah dan akrab.

Beberapa individu mempunyai dorongan yang kuat sekali untuk berhasil. Mereka lebih mengejar prestasi pribadi dibandingkan dengan adanya imbalan


(29)

Dorongan ini yang disebut dengan kebutuhan akan prestasi (need for

achievement-n’Ach) (Robbins, 2003). Dari penelitian mengenai kebutuhan akan prestasi,

McClelland (dalam Robins, 2003) menemukan bahwa individu-individu yang mempunyai dorongan prestasi tinggi berbeda dengan individu-individu yang mempunyai keinginan kuat untuk melakukan hal-hal dengan lebih baik. Mereka mencari kesempatan pada saat mereka mempunyai tanggung jawab pribadi untuk memecahkan permasalahan, mereka dapat segera menerima umpan-balik atas kinerjanya sehingga mereka dapat mengetahui dengan mudah apakah mereka menjadi lebih baik atau tidak, dan mereka dapat menentukan langkah-langkah yang menantang. Individu-individu yang mempnyai dorongan prestasi yang tinggi lebih menyukai tantangan dalam menyelesaikan suatu masalah dan menerima dengan lapang dada kesuksesan atau kegagalan, bukannya mengandalkan peluang atau bantuan individu lain (McClelland; dalam Robbins, 2003).

Kebutuhanakan kekuasaan (need for power-n’Pow) adalah keinginan untuk mempunyai dampak terhadap individu lain, berpengaruh terhadap individu lain, dan mengendalikan individu lain (Robbins, 2003). Individu-individu dengan n’Pow yang tingg lebih menyukai pekerjaan yang bersituasi kompetitif, berorientasi status, dan cenderung lebih peduli akan prestige, misalnya menjadi pimpinan yang berusaha mempengauhi individu lain (Muanndar, 2001).

Kebutuhan akan afiliasi (need for affiliation-n’Aff) mendapat perhatian paling kecil dari para peneliti. Afiliasi berkaitan dengan tujuan-tujuan Dale Carnegie, yaitu keinginan untuk disuki dan diterima baik oleh individu lain (Robbins, 2003).


(30)

b.1. Teori Harapan Vroom (Vroom’s Expectancy Theory)

Berry dan Houston mengatakan bahwa teori harapan,yang dikemukakan oleh Victor Vroom, merupakan sutu teori kognitif motivasi kerja. Teori harapan menekankan pada pikira, harapan, dan perasaan individu pada saat ia melakukan suat tindakan dan akibat yang ditimbulkannya. Teori harapan disebut juga EIV Theory, karena terdiri atas unsur expectancy (harapan), instrumentally (sarana), valence

(valensi) (Berry dan Houston, 1993).

Teori harapan memfokuskan analisisnya pada tiga jenis hubungan (Robbins, 2003), yaitu :

a. Hubungan usaha dan kinerja; individu mempunyai persepsi bahwa sejumlah usaha yang dikeluarkan akan meningkatkan kinerja.

b. Hubungan kinerja dengan imbalan; individu meyakini bahwa berkinerja pada suatu tingkat tertentu akan mendorong tercapainya suatu hasil yang diinginkan. c. Hubungan imbalan dengan tujuan pribadi; sejauhmana imbalan dari organisasi

memuaskan tujuan atau kebutuhan pribadi seorang individu dan seberapa besar daya tarik imbalan tersbut bagi yang bersangkutan.

b.2. Teori Penguatan (Reinforcement Theory)

Munandar (2001) mengatakan bahwa teori penguatan berhubungan dengan teori belajar operant conditioning dari Skinner. Teori ini mempunyai dua aturan pokok, yaitu aturan pokok yang berhubungan dengan perolehan jawaban-jawaban yang benar, dan aturan pokok lainnya yang berhubungan dengan penghilangn jawaba-jawaban yang salah (Munandar, 2001).


(31)

diinginkkan), atau negatif (menghilangkan satu rangsang aversif jika jawaban yang diinginkan telh diberikan), tetapi individu harus menciptakan suatu kaitan antara aksi atau tindakan denan akibat-akibatnya (Muandar, 2001).

Dalam teori penguatan, apabila jawaban yang diinginkan belum dimiliki oleh individu, maka jawaban tersebut perlu dibentuk. Pembentukan berlangsung apabila jawaban-jawaban yang mendekati jawaban-jawaban yang benar pada awalnya dikuatkan. Secara bertahap pengukuran positif hanya diberikan apabila perilaku yang mendekati jawaban yang benar semakin dekat, sehingga akhirnya jawaban khusus yang diinginkan saja yang dikuatkan (Munandar, 2001).

b.3. Teori Penetapan Tujuan Locke (Locke’s Goal-Setting Theory)

Edwin Locke mengatakan bahwa teori penetapan tujuan berkaitan erat dengan psikologi kognitif (Berry dan Houston, 1993). Locke menyatakan bahwa maksud-maksud untuk bekerja ke arah suatu tujuan merupakan sumber utama dari motivasi kerja (Robbins, 2003). Teori ini memiliki komponen muatan dan proses, dengan lebih menekankan pada proses motivasi (Berry dan Houston, 1993).

Muatan struktur motivasi adalah tujuan, sedangkan proses motivasi melibatkan pencapaian tujuan, pengetahuan hasil, penghargaan keuangan, dan komitmen dalam pencapaian tujuan sebagai mekanisme utama. Tujuan dalam hubungannya dengan motivasi digambarkan Locke (dalam Berry dan Houston, 1993) sebagai penyedia usaha dan petunjuk awal, serta keteguhan dalam perilaku. Tujuan juga berperan sebagai pembimbing dan penghasil energi untuk bertindak.

Locke (dalam Dubrin dkk., 1996) mengatakan bahwa teori penetapan tujuan didasarka atas pemikiran, yaitu tujuan yang ada dalam diri individu akan mengatur tindakan individu tersebut. Individu yang mempunyai tujuan akan berusaha untuk


(32)

mencapai tujuannya itu. Tujuan tidak hanya mempengaruhi usaha yang dilakukan, tetapi juga perilaku individu. Pilihan terhadap waktu dan metode yang dilakukan individu dalam usahanya mencapai tujuan merupakan contoh dari perilaku.

b.4. Teori Keadilan Adam (Adam’s Equity Theory)

Berry dan Houston (1993) mengatakan bahwa teori keadilan yang dikemukakan leh J. Stacy Adam pada tahun 1965 merupakan teori kognitif motivasi kerja. Teori keadilan menyatakan bahwa manusia mempunyai pikiran, perasaan, dan pandangan yang mempengaruhi pekerjaan mereka. Teori ini diciptakan secara khusus untuk memprediksi pengaruh imbalan terhadap perilaku manusia. Adam mengemukakan bahwa individu-individu kan membuat perbandingan-perbandingan tertentu terhadap suatu pekerjaan. Perbandingan-perbandingan tersebut sangat mempengaruhi kemantapan pikiran dan perasaan mereka mengenai imbalan, serta menghasilkan perubahan motivasi dan perilaku.

Teori keadilan mempunyai emat asumsi dasar (Munandar, 2001), yaitu : a. Individu berusaha untuk menciptakan dan mempertahankan satu kondisi keadilan. b. Apabila dirasakan ada kondisi ketidakadilan, kodisi ini menimbulkan ketegangan

yang memotivasi individu untuk menguranginya atau menghilangkannya.

c. Semakin besar persepsi ketidakadilannya, semakin besar motivasinya untuk bertindak engurangi kondisi ketegangan itu.

d. Individu akan mempersepsikan ketidakadilan yang tidak menyenangkan (misalnya, menerima gaji terlalu sedikit) lebih cepat daripada ketidakadilan yang


(33)

3. Ciri-ciri Orang yang Memiliki Motivasi Kerja

Menurut Arep & Tanjung (20003), ciri-ciri rang yang bekeja dengan termotivasi adalah :

a. Bekerja sesuai standar

Pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat waktu dan dalam waktu yang sudah ditentukan.

b. Senang dalam bekerja

Sesuatu yang dikerjakan karena adanya motivasi yang mendorongnya akan membuat seseorang merasa senang melakukan pekerjaannya.

c. Merasa berharga

Seseorang akan merasa berharga ketika mengerjakan suatu pekerjaan yang didorong oleh motivasi dari dala dirinya

d. Bekerja keras

Seseorang akan bekerja keras karena dorongan yang begitu tinggi untuk menghasilkan hasil pekerjaan yang telah ditetapkan.

e. Sedikit pengawasan

Kinerjanya akan dipantau dirinya sendiri dan tidak membutuhkan terlalu banyak pengawasan.


(34)

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Kerja

a. Faktor Internal

Jewell dan Siegell (1998) menyatakan faktor yang cenderung ke arah faktor internal yang mempengaruhi motivasi adalah faktor yang didasarkan pada Teori Dua Faktor dari Herzberg (Herzberg Two Factor Theory). Herzberg, (dalam Munandar, 2001) menyebutkan bahwa Teori Dua Faktor didasarkan pada pembagian Hierarki Maslow menjadi kebutuhan atas dan kebutuhan bawah. Kondisi kerja yang memungkinkan individu memenuhi kebutuhan tingkat atas disebut se bagai faktor motivator yang diklasifikasikan kedalam faktor internal, antara lain :

(1) Tanggung Jawab (Responsibiliy), merupakan besar kecilnya tanggung jawab yang dirasakan diberikan pada seorang individu.

(2) Kemajuan (Advancement), merupakan besar kecilnya kemungkinan individu dapat maju dalam pekerjaannya.

(3) Pekerjaan itu sendiri, merupakan besar kecilnya tantangan yang dirasakan individu dari pekerjaannya.

(4) Pencapaian (Achievement), besar kecilnya kemungkinan individu mencapai prestasi kerja yang tinggi.

(5) Pengakuan (Recognition), besar kecilnya pengakuan yang diberikan individu atas unjuk kerjanya.

Robbins dan Judge (2008), menjelaskan pula bahwa Teori Kebutuhan McClelland (McClelland’s Theory of Needs) juga dapat mendukung faktor internal yang dapat mempengaruhi motivasi individu dalam bekerja. Teori tersebut berfokus pada tiga kebutuhan, kekuatan dan hubungan :


(35)

(2) Kebutuhan Kekuatan (Need for Power), merupakan kebutuhan untuk membuat individu lain berperilaku sedemikian rupa sehingga akan berperilaku sebaliknya.

(3) Kebutuhan Hubungan (Need for Affiliation), keiginan untuk menjalin suatu hubungan antarpersonal yang ramah dan akrab.

b. Faktor Eksternal

Kebutuhan dapat berkembang sebagai akibat dari interaksi individu dengan lingkungannya. Motivasi tidak semata-mata dituntut oleh kebutuhan yang bersifat internal, tetapi dipengaruhi oleh apa yang dipelajari (Hariandja, 2002). Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi motivasi dapat dilihat melalui Teori Pengharapan (Expectancy Theory) dari Victor Vroom (Ivancevich & Donnelly dalam Gibson, 1997) yang menyatakan bahwa ada tiga faktor atau situasi pada hubungan antara performa kerja dengan outcomes

yang dapat mempengaruhi motivasi :

(1) Instrumental (Instrumentally), merupakan persepsi individu pada outcomes

pada level pertama berhubungan dengan outcomes pada level kedua. Kemungkinan atau keyakinan seseorang akan mendapatkan ganjaran bilamana memenuhi tingkat performa tertentu dan mengindikasikan hal yang sama pada

outcomes kedua.

(2) Nilai (Value), merupakan nilai yang diberikan seseorang terhadap hadiah (reward) yang akan didapat dari suatu pekerjaannya.


(36)

(3) Harapan (Expectancy), merupakan keyakinan individu untuk dapat memenuhi tingkat performa yang diharuskan dalam suatu pekerjaan. Individu yakin bahwa suatu perilaku yang khusus akan dikuti oleh outcome yang tertentu. Jewell (2000), menyatakan bahwa faktor eksternal yang dapat mempengaruhi motivasi individu dalam bekerja dijelaskan pula oleh Teori Dua Faktor dari Herzberg (Herzberg Two Factor Theory). Herzberg (dalam Munandar, 2001) menyebutkan bahwa Teori Dua Faktor didasarkan pada pembagian Hierarki Maslow menjadi kebutuhan atas dan kebutuhan bawah. Faktor yang dapat memenuhi kebutuhan tingkat bawah dinamakan faktor higyene yang merupakan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi motivasi individu dalam bekerja, yaitu: (1) Administrasi dan Kebijakan Perusahaan, merupakan derajat kesesuain yang

dirasakan individu dari semua kebijakan dan peraturan yang berlaku dalam perusahaan.

(2) Penyeliaan, merupakan derajat kewajaran penyeliaan yang dirasakan diterima individu.

(3) Gaji, merupakan derajat kewajaran dari gaji yang diterima sebagai imbalan unjuk kerjanya.

(4) Hubungan antar Pribadi, merupakan derajat kesesuaian yang dirasakan dalam berinteraksi dengan individu lain.

(5) Kondisi Kerja, merupakan derajat kesesuaian kondisi kerja dengan proses pelaksanaan tugas pekerjaannya.

Pendapat ini didukung oleh Teori Keseimbangan (Equity Theory) yang menyatakan bahwa setiap orang yang memasuki dunia kerja mengharapkan hasil


(37)

(input) dan dengan yang diterima orang lain di lingkungan pekerjaannya atau organisasi lain (Hariandja, 2002).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi kerja adalah faktor internal dan faktor eksternal.

5. Komponen Motivasi Kerja

Steers & Porter (1987) menyatakan bahwa ada 3 komponen penting dalam motivasi kerja:

a. Komponen Energi

Komponen energi yaitu kekuatan atau usaha yang dimiliki karyawan yang menyebabkan terjadinya tingkah laku dalam pekerjaannya. Dengan kata lain, komponen energi menjelaskan seberapa mampu karyawan melaksanakan pekerjaannya sebaik mungkin. Misalnya seorang karyawan yang ingin meningkatkan prestasi kerjanya untuk mendapatkan peluang pengembangan karir, maka karyawan tersebut akan membuat rancangan kerja, memperbaiki cara kerja dan lain-lain.

b. Komponen Arah

Komponen arah yaitu tingkah laku yang timbul merupakan tingkah laku yang terarah atau mempunyai tujuan yang jelas. Misalnya seorang yang ingin memperoleh suatu kesempatan pengembangan karir, maka karyawan tersebut berusaha menghasilkan prestasi kerja, bersikap jujur, bertanggung jawab, dan lain-lain.


(38)

Komponen pemeliharaan yaitu adanya pemeliharaan atau usaha untuk mempertahankan tingkah laku yang telah terjadi sesuai dengan lingkungan kerja. Komponen ini merupakan ukuran mengenai seberapa lama seseorang mampu mempertahankan usahanya dalam bekerja. Individu-individu dengan motivasi kerja yang tinggi mampu bertahan melakukan tugas dalam waktu yang cukup lama demi memcapai tujuannya. Misalnya seorang karyawan yang ingin mempertahankan jabatannya, maka karyawan tersebut mempertahankan kinerja, mempertahankan prestasi kerjanya dan lain-lain

A. Gaya Kepemipinan

1. Definisi Gaya Kepemimpinan

Bass (1998) mengemukakan kepemimpinan merupakan suatu proses mengarahkan, mempengaruhi dan mengendalikan aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan seperti halnya mempengaruhi motivasi karyawan untuk mencapai tujuan khusus organisasi. Menurut Rivai (2008) definisi kepemimpinan secara luas meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku bawahan untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Selain itu juga mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa-peristiwa para pengikutnya, pengorganisasian dan aktivitas-aktivitas untuk mencapai sasaran, memelihara hubungan kerjasama dan kelompok kerja, perolehan dukungan dan kerjasama dari orang-orang di luar kelompok atau organisasi.

Gaya kepemimpinan adalah suatu pola tingkah laku yang dirancang untuk mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan individu untuk mencapai tujuan


(39)

perilaku yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba untuk mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat (Thoha, 2003).

Berdasarkan definisi-definisi dari para ahli diatas, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa gaya kepemimpinan adalah suatu pola tindakan yang dipersepsikan atau diacu oleh bawahan yang mengarahkan, mempengaruhi dan mengendalikan orang lain yang berhubungan dengan aktivitas pekerjaan guna untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan teori gaya kepemimpinan transaksional oleh Bass (1985).

2. Gaya Kepemimpinan Transaksional

a. Pengertian Gaya kepemimpinan transaksional

Gagasan awal mengenai gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional ini dikembangkan oleh James MacFregor Burns yang menerapkannya dalam konteks politik. Burns (1978) mendefinisikan kepemimpinan transaksional sebagai bentuk hubungan yang mempertukarkan jabatan atau tugas tersebut. Jadi, kepemimpinan transaksional menekankan proses hubungan pertukaran yang bernilai ekonomis untuk memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis sesuai dengan kontrak yang telah mereka setujui bersama. Gagasan ini selanjutnya disempurnakan serta diperkenalkan ke dalam kontes organisasional oleh Bernard Bass.

Bass (1990) mengemukakan kepemimpinan ransaksional yang didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan suatu proses pertukaran yang menyebabkan bawahan mendapat imbalan serta membantu bawahannya mengidentifikasikan apa yang harus dilakukan untuk memenuhi hasil yang diharapkan seperti kualitas pengeluaran yang lebih baik, penjualan atau pelayanan yang lebih dari karyawan,


(40)

serta mengurangi biaya produksi. Membantu bawahannya dalam mengidentifikasi yang harus dilakukan pemimpin membawa bawahannya kepada kesadaran tentang konsep diri serta harga diri dari bawahannya tersebut. Pendekatan transaksional menggunakan konsep mencapai tujuan sebagai kerangka kerja.

Seorang pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan transaksional membantu karyawannya dalam meningkatkan motivasi untuk mencapai hasil yang diinginkan dengan dua cara, yang pertama yaitu seorang pemimpin mengenali apa yang harus dilakukan bawahan untuk mencapai hasil yang sudah direncanakan setelah itu pemimpin mengklarifikasikan peran bawahannya kemudian bawahan akan merasa percaya diri dalam melaksanakan pekerjaan yang membutuhkan perannya. Yang kedua adalah pemimpin mengklarifikasi bagaimana pemenuhan kebutuhan dari bawahan akan tertukar dengan penetapan peran untuk mencapai hasil yang sudah disepakati (Bass, 1985).

Gaya kepemimpinan transaksonal juga dijelaskan oleh Thomas (2003) sebagai suatu gaya kepemimpinan yang mendapatkan motivasi para bawahannya dengan menyerukan ketertarikan mereka sendiri.perilaku kepemimpinan terfokus pada hasil dari tugas dan hubungan dari pekerja yang baik dalam pertukaran untuk penghargaan yang diinginkan. Kepemimpinan transaksional mendorong pemimpin untuk menyesuaikan gaya dan perilaku mereka untuk memahami harapan pengikut.

Kepemimpinan transaksional menurut Bycio,dkk (1995) adalah gaya kepemimpinan yang memfokuskan perhatiannya pada transaksi interpersonal antara pemimpin dengan karyawan yang melibatkan hubungan pertukaran. Pertukaran tersebut didasarkan pada kesepakatan mengenai klasifikasi sasaran, standar kerja, penugasan kerja, dan penghargaan.


(41)

Berdasarkan pendapat para ahli dapat ditarik kesimpulan bawa kepemimpinan transaksional adalah kepemimpinan yang melibatkan atau menekankan pada imbalan untuk memotivasi bawahan, artinya gaya kepemimpinan transaksional ini memiliki karakteristik perilaku memotivasi bawahan dengan cara memberi penghargaan yang sesuai (contingen rewar) dan manajemen seperlunya (management by exception).

b. Faktor-faktor Pembentuk Gaya Kepemimpinan Transaksional

Faktor-faktor pembentuk gaya kepemimpinan transaksional menunjuk pada hal-hal yang dilakukan pemimpin dalam penerapannya. Menurut Burns (dalam Yulk, 1994), suatu gaya kepemimpinan memiliki faktor-faktor yang menunjukkan gaya seorang pemimpin dalam memotivasi bawahannya. Upaya memotivasi bawahan agar menjadi efektif dilakukan dengan mempengaruhi bawahan agar bertindak sesuai dengan waktu dan saling kooperatif untuk mencapai tujuan.

Gaya kepemimpinan transaksional menurut Bass et.al (2003) dibentuk oleh faktor-faktor yang berupa imbalan kontingen (contingent reward), manajemen eksepsi aktif (active management by exception), dan manajemen eksepsi pasif (passive management by exception). Faktor-faktor tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : a. Imbalan Kontingen (Contingent Reward)

Faktor ini dimaksudkan bahwa bawahan memperoleh pengarahan dari pemimpin mengenai prosedur pelaksanaan tugas dan target-target yang harus dicapai. Bawaan akan menerima imbalan dari pemimpin sesuai dengan kemampuannya dalam mematuhi prosedur tugas dan keberhasilannya mencapai target-target yang telah ditentukan.


(42)

Faktor ini menjelaskan tingkah laku pemimpin yang selalu melakukan pengawasan secara direktif terhadap bawahannya. Pengawasan direktif yang dimaksud adalah mengawasi proses pelaksanaan tugas bawahan secara langsung. Hal ni bertujuan untuk mengantisipasi dan meminimalkan tingkat kesalahan yang timbul selama proses kerja berlangsung. Seorang pemimpin transaksional tidak segan mengoreksi dan mengevaluasi langsung kinerja bawahan meskipunproses kerja belum selesai. Tindakan tersebut dimaksud agar bawahan mampu bekeja sesuai dengan standar dan prosedur kerja yang telah ditetapkan.

c. Manajemen eksepsi pasif (passive management by exception)

Seorang pemimpin transaksional akan memberikan peringatan dan sanksi kepada bawahannya apabila terjadi kesalahan dalam proses yang dilakukan oleh bawahan yang bersangkutan. Namun apabila proses kerja yang dilaksanaka masih berjalan sesuai standar dan prosedur, maka pemimpin transaksional tidak memberikan evaluasi apapun kepada bawahan.

Faktor-faktor pembentuk gaya kepemimpinan transaksional tersebut digunakan pemimpin untuk memotivasi dan mengarahkan bawahan agar dapat mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Bawahan yang berhasil dalam meyelesaikan pekerjaannya dengan baik akan memperoleh imbalan yang sesuai. Sebaliknya bawahan yang gagal dalam menyelesaikan tugasnya dengan baik akan memperoleh sanksi agar dapat bekerja lebih baik dan meningkatkan mutu kerjanya.


(43)

C. PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL TERHADAP MOTIVASI KERJA BAWAHAN

Kepemimpinan secara langsung maupun tidak langsung mempunyai pengaruh yang positif terhadap peningkatan motivasi kerja bawahannya. Hal ini didukung oleh Sinungan (1987) yang menyatakan bahwa kepemimpinan yang termasuk di dalam lingkungan organisasi merupakan faktor potensi dalam meningkatkan motivasi kerja. Bass (1998) mengemukakan kepemimpinan merupakan suatu proses mengarahkan, mempengaruhi dan mengendalikan aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan seperti halnya mempengaruhi motivasi karyawan untuk mencapai tujuan khusus organisasi.

Seorang pemimpin memiliki cara tersendiri dalam memotivasi karyawannya yang disebut dengan gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpinan mempunyai peran yang penting dalam mempengaruhi cara kerja bawahan. Karena kepemimpinan merupakan kekuatan aspirasional, kekuatan semangat, dan kekuatan moral yang kreatif, yang mampu mempengaruhi para anggota untuk mengubah sikap, sehingga mereka konform dengan keinginan pemimpin (Schaffer, 2008).

Gaya kepemimpinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan motivasi kerja. Karena keberhasilan seorang atasan dalam menggerakkan orang lain untuk mencapai suatu tujuan, tergantung pada bagaimana atasan tersebut menciptakan motivasi didalam diri setiap bawahannya (Rivai, 2004). Memotivasi ini sangat sulit, karena pimpinan sulit untuk mengetahui kebutuhan (needs) dan keinginan (wants) yang diperlukan bawahan dari hasil pekerjaan itu. Orang-orang mau bekerja untuk dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan (fisik dan mental), baik itu kebutuhan yang disadari (conscious needs) maupun kebutuhan yang tidak disadari (unconscious needs)-nya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Arep dan Tanjung (2003) yang


(44)

menyatakan bahwa kepemimpinan sebagai sumber motivasi dalam bekerja sehingga seorang pemimpin diharapkan dapat menguasai atau mempengaruhi serta memotivasi karyawannya.

Bass (1985) mengembangkan gaya kepemimpinan berdasarkan pendapat Maslow mengenai tingkatan kebutuhan manusia. Untuk memenuhi kebutuhan bawahan yang lebih tinggi seperti harga diri dan aktualisasi diri hanya dimungkinkan terpenuhi melalui praktik kepemimpinan transformasional. Sedangkan kebutuhan karyawan yang lebih rendah, seperti kebutuhan fisik, rasa aman, dan afiliasi dapat terpenuhi dengan baik melalui praktik kepemimpinan transaksional. Pemenuhan kebutuhan karyawan tersebut mampu meningkatkan motivasi kerja pada karyawan sehingga dapat mencapi tujuan perusahaan.

Seorang pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan transaksional membantu karyawannya dalam meningkatkan motivasi untuk mencapai hasil yang diinginkan dengan dua cara, yang pertama yaitu seorang pemimpin mengenali apa yang harus dilakukan bawahan untk mencapai hasil yang sudah direncanakan setelah itu pemimpin mengklarifikasikan peran bawahannya kemudian bawahan akan merasa percaya diri dalam melaksanakan pekerjaan ang membutuhkan perannya. Yang kedua adalah pemimpin mengklarifikasi bagaimana pemenuhan kebutuhan dari bawahan akan tertukar dengan penetapan peran untuk mencapai hasil yang sudah disepakati (Bass, 1985).

Pengaruh gaya kepemimpinan transaksional terhadap motivasi juga dijelaskan oleh Thomas (2003) yang mengatakan bahwa gaya kepemimpinan transaksional sebagai suatu gaya kepemimpinan yang mendapatkan motivasi para bawahannya dengan menyerukan ketertarikan mereka sendiri perilaku kepemimpinan terfokus


(45)

penghargaan yang diinginkan. Kepemimpinan transaksional mendorong pemimpin untuk menyesuaikan gaya dan perilaku mereka untuk memahami harapan bawahan.

D. HIPOTESIS PENELITIAN

Dalam penelitian ini diajukan sebuah hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan yang telah dikemukakan. Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

“Pengaruh gaya kepemimpian transaksional terhadap motivasi kerja bawahan”

Apabila penilaian terhadap gaya kepemimpinan transaksional tinggi maka motivasi kerja juga tinggi dan sebaliknya jika penilaian terhadap gaya kepemimpinan transaksional rendah maka motivasi kerja juga akan rendah.


(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Adapun variabel yang terlibat pada penelitian ini antara lain: Variabel Bebas : Gaya Kepemimpinan Tansaksional Variabel Tergantung : Motivasi Kerja

B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN 1. Motivasi Kerja

Motivasi kerja merupakan suatu proses dimana kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan pekerjaan dengan sukarela, kerja keras, antusiasme, tekun, serta mampu menentukan bagaimana arah, durasi, dan intensitas dalam bekerja sehingga tercapainya suatu tujuan tertentu.

Motivasi kerja diukur melalui skala yang disusun berdasarkan teori dua faktor Herzberg (dalam Newstrom dan Davis, 1993), yaitu :

a. Faktor Hygiene, meliputi kebijakan dan administrasi perusahaan, pengawasan, gaji, hubungan dengan atasan, dan kondisi kerja secara fisik.

b. Faktor motivasional, meliputi prestas, penghargaan, tanggung jawab, dan promosi.

Motivasi kerja dapat dilihat dari skor yang diperoleh individu dari skala. Jika semakin tinggi skor motivasi kerja maka karyawan memiliki motivasi kerja yang tinggi. Demikian sebaliknya, jika semakin rendah skor motivasi kerja maka karyawan


(47)

2. Gaya Kepemimpinan Transaksional

Gaya kepemimpinan Transaksional didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan suatu proses pertukaran yang bernilai ekonomis yang menyebabkan karyawan mendapatkan imbalan dari hasil kerja, serta membantu bawahannya mengidentifikasikan apa yang harus dilakukan untuk memenuhi hasil yang diharapkan dan membantu bawahannya dalam mengidentifikasi yang harus dilakukan pemimpin membawa bawahannya kepada kesadaran tentang konsep diri serta harga diri dari bawahannya tersebut.

Gaya kepemimpinan transaksional diukur dengan menggunakan skala yang mengacu pada skala MLQ yang telah dikembangkan oleh Bass dan Avolio (dalam Lieven et al, 1997) yang terdiri dari tiga faktor-faktor pembentuk gaya kepemimpinan transaksional, yaitu :

a. Imbalan Kontingen (Contingent Reward)

b. Manajemen eksepsi aktif (active management by exception). c. Manajemen eksepsi pasif (passive management by exception).

Gaya kepemimpinan dapat dilihat dari skor nilai yang diperoleh individu dari skala tersebut. Jika skor gaya kepemimpinan transaksional tinggi, maka persepsi terhadap pemimipin semakin psotif. Demikian sebaliknya, jika skor gaya kepemimpinan transaksional semakin rendah, maka persepsi terhadap pemimipin semakin negatif.

C. POPULASI, SAMPEL, DAN METODE PENGAMBILAN SAMPEL

Ma sa la h p o p ula si d a n sa m p e l ya ng d ip a ka i d a la m p e ne litia n m e rup a ka n sa la h sa tu fa kto r p e nting ya ng ha rus d ip e rha tika n. Po p ula si a d a la h o b je k, g e ja la a ta u ke ja d ia n ya ng d ise lid iki te rd iri d a ri se m ua ind ivid u untuk sia p a ke nya ta a


(48)

n-ke nya ta a n ya ng d ip e ro le h d a ri sa m p e l p e ne litia n itu a ka n d ig e ne ra lisa sika n (Ha d i, 2002).

Populasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah karyawan pelaksana di PT. Perkebunan Nusantara IV (Persero). Mengingat keterbatasan peneliti untuk menjangkau keseluruhan populasi, maka peneliti hanya meneliti sebagian dari keseluruhan populasi yang dijadikan sebagai subjek penelitian, atau yang dikenal dengan nama sampel.

1. Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Karyawan pelaksana di PT. Perkebunan Nusantara IV (Persero). Menurut Bass (2003), gaya kepemimpinan transaksional sesuai diterapkan pada karyawan-karyawan pada level bawah, seperti karyawan pelaksana.

2 . Te knik Pe ng a m b ila n Sa m p e l

Adapun upaya untuk memperoleh sampel penelitian dalam penelitian ini, digunakan teknik purposive sampling, dimana pemilihan sekelompok subyek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu dari sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 2002).

3. Jumlah Sampel Penelitian


(49)

penelitian adalah 160 orang. Dengan perincian 60 orang untuk uji coba dan 100 orang untuk penelitian..

D. METODE PENGUMPULAN DATA

Alat ukur yang digunakan hendaknya disesuaikan dengan tujuan penelitian dan bentuk data yang akan diambil dan diukur (Hadi, 2002). Data penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode skala.

Skala adalah suatu prosedur pengambilan data yang merupakan suatu alat ukur aspek afektif yang merupakan konstruk atau konsep psikologis yang menggambarkan aspek kepribadian individu (Azwar, 2006). Hadi (2002) mengemukakan bahwa skala psikologis mendasarkan diri pada laporan–laporan pribadi (self report).

1. Skala Motivasi Kerja

Motivasi kerja diukur melalui skala yang disusun berdasarkan teori dua faktor Herzberg (dalam Newstrom dan Davis, 1993), yaitu :

b. Faktor Hygiene, meliputi kebijakan dan administrasi perusahaan, pengawasan, gaji, hubungan dengan atasan dan teman kerja, serta kondisi kerja secara fisik. b. Faktor motivasional, meliputi prestasi, penghargaan, tanggung jawab, dan

promosi.


(50)

Tabel 3 Distribusi Aitem-aitem Skala Motivasi kerja Nomor aitem Dimensi Indikator Favorabel Unfavorabel Total jumlah Faktor Hygiene

1. Kebijakan dan administrasi 2. Pengawasan 3. Gaji

4. Hubungan 5. Kondisi kerja

2, 15, 29

10, 16, 31 11, 27, 34 8, 37, 43 6, 17, 26

23, 32 4, 40 5, 21 28, 33 38, 44 25 Faktor motivasioal 1. Prestasi 2. Penghargaan 3. Tanggung jawab 4. Promosi

1, 22, 35 12, 18, 30 13, 24, 42 3, 20, 36

9, 39 25, 41

7, 19 14, 45

20

Total 27 18 45

Setiap aspek-aspek di atas akan diuraikan ke dalam sejumlah pernyataan

favorabel dan unfavorabel, dimana subjek diberikan lima alternatif pilihan yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Untuk aitem yang favorabel, pilihan SS akan mendapatkan skor empat, pilihan S akan mendapatkan skor tiga, pilihan TS akan mendapatkan skor dua, dan pilihan STS akan mendapatkan skor satu. Sedangkan untuk aitem yang unfavorabel pilihan SS akan


(51)

2. Skala Gaya Kepemimpinan Transaksional

Skala gaya kepemimpinan transaksional di susun berdasarkan skala MLQ yang telah dikembangkan oleh Bass dan Avolio (dalam Lieven et al, 1997) yang terdiri dari tiga faktor-faktor pembentuk gaya kepemimpinan transaksional, yaitu : a. Imbalan Kontingen (Contingent Reward)

Faktor ini dimaksudkan bahwa bawahan memperoleh pengarahan dari pemimpin mengenai prosedur pelaksanaan tugas dan target-target yang harus dicapai. Bawaan akan menerima imbalan dari pemimpin sesuai dengan kemampuannya dalam mematuhi prosedur tugas dan keberhasilannya mencapai target-target yang elah ditentukan.

b. Manajemen eksepsi aktif (active management by exception).

Faktor ini menjelaskan tingkah laku pemimpin yang selalu melakukan pengawasan secara direktif terhadap bawahannya. Pengawasan direktif yang dimaksud adalah mengawasi proses pelaksanaan tugas bawahan secara langsung. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi dan meminimalkan tingkat kesalahan yang timbul selama proses kerja berlangsung. Seorang pemimpin transaksional tidak segan mengoreksi dan mengevaluasi langsung kinerja bawahan meskipun proses kerja belum selesai. Tindakan tersebut dimaksud agar bawahan mampu bekeja sesuai dengan standar dan prosedur kerja yang telah ditetapkan.

c. Manajemen eksepsi pasif (passive management by exception)

Seorang pemimpin transaksional akan memberikan peringatan dan sanksi kepada bawahannya apabila terjadi kesalahan dalam proses yang dilakukan oleh bawahan yang bersangkutan. Namun apabila proses kerja yang dilaksanaka masih


(52)

berjalan sesuai standar dan prosedur, maka pemimpin transaksional tidak memberikan evaluasi apapun kepada bawahan.

Tabel 3 Distribusi Aitem-aitem Skala Gaya Kepemimpinan Transaksional

Nomor Aitem Total

Dimensi

Favorabel Unfavorabel Jumlah

Imbalan Kontingen (Contingent Reward)

1, 7, 13, 19 4, 10, 16

7

Manajemen eksepsi aktif (active management by exception).

2, 8, 14, 20 5, 11, 17 7

Manajemen eksepsi pasif (passive management by exception).

3, 9, 15, 21 6, 12, 18 7

Total 12 9 21

Setiap dimensi-dimensi di atas akan diuraikan ke dalam sejumlah pernyataan

favorabel dan unfavorabel, dimana subjek diberikan lima alternatif pilihan yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S),Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Untuk aitem yang favorabel, pilihan SS akan mendapatkan skor empat, pilihan S akan mendapatkan skor tiga, pilihan TS akan mendapatkan skor dua, dan pilihan STS akan mendapatkan skor satu. Sedangkan untuk aitem yang unfavorabel pilihan SS akan mendapatkan skor satu, pilihan S mendapatkan skor dua, pilihan TS akan mendapatkan skor tiga, dan pilihan STS akan mendapatkan skor empat.


(53)

Tujuan dilakukan uji coba alat ukur adalah untuk melihat seberapa jauh alat ukur dapat mengukur dengan tepat apa yang hendak diukur dan seberapa jauh alat ukur menunjukkan kecermatan pengukuran (Azwar, 2006). Uji coba skala dilakukan dengan menyebarkan skala kepada responden uji coba yang memiliki karakteristik hampir sama dengan karakteristik subjek penelitian. Berdasarkan daya beda item dengan menggunakan koefisien korelasi Pearson Product Moment yang diperoleh melalui analisa data dengan menggunakan SPSS version 12.0 for windows. Item yang memiliki daya beda cukup tinggi akan dihitung reliabilitasnya dengan menggunakan reliabilitas koefisien alpha yang diperoleh melalui analisis data dengan menggunakan

SPSS version 12.0 for windows. Item-item dalam skala yang memiliki daya beda

cukup tinggi dan reliabel akan digunakan untuk mengukur citra toko dan loyalitas konsumen.

1. Uji Validitas

Azwar (2000) mendefinisikan validitas tes atau validitas alat ukur adalah sejauh mana tes itu mengukur apa yang dimaksudkannya untuk diukur, artinya derajat fungsi mengukurnya suatu tes atau derajat kecermatan suatu tes. Untuk mengkaji validitas alat ukur dalam penelitian ini, peneliti melihat alat ukur berdasarkan arah isi yang diukur yang disebut dengan validitas isi (content validity).

Validitas isi menunjukkan sejauh mana item-item yang dilihat dari isinya dapat mengukur apa yang dimaksudkan untuk diukur. Validitas isi alat ukur ditentukan melalui pendapat professional (professional judgement) dalam proses telaah soal sehingga aitem-aitem yang telah dikembangkan memang mengukur (representatif bagi) apa yang dimaksudkan untuk diukur (Suryabrata, 2000).


(54)

2. Uji Daya Beda Item

Setelah melakukan validitas isi kemudian dilanjutkan dengan

melakukan uji daya beda item. Uji daya beda item dilakukan untuk melihat sejauh mana item mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki atribut dengan yang tidak memiliki atribut yang akan diukur (Azwar, 2000). Komputasi ini menghasilkan koefisien korelasi item total yang dapat dilakukan dengan menggunakan formula koefisien korelasi Pearson Product Moment (Azwar, 2000). Uji daya beda item ini akan dilakukan pada alat ukur yang dalam penelitian ini adalah skala citra toko dan loyalitas konsumen. Setiap butir pernyataan pada alat ukur ini akan dikorelasikan dengan skor total alat ukur. Prosedur pengujian ini menggunakan taraf signifikansi 5% (p<0,05).

Besarnya koefisien korelasi aitem total bergerak dari 0 sampai dengan 1,00 dengan nilai positif dan negatif. Semakin baik daya diskriminasi aitem maka koefisien korelasinya semakin mendekati angka 1,00 (Azwar, 2006). Batasan nilai indeks daya beda aitem (

r

iX) dalam penelitian ini adalah 0.3, sehingga setiap aitem yang memiliki

nilai

r

iX≥ 0.3 sajalah yang akan digunakan dalam pengambilan data yang sebenarnya.

3. Uji Reliabilitas Alat Ukur

Pengujian reliabilitas terhadap hasil skala dilakukan bila item-item yang terpilih lewat prosedur analisis item telah dikompilasi menjadi satu. Reliabilitas mengacu kepada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran (Azwar, 2000).

Uji reliabilitas alat ukur ini menggunakan pendekatan konsistensi internal (Cronbach’s alpha coeffecient), yaitu suatu bentuk tes yang hanya memerlukan satu kali


(55)

melihat konsistensi antaritem atau antarbagian dalam skala. Teknik ini dipandang ekonomis dan praktis (Azwar, 2000).

Penghitungan koefisien reliabilitas dalam uji coba dilakukan dengan menggunakan program SPSS version 15.0 For Windows.

F. PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN

Prosedur pelaksanaan penelitian ini adalah:

1. Tahap Persiapan

Pada tahapan ini maka peneliti mempersiapkan alat ukur berupa skala gaya kepemimpinan transaksional sebanyak 21 aitem dan skala motivasi kerja sebanyak 35 aitem yang berupa skala likert. Penentuan item yang layak dijadikan sebagai alat ukur digunakan tekhnik korelasi pearson product moment secara komputerisasi dengan program SPSS for windows 15.0 version.

G. METODE ANALISIS DATA

Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan persepsi bawahan terhadap gaya kepemimpinan (situasional) atasan, maka analisa data yang digunakan adalah korelasi pearson product moment. Menurut Hadi (2000) korelasi pearson product moment dipakai untuk melukiskan hubungan antara dua gejala dengan skala interval.

Keseluruhan analisa data dilakukan dengan menggunakan fasilitas komputerisasi SPSS version 15.0 for windows. Sebelum data-data yang terkumpul dianalisa, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang meliputi:

1. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data penelitian kedua variabel terdistribusi secara normal. Uji normalitas ini dilakukan dengan


(56)

menggunakan uji one-sample kolmogorov-smirnov dengan bantuan SPSS version 13.0 for windows. Data dikatakan terdistribusi normal jika nilai p > 0,05.

2. Uji Linearitas

Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah data penelitian kedua variabel berkorelasi linear. Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan uji F

dengan bantuan SPSS version 13.0 for windows. Kedua variabel dikatakan berkorelasi linear apabila p < 0,05.


(57)

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada Bab ini akan diuraikan mengenai keseluruhan hasil penelitian. Pembahasan akan dimulai dengan memberikan gambaran umum subjek penelitian dilanjutkan dengan hasil utama penelitian dan hasil tambahan penelitian.

A. GAMBARAN SUBJEK PENELITIAN

Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan pelaksana PTP N IV Kebun Adolina. Subjek penelitian berjumlah 100 orang yang dipilih dengan teknik

purposive. Berdasarkan hal tersebut didapatkan gambaran subjek penelitian menurut jenis kelamin, usia, lama bekerja, kategori persepsi mengenai gaya kepemimpinan atasan serta kategori motivasi kerja.

1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan jenis kelamin, penyebaran subjek penelitian dapat dilihat pada tabel 7 berikut ini :

Tabel 7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah (N) Persentase

Perempuan 37 37%

Laki-laki 63 63%


(58)

Berdasarkan gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin pada Tabel 8, dapat dilihat bahwa jumlah subjek perempuan sebanyak 37 orang (37%) dan subjek laki- laki sebanyak 63 orang (63%).

2. Pengelompokkan Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Pengelompokkan subjek berdasarkan usia dilakukan berdasarkan teori Papalia (2004) mengenai tahapan perkembangan manusia. Pengelompokkan subjek berdasarkan usia ini terdiri atas 2 kategori, yaitu: dewasa muda (20-39 tahun), dan dewasa tengah (40-65 tahun) dengan gambaran penyebaran subjek seperti yang terlihat pada tabel 8 berikut ini.

Tabel 8. Gambaran Subjek Berdasarkan Usia

Usia Jumlah (N) Presentase

20-39 43 43% 40-65 57 57% TOTAL 100 100%

Berdasarkan data pada tabel 9 di atas dapat dilihat bahwa subjek dewasa muda sebanyak 43 orang (43%) dan subjek dewasa tengah sebanyak 57 orang (57%).

3. Gambaran Subjek Peelitian Berdasarkan Masa Kerja

Berdasarkan masa kerja, penyebaran subjek penelitian dapat dilihat pada tabel 9 berikut ini :


(59)

1-10 tahun 6 6%

11-20 tahun 59 59%

21-35 tahun 35 35%

TOTAL 100 100%

Berdasarkan pada tabel 9 jumlah subjek terbanyak memiliki masa kerja 11-20 tahun sebanyak 59 orang (59%), 35 orang (35%) subjek penelitian berusia 21-35 tahun, serta sebanyak 6 orang (6%) memiliki masa kerja 1-10 tahun.

4. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Berdasarkan tingkat pendidikan , penyebaran subjek penelitian dapat dilihat pada tabel 10 berikut ini :

Tabel 10. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Usia Jumlah (N) Persentase

SMP 20 20%

SMA/ sederajat 71 71%

Diploma III 3 3%

Strata I 6 6%

TOTAL 100 100%

Berdasarkan data pada tabel 10, jumlah subjek terbanyak adalah pada tingkat pendidikan SMA/ sederajat yaitu 71 orang (71%), tingkat pendidikan SMP adalah 20 orang (20%), tingkat pendidikan Strata I yaitu sebanyak 6 orang (6%), dan yang


(60)

paling sedikit adalah subjek dengan tingkat pendidikan Diploma III, yaitu sebanyak 3 orang (3%).

B. HA SIL PENELITIA N

Berikut ini akan dipaparkan hasil uji asumsi yang meliputi uji normalitas sebaran dan uji linieritas, hasil utama penelitian pengaruh gaya kepemimpinan transaksional terhadap motivasi kerja, kategorisasi data penelitian, hasil tambahan dan pembahasan.

1 . Ha sil Uji A sum si Pe ne litia n

Se b e lum a na lisa d a ta d ila kuka n, a d a b e b e ra p a sya ra t ya ng ha rus d ila kuka n te rle b ih d a hulu, ya itu uji a sumsi no rm a lita s se b a ra n p a d a ke d ua va ria b e l p e ne litia n, b a ik p a d a va ria b e l g a ya ke p e m im p ina n tra nsa ksio na l m a up un p a d a m o tiva si ke rja . Se la in itu jug a d ila kuka n uji linie rita s p a d a va ria b e l-va ria b e l p e ne litia n te rse b ut untuk m e ng e ta hui line a r a ta u tid a knya hub ung a n a nta ra va ria b e l g a ya ke p e m im p ina n tra nsa ksio na l d e ng a n m o tiva si ke rja . Uji a sum si te rse b ut d ila kuka n d e ng a n b a ntua n

SPSS ve rsio n 16.0 fo r Windo ws.

a . Uji no rm a lita s se b a ra n

Uji normalitas sebaran dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi data penelitian terdistribusi secara normal. Uji normalitas sebaran menggunakan uji

Kolmogorov-Smirnov satu sampel. Kaidah yang digunakan yaitu jika p > 0,05 maka sebaran data normal, sedangkan jika p < 0,05 maka sebaran data tidak normal. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada Tabel 11 berikut.


(61)

Tabel 11 . Hasil Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

GK MK

N 100 100

Mean 73.67 113.25

Normal Parameters(a,b)

Std. Deviation 11.936 21.446

Absolute .116 .118

Positive .116 .092

Most Extreme

Differences

Negative -.102 -.118

Kolmogorov-Smirnov Z 1.159 1.184

Asymp. Sig. (2-tailed) .136 .121

a Test distribution is Normal.

b Calculated from data.

Dari hasil uji normalitas diperoleh nilai Z gaya kepemimpinan transaksional = 1.159 dengan nilai p=0.136 sehingga dapat dikatakan penelitian pada variabel gaya kepemimpinan transaksional terdistribusi normal. Pada variabel motivasi kerja nilai Z motivasi kerja= 1.184 dengan nilai p=0.121 karena itu data penelitian variabel motivasi kerja dapat dikatakan terdistribusi normal. Variabel-variabel pada tabel di atas memiliki nilai probabilitas (p) > 0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa persyaratan normalitas sudah terpenuhi.

b . Uji linie rita s

Uji linieritas digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel gaya kepemimpinan transaksional dengan variabel motivasi kerja, apakah data variabel gaya kepemimpinan transaksional berkorelasi linear dengan variabel motivasi kerja. Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan uji F. Kaidah yang digunakan untuk


(62)

mengetahui linier atau tidak hubungan antara kedua variabel penelitian jika p<0.05 maka hubungan kedua variabel dinyatakan linier. Sebaliknya jika p> 0.05 maka hubungan kedua variabel tidak linier. Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 12 berikut ini :

Tabel 12. Hasil uji linieritas

Variabel F P Keterangan

GK*MK 56.123 .000 Linier

Dari hasil uji linearitas antara gaya kepemimpinan transaksional dengan motivasi kerja diperoleh nilai F=56.123 dan p=0.000, maka dapat disimpulkan bahwa kedua variabel memiliki hubungan linier.

Selain itu, uji linearitas juga dapat dilakukan dengan menggunakan diagram pencar sebagai berikut.


(1)

Kuntjoro,Z.S.(2002). Komitmen Organisasi.http//www.e psikologi.com/masalah/250702.html (online: 25 April 2009)

Lako, A. (2004). Kepemimpinan dan Kinerja Organisasi. Yogyakarta : Amara Books

Locke, E. A. (1997). Esensi kepemimpinan (terjemahan). Jakarta : Mitra Utama

Mathis, Robert, L., & Jackson, John, H. (2001). Manajemen Sumber Daya Manusia (Buku 1), Jakarta : Penerbit Salemba Empat

Miner, J.B. (1998). Industrial Organization Psychology. Singapore : Mc Graw Hill co

Moenir, A.S. (1988). Kepemimpinan Kerja. Jakarta: Bina Aksara.

Muchiri, MK. (2002). An Inquiry Into the Effects of Transformasional and Transaction al Leadership Behavioris on the Subordinate Organizational Citizenship Behaviors and Organizational Workshop. Jurnal Psikodinamika., 4, 1,1-19


(2)

Munandar, A.S. (2001). Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia

Oktorita, Y., Rosyid, H. F., & Lestari, A. (2001). Hubungan antara Sikap terhadap Penerapan Program K3 dengan Komitmen Karyawan pada Perusahaan. Jurnal Psikologi Universitas Gaja Mada, 2, 116-132.

Pawar, B.S., and Easman, K.K. 1997. The Nature and Implication of Contextual Influences on Transactional Leadership: A Conceptual Examination. Academy of Management Review, 22, 1, 80-109.

Panggabean, Mutiara (2002). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia

Pfeffer, J. 1996. Keunggulan Bersaing Melalui Manusia (Terjemahan) Jakarta :Binapura Aksara

Pfeffer, J. 1998. The Human Equation : Building Profit by Pouting People first. HBS Press


(3)

Prajogo, W. (2003). Pengaruh Kepemimpinan Transaksional-Transformasional Pada Modal Sosial Anggota Organisasi, Kinerja 7, 2, 129-140.

Purwanto, J. 2000. Hubungan antara gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional dengan komitmen trahadap organisasi. Tesis. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, tidak diterbitkan

Peter, L., & John, C., (2004). The Effect of Organizational Culture and Leadership Style on Job Satisfaction and Organizational Commitment. The Journal of Management Development , 23 , 321-337

Robbins, S. P. (1998). Organizational behavior: Concepts, Controversies, applications (8th ed). Upper Sadlle River, NJ: Prentice-Hall

Robbins, S.P. (2001). Organizational Behavior (9th ed).upper Sadlle River, NJ: Prentice-Hall

Rodman. (2005). Importance of Organizational Behavior, Affect on Company. http://www. Albany (online: 25 April 2009)


(4)

Seniati, L.(2006). Pengaruh Masa Kerja, Trait Kepribadian, Kepuasan Kerj, dan Iklim Psikologis Terhadap Komitmen Dosen Pada Universitas Indonesia, Makara, Sosial Humaniora, 1, 10, 88-97.

Jewell & Siegall

Sutan, A. (2006). Market Diharapkan Naikkan Market Value. Suara Merdeka. http://www. Suara merdeka. Com/cybernews/harian/0611/03/dar2 htm. (online: 25 April 2009)

Smith, P.M., (2003). Mengembangkan Tanggung Jawab dan Mengambil Pilihan Yang Tepat. Jakarta : Penerbit Mitra Utama

Sani

Steers, R.M., & Porter, L.W., (1987). Motivation and Work Behavior. USA: McGraw-Hill inc.

Steers, R. M., Ongson, G. R., & Mowday, R. T. (1985). Managing effective organizations: an introduction. Boston : Kent Publishing.


(5)

Sudjiwanati. (2008). Kepemimpinan Transformasional dan Komitmen Kerja Karyawan. http//fpsikologi.wishnuwardana.ac.id (online: 25 April, 2009)

Suryabrata, S., (2000). Pengembangan Alat ukur psikologis. Penerbit Andi: Yogyakarta

Tondok, M.S., Andarika, R. (2004). Hubungan Antara Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional dengan Kepuasan Kerja Karyawan, Jurnal Psycehe, 1, 1, 3-5.

Thoha, M (1996). Prilaku Organisasi,Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada

Winahyu, L. (2007). Perbedaan Persepsi Terhadap Gaya Kepemimpinan Atasan Berdasarkan Komitmen pada Organisasi. Jurnal Psikologi Universitas Tarumanegara, 9, 2, 138-139.

Wood, W.Z., Schermerhon, R. J., Hunt, J. G., & Osborn, R. N. (2001). Organisasional behavior: A global perspective (2nd ed.). New York: John Wiley & Sons


(6)

Oktorita, dkk. (2001). Hubungan Antara Sikap Terhadap Penerapan Program K3 dengan Komitmen Karyawan pada Perusahaan. Jurnal Psikologi. 2,116-132

Yukl, Gary, A. (1998). Leadership in Organization. Second Edition. Englewood Clifs,New Jersey: Prentice-Hall, Inc.


Dokumen yang terkait

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL DAN TRANSFORMASIONAL TERHADAP KEPUASAN KERJA KARYAWAN PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL DAN TRANSFORMASIONAL TERHADAP KEPUASAN KERJA KARYAWAN PADA PROYEK KONSTRUKSI.

0 8 13

PENDAHULUAN PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL DAN TRANSFORMASIONAL TERHADAP KEPUASAN KERJA KARYAWAN PADA PROYEK KONSTRUKSI.

0 7 4

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL DAN GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DENGAN KEPUASAN PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL DAN GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DENGAN KEPUASAN KERJA KARYAWAN PT. MADU BARU YOGYAKARTA.

0 4 17

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN GAYA KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL TERHADAP PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN GAYA KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL TERHADAP PRODUKTIVITAS KARYAWAN DENGAN MOTIVASI SEBAGAI INTERVENING VARIABEL (Studi P

0 2 13

PENGARUH LINGKUNGAN KERJA KOMPENSASI GAYA KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN Pengaruh Lingkungan Kerja Kompensasi Gaya Kepemimpinan Dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan.

0 3 12

PENGARUH MOTIVASI KERJA DAN GAYA KEPEMIMPINAN TERHADAP KEPUASAN KERJA KARYAWAN Pengaruh Motivasi Kerja Dan Gaya Kepemimpinan Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan Pt Deltomed Di Wonogiri.

0 2 17

PENGARUH MOTIVASI KERJA DAN GAYA KEPEMIMPINAN TERHADAP KEPUASAN KERJA KARYAWAN Pengaruh Motivasi Kerja Dan Gaya Kepemimpinan Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan Pt Deltomed Di Wonogiri.

0 1 15

Kata kunci: gaya kepemimpinan transformasional, gaya kepemimpinan transaksional, kepuasan kerja 1. PENDAHULUAN - PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN TRANSAKSIONAL TERHADAP KEPUASAN KERJA KARYAWAN (STUDI PADA AGEN FINANCIAL CONSULTANT PT. AXA F

0 0 8

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL, TRANSAKSIONAL, KEPUASAN KERJA TERHADAP OCB KARYAWAN PT.KONSTRINDO PUTERA PERKASA

0 0 12

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL, KOMITMEN AFEKTIF, MOTIVASI DAN DISIPLIN KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN CAFE DI PURWOKERTO

0 0 16