statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa
status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis
bagi anak dan ibunya. 2.
Ketidakjelasan status anak dimuka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja suatu
waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya.
3. Anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan dari
ayahnya. 4.
Anak tidak berhak atas nafkah dari ayahnya. 5.
Anak tidak berhak atas warisan dari ayahnya jika ayahnya meninggal dunia.
109
G. Nikah di Bawah Tangan Perspektif Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Dari sudut pandang hukum yang berlaku di Indonesia, Nikah di Bawah Tangan merupakan perkawinan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No.11974 Jo. Pasal 4 dan Pasal 5 ayat 1 dan 2
KHI, suatu perkawinan di samping harus dilakukan secara sah menurut hukum agama, juga harus dicatat oleh pejabat yang berwenang. Dengan demikian,
109
Umurahmi, “Nikah Sirri dan Akibat Hukumnya”, artikel diakses pada tanggal 10 juli 2015 http:wordpress.com20090620.
dalam perspektif peraturan perundang-undangan, Nikah di Bawah Tangan adalah pernikahan yang tidak mempunyai kekuatan hukum.
Istilah “Nikah di Bawah Tangan” muncul setelah adanya Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berlaku secara efektif. Nikah
di bawah tangan pada dasarnya adalah kebalikan dari nikah yang dilakukan menurut hukum. Dan nikah menurut hukum adalah yang diatur dalam
Undang-Undang Perkawinan. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa ketidak sah-an perkawinan di bawah tangan, karena lebih
banyak mudharatnya. Dengan demikian nikah di bawah tangan dianggap liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum, berupa pengakuan dan perlindungan
hukum. Sistem hukum di Indonesia tidak mengenal istilah “Nikah di Bawah
Tangan” dan semacamnya serta tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan
yang tidak tercatat dan dianggap tidak dilakukan karena tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan
perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 2 ayat 2 yang menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
110
Pencatatan merupakan peristiwa yang menentukan sahnya suatu perkawinan, bahwa perkawinan itu memang ada dan terjadi. Sedangkan
110
Arso Sosroatmodjoda Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, h. 52.
sahnya suatu perkawinan, Undang-Undang Perkawinan dengan tegas menyatakan pada pasal 2 ayat 1 bahwa:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya
itu”.
111
Untuk melaksanakan pencacatan perkawinan, pasal 2 Peraturan Pemerintah PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang perkawinan menetapkan bagi mereka yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk. Sedangkan bagi mereka yang tidak beragama Islam Non-Muslim
dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.
112
Menurut Ahmad Rafiq, pencatatan perkawinan bagi sebagian masyarakat tampak masih perlu disosialisasikan. Boleh jadi hal ini masih
menganut pemahaman pada kitab-kitab fiqih yang hampir tidak dibicarakan, namun apabila kita coba perhatikan pada surah Al-Baqarah ayat 282 yang
mengisyaratkan bahwa dalam ayat tersebut redaksinya dengan tegas menggambarkan bahwa pencatatan didahulukan dari pada kesaksian.
Realisasi pencatatan itu akan melahirkan akta nikah yang masing- masing dimiliki oleh suami dan istri serta salinannya. Akta nikah tersebut
dapat digunakan masing-masing pihak bila ada yang merasa dirugikan dan
111
O.S. Eoh, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, h. 98-99.
112
Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Islam di Indonesia, Serang: Saudara Serang, 1995, hlm. 27.
adanya ikatan perkawinan itu untuk mendapatkan haknya serta membantu keabsahan suatu perkawinan.
113
Adapun dampak dari perkawinan yang tidak tercatat adalah:
1. Suami dan istri tidak mempunyai akta nikah sebagai bukti mereka
telah menikah secara sah menurut agama dan negara. 2.
Anak-anak tidak memperoleh akta kelahiran. 3.
Anak-anak tidak dapat mewarisi harta orang tuanya.
114
Pencatatan Perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan karena pencatatan perkawinan merupakan suatu syarat sah dan tidaknya
perkawinan oleh negara, begitu pula sebagai akibat yang timbul dari perkawinan tersebut.
115
Dimana fungsi dan kegunaan pencatatan perkawinan adalah untuk memberikan jaminan hukum terhadap perkawinan yang
dilakukan, bahwa perkawinan itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, berdasarkan i
‟tikad yang baik, serta suami sebagai pihak yang melakukan transaksi benar-benar akan menjalankan segala konsekuensinya atau akibat
hukum dari perkawinan yang dilaksanakan itu.
116
Tujuan utama pencatatan nikah ini adalah untuk memperoleh bukti otentik dari suatu perkawinan yang akan melegitimasi perkawinan tersebut.
113
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, h. 26.
114
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, h. 51.
115
Saidus Sahar, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya, Jakarta: Alumni, 1981, h. 108.
116
Yayan Sopyan, Islam dan Negara: Suatu Transformasi Hukum Islam dalm Hukum Nasional, h. 131.
Dengan adanya suatu bukti tersebut maka dapatlah dibenarkan ataupun dicegah suatu perbuatan lain. Dengan demikian pencatatan perkawinan selain
berfungsi untuk menjaga ketertiban juga untuk menjaga kepastian hukum.
117
Selain itu juga merupakan suatu upaya yang diwujudkan perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, lebih khusus lagi untuk
melindungi hak-hak perempuan dalam kehidupan berumah tangga.
118
Lembaga perkawinan bukan saja merupakan syarat administratif yang substansinya bertujuan untuk mewujudkan ketertiban umum, namun ia juga
mempunyai cakupan manfaat bagi kepentingan dan kelangsungan suatu perkawinan.
119
Lebih jelas manfaatnya pencatatan perkawinan antara lain sebagai berikut:
a. Mendapatkan perlindungan hukum.
b. Memudahkan urusan perbuatan hukum lain yang terkait dengan
pernikahan.
c. Legalitas formal pernikahan dihadapan hukum.
120
117
Rusdi Malik, Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 41
118
Hujaemah Tahido Yanggo, Perkawinan Yang Tidak Dicatat Pemerintah, Jakarta: GTZ dan GG PAS, 2007, h. 17.
119
Yayan Sopyan, Islam dan Negara: Suatu Transformasi Hukum Islam dalm Hukum Nasional, h. 134.
120
Jiah Mubarok, Modernisasi Hukum Islam, Bandung: Pustaka Bani Quraysi, 2005, h. 70.
H.
Nikah di Bawah Tangan Perspektif Hukum Islam
Dalam hukum Islam fiqih tidak disebutkan secara rinci atau tersurat bahwa pencatatan perkawinan merupakan salah satu syarat sahnya
perkawinan, tetapi hanya menyebutkan ketentuan umum bagi syarat sahnya perkawinan, yaitu adanya calon mempelai laki-laki dan mempelai perempuan,
adanya dua orang saksi, adanya wali, adanya shigat ijab-kabul dan mahar. Walaupun demikian, bukan berarti hukum Islam menafikan adanya pencatatan
perkawinan karena pencatatan tersebut mendatangkan kemaslahatan bagi pasangan suami istri.
Menurut hukum Islam pencatatan perkawinan dapat dipandang sebagai masalah darurat. Ketentuan umum bagi sahnya suatu perkawinan yang telah
disebutkan diatas adalah hasil ijtihad karena tidak disebutkan dalam al- qur‟an
dan hadist. Hukum berdasarkan ijtihad dapat berubah sesuai dengan kondisi, selama perubahan tersebut tidak bertentangan dengan al-
qur‟an dan hadist atau maqashid syari’ah berdasarkan kaidah ushul fiqih.
121
Yaitu:
ت غ ي ر
لا ح
ك ما
ب ت غ
ي لا
ح و لا
و لا
ز م ة
Artinya: “Hukum dapat berubah disebabkan perubahan keadaan dan
zaman”. Perbedaan pendapat ulama Mazhab dalam mendefinisikan nikah sirri
atau nikah di bawah tangan mempengaruhi pandangan mereka dalam menentukan
status hukumnya.
Imam Malik
menjelaskan dalam
121
Hujaemah Tahido Yanggo, Fiqih Perempuan Kotemporer, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010, h. 128.
terminologinya tentang nikah sirri sebagai nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk istrinya atau jama‟ahnya sekalipun keluarganya.
Imam Malik tidak membolehkan nikah sirri, nikahnya dapat dibatalkan dan kedua pelakunya bisa dikenakan had derarajam, jika telah terjadi hubungan
seksual antara keduanya dan diakui atau dengan kesaksian empat orang saksi.
122
Dengan demikian menurut Imam Malik menggunakan dalil berikut:
أ ع ل
و لا ا
ك حا
و ضا
ر ب و
ع ا ل ي
ب ل غ
ر ب
Artinya: “Beritahukanlah umumkan akad nikah itu dan untuknya
tabuhlah gendang”.
123
HR. At-Tirmizi dan Aisyah. Imam Abu Hanifah dan
Imam Syafi’i juga tidak membolehkan nikah sirri, mereka sepakat bahwa nikah sirri dalam terminologi fiqih, nikah sirri
adalah pelaksanaan akad nikah yang tidak disahkan oleh saksi, atau disaksikan oleh saksi yang persyaratannya tidak cukup atau tidak sesuai dengan yang
telah disepakati jumhur fuqaha. Pendapat ulama Mazhab Hambali, nikah yang telah dilangsungkan menurut ketentuan syari‟at Islam adalah sah, meskipun
dirahasiakan oleh kedua mempelai, wali, dan para saksinya, hanya saja hukumnya makruh. Masalah kriteria saksi yang menjadi standar bagi Imam
Asy- safi‟i dan Imam Abu Hanifah dalam menentukan status sirri juga
semakin mempertegas bahwa dalam mekanisme dari pihak suami, wali, saksi,
122
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqih Al-Islami Wa Adilatuhu, Damaskus: Dar Al-Fikr, 1989, Juz VII, h. 7
123
Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, h. 378.
tetapi juga kompetensi dari pihak saksi itu sendiri untuk mempublikasikannya sehingga nikah tersebut tidak lagi dianggap sebagai nikah sirri.
124
Status hukum dari nikah di bawah tangan dalam hokum bernegara jelas sebagai nikah yang bermasalah. Meskipun dalam redaksinya berbeda, tetapi
prinsip yang mereka bangun adalah sama, yaitu masalah penting sebuah perkawinan yang mempunyai dampak rentan di masyarakat. Menurut hemat
penulis baik dari segi hukum Islam maupun dari segi hukum positif, bahwa sahnya suatu akad nikah itu apabila telah dilangsungkan menurut hukum
ketentuan syari‟at Islam, dihadapan PPN dan dicatat oleh petugas PPN. Oleh karena itu, nikah yang tidak ada saksi dalam hukum Islam tidak disahkan,
karena hal tersebut akan menimbulkan fitnah bagi orang yang melakukan perkawinan tersebut. Sebab menurut para pakar ahli hukum, pencatatan
pernikahan memiliki dua konsekunsi. Yaitu pertama, bahwa pencatatan perkawinan sebagai syarat administratif sebagai warga negara yang patuh
terhadap hukum dan yang kedua bahwa pencatatan perkawinan merupakan syarat keabsahan dalam perkawinan.
Pada sisi lain, jika terjadi suatu pernikahan dan dihadiri saksi namun tidak dicatatkan maka sah nikah tersebut secara agama namun status
pernikahan tersebut tidak sah menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku di Indonesia.
Sebagaimana firman Allah pada surah An-Nissa ayat 58:
124
Imam Abi Abdillah bin Idris Asy- safi‟i, Al-Ulum, Beirut: Daar Al-Kutub Al-
Islamiyah, 1993, Juz V, h. 35-36.
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesu
ngguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat” QS. An- Nissa: 58.
Perintah Al- Qur‟an ini sangat positif, karena mendidik manusia untuk
menciptakan masyarakat yang sadar dan taat hukum agama dan hukum negara. Dan diharapkan kepada masyarakat agar didalam melangsungkan
perkawinan tidak hanya mementingkan aspek fiqih saja, tetapi perlu dipikirkan juga aspek keperdataannya secara seimbang demi terwujudnya
ketertiban dan keadilan. Kehidupan modern seperti saat ini menuntut adanya ketertiban dalam
berbagai hal, antara lain mengenai masalah pencatatan perkawinan. Sehingga pencatatan perkawinan ini kemudian menjadi hal yang sangat penting.
Apabila hal ini tidak mendapat perhatian maka akan muncul kekacauan dalam kehidupan rumah tangga bahkan masyarakat, mengingat jumlah manusia yang
sangat banyak dan permasalahan kehidupan semakin kompleks. Mengetahui hubungan perkawinan seseorang dengan pasangannya mungkin akan sulit
apabila perkawinan itu tidak tercatat. Terutama apabila terjadi sengketa, antara lain mengenai sah atau tidaknya anak yang dilahirkan, hak dan
kewajiban keduanya sebagai suami isteri. Bahkan dengan tidak tercatatnya
hubungan suami istri itu sangat mungkin salah satu pihak berpaling dari tanggung jawab dan menyangkal hubungan suami istri.
125
Pada dasarnya Islam tidak mewajibkan adanya pencatatan perkawinan, namun dilihat dari segi manfaatnya pencatatan perkawinan sangat diperlukan.
Karena pencatatan perkawinan dapat dijadikan alat bukti otentik agar seseorang mendapatkan kepastian hukum.
126
Hal ini sejalan dengan ajaran agama Islam sebagaimana termaktub dalam Al-
Qur‟an surah Al-baqarah ayat 282 yang menyatakan tentang segala sesuatu bermu‟amalah hendaklah kamu
menuliskannya. Yaitu:
..........
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya
. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
125
Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995, h. 30.
126
Hasan M. Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003, Cet ke-1, h. 123
menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan apa yang akan ditulis itu, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah keadaannya atau Dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
di antaramu. jika tak ada dua oang lelaki, Maka boleh seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan
memberi keterangan apabila mereka dipanggil.....” QS. Al-Baqarah [2] : 282.
Kemudian mencari illat yang sama-sama terkandung dalam akad nikah dan mu‟amalah tentang adanya kemudharatan atau kemafsadatan apabila tidak
ada alat bukti yang tertulis. Hal ini sejalan dengan Qaidah fiqhiyah:
ح لا ص م لا ب ل ج ن م ل و أ د سا ف م لا ء ر د
Artinya: “Menolak kemudharatan lebih didahulukan dari pada memperoleh kemaslahatan”.
127
Jadi qiyas disini dapat dilakukan, untuk mengatakan bahwa pencatatan nikah hukumnya wajib sebagaimana dilakukan ketika bermu‟amalah. Dengan
alat bukti ini, pasangan suami istri dapat terhindar dari mudharat dikemudian hari karena bukti tertulis dapat memproses secara hukum berbagai persoalan
rumah tangga sebagai bukti yang sangat shohih otentik di pengadilam agama.
128
127
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyah Dalam Perspektif Fiqih, Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya Dengan Aglo Media, 2004, cet ke-1, h. 148.
128
Happy Susanto, Nikah Sirri Apa Untungnya??, Jakarta: Visimedia, 2007, h. 57.
Ketentuan pencatatan perkawinan yang tujuannya untuk ketertiban, kepastian hukum jika dikaji dengan menggunakan teori maslahah dan
maqasid syari‟ah Al-Syathibi, dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bahwa ketertiban adalah sebuah keniscayaan, karena Allah SWT
menciptakan dan mengelola alam ini dengan penuh keteraturan, keseimbangan, keserasian, kedisiplinan serta perhitungan yang sangat
detail. Begitu juga dengan perkawinan merupakan sistem yang teratur sebagai wadah bagi fitrah dua jenis manusia yang berbeda jenis kelamin
dan berpasangan untuk membina keluarga bahagia oleh karena itu pencatatan perkawinan telah sesuai dengan semangat ajaran Agama
Islam. 2.
Bahwa ketentuan pencatatan perkawinan tidak ditunjukan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam teks-teks suci al-Quran dan al-
Sunnah, Islam dalam praktek kenabian tidak mengenal itu, sehingga sudah tepat mengkaji permasalahan ini dengan teori maslahah dan
maqasid syari‟ah karena salah satu kriteria dari teori maslahat adalah
tidak adanya dalil khusus yang menunjukannya. 3.
Bahwa di zaman sekarang dengan jumlah penduduk yang semakin banyak, pendataan berupa pencatatan kependudukan baik itu kelahiran,
perkawinan, perceraian, kematian dan lain-lain, mutlak diperlukan. Karena jika tidak dilakukan akan menimbulkan ketidakteraturan dan
ketidaktertiban dalam kehidupan bermasyarakat, yang pada akhirnya akan
menimbulkan penyelundupan hukum, dengan demikian ketentuan pencatatan perkawinan sejalan dengan maqasid syari‟ah.
4. Bahwa dengan tidak dilakukannya pencatatan perkawinan, maka
perlindungan terhadap hak-hak anggota keluarga suami, isteri dan anak baik berupa hak atas harta, status perkawinan atau pun hak atas identitas
diri,
129
tidak bisa diperoleh, sehingga tujuan perkawinan untuk ketentraman tidak terpenuhi, hal itu berarti tujuan primer ad-Dharury,
berupa hifdz al-nasl memelihara keturunankehormatan dan hifdz al-mal memelihara harta tidak tercapai. Dengan demikian pencatatan
perkawinan jelas menolak kemadharatankerugian bagi anggota keluarga dan memberikan manfaat berupa perlindungan hukum atas hak seseorang.
5. Bahwa pencatatan perkawinan telah memberikan kemaslahatankeadilan
sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia secara umum tidak terbatas pada pribadi, agama atau golongan tertentu, oleh karena itu yang ditegakan
adalah kemaslahatan umum bukan kemaslahatan individu. Hal itu sejalan dengan kaidah fiqh:
ةحلصملا ةماعلا
ةمدقم ىلع
ةحلصملا ةصاخلا
”Kemaslahatan umum publik harus didahulukan da
ripada kemaslahatan individu”.
130
6. Bahwa secara normatif undang-undang perkawinan telah mewujudkan
prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan telah menampung segala kenyataan yang hidup dalam
masyarakat serta telah mempertimbangkan Hukum Agama Kepercayaan
129
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan, Pasal 5, Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, Lembaran Negara, Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109.
130
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis, Cetakan ke-3, Jakarta, Kencana, 2010, h. 11
dalam masyarakat, oleh karena itu seharusnya pelaksanaan ketentuan pencatatan perkawinan itu menghilangkan kesulitan masyarakat seperti
terjaminnya hak-hak anggota keluarga, sebaliknya tidak boleh menyulitkan masyarakat, baik dari segi biaya, waktu pengurusan,
persyaratan dan lain-lain. Karena jika dalam prakteknya untuk sebagian masyarakat ternyata justru menimbulkan kesulitan, karena biaya tinggi
misalnya atau karena jauhnya lokasi atau karena halangan hukum al- man‟i lain yang tidak bisa dihindarkan, maka harus ada ketentuan
alternatif lain, sehingga adanya ketentuan itu tidak merugikan masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, nampak bahwa persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam teori al-maslahah al-mursalah terkait penetapan
hukum pencatatan perkawinan telah terpenuhi, yakni telah sejalan dan tida
k bertentangan dengan maqasid syari‟ah, dengan demikian dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pencatatan perkawinan adalah wajib
hukumnya bagi masyarakat muslim Indonesia. Wajib dalam hukum Islam termasuk kajian hukum taklifi,
131
dan mengandung arti perintah Allah kepada hamba untuk mengerjakan sesuatu disertai dengan daya ikat yang
berupa ancaman bagi yang meninggalkannya. Salah satu cara yang efektif agar pencatatan perkawinan ditaati adalah dengan memasukannya sebagai
rukun nikah, yang menentukan keabsahan perkawinan, namun untuk itu
131
Hukum taklifi adalah tuntutan dari Allah kepada hamba untuk mengerjakan sesuatu, meninggalkan sesuatu, atau pilihan antara mengerjakan dan meninggalkan
sesuatu.Jaih Mubarok, op. cit. h. 37.
perlu kajian lebih mendalam, karena rukun termasuk kajian hukum wad‟i.
132
132
Hukum wad’i adalah perintah Allah yang berkaitan dengan penetapan sesuatu
sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi yang lain. Ibid, h. 51.
89
BAB III PROFIL KUA KEC. TEGALWARU
KARAWANG JAWA BARAT
A. Kondisi Umum.
Kantor Urusan Agama KUA merupakan bagian dari sistem Kementerian Agama. Sedangkan Kementerian Agama mempunyai tugas
yaitu menyelenggarakan sebagian tugas umum pemerintah dan pembangunan di bidang Agama. Kantor Urusan Agama merupakan bagian dari unsur
pelaksana sebagian tugas Kementerian Agama yang berhubungan langsung dengan masyarakat di wilayah Kecamatan. Sebagaimana ditegaskan dalam
Keputusan Menteri Agama Nomor : 571 Tahun 2001, bahwa Kantor Urusan Agama bertugas melaksanakan sebagian tugas Kantor Kementerian Agama
KabupatenKota di bidang Urusan Agama. Kantor Urusan Agama KUA adalah unit kerja terdepan Kementrian
Agama yang melaksanakan sebagian tugas pemerintah di bidang agama islam, di wilayah kecamatan PMA No. 112007 dikatakan sebagai unit kerja
terdepan, karena KUA secara langsung berhadapan dengan masyarakat. karena itu wajar bila keberadaan KUA di nilai sangat urgen seiring keberadaan
Kementrian Agama. Fakta sejarah juga menunjukan kelahiran KUA hanya berselang sepuluh bulan dari kelahiran Departemen agama, tepatnya tanggal
21 Nopember 1946. Sekali lagi, menunjukan peran KUA sangat strategis, bila di lihat dari keberadaannya yang bersentuhan langsung dengan masyarakat,