statusnya  dianggap  sebagai  anak  luar  nikah,  sehingga  hanya dicantumkan  nama  ibu  yang  melahirkannya.  Keterangan  berupa
status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan  berdampak  sangat  mendalam  secara  sosial  dan  psikologis
bagi anak dan ibunya. 2.
Ketidakjelasan  status  anak  dimuka  hukum,  mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja suatu
waktu  ayahnya  menyangkal  bahwa  anak  tersebut  adalah  anak kandungnya.
3. Anak  tidak  berhak  atas  biaya  kehidupan  dan  pendidikan  dari
ayahnya. 4.
Anak tidak berhak atas nafkah dari ayahnya. 5.
Anak  tidak  berhak  atas  warisan  dari  ayahnya  jika  ayahnya meninggal dunia.
109
G. Nikah di Bawah Tangan Perspektif Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Dari sudut pandang hukum yang berlaku di Indonesia, Nikah di Bawah Tangan  merupakan perkawinan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan  yang  berlaku.  Berdasarkan  ketentuan  Pasal  2  ayat  1 dan  2  Undang-Undang  No.11974  Jo.  Pasal  4  dan  Pasal  5  ayat  1  dan  2
KHI, suatu perkawinan di samping harus dilakukan secara sah menurut hukum agama,  juga  harus  dicatat  oleh  pejabat  yang  berwenang.  Dengan  demikian,
109
Umurahmi, “Nikah Sirri dan Akibat Hukumnya”, artikel diakses pada tanggal 10 juli 2015 http:wordpress.com20090620.
dalam  perspektif  peraturan  perundang-undangan,  Nikah  di  Bawah  Tangan adalah pernikahan yang tidak mempunyai kekuatan hukum.
Istilah  “Nikah  di  Bawah  Tangan”  muncul  setelah  adanya  Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berlaku secara efektif. Nikah
di  bawah  tangan  pada  dasarnya  adalah  kebalikan  dari  nikah  yang  dilakukan menurut  hukum.  Dan  nikah  menurut  hukum  adalah  yang  diatur  dalam
Undang-Undang Perkawinan. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa ketidak sah-an perkawinan di bawah tangan, karena  lebih
banyak mudharatnya. Dengan demikian nikah di bawah tangan dianggap liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum, berupa pengakuan dan perlindungan
hukum. Sistem  hukum  di  Indonesia  tidak  mengenal  istilah  “Nikah  di  Bawah
Tangan” dan semacamnya serta tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan.  Namun  secara  sosiologis,  istilah  ini  diberikan  bagi  perkawinan
yang  tidak  tercatat  dan  dianggap  tidak  dilakukan  karena  tidak  memenuhi ketentuan  Undang-Undang  yang  berlaku,  khususnya  tentang  pencatatan
perkawinan  yang  diatur  dalam  Undang-Undang  Perkawinan  pasal  2  ayat  2 yang  menyatakan  bahwa  tiap-tiap  perkawinan  dicatat  menurut  peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
110
Pencatatan  merupakan  peristiwa  yang  menentukan  sahnya  suatu perkawinan,  bahwa  perkawinan  itu  memang  ada  dan  terjadi.  Sedangkan
110
Arso  Sosroatmodjoda  Wasit  Aulawi,  Hukum  Perkawinan  di  Indonesia,  Jakarta: Bulan Bintang, 1975, h. 52.
sahnya  suatu  perkawinan,  Undang-Undang  Perkawinan  dengan  tegas menyatakan  pada  pasal  2  ayat  1  bahwa:
“Perkawinan  adalah  sah,  apabila dilakukan  menurut  hukum  masing-masing  agamanya  dan  kepercayaanya
itu”.
111
Untuk  melaksanakan  pencacatan  perkawinan,  pasal  2  Peraturan Pemerintah PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No.
1  Tahun  1974  tentang  perkawinan  menetapkan  bagi  mereka  yang  beragama Islam  dilakukan  oleh  Pegawai  Pencatat  sebagaimana  dimaksud  dalam
Undang-Undang  No.  32  Tahun  1954  tentang  pencatatan  nikah,  talak  dan rujuk.  Sedangkan  bagi  mereka  yang  tidak  beragama  Islam  Non-Muslim
dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.
112
Menurut  Ahmad  Rafiq,  pencatatan  perkawinan  bagi  sebagian masyarakat  tampak  masih  perlu  disosialisasikan.  Boleh  jadi  hal  ini  masih
menganut  pemahaman pada kitab-kitab fiqih  yang hampir tidak dibicarakan, namun  apabila  kita  coba  perhatikan  pada  surah  Al-Baqarah  ayat  282  yang
mengisyaratkan  bahwa  dalam  ayat  tersebut  redaksinya  dengan  tegas menggambarkan bahwa pencatatan didahulukan dari pada kesaksian.
Realisasi  pencatatan  itu  akan  melahirkan  akta  nikah  yang  masing- masing  dimiliki  oleh  suami  dan  istri  serta  salinannya.  Akta  nikah  tersebut
dapat  digunakan  masing-masing  pihak  bila  ada  yang  merasa  dirugikan  dan
111
O.S. Eoh, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, h. 98-99.
112
Suparman  Usman,  Perkawinan  Antar  Agama dan  Problematika  Hukum  Islam  di Indonesia, Serang: Saudara Serang, 1995, hlm. 27.
adanya  ikatan  perkawinan  itu  untuk  mendapatkan  haknya  serta  membantu keabsahan  suatu  perkawinan.
113
Adapun  dampak  dari  perkawinan  yang  tidak tercatat adalah:
1. Suami  dan  istri  tidak  mempunyai  akta  nikah  sebagai  bukti  mereka
telah menikah secara sah menurut agama dan negara. 2.
Anak-anak tidak memperoleh akta kelahiran. 3.
Anak-anak tidak dapat mewarisi harta orang tuanya.
114
Pencatatan  Perkawinan  memegang  peranan  yang  sangat  menentukan karena  pencatatan  perkawinan  merupakan  suatu  syarat  sah  dan  tidaknya
perkawinan  oleh  negara,  begitu  pula  sebagai  akibat  yang  timbul  dari perkawinan  tersebut.
115
Dimana  fungsi  dan  kegunaan  pencatatan  perkawinan adalah  untuk  memberikan  jaminan  hukum  terhadap  perkawinan  yang
dilakukan,    bahwa  perkawinan  itu  dilaksanakan  dengan  sungguh-sungguh, berdasarkan  i
‟tikad  yang  baik,  serta  suami  sebagai  pihak  yang  melakukan transaksi  benar-benar  akan  menjalankan  segala  konsekuensinya  atau  akibat
hukum dari perkawinan yang dilaksanakan itu.
116
Tujuan  utama  pencatatan  nikah  ini  adalah  untuk  memperoleh  bukti otentik  dari  suatu  perkawinan  yang  akan  melegitimasi  perkawinan  tersebut.
113
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, h. 26.
114
Abdul  Manan,  Aneka  Masalah  Hukum  Perdata  Islam  di  Indonesia,  Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, h. 51.
115
Saidus  Sahar,  Undang-Undang  Perkawinan  dan  Masalah  Pelaksanaannya, Jakarta: Alumni, 1981, h. 108.
116
Yayan Sopyan, Islam dan Negara: Suatu Transformasi Hukum Islam dalm Hukum Nasional, h. 131.
Dengan  adanya  suatu  bukti  tersebut  maka  dapatlah  dibenarkan  ataupun dicegah suatu perbuatan lain. Dengan demikian pencatatan perkawinan selain
berfungsi  untuk  menjaga  ketertiban  juga  untuk  menjaga  kepastian  hukum.
117
Selain itu juga merupakan suatu upaya yang diwujudkan perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, lebih khusus lagi untuk
melindungi hak-hak perempuan dalam kehidupan berumah tangga.
118
Lembaga perkawinan bukan saja merupakan syarat administratif yang substansinya  bertujuan  untuk  mewujudkan  ketertiban  umum,  namun  ia  juga
mempunyai  cakupan  manfaat  bagi  kepentingan  dan  kelangsungan  suatu perkawinan.
119
Lebih  jelas  manfaatnya  pencatatan  perkawinan  antara  lain  sebagai berikut:
a. Mendapatkan perlindungan hukum.
b. Memudahkan urusan perbuatan hukum  lain yang terkait dengan
pernikahan.
c. Legalitas formal pernikahan dihadapan hukum.
120
117
Rusdi Malik,  Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 41
118
Hujaemah Tahido Yanggo, Perkawinan Yang Tidak Dicatat Pemerintah, Jakarta: GTZ dan GG PAS, 2007, h. 17.
119
Yayan Sopyan, Islam dan Negara: Suatu Transformasi Hukum Islam dalm Hukum Nasional, h. 134.
120
Jiah  Mubarok,  Modernisasi  Hukum  Islam,  Bandung:  Pustaka  Bani  Quraysi, 2005, h. 70.
H.
Nikah di Bawah Tangan Perspektif Hukum Islam
Dalam hukum  Islam fiqih tidak  disebutkan secara rinci  atau tersurat bahwa  pencatatan  perkawinan  merupakan  salah  satu  syarat  sahnya
perkawinan,  tetapi  hanya  menyebutkan  ketentuan  umum    bagi  syarat  sahnya perkawinan, yaitu adanya calon mempelai laki-laki dan mempelai perempuan,
adanya  dua  orang  saksi,  adanya  wali,  adanya  shigat  ijab-kabul  dan  mahar. Walaupun demikian, bukan berarti hukum Islam menafikan adanya pencatatan
perkawinan  karena  pencatatan  tersebut  mendatangkan  kemaslahatan  bagi pasangan suami istri.
Menurut hukum Islam pencatatan perkawinan dapat dipandang sebagai masalah  darurat.  Ketentuan  umum  bagi  sahnya  suatu  perkawinan  yang  telah
disebutkan diatas adalah hasil ijtihad karena tidak disebutkan dalam al- qur‟an
dan  hadist.  Hukum  berdasarkan  ijtihad  dapat  berubah  sesuai  dengan  kondisi, selama perubahan tersebut tidak bertentangan dengan al-
qur‟an dan hadist atau maqashid syari’ah berdasarkan kaidah ushul fiqih.
121
Yaitu:
ت  غ ي  ر
لا ح
ك ما
ب   ت غ
ي لا
ح  و لا
و لا
ز  م ة
Artinya: “Hukum dapat berubah disebabkan perubahan keadaan dan
zaman”. Perbedaan  pendapat  ulama  Mazhab  dalam  mendefinisikan  nikah  sirri
atau  nikah  di  bawah  tangan  mempengaruhi  pandangan  mereka  dalam menentukan
status hukumnya.
Imam Malik
menjelaskan dalam
121
Hujaemah  Tahido  Yanggo,  Fiqih  Perempuan  Kotemporer,  Jakarta:  Ghalia Indonesia, 2010, h. 128.
terminologinya tentang nikah sirri sebagai nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk istrinya atau jama‟ahnya sekalipun keluarganya.
Imam  Malik  tidak  membolehkan  nikah  sirri,  nikahnya  dapat  dibatalkan  dan kedua pelakunya bisa dikenakan had derarajam, jika telah terjadi hubungan
seksual  antara  keduanya  dan  diakui  atau  dengan  kesaksian  empat  orang saksi.
122
Dengan demikian menurut Imam Malik menggunakan dalil berikut:
أ  ع ل
و لا ا
ك حا
و ضا
ر   ب و
ع ا ل  ي
ب ل  غ
ر ب
Artinya: “Beritahukanlah  umumkan  akad  nikah  itu  dan  untuknya
tabuhlah gendang”.
123
HR. At-Tirmizi dan Aisyah. Imam  Abu  Hanifah  dan
Imam  Syafi’i  juga  tidak  membolehkan  nikah sirri,  mereka  sepakat  bahwa  nikah  sirri  dalam  terminologi  fiqih,  nikah  sirri
adalah pelaksanaan akad nikah yang tidak disahkan oleh saksi, atau disaksikan oleh  saksi  yang  persyaratannya  tidak  cukup  atau  tidak  sesuai  dengan  yang
telah disepakati jumhur fuqaha. Pendapat ulama Mazhab Hambali, nikah yang telah  dilangsungkan  menurut  ketentuan  syari‟at  Islam  adalah  sah,  meskipun
dirahasiakan  oleh  kedua  mempelai,  wali,  dan  para  saksinya,  hanya  saja hukumnya  makruh.  Masalah  kriteria  saksi  yang  menjadi  standar  bagi  Imam
Asy- safi‟i  dan  Imam  Abu  Hanifah  dalam  menentukan  status  sirri  juga
semakin mempertegas bahwa dalam mekanisme dari pihak suami, wali, saksi,
122
Wahbah  Zuhaily,  Al-Fiqih  Al-Islami  Wa  Adilatuhu,  Damaskus:  Dar  Al-Fikr, 1989, Juz VII, h. 7
123
Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, h. 378.
tetapi juga kompetensi dari pihak saksi itu sendiri untuk mempublikasikannya sehingga nikah tersebut tidak lagi dianggap sebagai nikah sirri.
124
Status hukum dari nikah di bawah tangan dalam hokum bernegara jelas sebagai  nikah  yang  bermasalah.  Meskipun  dalam  redaksinya  berbeda,  tetapi
prinsip  yang  mereka  bangun  adalah  sama,  yaitu  masalah  penting  sebuah perkawinan  yang  mempunyai  dampak  rentan  di  masyarakat.  Menurut  hemat
penulis  baik  dari  segi  hukum  Islam  maupun  dari  segi  hukum  positif,  bahwa sahnya  suatu  akad  nikah  itu  apabila  telah  dilangsungkan  menurut  hukum
ketentuan syari‟at Islam, dihadapan PPN dan dicatat oleh petugas PPN. Oleh karena  itu,  nikah  yang  tidak  ada  saksi  dalam  hukum  Islam  tidak  disahkan,
karena  hal  tersebut  akan  menimbulkan  fitnah  bagi  orang  yang  melakukan perkawinan  tersebut.  Sebab  menurut  para  pakar  ahli  hukum,  pencatatan
pernikahan  memiliki  dua  konsekunsi.  Yaitu  pertama,  bahwa  pencatatan perkawinan  sebagai  syarat  administratif  sebagai  warga  negara  yang  patuh
terhadap  hukum  dan    yang  kedua  bahwa  pencatatan  perkawinan  merupakan syarat keabsahan dalam perkawinan.
Pada  sisi  lain,  jika  terjadi  suatu  pernikahan  dan  dihadiri  saksi  namun tidak  dicatatkan  maka  sah  nikah  tersebut  secara  agama  namun  status
pernikahan  tersebut  tidak  sah  menurut  Undang-Undang  No.  1  Tahun  1974 tentang Perkawinan yang berlaku di Indonesia.
Sebagaimana firman Allah pada surah An-Nissa ayat 58:
124
Imam  Abi  Abdillah  bin  Idris  Asy- safi‟i,  Al-Ulum,  Beirut:  Daar  Al-Kutub  Al-
Islamiyah, 1993, Juz V, h. 35-36.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada  yang  berhak  menerimanya,  dan  menyuruh  kamu  apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya  Allah  memberi  pengajaran  yang  sebaik-baiknya  kepadamu.
Sesu
ngguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat” QS. An- Nissa: 58.
Perintah Al- Qur‟an ini sangat positif, karena mendidik manusia untuk
menciptakan  masyarakat  yang  sadar  dan  taat  hukum  agama  dan  hukum negara.  Dan  diharapkan  kepada  masyarakat  agar  didalam  melangsungkan
perkawinan  tidak  hanya  mementingkan  aspek  fiqih  saja,  tetapi  perlu dipikirkan  juga  aspek  keperdataannya  secara  seimbang  demi  terwujudnya
ketertiban dan keadilan. Kehidupan modern seperti saat  ini menuntut  adanya ketertiban dalam
berbagai hal, antara lain mengenai masalah pencatatan perkawinan. Sehingga pencatatan  perkawinan  ini  kemudian  menjadi  hal  yang  sangat  penting.
Apabila hal ini tidak mendapat perhatian maka akan muncul kekacauan dalam kehidupan rumah tangga bahkan masyarakat, mengingat jumlah manusia yang
sangat  banyak  dan  permasalahan  kehidupan  semakin  kompleks.  Mengetahui hubungan  perkawinan  seseorang  dengan  pasangannya  mungkin  akan  sulit
apabila  perkawinan  itu  tidak  tercatat.  Terutama  apabila  terjadi  sengketa, antara  lain  mengenai  sah  atau  tidaknya  anak  yang  dilahirkan,  hak  dan
kewajiban  keduanya  sebagai  suami  isteri.  Bahkan  dengan  tidak  tercatatnya
hubungan  suami  istri  itu  sangat  mungkin  salah  satu  pihak  berpaling  dari tanggung jawab dan menyangkal hubungan suami istri.
125
Pada dasarnya Islam tidak mewajibkan adanya pencatatan perkawinan, namun dilihat dari segi manfaatnya pencatatan perkawinan sangat diperlukan.
Karena  pencatatan  perkawinan  dapat  dijadikan  alat  bukti  otentik  agar seseorang  mendapatkan  kepastian  hukum.
126
Hal  ini  sejalan  dengan  ajaran agama Islam sebagaimana termaktub dalam Al-
Qur‟an surah Al-baqarah ayat 282 yang menyatakan tentang segala sesuatu bermu‟amalah hendaklah kamu
menuliskannya. Yaitu:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 ..........
Artinya:  “Hai  orang-orang  yang  beriman,  apabila  kamu
bermuamalah  tidak  secara  tunai  untuk  waktu  yang  ditentukan,  hendaklah kamu  menuliskannya
.  dan  hendaklah  seorang  penulis  di  antara  kamu
125
Ahmad  Kuzari,  Nikah  Sebagai  Perikatan,  Jakarta:  PT  Raja  Grafindo  Persada, 1995, h. 30.
126
Hasan M. Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003, Cet ke-1, h. 123
menuliskannya  dengan  benar.  dan  janganlah  penulis  enggan  menuliskannya sebagaimana  Allah  mengajarkannya,  maka  hendaklah  ia  menulis,  dan
hendaklah  orang  yang  berhutang  itu  mengimlakkan  apa  yang  akan  ditulis itu,  dan  hendaklah  ia  bertakwa  kepada  Allah  Tuhannya,  dan  janganlah  ia
mengurangi  sedikitpun  daripada  hutangnya.  jika  yang  berhutang  itu  orang yang lemah akalnya atau lemah keadaannya atau Dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan,  Maka  hendaklah  walinya  mengimlakkan  dengan  jujur.  dan persaksikanlah  dengan  dua  orang  saksi  dari  orang-orang  lelaki
di antaramu. jika tak ada dua oang lelaki, Maka boleh seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka  yang  seorang  mengingatkannya.  janganlah  saksi-saksi  itu  enggan
memberi  keterangan  apabila  mereka  dipanggil.....”  QS.  Al-Baqarah  [2]  : 282.
Kemudian mencari illat yang sama-sama terkandung dalam akad nikah dan mu‟amalah tentang adanya kemudharatan atau kemafsadatan apabila tidak
ada alat bukti yang tertulis. Hal ini sejalan dengan Qaidah fiqhiyah:
ح لا ص م لا   ب ل ج  ن م   ل و أ  د سا ف م لا  ء ر د
Artinya:  “Menolak  kemudharatan  lebih  didahulukan  dari  pada memperoleh kemaslahatan”.
127
Jadi qiyas disini dapat dilakukan, untuk mengatakan bahwa pencatatan nikah hukumnya wajib sebagaimana dilakukan ketika bermu‟amalah. Dengan
alat bukti ini, pasangan suami istri dapat terhindar dari mudharat dikemudian hari  karena  bukti  tertulis  dapat  memproses  secara  hukum  berbagai  persoalan
rumah  tangga  sebagai  bukti  yang  sangat  shohih  otentik  di  pengadilam agama.
128
127
Ahmad  Sudirman  Abbas, Qawa’id  Fiqhiyah  Dalam  Perspektif  Fiqih,  Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya Dengan Aglo Media, 2004, cet ke-1, h. 148.
128
Happy Susanto, Nikah Sirri Apa Untungnya??, Jakarta: Visimedia, 2007, h. 57.
Ketentuan  pencatatan  perkawinan  yang  tujuannya  untuk  ketertiban, kepastian  hukum  jika  dikaji  dengan  menggunakan  teori  maslahah  dan
maqasid syari‟ah Al-Syathibi, dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bahwa  ketertiban  adalah  sebuah  keniscayaan,  karena  Allah  SWT
menciptakan  dan  mengelola  alam  ini  dengan  penuh  keteraturan, keseimbangan,  keserasian,  kedisiplinan  serta  perhitungan  yang  sangat
detail.  Begitu  juga  dengan  perkawinan  merupakan  sistem  yang  teratur sebagai wadah bagi  fitrah dua jenis manusia  yang berbeda jenis kelamin
dan  berpasangan  untuk  membina  keluarga  bahagia  oleh  karena  itu pencatatan  perkawinan  telah  sesuai  dengan  semangat  ajaran  Agama
Islam. 2.
Bahwa  ketentuan  pencatatan  perkawinan  tidak  ditunjukan  baik  secara langsung  maupun  tidak  langsung  dalam  teks-teks  suci  al-Quran  dan  al-
Sunnah,  Islam  dalam  praktek  kenabian  tidak  mengenal  itu,  sehingga sudah  tepat  mengkaji  permasalahan  ini  dengan  teori  maslahah  dan
maqasid syari‟ah  karena  salah  satu  kriteria  dari  teori  maslahat  adalah
tidak adanya dalil khusus yang menunjukannya. 3.
Bahwa  di  zaman  sekarang  dengan  jumlah  penduduk  yang  semakin banyak,  pendataan  berupa  pencatatan  kependudukan  baik  itu  kelahiran,
perkawinan,  perceraian,  kematian  dan  lain-lain,  mutlak  diperlukan. Karena  jika  tidak  dilakukan  akan  menimbulkan  ketidakteraturan  dan
ketidaktertiban dalam kehidupan bermasyarakat, yang pada akhirnya akan
menimbulkan  penyelundupan  hukum,  dengan  demikian  ketentuan pencatatan perkawinan sejalan dengan maqasid syari‟ah.
4. Bahwa  dengan  tidak  dilakukannya  pencatatan  perkawinan,  maka
perlindungan terhadap hak-hak anggota keluarga suami, isteri dan anak baik berupa hak atas harta, status perkawinan atau pun hak atas identitas
diri,
129
tidak  bisa  diperoleh,  sehingga  tujuan  perkawinan  untuk ketentraman  tidak  terpenuhi,  hal  itu  berarti  tujuan  primer  ad-Dharury,
berupa hifdz al-nasl memelihara keturunankehormatan dan hifdz al-mal memelihara  harta  tidak  tercapai.  Dengan  demikian  pencatatan
perkawinan jelas menolak  kemadharatankerugian bagi anggota keluarga dan memberikan manfaat berupa perlindungan hukum atas hak seseorang.
5. Bahwa pencatatan perkawinan telah memberikan kemaslahatankeadilan
sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia secara umum tidak terbatas pada pribadi,  agama  atau  golongan  tertentu,  oleh  karena  itu  yang  ditegakan
adalah kemaslahatan umum bukan kemaslahatan individu. Hal itu sejalan dengan kaidah fiqh:
ةحلصملا ةماعلا
ةمدقم ىلع
ةحلصملا ةصاخلا
”Kemaslahatan umum publik harus didahulukan da
ripada kemaslahatan individu”.
130
6. Bahwa  secara  normatif  undang-undang  perkawinan  telah  mewujudkan
prinsip-prinsip  yang  terkandung  dalam  Pancasila  dan  Undang-Undang Dasar  1945  dan  telah  menampung  segala  kenyataan  yang  hidup  dalam
masyarakat  serta  telah  mempertimbangkan  Hukum  Agama  Kepercayaan
129
Setiap  anak  berhak  atas  suatu  nama  sebagai  identitas  diri  dan  status kewarganegaraan,  Pasal  5, Undang-Undang  nomor  23  tahun  2002  tentang  Perlindungan
Anak, Lembaran Negara, Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109.
130
A.  Djazuli, Kaidah-Kaidah  Fikih:  Kaidah-Kaidah  Hukum  Islam  Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis, Cetakan ke-3, Jakarta, Kencana, 2010, h. 11
dalam  masyarakat,  oleh  karena  itu  seharusnya  pelaksanaan  ketentuan pencatatan  perkawinan  itu  menghilangkan  kesulitan  masyarakat  seperti
terjaminnya  hak-hak  anggota  keluarga,  sebaliknya  tidak  boleh menyulitkan  masyarakat,  baik  dari  segi  biaya,  waktu  pengurusan,
persyaratan  dan  lain-lain.  Karena  jika  dalam  prakteknya  untuk  sebagian masyarakat  ternyata  justru  menimbulkan  kesulitan,  karena  biaya  tinggi
misalnya  atau  karena  jauhnya  lokasi  atau  karena  halangan  hukum  al- man‟i  lain  yang  tidak  bisa  dihindarkan,  maka  harus  ada  ketentuan
alternatif  lain,  sehingga  adanya  ketentuan  itu  tidak  merugikan masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, nampak bahwa persyaratan-persyaratan yang  ditentukan  dalam  teori  al-maslahah  al-mursalah  terkait  penetapan
hukum  pencatatan  perkawinan  telah  terpenuhi,  yakni  telah  sejalan  dan tida
k  bertentangan  dengan  maqasid  syari‟ah,  dengan  demikian  dapat diambil  suatu  kesimpulan  bahwa  pencatatan  perkawinan  adalah  wajib
hukumnya bagi masyarakat muslim Indonesia. Wajib dalam hukum Islam termasuk  kajian  hukum  taklifi,
131
dan  mengandung  arti  perintah  Allah kepada hamba untuk mengerjakan sesuatu disertai dengan daya ikat yang
berupa ancaman bagi yang meninggalkannya. Salah satu cara yang efektif agar pencatatan perkawinan ditaati adalah dengan memasukannya sebagai
rukun  nikah,  yang  menentukan  keabsahan  perkawinan,  namun  untuk  itu
131
Hukum taklifi adalah  tuntutan  dari  Allah  kepada  hamba  untuk  mengerjakan sesuatu,  meninggalkan  sesuatu,  atau  pilihan  antara  mengerjakan  dan  meninggalkan
sesuatu.Jaih Mubarok, op. cit. h. 37.
perlu  kajian  lebih  mendalam,  karena  rukun  termasuk  kajian  hukum wad‟i.
132
132
Hukum wad’i adalah  perintah  Allah  yang  berkaitan  dengan  penetapan  sesuatu
sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi yang lain. Ibid, h. 51.
89
BAB III PROFIL KUA KEC. TEGALWARU
KARAWANG JAWA BARAT
A.  Kondisi Umum.
Kantor  Urusan  Agama  KUA  merupakan  bagian  dari  sistem Kementerian  Agama.  Sedangkan  Kementerian  Agama  mempunyai  tugas
yaitu menyelenggarakan sebagian tugas umum pemerintah dan  pembangunan di  bidang  Agama.  Kantor  Urusan  Agama  merupakan  bagian  dari  unsur
pelaksana  sebagian  tugas    Kementerian  Agama  yang  berhubungan  langsung dengan  masyarakat  di  wilayah  Kecamatan.  Sebagaimana  ditegaskan  dalam
Keputusan  Menteri  Agama  Nomor  :  571  Tahun  2001,  bahwa  Kantor  Urusan Agama  bertugas  melaksanakan  sebagian  tugas  Kantor  Kementerian  Agama
KabupatenKota di bidang Urusan Agama. Kantor  Urusan  Agama    KUA    adalah  unit  kerja  terdepan  Kementrian
Agama yang melaksanakan sebagian tugas pemerintah di bidang agama islam, di  wilayah  kecamatan  PMA  No.  112007  dikatakan  sebagai  unit  kerja
terdepan,  karena  KUA  secara  langsung  berhadapan  dengan  masyarakat. karena itu wajar bila keberadaan KUA di nilai sangat urgen seiring keberadaan
Kementrian  Agama.  Fakta  sejarah  juga  menunjukan  kelahiran  KUA  hanya berselang  sepuluh  bulan  dari  kelahiran  Departemen  agama,  tepatnya  tanggal
21 Nopember 1946. Sekali lagi, menunjukan peran KUA sangat strategis, bila di  lihat  dari  keberadaannya  yang  bersentuhan  langsung  dengan  masyarakat,