11
Permasalahan : 1. Bagaimanakah pengaturan pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan
umum sebelum dan sesudah keluarnya Peraturan Presiden nomor 36 tahun 2005 ? 2. Bagaimanakah penentuan besarnya ganti rugi dalam pelaksanaan pengadaan
tanah untuk kepentingan umum sebelum dan setelah keluarnya peraturan presiden nomor 36 tahun 2005 ?
3. Kendala-kendala apa saja yang dihadapai dalam proses pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum ?
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Teori harus mengungkapkan suatu tesis atau argumentasi tentang fenomena tertentu yang dapat menerangkan bentuk substansi atau eksistensinya,
8
dan suatu teori harus konsisten tentang apa yang diketahui tentang dunia sosial oleh partisipan
dan ahli lainnya, minimal harus ada aturan-aturan penerjemah yang dapat menghubungkan teori dengan ilmu bahkan pengetahuan lain,
9
sedangkan kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, thesis mengenai suatu
kasus atau permasalahan problem yang menjadi bahan perbandingan pegangan teoritis
10
. Menurut W.L. Neuman, yang berpendapat dikutip dari Otje Salman dan anton F
8 H.R. Otje Salman, S dan Anton F Susanto, Teori Hukum, Bandung, Refika Aditama 2005, hal 23.
9 Ibid hal 23 10 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung, Mandar Maju, , 1994, hal 80.
Universitas Sumatera Utara
12
Susanto menyebutkan bahwa : “ Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang
memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia, ia adalah cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja”
11
Otje Salman dan Anton F Susanto akhirnya menyimpulkan pengertian Teori menurut pendapat beberapa ahli, dengan rumusan sebagai berikut : “ Teori adalah
seperangkat gagasan yang berkembang disamping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan Kontribusi parsial
bagi keseluruhan teori yang lebih umum.
12
” Kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam Penelitian ini
adalah aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin, yang mengartikan : “ Hukum itu sebagai a command of lawgiver perintah dari pembentuk Undang-
undang atau penguasa yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagi suatu sistem yang
logis, tetap dan bersifat tertutup closed logical system Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk.
13
Menurut Jhon Austin apa yang dinamakan sebagai bahan hukum mengandung didalamnya suatu perintah, sanksi kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan-ketentuan
yang tidak memenuhi unsur-unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai positive law,
11 H.R. Otje Salman, S dan Anton F Susanto, opcit hal 22. 12 Ibid hal 23.
13 Jhon Austin dalam Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar filsafat dan teori hukum, citra Aditya Bakti Hal. 59.
Universitas Sumatera Utara
13
tetapi hanyalah merupakan Positive moralty. Unsur perintah ini berarti bahwa Pertama satu pihak menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya, kedua
Pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan jika perintah itu tidak dijalankan atau ditaati, ketiga perintah itu adalah pembedaan kewajiban terhadap yang
diperintah, keempat, hal ketiganya hanya dapat terlaksana jika yang memerintah itu adalah Pihak yang berdaulat.
14
Kebutuhan akan tanah terus meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan pertambahan penduduk dan semakin pesatnya pembangunan fisik di
berbagai bidang yang dilakukan oleh Pemerintah. Namun sayangnya kebutuhan akan tanah dimaksud tidak dapat dipenuhi dengan mudah oleh negara, karena tanah-
tanah negara yang tersedia terbatas jumlahnya. Oleh karenanya tidak terelakkan lagi masyarakat diharapkan dapat berperan serta untuk merelakan tanah yang
dimilikinya diambil oleh Pemerintah untuk pembangunan demi kepentingan umum. Pengambilan tanah masyarakat harus dilakukan dengan landasan hukum yang
jelas. Di dalam perkembangannya, landasan hukum pembebasanpengadaan tanah telah mengalami proses perkembangan sejak unifikasi Undang-undang Pokok Agraria
Nomor 5 Tahun 1960. Dalam rangka mewujudkan unifikasi hukum tersebut, hukum adat tentang
tanah dijadikan
dasar pembentukan
hukum Agraria nasional. hukum
adat dijadikan dasar dikarenakan hukum tersebut dianut oleh sebagian besar rakyat
Indonesia, sehingga
hukum adat
tentang tanah mempunyai kedudukan yang
14 Ibid hal 59.
Universitas Sumatera Utara
14
istimewa dalam pembentukan hukum Agraria nasional.
15
Pasal 5 Undang-undang Pokok Agraria UUPA menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku itu adalah hukum adat, oleh sebab itu didalam membahas hukum
adat tidak boleh terlepas dari sistem yang dianut dalam hukum adat, hal-hal apa yang ada serta hubungan-hubungan hukum antara masyarakat anggota masyarakatnya
dengan tanah.
16
Sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria menegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, dengan demikian berarti bahwa hak
atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah boleh bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan
pribadi, terlebih lagi apabila hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari pada
haknya, sehingga
manfaat baik
bagi kesejahteraan
pemiliknya maupun
bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Pengadaan tanah selalu menyangkut dua sisi dimensi yang harus ditempatkan
secara seimbang, yaitu : “ Kepentingan masyarakat dan kepentingan Pemerintah. Disatu sisi, pihak Pemerintah atau dalam hal ini sebagai penguasa harus
melaksanakan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau demi kepentingan negara dan rakyatnya sebagai salah satu bentuk pemerataan
pembangunan. Sedangkan pihak masyarakat adalah sebagai pihak penyedia sarana
15 Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah Jakarta ; Kencana, 2009 hal 64 16 Chadijah Dalimunthe, Politik Hukum Agraria Nasional terhadap hak-hak atas tanah
Medan, yayasan Pencerahan Mandailing, 2008 hal 9
Universitas Sumatera Utara
15
untuk melaksanakan pembangunan tersebut karena rakyat atau masyarakat memiliki lahan yang dibutuhkan sebagai bentuk pelaksanaan pembangunan. Masyarakat
dalam hal ini juga membutuhkan lahan atau tanah sebagai sumber penghidupan”.
17
Apabila Pihak Pemerintah dan pihak swasta tidak memperhatikan dan mentaati ketentuan yang berlaku maka terjadi pertentangan kepentingan yang
mengakibatkan timbulnya sengketa
atau masalah
hukum, sehingga
pihak penguasa dengan terpaksa pun menggunakan
cara tersendiri
agar dapat
mendapatkan tanah tersebut yang dapat dinilai bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Pemilik hak atas tanah pun juga tidak menginginkan apa yang
sudah menjadi hak mereka diberikan dengan sukarela. Masalah pengadaan tanah sangat rawan dalam penanganannya sebagaimana
dinyatakan oleh Soimin yaitu : “ Masalah pengadaan tanah menyangkut hajat hidup orang banyak, kalau dilihat dari kebutuhan Pemerintah akan tanah untuk keperluan
berbagai macam kebutuhan, satunya jalan yang dapat ditempuh yaitu membebaskan tanah milik rakyat, baik yang dikuasai hukum adat maupun hak-hak yang melekat
di atasnya.”
18
Dasar hukum dari pengadaan hak atas tanah yang pertama berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok- pokok Agraria yang menyatakan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak
17 Maria Sumardjono, Kebijakan pertanahan antara Regulasi dan Implementasi: Penerbit buku Kompas, Jakarta 2001.
Hal 32.
18 Soimin,2001,Status Hak Dan Pembebasan Tanah, Cetakan II, Sinar Grafika, hal.75
Universitas Sumatera Utara
16
atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.
Di samping itu, pengambilan tanah oleh Negara juga diatur dalam Pasal 1 juncto Pasal 5 undang-undang No. 20 Tahun 1961 tentang pencabutan hak atas
tanah dan benda-benda di atasnya yang menyatakan bahwa negara dapat mencabut hak atas tanah milik perorangan tetapi disertai dengan ganti rugi yang layak.
19
Berdasarkan Pasal 27, 34 dan 40 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang ketentuan dasar pokok-pokok agraria, suatu hak itu hapus karena pencabutan hak
untuk kepentingan umum dan karena penyerahan sukarela oleh pemiliknya. Berdasar dari kedua ketentuan tersebut maka pengadaan hak atas tanah tersebut
merupakan suatu proses pelaksanaannya membutuhkan peran serta masyarakat atau
rakyat untuk
memberikan tanahnya
untuk kepentingan pembangunan dimana masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah
bebas melakukan suatu
perikatan dengan
pihak penyelenggara pengadaan tanah untuk pembangunan
tanpa ada paksaan dari siapapun. Menurut Fauzi Noer :
Tanah merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia oleh karena sebagian besar kehidupan bergantung pada tanah. Mengingat
penting fungsi dan peran tanah bagi kehidupan manusia maka perlu adanya suatu landasan hukum yang menjadi pedoman dan sebagai bentuk
19 A.P. Parlindungan 2001, Berakhirnya Hak – Hak atas Tanah, Cetakan III, CV.Mandar Maju, Bandung hal 48
Universitas Sumatera Utara
17
jaminan kepastian hukum, dalam pelaksanaan penyelesaian pertanahan, khususnya pada persoalan pengadaan hak atas tanah untuk kepentingan
umum.
20
Pengadaan tanah
dipandang sebagai
langkah awal
dari pelaksanaan
pembangunan yang merata
untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat
atau masyarakat itu sendiri baik yang akan digunakan untuk kepentingan umum
maupun kepentingan swasta.
Pengadaan tanah
untuk pembangunan
hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dari pemegang hak atas tanah mengenai
dasar dan bentuk ganti rugi yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah itu sendiri.
Masalah pokok yang menjadi sorotan atau perhatian dalam pelaksanaan pengadaan hak atas tanah adalah : “ Menyangkut hak-hak atas tanah yang status
dari hak atas tanah itu akan dicabut atau dibebaskan, sehingga dapat dikatakan bahwa unsur yang pokok pokok dalam pengadaan hak atas tanah adalah ganti
rugi yang diberikan sebagai pengganti atas hak yang telah dicabut atau dibebaskan”
21
Tanah di samping mempunyai nilai ekonomis juga mempunyai nilai sosial, yang berarti hak atas tanah tidaklah mutlak akan tetapi Negara harus
menghormati atas hak-hak yang diberikan atas tanah kepada warga negaranya,
20 Fauzi Noer, 1997, Tanah Dan Pembangunan, Cetakan I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal 7
21 Abdurrahman, 1983, Masalah Pencabutan Hak Atas Tanah Dan Pembebasan Tanah Di Indonesia
, Alumni, Bandung hal 23
Universitas Sumatera Utara
18
yang dijamin dengan Undang-undang. Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria memberikan arahan dalam hal
pengadaan tanah tersebut harus mengacu pada : 1.
Kepentingan umum 2.
Hak atas tanah dapat dicabut 3.
Dengan memberikan ganti kerugian yang layak 4.
Diatur dengan suatu Undang-Undang.
22
Berdasarkan Pasal 15 Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
telah ditegaskan bahwa dalam pelaksanaan tafsiran atau penetapan mengenai ganti rugi harus memperhatikan bahwa penetapan ganti rugi haruslah didasarkan pada
nilai nyata atau harga tanah, nilai jual bangunan dan tanaman. Dengan tercapainya kata sepakat mengenai ganti rugi di antara para pihak,
dapat memudahkan Pemerintah dalam melaksanakan tujuan pengadaan hak atas tanah
baik untuk kepentingan
umum maupun
untuk kepentingan swasta.
Selain itu
Pemerintah dapat
melaksanakan pembangunan
sesuai dengan
rencana tata ruang serta terlaksananya suatu tertib hukum di bidang pertanahan yang tercantum dalam Keputusan Presiden nomor 7 Tahun 1979, yaitu :
1. Tertib di bidang Hukum pertanahan Tertib di bidang pertanahan merupakan keadaan dimana :
a. Seluruh perangkat Peraturan perundang-undangan di bidang Pertanahan
22 A.P. Parlindungan, 1994, Bunga Rampai Hukum Agraria, Cetakan II, CV. Mandar Maju, Bandung, hal 80
Universitas Sumatera Utara
19
telah tersusun secara lengkap dan komprehensif. b. Semua Peraturan perundang-undangan di bidang Pertanahan telah
diterapkan pelaksanaannya secara efektif. c. Semua pihak yang menguasaimenggunakan tanah mempunyai hubungan
hukum yang sah yang bersangkutan menurut Peraturan perundangan yang berlaku.
2. Tertib di bidang administrasi pertanahan, merupakan keadaan dimana : a. Untuk setiap bidang tanah telah tersedia catatan mengenai aspek-aspek
ukuran fisik, penguasaan, penggunaan, jenis hak dan kepastian
hukumnya, yang dikelola dalam sistem informasi pertanahan yang lengkap.
b. Terdapat mekanisme prosedurtata cara kerja pelayanan di bidang pertanahan yang sederhana, cepat dan murah tetap menjamin kepastian
hukum yang dilaksanakan secara tertib dan konsisten. c. Penyimpanan warkah-warkah yang berkaitan dengan pemberian hak dan
pensertipikatan tanah dilaksanakan secara tertib, beraturan dan terjamin keamanannya.
3. Tertib di bidang penggunaan tanah, merupakan keadaan dimana : a. Tanah telah digunakan secara lestari, optimal, serasi dan seimbang.
Sesuai dengan potensinya guna berbagai kehidupan dan penghidupan yang diperlukan untuk menunjang terwujudnya tujuan nasional.
b. Penggunaan tanah di daerah perkotaan telah dapat menciptakan suasana yang aman, tertib, lancar dan sehat.
c. Tidak terdapat pembentukan kepentingan antar sektor dalam peruntukan tanah.
4. Tertib di bidang Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup, merupakan keadaan dimana :
a. Penanganan bidang pertanahan telah dapat menunjang kelestarian lingkungan hidup.
b. Pemberian hak atas tanah dan pengarahan penggunaannya telah dapat menunjang
terwujudnya pembangunan
yang berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan.
c. Semua pihak-pihak yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah telah melaksanakan kewajiban sehubungan dengan pemliharaan tanah
tersebut.
23
2. Konsepsi.