BAGIAN F. PENDEKATAN DAN METODOLOGI v 2

(1)

TEKNIS

BAGIAN F

PENDEKATAN DAN METODOLOGI

F.1 Pencemaran Organik

Perkembangan penduduk dan industri menyebabkan meningkatnya beban buangan yang dialirkan ke dalam sungai. Selama beban buangan berada di bawah kemampuan pembersihan alamiah badan air, kehidupan normal biologi flora fauna akan tetap berlangsung. Jika beban buangan melebihi kemampuan pembersihan alamiah badan air, bentuk kehidupan biologi akan digantikan dengan kelebihan pertumbuhan bakteri dan kondisi anaerob tercipta yang akan menganggu ekosistem dalam badan air. Akibat kelebihan beban ini menjadikan sungai tercemar (Mc.Kinney, 1962).

Buangan yang berasal dari pemukiman dan industri umumnya mengandung zat organik. Buangan organik adalah semua buangan yang sebagian besar tersusun oleh senyawa organik (sisa tanaman, hewan atau kotoran manusia) yang mudah terurai atau habis oleh aktifitas mikroorganisme. Hammer (1975) menggambarkan suatu badan air tercemar akibat masuknya buangan organik dari satu sumber titik (point source) pada gambar 2.1.

Nathonson (1986), Hammer (1975) dan Slamet (1984) menjelaskan bahwa pada zona degradasi (degradation zone) ini proses pencemaran dimulai dengan masuknya sumber pencemaran organik. Terjadi pemanfaatan oksigen oleh mikroorganisme untuk dekomposisi atau penguraian zat organik. Kadar organik terlarut dengan cepat makin berkurang sampai menjadi kurang lebih 40 %. Air menjadi kotor dan keruh sekali. Saat tingkat DO mencapai 40 % dari nilai jenuh, proses pencemaran organik berubah menjadi zone dekomposisi (the zone of


(2)

active decomposition). Pada zone ini oksigen terlarut berkurang dari 40 % sampai 0 %. Warna air menjadi lebih gelap daripada zona sebelumnya. Suasana septik di dalam air sudah semakin parah dimana tingkat DO sudah mencapai tingkat minimum sehingga terjadi kondisi anaerob. Kehidupan ikan sudah tidak ada.

Masuknya zona zona zona zona buangan degradasi dekomposisi rehabilitasi penjernihan kembali

material aktif (recovery) (clean water) organik

initial DO

Kurva sag Deoksigenasi Dissolved Oxygen tanpa

reaerasi

reaerasi

Biochemical Oxygen Demand

Amonia nitrogen

Nitrat Nitrogen Initial

BOD Nitrat

Bakteri Algae dan jamur

Alga

Waktu atau jarak badan perairan (aliran air)

Gambar F.1

Pengaruh umum pencemaran organik dalam badan perairan.


(3)

Mikrooganisme yang tergolong organic decomposer mulai memegang peranan aktif. Dari proses dekomposisi ini akan dibebaskan ke dalam air gas-gas yang berbau menyengat seperti methane, hidrogen, nitrogen, hidrogen sulfide dan lain-lain. Bila semua zat organik terdekomposisi oleh mikroorganisme dalam air, maka kadar oksigen terlarut mulai meningkat kembali sedikit demi sedikit dimana angka reaerasi telah melewati angka deoksigenasi. Saat tingkat oksigen terlarut mulai naik lagi menjadi 40 % dari DO jenuh, selanjutnya masuk ke zona recovery (zone of recovery). Kadar oksigen terlarut meningkat berangsur-angsur melebihi 40 %. Kehidupan air secara makroskopis mulai tampak. Air menjadi lebih jernih dibandingkan zone-zone terdahulu. Jamur-jamur mulai hilang dan algae mulai timbul kembali. Setelah zona recovery terlewati selanjutnya diikuti oleh zona penjernihan kembali (zone of clean water). Pada zona ini oksigen terlarut meningkat secara maksimal sampai jenuh kembali yang diakibatkan dari berbagai mekanisme yang telah mampu normal kembali. Situasi badan air secara alamiah kini pulih kembali seperti semula.

Zona-zona ini secara teoritis menggambarkan pencemaran yang terjadi hanya sekali (single pollution). Namun pada kenyataannya pencemaran tidak mungkin terjadi sekali saja tetapi terjadi berkelanjutan terus menerus tanpa memberikan kesempatan rehabilitasi secara alamiah. Namun begitu pencemaran yang terjadi berkelanjutan di sepanjang badan air akan merubah model zana-zona pencemaran badan air ini (Sastrawijaya, 1991).

Berdasarkan banyaknya jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri atau mikroorganisme dalam menguraikan zat organik dalam badan perairan, maka uji yang paling banyak digunakan untuk menentukan beban pencemaran organik yaitu test BOD, dimana test ini mencoba menirukan keadaan sebenarnya yang terjadi pada badan air. Jika penguraian buangan organik oleh mikroorganisme menghabiskan semua oksigen terlarut yang ada, maka akan mengakibatkan terjadinya kondisi anaerob.


(4)

F.2 Indikator Pencemaran Organik

F.2.1 Kandungan Oksigen ( DO ) dalam Badan Air

Indikator utama dalam pengawasan pencemaran air yaitu DO (Dissolved Oxygen), DO adalah jumlah oksigen terlarut yang terdapat dalam suatu badan air. Semua kehidupan organisme dalam air bergantung pada tersedianya oksigen dalam satu bentuk atau bentuk lain untuk mempertahankan proses metabolisme dan untuk reproduksi. Oksigen terlarut digunakan untuk menghancurkan bahan-bahan organik dalam air. Jika konsentrasi oksigen dalam badan air rendah dibandingkan dengan keadaan jenuh, dapat diartikan bahwa pencemaran organik tinggi. Adanya oksigen dalam air sangat penting untuk menunjang kehidupan ikan dan organisme lainnya. Kemampuan air untuk membersihkan zat pencemar secara alamiah sangat tergantung kepada jumlah oksigen yang tersedia. Oksigen ini berasal dari udara serta dari proses fotosintesis tanaman air dalam badan air (Lamb J.C, 1986).

Kelarutan oksigen terlarut dalam air tergantung pada suhu air, kehadiran tanaman fotosintesis, tingkat penetrasi cahaya yang tergantung kepada kedalaman dan kekeruhan air, tingkat kederasan aliran air serta jumlah bahan organik yang diuraikan dalam air seperti limbah rumah tangga, sampah, ganggang mati atau limbah industri (Sastrawijaya, 1991). Bila terjadi proses penguraian bahan-bahan organik dalam air melalui proses penggunaan oksigen dalam air oleh mikroorganisme, maka kadar oksigen terlarut dapat dengan cepat menjadi nol bila tidak terjadi proses reaerasi dalam air. Kadar oksigen terlarut berguna untuk menjaga kondisi aerobik di dalam air alami yang menerima air buangan pertanian, domestik dan industri (Lamb J.C , 1986). Sastrawijaya (1991) menjelaskan bahwa kehidupan di air dapat bertahan jika ada oksigen terlarut sebanyak 5 mg/l.

F.2.2 Biochemical Oxygen Demand (BOD) dalam Badan Air

Angka BOD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan hampir semua bahan-bahan organik yang


(5)

tersuspensi dalam air. Istilah “menguraikan” dapat diartikan sebagai istilah untuk bahan organik yang dapat dipergunakan sebagai bahan makanan bagi bakteri dan energi yang dihasilkan dari penguraian ini digunakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup bakteri.

Uji BOD merupakan analisis empiris yang mencoba mendekati secara umum proses-proses mikrobiologis yang benar-benar terjadi di dalam air. Menurut Tebutt, et al (2001), test BOD sesungguhnya dimaksudkan untuk menirukan atau memodelkan keadaan yang terjadi dalam air sungai akibat masuknya berbagai macam limbah ke dalamnya.

Jika suatu badan air tercemar oleh bahan-bahan organik maka mikroorganisme akan bekerja untuk menguraikan bahan-bahan tersebut. Selama berlangsungnya proses penguaraian tersebut bakteri akan dapat menghabiskan oksigen terlarut yang terdapat dalam air sehingga dapat mengakibatkan kematian ikan-ikan atau makhluk hidup dalam air lainnya. Keadaan tersebut akan menjadikan air berada dalam kondisi anaerobik yang dapat menimbulkan bau busuk pada air tersebut (Sawyer, 1978). Pemeriksaan BOD didasarkan atas reaksi oksidasi di dalam air dan proses tersebut berlangsung karena adanya bakteri aerobik. Sebagai hasil oksidasi akan terbentuk karbondioksida (CO2), air (H2O) dan amoniak (NH3). Reaksi oksidasi dapat dituliskan sebagai berikut (Alaerts, 1987) :

bakteri

Zat Organik + O2 CO2 + H2O + NH3 Aerobik

Oksidasi berlangsung relatif lambat dan biasanya tidak akan sempurna dalam waktu standar 5 (lima) hari inkubasi. Menurut Metcalf (1991), dalam waktu 5 (lima) hari tersebut senyawa-senyawa organik hanya 60 % -70 % teroksidasi dan teroksidasi sempurna dalam waktu 20 hari dimana oksidasi dapat mencapai 95 % - 99 %. Akan tetapi menurut Pandia (1996), waktu standar yang sering digunakan dalam pengukuran BOD yaitu 5 hari, meski untuk mengoksidasi secara sempurna bahan organik memerlukan waktu selama 20 hari, tetapi rentang waktu 20 hari tersebut dianggap tidak efisien digunakan karena memerlukan waktu yang lebih lama. Reaksi biologis pada uji (F – 1)


(6)

BOD dilakukan pada temperatur 20 0C. Temperatur 20 0C ini merupakan temperatur rata-rata untuk suatu badan air dan mudah dikondisikan pada inkubator (Metcalf). Suhu dan waktu yang digunakan tersebut merupakan uji standard BOD.

Percobaan BOD pada umumnya dianggap mengikuti reaksi kinetik orde satu (first order). Dalam reaksi orde kesatu ini, kecepatan oksidasi adalah berbanding lurus dengan konsentrasi zat organik biodegradable yang tersisa dalam larutan dan apabila suatu saat populasi mikroorganisme telah terbentuk maka kecepatan reaksi akan dikendalikan hanya oleh jumlah makanan yang tersedia. Persamaan reaksi kinetik orde satu, diformulasikan sebagai berikut (Metcalf, 1991) :

t kLt dt dL   (F-2)

Dimana :

Lt t k = = =

Jumlah zat organik yang tersisa dalam larutan atau BOD ultimate pada saat t

Waktu Konstanta

Integrasi persamaan di atas

4) (F 10 e L L 3) (F t k L ln Kt kt t t 0 t        

Dimana L atau BOLL adalah BOD yang tersisa pada saat t = 0. Hubungan antara k (base e) dengan K (base 10) sebagai berikut :

(F 5) 2,303 e) (base k 10) (base

K  

Jumlah BOD yang tersisa pada saat t,

L L(ekt) (F )

t   6


(7)

y L L L(1 ekt) (F 7) t

t     

sehingga untuk menentuan BOD 5 hari, persamaannya,

yLLL

1e5k

(F8)

5 5

Hubungan persamaan-persamaan di atas ditunjukkan dalam gambar F.2.

L

L - y

zat organik teroksidasi dari 0 sampai t

Y, Lt y

zat organik tersisa saat t = 0

0 waktu, t Gambar F.2

Bentuk kurva BOD tingkat I. Sumber : Metcalf, 1991.

Kurva tersebut menggambarkan reaksi BOD dalam suatu plot yaitu jumlah bahan organik yang tersisa terhadap waktu dan jumlah bahan organik yang telah teroksidasi terhadap waktu.

Pada badan air tercemar atau dalam air buangan, nilai konstanta k (base e, 20 0C ) adalah 0,23 hari-1 ( = 0,10 hari-1 k base 10 ). Nilai konstanta reaksi berkisar antara 0,05 hari-1 sampai 0,3 hari-1 ( base e) (Metcalf, 1991). Tabel F.1 menunjukkan pengaruh konstanta reaksi, k terhadap nilai BOD, dimana nilai BOD berubah-rubah tergantung dari


(8)

konstanta reaksinya, k. Dan untuk melihat lebih lanjut hubungan konstanta reaksi terhadap BOD dapat dilihat pada gambar F.3 dan gambar F.4.

Tabel F.1 Pengaruh konstanta reaksi k

terhadap BOD

Waktu,

Hari k = 0,05Persentase BOD total terpakai (teroksidasi)k = 0,10 k = 0,15 k = 0,20 k = 0,25

1 11 21 29 37 44

2 21 37 50 60 68

3 29 50 64 75 82

4 37 60 75 84 90

5 44 68 82 90 94

6 50 75 87 94 97

7 55 80 91 96 98

10 68 90 97 99 99 +

20 90 99 99 + 99 + 99 +

Sumber : Sawyer, 1994

Dari kurva, nilai BOD 5 hari adalah 68 % dari total BOD jika k = 0,1 hari-1 dan 94 % jika k = 0,25 hari-1 . Nilai k dapat diketahui jika dilakukan analisa yang tepat terhadap BOD ultimate atau L .

Dalam air buangan yang sudah diketahui nilai L, nilai BOD akan berubah setelah 15 hari berikutnya. Biasanya untuk menentukan nilai L dalam penentuan BOD 5 hari menggunakan asumsi nilai k = 0,10 hari -1. Gambar F.4 memperlihatkan bagaimana nilai L pada sampel saat BOD 5 hari telah mencapai 200 mg/l dan hubungannya dengan angka konstanta k (Sawyer , 1944).

k = 0,30 300

k = 0,15 250 k = 0,10

k = 0,08 200

150 100em

ic

a

l

O

x

y

g

e

n

D

e

m

a

n

d


(9)

50 0

5 10 15 20 waktu, hari

Gambar F.3

Pengaruh konstanta, k terhadap BOD (untuk nilai BODL yang sama)

Sumber : Sawyer, 1994

k = 0,08 332

300 k = 0,10

100 50

0 5 10 15 20 waktu, hari

Gambar F.4

Pengaruh konstanta, k terhadap BODL (untuk asumsi nilai BOD5 sama, 200 mg/l)

Perbedaan nilai konstanta, k untuk BOD 5 hari disebabkan oleh dua faktor penting yang mempengaruhinya, yaitu sifat zat organik dan kemampuan mikroorganisme mengoksidasi zat organik tersebut. Senyawa organik yang sederhana seperti glukosa sangat mudah teroksidasi dan hampir teroksidasi sempurna dalam waktu lima hari. Hal ini meyebabkan nilai konstanta k besar. Sedangkan material organik yang kompleks sangat sukar teroksidasi mempunyai nilai konstanta k kecil. Material organik kompleks seperti yang terdapat

243 250

150

0

207

k = 0,11 k = 0,12 k = 0,13 k = 0,15

k = 0,18 k = 0,22 k = 0,30

k = 0,09

293 200 B io ch e m ic a l O x y g e n D e m a n d , m g /l


(10)

dalam air buangan domestik mempunyai nilai konstanta k yang kecil karena sifat senyawa zat organik itu sendiri, sedang air buangan industri mempunyai sifat senyawa organik sederhana dengan nilai konstanta k yang lebih tinggi (Sawyer, 1994).

Pada kondisi sebenarnya kurva BOD pada gambar F.2 berbeda dengan bentuk yang diformulasikan di atas karena adanya efek oksigen yang diperlukan untuk proses nitrifikasi (gambar F.5).

(b)

kurva kebutuhan gabungan (zat organik + nitrifikasi)

(a)

kurva kebutuhan zat organik pada 20 0C

y = L ( 1 – 10-kt )

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 waktu, hari

Gambar F.5 Bentuk kurva BOD

(a). Kondisi normal untuk oksidasi zat organik, (b). Pengaruh nitrifikasi. Sumber : Sawyer, 1994.

Bakteri nitrifikasi (nitrifying bacteria) biasanya terdapat dalam setiap air buangan, dimana kehadiran bakteri ini dalam uji BOD memberikan pengaruh yang cukup berarti terhadap oksigen yang tersedia (Sawyer, 1994). Akan tetapi menurut Tebutt, et al (2001), karena pertumbuhan bakteri ini lambat maka efek tersebut tidak begitu tampak sampai hari ke 8 – 10 dalam sampel air limbah awal. Namun untuk sampel yang berasal dari effluent , efek nitrifikasi mungkin akan tampak nyata setelah satu atau dua hari karena adanya jumlah bakteri nitrifikasi yang cukup banyak dalam effluent. Nitrifikasi dapat dihambat dalam

B

io

ch

em

ic

al

O

xi

ge

n

D

em

an


(11)

penetapan BOD dengan cara penambahan allyl thiourea (ATU), dengan demikian uji BOD akan mengukur oksigen yang dibutuhkan untuk oksidasi karbon organik. Kehadiran nitrat dalam effluent dapat merupakan cadangan oksigen yang akan dimanfaatkan lebih lanjut jika pencemaran terjadi lagi dalam sungai, namun oksigen dalam nitrat akan digunakan apabila konsentrasi oksigen terlarut (DO) di bawah 1 mg/l, pada kondisi seperti ini kehidupan dalam air sebagian besar sudah mati. Untuk mencegah agar konsentrasi BOD tidak semakin besar dalam perairan, maka perlu diketahui faktor-faktor yang menyebabkannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi BOD (Krenkel, 1980), sebagai berikut :

1. Temperatur

Temperatur berpengaruh terhadap konstanta reaksi, k. Temperatur dalam sampel BOD air buangan umumnya 20 0C. Penentuan konstanta reaksi, k pada temperatur 20 0C dapat ditentukan dari persamaan yang diambil dari hukum van’t Hoff-Arrhenius, sebagai berikut :

kT = k20  (T  20) (F  9)

Faktor panas (thermal), , mempunyai range yang tidak begitu besar dibandingkan dengan kondisi temperatur biasa. Menurut Gotaas (1948) dan Zanoni (1969), faktor panas,  , tinggi saat temperatur rendah dan  mempunyai nilai rendah saat temperatur tinggi, hubungan ini ditunjukkan pada gambar 2.6. Jadi terdapat suatu hubungan timbal balik antara faktor panas,  , dengan temperatur.

Harga  yang biasa digunakan adalah 1,047 yang ditetapkan oleh Streeter dan Phelps (1925). Dan nilai  ini kemudian ditetapkan dalam literatur, sehingga persamaan ( 2 8) menjadi :

kT = k20  1,047 (T  20) (F  10)

Menurut Theriault (1944), BOD ultimate naik sesuai dengan kenaikan suhu, namun Gotaas (1948) menjelaskan bahwa nilai BOD ultimate tidak berubah terhadap kenaikan suhu, tetapi proses


(12)

pencapaian BOD ultimate memerlukan waktu yang lama pada temperatur rendah.

2,5

 = 1,048

 = 1,077 (200 – 300)

(100 – 200)

 = 0,905

0,6 0,4

 = 1,184

5 10 15 20 25 30 35 Temperatur, 0C

Gambar F.6

Faktor thermal pada berbagai range temperatur Sumber : Krenkel, 1980

2. pH

Organisme pengurai zat-zat organik menyesuaikan diri pada pH antara 6,5 sampai dengan 8,3. Gambar 2.7 menggambarkan harga BOD 5 hari pada pH 4,5 – 9,0. Pengkondisian pH ke 7,2 perlu dilakukan pada uji BOD jika pH air limbah sekitar 6,5 – 8,3. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan harga BOD sebenarnya dari kondisi air limbah tersebut.

4 5 6 7 8 9 10

pH 2 1,5 1,0 0,8 0,2 R a si o k T k e k 2 0 100 90 80 Pe rs e n ta se N o rm a l B O D 5 h a ri


(13)

Gambar F.7

Pengaruh pH pada reaksi BOD Sumber : Krenkel, 1980 3. Nutrien yang dibutuhkan bakteri

Nutrien merupakan salah satu syarat bagi kelangsungan kehidupan bakteri-bakteri. Nutrien terbentuk dari berbagai macam-macam garam (Fe, K, Mg dan sebagainya). Biasanya sampel (air buangan penduduk, air sungai) mengandung cukup nutrien, tetapi zat tersebut kadang-kadang kurang dalam air buangan industri (Alaerts, 1984). Menurut Krenkel (1980), nitrogen (N) dan pospor (P) merupakan 2 nutrien yang secara nyata mempengaruhi hasil analisi BOD ini, seperti terlihat pada gambar F.8.

normal

kekurangan N dan P

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 waktu (hari)

Gambar F.8

Pengaruh nutrien terhadap BOD Sumber : Krenkel, 1980

Pada beberapa air buangan industri kadar nutrien rendah sehingga perlu ditambahkan unsur N dan P dalam analisa BOD. Karena kekurangan nutrien tersebut sukar diduga, maka menurut Alaerts

240 200 160 120

80 40

0

B

O

D

(

m

g

/l

it

e


(14)

Identifikasi Potensi Pencemaran Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup

(1984), sebaiknya pada setiap botol BOD ditambah nutrien secukupnya sebelum masa inkubasi, yaitu pada saat t = 0.

4. Populasi Mikroorganisme

Badan air penerima seperti sungai umumnya menerima berbagai macam air buangan baik buangan domestik maupun buangan industri yang mangandung berbagai jenis populasi mikroorganisme di dalamnya. Mikroorganisme paling banyak ditemukan pada sungai di sekitar tempat buangan industri mengeluarkan air buangannya. Semakin banyak populasi mikroorganisme dalam perairan semakin tinggi nilai BOD. Kebanyakan limbah industri merupakan “benih” bagi perkembangan mikoorganisme. Pengaruh benih terhadap BOD ditunjukkan pada gambar F.9 berikut ini.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Masa Inkubasi pada 20 0C

Gambar F.9

Pengaruh benih terhadap BOD. Sumber : Krenkel, 1980 5. Toksisitas (zat beracun)

Beberapa kandungan kimia bersifat toksik terhadap mikrorganisme. Zat beracun dapat memperlambat pertumbuhan mikroorganisme 260 240 220 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 B O D ( m g /l it e r) benih 0,2 %

benih 0,1 % benih 0,5 % 140 120 100 80 60 B O D ( m g /l )


(15)

bahkan bisa sampai membunuh organisme tersebut. Pada konsentrasi tinggi, beberapa substansi kimia akan membunuh mikroba dan pada konsentrasi sublethal menyebabkan aktivitas mikroba menurun (Krenkel, 1980). Alaerts (1984) menjelaskan jika zat kimia tersebut memang sangat beracun hingga mikroorganisme tidak bisa hidup sama sekali atau sukar berkembang, maka hanya sebagian jumlah mikoorganisme aktif dalam oksidasi zat organis tersebut. Gambar F.10 menunjukkan efek sianida dan logam berat (Cu dan Cr) terhadap pertumbuhan bakteri. Kadang-kadang zat organis tersebut memang dapat beracun terhadap beberapa jenis mikroorganisme biasa.

0 1 2 3 4 5

waktu (hari) (a)

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0

( mg/l ) (b) Gambar F.10

Pengaruh zat beracun terhadap BOD (a). Sianida, (b). Cu dan Cr

Sumber : Krenkel, 1984

F.3 Keseimbangan Oksigen dalam Badan Air Tercemar 100

80 60 40 20 0

%

B

O

D

Cr


(16)

Keseimbangan oksigen dalam badan air tercemar dipengaruhi oleh kemampuan pembersihan alamiah badan air (self purification), pengurangan kandungan oksigen (deoksigenasi) akibat oksidasi mikroorganisme terhadap buangan organik dan penambahan kandungan oksigen (reaerasi) dari transfer gas dari udara ke dalam badan air. Efek pencemaran organik pada tingkat DO dalam badan perairan digambarkan dalam suatu kurva oksigen sag.

F.3.1 Self Purification (Kemampuan Pembersihan Alamiah Badan Air)

Kemampuan pembersihan alamiah badan air merupakan kemampuan badan air untuk mengabsorb atau menetralisir buangan yang diterimanya sehingga beban pencemaran berkurang. Pada dasarnya badan air dapat mengasimilasi buangan pada kodisi tertentu sebelum mencapai kondisi tercemar.

Dalam air alam, self purification terjadi dalam bentuk suatu siklus biologi (gambar F.11) yang dapat berlangsung sendiri dalam batas-batas tertentu. Sungai yang mengandung banyak zat organik dengan kadar rendah tidak memiliki material-material nutrien guna mendukung kehidupan, sehingga meskipun banyak terdapat beberapa jenis organisme, jumlah setiap organisme akan relatif sedikit. Dalam perairan dengan kandungan zat organik tinggi, besar sekali kemungkinannya bahwa nilai DO akan susut sehingga menghasilkan kondisi yang tidak cocok bagi hewan dan tumbuhan tingkat lebih tinggi. Dalam kondisi demikian, mikroorganisme akan dominan walaupun untuk beberapa waktu kemudian zat-zat organik tersebut akan distabilkan, kebutuhan oksigen akan menurun dan bentuk-bentuk kehidupan akan pulih kembali secara sempurna (Tebutt ,et al., 2001).

Bakteri Algae

Protozoa

Ikan-ikan kecil

Ikan Manusia

Air Limbah Organik

Anorganik Alami


(17)

Gambar F.11

Siklus biologi normal dalam perairan Sumber : Mc. Kinney, 1962

Ada 4 faktor yang mempengaruhi self purification (Hammer,1977) akibat buangan organik yaitu kuantitas aliran badan air, rentang waktu penerimaan buangan dari sumber pencemar ke badan air, temperatur air dan reaerasi.

F.3.2 Pengurangan Kandungan Oksigen (Deoksigenasi)

Berkurangnya kandungan oksigen dalam suatu badan air yang disebabkan oleh oksidasi mikroorganisme dari buangan organik terlarut dan tersuspensi dari sumber alam maupun kegiatan manusia disebut dengan deoksigenasi.

Pada saat buangan masuk ke dalam perairan, DO akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk proses metabolisme dan menguraikan zat-zat organik dari air buangan. BOD menyebabkan tingkat DO dalam perairan menjadi turun apabila terjadi pemanfaatan DO secara terus menerus.

Saat deoksigenasi terjadi oksigen yang berasal dari udara dilarutkan air hanya di bagian permukaan saja. Jumlah oksigen yang dipindahkan dari udara ke dalam air tergantung dari temperatur (Nathonson, 1986). F.3.3 Penambahan Kandungan Oksigen (Reaerasi)

Reaerasi dari atmosfir adalah sumber utama input oksigen ke dalam sungai. Proses penambahan oksigen dalam hal ini didasarkan pada transfer gas dari udara ke dalam air melalui permukaan, transfer gas


(18)

merupakan proses fisik kimia yang terjadi terus menerus pada permukaan antara gas dan cairan (Hammer, 1977).

Perubahan kenaikan DO akibat reaerasi, dinyatakan dalam bentuk persamaan berikut ini (Metcalf & Eddy, 1991) ,

C C

K

C C

H k C C V A k

r R S 2 S

S R

R       (F-11) Dimana : rR kR A V CS C H K2 : : : : : : : :

Jumlah oksigen dihasilkan reaerasi per unit waktu per unit volume air, mg/m.dt3

Angka fluk reaerasi, m/dt Luas area permukaan, m2 Volume, m3

Konsentrasi DO jenuh, mg/l Konsentrasi DO, mg/l

Kedalaman, m

Angka reaerasi permukaan, 1/dt Menurut O’Connor dan Dobbins, koefisien reaerasi

2 3 2 1 o 2

H

.U

D

K

(F-12)

Dimana : K2 = Koefisien reaerasi Do

U

= = =

Koefisien difusi molekul oksigen dalam air

18,95  10-4 ft2/har (1,76 10-4 m2/hari) pada suhu

20 0C, pada suhu lain 1,037 T-20 Kecepatan, m/dt

Kecepatan reaerasi yang besar didapatkan pada perairan yang dangkal, karena pada perairan yang dangkal gerakannya cepat dan turbulen dan dapat menyerap sejumlah pencemaran organik tanpa menimbulkan gangguan. Sebaliknya pada perairan yang dalam, tenang dan sempit kecepatan reaerasi sangat kecil.


(19)

Model Streeter Phelps merupakan sistem sederhana dengan mempertimbangkan dua proses utama yang terjadi dalam proses pembersihan alamiah dari suatu badan air yaitu deoksigenasi yang disebabkan oleh bakteri untuk menguraikan bahan organik dari limbah dan reaerasi yang merupakan masukan oksigen dari atmosfer ke permukaan perairan.

Ronald (1997) menjelaskan bahwa perubahan oksigen yang terjadi dalam sungai yang mengalir dari hulu ke hilir mengikuti suatu kesetimbangan massa (mass balance) seperti gambar F.12 berikut ini. 1 2

y Q, C A Q, C + x

dx dC

 z X x

Gambar F.12 Sketsa kesetimbangan massa Sumber : Ronald L. Droste, 1997 Persamaan kesetimbangan massa

V dt dC V r Δ Δx dx dC C Q C

Q   

     

(F-13) Dimana : C V r = = = Konsentrasi DO Volume aliran (A. x) Angka reaksi volumetrik

Dengan mengasumsikan (dC/dt = 0) kemudian disubstitusikan melalui hubungan kecepatan dengan volume, didapat suatu persamaan

r dt dC dt dx dx dC dx dC

v    (F-14)

Angka reaksi tergantung pada konsumsi BOD dan reaerasi

r

k

1

L

k

2

C

s

C

(F-15)


(20)

: k2 L Cs = = =

Angka konstanta reaerasi Konsentrasi BOD

Konsentrasi DO jenuh

Substitusi persamaan (2-14) ke persamaan (2-13), didapat suatu persamaan diferensial,

kL k (C C) dt

dC

s 2

1  

 (F-16)

Persamaan diferensial di atas disederhanakan dengan mensubstitusikan variabel bar, oksigen defisit, D

DCs  C (F-17)

kemudian disustitusikan ke persamaan (2-15) kL k D

dt dD

2 1 

 (F-18)

BOD (L) merupakan fungsi dari waktu. Persamaan yang menggambarkan hubungan L dan t ditentukan dengan membuat suatu kesetimbangan massa BOD, sebagai berikut

kt 0 1L L L .e 1

k dt dL    

 (F-19)

dimana :

Lo = BOD ultimate

Substitusi persamaan (2-10) ke persamaan diferensial (2-17)

kL e k D dt dD 2 t k 0 1 1 

 

(F-20)

Persamaan (2-19) diintegrasikan dengan batas t = 0, D = D0 t = t, D = D juga untuk T 20

T 20 k

k 

 dibuat batas integrasinya t = 0, L = L0

D0 dan L0 merupakan harga setelah pencampuran air buangan dengan badan air.


(21)

Persamaan (2-19) diintegrasikan

 

           dt e L k De d e L k e D k dt dD e t k k 0 1 t k t k 0 1 t k 2 t k 1 2 2 1 2 2

Hasil integrasi di atas

kt k t

0 k t 1

2 0

1 e 1 e 2 De 2 k

k L k

D 

(F

-21)

Dimana : D D0 L0 k1 k2 t : : : : : :

DO defisit pada saat t, mg/l DO defisit pada t = 0, mg/l

BOD ultimate dalam perairan, mg/l Koefisien deoksigenasi, hari-1 koefisien reaerasi, hari-1 waktu, hari

Persamaan tersebut di atas merupakan persamaan oksigen sag Streeter dan Phelps untuk menghitung DO deficit dan digambarkan dalam kurva oksigen sag. Persamaan oksigen sag Streeter Phelps paling banyak digunakan dalam analisa sungai. Nilai k1, k2, dan L0 dipengaruhi oleh temperatur. Hubungan matematika yang menunjukkan pengaruh temperatur (Canter, 1994) :

T 20 ) 20 ( 1 ) T (

1 k 1,047

K 

K2(T) k2(20)

1,016

T 20  

L0(T)  L0(20)(0,02T0,6) dimana T = temperatur air, 0C, dan k

1(20), k2(20), L0(20) merupakan harga pada saat T = 20 0C.

Waktu dan DO pada saat mencapai DO minimum, tc dan Dc adalah





0 2 K1 2 0 1 2 1 2 c

.L

K

k

K

D

1

K

K

log

K

K

1

t

(F-22)


(22)

K1.tc 0

2 1 c L 10

K K

D

(F-23)

dimana : Dc = Defisit kritis (maximum) pada saat tc, mg/l

Kurva oksigen sag menggambarkan efek dari deoksigenasi dan reaerasi, ditunjukkan pada gambar 2.13.

Pencemaran

Organik Kurva C, Profil oksigen atau kuva sag

DO minimum

waktu atau jarak Gambar F.13

Kurva oksigen sag, menunjukkan efek pencemaran organik pada tingkat DO dalam perairan atau sungai. Setelah organik terurai, reaerasi permukaan akan memulihkan kualitas air, yang dikenal dengan self purification.

Sumber : Nathonson, 1986

Kurva A menggambarkan deoksigenasi dimana terjadi penurunan DO akibat pemanfaatan oksigen oleh mikroorganisme untuk metabolisme dan dekomposisi zat-zat organik sedangkan kurva B menggambarkan reaerasi. Slope reaerasi mulai naik saat kurva deoksigenasi mulai menurun.. Tingkat DO dalam perairan merupakan fungsi dari kombinasi efek deoksigenasi dan reaerasi. Atau dengan kata lain DO sebenarnya merupakan jumlah kurva DO deoksigenasi ditambah kurva DO reaerasi. Kurva ini disebut dengan kurva oksigen sag, yaitu kurva C. Awalnya kurva deoksigenasi melampaui kurva reaerasi, jadi profil oksigen mulai

menurun. Setelah semuanya organik terurai, angka reaerasi mendominasi, profil oksigen mulai naik sampai ke tingkat biasanya.

Kurva B,

Reaerasi Kurva A,

Deoksigenasi

O

k

si

g

e

n

,

m

g


(23)

Terjadinya DO minimum dalam periaran saat angka reaerasi sama dengan angka deoksigenasi (Nathonson, 1986 ).

F.4 Pengelolaan Kualitas Air

Dalam usaha pengelolaan kualitas air perlu diketahui dan dikaji sumber-sumber pencemaran air berdasarkan baku mutu air yang telah ditetapkan. Standar kualitas air merupakan suatu persyaratan untuk pengendalian pencemaran serta perlindungan air.

F.4.1 Klasifikasi Sumber Pencemaran Air

Kadang-kadang masalah pencemaran air dapat disebabkan oleh zat-zat yang berasal dari satu sumber, tetapi yang lebih umum pencemaran merupakan hasil gabungan akumulasi dari berbagai sumber.

Untuk lebih memahami efek dari pencemaran air dan teknologi yang tepat dalam penanganannya, perlu dikelompokkan zat-zat pencemar berdasarkan sumbernya, yaitu sumber titik (point-sources) atau sumber tersebar (dispersed sources) (Nathonson, 1986).

1. Sumber titik (point sources)

Berasal dari pipa, saluran air buangan, air buangan perkotaan, industri dan sumber-sumber lain yang titiknya spesifik masuk ke dalam badan air dan dapat dikenali sumbernya.

2. Sumber tersebar atau non titik (dispersed sources or non point sources).

Mencakup aliran-aliran air tanah yang umum dan kontribusinya acak yang tidak dapat ditentukan titik spesifiknya. Berasal dari aliran-aliran permukaan (runof) seperti dari kawasan pertanian. Aliran yang berasal dari sumber titik dapat diolah atau dikontrol sebelum dibuang. Tapi sumber tersebar (non titik) sukar untuk dikontrol karena sumbernya yang tidak dapat ditentukan secara pasti. Perbedaan sumber pencemaran titik dan sumber pencemaran tersebar dapat dilihat pada gambar F. 14 .(Nathonson, 1986)

Beberapa sumber polutan yang potensial yang dapat memasuki badan air adalah ( Lamb J.C, 1986 ):


(24)

1. Sumber alami

Beberapa diantaranya mempunyai sedikit hubungan atau tidak sama sekali dengan aktifitas manusia. Sebagai contoh atmosfir mengandung konstituen asam, partikulat, logam-logam, nitrogen, belerang dan fosfor yang berasal dari letusan gunung, erosi angin dan lain sebagainya.

Run off membawa minyak, garam, Organik, dll

Badan Perairan

Kawasan dearah pembangunan Pertanian,

Run off membawa pupuk, daerah perkotaan pestisida & Kotoran binatang

Gambar F.14

Sumber pencemaran titik dan sumber pencemaran tersebar dalam suatu aliran sungai.

Sumber : Nathonson, 1986 2. Sumber pertanian

Jumlah zat tersuspensi dalam air yang memasuki badan air akan bertambah bila melewati kawasan pertanian. Seperti masuknya pestisida, pupuk, kotoran ternak dan sebagainya.

3. Sumber buangan industri

Air buangan perkotaan dan industri merupakan sumber titik yang potensial terhadap pencemaran. Seperti riol-riol saluran perkotaan, saluran air buangan industri dan sebagainya.

4. Sumber – sumber gabungan

Seperti aktifitas pembangunan dan pemukiman, pertambangan, tempat-tempat pembuangan sampah, drainase dan sebagainya mengandung sejumlah zat kimia yang akan memasuki badan air. F.4.2 Pemantauan Guna Pengendalian Pencemaran Air

Pengolahan air buangan

Ket : Sumber Tersebar Sumber Titik


(25)

Untuk perencanaan pengendalian pencemaran perlu diketahui dan dipantau sumber-sumber asal pencemaran. Sumber pencemaran organik dalam suatu badan perairan umumnya disebabkan oleh air buangan dari pemukiman dan industri tertentu. Beberapa contoh air buangan industri yang mempengaruhi kualitas sungai adalah pabrik tahu, pabrik karet dan lain-lain.

Beban pencemaran yang dibuang oleh suatu industri bergantung pada bahan baku atau bahan kimia yang digunakan, kapasitas, proses produksi serta cara penyaluran buangan penyaluran buangan industri. Sedangkan beban pencemaran dari rumah tangga biasanya ditentukan oleh banyaknya jumlah penduduk yang bertempat tinggal di sekitar sungai tersebut, ada tidaknya tempat pembuangan sampah dan sistem penyaluran air buangan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam usaha pengendalian pencemaran air adalah sebagai berikut:

1. Usaha pengendalian air buangan penduduk melalui Program Pengembangan Perkotaan, termasuk didalamnya Program Perbaikan Kampung. Program ini meliputi perbaikan dan pengadaan secara penyehatan lingkungan berupa tempat mandi cuci kakus, bak sampah dan pengangkutan sampah. Dalam usaha menanggulangi air buangan rumah tangga pipa penyaluran air buangan yang teralokalisir juga diperlukan.

2. Penentuan titik dan penyaluran air buangan

a. Penyaluran air buangan cair, padat maupun gas harus memperhatikan lingkungan sekitarnya yaitu menyangkut pemukiman/ penduduk, pertanian, peternakan, perikanan dan lain-lain.

b. Penyaluran air buangan yang telah diolah harus memenuhi baku mutu air buangan yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang.

c. Pemilihan tempat penampungan buangan padat dan penyaluran air buangan cair harus memenuhi perizinan.


(26)

Kualitas air adalah kadar unsur-unsur dari badan air yang dianalisa berdasarkan saifat-sifat fisik, kimia maupun bakteriologis sehingga menunjukkan mutu air tersebut. Standar kualitas air merupakan suatu persyaratan kualitas air untuk perlindungan dan pemanfaatan air yang bersangkutan.

Di dalam pengelolaan kualitas air dikenal 2 macam standar yaitu Stream Standard dan Effluent Standard. Stream Standard merupakan batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemaran yang ditenggang adanya dalam air pada sumber air tertentu sesuai dengan peruntukkannya serta kemampuan self purification (mengencerkan dan membersihkan diri terhadap beban pencemaran). Effluent Standard merupakan kualitas air yang dipersyaratkan bagi effluent air buangan yang akan disalurkan ke badan air penerima (yaitu sungai), dimana dalam penyusunannya telah dipertimbangkan pengaruh terhadap pemanfaatan sumber air yang menampungnya.

Peraturan yang digunakan sebagai acuan dalam usaha pengelolaan kualitas air sungai Cileungsi adalah PP No.82 Tahun 2001 untuk Kelas I. yang menetapkan mengenai baku mutu air sungai di Propinsi Jawa Barat.

Peruntukan Baku Mutu Air sungai

Gol A

Gol B Gol C Gol D

: : : :

Air Minum Perikanan Pertanian

Air sungai yang tidak digunakan untuk kepentingan gol A,B,C tetapi kualitasnya masih memenuhi untuk kehidupan biota air.

1. Peruntukkan Baku Mutu Air limbah cair industri

Baku mutu limbah cair industri yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada .Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No.6 Tahun 1999 (sesuai jenis industri). Masing-masing baku mutu industri tersebut memuat mengenai batas kadar maksimum dan batas beban


(27)

pencemaran maksimum yang diizinkan keluar dari unit pengolahan limbah cair.

Standar yang digunakan untuk mengevaluasi kualitas air sungai Cileungs dalam penelitian ini didasarkan pada Stream Standard, karena studi ini menganalisa dan mengevaluasi kualitas air sungai.

F.5. Siklus Hidrologi Pada DAS dan Komponen-Komponennya Siklus hidrologi secara alamiah menunjukkan gerakan air di permukaan bumi, yaitu perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut. Secara skematik siklus hidrologi dapat dilihat pada Gambar F.15. Siklus hidrologi adalah pola sirkulasi air dalam ekosistem yang terbagi dalam beberapa komponen yaitu: 1) curah hujan (precipitation), 2) aliran air permukaan (runof), 3) air permukaan (surface water flow), 4) penyerapan air ke dalam tanah (infiltration), 5) aliran air bawah tanah (groundwater flow), 6) penguapan air dari beberapa sumber (evaporation), 7) penguapan dari tumbuh-tumbuhan (transpiration), dan 8) air yang tertahan dan tersimpan pada tanaman dan tanah (interception and depression storage).

Gambar F.15 Skema siklus hidrologi (Wanielista,1997) Simpanan (S)

Presipitasi (P) Evaporasi (E)

Transpirasi (T)

Infiltrasi (F) Kelebihan

air hujan (R)

Aliran bawah

tanah (B) Batas DAS

Limpasan Permukaan Hujan


(28)

Selama berlangsungnya siklus hidrologi, air yang tertahan sementara di sungai, waduk dan dalam tanah dimanfaatkan oleh manusia dan makhluk hidup lainnya untuk berbagai keperluan. Dengan menelaah konsep siklus hidrologi secara global dalam suatu wilayah dapat digunakan dasar dalam perencanaan dan evaluasi pengelolaan DAS.

F.5.1.Presipitasi

Presipitasi adalah faktor utama yang mengendalikan berlangsungnya siklus hidrologi dalam suatu wilayah DAS, sedangkan iklim berpengaruh terhadap kondisi presipitasi. Curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh monson yang ditimbulkan oleh adanya sel tekanan udara tinggi dan sel tekanan udara rendah di daratan Asia dan Australia secara bergantian. Iklim di Indonesia dipengaruhi oleh dua periode monson yaitu Monson Barat pada periode Desember, Januari, dan Februari dan Monson Timur periode Juni, Juli, dan Agustus.

Untuk mendapatkan data curah hujan yang dapat mewakili suatu DAS, idealnya diperlukan stasiun penakar hujan dalam jumlah yang cukup dan tersebar secara merata. Akan tetapi untuk menempatkan banyak stasiun penakar dalam suatu DAS seringkali sulit mengaturnya di lapangan dan diperlukan biaya yang besar. Cara penyelesaian yang terbaik untuk mengatasi hal tersebut di atas, dengan hasil ketelitian yang memadai adalah dengan membuat klasifikasi berdasarkan karakteristik topografi dan beberapa metode perhitungan.

Metode perhitungan curah hujan rata-rata harian, bulanan, dan tahunan di suatu DAS atau Sub DAS, digunakan cara perhitungan: 1) metode rata-rata Aritmatika, 2) Poligon Thiessen, dan 3) metode Isohyet (Wanielista dkk, 1997).


(29)

Metode ini mengacu pada lokasi dan jumlah stasiun penakar hujan di dalam DAS, dan perhitungannya adalah:

)

24

.

(

1

1

F

Pi

n

P

n i

dimana:

P = curah hujan rata-rata daerah (mm)

i

P = curah hujan di stasiun pengamatan ke-i (mm)

n

= jumlah stasiun penakar hujan b. Metode Poligon Thiessen

Metode ini digunakan bila posisi stasiun penakar hujan tidak merata di dalam DAS. Curah hujan rata-rata dihitung dengan membagi luas DAS berdasarkan poligon dimana posisi penakar hujan berada.

)

25

.

(

1

F

A

P

A

P

n i i i

dimana: i

A = luas daerah pengaruh dari stasiun penakar ke-i (km2)

A

= luas total daerah pengamatan (km2) d. Metode Isohyet

Curah hujan yang dihasilkan dalam bentuk garis kontur, yang merupakan fungsi dari elevasi dan posisi stasiun yang selanjutnya ditentukan dengan interpolasi linier.

)

26

.

(

2

1 1

F

A

A

P

P

P

n i i i i

 

dimana: 1  i

P = curah hujan di stasiun penakar ke- (i-1)

i

P = curah hujan di stasiun pengamatan ke-i (mm)

i

A = luas daerah pengaruh dari stasiun penakar ke-i (km2)


(30)

F.5.1.1 Intensitas Hujan dan Lamanya Waktu Hujan

Intensitas hujan adalah jumlah hujan persatuan waktu, yang biasanya dinyatakan dalam milimeter per jam atau inci per jam. Untuk mendapatkan nilai intensitas hujan di suatu tempat maka diperlukan alat penakar hujan otomatis, yang mampu mencatat besarnya volume curah hujan dan interval waktu mulai berlangsungnya hujan sampai hujan berhenti. Data intensitas hujan sangat diperlukan untuk perhitungan prakiraan besarnya erosi, debit puncak, perencanaan drainase, dan dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan perubahan tataguna lahan terhadap kemungkinan perubahan karakteristik hidrologi.

Lama waktu hujan adalah lama waktu berlangsungnya hujan, yang dapat mewakili total curah hujan atau periode hujan singkat, untuk interval waktu 5 menit, 10 menit, 30 menit, 1 jam, hingga 24 jam.

F.5.1.2 Hubungan Intensitas-Durasi Hujan

Untuk memprediksi debit maksimum sungai maka data intensitas hujan sangat diperlukan, terutama untuk intensitas hujan durasi 30 menit. Akan tetapi tidak semua wilayah DAS di Indonesia dilengkapi dengan alat penakar hujan otomatis, data yang paling teliti yang ada adalah berupa jumlah hujan terbesar 24 jam yang pernah terjadi pada satu tahun.

Berdasarkan penyelidikan Van Breen di Indonesia, mengemukakan bahwa untuk menghitung intensitas pada daerah yang tidak memiliki catatan pemeriksaan hujan dalam angka-angka menit, maka dapat dilakukan pendekatan dengan mengambil kurva Van Breen sebagai basis atau kurva intensitas hujan dari stasiun penakar otomatis terdekat yang ada dalam suatu daerah studi. Hasil penyelidikan Van Breen, hujan harian terkonsentrasi selama


(31)

4 jam dengan jumlah hujan sebesar 90% dari jumlah hujan selama 24 jam (1 hari). Sehingga diperoleh persamaan

intensitas hujan untuk masing-masing stasiun pengamat yang dihitung sebagai berikut:

.27

4 , 25 4

% 90

F X

I r

r

  

dimana:

r

I = intensitas curah hujan (inch/jam)

r

X = volume curah hujan ekstrim (mm/24 jam) dalam setahun untuk periode ulang tertentu Sehingga untuk menghitung curah hujan ekstrim maksimum pada persamaan di atas diperlukan analisa frekuensi.

F.5.1.3 Kurva Intensitas-Durasi Hujan (Intensity Duration Curve)

Intensity duration curve (IDC), adalah suatu kurva yang menunjukkan hubungan antara lamanya waktu hujan dalam menit dengan intensitas hujan dalam milimeter per jam. Untuk dapat menggambarkan kurva intensitas-durasi tersebut diperlukan data hasil pencatatan dari stasiun penakar hujan otomatis untuk setiap 15 menit atau setiap jam, (Wanielista, 1997). Setelah data menit-an dmenit-an jam-jammenit-an dikumpulkmenit-an, kurva intensitas curah hujmenit-an (kurva IDC) dapat dibuat dengan menggunakan analisa distribusi frekuensi. Persamaan untuk menghitung hubungan antara intensitas hujan dan durasi hujan dapat digunakan persamaan regresi non linier (best fit curve):

F.28

D b

a

I

  dimana:

I

= intensitas hujan (mm/jam)

D

= durasi hujan (menit) b

a, = koefisien regresi F.5.2.Evapotranspirasi


(32)

Evapotranspirasi merupakan jumlah air total, merupakan gabungan dari proses evaporasi, intersepsi dan transpirasi. Dikarenakan pengaruh dari faktor-faktor iklim dan fisiologis vegetasi, jumlah total air tersebut selanjutnya dikembalikan lagi ke atmosfer melalui mekanisme daur hidrologi. Evapotranspirasi dapat dibedakan dalam dua katagori, yaitu evapotranspirasi potensial dan evapotranspirasi aktual. Evapotranspirasi potensial dipengaruhi oleh faktor meteorologi, sedangkan evapotranspirasi aktual dipengaruhi oleh fisiologi tanaman dan unsur tanah (Asdak, 2002).

Banyak metode yang digunakan untuk mengukur evapotranspirasi, baik melalui pengukuran langsung maupun dengan menggunakan persamaan empiris. Metode yang digunakan dalam menentukan evapotranspirasi potensial dan evapotranspirasi aktual adalah dengan menggunakan analisa neraca kelembaban tanah (soil moisture budget abalysis) dan persamaan Penman.

Dalam persamaan Penman. Ada tiga persamaan utama dalam metoda Penman, persamaan pertama yaitu:

27 , . 27 , 0 O A E AH E a    dimana :

E = evapotranspirasi

A = kemiringan kurva tekanan uap air jenuh suhu udara Ea = evaporasi

H = persamaan transpirasi Persamaan kedua yang digunakan adalah :

) 9 , 0 1 , 0 )( 092 , 0 56 , 0 ( ) . 55 , 0 18 , 0 ) 1

( r S B e S

R

H      d

dimana :

R = radiasi matahari pada permukaan horizontal r = koefisien refleksi

S = radiasi matahari (sunshine) ed = tekanan uap aktual

Dan persamaan terakhir dari metoda Penman yang digunakan adalah :


(33)

) 01 , 0 )( ( 35 ,

0 e e k W2

Eaad

dimana :

ea = tekanan uap jenuh pada suhu rata-rata k = koefisien kekasaran

W2 = kecepatan angin pada ketinggian dua meter

Metoda perhitungan evapotranspirasi lainnya adalah metode Thornthwaite dan Mather, 1957, menggunakan evapotranspirasi potensial, kelembaban tanah (soil water storage), dan data curah hujan untuk menghitung keseimbangan air bulanan, yang selanjutnya dapat ditentukan nilai evapotranspirasi aktual. Bentuk persamaan yang digunakan adalah:

        AWC AW f Eo Et dimana:

Et = evapotranspirasi aktual (mm) Eo = evapotranspirasi potensial (mm)

AW = jumlah air dalam tanah yang dapat diserap akar tanaman (mm)

AWC = kapasitas air yang tersedia dalam tanah (mm)

Untuk menghitung evapotranspirasi potensial digunakan persamaan Thomthwaite (Thomthwaite dan Mather, 1957) dimana metode ini memanfaatkan suhu udara sebagai indeks ketersediaan energi panas untuk berlangsungnya Eo dengan asumsi suhu udara tersebut berkolerasi dengan efek radiasi matahari dan unsur lain yang mengendalikan proses evapotranspirasi potensial. Indeks evapotranspirasi potensial (Eo) yang hanya memelukan data suhu udara, dapat ditunjukkan berdasarkan persamaan :

a a I T df Eo         

16,2 10 dimana:

Eo = evapotranspirasi potensial (mm/bulan)

a

T = suhu rata-rata bulanan (oC)

I

= indek panas tahunan

df = faktor panjang hari penyinaran (daylight factor)


(34)

514 , 1 1

5

n m m a

T

I

dan, 3 2 0,00000067

0000771 , 0 01792 , 0 492 ,

0 I I I

a   

F.5.3.Intersepsi Air Hujan

Intersepsi air hujan (rainfall interception loss) adalah tertahannya air hujan pada permukaan tanaman untuk beberapa saat untuk kemudian diuapkan kembali ke atmosfer, dan proses ini terjadi ketika air hujan jatuh pada permukan vegetasi. Intersepsi merupakan faktor penting dalam siklus hidrologi dan perlu dipertimbangkan dalam analisa neraca air suatu DAS dimana pengaruhnya terhadap hasil air (water yield), (Ward dan Robinson, 1990).

Air hujan yang jatuh pada permukaan tajuk tanaman akan mencapai permukaan tanah melalui mekanisme air lolos (throughfall) dan aliran batang (stemflow). Intersepsi air hujan oleh tanaman dapat diperkirakan dengan persamaan (Wisler and Brater, 1959) sebagaimana yang disebutkan dalam Suripin, (2002):

E T

C

Is   

dimana:

s

I = jumlah hujan yang ter-intersepsi (mm) C = kapasitas intersepsi tajuk tanaman (mm)

E

= kapasitas evapotranspirasi (mm)

T

= lamanya hujan (menit)

Sedangkan Gosh, 1979 mengembangkan model regresi linier sebagai berikut:

b P a

Is (  g)

dimana:

g


(35)

a

= koefisien regresi

b = konstanta

Hasil penelitian di Lembang, Jawa Barat, Pudjiharta dan Salatta (1985) melaporkan bahwa tegakan Pinus Merkusii dengan umur 10, 15 dan 20 tahun jumlah intersepsi yang dihasilkan dari 93 kejadian hari hujan adalah masing-masing 16%, 22% dan 31%. Sementara hasil penelitian dari beberapa daerah hutan tropis Amazon, Afrika dan Asia menunjukkan besarnya nilai intersepsi bervariasi antara 10-35%. Nilai intersepsi untuk berbagai jenis vegetasi yang digunakan dalam memprediksi erosi seperti yang di rekomendasikan Morgan dkk (1982) tertera dalam Tabel F.1 berikut.

Tabel F.2 Nilai Intersepsi Berbagai Jenis Vegetasi Jenis Vegetasi Intersepsi (%) Padi (sawah)

Padi (dataran tinggi) 2025

Gandum 43

Hutan tebang habis 15

Tanaman jagung/biji-bijian 30

Kentang 12

Buncis 20-25

Kacang tanah

Kacang kedelai 2515

Kol 17

Tembakau 25

Teh 33

Coklat/kakao 25-35

Gula bit 12-22

Karet 20-30

Kelapa sawit 30

Padang rumput 33

Hutan tropis jenis tanaman jarum Hutan hutan lebat

Hutan campuran (berganti daun tiap tahun)

25-35 35 33

Tanah terbuka 0

Jenis tanaman asam jawa 25

Kebun buah2an campuran 25

Kebun campuran 30


(36)

Jenis Vegetasi Intersepsi (%)

Rainfed crops 25

Sumber: Ringkasan dalam Morgan, Morgan, dan Finney, 1982

F.5.4.Aliran Permukaan (Overland flow)

Aliran permukaan atau air larian (surface runof) merupakan bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju sungai, danau dan lautan yang berlangsung ketika curah hujan melebihi laju infiltrasi air ke dalam tanah. Faktor utama yang mempengaruhi air larian adalah iklim yang berhubungan dengan curah hujan dan fisiografi DAS. Sedangkan lama durasi hujan, intensitas hujan, penyebaran hujan, morphologi DAS, topografi, geologi, dan tata guna lahan adalah variabel yang mempengaruhi laju dan volume air larian (Asdak, 2002).

Aliran permukaan merupakan faktor yang sangat penting yang harus dilibatkan dalam tindakan konservasi DAS, terutama dalam memprediksi laju erosi tanah. Kirkby, 1976 seperti yang disebutkan dalam Morgan dkk, 1982 mengembangkan suatu model untuk memprediksi aliran permukaan, dimana diasumsikan aliran permukaan (runof) dapat terjadi apabila curah hujan harian melebihi suatu nilai kritis dari kapasitas penyimpanan air dari lapisan permukaan tanah. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Rc Ro

R

Q /

exp 

  dimana:

Q = volume aliran permukaan (mm)

R

= curah hujan (mm)

Rc = kapasitas penyimpanan kelembaban tanah aktual vegetasi (mm)

Ro = rata-rata hujan per hari hujan (mm)

Selanjutnya Rc dihitung dengan menggunakan persamaan:

/

0,5

1000 Ms Bd Rd Et Eo

Rc    


(37)

Ms = kandungan kadar air pada kapasitas lapang (% w/w) Bd = bulk density tanah (gr/cm3)

Rd = kedalaman efektif tanah pada zona perakaran (m)

Eo Et

= rasio evapotranspirasi aktual dan potensial

Salah satu indikasi terganggunya fungsi lahan resapan air dapat dilihat dari kecenderungan kenaikan nilai koefisien aliran permukaan (Wangsaatmaja, 2004). Koefisien aliran permukaan yang diberi notasi C merupakan bilangan yang dinyatakan perbandingan antara besarnya aliran permukaan terhadap jumlah curah hujan, yang nilainya 0 ≤ C ≤1 (Suripin, 2002). Nilai C yang kecil menunjukkan kondisi DAS masih baik, sebaliknya nilai C besar menunjukkan kondisi DAS sudah rusak. Menentukan koefisien aliran permukaan (C) rata-rata pada suatu DAS dapat digunakan persamaan matematis sederhana, Asdak (2002):

12

1

/

1000

86400

n

n n

A

P

Q

d

C

dimana:

C = koefisien aliran permukaan

n

Q = debit rata-rata bulan ke-n (m3)

P

= curah hujan rata-rata di DAS (mm/tahun)

A

= luas DAS (m2)

n

d = jumlah hari pada bulan ke-n (hari)

Dengan menampilkan perhitungan dalam bentuk tabulasi dengan bantuan software dapat diperkirakan besarnya aliran mantap di DAS dengan memasukkan nilai tetapan untuk aliran mantap pada suatu DAS tinjauan. U.S Forest Service, (1980) membedakan nilai koefisen aliran permukaan berdasarkan tataguna lahan sebagaimana disajikan pada Tabel F.3 berikut.

Tabel F.3 Nilai Koefisien Aliran Permukaan (C)

Tataguna Lahan C Tataguna Lahan C

1. Perkantoran

 Daerah pusat kota

 Daerah sekitar kota

0,70 -0,95 0,50

-0,70

6. Tanah Pertanian (0-30%)

 Tanah kosong rata

 Tanah kosong kasar

0,30 – 0,60 0,20 –


(38)

Tataguna Lahan C Tataguna Lahan C 0,50 2. Perumahan

 Rumah tunggal

 Rumah susun, terpisah

 Rumah susun, sambung

 Pinggiran kota

0,30 -0,50 0,40 – 0,60 0,60 – 0,75 0,25 – 0,40

 Ladang garapan tanpa vegetasi (tanah

berat)

 Ladang garapan dgn

vegetasi (tanah berat)

 Ladang garapan tanpa

vegetasi (berpasir)

 Ladang garapan dgn vegetasi (berpasir) 0,30 – 0,60 0,20 – 0,50 0,20 – 0,25 0,10 – 0,25

3. Daerah Industri

 Kurang padat

 Padat industri

0,50 – 0,80 0,60 –

0,90

 Padang rumput ( tanah berat)

 Padang rumput (t (tanah pasir)

 Hutan bervegetasi

0,15 – 0,45 0,05 – 0,25 0,05 – 0,25 4.Jalan Raya  Beraspal  Berbeton

 Berbatu bata

 Trotor 0,70 – 0,95 0,80 – 0,95 0,70 – 0,85 0,70 – 0,85

7. Tanah Tdk Produktif (>30%)

 Rata, kedap air

 kasar

0,70 – 0,90

0,50 – 0,70

5. Tanah Lapang

 Berpasir, datar (2%)

 Berpasir,

agak rata (2-7%)

 Berpasir, miring (7%)

 Tanah berat, datar (2%)

 Tanah berat, agak rata (2-7%)

 Tanah berat, miring (7%)

0,05 – 0,10 0,10 -0,15 0,15 – 0,20 0,13 – 0,17 0,18 – 0,22 0,25 – 0,35

8. Taman, Kuburan 9. Tempat Bermain 10. Daerah Stasiun KA 11. Daerah Tak - Berkembang 12. Daerah Beratap

0,10 – 0,25 0,20 – 0,25 0,20 – 0,40 0,10 – 0,30 0,75 – 0,95

Sumber: Asdak, 2002


(39)

Infiltrasi merupakan masuknya air hujan ke dalam tanah. Kecepatan infiltrasi mempunyai dimensi volume per satuan waktu per satuan luas. Infiltrasi tidak ada hubungannya dengan konduktivitas hidrolik maupun konduktivitas kapiler tanah. Infiltrasi merupakan satu-satunya sumber air tanah untuk keberlangsungan pertumbuhan vegetasi dan menyuplai air (sumur, mata air, dan sungai).

Pergerakan infiltrasi dapat terhambat dikarenakan profile tanah. Meskipun hambatan infiltrasi ini biasa terjadi permukaan tanah, namun dapat terjadi juga pada beberapa titik dibawah tanah. Hal yang paling penting dalam mempengaruhi kecepatan infiltrasi harus dilakukan bukan hanya karakteristik fisik tanah dan jenis tutupan tanah, tetapi juga beberapa faktor lain seperti air di butiran tanah, temperatur, dan intensitas hujan.

F.5.6.Aliran Air Lambat

Aliran lambat perlu menjadi perhatian dalam pengelolaan DAS karena aliran ini dapat terjadi pada waktu keperluan air meningkat. Aliran air lambat (lowflows) dapat memberikan kesempatan untuk terjadinya pengendapan limbah pencemar lingkungan dan dapat mengakibatkan aliran sungai menjadi lebih peka terhadap perubahan suhu, sehingga menyebabkan terganggunya kehidupan organisme air sungai.

Dunne dan Leopold (1978), mengemukakan salah satu indikator adanya aliran lambat adalah dengan melihat frekuensi terjadinya keadaan tanpa aliran (zero flows) suatu sungai, dengan asumsi keadaan tanpa aliran akan didahului oleh kejadian aliran lambat. Metode yang digunakan untuk memprediksi aliran lambat adalah dengan menggunakan karakteristik frekuensi aliran dengan menggunakan teknik “Dry Weather Flow” (DWF), yaitu suatu teknik yang memanfaatkan aliran air minimum rata-rata 7 hari dalam satu tahun. Dimana periode waktu 7 hari ini merupakan minggu yang paling kering selama musim kemarau (Pirt dan Douglas, 1982). Di Amerika teknik yang paling umum untuk


(40)

memprakirakan aliran lambat adalah aliran minimum 7 hari berturut-turut dalam setahun untuk periode ulang 10 tahun atau (7Q10). Metode yang direkomendasikan untuk menghitung 7Q10 adalah dengan menggunakan analisa distribusi frekuensi untuk periode ulang 10 tahun (Riggs, 1982; dalam Kroll dan Vogel, 2002).

F.5.7.Debit Sungai

Data debit atau aliran sungai merupakan informasi yang penting dalam pengelolaan sumberdaya air dalam suatu DAS. Debit puncak (banjir) diperlukan untuk merancang bangunan pengendali banjir, sedangkan debit aliran kecil diperlukan untuk perencanaan alokasi pemanfaatan air untuk berbagai macam keperluan. Debit aliran rata-rata tahunan dapat memberikan gambaran potensi sumberdaya air yang dapat dimanfaatkan dari suatu DAS.

Koefisien regim sungai (KRS) adalah koefisien yang merupakan perbandingan antara debit harian rata-rata maksimum dan debit harian rata-rata minimum. Semakin kecil angka KRS berarti semakin baik kondisi hidrologi dari suatu DAS (Kepmenhut No. 52/Kpts-II/2001). Untuk melakukan evaluasi secara makro dapat juga dilakukan dengan menghitung perbandingan atau nisbah antara debit sungai maksimum yang terjadi pada musim hujan dan debit minimum yang terjadi pada musim kemarau, yang menunjukkan efektifitas suatu daerah aliran sungai dalam menyimpan surplus air pada musim hujan yang kemudian dapat dialirkan pada musim kemarau. Indikator lainnya juga dapat ditunjukkan oleh hidrograf satuan (unit hydrograph) sungai dalam DAS tersebut (Suripin, 2002). Semakin curam hidrograf satuan suatu sungai menunjukkan bahwa debit limpasan semakin besar sedangkan aliran dasar (base-flow) semakin kecil. Tabel F.4 berikut menyajikan nilai rasio Qmax/Qmin beberapa sungai di Indonesia, yaitu berkisar antara 8 – 2500 (Kementerian lingkungan hidup, 2003 dalam Prastowo, 2003). Meskipun batasan nilai rasio


(41)

Qmax/Qmin berbeda untuk setiap sungai, namun data tersebut memberi gambaran bahwa telah terjadi kerusakan di beberapa daerah aliran sungai di Indonesia.

Dalam Kep MENHUT No. 52/Kpts-II/2001, disebutkan nilai perbandingan antara debit maksimum dan minimum atau disebut koefisien regim sungai (KRS), kondisi hidrologi atau tata air dalam suatu DAS dikatakan baik apabila nilai KRS di bawah 50 dengan koefisien variannya (CV) di bawah 10%, sedangkan kondisi DAS rusak bila nilai KRS di atas 120 dengan CV di atas 10%.

Tabel F.4 Data Rasio (Qmax/Qmin )pada Beberapa Sungai di Indonesia

Sungai Qmax/QminRasio Sungai Qmax/QminRasio S. Citarum 57 – 1667 S. Bt. Kuantan 56

S. Cibuni 78 S. Bt. Kampar 68 – 101

S. Ciujung 22 – 179 S. Bt. Rokan 59

S. Solo (Jateng) 106 S. A. Dikit 25

S. Serayu 1667 S. Bt. Hari (Jambi) 18 – 357

S. Lusi 345 S. Musi 9 – 47

S. Progo 400 – 588 S. Tulang Bawang 175 – 256

S. Solo (Jatim) 164 S. Sekampung 667

S. Brantas 8 – 12 S. Paguyaman 2500

S. Asahan 42 S. Randangan 72

S. Pasaman 33 S. Cenranae 60 – 2000

S.Bt.Hari (Sumbar) 139 S. Mapili 588

S. L. Sampara 13

Sumber : Prastowo, 2003

F.6 Perkiraan Debit Banjir

Perkiraan debit banjir dapat diterapkan dalam perhitungan debit sungai yang didasarkan pada hujan lebat. Perkiraan debit di daerah studi ini menggunakan cara statistik atau kemungkinan. Cara ini sangat teoritis dan mempunyai suatu keuntungan yang besar sebagai cara peramalan yang berdasarkan data-data yang lalu (Soemarto,1986).

F.6.1 Perhitungan Frekuensi Banjir dengan Cara Kemungkinan Cara statistik atau cara kemumgkinan banyak digunakan orang sebelum analisa limpasan dengan cara hidrograf satuan dikembangkan. Jika terdapat cukup banyak data dan jika tidak terdapat


(42)

variasi yang besar dari kondisi aliran sungai sebelum dan sesudah perioda pengamatannya, maka perhitungan dengan cara kemungkinan dari debit banjir maksimum yang diperkirakan terjadi dengan frekuensi yang tetap adalah cukup baik.

Perkiraan debit banjir maksimum dan frekuensinnya diklasifikasikan dalam 2 (dua) cara, yaitu :

a. Perkiraan dengan kurva kondisi aliran b. Perkiraan dengan kurva kemungkinan

Cara kemungkinan untuk mempelajari banjir yaitu jika hanya kurva kemungkinan itu yang ada, maka debit banjir yang terjadi sekali dalam 1000 tahun masih juga dapat diperoleh (ditentukan). Umpamanya selama perioda pengamatan 54 tahun telah terjadi 153 kali banjir atau rata-rata 2,83 kali dalam setahun. Jadi dalam 1000 tahun akan terjadi banjir sebanyak 2830 kali. Debit banjir maksimum yang dapat diharapkan dapat terjadi dalam perioda ini adalah debit yang sesuai dengan presentasi kejadiannya, yakni (100/2830)% atau 0,035 %. F.6.2 Batas Penggunaan Cara Kemungkinan

Dalam sub bab sebelumnya diterangkan, debit banjir maksimum yang diharapkan terjadi sekali dalam 1.000 tahun telah diperkirakan berdasarkan data pengamatan selama 54 tahun. Akan tetapi dalam penggunaan cara ini maka adalah sangat penting untuk mengetahui besarnya kesalahan yang mungkin (probable error) yang termasuk dalam hasil yang didapat dan berapa banyak contoh/kumpulan bebas (independent samples) yang diperlukan untuk penterapan cara kemungkinan tanpa ada kesalahan.

Perhitungan harga suatu variabel yang terjadi dalam suatu kemungkinan tertentu, akan lebih tepat jika menggunakan contoh-contoh yang lebih banyak. Umpamanya jika hanya terdapat data selama 10 tahun yang dapat digunakan dalam perhitungan debit banjir maksimum yang diharapkan terjadi sekali setiap selama 10 tahun, maka kesalahan yang termasuk dalam hasil perhitungan yang sama itu dilakukan dengan menggunakan 100 tahun data, maka mengingat


(43)

banjir yang terjadi sekali dalam 10 tahun telah termasuk dalam kesepuluh contoh itu, kesalahan yang mungkin akan menjadi sangat kecil karena telah menggunakan contoh yang lebih sebagai dasar penilaian. Sebaliknya jika hanya terdapat 50 tahun data yang dapat digunakan untuk menghitung debit banjir maksimum yang diharapkan terjadi sekali setiap 100 tahun, maka kesalahan yang mungkin itu akan sangat besar yang dapat mencapai beberapa ratus persen karena contoh lengkap yang ada, makin tinggi ketelitian kemungkinan itu. Akan tetapi menurut perkiraan, untuk menghitung debit banjir yang diharapkan dari sebuah sungai, diperlukan paling sedikit 10 sampel bebas (independent samples).

Berdasarkan hal ini, maka untuk menghitung debit banjir yang terjadi sekali setahun, sekali dalam 3 tahun atau 5 tahun diterapkan cara statistik atau cara kemungkinan, dengan menggunakan data selam 50 tahun. Jadi perluasan perhitungan seperti perhitungan debit banjir yang terjadi sekali 1000 tahun dengan menggunakan data 50 tahun dan seterusnya adalah salah karena harus dipahami bahwa dapat terjadi kesalahan yang ekstrim.

F.7 Proyeksi Penduduk

Metoda-metoda untuk menghitung proyeksi penduduk ada beberapa macam, antara lain adalah :

1. Metoda Aritmatik 2. Metoda Geometri 3. Metoda Least Square

4. Metoda Trend Eksponensial

5. Metoda Decreasing Rate of Increase 6. Metoda Logaritmik

7. Metoda Rasio & Korelasi 8. Dan lain-lain

Dari ketujuh metoda tersebut, metoda yang biasa digunakan adalah Metoda Aritmatik, Metoda Geometri, Metoda Logaritmik dan Metoda Trend Eksponensial.


(44)

F.7.1 Metoda Proyeksi yang digunakan F.7.1.1 Metoda Aritmatik

Metoda ini dihitung berdasarkan pada angka kenaikan penduduk rata-rata setiap tahun. Metoda ini digunakan jika data berkala menunjukkan jumlah penambahan yang relatif sama setiap tahunnya. Metode proyeksi ini merupakan proyeksi dengan regresi sederhana.

Persamaannnya adalah :

YabX (F-38)

n Xi b Yi

a

(F-39)

 

 

2

2

Xi

Xi

n

Yi

Xi

Yi

.

Xi

n

b

(F-40) dimana :

Y = Nilai variabel y berdasarkan garis regresi, populasi ke n X A b = = =

Bilangan independen, bilangan yang dihitung dari tahun awal Konstanta

Koefisien arah garis (gradien) regresi linear F.7.1.2 Metoda Geometri

Metoda ini didasarkan pada rasio pertambahan penduduk rata-rata tahunan. Sering digunakan untuk meramalkan data yang perkembangannya melaju sangat cepat. Perhitungannya adalah :

Ya.Xb (F-41) Persamaan di atas dapat dikembalikan kepada model linear dengan mengambil logaritma napirnya (Ln), dimana :

Ln Y  LnabLnX (F-42)

Persamaan tersebut linear dalam Ln X dan Ln Y. n Xi Ln b Yi Ln a

Ln 


(45)

2 2

X

Ln

Xi

Ln

n

Yi

Ln

.

Xi

Ln

Yi

Ln

.

Xi

ln

.

n

b

(F-44) dimana :

Y = Nilai variabel y berdasarkan garis regresi, populasi ke n X A b = = =

Bilangan independen, bilangan yang dihitung dari tahun awal Konstanta

Koefisien arah garis (gradien) regresi linear F.7.1.3 Metoda Eksponensial

Persamaannya sebagai berikut :

Y = a . eb.X (F-45)

Dengan mengambil logaritma napirnya (Ln), persamaan di atas dapat dirubah menjadi persamaan ; Ln Y = La a + b.X

Dimana persamaan tersebut linear dalam X dan Ln Y.

n

Xi

b

Yi

Ln

a

Ln

(F-46)

 

2

2

X

Xi

.

n

Yi

Ln

Xi

Yi

Ln

.

Xi

.

n

b

(F-47) dimana :

Y = Nilai variabel y berdasarkan garis regresi, populasi ke n X A b = = =

Bilangan independen, bilangan yang dihitung dari tahun awal Konstanta

Koefisien arah garis (gradien) regresi linear

F.7.1.4 Metoda Logaritmik Persamaan umumnya adalah :


(46)

Y = a.bX (F-48)

Persamaan di atas dapat dikembalikan kepada model linear dengan mengambil logaritma napirnya (Ln), dimana :

Y = a + b. Ln X (F-49)

Apabila X’ = Ln X, maka diperoleh bentuk Y = a + b.X’, dengan mengganti nilai X = Ln X.

n

Xi

Ln

b

Yi

a

(F-50)

 

2

2

)

Ln

Xi

Xi

Ln

(

.

n

Yi

Xi

Ln

Yi

.

Xi

Ln

.

n

b

(F-51) dimana :

Y = Nilai variabel y berdasarkan garis regresi, populasi ke n X A b = = =

Bilangan independen, bilangan yang dihitung dari tahun awal Konstanta

Koefisien arah garis (gradien) regresi linear F.7.2 Pemilihan Metoda Proyeksi

Pemilihan metoda dilakukan dengan menghitung standar deviasi (simpangan baku) dan koefisien korelasi.

Rumus Standar Deviasi :

1 n ' X Xi n S 2  

untuk n < 20 (F-52)

n ' X Xi n

S

 2 untuk n > 20

(F-53)

Rumus Koefisien Korelasi :

2 i 2 i

y

y

'

y

y

1

r

(F-54) dimana :


(47)

xI = P – P’

yI = P = Jumlah penduduk awal

y = Pr = Jumlah penduduk rata-rata

y’ = P’ = Jumlah penduduk yang akan dicari

Pemilihan metoda yang paling tepat jika :

 Harga “S“ yang paling kecil.

 Harga “r” yang paling mendekati 1 atau –1.

F.8 Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem berbasis komputer yang berguna dalam melakukan pemetaan (mapping) dan analisis berbagai hal dan peristiwa yang terjadi diatas permukaan bumi. Teknologi SIG mengintegrasikan operasi basis data seperti query dan analisis statistik dengan visualisasi yang unik serta analisis spasial yang ditawarkan melalui bentuk peta digital. Kemampuan tersebutlah yang membedakan SIG dengan Sistem Informasi lain dan membuat SIG lebih bermanfaat dalam memberikan informasi yang mendekati kondisi dunia nyata, memprediksi suatu hasil dan perencanaan strategis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis obyek dimana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting.

Penanganan dan analisis data berdasarkan lokasi geografis merupakan kunci dari SIG. Oleh karena itu data yang digunakan dan dianalisa dalam suatu SIG berbentuk data peta (spasial) yang terhubung langsung dengan data tabular yang mendefinisikan geometri data spasial.

a. Komponen Sistem Informasi Geografis

Secara umum SIG bekerja berdasarkan integrasi lima Komponen, yaitu: Hardware, software, data, manusia dan metode yang dapat diuraikan sebagai berikut:

 Hardware dimana SIG membutuhkan hardware yang memiliki spesifikasi yang lebih tinggi dibandingkan sistem informasi lainnya untuk menjalankan software-software SIG, seperti RAM,


(48)

Hard disk, prosesor maupun VGA Card baik untuk komputer stand alone maupun jaringan. Hal tersebut disebabkan karena data-data yang digunakan dalam SIG baik data vektor maupun data raster penyimpanannya membutuhkan ruang yang besar dan dalam proses analisanya membutuhkan memory yang besar dan prosesor yang cepat.

 Software, sebuah software SIG haruslah menyediakan fungsi dan tool yang mampu melakukan penyimpanan data, analisis dan menampilkan informasi geografis. Dengan demikian elemen yang harus terdapat dalam komponen software SIG adalah: tools untuk melakukan input dan transformasi data geografis, sistem manajemen basis data, tool yang mendukung query geografis, analisis dan visualisasi, graphical User Interface (GUI) untuk memudahkan akses pada tool geografi.

 Data, hal yang merupakan komponen penting dalam SIG adalah data. Secara fundamental SIG bekerja dengan dua tipe model data geografis yaitu model data vektor dan model data raster.  Manusia, teknologi SIG tidaklah menjadi bermanfaat tanpa

manusia yang mengelola sistem dan membangun perencanaan yang dapat diaplikasikan sesuai kondisi dunia nyata. Sama seperti pada Sistem Informasi lain pemakai SIG pun memiliki tingkatan tertentu , dari tingkat spesialis teknis yang mendesain dan memelihara sistem sampai pada pengguna yang menggunakan SIG untuk menolong pekerjaan mereka sehari-hari  Metode, SIG yang baik memiliki keserasian antara rencana desain yang baik dan aturan dunia nyata, dimana metode, model dan implementasi akan berbeda-beda untuk setiap permasalahan.

b. Ruang lingkup Proses Sistem Informasi Geografis SIG pada dasarnya melakukan enam proses yaitu:


(1)

GambarF.23 Ilustrasi output proyeksi curah hujan

b. Analisis Perubahan Tata Guna Lahan

Untuk mengidentifikasi jenis tata guna lahan vegetasi, salah satu cara yang efektif adalah dengan menganalisa perubahan indeks NDVI. NDVI adalah salah satu cara yang efektif dan sederhana untuk mengidentifikasi kondisi vegetasi di suatu wilayah, dan metoda ini cukup berguna dan sudah sering digunakan dalam menghitung indeks kanopi tanaman hijau pada data mutispectral penginderaan jauh. Secara definisi matematis, dengan menggunakan NDVI, maka suatu wilayah dengan kondisi vegetasi yang rapat akan memiliki nilai NDVI yang positif dan begitu juga sebaliknya, Sedangkan nilai NDVI perairan bebas akan cenderung bernilai negatif.


(2)

GambarF.24 Ilustrasi peta tematik perubahan tata guna lahan c. Analisis Dirrect Runof dan Proyeksinya

Nilai Dirrect Runof (DRO) bergantung kepada jenis tanah, tutupan lahan serta curah hujan yang turun, sehingga nilainya bervariasi pada jenis tanah dan tutupan lahan yang berbeda. DRO yang paling besar terjadi pada daerah dengan tutupan lahan di kota dan jenis tanah lempung hal ini disebabkan oleh kemampuan tanah dalam menyerap air hujan pada daerah kota sangatlah kecil, mengingat daerah perkotaan yang permukaannya lebih banyak ditutupi ole lapisan kedap air seperti beton dan semen. Jenis tanah lempung juga memberikan daya penyerapan air hujan ke dalam tanah, porositasnya yang besar menyebabkan air sulit masuk kedalam tanah sehingga kebanyakan air hujan yang turun mengalir di permukaan sebagai DRO.


(3)

Gambar F.25 Ilustrasi peta tematik dirrect runof

d. Analisis Baseflow dan Proyeksinya

Baseflow secara kasar mencerminkan seberapa banyak air mencapai reservoir air tanah (recharge). Namun dalam kajian ini, proses discharge yang terjadi tidak akan dibahas. Yang dapat dianalisis dari persamaan Penman untuk menentukan besarnya baseflow adalah besarnya recharge yang terjadi di reservoir air tanah di daerah kajian. Baseflow secara langsung dipengaruhi oleh runof dan dirrect runof. Oleh karena itu, baseflow dipengaruhi pula oleh besarnya infiltrasi. Daya serap tanah terhadap air memegang peranan penting dalam infiltrasi, sehingga nilai baseflow dipengaruhi pula oleh jenis dan tipe tanah serta tutupan lahan diatasnya.


(4)

Gambar F.26 Ilustrasi peta tematik base flow

e. Analisis Kondisi Sungai Cileungsi Berdasarkan Pencemaran Dalam pemodelan kualitas air sepanjang sungai dilakukan perhitungan untuk titik sumber banyak (multiple point of sources). Nilai koefisien reaerasi didapat dari persamaan rumus O’Connor Dobbins (persamaan F-12), sedangkan untuk koefisien deoksigenasi dihitung dengan metode Least Square didapat dari anga parameter perhitungan BOD 1 hari hingga BOD 5 hari, pada titik pencemar, untuk BOD ultimate dihitung berdasarkan neraca massa konstituen (BOD), sedangkan BOD pada badan air dihitung berdasarkan BOD ultimate sebelumnya. Persamaan yang menggambarkan hubungan BODL terhadap waktu dapat dilihat pada persamaan (F-19), untuk defisit oksigen terlarut menggunakan persamaan (F-21). Gabungan dari efek deoksigenasi dan reaerasi digambarkan dalam kurva oksigen sag. Kurva ini menunjukkan efek pencemaran organik pada tingkat DO dalam perairan sungai. Analisis dilakukan pada dua musim yaitu musim hujan dan kemarau, adapun parameter yang diperlukan dalam analisis ini antara lain adalah; data badan air, koefisien deoksigenasi dan reaerasi, perhitungan matematis Streeter Phelps, kurva oksigen Sag DO, Kurva BOD, hubungan DO, DO Defisit dan BOD, temperatur dan pH.

f. Analisis Perkiraan Kualitas Air Sungai Cileungsi Pada Debit Minimum, Rata-rata dan Minimum


(5)

pada saat ketiga kondisi debit ini terjadi. Pengaruh debit sungai terhadap kelarutan ksigen tidak sebanyak pengaruh temperatur terhadap oksigen dalam air. Perkiraan konsentrasi DO pada sungai Cileungsi pada ketiga kondisi debit ini selanjutnya didasarkan pada persamaan Linier dari data-data penelitian terdahulu.

g. Proyeksi Kualitas Air Sungai Cileungsi Pada Masa 25 Tahun Yang akan datang

Proyeksi kualitas air sungai Cileungsi pada masa 25 tahun yang akan datang ini didasarkan pada proyeksi buangan limbah yang berasal dari kegiatan industri, domestik dan pertanian.

Air buangan yang berasal dari kegiatan industri dapat diperoleh dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kabupaten Bekasi dan pengamatan langsung dari lapangan yang merupakan industri yang cukup besar memberikan konstribusi pencemaran ke sungai Cileungsi. Proyeksi air buagan juga diperhitungkan berdasarkan rencana pengembangan kawasan industri yang telah tertuang dalam RDTR Kabupaten Bekasi. Perhitungan proyeksi beban pencemaran industri didasarkan pada kapasitas produksi industri, jenis dan komposisi bahan baku yang digunakan, dan kebutuhan air bersih, Air bersih ini akan dimanfaatkan untuk semua proses produksi dan akan menjadi air buangan.

Sedangkan untuk memperkirakan jumlah beban organik dari kegiatan domestik, terlebih dahulu diperkirakan jumlah penduduk yang membuang limbah ke sungai Cileungsi, karena tidak semua penduduk membuang limbahnya ke Sungai Cileungsi. Diasumsikan hanya


(6)

tepi sungai yang diperhitungkan yaitu penduduk yang bertepat tinggal pada zone 0,5 km pada kiri dan kanan daerah aliran sungai, disamping itu perkiraan beban buangan organik penduduk juga dihitung berdasarkan asumsi-asumsi sebagai berikut :

 Air buangan yang berasal dari pemukiman penduduk tersebut tidak dilakukan pengolahan terlebih dahulu sebelum masuk ke badan air sungai karena tidak adanya fasilitas IPAL komunal.

 Air buangan dari pemukiman penduduk tersebut 100% dibuang