PENGARUH MOTIVASI TERHADAP KEPUASAN PENONTON SINETRON PARA PENCARI TUHAN DI MAJELIS TAKLIM AL-AMIN RT 005 RW 06 DI KELURAHAN MEKARSARI DEPOK JAWA BARAT

(1)

PENGARUH MOTIVASI TERHADAP KEPUASAN PENONTON SINETRON PARA PENCARI TUHAN DI MAJELIS TAKLIM AL-AMIN RT 005 RW 06 DI

KELURAHAN MEKARSARI DEPOK JAWA BARAT

Oleh:

Eriz Rakhmadania

104051001824

Di bawah bimbingan:

Dr. Umaimah Wahid

NIP 150293222

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia yang diberikan, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Orang tua penulis, Papa Muslim Wahi dan Mama Hanifah Ahmad. Terima kasih atas doa, dukungan, kepercayaan, nasehat, dan tentunya kasih sayang yang tiada taranya.

2. Mami Yulidar dan Papi Asril, nenek tersayang, who has given me fantastic references.

3. Ibu Umaimah, dosen pembimbingku yang teramat baik, terima kasih atas dukungan, bantuan dan arahan selama penyusunan skripsi.

4. Pak Wahidin dan Bu Umi, terima kasih atas dukungan dalam pembuatan skripsi ini, yang tidak pernah bosan bertanya kapan selesai skripsinya.

5. Pak Jumroni dan Pak Suhaimi, tanpa bapak-bapak, saya tidak akan pernah mengerti bagaimana membuat skripsi dan merancang penelitian. Terimakasih saya haturkan.

6. Pak Bekti, Statistic is always the best choice for research, terimakasih pak sudah mengajarkan statistik ilmu yang sangat mengasyikkan.

7. My best friends, Ayu, Uji, Rosdi, Dewa, Dama, Syukriah, Adhe, FLP community: Murni, Ka Dodo, Ka Aep, Lina, Rahmat, dkk. Novita terimakasih atas bantuannya dalam penelitian.. YOU ALL MAKE IT, GUYS..Thanks!!


(3)

8. Buat para kru Demi Gisela Citrasinema yang aneh dan suka memberikan petuah yang complicated. Terutama buat Mas Wahyu and Pak Hakim, saya rasa mereka berdua adalah seniman filsafat tingkat tinggi setelah mentor saya sendiri.

9. Buat kakakku cenop yang selalu kusayang! terimakasih atas segala kritik, sindiran lantaran menulis skripsi kelamaan, dan makasih karena sudah sangat berbaik hati membiarkan daku bolak-balik masuk kamarmu untuk mengetik skripsi di laptopmu.

10. Spesial buat Ka Pampam, mentor yang selalu memberikan wejangan terbaik yang pernah ada di muka bumi ini, apalagi kalau bukan Al-Qur’an dan sunnah Rasul., jangan bosan-bosan nasihatin orang-orang yang lalai ya, Kak.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, maka penulis sangat mengaharapkan saran dan kritik pembaca untuk perbaikan dimasa mendatang. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Ciputat, 5 Mei 2008 Penulis


(4)

DAFTAR ISI

Abstrak Abstract

Kata Pengantar i

Daftara Isi iii

Daftar Tabel v

BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang Masalah 1

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 5 1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 7 1.4 Tinjauan Kepustakaan 8 1.5 Metodologi Penelitian 10

1.5.1 Operasionalisasi Konsep dan Definisi Operasional 11

1.5.2 Populasi dan Sampel 13

1.5.2.1 Populasi 13

1.5.2.2 Teknik Penarikan Sampel 13

1.5.3 Lokasi dan Waktu Penelitian 13

1.5.4 Teknik Pengumpulan Data 14

1.6 Teknik Analisis Data 15

1..6.1 Uji Validitas 15

1..6.2 Uji Reliabilitas 16

1.7 Sistematika Penulisan 17

BAB II KERANGKA TEORITIS 18

2.1Motif dan Gratifikasi Media 18

2.1.1 Motif Kognitif dan Gratifikasi Media 18

2.1.2 Motif Afektif dan Gratifikasi Media 21

2.2 Teori Uses and Gratifications 23

2.3 Media Televisi 27


(5)

2.3.2 Televisi Sebagai Media Dakwah 32

2.4 Sinema Elektronik 34

BAB III DATA-DATA PENELITIAN 37

3.1Sejarah Perkembangan Citrasinema 37

3.1.1 Sejarah Singkat 37

3.1.2 Manajemen 37

3.2Visi dan Misi Citrasinema 38

3.3Strukturisasi Anggota Citrasinema 40

3.4 Skenario Sinema Para Pencari Tuhan 41

3.4.1 Tema Sentral Sinema Para Pencari Tuhan 41

3.4.2 Alur dan Penokohan 42

3.4.2.1 Alur 42

3.4.2.2 Penokohan 43

3.5 Profil Penonton Sinema Para Pencari Tuhan 48

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 52

4.1 Deskripsi Data 52

4.1.1 Identitas Responden 52

4.1.2 Kepuasan yang didapat 54

4.1.3 Kepuasan yang dicari 56

4.1.4 Uji validitas dan Realibilitas 57

4.1.5 Uji hipotesis 57

4.2 Analisis Data 60

4.2.1 Identitas responden 60

4.2.2 Motivasi menonton responden 60

4.2.3 Kepuasan yang didapat 61

BAB V PENUTUP 62

5.1Kesimpulan 62

5.2Saran 63 Daftar Pustaka


(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Jenis Kelamin Responden 48

Tabel 1.2 Usia Responden 49

Tabel 1.3 Pendidikan Responden 50

Tabel 1.4 Lamanya menonton televisi dalam sehari 52

Tabel 1.5 Frekuensi menonton PPT 53

Tabel 1.6 Kepuasan yang didapat 54

Tabel 1.7 Motivasi menonton 56


(7)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Apapun profesi atau pekerjaan seseorang, dapat dipastikan ia pernah mendengarkan radio, menonton televisi atau film di bioskop, membaca koran atau majalah. Di saat seseorang mendengar radio, membaca koran, atau menonton film, sebenarnya ia sedang berhadapan dengan atau terpaan media massa, di mana pesan media itu secara langsung atau tidak langsung tengah memengaruhinya. Gambaran ini mencerminkan bahwa keberadaan komunikasi massa dengan segala bentuk mendia massa terus memburu orang yang terterpa atau menerpakan dirinya kepada media massa.1

Bagi orang yang suka menerpakan dirinya pada media massa dapat dikatakan ia memiliki motif tertentu, hingga memotivasi dirinya untuk menerpakan diri pada media massa. Hal ini disebabkan kebutuhan untuk mencapai kepuasan. Biasanya hal ini berhubungan dengan psikologis seseorang. Globalisasi dan kepadatan penduduk telah membuat ketegangan tersendiri, sehingga pada akhirnya orang yang menggantungkan diri kepada media massa demi pemuasan kebutuhan.

Bagi umat Islam hadirnya media massa dapat digunakan sebagai sarana dakwah. Media massa dapat membantu dalam upaya transfer pemahaman akan ajaran Islam, di samping itu dapat menambah pengetahuan tentang teknologi. Dakwah adalah kegiatan komunikasi yang saat ini menuntut adanya sarana media massa demi memudahkan ajaran Islam dapat diterima hingga ke pelosok pedalaman.

Dalam melakukan aktifitas dakwah, bukan hanya media yang berperan, namun juga person yang menyampaikan ajaran atau risalah Rasulullah aktifitas dakwah memang bukan tugas yang harus diemban oleh sekelompok pendakwah profesional atau aktifitas paruh waktu semata. Akan tetapi setiap muslim, baik berpendidikan maupun tidak,

1

Drs. Elvinaro Ardiyanto, M.Si dan Dra. Lukiati Komala Erdinaya, M.Si. Komunikasi Massa Suatu Pengantar (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2004), Cetakan ke-2. h.1


(8)

memiliki tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan dakwah dan tanggung jawab ini lebih besar bagi orang yang berilmu dan arif.2

Gejala meningkatnya peranan agama dalam masyarakat mengisyaratkan munculnya keperluan baru dalam bidang dakwah Islam. Setiap kejadian di berbagai sektor kehidupan masyarakat yang melibatkan kepentingan umat Islam, hampir selalu memerlukan fatwa dari organisasi-organisasi Islam terutama MUI (Majelis Ulama Indonesia) atau, dengan satu dan lain cara mendorong keterlibatan lembaga-lembaga agama. Itu berarti, terjadi interaksi yang semakin luas dan kompleks antara agama dan masyarakat yang makin berubah.

Kompleksitas hubungan antara agama dan masyarakat itu agaknya ingin lebih banyak berperan untuk mengendalikan nilai-nilai dan gaya hidup masyarakat yang sedang berubah itu, agar tidak membahayakan sistem nilai umat Islam yang sudah lama mapan, dan juga tidak membahayakan tatanan hidup beragama itu sendiri.3

Dari pernyataan di atas, kita dapat mengambil suatu pembaharuan yang dapat digunakan dalam berdakwah untuk tetap menjaga kemapanan sistem Islam yang telah terbina, yakni dengan menggunakan media massa. Mubalig sepatutnya tidak hanya menguasai ilmu agama, namun juga menguasai sains dan teknologi.

Pandangan yang menyatakan bahwa dunia barat merupakan buah dari demokrasi adalah perkataan yang dilontarkan oleh orang yang tidak mengetahui fakta dan realita. Alasannya, karena berbagai bentuk penemuan itu lahir berdasarkan proses penelitian ilmiah, yang merupakan perkara-perkara yang bisa dicapai oleh akal manusia manapun yang telah diberikan Allah. Jadi, hal itu tidak berkaitan dengan pandangan hidup

2

Alwi Shihab. Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1997) h. 252-253.

3


(9)

(ideology). Fenomena tentang sains dan teknologi bisa kita saksikan ada dalam kalangan orang-orang kapitalis, sosialis, atau pun muslim. Sebab Allah telah memberikan kepada manusia kemampuan akal seperti itu.4 Karena itu, sudah sepatutnya seorang mubalig dapat memanfaatkan media massa sebagai sarananya untuk berdakwah.

Kita dapat menggunakan metode debat, ataupun mauizhah hasanah dalam formatnya. Salah satu media massa yang dapat dijadikan media dakwah adalah sinema elektroniik. Sinema elektronik merupakan gambaran bergerak yang dapat menyampaikan suatu maksud kepada penontonya, ia dapat berupa persuasif maupun edukasi. Dengan menggunakan sinema elektronik atau yang biasa disebut dengan sinetron, dakwah yang disampaikan akan lebih mudah dimengerti, karena mereka dapat melihat secara langsung visualisasi tentang hal-hal yang tidak mereka pahami. Karenanya dibutuhkan suatu skrip atau skenario yang sarat akan edukasi atau pemahaman tentang Islam yang mana dapat mengajak umat Islam untuk menjalankan perintah tuhan dengan penuh kerelaan. Dari sinilah akan tumbuh motivasi para audiens untuk mendapatkan kepuasan yang lebih daripada sekedar pesan-pesan verbal semata.

Hubungannya sendiri dengan teori uses and gratifications, dapat disandarkan pada sinetron yang saat ini diminati oleh masyarakat kita, yakni, sinetron Para Pencari Tuhan. Audiens sinetron Para Pencari Tuhan dapat dikatakan hampir mencakup seluruh nusantara, data-data yang diambil dari situs SCTV dapat dijadikan acuan, bahwa audiens kemungkinan aktif dalam menggunakan media, dan dakwah dapat dilakukan dengan metode apa saja, selain metode konvensional yang selama ini masih di anut. Dibanding stasiun televisi lainnya, menurut MUI, hanya tiga stasiun televisi yang memiliki itikad

4

Ahmad Mahmud, Dakwah Islam jilid 2 Kajian Kritis Terhadap Metode Dakwah Rasulullah, (Bogor; Pustaka Thariqul Izzah, 2003) h.111


(10)

baik untuk menayangkan acara-acara yang bernuansa Ramadhan, seperti Metro TV, O channel, dan SCTV, sedangkan stasiun televisi lainnya, semuanya hampir menampilkan suasana yang sama, yakni: kekejaman, mistik, caci maki, kesadisan dan kebodohan. Khusus untuk SCTV, MUI menyatakan apresiasinya pada stasiun SCTV karena telah menampilkan sinetron Para Pencari Tuhan yang sarat pendidikan dan me.nghibur bagi masyarakat. Dilihat dari pencapaian rating, sinetron Para Pencari Tuhan menduduki peringkat pertama untuk seluruh stasiun televisi. Berikut ini penilaian masyarakat mengenai sinetron Para Pencari Tuhan dari skala satu sampai lima.

Nilai Overall 4.9

Ceritanya? 4.4

Peran/tokoh dalam cerita? 4.4

Keaslian cerita 4.4

Kualitas akting pemain 4.3

Musik pendukung 4.3

Apakah rutin mengikuti 4.1

Apakah menikmatinya 4.6

Perbandingannya dengan sinetron lain dengan sutradara yang sama

4.6

Dari tabel kita bisa melihat, bahwa sinetron Para Pencari Tuhan telah menimbulkan ketertarikan banyak orang untuk menontonnya, namun yang perlu diketahui disini, benarkah mereka termotivasi menonton sinetron Para Pencari Tuhan?


(11)

Apa yang mereka dapat setelah menontonnya? Maka di sini peneliti hendak menguji sikap masyarakat dengan berpijak pada teori uses and gratifications.

Berdasarkan dari uraian tertulis diatas maka skripsi ini mengangkat judul “Pengaruh Motivasi Terhadap Kepuasan Penonton Sinetron Para Pencari Tuhan di Majelis Taklim Al-Amin RT 005 RW 06 Kelurahan Mekarsari Depok Jawa Barat.”

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah.

Dalam penelitian ini, peneliti membatasi permasalahan yang hendak diteliti, pada penelitian ini yang menjadi subjek adalah penonton sinema Para Pencari Tuhan, sedangkan objek penelitian adalah motivasi dan kepuasan yang dicari dan didapat penonton. Penonton dibatasi pada majelis taklim al-Amin yang berdomisili di RT 005 RW 06 kelurahan Mekarsari, Depok.

Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah ada pengaruh motivasi terhadap kepuasan yang didapat penonton sinetron Para Pencari Tuhan di kelurahan Mekarsari, Depok?

Dari masalah penelitian yang peneliti uraikan, maka dapat ditarik sebuah hipotesis. Hipotesis merupakan suatu pernyataan yang pada waktu diungkapkan belum diketahui kebenarannya, tetapi memungkinkan untuk diuji dalam kenyataan empiris.5

Hipotesis-hipotesis yang dapat ditarik adalah sebagai berikut: Ho: Tidak ada pengaruh motivasi terhadap

kepuasan penonton sinetron para Para Pencari Tuhan di kelurahan Mekarsari, Depok.

H1: Ada pengaruh motivasi terhadap kepuasan penonton

5


(12)

sinetron Para Pencari Tuhan di kelurahan Mekarsari, Depok

Ho adalah pernyataan yang tidak memihak pada hipotesis yang diambil, artinya hipotesis nol bertolak pada asas praduga tak bersalah.

H1 adalah hipotesis alternatif jika hipotesis nol tidak dapat dibuktikan atau tertolak, hipotesis ini disebut sebagai hipotesis operasional. Hipotesis alternatif dapat dibuat sebanyak mungkin untuk mendapat variabel yang valid.6

1.3 Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:

Secara umum

1. Untuk mencari pengaruh motivasi terhadap kepuasan penonton sinetron Para Pencari Tuhan di kelurahan Mekarsari, Depok.

2. Untuk mengetahui ada atau tidaknya kepuasan yang didapat penonton setelah menonton sinetron Para Pencari Tuhan.

Secara khusus

Untuk mengetahui betul atau tidaknya konsumsi media massa dipengaruhi oleh motif

Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan pemikiran pada ilmu Komunikasi terutama dalam bidang kajian Komunikasi Massa untuk teori Uses and

Gratifications yang meneliti kepuasan khalayak dalam menggunakan media massa pada

umumnya, dan khususnya dalam hal kepuasan atas pilihan media elektronik dalam hal ini adalah televisi

6


(13)

Manfaat Praktis

1. Memberikan informasi tentang motif-motif yang mendorong penonton sinetron Para Pencari Tuhan di kelurahan Mekarsari Depok dalam mengakses acara tersebut.

2. Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan gambaran yang jelas mengenai sinetron yang seperti apa yang lebih bisa memuaskan pengguna media televisi. Agar dapat digunakan sebagai bahan rujukkan dalam bidang dakwah melalui sinetron.

1.4 Tinjauan Kepustakaan

Dari penelitian skripsi sebelumnya yang berjudul “Motivasi dan Kepuasan Pembaca Majalah Ummi di Kelurahan Pondok Kopi Jakarta Timur” karya Nyoman Dewi PP, didapatkan hasil bahwa ada kaitan antara motivasi dengan pemenuhan kebutuhan, namun sayangnya tidak dijelaskan dengan terperinci motif apa yang memotivasi perilaku responden, penelitian sebelumnya hanya memberikan data-data tentang kepuasan yang didapat dan kepuasan yang dicari responden, namun variabel motif itu sendiri tidak dijelaskan pengaruhnya terhadap kepuasan yang didapat. Maka dari penelitian yang peneliti lakukan ini, peneliti mencoba mencari motif apa yang sesungguhnya benar-benar memotivasi responden, ataukah hubungan motivasi dan kepuasan yang didapat penonton hanya didasarkan pada faktor kebiasaan menonton televisi atau memang ada faktor lainnya, seperti mutu cerita, penokohan, atau alurnya.

Penelitian lain menunjukkan beberapa pola demografik yang menyatakan kaum wanita cenderung menggunakan televisi sebagai teman; “orang-orang lebih muda menonton televisi untuk menghabiskan waktu, kelompok usia menegah menonton televisi


(14)

untuk menghabiskan waktu dan mencari informasi, dan kaum lebih tua menonton untuk mencari informasi.

Dari penelitian itu Lichtenstein dan Rosenfeld menyimpulkan bahwa keputusan menggunakan saluran-saluran komunikasi massa merupakan suatu proses dua – bagian: yakni, kita diajari motivasi apa yang dapat dipuaskan setiap medium; kemudian berdasarkan informasi yang kita miliki bersama tersebut, masing-masing dari kita membuat pilihan perseorangan. Meskipun pilihan ini merupakan keputusan pribadi, persepsi kita mengenai apa yang ditawarkan media yang berbeda relatif konsisten; kita cenderung memiliki citra yang stabil mengenai gratifikasi setiap medium yang dipersepsi.7

Dalam sebuah laporan yang lengkap dari penelitian yang sama, Levy (1978) menyimpulkan bahwa di samping menyampaikan informasi kepada pemirsa, berita-berita televisi juga menguji persepsi dan sikap pemirsa terhadap peristiwa-peristiwa maupun orang-orang “baru”. Namun demikian, partisipasi berjarak dengan realitas yang “disucihamakan” dan diselamatkan oleh pembaca berita selebritis. Banyak pemirsa, katanya “yang secara aktif” memilih di antara siaran-siaran berita yang tengah bersaing , “mengatur jadwal mereka agar berada didekat pesawat televisi pada jam berita, dan memberikan perhatian yang akrab tapi selektif terhadap acara tersebut.8

Tidak hanya audiens televisi, bahkan audiens radio pun berlaku sama. Para pendengar radio dengan cepat memanfaatkan medium radio untuk memantapkan suasana

7

Stewart L. Tubbs - Sylvia Moss. Human Communication Konteks-Konteks Komunikasi (Bandung; PT Remaja Rosdakarya,1998) jilid 2 pengantar Deddy Mulyana. h.212

8

Werner J. Severin – James W. Tankard, Jr. Teori Komunikasi Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2001) h.356


(15)

hati, menghabiskan hari, mendapatkan teman, melegakan diri secara sosial dan mendapatkan hiburan dan informasi.9

Para peneliti lain bahkan membuat daftar 35 kebutuhan yang diambil (sebagian berdasar spekulatif) dan literatur tentang fungsi-fungsi sosial dan psikologis media massa “kemudian menggolongkannya ke dalam lima kategori”:

1. Kebutuhan kognitif – memperoleh informasi, pengetahuan, dan pemahaman. 2. Kebutuhan afektif – emosional, pengalaman menyenangkan, atau estetis.

3. Kebutuhan integratif personal – memperkuat kredibilitas, rasa percaya diri, stabilitas, dan status.

4. Kebutuhan integratif sosial – mempererat hubungan dengan keluarga, teman, dan sebagainya.

5. Kebutuhan pelepasan ketegangan – pelarian dan pengalihan.10

1.5 Metodologi Penelitian

Pendekatan atau metodologi yang digunakan adalah kuantitatif. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Penelitian survei menggunakan alat kuesioner dalam mengukur tingkat motivasi dan kepuasan penonton sinetron Para Pencari Tuhan di kelurahan Mekarsari. Proses dimulai dengan mengumpulkan data pada responden tentang bagaimana kepuasan mereka terhadap sinetron Para Pencari Tuhan.

Motivasi dan kepuasan responden diukur dengan menggunakan skala Likert, dengan tingkatan (1). Sangat setuju, (2). Setuju, (3). Ragu-ragu, (4). Tidak setuju, (5).

9

James Lull, Media Komunikasi dan Kebudayaan. Penerjemah A. Setiawan Abadi. (Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 1997) h.107-108

10


(16)

Sangat tidak setuju. Setiap tingkatan memiliki nilai tersendiri, yakni, jika responden menjawab sangat setuju maka di beri nilai lima, jika menjawab setuju, maka di beri empat, jika menjawab ragu-ragu maka di beri tiga, dan seterusnya.

1.5.1 Operasionalisasi Konsep dan Definisi Operasional

Konsep kepuasan penonton sinetron Para Pencari Tuhan terbagi menjadi dua, yaitu motif atau biasa disebut dengan Gratification Sought dan kepuasan yang diperoleh atau Gratification Obtained. Kepuasan terhadap sinetron Para Pencari Tuhan diukur berdasarkan kesenjangan (discrepancy) antara gratification sought dan gratification obtained. Dengan kata lain kesenjangan kepuasan adalah perbedaan perolehan kepuasan yang terjadi antara skor GS dan GO dalam mengkonsumsi media tertentu. Semakin kecil

discrepancy-nya, semakin memuaskan media tersebut.

Menurut pendiri teori ini Katz, Blumer, dan Gurevitch, teori ini terbagi atas beberapa komponen dasar, (1) Sumber sosial dan psikologis, (2) Kebutuhan yang melahirkan, (3) Harapan-harapan, (4) Media massa atau sumber-sumber yang lain, (5) Perbedaan pola terpaan media, (6) Pemenuhan kebutuhan.11 Dalam penelitian ini, peneliti hanya meniliti komponen dua dan enam, yakni kebutuhan yang melahirkan dan pemenuhan kebutuhan.

Model Expectancy-Values Dari Philip

Palmgreen

12

11

www.digilib.petra.ac.id/jiunkpe/s1/ikom/2006. Desember 2006, Universitas Kristen Indonesia, disadur dari buku Jalaluddin Rakhmat, Metodologi Penelitian Komunikasi.Remaja Rosdakarya, Bandung. 12

Rachmat Kriyantono,S.Sos.,M.Si. Teknik Praktis Riset Komunikasi, Disertai Contoh Praktis Riset Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group) Cet ke-2, Juni 2007. h.208

Kepercayaan- Kepercayaan (beliefs)

Pencarian Kepuasan (GS)

Perolehan kepuasan yang diterima (GO)


(17)

Gratification sought adalah kepuasan yang dicari atau diinginkan pengguna media ketika menggunakan suatu jenis media tertentu. Dengan kata lain, pengguna akan memilih atau tidak memilih suatu media tertentu dipengaruhi oleh sebab-sebab tertentu, yaitu didasari motif pemenuhan sejumlah kebutuhan yang ingin dipenuhi.

Gratification obtained adalah sejumlah kepuasan nyata yang diperoleh individu atas terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu setelah individu tersebut menggunakan media, yang dimaksud dengan gratification obtained (kepuasan yang diperoleh) dalam penelitian ini adalah sejumlah kebutuhan yang dapat dipenuhi setelah menonton sinetron Para Pencari Tuhan. Kepuasan ini diukur berdasarkan motif awal (gratification sought) yang mendasari individu dalam menonton sinetron Para Pencari Tuhan.

Kategori motif dalam penelitian ini dikategorikan sebagai berikut:

1. motif informasi; penonton dikatakan memiliki motif informasi apabila mereka: a. Dapat mencari bimbingan menyangkut berbagai masalah

b. Dapat memperoleh rasa damai melalui penambahan pengetahuan

2. motif indentitas pribadi; penonton dikatakan memiliki motif identitas pribadi apabila mereka:

a. Dapat memperoleh nilai lebih sebagai masyarakat yang beragama b. Dapat mengidentifikasi diri dengan nilai-nilai dalam sinetron

3. motif integrasi dan interaksi sosial; penonton dikatakan memiliki motif intergrasi dan interaksi sosial apabila mereka;

Evaluasi- evaluasi


(18)

a. Dapat menemukan bahan percakapan dan interaksi sosial dengan orang lain disekitarnya

b. Keinginan untuk dekat dengan orang lain

4. motif hiburan; penonton dikatakan memiliki motif hiburan apabila mereka; a. Bisa mendapatkan hiburan dan kesenangan

b. Bisa bersantai dan mengisi waktu luang

Dari opersionalisasi konsep di atas, peneliti kemudian membuat definisi operasionalnya yang terdiri atas, pengaruh, motivasi, dan kepuasan. Ketiga hal tersebut dapat dijabarkan menurut tabel dibawah ini:

Konsep Definisi Nominal Definisi Operasional

Pengaruh Pengaruh adalah taraf

tercapainya tujuan dan sasaran yang berkaitan dengan penggunaan suatu daya, dana, sarana, dan prasarana dalam prosesnya.

Pengaruh adalah derajat perubahan yang terjadi selama mengikuti tontonan di media yang dapat dilihat dari sikap dan perbuatan.

Motivasi Penonton Motivasi adalah kekuatan dorongan dari dalam yang ada pada diri seseorang untuk bertindak dengan cara-cara tertentu

Motivasi adalah derajat kesungguhan mengikuti tontonan yang timbul dari

sikap dan perbuatan

seseorang Kepuasan Penonton Perasaan-perasaan positif

seorang penonton

mengenai apa yang

Dengan lima tingkatan motif, pada tataran kognitif, afektif, integratif sosial,


(19)

ditontonnya integratif personal,pelepasan ketegangan.

Ketiga definisi operasional di atas disesuaikan dengan teori uses and gratifications model. Dalam penjabaran hasil penelitiannya tiap-tiap variabel akan diwakilkan dalam bentuk angka-angka.

1.5.2 Populasi dan Sampel 1.5.2.1 Populasi Penelitian

populasi penelitian ini adalah seluruh penonton sinetron Para Pencari Tuhan di majelis taklim al-Amin yang berjumlah 120 orang.

1.5.2.2 Teknik Penarikan Sampel

Teknik penarikan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive, setelah itu dilakukan pengukuran sampel, baru kemudian diambil jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian. Untuk pengukuruan sampel, menggunakan rumus Taro Yamane, rumus ini digunakan untuk populasi diatas seratus atau lebih. Presisi yang ditetapkan adalah 10% dengan tingkat kepercayaan 90%, sehingga dihasilkan sampel sebesar 55 orang.13

1.5.3 Lokasi dan waktu penelitian

Tempat penelitian ini berada di wilayah kelurahan Mekarsari, Depok, tepatnya pada majelis taklim al-Amin. Alasan mengambil majelis tersebut sebagai tempat penelitian adalah guna mencari keseragaman karakteristik, yakni reseponden bergerak dalam wadah yang sama serta menyukai sinetron Para Pencari Tuhan diukur dari segala tingkatan usia, jenis kelamin, maupun pendidikan. Dari segi waktu, waktu yang diperlukan untuk melakukan penelitan ini adalah selama tiga bulan, terhitung dari bulan 19 Desember 2007 hingga 16 Maret 2008.

1.5.4 Teknik pengumpulan data

Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah sebagai berikut: a. Wawancara

13

Rachmat Kriyantono, S.Sos.,M.Si. Teknik Praktis Riset Komunikasi.(Kencana Prenada Media Group, Jakarta), Cet ke-2, Juni 2007. h.160


(20)

Wawancara yang digunakan adalah wawancara semistruktur, dalam hal ini peneliti mempunyai daftar pertanyaan tertulis tapi memungkinkan untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan secara bebas, yang terkait dengan permasalahan.14 Dalam penelitian ini, peneliti mewawancarai penulis skenario sinetron Para Pencari Tuhan. b. Dokumentasi

Instrumen pengumpulan data yang juga sering digunakan dalam metode survey adalah dokumen. Peneliti menggunakan beberapa dokumen sebagai sumber informasi dalam menginterpretasi data hasil survey. Dokumen bisa berbentuk dokumen publik atau dokumen privat.15 Dalam penelitian ini yang digunakan sebagai acuan adalah dokumen publik, yakni skenario sinetron Para Pencari Tuhan.

c. Kuesioner

Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang harus diisi oleh responden. Disebut juga angket. Tujuan penyebaran angket adalah mencari informasi yang lengkap mengenai suatu masalah dari responden tanpa merasa khawatir bila responden memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan kenyataan dalam pengisian daftar pertanyaan. Ada beberapa jenis angket atau kuesioner: angket terbuka dan tertutup. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan angket tertutup. Angket tertutup dipilih, semata-mata untuk meminimalisir kesalahan dari jawaban responden.

1.6 Teknik Analisis Data

14

ibid. h.98 15


(21)

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis dua variabel, biasanya terdapat diantara dua variabel yang keduanya diukur pada skala ordinal, interval atau ratio. Pengujian dilakukan dengan menggunakan rumus moment product correlation, uji atas kedua variabel dilakukan untuk menegaskan pengaruh yang ada antara kedua variabel tersebut adalah merupakan pengaruh yang signifikan dan bukan hanya secara kebetulan saja.

Untuk menguji tingkat signifikansinya dilakukan dengan menggunakan rumus pearson correlation untuk analisis sampel tidak berpasangan. Adapun pertimbangan peneliti menggunakan rumus statistik karena pearson correlation adalah berfungsi untuk menguji perbandingan, uji korelasional, dan uji estimasi secara statistik. Selain itu, pearson correlation digunakan untuk data yang berskala interval atau ratio. Sedangkan dalam penelitian ini datanya berskala interval. Sebelum tahap pengujian dilakukan, terlebih dahulu dilakukan uji validitas dan realibilitas data.

1.6.1. Uji Validitas Instrumen

Berkaitan dengan pengujian validitas. Arikunto (1995:63) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat keandalan atau kesahihan suatu alat ukur. Jika instrumen dikatakan valid berarti menunjukkan alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data itu valid sehingga valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Dari pengertian itu dapat diartikan lebih luwes lagi bahwa valid itu mengukur apa yang hendak diukur (ketepatan).16

16

Drs. Riduwan, M.B.A. Belajar Mudah Penelitian Untuk Guru-Karyawan dan Peneliti Pemula, Alfabeta, Bandung Cet ke-2, September 2005. h. 97


(22)

Pada pengujian validitas dalam penelitian ini, peneliti bertumpu pada validitas internal. Dalam penelitian, validitas internal merupakan tolok ukur yang paling utama karena kalau kita sudah meragukan validitas hasil penelitian yang diperoleh, maka semua konsekuensi berikutnya menjadi tidak bermakna lagi. Oleh karena itu, peneliti harus memberikan perhatian khusus terhadap validitas internal hasil penelitan yang telah dilakukannya.17

1.6.2 Uji Realibilitas

alat ukur yang disebut reliabel bila alat ukur tersebut secara konsisten memberikan hasil atau jawaban yang sama terhadap gejala yang sama, walau digunakan berulang kali. Reliabilitas mengandung arti bahwa alat ukur tersebut stabil dan tidak berubah-ubah, dapat diandalkan, dan tetap ajeg.18

1.7 Sistematikan Penulisan

Skripsi yang akan ditulis terdiri dari lima bab, dalam setiap bab terdiri dari beberapa sub bab atau bagian:

BAB I Pendahuluan

Berisikan tentang latar belakang masalah, pembahasan dan perumusan masalah, tujuan penelitan, manfaat penelitian, metodologi penelitian, sistematika penulisan

BAB II Landasan teoritis

Berisikan tentan motif dan gratifikasi media, teori uses and gratifications, media televisi,fungsi televisi, dan sinema elektronik

17

Furqon, Ph.D. Statistika Terapan Untuk Penelitian. Alfabeta, Bandung. Cet ke-1, 1997. h.12-13 18

Rachmat Kriyantono,S.Sos., M.Si. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Cet ke-2, Juni 2007. h.140


(23)

BAB III Sinema Para Pencari Tuhan

Berisikan tentang seluk-beluk sinema Para Pencari Tuhan, visi dan misi perusahaan tersebut, struktur kru dibalik layar, skenario.

BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Berisi tentang deskripsi data, identitas responden, kepuasan yang dicari, kepuasan yang didapat, uji hipotesis, interpretasi data, identitas responden,kepuasan yang dicari, kepuasan yang didapat.

BAB V Penutup

Berisikan tentang kesimpulan dan saran, hasil wawancara dan lampiran-lampiran.


(24)

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Motif dan Gratifikasi Media

Motif berasal dari bahasa latin movere yang berarti bergerak atau to move. Karena itu motif diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri organisme yang mendorong untuk berbuat atau merupakan driving force.

Motif sebagai pendorong pada umumnya tidak berdiri sendiri, tetapi saling kait mengkait dengan faktor-faktor lain. Hal-hal yang dapat mempengaruhi motif disebut

motivasi. Kalau orang ingin mengetahui mengapa orang berbuat atau berperilaku ke arah

sesuatu seperti yang dikerjakan, maka orang tersebut akan terkait dengan motivasi atau perilaku yang termotivasi (Motivated Behaviour).

Para pakar komunikasi membagi motif menjadi dua bagian berdasarkan penggunaan dan gratifikasi media. Pertama, motif kognitif dan gratifikasi media, kedua

motif afektif dan gratifikasi media. Motif kognitif menekankan kebutuhan manusia akan informasi dan kebutuhan untuk mencapai tingkat ideasional tertentu. Motif afektif menekankan aspek perasaan dan kebutuhan mencapai tingkat emosional tertentu.

2.1.1 Motif Kognitif dan Gratifikasi Media

Pada kelompok motif kognitif yang berorientasi pada pemeliharaan keseimbangan, Mc Guire menyebut empat teori: teori konsistensi yang menekankan kebutuhan individu untuk memelihara orientasi eksternal pada lingkungannya. Teori kategorisasi yang menjelaskan upaya manusia untuk memberikan makna tentang dunia berdasarkan kategori internal dalam diri kita; dan teori objektifitas yang menerangkan upaya manusia untuk memberikan makna tentang dunia berdasarkan hal-hal eksternal.

1. Teori Konsistensi – memandang manusia sebagai makhluk yang dihadapkan pada berbagai konflik. Konflik itu mungkin terjadi di antara beberapa kepercayaan yang dimilikinya sepertti antara “merokok itu merusak kesehatan” dan “merokok itu membantu proses berpikir”, atau di antara beberapa hubungan sosial, atau di antara beberapa pengalaman masa lalu dan masa kini. Dalam suasana konflik,


(25)

manusia resah dan berusaha mendamaikan konflik itu dengan sedapat mungkin mencari kompromi. Kompromi diperoleh dengan rasionalisasi, atau melemahkan salah satu kekuatan penyebab konflik. Dalam hubungan ini, komunikasi massa mempunyai potensi untuk menyampaikan informasi yang menggoncangkan kestabilan psikologis individu. Tetapi, pada saat yang sama, karena individu mempunyai kebebasan untuk memilih media, media massa memberikan banyak peluang untuk memenuhi kebutuhannya.

2. Teori Atribusi – memandang individu sebagai psikolog amatir yang mencoba memahami sebab-sebab yang terjadi pada berbagai peristiwa yang dihadapinya. Ia mencoba menemukan apa menyebabkan apa, atau apa yang mendorong siapa melakukan apa. Respons yang kita berikan pada suatu peristiwa bergantung pada interprestasi kita tentang peristiwa itu. Kita tidak begitu gembira dipuji oleh orang yang menurut persepsi kita – menyampaikan pujian kepada kita karena ingin meminjam uang. Kita sering dipuji oleh orang asing yang – menurut persepsi kita – memberikan pujian yang objektif.

3. Teori Kategorisasi – memandang manusia sebagai makhluk yang selalu mengelompokkan pengalamannya dalam kategorisasi yang sudah dipersiapkannya. Untuk setiap peristiwa sudah disediakan tempat dalam prakonsepsi yang dimilikinya. Dengan cara itu individu menyederhanakan pengalaman, tetapi juga membantu mengkoding dengan cepat. Menurut teori ini orang memperoleh kepuasan apabila sanggup memasukkan pengalaman dalam kategori-kategori yang sudah dimilikinya, dan menjadi kecewa bila pengalaman itu tidak cocok dengan prakonsepsinya.


(26)

4. Teori objektifitas – memandang manusia sebagai makhluk yang pasif, yang tidak berpikir, yang selalu merumuskan konsep-konsep tertentu. Teori ini menyimpulkan bahwa kita mengambil kesimpulan tentang diri kita dari perilaku yang tampak.

Keempat teori di atas menekankan aspek kognitif dari individu sebagai makhluk yang memelihara stabilitas psikologisnya. Empat teori kognitif berikutnya – otonomi, stimulasi, teori teleologis, dan ultilitarian – melukiskan individu sebagai makhluk yang berusaha mengembangkan kondisi kognitif yang dimilikinya.

1. Teori otonomi – memandang manusia sebagai makhluk yang berusaha mengaktualisasikan dirinya sehingga mencapai identitas kepribadian yang otonom. 2. Teori stimulasi – memandang manusia sebagai makhluk yang “lapar stimuli”, yang

senantiasa mencari pengalaman-pengalaman baru, yang selalu berusaha memperoleh hal-hal yang memperkaya pemikirannya. Komunikasi massa selalu menyajikan hal-hal yang baru, yang aneh, yang spektakuler, yang menjangkau pengalaman yang tidak terdapat pada pengalaman individu sehari-hari.

3. Teori teleologis – memandang manusia sebagai makhluk yang berusaha mencocokkan persepsinya tentang situasi sekarang dengan representasi internal dari kondisi yang dikehendak. Isi media massa sering memperkokoh moralitas konvensional dan menunjukkan bahwa orang yang berpegang teguh kepadanya memperoleh ganjaran dalam hidupnya.

4. Teori ultilitarian - memandang individu sebagai orang yang memperlakukan setiap situasi sebagai peluang untuk memperoleh informasi yang berguna atau keterampilan baru yang diperlukan dalam menghadapi tantangan hidup.


(27)

2.1.2 Motif Afektif dan Gratifikasi Media

Seperti di atas, peneliti akan memulai dengan motif-motif yang ditujukan untuk memelihara stabilitas psikologis dan motif-motif yang mengembangkan kondisi psikologis. Pada kelompok pertama kita masukkan teori reduksi tegangan, teori ekspresif, teori ego-defensif, dan teori peneguhan. Pada kelompok kedua kita memasukkan teori penonjolan, teori afiliasi, teori identifikasi, dan teori peniruan.

1. Teori reduksi tegangan – memandang manusia sebagai sistem tegangan yang memperoleh kepuasan pada pengurangan ketegangan. Tegangan emosional karena marah berkurang setelah kita mengungkapkan kemarahan itu, baik langsung maupun tidak langsung. Film kekerasan dalam televisi dianggap bermanfaat karena membantu orang melepaskan kecenderungan agresifnya.

2. Teori ekspresif – menyatakan bahwa orang memperoleh kepuasan dalam pengungkapan eksistensi dirinya – menampakkan perasaan dan keyakinannya. Komunikasi massa mempermudah orang untuk berfantasi, melalu identifikasi dengan tokoh-tokoh yang disajikan. Sehingga orang secara tidak langsung mengungkapkan perasaannya.

3. Teori ego-defensif beranggapan bahwa dalam hidup ini kita mengembangkan citra diri yang tertentu dan kita berusaha untuk mempertahankan citra diri ini serta berusaha hidup sesuai dengan diri dan dunia kita. Teori ini memberikan penjelasan mengapa terjadi perhatian selektif atau pemberian makna terhadap pesan komunikasi yang mengalami distorsi.

4. Teori peneguhan memandang bahwa orang dalam situasi tertentu akan bertingkah laku dengan suatu cara yang membawanya kepada ganjaran seperti yang telah


(28)

dialaminya pada waktu lalu. Di samping isi media yang menarik, peristiwa menggunakan media sering diasosiasikan dengan suasana yang menyenangkan; misalnya, menonton televisi sering dilakukan ditengah-tengah keluarga.

5. Teori penonjolan – memandang manusia sebagai makhluk yang selalu mengembangkan seluruh potensinya untuk memperoleh penghargaan dari dirinya dan dari orang lain. Berhubungan tentang pemenuhan fantasi seseorang atau memberikan kesempatan pada orang untuk mengidentifikasi dirinya pada media. 6. Teori afiliasi – memandang manusia sebagai makhluk yang mencari kasih sayang

dan penerimaan orang lain. Dalam hubungannya dengan gratifikasi media banyak sarjana ilmu komunikasi yang menekankan fungsi media massa dalam menghubungkan individu dengan individu lain. Lasswell (1948) menyebutnya dengan fungsi “correlation”.

7. Teori identifikasi – memandang manusia sebagai pemain peranan yang berusaha memuaskan egonya dengan menambahkan peranan yang memuaskan pada konsep dirinya. Saat ini isi media cenderung menggambarkan orang dalam berbagai situasi dramatis yang melibatkan respons-respons menarik dan memperkenalkan khalayak pada berbagai peranan dan gaya hidup.

8. Teori peniruan – hampir sama dengan teori identifikasi, memandang manusia sebagai makhluk yang selalu mengembangkan kemampuan afektifnya. Teori peniruan menekankan orientasi eksternal dalam pencarian gratifikasi. Komunikasi massa menampilkan berbagai model untuk ditiru khalayaknya.19

1. massa diasumsikan mempunyai tujuan.

19

Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc. Psikologi Komunikasi Edisi Revisi. PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Cet ke-23, Oktober 2005. h. 208-216


(29)

2. Dalam proses komunikasi massa banyak inisiatif untuk mengaitkan pemuasan kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada anggota khalayak.

Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain 2.2 Teori Uses and Gratifications

Peneliti menggunakan teori uses and gratifications, teori ini menitikberatkan pada pola penggunaan dan pola pemanfaatan media massa oleh manusia. Dalam asumsi ini tersirat pengertian bahwa komunikasi massa berguna (Utility): Bahwa konsumsi media diarahkan oleh motif (intentionatility).20

Asumsi dasar dari teori uses and gratifications model :

3. Khalayak dianggap aktif; artinya sebagian penting dari penggunaan media untuk memuaskan kebutuhannya. Kebutuhan yang dipenuhi media hanyalah bagian dari rentangan kebutuhan manusia yang lebih luas. Bagaimana kebutuhan ini terpenuhi melalui konsumsi media amat bergantung kepada perilaku khalayak yang bersangkutan.

4. Banyak tujuan pemilihan media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota khalayak; artinya, orang dianggap cukup mengerti untuk melaporkan kepentingan dan motif pada situasi-situasi tertentu.

5. Penilaian tentang arti kultural dari media massa harus ditangguhkan sebelum diteliti lebih dahulu orientasi khalayak.21

Model uses and gratifications memandang individu sebagai makhluk suprarasional dan sangat selektif. Ini memang mengundang kritik. Tetapi yang jelas, dalam model ini perhatian bergeser dari proses pengiriman pesan ke proses penerimaan pesan.

20

Jalaluddin Rakhmat. Metode Penelitian Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1984) cetakan ke-13, mei 2007, h.65

21


(30)

Dibandingkan dengan jarum hipodermik, model uses and gratifications mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Sven Windhal (1981:177) menuliskan perbedaan antara pendekatan efek (model jarum hipodermik) dengan pendekatan uses and gratifications seperti diagram dibawah ini:

Keuntungan Pendekatan Efek

Memperhitung-

kan seluruh proses komunikasi minat pada karakteristik stimuli

Pendekatan uses and gratifications

Memperhitungkan deskripsi dinamis tentang khalayak. Anggota khalayak tidak sepenuhnya pasif.

Menjelaskan penggunaan media

Kerugian Khalayak sering dilukiskan sebagai makhluk yang seluruhnya pasif dan mudah dimanipulasikan

Pandangan mekanistis terhadap proses komunikasi Terlalu banyak menjelaskan efek dalam hubungannya dengan stimuli

Stimuli tidak diperhitungkan hanya model penerimaannya saja

Terlalu melebih-lebihkan anggota khalayak

Menggunakan faktor-faktor mental (seperti motif mencari keterangan)

Sebelum menceritakan berbagai motif yang mendorong orang menggunakan media, menurut Mc Guire, kita harus menjawab dulu pertanyaan : betulkah konsumsi komunikasi massa merupakan perilaku yang di dorong oleh motif? Sebagian orang menyatakan bahwa terpaan media lebih merupakan kegiatan yang kebetulan dan amat


(31)

dipengaruhi oleh faktor eksternal. Sebagian yang lain memandang pemuasan kebutuhan dengan media begitu kecil dibandingkan dengan kebutuhan khalayak sehingga faktor motivasional hampir tidak berperanan dalam menentukan terpaan media. Sebagian yang lain lagi berpendirian bahwa walaupun ada pemuasan potensial dalam komunikasi massa, kita tidak begitu berhasil dalam menemukan pemuasan karena media massa tidak memberikan petunjuk tentang potensi ganjaran yang dapat diberikan.

Model ini mempunyai beberapa komponen, yaitu : anteseden, motif, penggunaan media dan efek. Komponen anteseden diukur dengan variabel individual yang terdiri dari data demografis, seperti usia, jenis kelamin, dan faktor psikologis komunikan. Variabel lingkungan seperti organisasi, sistem sosial dan struktur sosial.22

Model Awal Uses and Gratifications Dari Rosengreen23

Anteseden motif penggunaan media efek -variabel individu -personal -hubungan -kepuasan -variabel lingkungan - diversi -macam isi -pengetahuan

-personal -hubungan dengan isi -identity

Menurut teori behaviorisme “law of effects” perilaku yang tidak mendatangkan kesenangan tidak akan diulangi, artinya kita tidak akan menggunakan media massa bila media massa tidak memberikan pemuasan kebutuhan kita. Jadi jelaslah bahwa penggunaan media massa karena didorong oleh motif-motif tertentu.24

Denis McQuail menyebutkan ada dua hal dibalik pendekatan ini. Pertama adalah adanya oposisi terhadap asumsi yang deterministik mengenai efek media, yang

22

Drs. Jumroni, M.Si dan Drs. Suhaimi, M.Si, Metode-metode Penelitian Komunikasi. (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006) h.59

23

Rachmat Kriyantono, S.Sos, M. Si, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Disertai Contoh Praktis Riset Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran. Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Cet ke-2, Juni 2007. h. 206

24


(32)

merupakan bagian dari dominannya peran individu yang kita kenal dalam model komunikasi dua tahap. Kedua, adanya keinginan untuk lepas dari perdebatan yang kering dan terasa steril mengenai penggunaan media massa yang hanya didasarkan atas selera individu. Dalam hal ini, pendekatan uses and gratifications memberikan suatu cara alternatif untuk memandang pada hubungan isi media dan audiens, dan pengkategorian isi media menurut fungsi daripada tingkat selera yang berbeda.25

2.4 Media Televisi Dan Sinetron Sebagai Media Dakwah 2.4.1 Pengertian Media Televisi

Pengertian televisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah :“TV adalah pesawat sistem penyiaran gambar obyek yang bergerak yang disertai dengan bunyi (suara) melalui kabel atau melalui angkasa dengan menggunakan alat yang mengubah cahaya (gambar) dan bunyi (suara) menjadi gelombang listrik dan mengubahnya menjadi berkas cahaya yang dapat dilihat dan bunyi yang dapat didengar, digunakan untuk penyiaran, pertunjukkan, berita, dan sebagainya.”26

Roger Maxwell menulis bahwa televisi adalah sebagai “a brand of broadcasting, and it depends like sound radio, on the transmission of signals in the form of elektromagnetic waves that travel at the speed of light” (sebagai suatu cabang dari penyiaran radio, dan sebagaimana siaran radio, ia tergantung pada penyampaian tanda-tanda elektromagnetis secepat sinar).27

25

S. Djuarsa Sendjaja. Teori Komunikasi. (Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, Januari 2002) h.5.37

26

Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989. h.919

27

Ton Kertapati, Dasar-Dasar Publisistik dalam Perkembangannya di Indonesia Menjadi Ilmu Komunikasi, Bina Aksara, Jakarta , Cet. Ke-3, 1986, h.59


(33)

Sedangkan Maurice Gorham mengatakan “Television is the transmission of images by wire or radio and their simultaneous reception at a distant spot” ( Televisi adalah penyampaian dengan gambar-gambar dengan kawat atau radio dan penerimaannya secara simultan di tempat yang jauh).28

Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa televisi adalah sebuah alat atau benda untuk menyiarkan siaran-siaran yang membawakan suara dan gambar sekaligus dan dari siaran televisi tersebut penonton dapat mendengar dan melihat gambar-gambar yang disajikan, yang memadukan unsur-unsur radio dan film.

2.4.2 Fungsi Televisi

tidak pelak lagi, umat manusia sekarang ini telah memasuki era revolusi yang dahsyat dalam upaya-upaya yang sadar atau tidak bagi pemenuhan kebutuhannya akan informasi. Era yang memungkinkan kemampuan dan kapasitas intelektual menjadi – meminjam ungkapannya Idi Subandy Ibrahim – “Condition sine quo non” guna dapat memahami dan mengoperasikan peralatan tercanggih hasil penemuan rasionalitas manusia dalam dasawarsa terakhir abad XX.

Perkembangan masyarakat modern, tak lepas dari perkembangan media massa. Komunikasi antarpersona yang dilakukan face to face, sudah tak sanggup lagi menampung proses interaksi hubungan manusia dalam masyarakat yang semakin maju. Karena itu, masyarakat modern pasti membutuhkan media yang bersifat massal – dalam masyarakat modern – lahirlah apa yang disebut produk budaya massa.

Perkembangan masyarakat yang dipacu oleh kemajuan teknologi komunikasi yang semakin canggih menunjukkan pengaruh yang kuat terhadap kemekaran media

28 Ibid.


(34)

massa. Tetapi di pihak lain, secara timbal balik fenomena ini menimbulkan dampak yang teramat kuat pula terhadap masyarakat. Para pakar komunikasi mengkhawatirkan pengaruh media massa ini bukannya menimbulkan dampak yang positif konstruktif, melainkan yang negatif destruktif. Lalu para pakar ini mempertanyakan fungsi sebenarnya dari komunikasi massa atau media massa itu.

Harold D. Lasswell menjelaskan dengan gamblang tentang beberapa fungsi komunikasi (dalam hal ini media massa) bagi masyarakat umum, sebagai berikut:

1. Informasi; pengumpulan, penyimpanan, pemprosesan, penyebaran berita, data, gambar, fakta dan pesan, opini, dan komentar yang dibutuhkan agar orang dapat mengerti dan bereaksi secara jelas terhadap kondisi internasional, lingkungan dan orang lain, dan agar dapat mengambil keputusan yang tepat.

2. Sosialisasi; penyediaan sumber ilmu pengetahuan yang memungkinkan orang bersikap dan bertindak sebagai anggota masyarakat yang efektif yang menyebabkan ia sadar akan fungsi sosialnya sehingga ia dapat aktif dalam masyarakat.

3. Motivasi; menjelaskan tujuan jangka pendek dan panjang setiap masyarakat, mendorong menentukan pilihan dan keinginannya, mendorong kegiatan individu dan kelompok berdasarkan tujuan bersama yang dikejar.

4. Pendidikan; pengalihan ilmu pengetahuan sehingga memotivasi perkembangan intelektual, pembentukkan watak dan pendidikan keterampilan.

5. Memajukan kebudayaan; penyebarluasan hasil kebudayaan dan seni dengan maksud melestarikan warisan masa lalu, perkembangan kebudayaan dengan


(35)

memperluas horizon seseorang, membangun imajinasi dan mendorong kreativitas serta kebutuhan estetikanya.

6. Hiburan; penyebarluasan sinyal, simbol, suara, dan citra (image) dari drama, tari , dan sebagainya untuk rekreasi dan kesenangan individu dan kelompok.

7. Integrasi; menyediakan bagi bangsa, kelompok, dan individu kesempatan memperoleh pesan yang diperlukan agar mereka dapat saling mengenal dan mengerti serta menghargai kondisi, pandangan dan keinginan orang lain.29

Era bagi bangsa Indonesia yang akan datang adalah era informasi – begitu dugaan dan harapan banyak orang. Namun, berbicara tentang era informasi berarti juga berbicara tentang peranan media elektronik (dalam hal ini televisi) bagi kepentingan dan kebutuhan umat manusia dalam menyongsong masa depan dan gelombang ketiga.

Lebih lanjut Dennis McQuail mengemukakan tentang fungsi media massa, yaitu : 1. Media massa merupakan industri yang berubah dan berkembang, yang

menciptakan lapangan kerja, barang dan jasa serta menghidupkan industri lain yang terkait; media juga merupakan industri tersendiri yang memiliki peraturan dan norma-norma yang menghubungkan institusi tersebut dengan masyarakat industri lainnya. Di lain pihak, institusi media massa diatur oleh masyarakat. 2. Media massa merupakan sumber kekuatan alat kontrol manajemen dan inovasi

dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti sumber daya lain. 3. Media massa sering kali berperan untuk menampilkan peristiwa-peristiwa

kehidupan masyarakat, baik yang bertaraf nasional ataupun internasional.

29

Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1995, Cet ke-9, h. 27-28


(36)

4. Media massa sering kali berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, yang bukan saja dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan simbol, tetapi juga dalam pengertian tata cara, mode, gaya hidup, dan norma-norma.

5. Media massa telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu dalam upaya memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan keluarga masyarakat dan keluarga secara kolektif. Media juga menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan.30

Dengan demikian jelaslah bahwa secara fungsional televisi menjadi perangkat universal bagi manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dalam kehidupan, seperti mendifusikan informasi (to inform), mendidik (toeducate), menghibur (to entertain), dan mempengaruhi (to influence). Namun kita juga dapat melihat kenyataan, walaupun semua fungsi universal tersebut sudah dipenuhi, ada fungsi lain yang seringkali (mungkin tidak disadari) terabaikan atau terlecehkan. Dalam hal ini fungsi khas budaya Indonesia yang memberikan dasar dan landasan kultural atau “benteng budaya” belum menjadi kenyataan. Oleh karena itu, apabila kita ingin melihat seberapa jauh kontribusi stasiun televisi yang ada dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang dicita-citakan, pembangunan manusia Indonesia seutuhnya atau masyarakat madani, jawatannya akan sangat tergantung pada seberapa jauh orientasi dan tujuan penyelenggaraan televisi tersebut sebagai sarana massa.

2.4.3 Televisi Sebagai Media Dakwah

30

N. Syamsuddin Ch. Haesy, Tehnik Manajemen Penyiaran dan Penerangan Agama dalam Media Massa, Makalah Seminar IAIN Jakarta, 15 Mei 1993, h. 1-2


(37)

Munculnya media TV dan media lainnya yang merupakan produk dari kemajuan teknologi komunikasi telah menyediakan berbagai kemudahan dan manfaat bagi kelangsungan hidup manusia.

Khusus bagi TV sendiri, memang harus diakui mempunyai banyak keunggulan ketimbang media massa lainnya. Dedy Djamluddin dalam tulisannya, “Mencari Solusi

Dakwah Efektif di Televisi”, menyimpulkan bahwa ada beberapa alasan mengenai

keunggulan televisi. Pertama, pesan televisi disajikan secara audio visual. Kedua, dilihat dari sisi kualitas peristiwa televisi bisa lebih cepat memberi informasi paling dini kepada masyarakat. Ketiga, disisi khalayak televisi menjangkau jutaan pemirsa ketimbang media massa lainnya yang mungkin hanya menjangkau pemirsa ratusan ribu. Keempat, efek kultural televisi lebih besar daripada efek media massa lainnya khususnya bagi pembentukkan perilaku proposial dan antionak.31

Media berarti segala bentuk yang membantu juru dakwah dalam menyampaikan dakwahnya secara efektif dan efisien.32

Saat ini hampir di setiap stasiun penyiaran televisi di Indonesia memiliki program acara dakwah Islam baik yang sifatnya rutin atau tidak rutin, meski porsinya cukup jauh dari pada tayangan-tayangan komersial lainnya, namun paling tidak hal ini cukup memuaskan dalam hal pemenuhan kebutuhan khalayak terhadap televisi yang berfungsi sebagai media informasi dan pendidikan.

Televisi dapat dikatakan sangat efektif untuk kepentingan dakwah, karena kemampuannya dapat menjangkau daerah yang cukup luas dengan melalui siaran gambar sekaligus narasinya. Dakwah melalui televisi dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik

31

Dedy Djamaluddin Malik, Mencari Solusi Dakwah Efektif di Televisi: Dakwah Kontemporer Pola Alternatif Dakwah Melalui TV, (Bandung: Pusdai Press, 2000), Cet. Ke-1, hal.87

32


(38)

dalam bentuk ceramah, sandiwara, ataupun drama. Dengan televisi seorang pemirsa dapat mengikuti dakwah seakan ia berada langsung dihadapan da’i, seakan ia dapat mengadakan komunikasi langsung dengannya untuk menarik dakwah langsung melalui televisi apalagi jika da’i benar-benar mampu menyajikan dakwahnya dalam suatu program yang sederhana dan disenangi oleh berbagai kalangan masyarakat.33

Kehadiran berbagai stasiun televisi baik nasional maupun swasta secara tidak langsung menjadikan alternatif tontonan yang sangat luas bagi pemirsa di rumah dan bagi pengelola stasiun televisi, menjadi suatu kewajiban untuk menampilkan paket acara-acara menarik. Televisi merupakan tempat yang potensial untuk berdakwah. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Roper Organization (AS) 1982, menyebutkan bahwa televisi mempunyai kredibilitas 53 %, surat kabar 22 %, majalah 28 %, dan radio 6 %.34

Dari hasil penelitian tersebut kita maupun pihak pengelola harus tanggap bahwa dakwah di televisi itu lebih efektif karena ditonton banyak orang terlebih mayoritas negara kita 88 % pemeluk agama Islam, maka sudah selayaknya para pengelola televisi bisa menghadirkan paket acara dengan nuansa Islami sebagai penghormatan dan sebagai penyeimbang bagi tayangan yang lebih tertuju kepada politis, informative, dan hiburan. 2.5 Sinetron atau Sinema Elektronik

Alat televisi pertama kali diperjualbelikan pada akhir tahun.1920-an, meski tidak banyak didiskusikan sebelumnya. Pemindai mekanis televisi pertama terbuat dari sebuah “kotak topi”. Baird menghargai perlunya publisitas apalagi karena ia sangat bergantung

33

Darmawansastro Subroto, Televisi Sebagai Media Pendidikan, (Yogyakarta: Duta Wacana University Press,1994), hal.89

34


(39)

pada dukungan dana orang lain, akibatnya ia lebih banyak membuat publisitas bagi televisi di kedua sisi lautan Atlantik dibandingkan orang lain manapun.

Pada 30 September 1929 untuk pertama kalinya Baird meluncurkan layanan televisi percobaan. Presiden the British Broadcaster of Trade, yang memberikan persetujuannya menyatakan pada para penonton (viewers) bahwa ia mengharapkan di masa depan ilmu terapannya yang baru ini mendorong tumbuhnya suatu industri baru, tidak hanya bagi Inggris dan kerajaan Inggris Raya saja, tetapi juga bagi seluruh dunia.35

Tak dapat dipungkiri lagi bahwa revolusi elektronik, khususnya media televisi di dunia telah mencapai tahap yang paling canggih dan spektakuler. Hadirnya televisi swasta di Indonesia dengan berbagai macam mata acara yang menarik terus- menerus diikuti perkembangannya oleh pemirsa, siaran langsung sepak bola di negara Italia dan Inggris misalnya dapat dilihat dalam waktu yang dapat bersamaan di RCTI.

Pemirsa televisi dihadapkan pada banyak alternatif tontonan dari berbagai acara televisi yang berbeda. Salah satunya adalah sinetron atau sinema elektronik. Menjamurnya paket sinetron bukan hal luar biasa. Kehadiran sintetron merupakan satu bentuk aktualitas komunikasi dan interaksi manusia yang diolah berdasarkan alur cerita untuk mengangkat permasalahan hidup manusia sehari-hari.

Memang belum ada metode atau ukuran yang jelas dan pasti dalam membuat sinetron yang baik dan berkualitas serta memenuhi selera pemirsa. Tetapi para kru televisi dituntut untuk bertanggung jawab dalam membuat paket sinetron. Ini merupakan beban moral yang harus diterima.

35

Asa Briggs dan Peter Burke, Sejarah Sosial Media dari Gutenberg sampai Internet, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006) h. 215


(40)

Berbicara mengenai isi pesan dalam sinetron dalam sebuah paket sinetron televisi, bukan hanya melihat dari segi budaya, tetapi juga berhubungan dengan masalah ideologi, ekonomi, maupun politik. Dengan kata lain, paket sinetron merupakan cerminan kehidupan nyata dari masyarakat sehari-hari.

Untuk membuat sinetron, ada dua hal yang cukup penting dan perlu diperhatikan, yaitu:

1. Terdapat permasalahan sosial dalam cerita sinetron yang mewakili realitas sosial dalam masyarakat.

2. Menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam sinetron secara positif dan responsif.

Jadi kesimpulannya, isi pesan sinetron di televisi harus dapat mewujudkan dan mengekspresikan kenyataan sosial masyarakat, tanpa melepaskan diri dari lingkungan budaya pemirsa yang heterogen.36

Dilihat dari segi dakwah, sinetron memiliki potensi besar sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah kepada khalayak.

36

Drs. Wawan Kuswandi. Komunikasi Massa Sebuah Analisis Media Televisi. (Jakarta; PT RINEKA CIPTA, 1996) h.129-133


(41)

BAB III

DATA-DATA PENELITIAN

3.1 Latar Belakang Berdirinya PT Demigis Citrasinema 3.1.1 Sejarah Singkat

PT Demi Gisela Citra Sinema didirikan pada awal tahun 1997 oleh Deddy Mizwar, yang bertindak selaku komisaris, direktur utama, sekaligus produser. Perusahaan ini bergerak di bidang produksi tayangan film dan sinetron serta iklan. Pada awal berdiri, Citra Sinema mengkaryakan 7 (tujuh) orang karyawan tetap, kemudian berkembang menjadi 25 orang sampai sekarang.

Produksi pertama Citra Sinema adalah sinetron serial komedi “Mat Angin” (1997, TPI), berlanjut dengan judul-judul populer lainnya, di antaranya serial “Lorong Waktu”, “Kiamat Sudah Dekat”, “Ketika”, “Demi Masa”, “Bingkisan untuk Presiden”, dan banyak lagi lainnya. Citra Sinema dikenal dengan produksi film dan sinetron bernuansa relijius yang dibumbui humor cerdas.

Citra Sinema mendapat banyak penghargaan dari Festival Film Indonesia, Festival Sinetron Indonesia, Festival Film Bandung, dan dari berbagai event serta lembaga-lembaga yang bersimpati.37

3.1.2 Manajemen

Manajemen di dalam PT Demi Gisela Citra Sinema tidak berbeda dengan perusahaan-perusahaan lainnya. Dipimpin oleh seorang Direktur Utama/Produser, yang dibantu oleh General Manager, Sekretaris, Finance Department, Production Department, dan Creative Department. Sebagai sebuah perusahaan kecil-menengah, beberapa bidang tugas dirangkap oleh satu orang, misalnya General Manager yang merangkap tugas

37

Dokumen privat dari rumah produksi Demi Gisela Citrasinema, diambil pada tanggal 23 Maret 2008


(42)

HRD; Production Department yang sekaligus mengurusi pemeliharaan alat-alat syuting dan editing.

Standar gaji karyawan sesuai dengan UMR, begitu pula dengan pemberian THR dan tunjangan-tunjangan lainnya.

Citra Sinema bertempat di sebuah ruko tiga lantai dengan pembagian sebagai berikut:

Lantai Dasar: digunakan oleh Departemen Produksi, mushola, ruang penyimpanan alat-alat syuting, pantry, ruang tunggu, dan ruang casting para calon pemain (talent), serta toilet.

Lantai Dua: terdiri dari tujuh ruangan untuk Departemen Keuangan, Sekretaris, ruang kerja Direktur Utama/Produser, ruang kerja Finance Manager/General Affairs, Meeting

Room, Creative Department, dan Ruang Tunggu.

Lantai Tiga: dibagi menjadi dua, yakni Ruang Preview dan Ruang Editing (terdiri dari lima bilik, termasuk Digital Library).

Untuk keperluan produksi syuting, selain mempekerjakan karyawan tetap, perusahaan ini juga mempekerjakan SDM outsource yang terikat kontrak dalam jangka waktu produksi; misalnya Sutradara, kru, Musisi, tambahan tenaga Editor, penyedia peralatan syuting, Penulis Skenario, dan sebagainya.38

3.2 Visi dan Misi PT Demigis Citrasinema VISI

PT Demi Gisela Citra Sinema: "Dunia dengan segala kehidupannya adalah sarana beribadah kepada Allah SWT."

38 Ibid


(43)

PT Demi Gisela Citra Sinema didirikan dan dimiliki oleh Deddy Mizwar. Sebagai seorang yang relijius, Deddy Mizwar ingin mengorientasikan hidupnya pada ibadah kepada Allah dengan landasan ayat dalam Al Qur'an "Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu" (Surat Az Zariat: 51).

Maka, segala usaha dan kerja dalam hidupnya, termasuk perusahaan yang dia dirikan, dijalankan dengan mengarah pada tujuan tersebut. Semua produksi yang dibuat oleh PT Demi Gisela Citra Sinema senantiasa berlandaskan pada visi tersebut. Dalam produksi sinetron, misalnya, tema-tema yang ditampilkan lebih banyak mengacu pada tema-tema relijius yang dikemas dengan nuansa entertainment sehingga bisa dinikmati penonton pada umumnya. Demi Gisela Citra Sinema menyadari bahwa penonton tidak hanya membutuhkan hal-hal yang bernilai luhur, tapi juga membutuhkan kesenangan selama menonton.

MISI

PT Demi Gisela Citra Sinema: "Memproduksi karya sinema yang berorientasi pada pencerdasan dan pencerahan ummat."

Semua produksi PT Demi Gisela Citra Sinema bertujuan turut mencerdaskan dan mencerahkan ummat (pemirsa). Berkreasi dengan koridor semacam ini berarti Produser sangat berkepentingan dalam pemilihan tema-tema dan topik yang tertuang dalam setiap sinetron dan film yang diproduksinya. Tema-tema yang diangkat berkisar pada tema-tema relijius (Islam) yang dikolaborasi dengan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat Indonesia, khususnya.

Cara penyajiannya juga diupayakan mengarah pada upaya pencerdasan dan pencerahan ummat. Sinetron dan film produksi Demi Gisela Citra Sinema menghindari


(44)

penyajian yang menggurui, vulgar, verbal, dan melanggar suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) serta etika. Sebagai gantinya, teknik penyajiannya lebih merupakan teknik analogi yang tidak secara langsung tapi lebih efektif dan "membekas" dalam benak pemirsa. Selain itu, kadang disisipkan pula elemen-elemen humor dalam penyajian agar mudah diterima dan disukai pemirsa. Jenis humornya pun diseleksi yang tidak melanggar aturan agama. Kadangkala harus menghilangkan sebuah adegan yang sangat menarik hanya untuk menghindari dari pelanggaran-pelanggaran tersebut.

Demi Gisela Citra Sinema mencoba untuk lebih bertanggung-jawab terhadap pemirsa, khususnya bertanggung-jawab kepada Tuhan.

3.3 Struktur Jabatan PT Demigis Citrasinema

STRUKTUR PRODUKSI FILM & SINETRON

PT DEMI GISELA CITRASINEMA

3.4 Skenario Sinema Para Pencari Tuhan 3.4.1 Tema Sentral Sinema Para Pencari Tuhan

POST PRODUCTION

• Editor

• Musisi

• Animator

• Sound Engineer

• Dll.

ARTIS/ TALENT SUTRADARA

MANAJER PRODUKSI TIM KREATIF

• Pengarah kreatif

• Penulis

• Disain grafis PUBLIC

RELATIONS

KRU

• Pengarah fotograrfi/D O P

• Pengarah Artistik

• Kostum&Make Up

• Kameramen

• Operator Peralatan

• Driver

• Diesel/Genset

UNIT PRODUKSI


(45)

Untuk pemilihan tema dan topik, biasanya merupakan hasil diskusi antara Wahyu dengan tim kreatifnya yang terdiri dari: Bang Diding Jacob, HAMBA, Kang Arief, Albert Hakim, Farrel M. Rizqy, Amiruddin Olland, dan Veronica Grensilia.

Tema umum sinetron Para Pencari Tuhan adalah Hidup dengan Al Qur'an. maksudnya, Wahyu ingin menggambarkan tentang masyarakat yang kehidupan atau segala aktifitasnya dalam prosesnya diatur berdasarkan Al-Qur’an, kehidupan yang ingin ditampilkan disini, bahwa hidup dibawah naungan Al-Qur’an tidak sesempit pikiran manusia zaman sekarang, yang kebanyakan justru menjauhi Al-Qur’an.39

Pesan utamanya adalah dekatkan kembali hidupmu pada Islam. Di sini Wahyu hendak mengatakan, hidup dalam Islam tidaklah seburuk persangkaan kita, di mana aturan yang ketat memenjarakan setiap langkah kita, namun ia ingin mengatakan dengan kembali pada Islam, hidup akan lebih aman, damai, tentram, dan sejahtera, ia pun ingin menyampaikan, bahwa sesungguhnya Islam itu bersifat fleksibel, namun bukan berarti karena kefleksibelannya, kita mencampuradukkannya dengan pemahaman lain yang tergolong asing dalam Islam.

3.4.2 Alur dan Penokohan 3.4.2.1 Alur

Dalam skenario sinetron Para Pencari Tuhan, yang digunakan adalah alur campuran, di mana sinopsis bercerita mengenai kisah hidup tiga mantan narapidana,

39


(46)

yaitu: Barong, Juki, dan Chelsea. Mereka tidak lagi dapat diterima oleh masyarakat dilingkungan tempat mereka bersosialisasi dikarenakan mantan napi.

Setelah keluar dari penjara, Barong diusir dari komplotan curamnor lantaran sering menyanyi di pengadilan. Dengan kasus yang hampir sama, Juki yang mantan copet, ditolak mentah-mentah saat kembali ke rumah ibunya. Nasib Chelsea sedikit menyedihkan. Ketika akan mengajak rujuk kembali dengan mantan istri, ternyata sang istri sudah menikah dengan polisi yang menjebloskannya ke penjara.

Akhirnya mereka bertiga secara tak sengaja bertemu dan luntang lantung menyusuri Jakarta yang tak lagi ramah. Seharian mereka menjumpai warung tutup. Hati mereka makin sakit, merasa dunia sudah benar-benar menutup diri bagi mereka. Mereka baru tersadar saat ada yang memberitahu bahwa hari ini adalah hari pertama bulan puasa, sehingga tak ada orang makan di warung.

Ketiganya kemudian terdampar di musala. Di sana ada Bang Jack, penjaga musala yang fanatik dengan bedug. Dia tak mau adzan jika belum menabuh bedug. Mantan tukang jagal ini akhirnya tak hanya menerima ketiga narapidana, tapi sekaligus sudi membimbingnya ke jalan yang benar. Sebenarnya Bang Jack sendiri ilmu agamanya pas-pasan, sehingga dalam penerapan agama sering keliru. Untunglah ada Aya yang membantunya. Gadis cantik penjual kolak dan pengelola taman bacaan itu paham soal agama. Ada pula Ustad Ferry sang ketua pengurus musala, yang pamornya tengah menanjak setelah menjadi komentator di sebuah televisi.

Insyaf bukanlah hal mudah bagi ketiganya. Pun ketika mereka harus berpuasa di Ramadan, apalagi Bang Jack mencanangkan "Bulan Berburu Rezeki Halal". 40

40


(47)

Sebenarnya sinetron ini diangkat dari keresahan Deddy Mizwar sebagai penggagas seni. Ia merasa selama bulan ramadhan acara yang ditampilkan kebanyakan lebih bersifat hura-hura dan saling ejek fisik. Sedangkan nasihat atau inti sari agama yang disampaikan tidak tercapai. Karena itu Deddy mengangkat sinetron ini untuk menyalurkan segala keresahannya dan menjadikan sinetron ini sebagai salah satu tanggung jawab moral kepada masyarakat di Indonesia yang membutuhkan tontonan yang mendidik.

3.4.2.2 Penokohan

Dalam hal penokohan, Wahyu berujar bahwa dirinya menggunakan pendekatan psikologis yang realistis untuk membedah karakter psikologis setiap karakter atau tokoh hingga detail-detailnya dengan pendekatan realistis. Tokoh atau karakter yang dimunculkan disesuaikan dengan kebutuhan cerita, karena setiap tokoh/karakter harus mampu mendukung alur cerita atau plot. Tentunya karakter ini dapat semakin terasah dengan bantuan sang sutradara.

Dalam sinetron PPT, pembangunan karakter sangat sempurna bahkan boleh dikatakan cukup revolusioner bila dibandingkan dengan berbagai sinetron kurang mendidik yang masih saja ditayangkan, dengan orang-orang Bollywood sebagai tokoh utama konspiratornya. Sinteron-sinetron kita saat ini bukan saja rendah pembentukan karakternya tapi memang tidak diperhatikan. Namun dalam sinetron PPT tidak, dalam sinema Para Pencari Tuhan, sutradaranya mampu membentuk karakter masing-masing orang bahkan dengan memperkuat karakter kepribadian orang itu. Deddy adalah jenis sutradara yang tidak menjadikan aktornya tersiksa dalam karakter orang lain. Contoh


(48)

yang bisa dilihat, seperti karakter Udin, si Udin Nganga, kemungkinan dalam kesehariannya memang berkarakter asal bicara, cerewet dan kritis. Di tangan Deddy Mizwar aktor Udin ini diperkuat, dari seluruh pemeran PPT karakter Udinlah yang terbaik, dia menjadi penterjemah pikiran Deddy Mizwar tentang pembumian Al-Qur’an, penghubungan relasi-relasi antara mistifikasi agama dengan realitas kemasyarakatan. Karakter Udin adalah tendensi sekuler dalam masyarakat.

Sedikit dibawah Udin adalah karakter Asrul Dahlan yang berperan sebagai Asrul, karakter Asrul dengan logat Medannya yang khas diperkuat Deddy dengan sikap idealis. Disini sesungguhnya Asrul dikurung oleh Idealismenya, Asrul adalah perwakilan terbaik dalam cerminan sikap Nabi Ayub dalam melihat kemiskinan, walaupun ia berteriak dengan kemiskinannya, ia masih berpegang pada idealismenya, karakter ini dipasangkan pada Udin yang realistis kemudian bukan melahirkan kontra tapi sebuah gabungan di mana Idealisme atau Realitas semuanya berujung pada satu kepentingan, `bagaimana gua

bisa makan hari ini'. Duet Asrul dan Udin merupakan duet menarik yang

menggambarkan kebimbangan kaum proletar. Mereka berupaya keras untuk bergantung pada orang kaya tapi dalam hati mereka memusuhi. Ketidakberdayaan kaum proletar ini semakin dipaksa ke dalam susunan masyarakat yang sudah ada dimana memang secara ekonomis kaum kapitalislah yang memegang kekuasaan dan pendorong supaya Udin dan Asrul ini dapat menerima takdir kemiskinan mereka secara fatalistis.

Adalah Ustadz Ferry yang diperankan secara parodikal oleh Akri. Deddy Mizwar tidak salah menarik Akri sebagai parodi Ustadz yang senang akan uang dan selebritas sebuah tendensi dakwah jaman kita. Mungkin Deddy mengamati secara serius karakterisasi Akri ketika melawak dengan Patrio, dan harus diakui Deddy adalah orang


(49)

paling pintar dalam mengambil aktor dengan kesesuaian karakter, ini bisa dilihat dalam Nagabonar 2 bagaimana Karakter Lukman Sardi yang sopir bajaj tanpa banyak bicara bisa terbangun sebagai bagian dari masyarakat marginal ibukota yang juga dirugikan oleh sejarah (suatu saat Nagabonar tua melihat foto orang tua karakter Lukman Sardi yang berseragam perwira AURI, pada jaman Orde Baru AURI mengalami korban sejarah akibat Gestapu), begitu juga saat Deddy memasukkan karakter Jaja Mihardja yang tanpa bicara bisa mengundang tawa penonton, karakter Jaja sebagai seorang Gay Tua.

Akri yang sering memparodikan dalam lawakannya sebagai orang Arab bisa dijadikan oleh Deddy sebagai gambaran elite agama yang lidahnya ke Arab-Araban namun perilakunya tetap Indonesia asli. Lidah ke Arab-Araban dalam konteks keberagamaan di Indonesia dalam ruang bahasa sudah bisa masuk ke dalam masyarakat elite, ini sama saja dengan lidah ke Perancis-Perancisan bagi orang Jerman dan Rusia pada abad 17, dimana bahasa Perancis adalah bahasa Dewa sementara bahasa Jerman dan Rusia cukup buat bicara dengan kuda.

Kecemerlangan Deddy juga membawa karakter Akri ke dalam komoditifikasi Dakwah. Dakwah dalam pikiran Ustadz Ferry bukan lagi media perjuangan sebagai pewaris Ilmu Nabi, tapi merupakan sebuah industri. Ini bisa terlihat bagaimana Ustadz kecewa pada isterinya yang lebih dipilih oleh industri sinetron daripada dirinya, kekecewaan ini menunjukkan bahwa konsepsi dakwah Ustadz Ferry adalah industrialis bukan idealis.

Zascia Mecca yang memainkan karakter Ayya. Ini merupakan sebuah kecemerlangan Deddy yang secara diam-diam melihat Zascia sebagai etalase perempuan berpenampilan muslim, tapi cukup sampai pada batasan etalase belum substansial


(50)

kemuslimannya. Ini diperlihatkan bagaimana Ayya menjadi wanita pendendam hanya karena dikatakan `bodoh' oleh pacarnya. Karakterisasi Ayya ini merupakan sindiran pada kaum muslimah bahwa dengan baju berpenampilan Muslim apa sudah bisa melakukan substansi keIslamannya. Atau sekedar

menjadi etalase.

Pelawak Jarwo yang memainkan peran sebagai Pak Djalal, lelaki kaya yang sinis menjadi semacam klise bahwa menjadi kaya adalah kurang baik dan cenderung kikir. Ini merupakan karakter biasa dimanapun, baik di Amerika maupun di Indonesia. Kekayaan dalam sinema-sinema selalu digambarkan sebagai orang yang culas dan mencuri dari keringat orang lain. Hanya saja Jarwo disini selalu merasa menang ketika bisa menghina orang lain dengan bandingan kekayaan.

Puncak dari karakter sinetron Para Pencari Tuhan adalah Bang Jack sendiri yakni Deddy Mizwar, dia lucu, cerdas, namun na'if. Puncak kelucuannya saat dia berkhutbah di rumah Pak Djalal tapi tidak fokus pada apa yang dibicarakannya dan membuat malu teman-temannya. Hal ini mengingatkan saya pada sinetron Bajaj Badjuri saat itu Si Said kedatangan pamannya dari Arab yang tidak bisa bahasa Indonesia, dia hanya bisa bahasa Arab. Sang paman dan si Said diundang ke acara selamatan Mpok Minah. Saat paman si Said bicara pada Said dalam bahasa Arab, tetangga-tetangga si Said termasuk Pak RT, Ucup, Emak, Badjuri, berkata "Amien...Amien" menganggap yang dikatakan pamannya si Said adalah doa. Ini merupakan sindiran bahwa orang kita tidak pernah paham substansi sebuah makna. Apalagi makna beragama.

Susunan masyarakat dalam sinetron Para Pencari Tuhan digambarkan dengan apik oleh Deddy. Dalam sinetron Kiamat Sudah Dekat susunan masyarakat ini tidak


(51)

terlalu terlihat relasi-relasinya, namun oleh Deddy di sinetron Para Pencari Tuhan diperlihatkan relasi-relasinya termasuk penindasan terselubung si kaya dengan si miskin yang dengan baik digambarkan pada negosiasi kerja antara Pak Djalal dengan Asrul Dahlan dan saat Pak Djalal membayar uang dengan membuang uang bukan memberikan baik-baik, inilah kekerasan struktural masyarakat. Dari semua penggambaran susunan struktural

masyarakat pesannya singkat, bahwa kita harus menerima susunan masyarakat tanpa harus mengkritisinya dan mungkin bila stres larinya ke doa-doa serta dzikir.41

3.5 Profil Penonton Sinetron Para Pencari Tuhan

Gambaran Umum Identitas Responden Dari Segi Jenis Kelamin, Usia, dan Pendidikan

Gambaran umum dari segi jenis kelamin Tabel 1.1

Jenis kelamin responden Jenis kelamin Frekuensi (F) Persentase relatif

(%)

Persentase kumulatif

(%)

Laki-laki 30 54,6 54,6%

Perempuan 25 45. 100%

41


(52)

0 5 10 15 20 25 30

frekuensi persentase

laki-laki perempuan

Jumlah 55 100

Dari tabel di atas ternyata perbandingan jumlah lelaki dengan perempuan lebih banyak lelaki, yakni 30 orang (54,6%) dan perempuan sebanyak 25 orang (45,5%). Ini berarti jumlah responden perempuan tidak mencapai 50% dari seluruh responden.

Gambaran umum identitas responden dari segi usia Tabel 1.2

Usia responden

Tingkatan usia Laki-laki Perempuan Frekuensi (F) Persentase relatif (%)

< 20 tahun 5 2 7 12,74

20-25 tahun 5 7 12 21,84

26-35 tahun 6 5 11 20,02


(53)

0 2 4 6 8 10 12

laki-laki perempuan frekuensi persen

<20 tahun 20-25 tahun 26-35 tahun 36-45 tahun 46-55 tahun 56-65 tahun

46-55 tahun 4 5 9 16,38

56-65 tahun 3 1 4 7,28

Jumlah 30 25 55 100

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar responden memasuki kategori dewasa. Terdapat 7 orang (12,74%) responden yang berusia kurang dari 20 tahun. Jika diperhatikan lebih seksama, maka yang terbanyak responden berusia 36-45 tahun yang berjumlah 12 orang (21,84%) begitu juga dengan responden yang berusia 20-25 tahun yang berjumlah dan berpersentase sama. Selebihnya dengan responden berusia 26-35 tahun yang berjumlah 11 orang (20,02%), 46-55 tahun yang berjumlah 9 orang (16,38%) dan yang terkecil yakni usia 56-65 tahun yang berjumlah 4 orang (7,28%).


(54)

Gambaran umum berdasarkan pendidikan Tabel 1.3

Pendidikan responden Tingkat

pendidikan

Laki-laki Perempuan Frekuensi Persentase

SD 5 3 8 14,56

SLTP 7 7 14 25,48

SLTA 8 8 16 29,12

Diploma 4 - 4 7,28

S1 dan S2 6 7 13 23,66

Total 30 25 55 100

Dari tabel di atas, dari segi pendidikan, responden majelis taklim Al-Amin terbilang beragam dabn cukup tinggi. Dari tabel di atas memperlihatkan bahwa mayoritas responden berpendidikan SLTA yaitu sebanyak 16 orang atau 29,12%. Sedangkan 14 orang atau 25,48% responden berpendidikan SLTP. Dan sisanya 8 orang atau 14,56% berpendidikan SD, 4 orang atau 7,28% berpendidikan Diploma, dan 13 orang atau 23,66% berpendidikan S1 dan S2.


(1)

Keempat orang itu nampak kecewa dan panik.

HANSIP

Lhah ... barusan Bu Ustadz di belakang klonengan sama Aya, ngapain?

UST. FERRY

Kayaknya sih abis nyuci piring, Din. Jadi belon pada makan, nih?

(berseru ke dalam) Maaaa! Mamaaaah!

HAIFA (OS) Ya, pah.

Haifa muncul di pintu, langsung menyenyumi orang-orang di teras.

UST. FERRY

Masih ada makanan, nggak? Bang Udin dan kafilahnya belon sahur.

HAIFA

Ya Allah ... udah habis, pa.

Kebetulan mama cuma masak sedikit. Nggak tau sih kalo bakal ada tamu.

HANSIP

Apa ... apa nggak ada sisa barang dikit, Bu?

HAIFA

Aduuh ... apa ya? Paling-paling tinggal ... coba deh ibu liat sebentar.

Haifa segera masuk kembali.

41 EXT. JALAN DESA – MALAM

Hansip, Barong, Chelsea, dan Juki berjalan pulang tergopoh sambil masing-masing makan krupuk putih. Tampangnya asem semua.


(2)

JUKI (kesal)

Apes banget kita. Pasti ada yang belum mandi.

CHELSEA

Bang Udin juga sih, nih. Mana yang katanya sekali mendayung, dua-tiga pulau kelewatan. Yang ada cuma krupuk.

HANSIP

Salahin Bu Ustadz, dong, kenapa masaknya ngepas?

BARONG

Cepetan jalannya. Mudah-mudahan Bang Jack udah bangun dan udah beli makanan buat kita. Jam berapa, Ki?

Tiba-tiba terdengar gema adzan di kejauhan. Keempat orang itu terhenti dengan wajah tegang.

JUKI Lariii!

Keempat orang itu pun berlari sekencang-kencangnya.

42 EXT. MUSHOLA JACK – SUBUH

Bang Jack keluar dari tempat wudlu dengan wajah basah. Ia sudah mengenakan baju sholat. Ketika itulah terdengar

grabak-grubuk kedatangan Hansip, Barong, Chelsea, dan Juki. HANSIP

Bang Jack, Bang Jack! Cepetan bangun!

BANG JACK

Loe pikir gue lagi merem? Pada kemana, sih? Untung gue tadi ngimpi didatengin kebo dan


(3)

kebangun. Gue liat loe pada nggak ada.

CHELSEA

Ya udah, sekarang biar saya beli makanan, Bang. Duitnya, duitnya.

BANG JACK

Gue udeh beli makanan tadi buat kita berlima.

JUKI

Alhamdulillah. Slamet kita. BANG JACK

Tapi karena sampe ampir subuh loe nggak nongol, akhirnya gue kasih orang.

HANSIP Yaaah ....

BARONG

Bang Jack sendiri udah makan sahur?

BANG JACK

Alhamdulillah udah. Apa ya tadi? Pecel lele sama empal .... Dikasih jengkol juga sama yang punya

warung.

HANSIP

Udah deh, Bang, jangan diceritain. Cuma bikin sakit hati.

BANG JACK

Emangnya loe abis makan ape?

Keempat orang itu diam tak menjawab. Shocked berat. Mereka lihat-lihatan dengan tampang kuyu, lalu .... (MENGERUBUTI BANG JACK, TANGIS-TANGISAN PENUH PENYESALAN, MINTA MAAF ATAS KESALAHAN KEMARIN MALAM). Bang Jack meladeni mereka sambil terkekeh.


(4)

Nggak papa, nggak papa. Kite sodara seiman, saling memaafkan. Juki, sekarang loe yang adzan, ya?

JUKI

Saya kan nggak sahur, Bang. Masih lemes.

BANG JACK

Orang laper juga boleh adzan, kok. Nggak ada yang ngelarang.

43 EXT. JALAN DESA – SUBUH

Serombongan JAMAAH MUSHOLA berjalan dengan pakaian sholat. Ada pula yang baru keluar dari pagar rumah. Tampak di

antara mereka adalah Tamu 1 dan Tamu 2 yang kita lihat di rumah Ustadz Ferry.

Gema adzan dari mushola Jack mengiringi langkah mereka. Suara muadzinnya terdengar mendayu, memelas. Suara Juki.

JUKI (OS)

Assholaatu khoirum minannauum! Assholaatu khoirum minannauum!

44 INT. MUSHOLA JACK – SUBUH

Juki adzan didampingi Bang Jack, yang memegang kertas

bertuliskan lafal adzan untuk dibaca. Sementara di belakang mereka, tampak Hansip, Chelsea, dan Barong duduk menyender lemas di tembok dengan tatapan kosong.

JUKI

Allahu akbar ... allahu akbar! Laa ilaaha illallaah!

Bang Jack mengacungkan jempol. JUKI Makin laper, Bang.


(5)

Bang Jack hanya terkekeh. Ketika itulah rombongan Jamaah Mushola baru sampai di teras. Jumlahnya sekitar 15 orang. Bang Jack nampak takjub melihat kedatangan mereka.

JAMAAH Assalamu’alaikum!

BANG JACK Wa’alaikum salam!

(bergumam)

Subhanallah ... tumben banyak banget yang dateng.

Para jamaah langsung shalat sunnah di tempat masing-masing. Tamu 1 dan Tamu 2 mengambil posisi dekat Bang Jack.

TAMU 1

Bang Jack, adzannya yang barusan tadi bagus banget. Menyayat hati, jadi kita merasa terpanggil buat shalat berjamaah.

HANSIP (menggerutu)

Terang aja. Yang adzan orang laper.

BANG JACK Hehehe .... gitu ya?

TAMU 2

Iya, Bang. Betul. Siapa yang adzan, Bang? Dari kaset, ya?

BANG JACK

Bukan. Ini nih si Juki, anggota baru kite di mushola.

Tamu 1 dan Tamu 2 berubah masam mendengar itu. TAMU 1

Oooo ... cuma vokalnya masih mentah.


(6)

Setelah berkata begitu, keduanya langsung shalat. Bang Jack terkekeh menepuk bahu Juki yang tampak shocked.

BANG JACK

Sabar .... sabaar ... loe insyaf bukan buat orang laen, tapi karena Allah.

Bang Jack menata diri untuk shalat sunnah dan bertakbir. BANG JACK

Allahu akbar.