Peran lembaga kaligrafi al-quran (lemka) dalam dakwah melalui seni kaligrafi Islam

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I)

OLEH:

ILHAM BERLIAN

NIM: 107051002567

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011 M/1432 H


(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S. Sos. I)

Oleh

Ilham Berlian NIM: 107051002567

Dosen Pembimbing

Drs. Study Rizal LK, MA NIP. 19640428 199303 1 002

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2011 M/ 1432 H


(3)

diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 14 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I) pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.

Jakarta, 14 Juni 2011

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. Arief Subhan, MA Umi Musyarrofah, M.A.

NIP. 19660110 199303 1 004 NIP. 19710816 199703 2 002

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Dra. Hj. Asriati Jamil, M.Hum. Drs. Yusra Kilun, M.Pd.

NIP. 19610422 199003 2 001 NIP. 19570605 199103 1 004

Pembimbing,

Drs. Study Rizal LK, MA NIP. 19640428 199303 1 002


(4)

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 6 Juni 2011


(5)

i

ceramah atau pidato keagamaan saja. Dakwah tak hanya dapat dilakukan melalui ucapan semata. Metode yang kini bisa menjadi pilihan aktivis dakwah yaitu dengan dakwah bil qolam, salah satunya melalui seni kaligrafi. Dakwah yang satu ini, kini mulai sering dijadikan sebagai salah satu penopang kesuksesan target dakwah. Salah satu lembaga yang terbentuk khusus untuk mengembangkan dan mengajarkan seni kaligrafi adalah Lembaga Kaligrafi Al-Quran (LEMKA).

Dengan demikian, pertanyaannya adalah, “Bagaimana peran Lembaga Kaligrafi Al-Quran (LEMKA) dalam dakwah melalui seni kaligrafi? Untuk mengetahui perannya, pertanyaan selanjutnya yaitu bagaimana fungsi, tugas, dan statusnya di masyarakat?

Seni Kaligrafi merupakan salah satu media yang dapat digunakan dalam berdakwah. Kaligrafi merupakan media dakwah yang ampuh karena telah merambah ke masyarakat luas demi penyebaran agama Islam. Karena kaligrafi merupakan salah satu ibadah, sebagai bukti pengabdian kita kepada Allah SWT, maka kaligrafi harus diilhami dengan hidayah Allah SWT agar tidak salah arah.

Menurut Gross, Mason dan A. W. Mc Eachern, sebagaimana dikutip oleh David Berry, mendefinisikan peran sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedududukan sosial tertentu.

Dengan kaligrafi, selain menghasilkan sebuah karya, seorang kaligrafer juga dapat berperan dalam dakwah dengan metode bil qolam. Karena jika ia membuat kaligrafi ayat-ayat al-Quran, berarti dalam karyanya tersampaikan pesan-pesan Ilahi.

Penelitian ini ingin mengetahui peran Lembaga Kaligrafi Al-Quran (LEMKA) dalam dakwah melalui seni kaligrafi. Dengan melakukan wawancara, observasi, dan triangulasi diketahui bahwa peran LEMKA dapat dirinci menjadi tiga yaitu fungsi, tugas, dan statusnya di masyarakat. Di LEMKA diajarkan bahwa Kaligrafi adalah sebuah bentuk seni yang memakai isyarat berupa simbol, untuk menyampaikan makna, di antaranya yaitu menyampaikan pesan-pesan dakwah Islam. Selain berfungsi sebagai lembaga yang berdakwah melalui seni kaligrafi, LEMKA juga mempunyai tugas untuk mengembangkan seni kaligrafi Islam ini. Masyarakat pada umumnya sangat berharap untuk pembinaan kader-kadernya, karena banyak Pemerintah Daerah yang mengutus kader-kader khattatnya ke LEMKA agar bisa mengembangkan seni kaligrafi di wilayahnya.

Sebagai sebuah lembaga yang bergerak di bidang kaligrafi, Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (LEMKA) mempunyai peran yang cukup signifikan terhadap penyebaran dakwah melalui seni kaligrafi Islam dan pengembangan kaligrafi Islam di Indonesia. Dengan kata lain, LEMKA adalah subjek dakwahnya, metode dakwahnya bil qolam, dan media dakwahnya adalah seni kaligrafi Islam. Dengan pengarahan dan pengajaran tentang seni kaligrafi Islam yang benar, LEMKA mengajak masyarakat untuk mencintai Islam dan Al-Qur’an melalui goresan-goresan kaligrafi yang indah.


(6)

ii

segala rahmat, nikmat, taufiq, dan maghfirah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang sederhana ini. Shalawat beserta salam senantiasa selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat, dan segenap kaum muslimin, karena Beliau telah membawa umatnya kepada jalan kebenaran. Alhamdulillahirrabil’alamin, atas izin-Nya lah akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Peran Lembaga Kaligrafi Al-Quran (LEMKA) Dalam Dakwah Melalui Seni Kaligrafi Islam.” Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak mengalami kendala dan hambatan dalam berbagai hal. Namun, berkat kerja keras dan doa, serta bantuan dari berbagai pihak, seperti dukungan, dorongan dan motivasi, penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis hendak mengucapkan terima kasih, jazakumullah khoirul jaza’, dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Arief Subhan MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, beserta jajaran Pudeknya; Bapak Wahidin Saputra MA, selaku Pudek I, Bapak Drs. H. Mahmud Jalal MA, selaku Pudek II, dan Bapak Drs. Studi Rizal LK. MA, selaku Pudek III.

2. Bapak Drs. Jumroni M.Si., selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, serta Ibu Umi Musyarrofah, selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam yang telah banyak membantu proses pembuatan maupun persyaratan skripsi ini.

3. Bapak Drs. H. Tarmi MM, selaku Dosen Pembimbing akademik, yang telah membantu kelancaran penyelesaian skripsi ini.


(7)

iii

5. Segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, yang telah mentransformasikan ilmu, sehingga penulis mampu menyelesaikan studi maupun penulisan skripsi ini.

6. Pimpinan dan para petugas baik di perpustakaan Fakultas Dakwah dan Komunikasi maupun perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Bapak Drs. H. D. Sirojuddin AR, M. Ag, selaku pimpinan Lembaga Kaligrafi Al-Quran (LEMKA), para pengurus, serta kawan-kawan dari Lembaga Kaligrafi Al-Quran (LEMKA), yang telah mengarahkan, membantu, serta mengizinkan penulis dalam melakukan penelitian ini. 8. Ibunda tercinta, serta keluargaku yang lainnya yang selalu membantu,

mendukung, memotivasi, dan mendo’akan penulis dengan kasih sayang yang tak terhingga.

9. Para kawan-kawan KPI B angkatan 2007, serta teman-teman penulis lainnya, yang telah membantu penulis dalam segala hal, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

“Tak ada gading yang tak retak,” begitulah ungkapan dari seorang pepatah, yang sama dengan deskripsi skripsi yang penulis susun ini, yakni masih jauh dari sempurna. Maka dari itu, dengan kerendahan hati dan ucapan terima kasih, penulis senantiasa menerima kritik dan saran dari berbagai pihak yang membangun demi kesempurnaan.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jakarta, 6 Juni 2011


(8)

iv

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 8

1. Batasan Masalah ... 8

2. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian ... 9

1. Tujuan penelitian ... 9

2. Kegunaan Penelitian ... 10

D. Metodologi Penelitian ... 10

1. Metode Penelitian ... 10

2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 11

3. Subjek dan Objek penelitian ... 11

4. Jenis Data dan Sumber Data... 12

5. Teknik Pengumpulan Data ... 13

6. Teknik Analisis Data ... 15

E. Kajian Pustaka ... 15

F. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II KERANGKA TEORITIS ... 18

A. Peran Lembaga ... 18

B. Dakwah... 20

C. Pengertian Dakwah ... 20

D. Unsur-Unsur Dakwah ... 23


(9)

v

5. Media Dakwah ... 34

E. Seni Kaligrafi Islam ... 36

BAB III GAMBARAN UMUM LEMBAGA KALIGRAFI AL-QURAN (LEMKA) ... 41

A. Sejarah Berdirinya LEMKA... 41

1. Lahirnya Sebuah Gagasan ... 41

2. Nama dan Tujuan Lembaga ... 46

B. Visi dan Misi ... 48

C. Motto dan Tujuan LEMKA ... 49

D. Struktur Kepengurusan Lembaga Kaligrafi Al-Quran (LEMKA) ... 49

BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA ... 53

A. Analisis Peran LEMKA dalam Makna Fungsi ... 53

B. Analisis Peran LEMKA dalam Makna Tugas ... 60

C. Analisis Peran LEMKA dalam Makna Status ... 67

BAB V PENUTUP ... 72

A. Kesimpulan... 72

B. Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75


(10)

1

A. Latar Belakang Masalah

Setiap muslim diwajibkan untuk berdakwah, saling menyeru dan mengingatkan kepada kebenaran. Pada umumnya, dakwah dilakukan di depan mimbar dengan berceramah. Padahal, banyak cara untuk menegakkan kalimat Allah Azza wa Jalla di muka bumi ini.

Dakwah adalah segala usaha untuk mengajak manusia untuk memahami, meyakini, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam sebagai pedoman hidup dan keyakinannya.”1 Pengertian dakwah juga dikemukakan oleh beberapa ahli lainnya, salah satu di antaranya Arifin yang mengatakan dakwah adalah suatu ajakan, baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku dan sebagainya, yang dilakukan secara sadar dan berencana dalam usaha mempengaruhi orang lain, baik secara kelompok supaya timbul dalam dirinya, pengertian, kesadaran, sikap, penghayatan serta pengamalan terhadap ajaran agama sebagai massage yang disampaikan tanpa ada unsur-unsur paksaan.2

Berbagai cara dapat dilakukan untuk berdakwah. Cara-cara tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi, serta kebutuhan mad’u. Adanya variasi dalam metode dakwah memberikan peluang bagi da’i untuk memilih alternatif penyampaian dakwah yang tepat bagi mereka.

1

Amrullah Ahmad, Dakwah Islam dan Transformasi Sosial Budaya (Yogyakarta: LPM, 1985), h. 12

2


(11)

Dari segi cara, metode, atau secara teknis, dakwah dapat dilakukan dalam berbagai cara, yakni secara lisan (dakwah bil lisan), keteladanan atau perbuatan (dakwah bil hal), dan dengan tulisan (dakwah bil qolam/bit tadwin).

Dakwah bil lisan adalah penyampaian pesan dakwah melalui lisan atau verbal, seperti ceramah, dialog, termasuk siaran keislaman di radio dan televisi. Dalam metode dakwah ini, dibutuhkan keahlian atau keterampilan komunikasi (communication skill), yakni keterampilan public speaking yang membekali seorang juru dakwah dengan teknik berbicara yang baik, tidak membosankan, menarik, dan sebagainya. Para juru dakwah bil lisan dituntut mampu “menguasai mimbar dan audiens”.

Dakwah bil hal adalah dakwah yang mengedepankan aksi nyata atau keteladanan. Hal ini dimaksudkan agar si penerima atau objek dakwah (mad’u) mengikutinya. Termasuk dakwah bil hal adalah aksi sosial, seperti santunan fakir miskin dan yatim piatu, beasiswa kepada kaum dhuafa, dan aksi kemanusiaan.

Dakwah bil qolam atau disebut juga bit tadwin dan bil kitabah yaitu dakwah melalui tulisan. Contohnya di media massa seperti koran, tabloid, majalah, buletin, website, blog, dan media publik lainnya seperti email/milis, facebook, dan twitter. Bisa juga melalui buku, atau media lain seperti seni kaligrafi. Dakwah melalui media sangat efektif karena daya jangkau dan pengaruhnya lebih luas dan kuat. Kelebihan lain dari dakwah bil qolam ini antara lain abadi dan terdokumentasi, karena pesan-pesan yang disampaikan dalam dakwah melalui metode ini tidak menjadi musnah meskipun sang dai, atau


(12)

penulisnya sudah wafat. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya tinta para ulama adalah lebih baik dari darahnya para syuhada."

Dalam tulisannya, Asmuni Syukir mengatakan, “Berdakwah dalam segala bentuknya adalah wajib hukumnya bagi setiap muslim, beramar ma’ruf nahi munkar, berjihad, juga memberikan nasihat kepada sesamanya. Syariat atau hukum Islam tidak mewajibkan bagi umatnya untuk selalu mendapatkan hasil semaksimalnya, akan tetapi usahanyalah yang diwajibkan sesuai dengan keahlian

dan kemampuannya”.3

Adalah suatu kemunduran bagi umat Islam jika menganggap dakwah adalah ceramah keagamaan di masjid saja. Dakwah tidak hanya dapat dilakukan melalui ucapan semata. Salah satu cara yang kini bisa menjadi pilihan aktivis dakwah yaitu melalui metode dakwah yang sudah dijelaskan di atas, yaitu dakwah

bil qolam. Dakwah yang satu ini, kini mulai sering dijadikan sebagai salah satu penopang kesuksesan target dakwah. Karena pada dasarnya, dakwah Islam tidak hanya dilakukan dengan menggunakan kata-kata bijak, tetapi juga bisa dilakukan dengan tulisan (qolam), pun dengan karya-karya seni, seperti seni kaligrafi.

Menurut Sidi Gazalba, ”Kesenian itu mengandung daya tarik yang

berkesan kenapa tidak memanfaatkannya untuk berdakwah sehingga dakwah dapat menarik sasarannya dan pemanfaatan seni bertujuan untuk menimbulkan kesenangan yang bersifat estetik dan senang kepada keindahan merupakan naluri

atau fitrah manusia”.4

3

Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 27

4


(13)

Hal tersebut didukung oleh pengertian dakwah menurut pendapat Endang S. Anshori yang dikutip oleh Siti Muriah adalah bahwa dakwah dalam arti terbatas ialah menyampaikan Islam kepada manusia secara lisan, tulisan, maupun lukisan. Sedangkan dakwah dalam pengertian luas adalah pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan manusia termasuk di dalamnya politik, ekonomi, sosial pendidikan ilmu pengetahuan, kesenian, kekeluargaan, dan sebagainya.5

Allah menciptakan manusia untuk bisa menilai dan mencintai keindahan. Salah satu keindahan yang dicintai manusia adalah seni. Seni merupakan fitrah insani dan kebutuhan emosional manusia. Islam adalah agama yang menanamkan rasa suka dan cinta akan keindahan dalam lubuk hati setiap muslim.

Seni merupakan perkara yang sangat penting karena berhubungan dengan hati dan perasaan manusia. Seni berusaha membentuk kecenderungan dan perasaan jiwa manusia dengan alat-alat yang beraneka ragam seperti alat-alat yang dapat didengar, dibaca, dilihat, dirasakan, maupun dipikirkan.6

Al-Qur’an pun mengajak manusia untuk memperhatikan dan

mengingatkan pikiran dan kalbunya untuk melihat keindahan yang khas dari bagian-bagian alam dan berbagai detailnya.7 Naluri manusia terhadap seni dapat diwujudkan dalam berbagai macam bentuk. Sebagian ada yang lewat pandangan mata. Ada pula lewat pendengaran berupa suara alam dan suara audio visual, bahkan ada pula goresan-goresan tangan berupa lukisan dan ukiran. Dalam

5

Siti Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer, cet. I (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), h. 4

6

Yusuf Al-Qardawi, Islam dan Seni (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), h. 13

7


(14)

dakwah Islam lukisan juga bisa menjadi daya tarik yang tentunya tidak membosankan audien.

Seni menulis indah huruf, kata, atau kalimat berbahasa Arab disebut kaligrafi. Kata kaligrafi berasal dari bahasa Yunani (kalios: indah; graphia: tulisan). Seni ini diciptakan dan dikembangkan oleh kaum muslim sejak kedatangan Islam. Meskipun bermacam-macam pengertian yang dikemukakan oleh para ahli, namun pada dasarnya tujuan ungkapan tersebut mengarah kepada arti tulisan yang indah. Dapat juga dikatakan suatu tulisan yang dirangkai dengan nilai estetika yang bersumber pada pikiran atau ide dan diwujudkan melalui benda materi (alat tulis) yang diikat oleh aturan dan tata cara tertentu. Jadi seni kaligrafi itu sebuah kepandaian menulis tulisan indah dengan mengikuti metode-metode tertentu untuk mempelajarinya.

Kaligrafi Islam adalah seni ruhani. “Islamic Calligraphy is a spiritual geometry brought about with material tools”, demikian Yaqut al-Musta’shimi, sang maestro klasik, menggambarkan keagungan warisan tamaddun Islam ini. Kaligrafi Islam memang bukan sembarang karya seni rupa, karena diyakini memancarkan pesona spiritualitas. Ia pun dipersonifikasikan sebagai media ampuh yang dapat mengkomunikasikan ide-ide, sehingga Ubaidillah bin Abbas menyebutnya dengan lisan al-yadatau “lidahnya tangan”.

Kaligrafi Islam mempunyai kedudukan yang istimewa di antara cabang-cabang seni Islam yang lain. Tidak seperti cabang-cabang seni Islam yang lain (musik, arsitektur misalnya, yang dalam beberapa hal banyak dipengaruhi oleh gaya-gaya lokal dan sejumah seniman non muslim) kaligrafi mencapai puncak keindahannya


(15)

di tangan-tangan piawai seniman muslim sepenuhnya, tanpa campur tangan pihak lain. Tanpa Islam barangkali huruf Arab tidak akan berarti apa-apa. Hal ini dapat dilihat dari perhatian umat Islam terhadap tulisan yang berawal dari perhatian mereka terhadap Al-Qur’an. Wahyu Allah yang turun melalui Nabi Muhammad SAW adalah kalimat suci yang merupakan bahasa Tuhan kepada hamba-Nya. Pertalian langsung antara tulisan dengan nilai-nilai keagamaan yang sakral menjadikan umat Islam selalu termotivasi untuk terus mengembangkannya. Pandangan ini kemudian dipertegas lagi dengan kenyataan bahwa bahasa Arab merupakan satu-satunya bahasa liturgis umat Islam. Tulisan Arab menjadi terangkat fungsi dan statusnya, bukan sekedar sebagai alat komunikasi antar manusia, tetapi juga merupakan tulisan religius yang sakral.

Allah SWT menyukai sesuatu yang indah dan Ia suka agar hambanya berbuat yang baik dan indah sesuai dengan pikiran akal sehat mereka. Maka seni bukan hanya untuk sekedar kepuasan bagi hati manusia. Tapi lebih dari itu, seni termasuk juga kaligrafi merupakan sarana dakwah yang ampuh karena telah merambah ke masyarakat luas demi penyebaran agama Islam. Itu adalah salah satu ibadah, pengabdian kita kepada Allah SWT maka kaligrafi harus diilhami dengan hidayah Allah SWT agar tidak salah arah.

Kaligrafi Islam merupakan salah satu media yang dapat digunakan dalam berdakwah. Kaligrafi merupakan media dakwah yang ampuh karena telah merambah ke masyarakat luas demi penyebaran agama Islam. Karena kaligrafi merupakan salah satu ibadah, pengabdian kita kepada Allah SWT, maka kaligrafi harus diilhami dengan hidayah Allah SWT agar tidak salah arah.


(16)

Seiring dengan perkembangan zaman, seni kaligrafi pun turut berkembang. Sayangnya perkembangan itu terasa lambat di Indonesia karena tidak ada wadah yang menjadi tempat untuk mengembangkan kreativitas seni kaligrafi. Hal itulah yang mendorong D. Sirajuddin AR, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk mendirikan sebuah lembaga yang mengembangkan kaligrafi khususnya kaligrafi

Al-Qur’an yang diberi nama Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (LEMKA).

LEMKA yang berdiri tahun 1985 yang dipimpin D. Sirajuddin AR ini adalah sebuah wadah untuk menumbuhkan dan meningkatkan kecintaan pada generasi muda terhadap seni kaligrafi Islam di Indonesia melalui kegiatan-kegiatan pembinaan kreativitas, pengembangan minat dan bakat, kursus kaligrafi terpadu, kompetisi, pergelaran dan pameran, pengembangan galeri dan diskusi wawasan seni budaya.8 Sampai sekarang LEMKA terbukti telah berhasil berprestasi dalam berbagai pentas lokal, nasional, ASEAN, bahkan internasional.

Di LEMKA juga diajarkan bahwa Kaligrafi adalah sebuah bentuk seni yang memakai isyarat berupa simbol, untuk menyampaikan makna. Simbol ini tidak bisa dilepaskan dari agama Islam yang menjadi pijakan awal tumbuhnya seni kaligrafi. Makna yang terkandung dari simbol tersebut merupakan bagian dari tafsir seniman. Itulah sebabnya kaligrafi dapat menjadi salah satu media dakwah yang menarik untuk melukiskan bagaimana indahnya agama Islam.

Pak Didin (panggilan akrab D. Sirajuddin) juga mengatakan bahwa seni kaligrafi merupakan dakwah bil qolam yang cukup efektif, baik bagi yang

8

D. Sirajuddin, AR, Kaligrafi: Peristiwa dan ide-ide pengembangannya (Jakarta: Lemka studio, 1995) h.35


(17)

melihat, maupun bagi si pembuatnya. Di samping itu, LEMKA tidak hanya dianggap berdakwah dengan metode bil qolam saja, tetapi juga dengan metode bil lisan dan bil hal. Peran LEMKA dalam dakwah bil hal salah satunya yaitu LEMKA pernah mengadakan program beasiswa bagi mereka yang berprestasi di bidang kaligrafi. Dengan program beasiswa tersebut, diharapkan dapat membantu dan menambah semangat seseorang dalam mengembangkan seni kaligrafinya. Dakwah bil lisan di antaranya yaitu LEMKA selalu membuka kesempatan bagi para pecinta kaligrafi untuk melakukan dialog di LEMKA tentang seni kaligrafi, terutama dalam pemanfaatannya dalam dakwah bil qolam. Sampai saat ini, LEMKA menjadi lembaga yang terus konsisten menjadikan kaligrafi menjadi suatu media dakwah yang mempunyai nilai plus dalam mengembangkan nilai-nilai Islam.

Dengan melihat latar belakang masalah di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang dakwah melalui seni kaligrafi ini. Maka dari itu, penulis mengambil judul: “Peran Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (LEMKA) Dalam Dakwah Melalui Seni Kaligrafi Islam”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

LEMKA yang berdiri tahun 1985 yang dipimpin D. Sirajuddin AR ini, selain mengemban misi dakwah bil qolam, juga merupakan sebuah wadah untuk menumbuhkan dan meningkatkan kecintaan pada generasi muda terhadap seni kaligrafi Islam di Indonesia melalui kegiatan-kegiatan pembinaan kreativitas, pengembangan minat dan bakat, kursus kaligrafi terpadu, kompetisi, pergelaran


(18)

dan pameran, pengembangan galeri dan diskusi wawasan seni budaya. Tetapi dalam penelitian ini, penulis membatasi fokus penelitian pada peran LEMKA dalam dakwah melalui seni kaligrafi Islam.

2. Rumusan Masalah

Sedangkan rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana peran LEMKA dalam dakwah melalui seni kaligrafi Islam? Berdasarkan teori tentang peran yang dipakai penulis, hal ini dapat dirinci sebagai berikut:

a. Bagaimana peran Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (LEMKA) dalam makna fungsi?

b. Bagaimana peran Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (LEMKA) dalam makna tugas?

c. Bagaimana peran Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (LEMKA) dalam makna status?

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan penelitian

Tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran LEMKA dalam dakwah melalui seni kaligrafi Islam. Berdasarkan teori tentang peran yang dipakai penulis, hal ini dapat dirinci sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui peran Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (LEMKA) dalam makna fungsi.

b. Untuk mengetahui peran Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (LEMKA) dalam makna tugas.


(19)

c. Untuk mengetahui peran Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (LEMKA) dalam makna status.

2. Kegunaan Penelitian

Sedangkan manfaat dari penelitian ini yaitu:

a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pikiran dalam pengembangan ilmu dakwah di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, yaitu dalam dakwah bil qolam.

b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah sumbangan pikiran dalam mengembangkan metode dakwah, terutama dalam dakwah bil qolam khususnya melalui seni kaligrafi Islam. Sebagai bahan bagi para da’i lainnya yang ingin mengambil langkah-langkah dalam melakukan dakwah melalui seni kaligrafi Islam.

c. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi wawasan bagi para praktisi dakwah di seluruh Indonesia bahwa berdakwah tidak harus selalu di depan mimbar dan diperhatikan oleh mad’u untuk menyampaikan pesan dakwah yang dibawa oleh Rasulullah bisa melalui seni kaligrafi Islam.

D. Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Metode ini mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan serta


(20)

pengaruh dari suatu fenomena. Penelitian yang bersifat deskriptif ini, mengangkat fakta keadaan, variabel, dan fenomena-fenomena yang terjadi saat penelitian berlangsung dan menyajikan apa adanya.

Penelitian tentang peran Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (LEMKA) dalam dakwah melalui kaligrafi Islam ini termasuk penelitian dengan pendekatan kualitatif, dengan menggunakan metode wawancara mendalam, di mana peneliti melakukan kegiatan wawancara tatap muka secara mendalam dan terus-menerus untuk menggali informasi dari responden.9

2. Tempat dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah sekretariat LEMKA yang bertempat di Jl. Semanggi 1 No. 26, Ciputat, Jakarta Selatan. Penulis memilih lokasi tersebut karena di sanalah tempat dan pusat kegiatan LEMKA berlangsung. Hal itu dapat memudahkan peneliti dalam melakukan observasi dan wawancara pada narasumber. Sedangkan waktu penelitian dimulai dari bulan Februari 2011 sampai Mei 2011.

3. Subjek dan Objek penelitian

Istilah “Subjek Penelitian” menunjuk pada orang/individu atau kelompok yang dijadikan unit atau satuan (kasus) yang diteliti.10 Dalam penelitian ini, subjek penelitiannya adalah Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (LEMKA) termasuk pemimpin, dan guru-guru di dalam LEMKA, di mana mereka adalah orang-orang yang dianggap berdakwah melalui seni kaligrafi atau dakwah bil qolam.

9

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009) h. 63

10

Sanapiah Faisal, Fomat-Format Penelitian Sosial, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007) h. 109


(21)

Sedangkan objek penelitiannya adalah peran LEMKA dalam dakwah melalui seni kaligrafi Islam.

4. Jenis Data dan Sumber Data a. Jenis Data

1. Data Primer

Data Primer adalah data yang langsung penulis peroleh dari subjek penelitian dan merupakan data utama yang dikumpulkan sebagai bahan penelitian, dan data ini diperoleh langsung dari informan tentang kenyataan yang ada di lapangan. Adapun data primer yang akan dikumpulkan yaitu informasi tentang peran LEMKA dalam dakwah melalui seni kaligrafi Islam, yang meliputi fungsi, tugas, dan statusnya dalam masyarakat.

2. Data Sekunder

Data Sekunder adalah data yang timbul secara tidak langsung dari sumbernya atau data yang diperoleh dalam bentuk tertulis yang didokumentasikan dari objek penelitian yang bisa diperoleh dari observasi dan dokumentasi.11 Data sekunder ini dikumpulkan untuk memperkuat jawaban dan melengkapi data primer, seperti data-data hasil observasi kegiatan LEMKA dan data-data dokumentasi tentang LEMKA.

11

Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam teori dan Praktek, (Jakarta: Renika Cipta, 2004), cet. IV, hlm. 87


(22)

b. Sumber Data.

Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lainnya.12 Dalam penelitian ini sumber data diperoleh dari:

1. Informan/narasumber yang diwawancarai dalam penelitian ini, yang meliputi pemimpin LEMKA, guru-guru yang mengajar di LEMKA serta para pelajar yang sedang memperdalam ilmu kaligrafinya di LEMKA.

2. Dokumen-dokumen yang berupa catatan formal, dan juga buku-buku, artikel, majalah, koran yang membahas tentang LEMKA atau kaligrafi dan bahan informasi lainnya yang memiliki relevansi dengan masalah penelitian serta dapat memperkaya dan mempertajam analisa studi ini. 3. Hasil observasi yang meliputi keadaan dan gambaran umum ketika

proses belajar ataupun kegiatan dakwah LEMKA sedang berlangsung. 5. Teknik Pengumpulan Data

a. Wawancara

Wawancara yang akan dilakukan oleh peneliti berupa komunikasi langsung dalam bentuk tanya jawab secara lisan kepada narasumber. Wawancara yang bersifat bebas dan terbuka ini akan diajukan kepada D. Sirajuddin AR selaku Pendiri serta pemimpin di LEMKA, juga ke guru-guru yang mengajar di LEMKA serta para pelajar yang sedang memperdalam ilmu kaligrafinya di LEMKA.

12

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006), cet. XXVI, hlm. 157


(23)

b. Observasi

Observasi dalam penelitian ini akan dilakukan dengan melihat keadaan dan gambaran umum ketika proses belajar ataupun dalam kegiatan dakwah LEMKA sedang berlangsung. Teknik ini penulis gunakan untuk mendapatkan gambaran umum dan bentuk konkrit.

c. Dokumentasi

Dokumentasi yang peneliti gunakan yaitu dengan melihat catatan tertulis tentang berbagai kegiatan atau peristiwa pada waktu yang lalu. Data-data ini dapat diperoleh melalui dokumen-dokumen yang berupa catatan formal, dan juga buku-buku, artikel, majalah, koran yang membahas tentang LEMKA atau kaligrafi dan bahan informasi lainnya yang memiliki relevansi dengan masalah penelitian serta dapat memperkaya dan mempertajam analisa studi ini.

d. Triangulasi

Untuk mengjuji keabsahan data, peneliti juga melakukan triangulasi, yaitu teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Tahapannya antara lain menggunakan data informan (objek dakwah), seperti peserta didik LEMKA sebagai penguat data hasil wawancara pada pengurus LEMKA. Lalu membandingkan data hasil observasi pada kegiatan LEMKA dengan data hasil wawancara. Dan melihat data yang dikumpulkan apakah sesuai dengan teori yang digunakan pada penelitian ini.


(24)

6. Teknik Analisis Data

Dalam menganalisis data, langkah pertama adalah mendeskripsikan data yang diperoleh dari wawancara mendalam dengan narasumber di antaranya D. Sirajuddin AR selaku pendiri serta pemimpin di LEMKA, juga ke guru-guru yang mengajar di LEMKA serta para murid yang sedang memperdalam ilmu kaligrafinya di LEMKA. Selain itu, peneliti juga harus mencantumkan data-data hasil observasi. Serta mencantumkan gagasan sekunder yang terkait dengan penelitian untuk memperkuat analisis, seperti data-data hasil dokumentasi tentang LEMKA. Data-data tersebut nantinya akan dikembangkan lagi sesuai dengan teori yang digunakan peneliti. Untuk menguji keabsahan data, penulis juga mencantumkan data triangulasi dari penelitian ini.

E. Kajian Pustaka

Sebelum melakukan penelitian, salah satu langkah awal yang dilakukan penulis adalah mencari dan menelaah hasil karya atau penelitian terdahulu yang mempunyai judul, subjek, objek penelitian yang hampir sama dengan penelitian yang akan disusun oleh penulis atau yang berhubungan dengan LEMKA dan tentang seni kaligrafi Islam. Tinjauan pustaka ini dimaksudkan agar dapat mengetahui apakah yang penulis akan teliti sekarang tidak sama dengan penelitian terdahulu. Lalu penulis menemukan beberapa penelitian yang hampir sama, yaitu : 1. Skripsi dengan judul “KEPEMIMPINAN D. SIROJUDDIN AR. MD PADA LEMBAGA KALIGRAFI AL-QUR’AN (LEMKA) DALAM UPAYA PENGEMBANGAN KALIGRAFI DI INDONESIA” yang ditulis oleh Saiful Huda, mahasiswa jurusan Manajemen Dakwah UIN Syarif


(25)

Hidayatullah Jakarta pada tahun 2008. Dalam skripsi ini penulis meneliti tentang seorang tokoh kaligrafer yang bernama D. Sirojuddin AR. MA yang mengembangkan seni kaligrafi di LEMKA (Lembaga Kaligrafi

Al-Qur’an).

2. Skripsi dengan Judul “PERAN D. SIROJUDDIN AR. MA DALAM

DAKWAH MELALUI SENI KALIGRAFI ISLAM” yang ditulis oleh Enny Nur Fajriyah, mahasiswi jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2009. Dalam skripsi ini penulis hanya meneliti tentang peran seorang tokoh kaligrafer yang bernama D. Sirojuddin AR. MA yang berdakwah melalui seni kaligrafi Islam.

Kedua skripsi di atas memfokuskan penelitian pada peran seorang D. Sirajuddin AR. MD dalam berdakwah melalui seni kaligrafi Islam, atau kepemimpinan beliau dalam mengembangkan seni kaligrafi di Indonesia. Berbeda dengan kedua penelitian sebelumnya, penulis memfokuskan penelitian pada peran LEMKA (Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an) beserta ruang lingkupnya dalam dakwah melalui seni kaligrafi Islam.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dalam penyusunan penelitian yang akan disusun menjadi skripsi ini, penulis akan memberikan sistematika sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN : dalam bab ini penulis menguraikan antara lain tentang latar belakang masalah yang menjadi landasan dalam melakukan


(26)

penelitian ini, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, kajian pustaka serta sistematika penulisan.

BAB II KAJIAN TEORI : dalam bab ini penulis memaparkan tentang pengertian peran, pengertian dakwah beserta ruang lingkupnya, pengertian seni, dan pengertian kaligrafi.

BAB III GAMBARAN UMUM LEMBAGA KALIGRAFI

AL-QUR’AN (LEMKA) : dalam bab ini penulis memaparkan tentang gambaran

umum Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (LEMKA).

BAB IV ANALISIS PERAN LEMBAGA KALIGRAFI AL-QUR’AN

(LEMKA) DALAM DAKWAH MELALUI SENI KALIGRAFI ISLAM :

dalam bab ini meliputi peran Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (LEMKA) dalam dakwah melalui seni kaligrafi Islam, serta kendala dan hambatan yang dilalui LEMKA dalam dakwah melalui seni kaligrafi Islam.

BAB V PENUTUP : kesimpulan dan saran.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(27)

18

A. Peran Lembaga

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, peran adalah: perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat dan harus dilaksanakan.1 Peran tidak dapat dipisahkan dengan status (kedudukan), walaupun keduanya berbeda, akan tetapi saling berhubungan erat antara satu dengan yang lainnya, karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya. Peran diibaratkan seperti dua sisi mata uang yang berbeda, akan tetapi kelekatannya sangat terasa sekali. Seseorang dikatakan berperan atau memiliki peranan karena dia (orang tersebut) mempunyai status dalam masyarakat, walaupun kedudukan itu berbeda antara satu orang dengan orang lain, akan tetapi masing-masing dirinya berperan sesuai dengan statusnya.

Sedangkan Gross, Mason dan A. W. Mc Eachern, sebagaimana dikutip oleh David Berry, mendefinisikan peran sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedududukan sosial tertentu.2 Harapan-harapan tersebut masih menurut David Berry, merupakan imbangan dari norma-norma sosial, oleh karena itu dapat dikatakan peranan-peranan itu ditentukan oleh norma-norma di dalam masyarakat, artinya seseorang diwajibkan

1

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 667

2

David Berry, Pokok Pikiran Dalam Sosiologi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), h. 99


(28)

untuk melakukan hal-hal yang diharapkan oleh masyarakat di dalam pekerjaannya dan dalam pekerjaan-pekerjaan lainnya.

Sarlito Wirawan Sarwono juga mengemukakan hal yang sama bahwa harapan tentang peran adalah harapan-harapan orang lain pada umumnya tentang perilaku-perilaku yang pantas, yang seyogyanya ditentukan oleh seseorang yang mempunyai peran tertentu.3

Dari penjelasan tersebut di atas terlihat suatu gambaran bahwa yang dimaksud dengan peran merupakan seperangkat tindakan, perbuatan, atau pekerjaan yang diharapkan dilakukan oleh seseorang karena kedudukannya di dalam status tertentu dalam suatu masyarakat atau lingkungan di mana dia berada untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dengan kata lain, sebuah peran berkaitan dengan fungsi, tugas, dan status seseorang dalam suatu masyarakat.

Sedangkan pengertian lembaga atau organisasi secara etimologi berasal dari istilah Yunani yaitu organon dan istilah Latin yaitu organum yang berarti alat, bagian, anggota, atau badan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia akan dijumpai beberapa arti tentang lembaga. Arti pertama adalah sesuatu, kedua acuan; suatu yang memberi bentuk kepada orang lain, dan yang ketiga badan atau organisasi yang bertujuan melakukan sesuatu penelitian keilmuan dalam melakukan suatu usaha.4

James D. Money mengatakan, sebagaimana dikutip Abdul Syani, bahwa organisasi adalah bentuk setiap perikatan manusia untuk mencapai suatu tujuan

3

Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-Teori Psikologi Sosial, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 217

4

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 512


(29)

bersama.”5 Sedangkan menurut Ernest Dale dan L.C. Michelon, bahwa organisasi dapat disebut sebagai suatu sistem komunikasi dan juga pernah didefinisikan sebagai koordinasi. Komunikasi diperlukan untuk meyakinkan bahwa setiap orang mengerti apa tujuan organisasi, apa bagiannya dalam mencapai tujuan itu, apa faedahnya meraih tujuan dengan usaha terbaiknya. Sedangkan koordinasi sebaiknya adalah perlu untuk meyakinkan bahwa setiap orang turut berjasa dalam usaha meraih tujuan bersama itu tanpa kehilangan kepercayaan.6

Dengan melihat penjelasan di atas, maka peran lembaga menurut penulis yaitu seperangkat tindakan, perbuatan, atau pekerjaan yang diharapkan dilakukan oleh suatu organisasi tertentu dalam suatu masyarakat atau lingkungan, yang bertujuan untuk melakukan sesuatu penelitian keilmuan dalam melakukan suatu usaha demi tercapainya tujuan bersama.

B. Dakwah

1. Pengertian Dakwah

Berbicara mengenai pengertian dakwah, dapat dikemukan dalam dua bentuk pengertian yaitu:

a. Secara Etimologi

Kata dakwah berasal dari bahasa Arab yaitu da’a,yad’u, da’watan. Yang artinya mengajak, menyeru, memanggil. Menurut Toha Yahya Umar, kata dakwah berarti seruan, ajakan, panggilan dan undangan.7 Kata dakwah sering kita jumpai atau dipergunakan dalam ayat-ayat al-Qur’an seperti:

5

Abdul Syani, Manajemen Organisasi, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 19-20

6

Ibid, h. 22


(30)

….        …..

“….Dan panggillah penolong-penolongmu selain daripada Allah….”

(Q.S. Al-Baqarah: 23)

Lalu pada ayat lainnya yang sudah cukup sering didengar:

                

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.”

(Q.S. Ali Imran: 104) b. Secara Terminologi

Terdapat berbagai pendapat para ahli tentang pengertian dakwah secara terminologi, hal ini tergantung pada sudut pandang mereka dan pemahaman mereka di dalam memberi pengertian dakwah itu, sehingga definisi menurut pakar yang satu sama lainya sering terdapat perbedaan dan juga terdapat persamaan. Untuk lebih jelasnya di bawah ini akan disajikan beberapa definisi dakwah menurut para ahli di antaranya :


(31)

1. Prof. Toha Yahya Umar

Dakwah ialah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.8

2. Dr. M. Quraish Shihab

Dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsyafan atau usaha mengubah situasi yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat. Perwujudan dakwah bukan sekadar usaha peningkatan pemahaman dalam tingkah laku dan pandangan hidup saja, tetapi juga menuju sasaran yang lebih luas. Apalagi sekarang ini, ia harus berperan menuju kepada pelaksanaan ajaran Islam secara lebih menyeluruh dalam berbagai aspek.9

3. Prof. H. M. Arifin

Dakwah adalah suatu ajakan yang baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku dan sebagainya, yang dilakukan secara sadar dan berencana dalam usaha mempengaruhi orang lain, baik secara kelompok supaya timbul dalam dirinya, pengertian, kesadaran, sikap, penghayatan serta pengamalan terhadap ajaran agama sebagai massage yang disampaikan kepada tanpa adanya unsur-unsur paksaan.10

8

Prof. Toha Yahya Umar, Ilmu Dakwah (Jakarta: Wijaya, 1979), h. 1

9

Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung : Mizan, 2001), h. 194.

10

H. M. Arifin, Psikologi Dakwah Suatu Pengantar Studi (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 17


(32)

4. Zainuddin M.Z

Dakwah adalah usaha memberikan jawaban Islam terhadap problem kehidupan yang dialami oleh ummat manusia, dimana dari usaha tersebut akan melahirkan kepada ajaran Islam yang diserukan oleh juru dakwah.11 Bedasarkan pengertian di atas dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan dakwah ialah suatu yang baik dan benar, dilakukan melalui lisan, tulisan maupun perbuatan guna untuk menyampaikan ajaran Islam kepada ummat manusia.

2. Unsur-Unsur Dakwah a. Da’i (Subjek Dakwah)

Da’i adalah orang yang mengajak orang lain secara langsung atau tidak langsung dengan kata-kata atau perbuatan atau tingkah laku ke arah kondisi yang baik atau lebih baik menurut al-Qur’an dan sunnah. Dapat disebut juga sebagai orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar.12

Pengertian Da’i atau juru dakwah secara garis besar mengandung dua makna yang umum dan yang khusus. Secara umum setiap pribadi muslim diwajibkan berdakwah, sebagaimana hadits Rasulullah SAW “sampaikan olehmu

walau hanya satu ayat,” demi terbentuknya amar ma’ruf nahi munkar dan

ukhuwwah Islamiyah. Secara khusus da’i adalah para juru dakwah yang

11

Zainuddin M.Z., Rahasia Keberhasilan Dakwah, (Surabaya : Ampel Suci, 1994), h. 110

12


(33)

menempuh pendidikan umtuk memperdalam ilmu agama atau bidang dakwah Islam, dengan qudwah hasanah.13

Dengan pendidikan yang khusus tentang penguasaan ilmu agama yang luas, dan seorang da’i juga harus mempunyai ilmu pengetahuan yang universal mengenai ilmu-ilmu lain. Dalam abad teknologi modern ini berkembangnya isu-isu hangat di masyarakat, maka dengan menguasai teknologi dapat digunakan cara untuk menopang materi dakwah yang disesuaikan supaya tidak kering dan kaku. Selain itu da’i harus benar-benar mendalami ilmu mengenai usul (pokok) dan

furuk (cabang) Islam, sehingga apabila ia berdakwah benar-benar memahami hakekat risalah yang sempurna bahwa Islam adalah hubungan dengan Tuhan yang membimbing mukmin dalam seluruh aspek kehidupannya.

Di dalam diri pendakwah terletak inti dari gerakan dakwah Islam yang jiwanya terisi dengan kebenaran, kesadaran, kemauan, keberanian, tegas dan semangat untuk siap menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dan orang lain dapat mengambil manfaat darinya. Seorang da’i juga harus bertauhid dengan sempurna artinya mengenal Tuhannya sebagai Sang Pencipta dengan kekuasaan yang mutlak. Seorang da’i harus berakhlakul karimah, karena merupakan cerminan bagi orang yang didakwahi.

Di dalam berdakwah terhadap sesama muslim, da’i sebagai juru dakwah wajib untuk menanamkan perasaan pada diri sang pendakwah bahwa mad’u adalah bagian dari dirinya dan da’i juga adalah bagian dari masyarakat mad’u. Tidak boleh menempatkan diri sebagai salah satu bentuk masyarakat Islam khusus

13

Siti Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer, (Yoyakarta: Mitra Pustaka, 2000), h. 27


(34)

yang berbeda dengan masyarakat Islam khusus yang berbeda dengan masyarakat muslim yang lain, hal ini akan memberikan jarak antara da’i dan mad’unya, yang akan mengakibatkan kemacetan dan menemukan jalan buntu, karena mereka akan meninggalkan sang da’i yang dianggapnya angkuh, padahal mereka merupakan ladang dakwah bagi para da’i.14 Karena itu seorang juru dakwah harus sehat fisiknya, berwawasan luas, adil, jujur dan berani dalam menyampaikan kebenaran.

b. Mad’u (Objek Dakwah)

Mad’u dapat disebut sebagai objek dakwah atau sasaran dakwah, yaitu orang-orang yang diseru, dipanggil, diundang. Maksudnya ialah orang yang diajak ke dalam Islam atau sesuai dengan ajaran Islam sebagai penerima dakwah.15 Objek dakwah merupakan masyarakat yang menerima dakwah, secara individu maupun kelompok, sebagai objek dakwah yang memiliki strata dan tingkatan-tingkatan yang berbeda.

Menurut Asmuni Syukir yang dimaksud dengan objek dakwah adalah masyarakat luas, yang merupakan salah satu unsur terpenting di dalam sistem dakwah yang tidak kalah penting perannya dibandingkan dengan unsur-unsur dakwah yang lain.16

Dalam aktivitas dakwahnya, seorang da’i harus memahami karakter dan latar belakang mad’u.17 Dengan beragamnya latar belakang dari pendidikan, budaya, ekonomi dan pemahaman terhadap konsep Islam serta wawasan

14

Musthafa Masyhur, Teladan di Media Dakwah, (Solo: Era Intermedia, 2001), h. 49

15

Hasanuddin, Hukum Dakwah Tinjauan Aspek Hukum dalam Berdakwah di Indonesia, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 34

16

Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 66

17


(35)

pengetahuan umum yang dimiliki mad’u, di samping menguasai materi dakwah seorang da’i juga membutuhkan pemahaman tentang karakteristik mad’u yang beragam tersebut.

Dakwah Islam memiliki tujuan agar supaya timbul dalam diri umat manusia suatu pengertian tentang nilai-nilai ajaran Islam, kesadaran sikap, penghayatan, serta pengamalan terhadap ajaran agama dengan ikhlas. Abdul Rosyad Shaleh berpendapat bahwa tujuan utama dakwah adalah nilai atau hasil yang ingin dicapai oleh keseluruhan tindakan yakni terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang diridhoi oleh Allah SWT.18

c. Materi Dakwah

Pada dasarnya materi dakwah Islam tergantung pada tujuan dakwah yang hendak dicapai. Namun secara global dapatlah dikatakan bahwa materi dakwah dapat diklasifikasikan menjadi tiga hal pokok, yaitu masalah keimanan (aqidah), masalah keislaman (syariah), masalah budi pekerti (akhlakul karimah).19

1. Aqidah

Aqidah dalam Islam mencakup masalah-masalah yang erat hubungannya dengan rukun iman. Masalah aqidah ini secara garis besar ditunjukkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:

) (

18

Abdul Rosyad Shaleh, Manajemen Dakwah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 190

19

Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 60


(36)

Artinya:

“Iman ialah engkau percaya kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Kitab-kitab-Nya, Hari akhir dan percaya adanya ketentuan Allah yang baik maupun yang buruk.” (HR. Imam Muslim).

Di bidang aqidah ini bukan saja pembahasannya tertuju pada masalah yang wajib diimani, akan tetapi materi dakwah meliputi juga masalah-masalah yang dilarang, misalnya syirik, ingkar dengan Tuhan dan sebagainya.20

2. Syariah

Syariah dalam Islam erat hubungannya dengan amal lahir (nyata) dalam rangka mentaati semua peraturan/hukum Allah guna mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya dan mengatur pergaulan hidup antara sesama manusia. Hal ini dijelaskan dalam sabda Nabi SAW:

) (

Artinya:

“Islam adalah bahwasannya engkau menyembah kepada Allah SWT dan janganlah engkau mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, mengerjakan sembahyang, membayar zakat-zakat yang wajib, berpuasa pada bulan Ramadhan

dan menunaikan ibadah Haji di Mekah (Baitullah).” (HR. Imam Bukhari Muslim).

20


(37)

Hadits tersebut mencerminkan bahwa masalah syariah bukan saja terbatas pada ibadah kepada Allah, tetapi juga berkenaan dengan pergaulan hidup antara sesama manusia. Seperti hukum jual beli, berumah tangga, bertetangga, warisan, kepemimpinan dan amal-amal saleh lainnya. Demikian juga larangan-larangan Allah seperti minum khamar, berzina, mencuri dan sebagainya termasuk pula masalah-masalah yang menjadi materi dakwah Islam.21

3. Akhlakul Karimah

Materi dakwah yang terakhir yaitu masalah akhlak, yang merupakan pelengkap keimanan dan keislaman seseorang. Meskipun berfungsi sebagai pelengkap, bukan berarti masalah akhlak kurang penting, akan tetapi akhlak adalah sebagai penyempurna keimanan dan keislaman. Rasulullah SAW sendiri pernah bersabda:22

) (

Artinya:

“Aku (Muhammad) diutus oleh Allah di dunia ini hanyalah untuk

menyempurnakan akhlak.”

Materi dakwah yang akan disampaikan ialah ud’u ila sabili rabbika. Yaitu ajaklah kepada jalan Tuhanmu. Jalan Tuhan adalah agama Islam secara keseluruhan yang sumber intinya adalah al-Quran dan Sunnah, sedangkan

21

Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 60

22


(38)

pengembangannya kemudian akan mencakup seluruh kultur Islam yang murni yang bersumber dari kedua pokok ajaran Islam.

d. Metode Dakwah

Kata metode sering dipakai dalam bahasa Indonesia yang dalam Kamus

Bahasa Indonesia disebutkan, “metode ialah cara yang teratur dan terpikir baik

-baik untuk mendapatkan maksud cara kerja yang bersistem untuk memudahkan

pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.”23

Akan tetapi yang dimaksud dengan metode di sini adalah metode dakwah, yakni sebuah cara menyampaikan ide kepada orang lain dengan tujuan perubahan sikap atau tingkah laku sehingga yang diajak mau mengikuti dan melaksanakan apa yang disampaikan oleh seorang da’i.

Berdasarkan bentuk-bentuk penyampaiannya metode dakwah dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu:

1. Bil Lisan

Dakwah bil lisan adalah suatu bentuk dakwah yang dilaksanakan melalui lisannya. Metode ini sangat umum digunakan oleh para da’i di dalam ceramah, pidato, nasihat, dan lain-lain. Menurut Ki Moesa A. Machfoed, disebutkan dakwah ini bentuknya dapat berupa ceramah keagamaan, pengajian dengan berbagai bentuknya. Dalam ceramahnya tersebut, dapat juga diselingi dengan humor, baik melalui kata-kata atau gerakan badan dan mimik wajah.24

Dakwah bil lisan merupakan sebuah ajakan dakwah dengan menggunakan lisan atau perkataan, antara lain melalui:

23 Depdikbud R.I, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1989), h. 915 24

Ki Moesa A. Machfoed, Filsafat Dakwah dan penerapannya, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2004), h. 190


(39)

a. Mudzakarah

Mengingatkan orang lain jika berbuat salah, abik dalam ibadah maupun perbuatan.

b. Qaulun Ma’rufan

Dengan berbicara dalam pergaulannya sehari-hari yang disertai dengan misi agama Allah dan agama Islam.

c. Nasehatuddin

Memberi nasehat kepada orang lain yang tengah dilanda masalah kehidupan agar mampu melaksanakan agamanya yang baik.

d. Majlis Ta’lim

Penjelasan terhadap bab-bab ajaran agama dengan menggunakan kitab dan diakhiri dengan dialog.

e. Pengajian Umum

Menyajikan materi dakwah di depan umm. Isi dari materi dakwah tidak terlalu banyak, tetapi dapat menarik perhatian mad’u (pendengar).

f. Mujadalah

Berdebat dengan menggunakan argumentasi serta alas an dan diakhiri dengan kesepakatan bersama dengan menarik suatu kesimpulan.25

2. Bil Hal

Dakwah bil hal adalah dakwah yang dilakukan dengan perbuatan nyata yang meliputi keteladanan. Kata hal dalam bahasa berarti berubah, hal, ikhwal, bisa juga berarti perpindahan, gerakan (bergerak), berarti menunjukkan keadaan

25

Maman Abdul Djaliel, Prinsip dan Strategi Dakwah Islam, (Jakarta: Pustaka Setia, 1997), h. 58


(40)

(hal keadaan). Aqib Suminto memberikan pengertian dakwah bil hal adalah amaliah yang berupa mengembangkan masyarakat dalam rangka mewujudkan tatanan sosial, ekonomi, budaya yang sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.26 Sedangkan menurut Hasan Assegaf dakwah bil hal merupakan seluruh kegiatan dakwah dalam bentuk perbuatan nyata untuk meningkatkan kesejahteraan umat dalam rangka memecahkan persoalan yang ada dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu.27

Masih menurut Hussein Assegaf, dalam kegiatan dakwah bil hal tidak terlepas dari lima prinsip yang utama, yaitu:

a. Dakwah bil hal harus mampu menghubungkan ajaran Islam dengan kondisi sosial budaya atau masyarakat tertentu.

b. Dakwah bil hal harus bersifat pemecahan masalah yang dihadapi umat dalam suatu wilayah tertentu.

c. Dakwah bil hal harus mampu mendorong dan menggerakkan kemampuan masyarakat dalam memecahkan masalah pada masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lain sebagainya.

d. Dakwah bil hal harus mampu membangkitkan swadaya masyarakat, agar mereka dapat membangun dirinya, sekaligus dapat memberikan manfaat masyarakat sekitarnya.

26

Aqib Suminto, Pendekatan Dakwah Bagi Masyarakat Modern Indonesia, (Jakarta: Pelita, 1989), h. 10

27

Hussein Assegaf, Pembangunan dan Dakwah bil Hal, (Jakarta: Mimbar Ulama, 1991), h. 56


(41)

e. Dakwah bil hal mampu mendorong semangat kerja keras dan kebersamaan dalam rangka meningkatkan hubungan kerja sama yang harmonis dan produktif terutama untuk saling memenuhi kebutuhannya.28

Metode dakwah ini dapat dilakukan oleh setiap individu tanpa harus memiliki keahlian khusus dalam bidang dakwah. Dakwah bil hal dapat dilakukan misalnya dengan tindakan nyata dari karya nyata tersebut dapat dirasakan secara konkret oleh masyarakat, seperti pembangunan rumah sakit, atau fasilitas-fasilitas yang digunakan oleh kemaslahatan umat.

3. Bil Qalam

Dakwah bil qalam adalah dakwah yang dilakukan melalui tulisan. Dakwah ini memerlukan keahlian khusus dalam hal menulis dan merangkai kata-kata sehingga penerima dakwah akan tertarik untuk membacanya tanpa mengurangi maksud yang terkandung di dalamnya, dakwah tersebut dapat dilakukan di media massa seperti surat kabar, majalah, buku, buletin, maupun lewat internet.29

Menurut Jalaluddin Rakhmat dalam buku Islam Aktual, memberikan definisi dakwah bil qalam adalah berdakwah melalui media cetak, mengingat kemajuan teknologi sehingga memungkinkan seorang berkomunikasi secara intens serta pesan dakwah dapat menyebar seluas-luasnya.30

Dakwah yang dilakukan dengan perantaraan tulisan, seperti menulis buku, tulisan di majalah, surat kabar, bulletin dan lain-lain. Da’i di sini memerlukan keterampilan jurnalistik (menulis dalam media massa), atau keterampilan menulis

28

Ibid, h. 57

29

Hasanuddin, Hukum Dakwah Tinjauan Aspek dalam Berdakwah di Indonesia, (Jakarta: PT. Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 39

30

Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual: Refleksi Sosial Cendikiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1998), h. 172


(42)

buku. Metode ini merupakan suatu metode yang efektif, efisien, dan mengena. Metode yang tetap meninggalkan gading ketika penulis telah tiada, dan dapat dinikmati semua orang di berbagai penjuru dunia.

Dakwah bil qalam ini tak hanya melahirkan tulisan, tetapi juga gambar atau lukisan yang mengandung misi dakwah. Untuk itu, metode bil qalam terbagi tiga teknik, yaitu:

a. Teknik Penulisan

Setidaknya ada tiga model gaya penulisan keagamaan, yaitu penulisan model pemecahan masalah, penulisan model hiburan, dan penulisan model kesusastraan. Dalam model pemecahan masalah seperti dalam artikel, buku, majalah, jurnal, dan sebagainya. Begitu pula model penulisan hiburan bisa diwujudkan novel, cerita pendek, anekdot, dan sebagainya. Sedangkan model penulisan sastra terdapat pada puisi, sajak, syair, pantun, dan sebagainya.31

b. Teknik Penulisan Surat (Korespondensi)

Dengan surat, pesan dapat terdokumentasi yang bisa dibaca sewaktu-waktu. Surat menjadi pilihan bagi orang yang enggan atau sulit bertatap muka. Surat bersifat pribadi, sehingga orang lain tidak bisa membacanya, kecuali bila diperkenankan.32 Bentuk dakwah ini juga dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW melalui penyampaian surat ke berbagai pihak. Dalam sejarah dakwah, Nabi telah menyampaikan surat sebanyak 105 surat untuk berdakwah yang dibagi ke dalam tiga

31

Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 375

32


(43)

kategori, yaitu surat yang berisi seruan untuk masuk Islam kepada non muslim, berisi ajaran Islam (seperti tentang zakat dan sadaqah), dan surat yang berisi hal yang wajib dilakukan non muslim terhadap pemerintah Islam.33

c. Teknik Penulisan Gambar

Ada gambar yang hidup dan ada pula gambar yang mati. Gambar hidup adalah gambar yang bergerak. Gerakan gambar ini disesuaikan dengan pesan dakwahnya. Dengan gerakan ini, pembuat gambar dominan dalam mempengaruhi persepsi orang yang melihatnya. Sedangkan gambar mati lebih dominan dikontruksi dan dipersepsi sendiri oleh orang yang melihatnya. Dalam Islam, teknik gambar yang dikenal luas adalah kaligrafi. Kaligrafi adalah seni menulis dengan indah dengan pena sebagai hiasan.34

Mengenai metode dakwah bil qalam ini Rasulullah SAW pernah bersabda:

“sesungguhnya tinta para ulama adalah lebih baik dari darahnya para syuhada.35

e. Media Dakwah

Media dakwah yaitu segala sesuatu yang dapat membantu juru dakwah dalam menyampaikan dakwahnya secara efektif dan efisien. Kata media berasal dari bahasa Latin median, yang merupakan jamak dari medium, yang berarti alat

33

Ki Moesa A. Machfoed, Filsafat Dakwah dan penerapannya, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2004), h. 109

34

Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 377

35

Hussein Assegaf, Pembangunan dan Dakwah bil Hal, (Jakarta: Mimbar Ulama, 1991), h. 58


(44)

perantara.36 Sedangkan pengertian istilah, adalah peralatan yang dipergunakan untuk menyampaikan materi dakwah kepada penerima dakwah. Pada zaman modern seperti sekarang ini, seperti televisi, video, kaset rekaman, majalah, dan surat kabar.37

Pada dasarnya dakwah dapat menggunakan berbagai media yang dapat merangsang indera-indera manusia serta dapat menimbulkan perhatian untuk menerima dakwah. Semakin tepat dan efektif media dakwah yang dipakai maka semakin efektif pula upaya pemahaman ajaran Islam pada masyarakat yang menjadi sasaran dakwah.

Hamzah Ya’qub membagi media dakwah menjadi lima macam, yaitu: 1. Lisan, inilah media dakwah paling sederhana yang menggunakan lidah dan

suara, dakwah dengan media ini dapat berbentuk khotbah, pidato, ceramah, kuliah, diskusi, dan sebagainya.

2. Tulisan, dilakukan dengan perantara tulisan umpamanya: buku, majalah, surat kabar, spanduk, surat menyurat, dan sebagainya.

3. Lukisan, yakni gambar-gambar hasil seni lukis, kaligrafi, karikatur, dan sebagainya.

4. Audio Visual, yaitu alat dakwah yang sekaligus merangsang indera penglihatan atau pendengaran seperti televisi, film, slide, OHP, internet, dan sebagainya.

36

Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 163

37


(45)

5. Akhlak, yaitu perbuatan-perbuatan nyata yang mencerminkan ajaran Islam.38

C. Seni Kaligrafi Islam

Seni adalah ide, gagasan, persasaan, suara hati, gejolak jiwa, yang diwujudkan atau di ekspresikan, melalui unsur unsur tertentu, yang bersifat indah untuk memenuhi kebutuhan manusia, walaupun banyak juga karya seni yang digunakan untuk binatang. Seni indah menurut ukuran yang menikmati. Pendapat seni menurut para ahli:

1. Menurut Alexander Baum Garton Seni adalah keindahan dan seni adalah tujuan yang positif menjadikan penikmat (yang melihatnya) merasa dalam kebahagiaan.

2. Menurut Aristoteles Seni adalah bentuk pengungkapannya dan penampilannya tidak pernah menyimpang dari kenyataan dan seni itu adalah meniru alam.

3. Ki Hajar Dewantara Seni merupakan hasil keindahan sehingga dapat menggerakkan persasaan indah orang yang melihatnya, oleh karena itu perbuatan manusia yang dapat mempengaruhi dapat menimbulkan perasaan indah itu seni.39

Sedangkan seni dalam Islam, menurut Seyyed Hossein Nasr, merupakan hasil dari pengejawantahan Keesaan pada bidang keanekaragaman. Artinya seni Islam sangat terkait dengan karakteristik-karakteristik tertentu dari tempat

38 Hamzah Ya’cub,

Publisistik Islam Teknik Dakwah Dan Leadership (Bandung : CV Diponegoro, 1981), h. 47-48

39 “Pengertian Seni”,

diakses pada tanggal 11 Juli 2011 dari


(46)

penerimaan wahyu Al-Qur’an yang dalam hal ini adalah masyarakat Arab. Jika demikian, bisa jadi seni Islam adalah seni yang terungkap melalui ekspresi budaya lokal yang senada dengan tujuan Islam. Sementara itu, bila kita merujuk pada akar makna Islam yang berarti menyelamatkan ataupun menyerahkan diri, maka bisa jadi yang namanya seni Islam adalah ungkapan ekspresi jiwa setiap manusia yang termanifestasikan dalam segala macam bentuknya, baik seni ruang maupun seni suara yang dapat membimbing manusia ke jalan atau pada nilai-nilai ajaran Islam.40

Sedangkan seni kaligrafi berasal dari bahasa Inggris yang disederhanakan, yaitu Calligraphy, diambil dari kata Latin yaitu Kallos yang berarti indah dan

Graph yang berarti tulisan atau aksara.41 Secara Terminologi menurut Syeikh Syamsuddin al-Akfani, sebagaimana dikutip oleh D. Sirajuddin AR, khat atau kaligrafi adalah suatu ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, letak-letaknya, dan cara-cara merangkainya menjadi sebuah tulisan yang tersusun. Atau apa-apa yang ditulis di atas garis-garis, bagaimana cara menulisnya dan menentukan di mana yang tidak perlu ditulis; mengubah ejaan yang perlu digubah dan menentukan cara bagaimana untuk mengubahnya.42

Ahli lainnya, Ya’qut al-Musta’simi, kaligrafer kenamaan di masa

kesultanan Turki Usmani (Ottoman) yang juga dikutip oleh D. Sirajuddin AR,

40 “Hakikat Seni Dalam Islam”, diakses pada tanggal 11 Juli 2011 dari

http://www.unjabisnis.net/2010/07/hakikat-seni-dalam-islam.html

41

D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, (Jakarta: Multi Kreasi Singgasana, 1992) h. 1

42


(47)

melihat seni kaligrafi dari sudut keindahan rasa yang dikandungnya. Karena itu, ia membuat batasan sebagai berikut:43

Artinya :

“Kaligrafi adalah seni arsitektur rohani, yang lahir melalui perabot kebendaan.”

Selain itu ada pula yang menyatakan bahwa kaligrafi merupakan apa-apa yang ditulis ahli dengan sentuhan kesenian. Kaligrafi melahirkan suatu ilmu tersendiri tentang tata cara menulis, meneliti tentang tanda-tanda bahasa yang bisa dikomunikasikan, yang dibuat secara profesional dan harmonis yang dapat dilihat secara kasat mata dan diakui sebagaimana susunan yang dihasilkan lewat kerja kesenian.44

Banyak lagi ungkapan yang merujuk kepada pengertian kaligrafi. Ubaidillah Ibn al-Abbas menyebutnya sebagai lisan al yadd atau lidahnya tangan; karena dengan tulisan itulah tangan berbicara. Dalam pelbagai seloka, seni kaligrafi dan khat dilukiskan sebagai kecantikan rasa, duta akal, penasihat pikiran, senjata pengetahuan, penjinak saudara dalam pertikaian, pembicaraan jarak jauh, penyimpan rahasia, khazanah rupa-rupa masalah kehidupan. Ringkasnya, “khat

itu ibarat ruh di dalam tubuh,” seperti dikatakan sebagian Ulama.45

Meskipun bermacam-macam pengertian yang dikemukakan oleh para ahli, namun pada dasarnya tujuan ungkapan tersebut mengarah kepada arti tulisan yang

43

Ibid, h. 3

44

Ilham Khoiri: al-Qur’an dan Kaligrafi Arab, (Jakarta: PT. Logos, 1999), h. 50

45


(48)

indah. Dapat juga dikatakan suatu tulisan yang dirangkai dengan nilai estetika yang bersumber pada pikiran atau ide dan diwujudkan melalui benda materi (alat tulis) yang diikat oleh aturan dan tata cara tertentu. Jadi seni kaligrafi itu sebuah kepandaian menulis tulisan indah dengan mengikuti metode-metode tertentu untuk mempelajarinya.

Kaligrafi Arab telah menjadi perintis jalan mengenal pengetahuan, sebagaimana tulisan pada semua bahasa. Dan agama Islam mengajak untuk mempelajari bacaan dan tulisan, sebagaimana dikumandangkan dengan indahnya ayat-ayat kitab Suci yang mulia, dengan menyebutkan kalam berulang-ulang.46

Yang lebih mengagumkan adalah, bahwa ternyata membaca dan menulis adalah merupakan perintah pertama dan wahyu permulaan Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW di awal misinya. Wahyu itu menyebutkan:                       Artinya :

1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah,

3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, 4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,

46


(49)

5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Dapat dipastikan, bahwa kalam atau pena memiliki kaitan erat dengan seni penulisan kaligrafi. Jika kalam disebut-sebut sebagai alat penunjang pengetahuan-seperti wahyu di atas, maka ia tidak lain daripada sarana Sang Khaliq dalam rangka memberikan petunjuk kepada manusia. Ini membuat gambaran yang tegas, bahwa kaligrafi mendominasi tempat tertua dalam percaturan sejarah Islam itu sendiri.47

Imanlah yang telah mendorong kaum Muslimin memperelok kaligrafi untuk menulis al-Qur’an. Dipadukannya keelokan goresan kata-kata dengan keindahan makna yang dikandung. Sampai di sini tulisan Arab mencurahkan perhatian dan partisipasinya dengan dilindungi segala niat yang suci. Sehingga, apabila disebut al-Qur’an, teringat pula kaligrafi yang digunakan untuk menulis kitab suci tersebut.48

47

D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, (Jakarta: Multi Kreasi Singgasana, 1992) h. 4

48


(50)

41

A. Sejarah Berdirinya LEMKA 1. Lahirnya Sebuah Gagasan

Ide pertama untuk mendirikan LEMKA berasal dari Drs. Didin Sirojuddin AR, seorang dosen Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negri (UIN) Jakarta. Dimulai dari keinginan yang sebetulnya mirip khayalan itu, untuk mendirikan semacam organisasi atau lembaga untuk mengembangkan seni kaligrafi atau khat yang menjadi hobinya. “Khayalan” itu muncul pada tahun 1975, ketika Sirojuddin akan menamatkan masa belajar enam tahun sebagai santri Pondok Modern Gontor.1

Tahun 1976 Sirojuddin resmi menjadi mahasiswa Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Keinginan itu bertambah kuat, setelah ternyata di Jakarta lebih leluasa menyalurkan bakat menulis khatnya di pelbagai penerbitan dan badan-badan lain. Tetapi, sampai menamatkan kuliah pada 1982, khayalan masih tetap sebagai khayalan. Meskipun telah diusahakan mencari teman-teman sesama khatat (para penulis khat) untuk sepakat membuat wadah “tempat

bernaung”, gagasan itu sama sekali tidak menarik perhatian mereka. Mencari

kawan-kawan yang kurang commit terhadap kaligrafi, lebih mustahil lagi. Namun, rasa penasaran masih terus bergolak. Sementara itu, melukis dan melukis “hanya

1


(51)

untuk diri sendiri” terasa membosankan, meskipun diakuinya telah menghasilkan banyak uang.2

Setahun kemudian, tahun 1983, ada panggilan mengajar pada mata kuliah (yang secara kebetulan adalah) kaligrafi. Dengan demikian, dosen kaligrafi di Fakultas Adab menjadi dua orang, yang sebelumnya hanya Prof. H.M. Salim Fachry. Masa mengajar pada tahun-tahun pertama kerap dipenuhi kebingungan, karena tidak adanya petunjuk pelaksanaan dan BCO (Basic Course Outline) yang jelas. Sedangkan pengetahuan tentang sejarah kaligrafi, demikian diakui sendiri oleh Sirojuddin, sama sekali tidak dimilikinya karena pada waktu itu buku-buku mengenai kaligrafi sulit didapat dan masalah semacam itu belum dipopulerkan.

Di tahun 1983 itu, Sirojuddin bersama Prof. H.M. Salim Fachry dan Ustadz K.H.M. Abd. Razzaq Muhili al-Khattat dari Tangerang sama-sama diangkat menjadi Dewan Hakim Sayembara Kaligrafi MTQ Nasional ke-13 di Padang. Kedua orang tersebut merupakan guru kaligrafi Sirojuddin. K.H.M. Abdur Razzaq dikenal sebagai penulis khat professional paling terkemuka di Indonesia yang goresan tangannya terentang di antara ratusan buku agama di Tanah Air. Sedangkan Prof. H.M. Salim Fachry adalah penulis Al-Qur’an Pusaka atas pesanan almarhum Presiden Soekarno. Saat terbang di pesawat menuju Padang, keinginan Sirojuddin itu dikemukakan kepada kedua gurunya itu yang

serta merta disambut ucapan “Alhamdulillah”. Bahkan, Prof. H.M. Salim Fachry

kemudian mengatakan, bahwa sesungguhnya ia pun sudah lama menginginkan adanya asosiasi para khattat, tapi bagaimana mewujudkannya? Ia pun mendesak

2

LEMKA Online, “Sekilas Kelahiran Lemka,” diakses pada tanggal 15 Maret 2010 dari http://lemkaonline.blogspot.com/2009/02/sekilas-kelahiran-lemka.html


(52)

Sirojuddin untuk segera melaksanakan rencana itu. Sayang, rencana itu lagi-lagi terlantar sampai dua tahun kemudian.3

Bukan karena “salah bunda mengandung” jika rencana itu berulang-ulang

tertunda. Pasalnya, terkait dengan siapa-siapa saja orang-orang yang akan dihimpun dan bagaimana teknisnya? Apa program yang akan dilaksanakan? Siapa tutor-tutor kaligrafinya? Ke mana sayap organisasi harus dikembangkan? Setelah gagasan itu mulai marak dan berbunga, kesulitan untuk memetik dan menerapkannyalah yang muncul. Jika organisasi itu lahir, bagaimana mekanisme kerjanya, sedangkan pada waktu itu Prof. H.M. Salim Fachry yang berusia lebih 80 tahun sudah mulai uzur, K.H.M. Abd. Razzaq sendiri sudah mendekati 70 tahunan. Di Jakarta, mencari khattat-khattat muda yang berpengalaman dalam organisasi juga sulit.4

Sambil menunggu adanya jalan keluar, Sirojuddin iseng-iseng menyusun diktat kuliah kaligrafi. Modalnya: dari tidak tahu sama sekali “hakekat” kaligrafi. Ia mondar-mandir dan meminjam beberapa buku refrence kepada K.H.M. Abd. Razzaq di Tangerang. Di luar dugaan, diktat yang direncanakan maksimal 50 halaman, berkembang tak terkendali sampai 430 halaman. Di situ ia menghentikan karangannya. Dari luasnya isi diktat itu, ada kesimpulan sangat penting yang jadi renungan: bahwa kaligrafi itu sangat filosofis dan strategis untuk dikembangkan. Kejutan selanjutnya, ketika diktat itu iseng-iseng dilemparkan ke penerbit (Pustaka Panjimas, Jakarta), kemudian dicetak 5.000 eksemplar, ternyata habis dalam 7 bulan saja. Akhirnya Sirojuddin semakin yakin,

3

LEMKA Online, “Sekilas Kelahiran Lemka,” diakses pada tanggal 15 Maret 2010 dari http://lemkaonline.blogspot.com/2009/02/sekilas-kelahiran-lemka.html

4


(53)

bahwa massa yang akan digarap memang benar ada, dan mereka benar-benar menunggu pembinaan, terbukti dari puluhan surat yang diterimanya yang mengeluh tentang sulitnya mengembangkan bakat di daerah.

Tidak ada lagi yang harus ditunggu. Kali ini Sirojuddin terpaksa “nekad”.

Caranya sangat sederhana. Di malam hari dibuat coret-coretan tata tertib dan acuan job alakadarnya, hanya dua lembar. Seorang mahasiswanya yang paling akrab kepadanya karena sering meminjam buku, bernama Ece Abidin, dipanggil menghadap. Ece, kelahiran Sukabumi, pada waktu itu baru duduk di semester II Fakultas Adab Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam. Ece disuruh menghubungi kawan-kawan sekelasnya yang telah ditentukan untuk menjalin aliansi kerjasama. Diskusi antar dua orang ini terjadi di malam menjelang bulan sabit 24 Rajab 1405 Hijriyah atau 15 April 1985. Semula kawan-kawan Ece menyatakan gamang, karena sadar tahu apa mereka tentang kaligrafi. Tapi, Ece yang membawa pesan gurunya itu meyakinkan dengan penuh semangat, bahwa yang penting organisasi itu terbentuk dahulu. Soal nanti, jangan dipusingkan sekarang. Sementara Ece melobi kawan-kawan mahasiswanya yang belum berpengalaman organisasi itu, Sirojuddin merancang rencana-rencana lebih lanjut.5

Para tanggal 17 April 1985 (26 Rajab 1405 H), semua komponen pengurus siap menerima “gagasan besar” tersebut, dan hari itu pula ditentukan sebagai hari dan tanggal kelahiran LEMKA. Kemudian pada tangal 20 April 1985 (29 Rajab 1405 H), Dekan Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Drs. Abd. Muthalib Sulaiman, memberikan pengukuhannya di ruang sidang Fakultas Adab.

5

LEMKA Online, “Sekilas Kelahiran Lemka,” diakses pada tanggal 15 Maret 2010 dari http://lemkaonline.blogspot.com/2009/02/sekilas-kelahiran-lemka.html


(54)

Selain Pengurus Harian yang diketuai oleh Drs. D. Sirojuddin AR, hadir pada pertemuan itu Prof. H.M. Salim Fachry yang kemudian menjabat sebagai pembina utama. Sedangkan K. H. M. Abd. Razzaq Muhili berhalangan. Acara bersejarah tersebut diliput wartawan Panji Masyarakat Moh. Nazi yang memuatnya pada majalah edisi ke 466.

Sangatlah luar biasa, bahkan “setengah aneh” sebuah lembaga yang diperuntukkan bagi pembinaan penyandang bakat “se-Tanah Air” hanya dikendalikan oleh para Pengurus yang terdiri dari seorang dosen muda dan para

mahasiswa tingkat I. pada waktu itu, semuanya berkomentar: “Benar-benar

langkah nekad!”6

Oleh Ketua LEMKA, para mahasiswa pengurus angkatan pertama itu dianggap sebagai orang-orang yang berjasa “memberi kekuatan moral”, sehingga asosiasi yang semula hanya merupakan khayalan pribadi wujud jadi kenyataan dan milik bersama. Selengkapnya, nama-nama para mahasiswa itu adalah:

1. Ece Abidin

2. M. Hamid Ibrahim 3. Badriati

4. Ikhwan Azizi

5. Ahmad Ghazali Zhahir 6. Gustiri Ibnu Ahmad

6

Tim 7 LEMKA, Pak Didin: Menabur Ombak Kaligrafi, (Jakarta: Studio LEMKA, 2006), h. 80


(55)

7. Nani Nur’aini

8. Rd. Siti Sa’adah

9. M. Amin Anwar 10. Liga Bukra 11. Darta

12. M. Nur Muvid

13. Mudrik Qori Indra (semester IV)

Empat hari setelah pengukuhan, yaitu tanggal 24 April 1985 (4 Sya’ban 1405 H), berhasil disusun AD/ART LEMKA dengan Tim Perumus: Drs. D. Sirojuddin AR, Badri Yatim, Asep Usman Ismail, Ece Abidin, Mudrik Qori Indra dan Fuad Jabali. Lima nama tersebut terakhir adalah para mahasiswa Fakultas Adab UIN Jakarta. Setelah itu komposisi Pengurus pun mulai disempurnakan. Sampai saat ini, LEMKA terus berjalan dan berkembang, yang sampai saat ini pembelajaran sudah mencapai gelombang ke-50, dan telah melahirkan ribuan khattat maupun pelukis kaligrafi yang menyebar di seluruh Tanah air Indonesia.

2. Nama dan Tujuan Lembaga

Nama yang mula-mula direncanakan adalah Poros Kaligrafi Ciputat. Tetapi, ketika disingkat menjadi PKC, timbul kesan yang sangat buruk. Apalagi di Indonesia, singkatan PKC adalah Partai Komunis Cina. Selain itu, kata-kata Ciputat memberikan gambaran yang eksklusif. Mulanya, Ciputat, memang, diharapkan menjadi pusat pengembangan gagasan di atas.

Di suatu sore tanggal 18 April 1985, Sirojuddin kedatangan tamu, yaitu Amin Nurdin dan Badri Yatim, keduanya adalah kawan-kawannya semenjak di


(1)

b. Lembaga yang berfungsi dalam mencetak kader-kader kaligrafer muda, seniman-seniman Islami, sekaligus kader-kader da’i dalam dakwah bil qolam dari hampir seluruh wilayah di Indonesia.

c. Lembaga yang mempelopori dan mengembangkan seni dalam budaya Islam, khususnya di bidang seni kaligrafi kepada masyarakat luas di seluruh Tanah air.

2. Peran LEMKA dalam makna tugas

a.Mengajarkan kepada mad’unya tentang seni kaligrafi Islam melalui berbagai kegiatan seperti kursus kaligrafi, pameran seni Islam, dan diskusi-diskusi tentang wawasan seni budaya Islam.

b.Mengajarkan bahwa menulis kaligrafi bukan hanya semata-mata menulis goresan yang indah, tetapi orang yang menulis kaligrafi tersebut harus bisa menanamkan pesan-pesan dakwah di dalam karyanya.

c.Memberikan pelatihan kewirausahaan dan ikut menyalurkan karya-karyanya ke pasaran atau pameran-pameran untuk menyebarkan pesan-pesan dakwah dalam kaligrafi.

3. Peran LEMKA dalam makna status

a. Lembaga yang berdiri secara independen tanpa bantuan dan sumbangan dari lembaga atau institusi lain.

b. Lembaga yang terbuka untuk berbagai kalangan yang ingin mempelajari seni kaligrafi Islam.

c. Lembaga yang cukup kritis terhadap perkembangan kaligrafi di Indonesia.


(2)

74

B. Saran

Saran yang bisa penulis berikan pada Lembaga Kaligrafi Al-Quran (LEMKA) dalam dakwah melalui seni kaligrafi Islam antara lain:

1. Menambah materi yang diajarkan dalam pemahaman bahasa Arab pada kegiatan kursus kaligrafi, karena bahasa Arab merupakan bahasa Al-Qur’an.

2. Menambah materi yang diajarkan tentang pemahaman ayat dan wawasan seni Islam pada kegiatan kursus kaligrafi.

3. Lebih mengekspose diri, agar lebih dikenal oleh masyarakat luas terutama bagi masyarakat yang belum mengenal kaligrafi secara mendalam.

4. Lebih kritis terhadap perkembangan kaligrafi di Indonesia, agar pemanfaatan seni kaligrafi tidak salah arah.


(3)

75 PLPM. 1985.

Amin, Samsul Munir. Ilmu Dakwah. Jakarta: Amzah, 2009.

AR, D. Sirajuddin. Kaligrafi: Peristiwa dan ide-ide pengembangannya. Jakarta: Lemka studio. 1995.

AR, D. Sirojuddin. Seni Kaligrafi Islam. Jakarta: Multi Kreasi Singgasana. 1992. Arifin. Psikologi Dakwah Suatu Pengantar Studi. Jakarta : Bulan Bintang. 1977. Assegaf, Hussein. Pembangunan dan Dakwah bil Hal. Jakarta: Mimbar Ulama.

1991.

Aziz, Moh. Ali. Ilmu Dakwah. Jakarta: Kencana. 2009.

Al-Baba, Kamil. Dinamika Kaligrafi Islam. Jakarta: Darul Ulum Press. 1992. Bachtiar, Wardi. Metodologi Penelitian Dakwah. Jakarta: Logos. 1997.

Berry, David. Pokok Pikiran Dalam Sosiologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Djaliel, Maman Abdul. Prinsip dan Strategi Dakwah Islam. Jakarta: Pustaka

Setia. 1997.

Gazalba, Sidi. Islam dan Kesenian. Jakarta: Pustaka al-Husna. 1998.

Ghazali, M. Bahri. Dakwah Komunikatif. Jakarta: CV Pedoman Ilmu. 2005. Hasanuddin. Hukum Dakwah Tinjauan Aspek dalam Berdakwah di Indonesia.

Jakarta: PT. Pedoman Ilmu Jaya. 1996.


(4)

76

Kriyantono, Rachmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2009.

Machfoed, Ki Moesa A. Filsafat Dakwah dan penerapannya. Jakarta: PT. Bulan Bintang. 2004.

Masyhur, Musthafa. Teladan di Media Dakwah. Solo: Era Intermedia. 2001. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda

Karya. 2006.

Muriah, Siti. Metodologi Dakwah Kontemporer. Yogyakarta: Mitra Pustaka. 2000.

M. Z., Zainuddin. Rahasia Keberhasilan Dakwah. Surabaya: Ampel Suci. 1994. Nasuhi, Hamid. dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan

Disertasi). Jakarta: CEQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2007. Oemar, Toha Yahya. Ilmu Dakwah. Jakarta: Widjaja. 1983.

Al-Qardawi, Yusuf. Islam dan Seni. Bandung: Pustaka Hidayah. 2000.

Rakhmat, Jalaluddin. Islam Aktual: Refleksi Sosial Cendikiawan Muslim. Bandung: Mizan. 1998.

R.I, Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1990. Sarwono, Sarlito Wirawan. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada. 2005.

Shaleh, Abdul Rosyad. Manajemen Dakwah. Jakarta: Bulan Bintang. 1993.

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan. 2001.


(5)

Subagyo, Joko. Metode Penelitian Dalam teori dan Praktek. Jakarta: Renika Cipta. 2004.

Suminto, Aqib. Pendekatan Dakwah Bagi Masyarakat Modern Indonesia. Jakarta: Pelita, 1989.

Syani, Abdul. Manajemen Organisasi. Jakarta: Bina Aksara. 1987.

Syukir, Asmuni. Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam. Surabaya: Al-Ikhlas. 1983. Tim 7 LEMKA. Pak Didin: Menabur Ombak Kaligrafi. Jakarta: Studio LEMKA.

2006.

Ya’cub, Hamzah. Publisistik Islam Teknik Dakwah Dan Leadership. Bandung: CV Diponegoro. 1981.

Arsip:

Draft AD/ART LEMKA. Musyawarah Tahunan LEMKA tahun 2008 Media cetak:

- Koran:

Syahruddin el-Fikri, “Nashih Al-Khaththathin, Nasihat untuk penulis kaligrafi,” Republika, 12 Desember 2010

- Internet:

“Hakikat Seni Dalam Islam”, diakses pada tanggal 11 Juli 2011 dari http://www.unjabisnis.net/2010/07/hakikat-seni-dalam-islam.html


(6)

78

LEMKA Online, “Sekilas Kelahiran Lemka,” diakses pada tanggal 15 Maret 2010 dari http://lemkaonline.blogspot.com/2009/02/sekilas-kelahiran-lemka.html

LEMKA Online “Materi Kursus LEMKA,” diakses pada tanggal 17 Mei 2011 dari http://lemkaonline.blogspot.com/2008/04/pesantren-kaligrafi-Al-Qur’an -lemka_5274.html

“Pengertian Seni”, diakses pada tanggal 11 Juli 2011 dari http://grou.ps/marufbicara/blogs/item/313309

Wawancara :

Wawancara Pribadi dengan D. Sirajuddin AR, Ciputat, 10 Maret 2011 dan 22 April 2011

Wawancara Pribadi dengan Ahmad Munir, Ciputat, 1 Mei 2011 Wawancara Pribadi dengan Martnus, Ciputat, 1 Mei 2011 Wawancara Pribadi dengan Prasetyo, Ciputat, 8 Mei 2011 Wawancara Pribadi dengan Saefullah, Ciputat, 8 Mei 2011