Analisis Konflik Sosial Dalam Novel Seteguk Air Zam-Zam Karya Maulana Syamsuri

(1)

ANALISIS KONFLIK SOSIAL

DALAM NOVEL SETEGUK AIR ZAM ZAM

KARYA MAULANA SYAMSURI

SKRIPSI

OLEH NILA EKA SARI

100701004

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini tidak pernah diajukan untuk memperoleh gelar sarjana di perguruan tinggi. Sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah di tulis maupun diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis dijadikan sebagai sumber referensi pada skripsi ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.


(4)

ABSTRAK

ANALISIS KONFLIK SOSIAL DALAM NOVEL SETEGUK AIR ZAM-ZAM

KARYA MAULANA SYAMSURI

Nila Eka Sari

Fakultas Ilmu Budaya USU

Karya sastra diciptakan pengarang tidak hanya untuk dinikmati, tetapi juga untuk memberikan pandangan kepada pembaca mengenai kehidupan sosial pada saat karya itu diciptakan. Dalam karya satra, salah satunya novel, terdapat konflik sosial yang terkandung di dalamnya. Konflik yang terdapat dalam sebuah cerita berperan penting demi berjalannya alur cerita. Konflik yang tergambar dalam sebuah cerita akan membawa pembaca untuk ikut merasakan keadaan atau peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk konflik sosial serta penyebab terjadinya konflik sosial dalam novel Seteguk Air Zam-Zam karya Maulana Syamsuri. Penelitiaan ini termasuk ke dalam jenis penelitian kualitatif dengan metode baca catat dan tinjauan kepustakaan (library research). Dari hasil penelitian ditemukan bentuk-bentuk konflik sosial antarpribadi yang meliputi konflik sosial antartokoh, konflik sosial tokoh dengan lingkungan keluarga, dan konflik sosial tokoh dengan lingkungan masyarakat. Penyebab terjadinya konflik sosial dalam novel Seteguk Air Zam-Zam adalah adanya perbedaan pendapat, perselingkuhan, keuangan, dan keturunan.

Kata Kunci: Konflik Sosial, Bentuk-Bentuk Konflik Sosial, Penyebab Konflik Sosial.


(5)

PRAKATA

Penulis mengucapkan syukur alhamdulillah kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada hambanya, sehingga penelitian skripsi ini dapat diselesaikan. Begitu pula shalawat beriring salam penulis sampaikan kepada Baginda Rasulullah Saw. yang telah membawa petunjuk ke jalan yang diridhai-Nya. Skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, dalam memperoleh gelar sarjana Ilmu Budaya.

Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak baik dalam bentuk ide atau gagasan, moral, maupun materi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Dr. M. Husnan Lubis, M.A. selaku Pembantu Dekan I, Drs. Syamsul Tarigan selaku Pembantu Dekan II, dan Drs. Yuddi Adrian Muliadi, M.A. selaku Pembantu Dekan III.

2. Prof. Dr. Ikhwanudin Nasution, M.Si. selaku Ketua Departemen Sastra Indonesia dan Drs. Haris Sutan Lubis, M.SP. selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia.

3. Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberi waktu, pengetahuan, dan arahan.

4. Dra. Yulizar Yunas, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II, yang telah bersedia memberikan waktu dan saran kepada penulis dalam penelitian ini.


(6)

5. Dr. Mulyadi, M.Hum. selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah memberikan motivasi dan nasehat selama masa perkuliahan.

6. Staf pengajar di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang telah memberi pengajaran dan pengetahuan selama menjalankan perkuliahan.

7. Kedua orang tuaku tercinta, ayahanda Nurlan dan ibunda Juliani Lubis yang telah menjadi alasan terkuat penulis untuk tetap semangat menyelesaikan perkuliahan dan mengejar mimpi ke depannya. Kedua sosok yang senantiasa memberikan dukungan baik berupa materi maupun moril serta doa yang senantiasa mengiringi perjalanan studi penulis.

8. Kepada kakek, Burhanudin Lubis, Bumawang Wijaya, dan nenekku Saringah yang senantiasa memberikan doa dan nasehat untuk selalu sabar dalam meyelesaikan penelitian ini.

9. Untuk kakak dan adikku tersayang, Dwi Rahmadani S.Kep, Nuriyana, Syutri Ningsih, M. Ardiansyah, dan Budi Satria yang selalu memberikan semangat dan menghibur penulis. Semoga kelak dapat meraih mimpi dan cita-cita yang membanggakan kedua orang tua.

10.Kepada ketiga sahabat terbaikku, Siti Aisyah, Pebri Lestari, dan Sri Purwanti yang tidak pernah bosan membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

11.Kepada seluruh teman-teman seperjuangan di Departemen Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, USU angkatan 2010 yang memberi warna pada hari-hari penulis selama perkuliahan.


(7)

12.Seluruh pihak yang telah berperan member dukungan terhadap penulisan skripsi ini.

Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan kepada pembaca agar member kritik dan saran yang bermanfaat demi penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita bersama.

Medan, Oktober 2014 Penulis,

Nila Eka Sari 100701004


(8)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... i

PRAKATA ... ii

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Batasan Masalah ... 3

1.4 Tujuan ... 4

1.5 Manfaat ... 4

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA.. 5

2.1 Konsep ... 5

2.1.1 Konflik Sosial ... 5

2.1.2 Tokoh ... 6

2.1.3 Sosiologi Sastra ... 6

2.2 Landasan Teori ... 7

2.2.1 Sosiologi Sastra ... 7

2.2.2 Konflik sosial ... 9

2.3 Tinjauan Pustaka ... 11

BAB III METODE PENELITIAN ... 14

3.1 Metode Penelitian ... 14

3.2 Sumber Data ... 14

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 15


(9)

BAB IV ANALISIS KONFLIK SOSIAL DALAM NOVEL SETEGUK

AIR ZAM-ZAM KARYA MAULAN SYAMSURI ... 16

4.1 Bentuk-Bentuk Konflik Sosial dalam Novel Seteguk Air Zam-Zam Karya Maulana Syamsuri ... 16

4.1.1 Konflik Sosial Antartokoh ... 17

4.1.2 Konflik Sosial Tokoh dengan Lingkungan Keluarga ... 25

4.1.3 Konflik Sosial Tokoh dengan Lingkungan Masyarakat ... 28

4.2 Penyebab Terjadinya Konflik Sosial dalam Novel Seteguk Air Zam-Zam Karya Maulana Syamsuri... 31

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 40

5.1 Simpulan ... 40

5.2 Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42


(10)

ABSTRAK

ANALISIS KONFLIK SOSIAL DALAM NOVEL SETEGUK AIR ZAM-ZAM

KARYA MAULANA SYAMSURI

Nila Eka Sari

Fakultas Ilmu Budaya USU

Karya sastra diciptakan pengarang tidak hanya untuk dinikmati, tetapi juga untuk memberikan pandangan kepada pembaca mengenai kehidupan sosial pada saat karya itu diciptakan. Dalam karya satra, salah satunya novel, terdapat konflik sosial yang terkandung di dalamnya. Konflik yang terdapat dalam sebuah cerita berperan penting demi berjalannya alur cerita. Konflik yang tergambar dalam sebuah cerita akan membawa pembaca untuk ikut merasakan keadaan atau peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk konflik sosial serta penyebab terjadinya konflik sosial dalam novel Seteguk Air Zam-Zam karya Maulana Syamsuri. Penelitiaan ini termasuk ke dalam jenis penelitian kualitatif dengan metode baca catat dan tinjauan kepustakaan (library research). Dari hasil penelitian ditemukan bentuk-bentuk konflik sosial antarpribadi yang meliputi konflik sosial antartokoh, konflik sosial tokoh dengan lingkungan keluarga, dan konflik sosial tokoh dengan lingkungan masyarakat. Penyebab terjadinya konflik sosial dalam novel Seteguk Air Zam-Zam adalah adanya perbedaan pendapat, perselingkuhan, keuangan, dan keturunan.

Kata Kunci: Konflik Sosial, Bentuk-Bentuk Konflik Sosial, Penyebab Konflik Sosial.


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Karya sastradiciptakan pengarang tidak hanya untuk dinikmati, tetapi juga untuk memberikan pandangan kepadapembaca mengenai kehidupan sosial pada saat karya itu diciptakan. Karya sastra, salah satunya novel, bukan hanya merupakan proses imajinasi atau khayalan pengarang semata, melainkan proses kreatif pengarang dalam menyampaikan hasilpengamatan, penglihatan, dan perasaan pengarang terhadap sekitar lingkungan kehidupannya dalam bentuk karya sastra. Di dalam karya sastra terungkap setiap fenomena yang terjadi pada masyarakat sehingga antara sastra dan masyarakat memiliki hubungan yang sangat erat.Masyarakat merupakan makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi dengan sesama manusia. Interaksi yang dilakukan adakalanya menimbulkan konflik.Misalnya, dalam lingkungan keluarga sering muncul konflik antara suami dengan istri, ibu dengan anak maupun antarkeluarga. Konflik merupakan pertikaian atau pertentangan yang terjadi antara dua orang atau lebih.

Setiap manusia memiliki kepentingan yang berbeda dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perbedaan kepentingan itu seringkali menimbulkan konflik, baik konflik antarindividu atau kelompok

Konflik yang terdapat di dalam sebuah karya sastraberperan penting demi berjalannya alur cerita. Konflik terdiri atas dua macam, yaitu konflik internal dan konflik eksternal. Konflik internal yaitu pertentangan dua keinginan di dalam diri


(12)

seorang tokoh. Konflik eksternal yaitu konflik antara satu tokoh dengan tokoh yang lain, atau antara tokoh dengan lingkungannya. Berpedoman pada kenyataan, maka konflik eksternal dibedakan lagi atas konflik fisik dan konflik sosial. Konflik fisik adalah konflik yang disebabkan adanya perbenturan antara tokoh dengan lingkungan alam. Konflik sosial adalah konflik yang disebabkan adanya kontak sosial antarmanusia (Harizadika dkk, 2012: 1).Konflik sosial merupakan gambaran tentang terjadinya percekcokan, perselisihan, ketegangan, atau pertentangan sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan yang muncul dalam kehidupan masyarakat, baik perbedaan secara individual maupun perbedaan kelompok. Perbedaan tersebut dapat berupa perbedaan pendapat, pandangan, penafsiran, pemahaman, kepentingan, atau perbedaan yang lebih luas dan umum, seperti perbedaan agama, ras, suku bangsa, bahasa, profesi, golongan politik, dan kepercayaan (Frannsvela: 2010).

Di dalam novel, senantiasa tergambar konflik sosial yang ditimbulkan oleh tiap-tiap tokoh cerita. Konflik sosial tersebut dapat membangkitkan emosi dan memberikan kesan tersendiri kepada pembaca. Penelitian ini mengacu pada bentuk-bentuk konflik sosial dan penyebab terjadinya konflik sosial yang terjadi pada tokoh dalam novel Seteguk Air Zam-Zam. Bentuk konflik sosial yang dapat dianalisis dalam novel tersebut,yaitu konflik antarpribadi. Konflik sosial tersebut meliputi konflik sosial antar-tokoh, konflik sosialtokoh dengan lingkungan keluarga, dan konflik sosial tokoh dengan lingkungan masyarakat.

Bentuk-bentuk konflik sosial yang terjadi pada tokoh serta penyebab terjadinya konflik sosial dalam novel Seteguk Air Zam-Zam karya Maulana Syamsuri akan dianalisis berdasarkan teori sosiologi sastra. Novel Seteguk Air


(13)

Zam-Zam menceritakan tentang kehidupan seorang guru bernama Nauli yang bertempat tinggal di desa Mandailing. Nauli adalah seorang wanita yang sangat sabar.Novel tersebut merupakan novel yang bernuansa islam serta memperlihatkan budaya lokal, yaitu budaya Mandailing. Penelitian terhadap novel tersebut sudah pernah dilakukan, tetapi mempergunakan pendekatan yang berbeda dengan penulis. Judul penelitian ini adalah “Analisis Konflik Sosial dalam Novel

Seteguk Air Zam-Zam Karya Maulana Syamsuri: Pendekatan Sosiologi Sastra”.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah bentuk-bentuk konflik sosial yang terdapat dalam novel

Seteguk Air Zam-Zam karya Maulana Syamsuri?

2. Apakah penyebab terjadinya konflik sosial dalam novel Seteguk Air Zam-Zam karya Maulana Syamsuri?

1.3Batasan Masalah

Penelitian dalam sebuah karya ilmiah memerlukan adanya batasan masalah sehingga penelitian tidak keluar dari topik permasalahan yang akan dibahas. Penelitian ini hanya membahas tentang bentuk-bentuk konflik sosial (konflik antarpribadi) dan penyebab terjadinya konflik sosial yang terdapat dalam novel


(14)

1.4Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah dipaparkan di atas, terdapat beberapa tujuan, yaitu

1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk konflik sosial yang terdapat dalam novel Seteguk Air Zam-Zam karya Maulana Syamsuri.

2. Mendeskripsikan penyebab terjadinya konflik sosial dalam novel

Seteguk Air Zam-Zam karya Maulana Syamsuri.

1.5Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan apresiasi mahasiswa pada karya-karya sastra Indonesia khususnya karya-karya sastra Sumatera Utara.

2. Memberikan penjelasan kepada pembaca mengenai konflik sosial dalam karya sastra umumnya dan dalam novel Seteguk Air Zam-Zam

karya Maulana Syamsuri khususnya.


(15)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

2.1.1 Konflik Sosial

Konflik menurut Webster,dalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan, atau perjuangan” yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Lebih tepatnya konflik adalah persepsi mengenai perbedaan kepentingan (Perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan (Pruitt dan Jeffery, 2004: 9).

Istilah “konflik” secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan. Dengan demikian, “konflik” dalam kehidupan sosial berarti benturan kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain yang paling tidak melibatkan dua pihak atau lebih (Setiadi dan Kolip, 2011: 347).

Konflik sosial adalah percekcokan, perselisihan, ketegangan atau pertentangan dalam masyarakat akibat pengaruh adanya perbedaan-perbedaan tertentu dalam masyarakat (kemajemukan masyarakat) (Ahmadi, 2007: 291).

Konflik sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial atau menghambat terpenuhinya keinginan-keinginan pokok warga kelompok sosial tersebut sehingga menyebabkan kepincangan sosial. Konflik


(16)

sosial merupakan akibat dari interaksi sosial antara individu, antara individu dengan kelompok, atau antar kelompok(Soekanto, 2012: 312).

Konflik-konflik dalam kehidupan sosial merupakan salah satu fenomena yang terjadi di dalam masyarakat. Konflik sosial tersebut dijadikan pengarang sebagai objek dalam menciptakan sebuah karya sastra. Dalam sebuah novel, konflik menjadi hal yang sangat penting. Konflik yang ditimbulkan oleh tokoh dalam sebuah novel mampu mendorong pembaca untuk ikut merasakan bagaimana yang dalami oleh tokoh dalam novel tersebut.

2.1.2 Tokoh

Tokoh cerita (character), menurut Abrams adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecendrungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Nurgiyantoro, 1994: 165).

2.1.3Sosiologi Sastra

Kata sosiologi berasal dari kata Latin socius yang berarti kawan, dan kata Yunani logos yang berarti kata atau berbicara. Dengan demikian, sosiologi berarti berbicara mengenai masyarakat (Soekanto, 2012: 4).

Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian mengenai sosiologi sastra banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial.


(17)

Kehidupan sosial akan menjadi pemicu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu mampu merefleksikan zamannya (Endraswara, 2008: 77). Sosiologi sastra memandang karya sastra sebagai hasil interaksi pengarang dengan masyarakat, sebagai kesadaran kolektif (Ratna, 2003: 13).

Sosiologi dan sastra adalah dua hal yang berbeda.Namun, dapat saling melengkapi. Objek studi sosiologi adalah tentang manusia dan sastra pun demikian. Sastra adalah ekspresi kehidupan manusia yang tak lepas dari akar masyarakatnya. Sastra merupakan sebuah refleksi lingkungan sosial budaya yang merupakan hasil interaksi antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah yang dikembangkan dalam karya sastra (Endraswara, 2008: 78).

Sosiologi sastra dapat meneliti sastra melalui tiga perspektif.Pertama,

perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Teks biasanya dipotong-potong, diklasifikasikan, dan dijelaskan makna sosiologisnya. Kedua, perspektif biografis, yaitu peneliti menganalisis pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan life history seorang pengarang dan latar belakang sosialnya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra (Endraswara. 2008: 80).

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra merupakan suatu pendekatan yang terfokus pada masalah manusia. Karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat


(18)

manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi. Pendapat ini menunjukkan bahwa perjuangan panjang hidup manusia akan selalu mewarnai teks sastra (Endraswara, 2008: 79).

Hubungan sosiologi dan sastra bukanlah hal yang dicari-cari. Keduanya akan saling melengkapi hidup manusia. Hubungan keduanya terlihat dalam refleksi sosial sastra, antara lain: (a) dunia sosial manusia dan seluk-beluknya, (b) penyesuaian diri individu pada dunia lain, (c) bagaimana cita-cita untuk mengubah dunia sosialnya, (d) hubungan sastra dan politik, dan (e) konflik-konflik dan ketegangan dalam masyarakat (Endraswara, 2008: 88).

Penelitian ini membahas tentang bentuk-bentuk konflik sosial dalam novel Seteguk Air Zam-Zam karya Maulana Syamsuri. Bentuk konflik sosial yang terdapat di dalam novel tersebut adalah konflik sosial antarpribadi. Pengertian konflik sosial di sini adalah konflik yang terjadi akibat kontak sosial antarmanusia yang diwarnai dengan adanya percekcokan, perselisihan, perbedaan kepentingan, maupun perbedaan pendapat. Teori yang akan dipergunakan pada penelitian ini adalah sosiologi sastra.

Sosiologi sastra merupakan gabungan dua disiplin yang berbeda yaitu sosiologi dan sastra. Keduanya ditopang oleh dua teori yang berbeda yaitu teori-teori sosiologi dan teori-teori sastra. Dalam sosiologi sastra yang mendominasi jelas teori yang berkaitan dengan sastra, sedangkan teori-teori yang berkaitan dengan sosiologi berfungsi sebagai komplementer (pelengkap) (Ratna, 2003: 18).

Konflik sosial merupakan salah satu aspek ekstrinsik dalam karya sastra yang dapat menopang analisis sosiologi sastra sebagai ilmu bantu. Teori-teori


(19)

sosiologi yang dapat menopang analisis sosiologis adalah teori-teori yang dapat menjelaskan hakikat fakta-fakta sosial, sedangkan karya sastra sebagai sistem komunikasi berkaitan dengan aspek-aspek ekstrinsik seperti: kelompok sosial, kelas sosial, stratifikasi sosial, institusi sosial, sistem sosial, interaksi sosial, konflik sosial, kesadaran sosial, mobilitas sosial, dan sebagainya (Ratna, 2003: 18).Dengan mempergunakan pendekatan sosiologi sastra, dapat dipahami bagaimana tokoh-tokoh dalam novel Seteguk Air Zam-Zam karya Maulana Syamsuri berinteraksi dan menyesuaikan diri dengan masyarakat dan lingkungannya.

2.2.2 Konflik Sosial

Teori konflik adalah salah satu perspektif dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian atau komponen yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dimana komponen yang satu berusaha menaklukkan kepentingan yang lain guna memenuhi kepentingannya atau memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Teori konflik sosial memandang antar-elemen sosial memiliki kepentingan dan pandangan yang berbeda. Perbedaan kepentingan dan pandangan tersebutlah yang memicu terjadinya konflik sosial yang berujung saling mengalahkan, melenyapkan, memusnahkan di antara elemen tersebut. Konflik sosial tidak hanya berakar dari ketidakpuasan batin, kecemburuan, iri hati, kebencian, masalah perut, masalah tanah, tempat tinggal, pekerjaan, uang, dan juga kekuasan tetapi emosi manusia sesaat pun dapat memicu terjadinya konflik sosial (Setiadi dan Kolip, 2011: 347).


(20)

Manusia adalah makhluk konfliktis (homo conflictus), yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, baik pertentangan ide maupun fisik antara dua belah pihak, dan persaingan yang disebabkan adanya persinggungan dan pergerakan sebagai aspek tindakan sosial. Konflik terbagi atas beberapa macam, yaitu konflik antarorang (interpersonal conflict),

konflik antarkelompok (intergroup conflict), konflik antara kelompok dengan negara (vertical conflict), dan konflik antarnegara (interstate conflict) (Susan, 2009: 4-5).

Pruitt dan Rubin (2004) dalam bukunya yang berjudul Teori Konflik Sosial, memberikan perhatian utama pada konflik yang terjadi antara dua pihak. Dengan tetap disertai kesadaran bahwa konflik dapat terjadi pada berbagai macam keadaan dan tingkat kompleksitas. Mereka beranggapan bahwa kebanyakan penelitian yang relevan mengenai konflik sosial dilakukan di laboratorium, dan biasanya mengenai konflik dua pihak.

Konflik merupakan gejala sosial yang selalu mewarnai kehidupan sosial, sehingga bersifat inheren, artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Terdapat beberapa bentuk konflik sebagai salah satu gejala sosial masyarakat, yaitu konflik gender, konflik rasial dan antarsuku, konflik antar-umat agama, konflik antargolongan, konflik kepentingan, konflik antarpribadi, konflik antarkelas sosial, dan konflik antarnegara/bangsa. (Setiadi dan Kolip, 2011: 347).

Konflik sosial (pertentangan sosial) merupakan salah satu bentuk proses sosial yang disosiatif selain persaingan (competition) dan kontraversi


(21)

(contravention) akibat adanya perbedaan-perbedaan tertentu dalam masyarakat maupun pribadi, seperti akibat perbedaan ras, suku bangsa, agama, bahasa, adat-istiadat, golongan politik, pandangan hidup, profesi, dan budaya lainnya (Ahmadi, 2007: 291). Dilihat dari segi bentuknya, konflik sosial mempunyai beberapa bentuk, yaitu konflik pribadi, konflik kelompok, konflik antar-kelas sosial, konflik rasial, konflik politik, dan konflik budaya (Ahmadi, 2007: 295).

Beberapa pendapat di atas menyatakan berbagai macam bentuk konflik sosial, tetapi jika dilihat dari pengklasifikasian mengenai bentuk konflik sosial, maka terdapat beberapa persamaan pendapat antara Setiadi dan Kolip dengan Ahmadi. Mereka sama-sama menyatakan bahwa konflik sosial memiliki beberapa bentuk, yaitu konflik pribadi (antarpribadi), konflik antar-kelas sosial, dan konflik rasial.Penelitian ini lebih cenderung mempergunakan pendapat yang dikemukakan oleh Setiadi dan Kolip untuk meneliti konflik sosial yang terdapat dalam novel Seteguk Air Zam-Zam karya Maulana Syamsuri.

2.3 Tinjauan Pustaka

Novel Seteguk Air Zam-Zam karya Maulana Syamsuri adalah novel yang sangat bagus untuk dianalisis karena novel ini menampilkan masalah-masalah sosial yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Novel ini juga identik dengan budaya lokal, yaitu budaya Mandailing. Penelitian dengan mempergunakan teori sosiologi sastra sudah banyak dilakukan sebelumnya. Namun, menurut pengetahuan peneliti, penelitian mengenai konflik sosial dengan mempergunakan


(22)

teori sosiologi sastra terhadap novel Seteguk Air Zam-Zam karya Maulana Syamsuri belum pernah ada sehingga penelitian ini dapat dilakukan.

Novel Seteguk Air Zam-Zam pernah diteliti oleh Irene S. mahasiswa Departemen Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara. Penelitian yang dilakukan oleh Irene S. terfokus pada analisis Strukturalisme Genetik. Irene S. melakukan penelitian pada novel tersebut dengan judul Novel Seteguk Air Zam-Zam Karya Maulana Samsuri: Tinjauan Strukturalisme Genetik. Pada penelitian tersebut Irene mendeskripsikan karya sastra dari segi struktur yang menjelaskan fakta kemanusiaan, subjek kolektif, dan pandangan dunia.

Analisis mengenai konflik sosial berdasarkan pendekatan sosiologi sastra pernah dilakukan oleh Amraini Sihotang mahasiswa Departemen Sastra Arab Universitas Sumatera Utara dengan judul Analisis Konflik Sosial dalam Novel Ma wara’a al-nahri “Kesaksian Sang Penyair” (Pendekatan Sosiologi Sastra). Pada penelitiannya, Amraini cenderung mengambil konsep konflik sosial pendapat dari Burhan Nurgiyantoro dan G. Pruitt. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui bentuk konflik sosial yang terkandung dalam novel Ma wara’a al-nahri “Kesaksian Sang Penyair” serta pendekatan apa yang dipergunakan oleh para tokoh dalam novel tersebut.

Penelitian mengenai konflik sosial berdasarkan sosiologi sastra juga pernah dilakukan oleh mahasiswa Universitas lain yaitu Febri Harizadika, Bakhtaruddin Nasution, dan M. Ismail Nasution mahasiswa Departemen Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Padang dengan judul Konflik Sosial dalam Kumpulan Cerpen Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu Karya Radi F.


(23)

Daye.Terdapat Sembilan cerpen yang mereka analisis dalam penelitian tersebut, yaitu 1) Perempuan Bawang, 2) Kubah, 3) Jarak, 4) Bibir Pak Gur Bengkok, 5) Seekor Anjing yang Menangis, 6) Rumah Lumut, 7) Lekuk Teluk, 8) Mungkin Jibril Asyik Berzapin, 9) Rumah yang Mengigil.Berdasarkan pada pendapat Soekanto dan dari hasil penelitian terhadap kumpulan cerpen Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu, mereka menemukan jenis-jenis konflik sosial yang terdapat dalam ke-9 cerpen tersebut. Adapun jenis-jenis konflik sosial tersebut diantaranya adalah : (1) masalah kemiskinan dan lapangan pekerjaan. (2) masalah kejahatan. (3) masalah disorganisasi sosial. (4) masalah generasi muda dalam masyarakat modern. (5) masalah agama dan kepercayaan.


(24)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara atau strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat serta berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami (Ratna, 2004: 34).

Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif dilakukan dengan tidak menggunakan angka-angka, tetapi dengan mengutamakan penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang dikaji secara empiris (Semi, 1993: 23).

3.2Sumber Data

Data penelitian ini adalah novel Seteguk Air Zam-Zam karya Maulana Syamsuri.

Judul : Seteguk Air Zam-Zam Karya : Maulana Syamsuri Tahun Terbit : 2005

Penerbit : Sastra Novela Tempat Terbit : Bogor

Tebal : 165 halaman


(25)

3.3Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan dengan mempergunakan metode baca catat dan tinjauan kepustakaan (library research). Metode baca catat dipergunakan untuk mengumpulkan data dengan cara membaca seluruh isi novel secara berulang kemudian dicatat untuk mendapatkan data yang diperlukan. Metode kepustakaan (library research) dipergunakan untuk memperoleh data dan informasi tentang objek penelitian lewat buku-buku atau alat-alat audiovisual lainya (Semi, 1993:8).

3.4Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif kualitatif. Teknik deskriptif kualitatif secara keseluruhan memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk deskriptif (Ratna, 2004: 46). Langkah-langkah menganalisis data dengan mempergunakan metode ini adalah sebagai berikut:

1) Membaca dan memahami novel Seteguk Air Zam-Zam karya Maulana Syamsuri yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman mengenai cerita yang disampaikan.

2) Mengumpulkan data-data konflik sosial dan penyebab terjadinya konflik sosial pada novel Seteguk Air Zam-Zam karya Maulana Syamsuri.

3) Data yang terkumpul ditafsirkan dan dimaknai sesuai dengan aspek konflik sosial.

4) Menganalisis data yang diperoleh dan mengklasifikasikan berdasarkan kelompoknya.


(26)

BAB IV

ANALISIS KONFLIK SOSIAL DALAM NOVEL SETEGUK AIR ZAM-ZAM KARYA MAULANA SYAMSURI

4.1 Bentuk-Bentuk Konflik Sosial dalam Novel Seteguk Air Zam-Zam Karya Maulana Syamsuri

Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang mampu merefleksikan zamannya sehingga pembaca tidak hanya merasakan keindahan yang terkandung dalam karya tetapi juga memperoleh gambaran mengenai kehidupan sosial pada saat karya itu diciptakan. Proses penciptaan karya sastra oleh pengarang tidak hanya berdasarkan imajinasi semata melainkan sesuai dengan pengamatan pengarang terhadap fenomena yang terjadi pada kehidupan sosial. Salah satunya adalah konflik yang senantiasa terjadi pada masyarakat. Konflik-konflik tersebut dijadikan objek oleh pengarang dalam meciptakan sebuah karya sastra.

Konflik dalam sebuah karya sastra, salah satunya novel, menjadi hal yang sangat penting untuk diperlihatkan. Konflik yang muncul dalam novel akan membawa pembaca untuk ikut merasakan keadaan atau peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita serta membawa pembaca untuk memahami kehidupan sosial pada saat karya itu diciptakan.

Dalam novel Seteguk Air Zam-Zam karya Maulana Syamsuri terdapat konflik yang terjadi pada tokoh-tokoh dalam cerita tersebut. Bentuk konflik sosial yang terdapat dalam novel tersebut adalah konflik sosialantarpribadi.Konflik sosial antarpribadi atau konflik antar-individu adalah konflik sosial yang melibatkan individu di dalam konflik tersebut. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan


(27)

Masing-masing individu bersikukuh untuk mempertahankan tujuannya atau kepentingannya masing-masing (Setiadi dan Kolip, 2011: 353).

Ahmadi (2007), dalam bukunya yang berjudul Psikologi Sosial menyatakan bahwa konflik pribadi yaitu pertentangan yang terjadi secara perorangan seperti petentangan antara dua orang teman, suami isteri, pedagang dan pembeli, atasan dan bawahan, dan sebagainya (Ahmadi, 2007: 295).

Konflik sosial antarpribadi yang akan diteliti pada novel Seteguk Air Zam-Zam tersebut akan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu konflik sosial antartokoh, konflik sosial tokoh dengan lingkungan keluarga, dan konflik sosial tokoh dengan masyarakat.

4.1.1 Konflik Sosial Antartokoh

Konflik menurut Meredith dan Fitzgerald, merupakan sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi atau dialami oleh tokoh (-tokoh) cerita, yang, jika tokoh (-tokoh) itu mempunyai kebebasan untuk memilih, ia (mereka) tidak akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya (Nurgiyantoro, 1994:122).

Tokoh dalam sebuah cerita diciptakan pengarang layaknya seorang tokoh yang hidup secara wajar, sebagaimana kehidupan manusia sebenarnya. Manusia dalam kehidupan sosialnya tidak akan terlepas dari konflik, begitu juga dengan tokoh yang terdapat dalam sebuah cerita. Tokoh-tokoh yang terdapat dalam sebuah cerita senantiasa mengalami konflik. Konflik yang terjadi antartokoh menjadikan cerita itu lebih hidup, berkembang, dan memberikan kesan tersendiri


(28)

kepada pembaca. Pembaca seolah-olah ikut merasakan keadaan ataupun peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita tersebut.

Di dalam novel Seteguk Air Zam-Zam terdapat empat tokoh utama yang mengalami konflik yaitu tokoh Nauli, Lindung, Tiurma, dan Pandapotan. Tokoh Nauli mengalami konflik sosial dengan Tokoh Lindung, tokoh Tiurma mengalami konflik sosial dengan tokoh pandapotan, dan tokoh Tiurma mengalami konflik sosial dengan tokoh Lindung. Berikut gambaran konflik sosial yang terjadi antartokoh dalam novel Seteguk Air Zam-Zam:

A.Konflik Sosial antara Tokoh Nauli dengan Lindung

Novel Seteguk Air Zam-Zam menggambarkankonflik sosial yang terjadi antara tokoh Nauli dengan suaminya yang bernama Lindung.Dalam novel tersebut, tokoh Nauli digambarkan sebagai seorang guru yang bertempat tinggal di daerah Mandailing. Ia merupakan seorang isteri yang patuh teradap suami dan juga termasuk wanita yang taat dalam agamanya. Nauli juga merupakan seorang guru yang sangat sabar dalam mendidik murid-muridnya serta sabar dalam menghadapi persoalan dalam rumah tangganya sedangkan tokoh Lindung digambarkan sebagai seorang suami yang memiliki watak keras, tetapi sangat sayang terhadap isterinya. Tokoh Lindung juga digambarkan sebagai seorang suami yang lebih percaya kepada orang pintar (dukun) dalam hal menyembuhkan penyakit ataupun dalam meminta pertolongan daripada seorang dokter. Tokoh Nauli sendiri sebenarnya lebih percaya kepada dokter daripada orang pintar (dukun). Adanya perbedaan pendapat mengenai keahlian seorang dokter dan orang pintar (dukun) antara Nauli dengan Lindung adakalanya menimbulkan konflik. Berikut penggalan ceritanya:


(29)

“Bang Lindung harus ingat pernah terbaring sakit selama hampir tigabulan. Penyebabnya adalah rokok!”

“Siapa bilang?” “Dokter Puskesmas!” “Bohong besar!”

“Lalu apa penyebab Bang Lidung terbaring selama hampir tiga bulan?”

“Ompung Marlaut bilang ada orang yang dengki kepada kita. Karena aku seorang petani dan mendapatkan isteri seorang guru yang cantik. Malah Ompung Marlaut bilang, yang membuatku jatuh sakit adalah seorang laki-laki yang pernah jatuh hati padamu lalu ingin membuatku supaya cepat masuk liang kubur.”....

“Yang menyembuhkan abang bukan dukun itu, tapi dokter puskesmas!,” Nauli meyakinkan suaminya.

“Bukan, tapi Ompung Marlaut!” “Bukan!. Bukan!”

“Terserah kepadamu, tapi aku tetap yakin, Ompung Marlautmemang orang pintar.”

“Ingat nasihat dokter, Bang Lindung. Rokok dapat menyebabkan penyakit paru-paru, juga dapat menyebabkan kanker dan kemandulan!”

“Akh, masak bodoh dengan ucapan dokter. Semua itu Cuma mengada-ada!”(SAZZ: 21-22).

Cerita di atas menggambarkan percekcokan yang terjadi antara tokoh Nauli dengan Lindung. Tokoh Lindung tidak sependapat dengan Nauli. Lindung yang memiliki watak keras terpancing emosi saat Nauli mengatakan bahwa yang menyebabkan ia sakit adalah karena terlalu banyak mengonsumsi rokok danyang menyembuhkannya bukanlah seorang dukun yang bernama Ompung Marlaut melainkan seorang dokter.Lindung yang lebih mempercayai keahlian seorang dukun daripada dokter membantah perkataan Nauli.Tokoh Nauli dan tokoh Lindung saling mempertahankan pendapatnya masing-masing. Lindung bersikeras mengatakan bahwa ia sakit bukan disebabkan terlalu banyak mengonsumsi rokok dan yang menyembuhkannya adalah Ompung Marlaut. Ia juga mengabaikan nasihat Nauli untuk berhenti merokok. Nauli yang lebih mempercayai keahlian seorang dokter juga tetap mempertahankan pendapatnya. Tidak adanya persamaan


(30)

pendapat di antara kedua tokoh tersebut melahirkan konflik sosial di antara keduanya.

Konflik sosial yang terjadi antara tokoh Nauli dengan Lindung juga tergambar ketika Nauli ingin melepas azimat yang diberikan oleh seorang dukun kepadanya.Lindung sangat marah ketika Nauli merasa risih perutnya dilingkari azimat dari seorang dukun. Ia melarang Nauli untuk melepas azimat tersebut sedangkan Nauli merasa bahwa azimat tersebut tidak memiliki khasiat apa-apa. Nauli yang taat dalam agamanya sebenarnya tidak ingin terlalu percaya kepada dukun dan merasa keberatan jika memakai benda seperti itu karena dalam agama islam, mempercayai seorang dukun dan memakai azimat sudah termasuk syirik. Keinginan yang sangat besar untuk segera memiliki anak membuat Nauli terpaksa memakai benda tersebut. Konflik sosial itu juga tergambar ketika Nauli memaksakan keinginannya kepada Lindung untuk tetap mendatangi dokter ahli. Berikut penggalan ceritanya:

Bang Lindung sangat marah, ketika Bu Nauli merasa risih di perutnya dilingkari azimat itu.

“Ingat pesan Ompung Datu, empat puluh hari azimat ini harus tetap melekat pada diri kita.”

“Tapi rasanya tidak ada khasiat apa-apa!” “Kita harus meyakini!”

Bu Nauli hanya menghela nafas panjang.

“Bukankah kita sudah amat ingin hadirnya seorang anak?. bukankah kita sudah sangat ingin dari rahimmu akan lahir anak kita yang mungil?.”

“Rasanya belum ada perubahan meski pun sudah lebih empat bulan kita mendatangi orang pintar itu.”

“Tunggu saja beberapa minggu lagi. mudah-mudahan ada perobahan pada dirimu.”

“Kalau tidak ada perobahan apa pun, Bang Lindung mau mengantar aku ke dokter ahli?”

“Tidak!. Tidak harus ke dokter lagi. Kita harus menemui Angkang Sori Pada untuk meminta bayi yang sedang dikandung isterinya untuk


(31)

“Terserah Bang Lindung, tapi saya tetap berkeinginan kita berdua mendatangi dokter ahli. Yang penting kehadiran anak di antara kita.”(SAZZ: 45-46).

Selanjutnya konflik sosial yang terjadi antara tokoh Nauli dengan Lindung juga tergambar ketika Nauli mengetahui Lindung berselingkuh dengan seorang janda pendatang baru di desanya. Berikut penggalan ceritanya:

“Mulai hari ini tidak ada lagi kopi hangat!” “Bah!. Kenapa?. Kenapa?.”

“Seorang isteri yang hatinya hancur tidak akan dapat membuatkan kopi hangat lagi untuk suaminya.” Suara Nauli tinggi.

“Bah!. Kenapa begitu?”

“Tanya dirimu sendiri, pasti Bang Lindung tahu jawabnya!”

“Demi Tuhan, aku tidak tahu, Nauli. Adakah sesuatu yang sangat menyakitkan hatimu hari ini?”

“Ya!, ada!. Perempuan yang ada di mobil Bang Lindung siang tadi. Itulah yang menghancurkan hatiku. Orang menyebutnya pendatang dan pemilik warung sembako. Aku sudah tahu!”....

“Tidak usah sentuh lagi kalau memang sudah ada niat di hati Bang Lindung untuk kawin dengan orang lain.”

“Maafkan aku, Nauli. Kalau aku harus menikah lagi karena banyak famili memang menghendaki aku punya keturunan.”

“Lalu banyak famili juga meminta agar aku dilemparkan ke sungai sebagai benda busuk?”

“Tidak!. Kau tetap sebagai isteriku, Nauli. Aku tetap cinta kepadamu. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.”

“Tidak mungkin!”

“Kenapa tidak mungkin?. Kita sudah hidup bersama hampir sepuluh tahun sebagai suami isteri dan tidak pernah ada gempa dahsyat. Aku sudah tahu benar pribadimu, kesetiaanmu, kasih sayangmu. Tapi aku sungguh sangat ingin punya anak. Hanya keturunan!. Yang kucari tidak lebih dari itu.”

Bu Nauli menangis lagi.

“Demi Tuhan, aku bersumpah, kau tetap isteriku yang kucintai. Aku akan selalu berada di sisimu.”

“Lalu setelah lahir seorang anak dari rahim perempuan itu lambat laun aku akan terbuang, bukan?”

“Demi Tuhan, tidak!”(SAZZ: 65-66).

Cerita di atas menggambarkan pertengkaran yang terjadi antara tokoh Nauli dengan Lindung. Konflik sosial itu terjadi ketika Nauli mengetahui Lindung berselingkuh dengan seorang janda yang bernama Tiurma. Nauli merasa sakit hati


(32)

dan kecewa atas tindakan perselingkuhan yang dilakukan oleh Lindung. Emosi Nauli memuncak ketika Lindung mengatakan bahwa ia akan menikah lagi. Nauli yang ketika itu sedang dalam keadaan emosi tidak mau mendengarkan alasan Lindung menikahi Tiurma.Kecemburuan tokoh Nauli serta tindakan perselingkuhan yang dilakukan oleh Lindung melahirkan emosi dalam dirinya. Sehingga menimbulkan pertengkaran di antara keduanya.

B.Konflik Sosial antara Tokoh Tiurma dengan Pandapotan

Tokoh Tiurma dalam novel Seteguk Air Zam-Zam, digambarkan sebagai seorang janda pendatang baru di desa di kaki bukit daerah Mandailing. Ia seorang janda yang memiliki usaha warung sembako yang cukup besar sebagai matapencahariannya dan belum memiliki anak sedangkan tokoh Pandapotan digambarkan sebagai mantan suami Tiurma yang selama ini menghilang. Konflik sosial yang terjadi antara tokoh Tiurma dengan Pandapotan dilatarbelakangi oleh masalah keuangan. Konflik itu terjadi ketika Pandapotan mendatangi rumah Tiurma. Tiurma selama ini mengira bahwa Pandapotan telah meninggal dunia karena amukan warga ketika Pandapotan membakar traktor milik Haji Sulaiman. Ternyata Pandapotan masih hidup dan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya ia menyamar menjadi seorang pengemis.

Konflik sosialitu tergambar ketika tokoh Pandapotan meminta uang kepada Tiurma. Tiurma adakalanya mendapatkan ancaman dari Pandapotan apabila ia tidak dapat memberikan apa yang diinginkan oleh Pandapotan terutama jika Pandapotan meminta uang kepadanya. Berikut penggalan ceritanya:


(33)

“Bukan dua puluh ribu, Tiur!,” lelaki itu mengembalikan uang itu kepada Tiur.

“Laluberapa harus kuberikan?”

“Banyak!. Aku butuh uang banyak untuk bersembunyi dari satu desa ke desa lainnya, juga sampai ke kota.”....

“Tambah lagi. Tiur!”

“Aku tidak punya uang lagi” tubuh Tiur gemetar menatap sorot mata lelaki itu teramat tajam, seperti menyemburkan api.

“Jangan bohong kepadaku!” “Sungguh aku tidak punya lagi!”

“Atau aku sendiri yang akan mengambilnya dan membongkar isi lemarimu?.”

“Demi tuhan aku tidak punya uang lagi!”

“Kalau begitu aku yang harus mengambil sendiri uang itu!”.... “Masih kurang, Tiur. Aku perlu uang untuk pergi jauh!” “Tidak ada lagi sisa uang!”

Lelaki itu tidak percaya dan tatapannya tetap saja seperti menyemburkan api yang amat panas. Setelah jadi buronan polisi, Bang Dapot jadi amat bringas dan kasar.

“Jangan bohong, Tiur. Bukankah kau sudah membuka warung dan langgananmu banyak!”

“Tapi aku tidak punya uang banyak!”

“Jangan bohongi aku. Bukankah kau sudah kawin dan suamimu memberi nafkah?. Berikan aku uang yang cukup!”

“Demi Tuhan tidak ada yang lain!” tubuh Tiur makin gemetar. “Ingat, kalau kau tidak memberiku uang yang cukup, aku akan tetap di sini, aku tidak akan pergi dari rumah ini!”(SAZZ: 90-91).

Tindakan pemaksaan serta ancaman yang dilakukan oleh tokoh Pandapotan kepada Tiurma membuat Tiurma merasa ketenangannya terganggu. Dengan perasaan terpaksa ia memberikan uang miliknya kepada Pandapotan. Tiurma yang tidak memiliki pilihan lain serta rasa takut yang menyelimuti dirinya melahirkan konflik sosial antara dirinya dengan Padapotan.

Konflik sosial yang terjadi antara Tiurma dengan Pandapotan juga tergambar ketika Pandapotan merampas dompet Tiurma dan mengambil semua isi uang yang ada dalam dompet itu. Berikut penggalan ceritanya:

“Jangan ambil semua uang itu, Bang Dapot1. Jangan ambil semua!,” Tiurma berusaha untuk meminta kembali dompet itu.


(34)

“Aku butuh uang, Tiur!. Kau harus sadar, aku butuh uang. Tanpa uang aku akan mati kelaparan.” Tukas lelaki itu dan bersiap-siap untuk melangkah pergi.

“tapi uang itu untuk modal.” Tiurma berusaha merebut dompet itu dari tangan Bang Dapot, tapi sia-sia. “Warung ini akan bangkrut kalau Bang Dapot mengambilnya.”(SAZZ: 146).

Selain itu, konflik sosial yang terjadi antara tokoh Tiurma dengan Pandapotan juga tergambar pada penggalan cerita berikut:

“Tidak usah kau beri aku uang, tapi berikan kalung ini kepadaku,” lelaki itu berkata setengah berbisik.

“Tidak!. Tidak, Bang Dapot. Aku tidak dapat memberikan kalung ini kepada siapa pun!,” Tiurma mencegah.

“Aku butuh biaya untuk pergi ke ujung dunia.”

“Tapi kalung ini tidak akan kuberikan kepada siapa pun. Kalung ini adalah kenang-kenangan dari ibuku. Kalung ini tidak akan terlepas dari diriku sampai kapan pun!”

“Kalau kalung ini tidak kau berikan, itu artinya aku gagal untuk menyeberangi laut. Itu artinya aku akan tetap tinggal disini bersamamu....”(SAZZ: 100-101).

Cerita di atas menggambarkan bahwa tokoh Pandapotan saat itu tengah memaksa Tiurma untuk memberikan kalungnya tetapi Tiurma tidak mau memberikan kalung itu karena kalung itu merupakan peninggalan dari ibunya. Pandapotan yang senantiasa memberikan ancaman kepada Tiurma membuat Tiurma terpaksa menuruti keinginannya. Dengan sangat terpaksa Tiurma memberikan kalung peninggalan ibunya kepada Pandapotan.

C. Konflik Sosial antara Tokoh Lindung dengan Tiurma

Novel Seteguk Air Zam-Zammenggambarkan tentang sosok Lindung yang menikah lagi denganseorang janda yang bernama Tiurma. Lindung berharap


(35)

dengan menikahi Tiurma, ia akan mendapatkan keturunan karena selama delapan tahun usia pernikahannya dengan Nauli belum juga dikaruniai seorang anak.

Konflik sosial yang terjadi antara tokoh Lindung dengan Tiurma tergambar ketika Lindung mengetahui bahwa anak yang dilahirkan oleh Tiurma bukanlah darah dagingnya melainkan darah daging Pandapotan yaitu mantan suami Tiurma. Lindung sangat marah kepada Tiurma ketika mengetahui bahwa anak yang dilahirkan oleh Tiurma ternyata bukannlah darah dagingnya. Ia pun meninggalkan Tiurma dan anaknya. Lindung yang merasa sudah dibohongi selama ini tidak memperdulikan permohonan maaf dari Tiurma. Ia tetap saja pergi dengan penuh kekesalan dan amarah. Berikut penggalan ceritanya:

Wajah itu tampak tegang. Dia amat marah. Ingin rasanya dia menampar wajah Tiurma. Ingin rasanya dia menarikkan rambutnya lalu menghempaskannya ke tanah. Bahkan ingin rasanya lelaki itu mencekik batang lehernya. Seorang isteri yang melayani lelaki lain, pasti pantas mati!.

Tapi lelaki itu masih memiliki kesabaran di hatinya. Sama sekali lelaki itu tidak menyentuh tubuh Tiurma yang mendadak bersujud di kakinya.

“Maafkan aku, Bang Lindung!. Ampuni aku!,” Tiur menghiba dan berusaha mencium kaki lelaki itu.

“Aku sudah tahu apa yang terjadi!. Aku sudah tahu rumah ini penuh dosa. Rumah ini penuh noda!,” suara lelaki itu menggelegar dan melangkah pergi. “Aku tidak akan pernah menginjakkan kaki di rumah yang penuh dosa.”

“Jangan pergi, Bang Lindung!. Jangan pergi!.” Tangis Tiurma berderai-derai dan mencegah Bang Lindung agar tidak meninggalkannya. Tapi lelaki itu tidak peduli.

“Demi Tuhan, aku tidak kembali ke rumah ini lagi!,” lelaki itu melangkah ke arah mobilnya dan tidak sekali pun menoleh lagi (SAZZ:151-152).

4.1.2 Konflik Sosial Tokoh dengan Lingkungan Keluarga

Setiap keluarga harus dapat menjaga keutuhan keluarganya. Keutuhan keluarga yaitu keutuhan struktur dalam keluarga di mana dalam keluarga, di


(36)

samping adanya seorang ayah, ibu beserta anak-anaknya, juga adanya keharmonisan dalam keluarga di mana di antara anggota keluarga itu saling bertemu muka dan saling berinteraksi satu dengan yang lainnya (Narwoko dan Suyanto, 2004: 237).

Konflik sosial tidak hanya terjadi antara seseorang dengan orang lain di luar lingkungan keluarga tetapi juga dapat terjadi di dalam lingkungan keluarga. Interaksi yang dilakukan oleh anggota keluarga adakalanya menimbulkan terjadinya konflik sosial dalam keluarga tersebut bahkan konflik dalam lingkungan keluarga lebih sering terjadi. Konflik sosial yang terjadi dalam lingkungan keluarga, misalnya konflik sosial yang terjadi antara suami dengan istri, orangtua dengan anak, maupun dengan anggota keluarga lainnya.

Konflik sosial yang terjadi antara tokoh dengan lingkungan keluarga dalam novel Seteguk Air Zam-Zam tergambar pada tokoh Nauli dengan keluarga suaminya. Berikut penggalan ceritanya:

“Carilah seorang gadis yang benar-benar subur, Lindung!,” kata-kata itu pernah terngiang di telingan Bu Nauli yang diucapkan Inang Boru.

“Kawin sekali lagi juga tidak ada salahnya, Lindung. sebab Nauli tidak mampu memberimu keturunan. Anak dalam keluarga dari suku Mandailing sangat penting artinya,” ucapan Inang Tua benar-benar menyakitkan hati Bu Nauli.

“Siapa yang akan melanjutkan keturunanmu kalau kau tidak punya anak seorang pun?.”

“Bagimu untuk kawin sekali lagi tidak terlalu susah, sebab kau punya mata pencaharian dan siterimu Nauli punya gaji tetap. Dia tidak akan kelaparan meskipun kau menikah lagi.” kata-kata yang diucapkan Nan Tulang Naposo lebih menyakitkan lagi. terkadang Bu Nauli menitikkan air mata karena kata-kata itu.

Kalau sudah berkumpul dengan keluarga dan kerabat ketika mengahadiri acara Marbokkot bagas atau Mangadati Namaninggal suara-suara sumbang yang sangat menggores hati selalu terdengar. Bu Nauli hanya mampu mengusap dada (SAZZ: 52).


(37)

“Memang nasib Nauli untuk selamanya tidak punya anak!,” ujar salah seorang kerabat.

“Nauli memang bukan seorang ibu yang pintar merawat anak,” itulah komentar yang amat menyakitkan hati.

“andainya anak itu tetap diasuh ibu kandungnya, pasti umurnya masih panjang,” sambung famili yang lain.

“Nauli memang bukan seorang ibu yang tangannya dingin dalam mengasuh anak,” itulah komentar salah seorang kerabat dari suaminya.

“Kalau tahu ibu kandungnya bahwa anak itu akan meninggal di tangan Nauli, pasti tidak mengizinkan anak itu diambil sebagai anak angkat.”

“Sekarang tidak ada alasan lagi bagi Lindung untuk mencari seorang isteri yang benar-benar dapat memberikan keturunan!,” itulah kata-kata yang amat menyakitkan dan sekaligus seperti beling tajam yang menggores relung hati Bu Nauli.

“Lalu bagaimana dengan Bu Nauli?”

“Dia tidak akan terlantar karena punya gaji yang cukup untuk menghidupi dirinya.”

“Kalau Lindung mau, biar kami yang akan mencarikan seorang gadis yang benar-benar subur. Mau lulusan pesantren juga ada. Ingat Habibah yang baru lulus dari pesantren Mustafawiyah?. Dia cantik, putih, pintar memasak dans ekarang jadi guru mengaji. Gadis itu pasti pas dan tepat untuk Lindung!,” ujar salah seorang famili yang bermukim di Muara Soma.

Tangis Bu Nauli tidak hanya karena kehilangan seorang bocah yang pernah diasuhnya dan kini menghadap Tuhan, tapi karena banyak famili dari suaminya yang menganjurkan agar Bang Lindung menikah lagi (SAZZ: 56-57).

Cerita di atas menggambarkan bahwa keluarga Lindung tidak menyukai Nauli.Meskipun konflik sosial antara Nauli dengan keluarga Lindung tidak diwarnai dengan adanya percekcokan atau adu mulut di antara keduanya, tetapi kata-kata yang menyinggung perasaan Nauli serta rasa tidak senang yang ditunjukkan keluarga Lindung terhadap Nauli melalui kata-kata yang dilontarkan secara tidak langsung memicu terjadinya konflik sosial.

Konflik sosial antara Nauli dengan Keluarga Lindung terjadi dikarenakan Nauli belum dapat memberikan Lindung seorang anak. Keluarga Lindung sangat mengharapkan agar ia dapat segera memiliki anak guna meneruskan keturunannya tetapi hingga usia perkawinannya menginjak delapan tahun Nauli belum juga


(38)

dapat memberikan seorang anak. Keluarga Lindung mengatakan bahwa Nauli bukanlah wanita yang baik dan subur sehingga mereka selalu mendesak agar Lindung mau menikah lagi.

4.1.3 Konflik Sosial Tokoh dengan Masyarakat

Konflik lahir dari kenyataan akan adanya perbedaan-perbedaan baik ciri badaniah, emosi, kebudayaan, kebutuhan, kepentingan, maupun pola-pola perilaku antarindividu atau kelompok dalam masyarakat. Perbedaan-perbedaan ini memuncak menjadi konflik ketika sistem sosial masyarakatnya tidak dapat mengakomodasi perbedaan-perbedaan tersebut. Hal ini mendorong masing-masing individu atau kelompok untuk saling menghancurkan (Ahmadi, 2007: 282).

Dalam kehidupan sosial, setiap manusia senantiasa berinteraksi dengan sesama manusia. Adakalanya interaksi yang dilakukan menimbulkan konflik. Konflik dapat terjadi apabila antara individu satu dengan individu yang lain merasakan ketidakcocokan diantara keduanya. Selain itu, ketidaknyamanan serta tindakan-tindakan yang dapat mengganggu ketenangan masyarakat juga dapat memicu terjadinya konflik sosial antara individu dengan masyarakat sekitar.

Konflik sosial antara tokoh dengan masyarakat tergambar pada tokoh Pandapotan dengan masyarakat desa di pinggiran Sungai Aek Godang.Berikut penggalan ceritanya:

“Kebakaran!. Kebakaran!!”

Belasan warga segera datang. Mereka sangat marah menyaksikan tindakan anarkhis yang dilakukan oleh Bang Dapot. Tentu saja warga lebih simpatik kepada Haji Sulaiman yang selalu jadi imam di masjid daripada terhadap Bang Pandapotan yang tidak pernah sekali pun menginjakkan kakinya di rumah ibadah itu. apa lagi kalau ada warga


(39)

yang meninggal, pasti yang memimpin pelaksanaan fardhu kifayah adalah pemilik traktor itu.juga dalam hal melaksanakan berbagai adat mulai dari menyambut kelahiran bayi, pernikahan, mengkhitankan anak dan kenduri lainnya, pasti Haji Sulaiman adalah pemegang peran utama.

“Itu orang yang membakar!. Kejaaar!,” teriak salah seorang warga dan menunjuk ke arah sungai Aek Godang dan melihat Bang Dapot sedang berlari menghindar, menghilangkan jejak. Warga yang segera datang dari berbagai penjuru segera mengejar dan mengepung lelaki bringas itu.

Seorang warga dengan parang terhunus berusaha menebas batang leher Bang Dapot, sementara belasan warga mengepung. Lelaki yang baru saja bertindak anarkhis itu merasa dalam keadaan terdesak. Tanpa berpikir panjang dia menusuk warga yang berusaha menangkapnya. Warga yang malang itu tersungkur berlumur darah.

Seorang korban telah tersungkur, tapi Bang Dapot tidak mampu menghindar karena warga yang mengepungnya. Dalam waktu sesaat saja Bang Pandapotan tidak dapat berkutik lagi.

“Patahkan lehernya!,” teriak salah seseorang. “Pecahkan kepalanya!”, sambut yang lain. “Tusuk perutnya, biar mati!”

“Cincang saja!” “Jadikan sate!”

“Bakar hidup-hidup biar jadi abu!” “Buang mayatnya ke sungai!”

Teriakan-teriakan itu terus terdengar. Orang-orang yang membawa parang, pisau, kapak dan pacul segera menghajar tubuh lelaki itu hingga babak belur, hingga dari hidung keluar darah, juga dari kepalnya mengucur darah segar (SAZZ: 82).

Penggalan cerita di atas, menggambarkan kemarahan masyarakat desa tersebut akibat tindakan anarkhis yang dilakukan oleh Pandapotan. Ia membakar traktor milik Haji Sulaiman. Pandapotan menganggap bahwa traktor itulah yang menyebabkan ia jatuh melarat. Adanya traktor itu, maka warga desa di pingggiran Sungai Aek Godang lebih memilih menyewa traktor milik Haji Sulaiman untuk membajak sawah daripada menyewa sapi milik Pandapotan. Akhirnya penghasilan yang didapatkan oleh Pandapotan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup ketiga isterinya. Pandapotan sangat marah kepada Haji Sulaiman yang telah menyewakan traktornya karena dianggap mematikan


(40)

matapencahariannya. Kemarahannya membuat ia nekat membakar traktor tersebut.Tindakan anarkhis yang dilakukan Pandapotan membuat masyarakat desa tersebut mengamuk dan menghajar pandapotan hingga belumuran darah dan kemudian membuangnya ke sungai.

“Lelaki itu telah menjadi korban kemarahan belasan warga yang menyaksikan saudara mereka terbunuh. Itulah yang membuat warga desa itu menghakimi lelaki itu. Tidak ada ampun lagi bagi lelaki yang telah membakar traktor milik Haji Sulaiman dan melukai seorang warga desa hingga tersungkur mencium bumi. Bang Dapot benar-benar menjadi korban kemarahan massa. Pukulan bertubi-tubi diarahkan pada dirinya, hingga dia roboh. Setelah lelaki itu tidak berdaya lalu jasadnya dilempar ke Sungai Aek Godang. Jasad lelaki itu tenggelam dan dihanyutkan air hingga ke hilir, hingga ke muara dan mungkin hingga ke tengah laut.”(SAZZ: 83).

Selain Pandapotan, Tiurma juga mengalami konflik sosial dengan masyarakat desa di pinggirang Sungai Aek Godang. Berikut penggalan ceritanya:

Sejak saat itu pula warga yang bermukim di desa sekitar Sungai Aek Godang itu memandang Tiur amat sinis. Tiur dianggap ikut bersekongkol dengan suaminya dan dikucilkan masyarakat. Dimana saja, pasti terlihat wajah-wajah sinis yang memandangnya. Bahkan banyak kenalan dan handai tolan yang tidak menyahut atau berpaling dan menghindar ketika Tiur menyapanya.

“Giotna disumbayang hajat kon do alai sude na mombaen na so pade di Mandailing on!” Itulah hujatan para tetangga yang ditujukan kepada Tiurma yang maknanya agar yang berbuat tidak baik di kawasan Madina mendapat murka Tuhan (SAZZ: 83-84).

Cerita di atas menggambarkan bagaimana masyarakat desa tersebut menghujat serta menjauhi Tiurma. Tiurma adalah isteri Pandapotan sehingga mereka mengangap Tiurma bersekongkol dengan Pandapotan untuk membakar traktor milik Haji Sulaiman.Setelah kejadian itu, Tiurma menjual seluruh perhiasan miliknya kemudian ia memilih untuk pindah ke desa lain dan memilih untuk tinggal di sebuah desa di kaki bukit.


(41)

4.2 Penyebab Terjadinya Konflik Sosial dalam Novel Seteguk Air Zam-Zam Karya Maulana Syamsuri

Konflik tidak dapat terjadi begitu saja tanpa adanya penyebab. Terjadinya sebuah konflik dapat disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya dengan adanya perbedaan antaranggota masyarakat. Perbedaan antaranggota masyarakat, yaitu perbedaan baik secara fisik maupun mental, atau perbedaan kemampuan, pendirian, dan perasaan sehingga mampu menimbulkan pertikaian atau bentrokan antara mereka (Ahmadi, 2007: 291).

Setiadi dan Kolip (2011) dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sosiologi, menyatakan bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya konflik sosial adalah adanya perbedaanantar-individu. Perbedaan antar-individu di antaranya yaitu perbedaan pendapat, tujuan, keinginan, dan pendirian tentang objek yang dipertentangkan. Dalam realitas sosial tidak ada satu pun individu yang memiliki karakter yang sama sehingga perbedaan karakter tersebutlah yang memengaruhi timbulnya konflik sosial.

Dalam sebuah novel, terdapat beberapa tokoh cerita. Masing-masing tokoh memiliki karakter yang berbeda, selain karakter yang berbeda-beda, setiap tokoh cerita juga memiliki kemampuan, tujuan, keinginan, serta pendapat yang berbeda-beda pula. Perberbeda-bedaan-perberbeda-bedaan tersebut dapat menimbulkan terjadinya konflik antara satu tokoh dengan tokoh yang lain.

Di dalam novel Seteguk Air Zam-Zam terdapat beberapa konflik sosial yang terjadi antara satu tokoh dengan tokoh yang lain dan antara tokoh dengan lingkungannya. Terjadinya konflik sosial tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu


(42)

A. Perbedaan Pendapat

Konflik dalam kehidupan sosial berarti benturan kepentingan, pendapat, keinginan, tujuan, dan bahkan emosi sesaat yang dialami oleh seseorang juga dapat memicu terjadinya konflik sosial. Dalam novel, setiap tokoh memiliki pendapat atau pandangan yang berbeda-beda mengenai suatu hal karena setiap tokoh ditampilkan dengan karakter yang berbeda.

Terjadinya konflik sosialyang disebabkanadanya perbedaan pendapat tergambar pada konflik sosial yang terjadi antara tokoh Nauli dengan Lindung. Perbedaan pendapat mereka mengenai keahlian seorang dokter dengan seorang dukun. Tokoh Nauli lebih mempercayai keahlian seorang dokter dalam menganalisa dan menyembuhkan penyakit sedangkan tokoh Lindung sama sekali tidak mempercayai keahlian seorang dokter. Lindung lebih mempercayai keahlian seorang dukun. Perbedaan pendapat antara Nauli dan Lindung megenai keahlian seorang dokter dan seorang dukun juga dapat dilihat pada penggalan cerita berikut:

“Senin depan aku harus ke dokter lagi!,” cetusnya sebelum sampai ke rumah.

“Untuk apa?”

“Untuk apa lagi kalau tidak untuk memohon bantuan dokter ahli itu?”

“Tidak usah!. Berobat ke dokter itu sama saja dengan membuang uang ke sungai,” Bang Lindung mencegah.

“Kenapa membuang uang?. Bukankah dokter itu seorang ahli?” “Sudah lima kali kita membuang uang, hasilnya tetap kosong!” “Lalu apa yang harus kita lakukan?. Kita akan seperti ini terus?. Mendatangi orang pintar lagikah?. Dukun mana lagi yang akan kita datangi?.”


(43)

Cerita di atas menggambarkan adanya perbedaan pendapat antara Nauli dengan Lindung. Lindung beranggapan bahwa melakukan pengobatan dengan dokter ahli merupakan perbuatan yang sia-sia. Ia tetap memaksakan kehendaknya kepada Nauli untuk melakukan pengobatan dengan meminta bantuan kepada seorang dukun.

B. Perselingkuhan

Perselingkuhan merupakan penyebab lain yang dapat menimbulkan terjadinya konflik sosial. Di dalam rumah tangga, keharmonisan yang tercipta antara suami dengan isteri adalah faktor yang sangat penting. Apabila di antara salah satunya, baik itu suami ataupun isteri ada yang melakukan tindakan yang tidak dapat diterima oleh salah satu pihak, maka akan menimbulkan konflik di antara keduanya. Salah satu tindakan yang tidak dapat diterima oleh seseorang yang sudah memiliki pasangan adalah perselingkuhan. Seorang isteri akan marah dan tidak akan bisa menerima apabila suaminya berselingkuh dengan wanita lain, begitu juga sebaliknya. Tindakan tersebut dapat menyebabkan keretakan dalam rumah tangga.

Konflik sosial yang disebabkan dengan adanya perselingkuhan dalam novel

Seteguk Air Zam-Zamtergambar pada konflik sosial yang terjadi antara tokoh Lindung dengan Nauli. Pada penggalan cerita tersebut Nauli tergambar kemarahan Nauli ketika mengetahui suaminya yang bernama Lindung berselingkuh dengan seorang janda bernama Tiurma yang merupakan pendatang baru di desa mereka. Berikut penggalan ceritanya:


(44)

“Mulai hari ini tidak ada lagi kopi hangat!” “Bah!. Kenapa?. Kenapa?.”

“Seorang isteri yang hatinya hancur tidak akan dapat membuatkan kopi hangat lagi untuk suaminya.” Suara Nauli tinggi.

“Bah!. Kenapa begitu?”

“Tanya dirimu sendiri, pasti Bang Lindung tahu jawabnya!”

“Demi Tuhan, aku tidak tahu, Nauli. Adakah sesuatu yang sangat menyakitkan hatimu hari ini?”

“Ya!, ada!. Perempuan yang ada di mobil Bang Lindung siang tadi. Itulah yang menghancurkan hatiku. Orang menyebutnya pendatang dan pemilik warung sembako. Aku sudah tahu!”....

“Tidak usah sentuh lagi kalau memang sudah ada niat di hati Bang Lindung untuk kawin dengan orang lain.”

“Maafkan aku, Nauli. Kalau aku harus menikah lagi karena banyak famili memang menghendaki aku punya keturunan.”

“Lalu banyak famili juga meminta agar aku dilemparkan ke sungai sebagai benda busuk?”

“Tidak!. Kau tetap sebagai isteriku, Nauli. Aku tetap cinta kepadamu. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.”

“Tidak mungkin!”

“Kenapa tidak mungkin?. Kita sudah hidup bersama hampir sepuluh tahun sebagai suami isteri dan tidak pernah ada gempa dahsyat. Aku sudah tahu benar pribadimu, kesetiaanmu, kasih sayangmu. Tapi aku sungguh sangat ingin punya anak. Hanya keturunan!. Yang kucari tidak lebih dari itu.”

Bu Nauli menangis lagi.

“Demi Tuhan, aku bersumpah, kau tetap isteriku yang kucintai. Aku akan selalu berada di sisimu.”

“Lalu setelah lahir seorang anak dari rahim perempuan itu lambat laun aku akan terbuang, bukan?”

“Demi Tuhan, tidak!”(SAZZ: 65-66).

Terjadinya konflik sosial yang disebabkan oleh perselingkuhan juga terlihat pada konflik sosial yang terjadi pada tokoh Lindung dan Tiurma.

Wajah itu tampak tegang. Dia amat marah. Ingin rasanya dia menampar wajah Tiurma. Ingin rasanya dia menarikkan rambutnya lalu menghempaskannya ke tanah. Bahkan ingin rasanya lelaki itu mencekik batang lehernya. Seorang isteri yang melayani lelaki lain, pasti pantas mati!....

“Maafkan aku, Bang Lindung!. Ampuni aku!,” Tiur menghiba dan berusaha mencium kaki lelaki itu.

“Aku sudah tahu apa yang terjadi!. Aku sudah tahu rumah ini penuh dosa. Rumah ini penuh noda!,” suara lelaki itu menggelegar dan melangkah pergi. “Aku tidak akan pernah menginjakkan kaki di rumah yang penuh dosa.”


(45)

“Jangan pergi, Bang Lindung!. Jangan pergi!.” Tangis Tiurma berderai-derai dan mencegah Bang Lindung agar tidak meninggalkannya. Tapi lelaki itu tidak peduli.

“Demi Tuhan, aku tidak kembali ke rumah ini lagi!,” lelaki itu melangkah ke arah mobilnya dan tidak sekali pun menoleh lagi (SAZZ: 151-152).

Cerita di atas menggambarkan kemarahan Lindungkepada Tiurma saat mengetahui isteri keduanya itu berselingkuh dengan mantan suaminya. Tiurma yang sudah menikah dengan Lindung tergoda dengan rayuan Pandapotan mantan suaminya yang pada suatu malam datang menemuinya. Terjadilah hubungan intim antara Tiurma dan Pandapotanpada malam itu hingga menyebabkan Tiurma Hamil.

“Banyak kata-kata rayuan yang diucapkan lelaki itu dan juga belaiannya masih perkasa seperti itu. itulah yang membuat sebuah benteng yang amat kokoh akhirnya roboh. Bujuk rayu dan sentuhan lelaki itu membuat Tiurma harus pasrah. Ia tidak berdaya ketika lelaki itu melepas dasternya. Hubungan teramat intiem itu pun akhirnya terjadi di malam yang kelam, sepi dan dingin. Angin yang berhembus terasa semakin dingin”(SAZZ: 102-103).

Lindung yang tidak mengetahui kejadian itu merasa bahagia setelah mengetahui Tiurma hamil karena selama ini ia sangat menginginkan seorang anak. Lindung mengira bahwa anak yang dikandung oleh Tiurma adalah benihnya. Hingga pada suatu pagi saat ia kembali ke rumah Tiurma, ia dikejutkan dengan perkataan Pandapotan yangmengatakan bahwa anak itu adalah anaknya, darah dagingnya. Lindung yang mendengar perkataan Pandapotan sangat marah. Terjadilah konflik antara Lindung dan Tiurma. Ia tidak menghiraukan Tiurma yang bersujud memohon ampun kepadanya. Ia tetap meninggalkan Tiurma dan tidak ingin kembali lagi ke rumah itu.


(46)

C.Keuangan

Masalah keuangan juga dapat memicu terjadinya konflik sosial. Setiap manusia pasti memerlukan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya apalagi jika seseorang tidak memiliki pekerjaan, maka sangat sulit untuk mendapatkan uang. Kebutuhan yang semakin meningkat membuat setiap orang berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan uang. Adakalanya, demi mendapatkan uang seseorang rela melakukan berbagai cara, tidak peduli cara itu baik atau tidak.

Konflik sosial yang disebabkan oleh masalah keuangan dalam novel Seteguk Air Zam-Zamtergambar pada konflik sosial yang terjadi antara tokoh Tiurma dengan Pandapotan. Ketiga bentuk konflik sosial yang terjadi pada tokoh Tiurma dengan Pandapotan disebabkan oleh masalah keuangan. Tokoh Pandapotan yang menjadi buronan polisi harus hidup menyamar menjadi pengemis dan berpindah-pindah tempat. Sehingga ia kesulitan untuk makan dan pergi dari desa itu. Pandapotan sering mendatangi Tiurma untuk meminta uang. Pandapotan selalu meminta uang yang banyak. Terkadang ia tidak segan-segan mengancam Tiurma bahkan sampai merampas dompet milik Tiurma demi mendapatkan uang.

“Jangan ambil semua uang itu, Bang Dapot1. Jangan ambil semua!,” Tiurma berusaha untuk meminta kembali dompet itu.

“Aku butuh uang, Tiur!. Kau harus sadar, aku butuh uang. Tanpa uang aku akan mati kelaparan.” Tukas lelaki itu dan bersiap-siap untuk melangkah pergi.

“tapi uang itu untuk modal.” Tiurma berusaha merebut dompet itu dari tangan Bang Dapot, tapi sia-sia. “Warung ini akan bangkrut kalau Bang Dapot mengambilnya.”(SAZZ: 146).

Konflik sosial yang disebabkan oleh masalah keuangan selain yang terjadi pada tokoh Tiurma dengan Pandapotan juga terjadi pada tokoh Pandapotan dengan masyarakat desa dipinggiran Sungai Aek Godang. Pandapotan merasa


(47)

bahwa dengan adanya traktor milik Haji Sulaiman, makadapat mematikan matapencahariannya. Masyarakat desa tersebut lebih memilih menyewa traktor milik Haji Sulaiman untuk membajak sawah mereka daripada menyewa sapi-sapi miliknya sehingga penghasilannya pun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup ketiga isterinya. Pandapotan dengan emosinya mengatakan bahwa adanya traktor itu lah yang menyebabkan ia jatuh melarat.

“Traktor itulah yang menyebabkan aku jatuh melarat. Traktor itu harus dibakar!. Traktor itu harus jadi abu!,” gerutu Bang Dapot ketika keluar dari rumah Tiur dengan membawa bensin dan korek api”.(SAZZ: 81).

Kemarahan Pandapotan ditunjukkan dengan membakar traktor itu sehingga mengundang kemarahan masyarakat desa dan kemudian terjadilah konflik antara Pandapotan dengan masyarakat desa tersebut.

D.Keturunan

Keluarga adalah suatu kesatuan sosial yang terkecil yang terdiri atas suami dengan isteri dan jika ada anak-anak dan didahului oleh perkawinan. Dari pengertian tersebut berarti ketiadaan anak tidaklah menggugurkan status keluarga, jadi faktor anak bukanlah faktor mutlak untuk terwujudnya suatu keluarga. Suatu keluarga yang kebetulan tidak dikaruniai anak, tetap mempunyai status sebagai keluarga. Atau dengan kata lain keluarga itu tetap berhak menyebut dirinya sebagai keluarga. Bukan berarti bahwa ketiadaan anak lalu menggugurkan ikatan keluarga. Memang salah satu faktor mengapa individu itu membentuk keluarga adalah mengharapkan anak atau keturunan. Tetapi itu bukan satu-satunya faktor yang menentukan (Ahmadi, 2007: 224).


(48)

Masalah keturunan juga mampu memicu terjadinya konflik sosial terutama bagi suku Mandailing. Bagi suku Mandailing, anak adalah hal yang sangat penting guna melanjutkan keturunan. Apabila seorang isteri tidak dapat memberikan keturunan, maka suami diperbolehkan untuk menikah lagi. Konflik sosial yang disebabkan oleh masalah keturunan dalam novel Seteguk Air Zam-Zamtergambar pada konflik sosial yang terjadi antara tokoh Nauli dengan keluarga suaminya. Berikut penggalan ceritanya:

“Carilah seorang gadis yang benar-benar subur, Lindung!,” kata-kata itu pernah terngiang di telingan Bu Nauli yang diucapkan Inang Boru.

“Kawin sekali lagi juga tidak ada salahnya, Lindung. sebab Nauli tidak mampu memberimu keturunan. Anak dalam keluarga dari suku Mandailing sangat penting artinya,” ucapan Inang Tua benar-benar menyakitkan hati Bu Nauli.

“Siapa yang akan melanjutkan keturunanmu kalau kau tidak punya anak seorang pun?.”

“Bagimu untuk kawin sekali lagi tidak terlalu susah, sebab kau punya mata pencaharian dan siterimu Nauli punya gaji tetap. Dia tidak akan kelaparan meskipun kau menikah lagi.” kata-kata yang diucapkan Nan Tulang Naposo lebih menyakitkan lagi. terkadang Bu Nauli menitikkan air mata karena kata-kata itu.

Kalau sudah berkumpul dengan keluarga dan kerabat ketika mengahadiri acara Marbokkot bagas atau Mangadati Namaninggal suara-suara sumbang yang sangat menggores hati selalu terdengar. Bu Nauli hanya mampu mengusap dada (SAZZ: 52).

“Memang nasib Nauli untuk selamanya tidak punya anak!,” ujar salah seorang kerabat.

“Nauli memang bukan seorang ibu yang pintar merawat anak,” itulah komentar yang amat menyakitkan hati.

“andainya anak itu tetap diasuh ibu kandungnya, pasti umurnya masih panjang,” sambung famili yang lain.

“Nauli memang bukan seorang ibu yang tangannya dingin dalam mengasuh anak,” itulah komentar salah seorang kerabat dari suaminya.

“Kalau tahu ibu kandungnya bahwa anak itu akan meninggal di tangan Nauli, pasti tidak mengizinkan anak itu diambil sebagai anak angkat.”

“Sekarang tidak ada alasan lagi bagi Lindung untuk mencari seorang isteri yang benar-benar dapat memberikan keturunan!,” itulah kata-kata yang amat menyakitkan dan sekaligus seperti beling tajam yang menggores relung hati Bu Nauli.


(49)

“Lalu bagaimana dengan Bu Nauli?”

“Dia tidak akan terlantar karena punya gaji yang cukup untuk menghidupi dirinya.”

“Kalau Lindung mau, biar kami yang akan mencarikan seorang gadis yang benar-benar subur. Mau lulusan pesantren juga ada. Ingat Habibah yang baru lulus dari pesantren Mustafawiyah?. Dia cantik, putih, pintar memasak dans ekarang jadi guru mengaji. Gadis itu pasti pas dan tepat untuk Lindung!,” ujar salah seorang famili yang bermukim di Muara Soma.

Tangis Bu Nauli tidak hanya karena kehilangan seorang bocah yang pernah diasuhnya dan kini menghadap Tuhan, tapi karena banyak famili dari suaminya yang menganjurkan agar Bang Lindung menikah lagi (SAZZ: 56-57).

Usia perkawinan Nauli dengan Lindung sudah menginjak delapan tahun tetapi Nauli belum juga dapat memberikan keturunan. Hal tersebut membuat keluarga Lindung tidak suka kepada Nauli apalagi ketika anak yang diangkat oleh Nauli dan Lindung dari salah satu kerabatnya meninggal dunia. Keluarga Lindung menganggap bahwa Nauli adalah penyebab meninggalnya anak itu. Keluarga Lindung pun semakin gencar menyarankan Lindung untuk menikah lagi dan meninggalkan Nauli. Nauli yang senantiasa mendengarkan hujatan dari keluarga suaminya itu merasa sakit hati tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.


(50)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya yaitu analisis bentuk-bentuk konflik sosial serta penyebab terjadinya konflik sosial pada novel Seteguk Air Zam-Zam karya Maulana Syamsuri, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Bentuk-bentuk konflik sosial yang terdapat dalam novel Seteguk Air Zam-Zam adalah konflik antarpribadi. Konflik antarpribadi tersebut kemudian dibagi menjadi tiga bagian yaitu konflik sosial antartokoh yang meliput i konflik sosial antara tokoh Nauli dengan Lindung, tokoh Tiurma dengan Pandapotan, dan tokoh Tiurma dengan Lindung. Kemudian konflik sosial antara tokoh dengan lingkungan keluarga yang meliputi konflik sosial antara tokoh Nauli dengan Keluarga suaminya. Dan konflik sosial antara tokoh dengan lingkungan masyarakat yang meliputi konflik sosial antara tokoh Pandapotan dan Tiurma dengan masyarakat desa dekat pinggiran Sungan Aek Godang.

2. Dalam novel Seteguk Air Zam-Zam terdapat empat penyebab terjadinya konflik sosial yaitu adanya perbedaan pendapat, perselingkuhan, keuangan, dan keturunan.


(51)

5.2 Saran

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih memerlukan penelusuran lanjutan untuk dapat memahami bentuk-bentuk serta penyebab terjadinya konflik sosial yang ditinjau dari segi sosiologi sastra. Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dalam memahami novel Seteguk Air Zam-Zam.

Adapun saran:

1. Untuk penelitian selanjutnya disarankan dapat mencoba mempergunakan tinjauan yang berbeda seperti psikologi sastra agar dapat melihat bagaimana konflik batin yang dialami oleh tokoh utama. 2. Untuk pembaca novel diharapkan menambah pengetahuan mengenai

bentuk-bentuk serta penyebab terjadinya konflik sosial yang terdapat dalam novel Seteguk Air Zam-Zam agar dalam memahami novel tersebut tidak hanya semata-mata sebagai karya fiksi karena ada banyak hal yang dapat dianalisis dari novel tersebut.


(52)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, H. Abu. 2007. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta

Endraswara, Suwardi.2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: MediaPressindo.

G. Pruitt, Dean dan Z. Rubin, Jeffery.2004. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: PustakaPelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Narwoko, J. Dwi dan Suyanto, Bagong. 2004. Sosiologi: Teks Pengantar danTerapan. Jakarta: Kencana

Nurgiyantoro, Burhan. 1994. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah MadaUniversity Press.

Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.

Syamsuri, Maulana. 2005. Seteguk Air Zam-Zam. Bogor: Sastra Novela. Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sihotang, Amraini. 2007. Skripsinya Analisis Konflik Sosial Dalam Novel Mawara’a al-nahri “Kesaksian Sang Penyair” (Pendekatan Sosiologi Sastra).USU.

Susan, Novri. 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer.

Jakarta:Kencana.

Setiadi, Elly M dan Kolip, Usman. 2011. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Kencana. Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo.

Internet:

Frannsvela, Vela. 2012. “Materi Konflik Sosial”

Harizadika, F., Nasution, B., Nasution, I. 2012.“Konflik Sosial dalam KumpulanCerpen Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu”.

. Diakses. 7 April 2014.


(53)

Nurudin. 2013. “Novel Working Woman Karya Ita Sembiring: Analisis Tema,Penokohan, dan Nilai Pendidikan”.

S.N, Irene. 2011. “Novel Seteguk Air Zam-Zam Karya Maulana

Syamsuri:TinjauanStrukturalisme Genetik”

(online)

Diakses Tanggal 5 Maret 2014.

.


(54)

LAMPIRAN

Sinopsis Cerita

Novel Seteguk Air Zam-Zam menceritakan tentang perjalanan hidup Nauli. Nauli adalah seorang guru SD yang mengajar dan bermukim di kaki bukit Mandailing. Nauli adalah seorang guru yang sangat sabar, penuh dedikasi, loyal pada dunia pendidikan, dan tidak pernah menuntut gaji istimewa. Nauli sangat gemar dengan mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Ia melatih anak-anak siswa SD itu dalam membawakan sajak-sajak karya Willem Iskander yang sangat terkenal di bumi Mandailing. Murid-murid SD itu sangat menyukai dan menyayangi Nauli.

Nauli memiliki suami yang bernama Lindung. Lindung adalah seorang pria bertubuh tegar, kulitnya hitam legam, tetapi memiliki sikap yang lembut terhadap isterinya. Sudah lebih delapan tahun usia perkawinanya dengan Lindung tetapi belum ada tanda-tanda kehamilannya. Meskipun begitu, Lindung tetap mencintai Nauli. Baik Lindung maupun Nauli tetap sabar menunggu kehadiran sang buah hati. Mereka berusaha menempuh pengobatan medis maupun dengan mendatangi orang pintar. Lindung sendiri lebih percaya kepada orang pintar daripada dokter. Kerinduan Nauli atas kehadiran seorang bayi yang lahir dari rahimnya terkadang membuatnya sering termenung. Dari pihak keluarga ada yang selalu memberikan semangat dan dorongan dengan memberikan saran untuk terus berobat seperti mendatangi orang pintar yang letaknya cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Ada juga pihak keluarga yang menyarankan agar Lindung menikah lagi karena


(55)

terkadang membuat Nauli sedih. Meskipun begitu Ia tetap tabah dan sabar ketika mendengarkan keluh kesah keluarga suaminya itu. Pernah suatu saat, ketika mereka sedang dalam perjalanan menuju kediaman orang pintar yang dianggap mampu untuk membantu mereka dalam memperoleh keturunan, Nauli menyarankan kepada Lindung untuk menikah lagi. Tetapi saran itu ditolak oleh Lindung dengan sebuah pengakuan bahwa Ia sangat mencintai Nauli dan tidak akan pernah meninggalkannya apalagi harus menikah lagi. Mendengar kata-kata suaminya itu membuat Nauli tenang dan lebih bersabar lagi. Karena pengobatan medis maupun dari beberapa orang pintar tidak membuahkan hasil akhirnya mereka sepakat untuk mengambil anak dari salah satu keluarga mereka.

Kehadiran Tagor di tengah-tengah mereka membuat hari-hari Nauli dan Lindung menjadi lebih berwarna. Akan tetapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Tagor yang sudah mulai berjalan dan pandai berbicara meninggal dunia akibat terserang penyakit demam berdarah. Kematian Tagor memberikan kesedihan yang mendalam bagi Nauli. Apalagi dengan kematian anak angkatnya itu keluarga Lindung semakin mendesak agar suaminya itu mau menikah lagi.

Lindung akhirnya menikahi Tiurma, seorang janda yang selalu menyewa mobilnya untuk mengangkut barang belanjaan warungnya. Tiurma mengaku bahwa suaminya terdahulu yang biasa dipanggil Pandapotan telah meninggal dunia. Tanpa disangka suatu malam ketika Lindung berada di rumah Nauli Pandapotan mendatangi Tiurma, hingga terjadi perbuatan yang akhirnya membuat Tiurma hamil. Lindung yang tidak mengetahui hal itu merasakan kebahagiaan yang luar biasa karena Ia menganggap bahwa anak yang dikandung Tiurma adalah


(1)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya yaitu analisis bentuk-bentuk konflik sosial serta penyebab terjadinya konflik sosial pada novel Seteguk Air Zam-Zam karya Maulana Syamsuri, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Bentuk-bentuk konflik sosial yang terdapat dalam novel Seteguk Air Zam-Zam adalah konflik antarpribadi. Konflik antarpribadi tersebut kemudian dibagi menjadi tiga bagian yaitu konflik sosial antartokoh yang meliput i konflik sosial antara tokoh Nauli dengan Lindung, tokoh Tiurma dengan Pandapotan, dan tokoh Tiurma dengan Lindung. Kemudian konflik sosial antara tokoh dengan lingkungan keluarga yang meliputi konflik sosial antara tokoh Nauli dengan Keluarga suaminya. Dan konflik sosial antara tokoh dengan lingkungan masyarakat yang meliputi konflik sosial antara tokoh Pandapotan dan Tiurma dengan masyarakat desa dekat pinggiran Sungan Aek Godang.

2. Dalam novel Seteguk Air Zam-Zam terdapat empat penyebab terjadinya konflik sosial yaitu adanya perbedaan pendapat, perselingkuhan, keuangan, dan keturunan.


(2)

5.2 Saran

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih memerlukan penelusuran lanjutan untuk dapat memahami bentuk-bentuk serta penyebab terjadinya konflik sosial yang ditinjau dari segi sosiologi sastra. Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dalam memahami novel Seteguk Air Zam-Zam.

Adapun saran:

1. Untuk penelitian selanjutnya disarankan dapat mencoba mempergunakan tinjauan yang berbeda seperti psikologi sastra agar dapat melihat bagaimana konflik batin yang dialami oleh tokoh utama. 2. Untuk pembaca novel diharapkan menambah pengetahuan mengenai

bentuk-bentuk serta penyebab terjadinya konflik sosial yang terdapat dalam novel Seteguk Air Zam-Zam agar dalam memahami novel tersebut tidak hanya semata-mata sebagai karya fiksi karena ada banyak hal yang dapat dianalisis dari novel tersebut.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, H. Abu. 2007. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta

Endraswara, Suwardi.2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: MediaPressindo.

G. Pruitt, Dean dan Z. Rubin, Jeffery.2004. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: PustakaPelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Narwoko, J. Dwi dan Suyanto, Bagong. 2004. Sosiologi: Teks Pengantar danTerapan. Jakarta: Kencana

Nurgiyantoro, Burhan. 1994. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah MadaUniversity Press.

Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.

Syamsuri, Maulana. 2005. Seteguk Air Zam-Zam. Bogor: Sastra Novela. Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sihotang, Amraini. 2007. Skripsinya Analisis Konflik Sosial Dalam Novel Mawara’a al-nahri “Kesaksian Sang Penyair” (Pendekatan Sosiologi Sastra).USU.

Susan, Novri. 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer.

Jakarta:Kencana.

Setiadi, Elly M dan Kolip, Usman. 2011. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Kencana. Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo.

Internet:

Frannsvela, Vela. 2012. “Materi Konflik Sosial”

Harizadika, F., Nasution, B., Nasution, I. 2012.“Konflik Sosial dalam KumpulanCerpen Perempuan Bawang dan Lelaki


(4)

Nurudin. 2013. “Novel Working Woman Karya Ita Sembiring: Analisis Tema,Penokohan, dan Nilai Pendidikan”.

S.N, Irene. 2011. “Novel Seteguk Air Zam-Zam Karya Maulana

Syamsuri:TinjauanStrukturalisme Genetik”

(online)

Diakses Tanggal 5 Maret 2014.

.


(5)

LAMPIRAN

Sinopsis Cerita

Novel Seteguk Air Zam-Zam menceritakan tentang perjalanan hidup Nauli. Nauli adalah seorang guru SD yang mengajar dan bermukim di kaki bukit Mandailing. Nauli adalah seorang guru yang sangat sabar, penuh dedikasi, loyal pada dunia pendidikan, dan tidak pernah menuntut gaji istimewa. Nauli sangat gemar dengan mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Ia melatih anak-anak siswa SD itu dalam membawakan sajak-sajak karya Willem Iskander yang sangat terkenal di bumi Mandailing. Murid-murid SD itu sangat menyukai dan menyayangi Nauli.

Nauli memiliki suami yang bernama Lindung. Lindung adalah seorang pria bertubuh tegar, kulitnya hitam legam, tetapi memiliki sikap yang lembut terhadap isterinya. Sudah lebih delapan tahun usia perkawinanya dengan Lindung tetapi belum ada tanda-tanda kehamilannya. Meskipun begitu, Lindung tetap mencintai Nauli. Baik Lindung maupun Nauli tetap sabar menunggu kehadiran sang buah hati. Mereka berusaha menempuh pengobatan medis maupun dengan mendatangi orang pintar. Lindung sendiri lebih percaya kepada orang pintar daripada dokter. Kerinduan Nauli atas kehadiran seorang bayi yang lahir dari rahimnya terkadang membuatnya sering termenung. Dari pihak keluarga ada yang selalu memberikan semangat dan dorongan dengan memberikan saran untuk terus berobat seperti mendatangi orang pintar yang letaknya cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Ada juga pihak keluarga yang menyarankan agar Lindung menikah lagi karena


(6)

terkadang membuat Nauli sedih. Meskipun begitu Ia tetap tabah dan sabar ketika mendengarkan keluh kesah keluarga suaminya itu. Pernah suatu saat, ketika mereka sedang dalam perjalanan menuju kediaman orang pintar yang dianggap mampu untuk membantu mereka dalam memperoleh keturunan, Nauli menyarankan kepada Lindung untuk menikah lagi. Tetapi saran itu ditolak oleh Lindung dengan sebuah pengakuan bahwa Ia sangat mencintai Nauli dan tidak akan pernah meninggalkannya apalagi harus menikah lagi. Mendengar kata-kata suaminya itu membuat Nauli tenang dan lebih bersabar lagi. Karena pengobatan medis maupun dari beberapa orang pintar tidak membuahkan hasil akhirnya mereka sepakat untuk mengambil anak dari salah satu keluarga mereka.

Kehadiran Tagor di tengah-tengah mereka membuat hari-hari Nauli dan Lindung menjadi lebih berwarna. Akan tetapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Tagor yang sudah mulai berjalan dan pandai berbicara meninggal dunia akibat terserang penyakit demam berdarah. Kematian Tagor memberikan kesedihan yang mendalam bagi Nauli. Apalagi dengan kematian anak angkatnya itu keluarga Lindung semakin mendesak agar suaminya itu mau menikah lagi.

Lindung akhirnya menikahi Tiurma, seorang janda yang selalu menyewa mobilnya untuk mengangkut barang belanjaan warungnya. Tiurma mengaku bahwa suaminya terdahulu yang biasa dipanggil Pandapotan telah meninggal dunia. Tanpa disangka suatu malam ketika Lindung berada di rumah Nauli Pandapotan mendatangi Tiurma, hingga terjadi perbuatan yang akhirnya membuat Tiurma hamil. Lindung yang tidak mengetahui hal itu merasakan kebahagiaan yang luar biasa karena Ia menganggap bahwa anak yang dikandung Tiurma adalah