Novel Seteguk Air Zam-Zam Karya Maulana Syamsuri: Tinjauan Strukturalisme Genetik

(1)

NOVEL SETEGUK AIR ZAM-ZAM KARYA MAULANA SYAMSURI:

TINJAUAN STRUKTURALISME GENETIK

SKRIPSI IRENE S. N.

070701036

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

NOVEL

SETEGUK AIR ZAM-ZAM

KARYA MAULANA

SYAMSURI: TINJAUAN STRUKTURALISME GENETIK

OLEH

IRENE S. N.

070701036

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana

dan telah disetujui oleh

Pembimbing I,

Pembimbing II,

Drs. Irwansyah, S. U.

Dra. Yulizar Yunas, M. Hum.

NIP. 195304251983031002

NIP. 195004111981022001

Departemen Sastra Indonesia

Ketua,

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.

NIP. 196209251989031017


(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau teori yang pernah ditulis oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, November 2011

Penulis,


(4)

KATA PENGANTAR

Penulis terlebih dahulu mengucapkan kepada Tuhan yang Mahakuasa karena berkat dan bimbingan-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi “Novel Seteguk Air Zam-Zam Karya Maulana Syamsuri: Tinjauan

Strukturalisme Genetik” ini disusun karena penulis tertarik dengan kebudayaan yang ditampilkan pengarang dalam novelnya. Masalah-masalah yang diungkapkan dalam skripsi ini berhubungan dengan strukturalisme genetik. Strukturalime gentik mencakup fakta kemanusiaan, subjek kolektif, dan pandangan dunia di dalam novel.

Selama penulisan skripsi ini, penulis mendapat dukungan moril dan material dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

a. Dr. Syahron Lubis, M.A. sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara

b. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. sebagai Ketua Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

c. Drs. Haris Sutan Lubis, sebagai Seketaris Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

d. Drs. Irwansyah, S.U. sebagai pembimbing pertama yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, dan Dra. Yulizar Yunas, M.Hum. sebagai pembimbing kedua yang membantu dalam memperbaiki skripsi ini.

e. Dra. Dardanila, M.Hum sebagai dosen wali yang telah memberikan bimbingan dan nasehat, selama menjalankan perkuliahan.


(5)

f. Maulana Syamsuri sebagai pengarang Novel yang telah membantu dalam memberikan informasi mengenai novel yang diteliti.

g. Ayahanda B. Napitupulu dan Ibunda D. Tampubolon yang telah memberi motivasi, doa, dan membantu memberikan dana untuk menyelesaikan skripsi ini.

h. Seluruh pengajar dan pegawai Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, khususnya staf pegajar Departemen Sastra Indonesia yang memberikan berbagai ilmu dan materi perkuliahan.

i. Teman-teman kampus stambuk 07 terkhusus Pesta, Nani, Hendra, Lutfi, dan Zarima yang memberi motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsinya ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini.

Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca mengenai analisis strukturalisme genetik dalam novel dan juga untuk perkembangan sastra.

Medan, November 2011

Penulis,


(6)

NOVELSETEGUK AIR ZAM-ZAM KARYA MAULANA SYAMSURI: TINJAUAN STRUKTURALISME GENETIK

OLEH IRENE S.N ABSTRAK

Penelitian ini menganalisis strukturalisme genetik pada novel SAZZ Karya Maulana Syamsuri. Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan karya sastra dari segi struktur yang menjelaskan fakta kemanusiaan, subjek kolektif, dan pandangan dunia. Pengumpulan data bersumber dari data primer yaitu novel SAZZ dan data sekunder yaitu buku yang membahas teori strukturalisme genetik. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode deskriptif dan teknik catat. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu fakta kemanusiaan dalam novel

SAZZ dapat ditelusuri dengan cara mengenali setiap gejala kemanusiaan. Gejala ini dapat dikenal dari proses sadar diri manusia akan dirinya. Fakta ini dapat dibagi menjadi dua aspek sesuai dengan kajian yaitu fakta individual dan fakta sosial. Subjek kolektif yang melakukan aktivitas secara kolektif dalam kondisi sosialnya. Subjek ini disebut juga subjek kolektif karena perwujudan dari aspirasi dan aktivitas setiap individu dalam masyarakatnya. Aktivitas manusia dalam subjek ini dapat dibagi menjadi dua yaitu subjek individual dan subjek transindividual. Pandangan dunia menampilkan hasil interaksi subjek kolektif dengan situasi alam sekitar yang menentukan nasib dan masa depan masyarakatnya. Pandangan dunia dalam SAZZ dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu pandangan dunia, manusia, dan Tuhan. Kesadaran yang nyata dan kesadaran yang mungkin dalam memandang dunia, manusia, dan Tuhan.


(7)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN... i

KATA PENGANTAR ... ii

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Batasan Masalah ... 3

1.4 Tujuan dan Manfaat ... 4

1.4.1 Tujuan Penelitian ... 4

1.4.2 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep ... 5

2.1.1 Struktur Karya Sastra ... 5

2.1.2 Strukturalisme Genetik ... 5

2.1.2.1 Fakta Kemanusiaan ... 6

2.1.2.2 Subjek Kolektif ... 6

2.1.2.3 Pandangan Dunia ... 7

2.1.3 Karya Sastra ... 7

2.2 Landasan Teori... 7

3.1.1 Strukturalisme Genetik ... 7


(8)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Metode Pengumpulan Data ... 11

3.1.1 Sinopsis ... 12

3.2 Metode dan Teknik Analisis Data ... 14

BAB IV ANALISIS STRUKTUR TERHADAP NOVEL SETEGUK AIR ZAM-ZAM KARYA MAULANA SYAMSURI 4.1 Tema ... 15

4.2 Tokoh dan Penokohan ... 16

4.3 Alur atau Plot ... 22

4.4 Latar atau Setting ... 24

4.5 Sudut Pandang atau Point of View ... 24

4.6 Gaya Bahasa ... 25

BAB V ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK TERHADAP NOVEL SETEGUK AIR ZAM-ZAM KARYA MAULANA SYAMSURI 5.1 Fakta Kemanusiaan ... 26

5.1.1 Fakta Individual ... 27

5.1.2 Fakta Sosial ... 30

5.2 Subjek Kolektif ... 33

5.2.1 Subjek Individual ... 34

5.2.2 Subjek Transindividual ... 37

5.3 Pandangan Dunia ... 38

5.3.1 Kesadaran yang Nyata ... 39


(9)

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan ... 45 6.2 saran ... 46


(10)

NOVELSETEGUK AIR ZAM-ZAM KARYA MAULANA SYAMSURI: TINJAUAN STRUKTURALISME GENETIK

OLEH IRENE S.N ABSTRAK

Penelitian ini menganalisis strukturalisme genetik pada novel SAZZ Karya Maulana Syamsuri. Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan karya sastra dari segi struktur yang menjelaskan fakta kemanusiaan, subjek kolektif, dan pandangan dunia. Pengumpulan data bersumber dari data primer yaitu novel SAZZ dan data sekunder yaitu buku yang membahas teori strukturalisme genetik. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode deskriptif dan teknik catat. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu fakta kemanusiaan dalam novel

SAZZ dapat ditelusuri dengan cara mengenali setiap gejala kemanusiaan. Gejala ini dapat dikenal dari proses sadar diri manusia akan dirinya. Fakta ini dapat dibagi menjadi dua aspek sesuai dengan kajian yaitu fakta individual dan fakta sosial. Subjek kolektif yang melakukan aktivitas secara kolektif dalam kondisi sosialnya. Subjek ini disebut juga subjek kolektif karena perwujudan dari aspirasi dan aktivitas setiap individu dalam masyarakatnya. Aktivitas manusia dalam subjek ini dapat dibagi menjadi dua yaitu subjek individual dan subjek transindividual. Pandangan dunia menampilkan hasil interaksi subjek kolektif dengan situasi alam sekitar yang menentukan nasib dan masa depan masyarakatnya. Pandangan dunia dalam SAZZ dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu pandangan dunia, manusia, dan Tuhan. Kesadaran yang nyata dan kesadaran yang mungkin dalam memandang dunia, manusia, dan Tuhan.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastra menjadikan masyarakat sebagai objek sastra dalam menampilkan gambaran kehidupan. Maksudnya, sastra dijadikan cermin untuk memberi petunjuk dan menggambarkan kehidupan masyarakat, namun juga cermin balik bagi masyarakat atau subjek kolektif. Sastra mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang-perseorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Wellek dan Austin (1989:109) menyatakan bahwa “sastra “menyajikan kehidupan” dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan dunia subjektif manusia.”

Dalam karya sastra, pengarang berusaha menggambarkan segala peristiwa yang dialami masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Karya sastra juga tidak terlepas dari rekaman peristiwa-peristiwa kebudayaan di dalam hidup manusia, yakni sastra dan kebudayaan memiliki objek yang sama, yaitu manusia dan masyarakat, manusia sebagai fakta sosial, dan manusia sebagai makhluk kultural (Ratna, 2005:14). Hasil realitas sosial menunjukkan karya sastra berakar pada kultur tertentu di dalam lingkungan masyarakat. Keberadaan sastra yang demikian menjadikan ia dapat diposisikan sebagai dokumen sosiobudaya.

Salah satu hasil karya sastra yang diciptakan sastrawan adalah prosa fiksi. Prosa fiksi atau karya fiksi diistilahkan dengan prosa cerita, prosa narasi, narasi, atau cerita berplot. Kisahan atau cerita yang dilakukan oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita (Aminuddin, 1987:66). Dalam penelitian ini, karya sastra yang akan


(12)

diteliti adalah novel.

Novel merupakan jenis prosa yang mengandung unsur tokoh, alur, latar rekaan yang menggelarkan kehidupan manusia atas dasar sudut pandang pengarang dan mengandung nilai hidup, diolah dengan teknik kisahan dan ragaan yang menjadi dasar konvensi penulisan (Zaidan, 2007:136). Novel juga cerita yang menampilkan suatu kejadian luar biasa pada kehidupan pelakunya, yang menyebabkan perubahan sikap hidup atau menentukan nasibnya (Nursisto, 2000:112). Menurut Goldman “novel sebagai cerita mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik (nilai-nilai yang mengorganisasikan dunia novel secara keseluruhan meskipun secara implisit, tidak eksplisit) dan dilakukan oleh seorang hero yang problematik dalam dunia yang juga terdegradasi” (dalam Faruk, 1994:29).

Novel sangat menarik untuk dikaji. Tidak hanya untuk dinikmati, dibaca, dan diapresiasikan, tetapi juga dapat untuk diteliti secara ilmiah. Novel yang akan diteliti adalah novel Seteguk

Air Zam-Zam (SAZZ) karya Maulana Syamsuri. Novel SAZZ merupakan hasil karya Maulana

Syamsuri yang menceritakan masyarakat dan sosiobudaya suku Mandailing Natal (Madina). Novel yang menggambarkan kehidupan masyarakat Mandailing yang dipengaruhi agama khususnya agama Islam. Penceritaan kebudayaan yang luas mengenai suku Madina bertolak belakang dengan latar belakang budaya pengarang. Pengarang yang seorang suku Jawa dan tinggal di Sumatera Utara atau Medan mampu menceritakan masyarakat, budaya, dan juga alam Mandailing. Karena itu, novel SAZZ dijadikan sebagai suatu alat untuk diteliti melalui

suatu pendekatan atau teori. Pendekatan atau teori itu berupa strukturalisme genetik Goldmann.

Strukturalisme genetik merupakan teori atau pendekatan yang lahir sebagai reaksi dari pendekatan strukturalisme murni yang antihistoris dan kausal. Doktrin atau teori mengkaji asal-usul karya sastra yang pengarang dan kenyataan sejarahnya turut mengkondisikan karya sastra saat diciptakan. Dalam teori struturalisme genetik terdapat kategori-kategori yang


(13)

saling membangun. Kategori-kategori itu antara lain, fakta kemanusiaan, subjek kolektif, dan pandangan dunia.

Peneliti meneliti strukturalisme genetik yang terdapat dalam novel SAZZ. Penelitian

mencakup seluruh aspek di dalam novel terutama struktur novel, fakta sosial atau fakta kemanusiaan, masyarakat pemilik kebudayaan yang diceritakan pengarang, dan pandangan pengarang (anggota masyarakat yang terikat pada status sosial tertentu dan secara tidak langsung terlibat dalam karyanya). Keseluruhan aspek itu masih memiliki keterkaitan yang berasal dari satu teori.

Novel SAZZ menjadi penting untuk diteliti karena belum pernah diteliti. Dengan

demikian, novel SAZZ diteliti untuk memberi manfaat kepada pembaca dalam memahami

keseluruhan dari novel berdasarkan subjek kolektif.

Masalah pokok yang dibahas dalam karya ilmiah adalah “Bagaimanakah strukturalisme genetik terhadap novel SAZZ karya Maulana Syamsuri?” Rumusan ini disertai dengan

sejumlah unsur permasalahan, yakni a) struktur karya sastra, yang mencakup tema, alur, latar, dan lain-lain. b) strukturalisme genetik yaitu bentuk fakta kemanusiaan, subjek kolektif, dan pandangan dunia pengarang dalam novel SAZZ.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah struktur yang terdapat dalam novel SAZZ?

2. Bagaimanakah strukturalisme genetik yaitu fakta kemanusiaan, subjek kolektif, dan pandangan dunia pengarang dalam novel SAZZ?

1.3 Batasan Masalah

Masalah dibatasi pada struktur karya sastra, fakta kemanusiaan, subjek kolektif, pandangan dunia pengarang dalam novel SAZZ.


(14)

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan penelitian

Dengan adanya strukturalisme genetik ini, sebuah karya sastra dapat didekonstruksikan atau diuraikan. Penelitan ini bertujuan untuk,

1. Memaparkan struktur karya sastra.

2. Menjelaskan pandangan dunia pengarang, fakta kemanusiaan, dan subjek kolektif melalui pendekatan struktural genetik dalam novel SAZZ karya Maulana Syamsuri.

1.4.2 Manfaat penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah

1. Membantu pembaca memahami karya sastra itu dari segi unsur intrinsik, pandangan dunia pengarang, fakta sosial atau kemanusiaan, dan subjek kolektif.

2. Memperkaya kajian sastra Indonesia khususnya sastra Sumatera Utara yang jarang diteliti.


(15)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Agar peneliti dan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai preposisi-preposisi penelitian, maka harus memiliki konsep-konsep yang jelas. Menurut Malo dkk. (1985:47) “konsep-konsep yang dipakai dalam ilmu sosial walaupun istilah sama dengan yang digunakan sehari-hari, namun makna dan pengertiannya dapat berubah.”

2.1.1 Struktur Karya Sastra

Karya sastra memiliki stuktur. Struktur merupakan susunan, penegasan dan gambaran semua materi serta bagian (elemen) yang menjadi komponen karya sastra dan merupakan kesatuan yang indah dan tepat (Abrams dalam Jabrohim (ed), 2001:167). Struktur karya sastra itu merupakan suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan (Suwondo dalam Jabrohim (ed), 2001:54).

Struktur yang digunakan dalam novel SAZZ adalah unsur-unsur intrinsik. Unsur-unsur

yang secara langsung membangun karya sastra. Mursal Esten (1978:20) mengatakan hal-hal yang berhubungan dengan struktur, seperti tema, alur (plot), latar, tokoh dan penokohan, sudut pandang atau point of view, gaya bahasa dan amanat.

2.1.2 Strukturalisme Genetik

Strukturalisme genetik adalah teori atau pendekatan yang lahir sebagai reaksi dari pendekatan strukturalisme murni yang antihistoris dan kausal. Doktrin atau metode mengkaji asal-usul karya sastra yang pengarang dan kenyataan sejarahnya turut mengondisikan karya sastra saat diciptakan. Strukturalisme genetik menjadi teori yang mampu merekonstruksi


(16)

masyarakat, fakta kemanusiaan atau sosial, pandangan dunia pengarang dan unsur-unsur yang membangun karya sastra seperti tema, alur atau plot, latar atau setting, tokoh dan penokohan,

sudut pandang atau point of view, dan gaya bahasa. Goldmann membangun kategori-kategori

yang saling bertalian satu sama lain. Kategori-kategori itu antara lain:

2.1.2.1 Fakta kemanusiaan

Fakta kemanusiaan atau fakta sosial adalah segala hasil aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun yang fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Fakta itu dapat berwujud aktivitas sosial, politik, maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni musik, seni patung, dan seni sastra. Fakta kemanusiaan dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu fakta individu dan fakta sosial.

2.1.2.2 Subjek kolektif

Subjek kolektif merupakan subjek fakta sosial. Istilah yang diberikan untuk menggantikan istilah masyarakat dalam kajian strukturalisme genetik. Subjek yang mengatasi individu, yang di dalamnya individu hanya merupakan satu kesatuan, satu kolektivitas.

Subjek kolektif dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu subjek individual dan subjek transindividual. Subjek individual merupakan subjek fakta individual yang melakukan aktivitas berdasarkan emosi atau naluri libidinal.

Subjek transindividual adalah subjek yang mengatasi individu, yang di dalamnya individu hanya merupakan bagian dan bukanlah kumpulan individu-individu yang berdiri sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan, satu kolektivitas, misalnya revolusi sosial, politik, ekonomi, dan karya-karya kultural yang besar, merupakan fakta sosial (historis). Individu yang dapat diciptakan dari subjek transindividual.


(17)

semacam itu merupakan hasil aktivitas yang objeknya sekaligus alam semesta dan kelompok manusia (Goldmann dalam Faruk, 1999:15).

2.1.2.3 Pandangan dunia

Pandangan dunia merupakan Istilah yang cocok bagi kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial yang lainnya (Goldmann dalam Faruk, 1999:16 ).

Pandangan dunia ini dibagi berdasarkan kesadaran yang nyata dan kesadaran yang mungkin untuk mengkaji novel SAZZ.

2.1.3 Karya Sastra

Sastra sebagai lembaga sosial yang menggunakan bahasa dalam menampilkan kehidupan masyarakat menghasilkan sebuah karya sastra. Karya sastra adalah hasil ciptaan pengarang untuk menggambarkan segala peristiwa yang dialami masyarakat di dalam kehidupan sehari-hari.

2.2 Landasan Teori

Sebuah penelitian yang bersifat objektif harus memiliki landasan teori. Landasan teori merupakan dasar sebuah penelitian. Landasan teori diharapkan mampu menjadi tumpuan seluruh pembahasan.

2.2.1 Strukturalisme Genetik


(18)

pendekatan strukturalisme murni yang antihistoris dan kausal. Strukturalisme genetik berkembang karena teori struktural murni tidak mampu mengkaji karya sastra di luar karya sastra itu sendiri. Hal itu dikarenakan, strukturalisme murni memiliki kekurangan.

Menurut Teuw (1984:15), strukturalisme murni memiliki 4 kelemahan, yaitu

1. Analisis struktur karya sastra belum merupakan teori sastra, malahan tidak berdasarkan teori sastra yang tepat dan lengkap, bahkan merupakan bahaya untuk mengembangkan teori sastra yang sangat perlu.

2. Karya sastra tidak dapat diteliti secara terasing, tetapi harus dipahami dalam rangka sistem sastra dengan latar belakang sejarah.

3. Adanya struktur yang objektif pada karya sastra makin disangsikan, peranan pembaca selaku pemberi makna dalam interpretasi karya sastra makin ditonjolkan dengan segala konsekuensinya untuk menganalisis struktur.

4. Analisis yang menekankan otonomi karya sastra juga dapat menghilangkan konteks dan fungsinya, sehingga karya sastra itu menaragadingkan dan kehilangan relevansi sosialnya.

Kelemahan-kelemahan strukturalisme murni menjadikan strukturalisme genetik menjadi teori yang mampu merekonstruksi pandangan dunia pengarang dan unsur-unsur yang membangun karya sastra seperti tema, alur atau plot, latar atau setting, tokoh dan penokohan,

sudut pandang atau point of view, dan gaya bahasa.

Strukturalisme genetik bertolak belakang dengan pendekatan struktur lain karena pendekatan lain lebih memusatkan perhatiannya terhadap otonomi sastra sebagai karya fiksi tanpa mengaitkan unsur-unsur lain yang ada di luar struktur signifikansinya. Berbeda pula dengan strukturalisme genetik karena genetik karya sastra adalah asal-usul karya sastra yang pengarang dan kenyataan sejarahnya turut mengkondisikan karya sastra saat diciptakan. Hal inilah yang menjadikan karya itu dapat dikaji secara luas tanpa harus terfokus pada strukturnya saja. Menurut Umar Junus (Jabrohim, 2001:61), “pendekatan strukturalisme genetik Goldmannlah yang paling kuat untuk memberikan tekanan nilai kepada sebuah karya


(19)

sastra yang mempunyai dasar teori yang jelas.”

Goldmann membangun kategori-kategori yang saling bertalian satu sama lain. Kategori-kategori itu adalah fakta kemanusiaan, subjek kolektif, dan pandangan dunia pengarang.

2.3 Tinjauan Pustaka

Suatu penelitian maupun hasil penelitian adalah bagian yang tidak terpisahkan dari unsur-unsur lainnya, baik berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan permasalahan yang sedang dibahas oleh seorang peneliti.

Sebuah karya ilmiah mutlak membutuhkan acuan yang menopang proyek yang sedang dikerjakannya. Sejauh peneliti ketahui, belum ada penelitian yang meneliti novel SAZZ dari

strukturalisme genetik di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Pembicaraan tentang karya sastra yang dibuat oleh Maulana Syamsuri sudah banyak yang membicarakan, tetapi penelitian mengenai novel SAZZ belum ada.

Penelitian mengenai karya-karya Maulana Syamsuri yaitu tesis dari Dra. Keristiana, M.Hum., dengan judul “Representasi Multikultural dalam Novel Pusara Karya Maulana Syamsuri”. Tesis ini membahas representasi multikutural yang ada dalam novel Pusara karya

Maulana Syamsuri. Selain itu, Dr. Ikhwanuddin Nasution dengan judul artikel Retaknya

Identitas Etnik Menuju Suatu Etnisitas (Kajian Pusara, Saman, dan Larung) yang dimuat

dalam situs www.47semiotika.html dalam khasanah kesusastraan Sumatera Utara ini membahas mengenai novel Pusara karya Maulana Syamsuri dari segi representasi identitas

etnik.

Penelitian yang menggunakan kajian strukturalisme genetik juga ada yaitu Rosliani dengan judul Pengkajian Strukturalisme Genetik Terhadap Kumpulan Puisi ‘Luka Dunia

Lukaku’ Karya N.A. Hadian, Dwi Purwitasari dengan judul Novel Mencari Sarang Angin


(20)

digilib.Uns. ac.id/abstrak.pdf.php?d id=1538. Penelitian yang membahas mengenai struktur teks, hubungan novel dengan riwayat hidup pengarang, kondisi sosial historis zamannya, hubungan novel dengan dengan kelompok sosial dan pandangan dunia pengarang, dan genetik dari novel Mencari Sarang Angin Karya Suparto Brata.

Budi Waluyo dengan judul Strukturalisme Genetik Drama Panembahan Reso Karya

W.S. Rendra yang dimuat dalam http://pasca.uns.ac.id/?p=1028. Penelitian ini membahas tentang mendeskripsi pandangan dunia Rendra pada drama Panembahan Reso, menganalisis naskah dari segi struktural dan konflik, menganalisis latar belakang sosial budaya, dan mengungkap pandangan dunia pengarang.

Hal ini membuat peneliti ingin meneliti strukturalisme genetik novel SAZZ agar menjadi


(21)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini dikumpulkan dari Seteguk Air Zam-Zam (novel), yaitu:

Judul novel : Seteguk Air Zam-Zam

Judul asli : ISTIQOMAH

Pengarang : Maulana Syamsuri

Penerbit : Sastra Novela, Anggota IKAPI Tebal buku : 165 halaman

Cetakan : Pertama Tahun terbit : 2005

Warna sampul : Hitam, hijau, dan oranye Desain sampul : Oncot Mulyono – Simpassri

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah membaca heuristik dan hermeneutik. Membaca karya sastra sebagaimana yang dikemukakan oleh Riffaterre (dalam Jabrohim, 2001:12) “dimulai dengan langkah-langkah heuristik, yaitu pembacaan dengan jalan meniti tataran gramatikalnya dari segi mimetisnya dan dilanjutkan dengan pembacaan retroaktif, yaitu bolak-balik sebagaimana yang terjadi pada metode hermeneutik untuk menangkap maknanya.”

Menurut Pradopo (dalam Jabrohim, 2001:84) pembaca heuristik adalah pembaca berdasarkan struktur kebahasaannya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama, yaitu konvensi bahasanya. Pembaca hermeneutik adalah pembaca karya sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya. Pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan


(22)

heuristik dengan memberikan tafsiran berdasarkan konvensi sastranya.

Selain itu, Pradopo (dalam Jabrohim, 2001:84) juga menjelaskan, “Metode membaca heuristik pada cerita rekaan atau novel merupakan pembacaan berdasarkan tata bahasa ceritanya yaitu pembacaan novel dari awal sampai dengan akhir cerita secara berurutan. Cerita yang memiliki alur sorot balik dapat dibaca secara alur lurus. Hal ini dipermudah dengan dibuatnya sinopsis cerita dari novel yang dibaca tersebut. Pembacaan heuristik itu adalah penerangan kepada bagian-bagian cerita secara berurutan.”

3.1.1 Sinopsis

Seorang perempuan soleha yang bernama Bu Nauli mengabdikan hidupnya untuk pendidikan guna mencerdaskan anak-anak bangsa yang bermukim di Desa Lereng Bukit Mandailing Natal. Perjuangannya tidak pernah surut untuk mengajari anak-anak Mandailing yang belum mengenal kehidupan kota. Dia tetap mengajari mereka bernyanyi, membaca, berhitung, dan berpuisi walaupun kehidupannya tidak bahagia. Bu Nauli harus menerima kenyataan bahwa selama 10 tahun perkawinannya dengan Bang Lindung belum dikaruniai seorang anak.

Bu Nauli telah melakukan berbagai cara untuk memperoleh keturunan. Dia mengikuti perintah suami pergi ke Pulau Samosir untuk berobat tradisional. Namun, pengorbanan itu tidak menghasilkan sesuatu.

Bang Lindung dan Bu Nauli terus melakukan usaha untuk memperoleh seorang anak. Tetapi, keinginan mereka belum pernah terkabul hingga suatu hari keluarga besar Bang Lindung menyuruh untuk menikah lagi supaya memperoleh keturunan.

Akibat desakan keluarga Bang Lindung, Bang Lindung menikahi seorang janda yang bernama Tiurma. Tiurma yang baru dikenal Bang Lindung dan memiliki masa lalu kelam dengan suaminya.

Bu Nauli merasa sedih akan pernikahan yang dilakukan Bang Lindung. Dia tidak dapat menerima untuk dimadu, tetapi dia menerima keputusan Bang Lindung untuk menikah lagi. Kesedihan Bu Nauli tidak hanya itu saja. Dia harus mengeluarkan air mata ketika mengetahui


(23)

istri kedua Bang Lindung, Tiurma, hamil. Namun, Bu Nauli tidak mengetahui bahwa anak yang dikandung oleh Tiurma bukan anak dari Bang Lindung, melainkan anak dari Bang Pandapotan, suami pertama Tiurma yang menjadi buronan polisi akibat berkelahi dengan tetangga mereka ketika menjadi suami-istri.

Bu Nauli mulai menerima kenyataan. Dia memohon kepada Sang Ilahi untuk diberi keturunan. Hal itu yang membuat Bu Nauli menunaikan rukun kelima dari agama yaitu menunaikan ibadah haji. Sesampainya dia di sana, dia terus memanjatkan syukurnya kepada Yang Maha Esa dan memohon untuk dikaruniai anak.

Setelah Bu Nauli menuaikan ibadah haji, Bu Nauli membawa pulang air zam-zam. Bu Nauli membawanya untuk memperoleh keturunan. Dia percaya bahwa air zam-zam dapat mengobati segala penyakit.

Bu Nauli sabar menghadapi istri kedua Bang Lindung yang sudah membuat Bang Lindung tidak pernah pulang lagi ke rumah. Dia tetap mau membagi air zam-zam yang diperolehnya dari menunaikan ibadah haji kepada Tiurma karena susah melahirkan.

Suatu hari peritiwa besar mulai terbongkar. Bang Lindung harus menerima kenyataan bahwa suami Tiurma belum meninggal dan anak yang disayanginya bukan anaknya. Hal itulah yang membuat Bang Lindung merasa bersalah kepada Nauli dan meminta maaf kepadanya. Kejadian itu juga yang membuat Bang Lindung menyadari bahwa bukan istrinya yang tidak dapat memberi keturunan, melainkan dia sendiri.

Bang Lindung meninggalkan Tiurma dan meninggalkan segala keburukannya. Dia mulai rajin beribadah dan mejalankan setiap perintah. Melihat hal tersebut, Bu Nauli merasa bahagia. Namun, tidak untuk Tiurma. Tiurma yang dulunya sangat cantik berubah menjadi seseorang yang sangat dikasihani. Tiurma menjadi pengemis karena uang yang dia punya telah diberikannya kepada Bang Pandapotan. Belas kasihan Bu Nauli membuat dia menjadi menyadari akan semua kesalahannya sehingga dia meminta maaf kepada Bu Nauli.


(24)

Akhirnya, Bu Nauli bahagia. Bu Nauli hamil karena meminum air zam-zam yang dibawanya dari ibadah haji. Dia bahagia karena Bang Lindung kembali menyayanginya.

3.1.2 Metode dan Teknik Analisis Data

Metode yang digunakan dalam menganalisis karya sastra adalah metode deskriptif. Menurut Djajasudarma dan Fatimah (1993:8-9), metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan dengan jelas tentang objek yang diteliti secarah alamiah.

Analisis dilakukan dengan langkah-langkah berikut:

1. Penelitian dilakukan dengan membaca data yang telah dikumpulkan untuk memahaminya secara keseluruhan.

2. Penelitian dilakukan dengan mengidenfikasikan dan mengklasifikasikan seluruh data berdasarkan butir masalah.

3. Penelitian dilanjutkan dengan menafsirkan seluruh data untuk menemukan kepaduan dan hubungan antardata, sehingga diperoleh pengetahuan secara utuh tentang makna karya sastra.

Data yang telah terkumpul kemudian diinterpretasikan sehingga terjalin antarstruktur yang saling berkaitan. Hasil yang diperoleh berupa uraian penjelasan penelitian yang bersifat deskriptif.

Selanjutnya, teknik pengkajian data dilakukan dengan teknik catat. Data-data dikaji berdasarkan teori yang digunakan kemudian dicatat sehingga dapat diketahui hasil analisis data.


(25)

BAB IV

ANALISIS STRUKTUR TERHADAP NOVEL

SETEGUK AIR ZAM-ZAM KARYA MAULANA SYAMSURI

4.1 Tema

Tema adalah gagasan, ide, pikiran utama, atau pokok pembicaraan di dalam karya sastra yang dapat dirumuskan dalam kalimat pernyataan. Atar Semi (1988:34) mengatakan, tema itu tercakup persoalan dan tujuan atau amanat pengarang kepada pembaca. Tema yang terdapat dalam Novel Seteguk Air Zam-Zam Karya Maulana Syamsuri yaitu keluarga. Keinginan sebuah keluarga mempunyai seorang anak. Penggambaran pengarang terhadap tokoh Bang Lindung sebagai suami Bu Nauli yang menginginkan anak dari istrinya sampai memakai cara apa pun untuk mendapatkan anak dan sebaliknya keinginan Bu Nauli memberikan keturunan untuk suaminya.

Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Padahal bu Nauli sudah amat merindukan kehadiran seorang bayi dalam hidupnya. Dia sudah amat ingin menimang bayi. Dia sudah amat ingin memberikan asi kepada bayi yang lahir dalam rahimnya sendiri. Padahal perkawinannya sudah berlangsung lebih delapan tahun. Berbagai usaha dan cara sudah ditempuh pasangan suami istri itu.” (SAZZ, 2005:11)

Tema tersebut merupakan persoalan yang paling menonjol dan memegang peranan penting dalam novel yang menjadi bagian dari jalan cerita. Tema yang membuat tokoh Bu Nauli sebagai istri harus berusaha untuk mendapatkan seorang anak agar rumah tangga dia berjalan dengan baik. Tema dihubungkan dengan budaya masyarakat Mandailing yang mengharuskan seorang wanita memberi keturunan kepada suami agar meneruskan marga suami. Budaya masyarakat Mandiling itu mengikat tokoh Bu Nauli dan Bang Lindung berusaha untuk memperoleh seorang anak terutama laki-laki.


(26)

4.2 Tokoh dan Penokohan

Menurut kamus Istilah Sastra (Zaidan, 2007:206), tokoh merupakan orang yang memainkan peran dalam karya sastra. Dalam kaitan, tokoh dapat dihubungkan dengan penokohan karena penokohan adalah proses penampilan tokoh dengan pemberian watak, sifat, atau kebiasaan tokoh pemeran suatu cerita. Penokohan dapat dilakukan melalui teknik kisahan dan teknik ragaan. Watak dan sifat tokoh itu terlihat dalam lakuan fisik (tindakan atau ujaran) dan lakuan rohani (renungan atau pikiran). Dikenal juga istilah tokohan yang biasanya diterapkan pada kecenderungan utama karya sastra.

Tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel SAZZ merupakan tokoh-tokoh yang memiliki

peranan penting. Tokoh-tokoh tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu tokoh utama dan tokoh bawahan.

Tokoh utama yaitu tokoh cerita baik pria maupun wanita yang memegang peran terpenting dan menjadi tonjolan setiap persoalan. Tokoh-tokoh dalam novel Sazz antara lain:

4.2.1 Bu Nauli

Bu Nauli merupakan seorang guru perempuan yang mengajar dan bermukim di desa Mandailing. Tokoh Bu Nauli memiliki sifat sabar, penuh dedikasi, loyal pada dunia pendidikan dan tidak pernah menuntut gaji istimewa.

Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Siapa pula seseorang yang telah melatih puluhan kanak-kanak siswa es-de itu membawakan sajak-sajak Willem Iskander yang amat terkenal di bumi Mandailing Godang itu, kalau bukan Bu Nauli, guru perempuan yang sudah hampir 10 tahun bermukim di desa di kaki bukit itu dan tidak jauh dari desa itu mengalir sungai yang airnya jernih dan tenang?

Bu Nauli adalah seorang guru yang amat sabar, penuh dedikasi, loyal pada dunia pendidikan dan tidak pernah menuntut gaji istimewah.” (SAZZ, 2005:3)


(27)

Dia merupakan wanita soleha yang selalu taat pada agama dan perintah suami. Dia selalu menjaga dan memelihara martabat diri dan kehormatan keluarga. Bu Nauli tidak pernah melupakan sholat bila terdengar suara azan dari puncak menara mesjid. Itu dapat dilihat dari kutipan “Bu Nauli senantiasa melakukan solat, puasa, dan membaca Al Qur’an. Ayat kursi tidak pernah lupa dibacanya.” (2005:43)

Dia mau mengikut suami untuk berobat ke suatu tempat yang sebenarnya tidak ingin dilakukannya karena tidak sesuai dengan ajaran agamanya.

Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Sungguh amat beda dengan Bu Nauli yang sama sekali tidak mempercayainya. Jauh di dasar hatinya yang paling dalam, dia tidak dapat menerima ritual itu. Sama sekali Bu Nauli tidak percaya lelaki terbang ke Pusuk Buhit dalam sesaat. Juga tidak percaya sang dukun berdialog dengan roh-roh halus di bukit itu. Sulit untuk diterima akal sehat Ompung Datu memetik tumbuhan ramuan di Pusuk Buhit yang terletak di Pulau Samosir dan harus menyeberangi Danau Toba. Lebih tidak percaya lagi Ompung Datu mengatakan bahwa dalam dirinya melekat begu jahat. Dalam hati, Bu Nauli hanya mengucap istighfar berkali-kali bahkan ribuan kali.” (SAZZ, 2005:45)

Dia juga wanita yang tidak menginginkan suami untuk menikah lagi. Dia lakukan segala cara agar suaminya tidak berpaling darinya seperti mengangkat anak dan berusaha pergi ke dukun maupun dokter.

4.2.2 Bang Lindung

Bang Lindung merupakan suami dari Bu Nauli keturunan Batak Mandailing. Dia bekerja sebagai petani dan seorang pria bertubuh tegar, kulit hitam, dan bersifat lembut kepada istri dan keras kepala.

Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Bu Nauli terbangun karena sentuhan dan belaian tangan Bang Lindung, suaminya. Lelaki di sisi Nauli adalah seorang pria bertubuh tegar, kulit hitam legam karena legam karena dibakar panas matahari sepanjang hari, tapi terhadap isteri dia selalu bersikap lembut.” (SAZZ, 2005:6)


(28)

Bang Lindung seorang muslim yang masih percaya pada hal-hal misktik. Kepercayaannya mengenai hal-hal mistik membuat dia tidak percaya akan Sang Pencipta dan juga ilmu pengetahuan.

Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Bang Lindung harus ingat pernah terbaring sakit selama hampir tiga bulan.” “Penyebabnya adalah rokok!”

“Siapa bilang?” “Dokter puskesmas!” “Bohong besar!”

“Lalu apa yang membuat Bang Lindung terbaring selama hampir tiga bulan?”

“Ompung Marlaut bilang ada orang yang dengki kepada kita. Karena aku seorang petani dan mendapatkan isteri seorang guru yang cantik. Malah ompung Marlaut bilang, yang membuatku jatuh sakit adalah seorang laki-laki yang pernah jatuh hati padamu lalu ingin membuatku supaya cepat masuk liang kubur” (SAZZ, 2005:22)

Sikap keras kepala Bang Lindung membuat Bu Nauli hanya bisa diam dan patuh dengan apa yang dikatakannya. Dia selalu meyakini apa yang dianggapnya betul sehingga dia selalu bertentangan dengan istrinya bila membicarakan masalah agama.

Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Yang menyembuhkan abang bukan bukan dukun itu, tapi dokter puskesmas!,” Nauli meyakinkan suaminya.

“ Bukan tapi Ompung Marlaut!” “Bukan!. bukan!”

“Terserah padamu, tapi aku yakin, Ompung Marlaut memang orang pintar.”

“ingat masih ada dokter, Bang Lindung. Rokok dapat menyebabkan penyakit paru-paru, juga dapat menyebabkan kanker dan kemandulan!”

“Akh, masa bodoh dengan ucapan dokter. Semua itu Cuma mengada-ngada!” Mobil terus meluncur. Nauli hanya termenung.” (SAZZ, 2005:22)

Bang lindung juga menikahi seorang janda yang bernama Tiurma karena dia tidak memiliki anak dari Nauli. Dia terpaksa melakukannya untuk memperoleh keturunan.

Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Maafkan aku, Nauli. Kalau aku harus menikah lagi karena banyak famili memang menghendaki aku punya keturunan..”

“Lalu banyak famili juga meminta agar aku dilemparkan ke sungai sebagai benda busuk?”


(29)

“Tidak!. Kau tetap sebagai istriku, Nauli. Aku tetap cinta kepadamu. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. (SAZZ, 2005:66)

4.2.3 Tiurma

Tiurma merupakan seorang janda cantik yang menjadi istri kedua dari Bang Lindung. Dia juga wanita Batak yang berasal dari ibu yang nonmuslim di Tarutung. Dia memeluk agama Islam ketika dia berteman dengan wanita-wanita muslim. Namanya juga berganti menjadi Tiurma Fauziah yang artinya wanita soleha yang memperoleh kemenangan. Namun, Tiurma tidak mendalami agama yang dipercayainya. Dia tidak pernah menjalani semua ajaran agama yang dipeluknya sehingga dia jauh dari Tuhan.

Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Tiurma memang belum lama menjadi seorang muslimah, sebab sebelumnya gadis molek kelahiran Tarutung itu lahir dari rahim seorang ibu beragama nonmuslim. Pergaulannya yang amat erat dengan gadis-gadis muslimah menyebabkan dia tertarik untukmemeluk agama Islam kemudian disahadatkan di Masjid Hidayah. Tapi hanya samapai sebatas itu, padahal namanya sudah menjadi nama seorang muslimah, yakni Tiurma Fauziah yang bermakna wanita soleha yang memperoleh kemenangan.” (SAZZ, 2005:76)

Dia juga pernah menikah dengan Bang Pandapota ketika umurnya tujuh belas tahun. Dia memiliki masa lalu kelam. Dia baru mengetahui bahwa dia dijadikan istri ketiga oleh Bang Pandapotan. Hal itu diketahuinya ketika dua minggu setelah dia berumah tangga, seorang wanita dan anak-anak mendatangi dia dan melemparnya dengan batu. Selanjutnya, dua minggu kemudian datang seorang wanita lagi mendatangi dia dan menyiramnya dengan sambal. Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Tapi siapa yang menduga, hanya dua minggu setelah perkawinannya dengan Bang Pandapotan, seorang perempuan dengan menggiring tiga orang anak yang masih kecil menyerangnya dan melontarnya batu?. Ya, Tuhan. Bang Dapot ternyata sudah punya istri dan anak.

Tidak hanya itu, hanya seminggu setelah kepala Tiur berdarah terkena lemparan batu, seorang perempuan lainnya juga datang dan melontarkan kata-kata keji. Tidak hanya melontarkan kata-kata keji, tapi juga melemparkan cabai yang sudah digiling halus ke muka Tiur yang dianggap telahmerusak rumah tangga orang lain. Perempuan beringas itu


(30)

ternyata isteri kedua Bang Pandapotan.

“tidak kusangka aku dinikahi Bang Dapot sebagai isteri ketiga,” Tiurma selalu mengeluh panjang ketika ingat nasibnya yang malang. ” (SAZZ, 2005:77)

Dia juga merupakan seorang pembohong yang mengaku suaminya meninggal karena kecelakaan ketika bekerja di proyek bangunan jalan di Muara Sipongi, tetapi suaminya meninggal karena dibunuh warga desa. Dia menjadi istri kedua Bang Lindung dan memiliki tokoh sembako di daerah tempat tinggal Bang Lindung.

4.2.4 Bang Pandapotan

Bang Padapotan merupakan suami dari Tiurma. Dia memiliki badan yang besar dan gagah. Dia juga merupakan seseorang terpandang yang memiliki sawah yang luas, ladang, dan sapi selusin di desa sekitar Sungai Aek Godang. Dia memiliki istri tiga orang. Wataknya yang keras, kasar, dan sombong membuat dia menjadi laki-laki yang tidak pernah takut pada siapa pun.

Dia juga buronan polisi akibat menusuk warga desa yang tinggal dekat rumahnya. Kejadian itu diawali dengan pembakaran traktor milik Haji Sulaiman yang membuat dia marah karena sapi miliknya tidak pernah digunakan atau disewa warga, melainkan warga lebih memilih traktor Haji Sulaiman.

Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Tentu saja Bang Dapot merasa tidak senang dengan kehadiran traktor mini yang dianggap telah mematikan rezekinya. Bang Dapot sangat marah. Dia nekad untuk membakar traktor milik Haji Sulaiman itu.

“Trakor itulah yang menyebabkan aku jatuh melarat. Traktor itu harus dibakar!. Traktor itu harus jadi abu!,” gerutu Bang Dapot ketika keluar dari rumah Tiur dengan membawa bensin dan korek api” (SAZZ, 2005:80-81)

Dia masih mencintai Tiurma. Walaupun Tiurma sudah menikah lagi, dia tetap menjumpai Tiurma. Sikap Bang Pandapotan yang kasar membuat Tiurma takut. Dia membuat Tiurma terusik dengan kehadiran yang selalu tidak dapat diduga.


(31)

Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Kau semakin cantik, sayang,” lelaki itu memuji. Perempuan berdarah Batak Toba itu memang paling cantik di antara tiga istrinya. Tiurma memang paling cantik di antara seribu perempuan. Dan Tiurma tidak berkata apa-apa.

“Di mana pun berada aku selalu teringat padamu. Sukar untuk melupakan dirimu, sayang..”

Tiur masih tetap diam. Jauh di dalam dasar hatinya dia berharap lelaki itu segera pergi. “Rasanya terlalu berat untuk meninggalkanmu.”

“”Aku mampu berdiri di atas kakiku sendiri, Bang Dapot.”

“Rasanya aku tidak rela kau dalam pelukan orang lain, Tiur. Aku ingin kau adalah tetap milikku!” (SAZZ, 2005:102)

Bang Dapot juga lelaki yang hatinya keras. Dia selalu meminta uang dari Tiurma untuk mencukupi biaya dia kabur dari polisi. Rencananya untuk lari ke Pulau Jawa tidak pernah terlaksana.

Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Demi Tuhan, Tiurma tidak menyadari, bahwa lelaki itu ada di sisinya ketika dia membuka lemari dan mengeluarkan dompet yang padat berisi uang. Tiba-tiba saja tangan Bang Dapot yang amat kekar dan tegar itu merampas dompet itu dari tangan Tiurma. Sekejap saja dompet penuh uang itu sudah berpindah ke tangan Bang Dapot.” (SAZZ, 2005:146)

Tokoh bawahan adalah tokoh cerita yang memegang peranan penting. Tokoh-tokoh bawahan yang terdapat dalam novel SAZZ adalah Lolom Maimunah, Liat Matondang, Satrio, Ronggur, Si Lokot, Tigor, Pintor, Ojak, Anggiat, dan Oloan yang merupakan siswa dari Bu Nauli. Selanjutnya, Ompung Datu Pangulu dari Samosir dan Ibu dari Bu Nauli.

4.3 Alur atau Plot

Alur atau plot adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra yang memperrlihatkan kepaduan (koherensi) tertentu yang diwujudkan antara lain oleh hubungan sebab akibat, tokoh, tema, atau ketiganya.


(32)

modern yang eksperimental. Menurut U. U. Hamidy (1983: 26), “alur atau plot suatu cerita rekaan dapat dipandang sebagai pola atau kerangka cerita dari bagian-bagian lain cerita itu disangkutkan sehingga cerita itu kelihatan menjadi suatu bangunan yang utuh.”

Alur atau Plot yang terdapat dalam novel SAZZ karya Maulana Syamsuri yaitu alur maju. Pengarang memaparkan kondisi daerah Mandailing. Dia menceritakan tokoh secara jelas. Tokoh Bu Nauli dihubungkan dengan tokoh lain yaitu Bang Lindung sebagai suami yang memiliki konflik belum memiliki keturunan. Konflik itu mulai memuncak ketika 10 tahun pernikahan belum dikaruniai anak sehingga pihak keluarga meminta tokoh Bang Lindung menikah lagi. Tokoh Bang Lindung menikah dengan tokoh yang bernama Tiurma janda cantik dari Tarutung. Tiurma memiliki masa lalu kelam bersama suami lamanya Bang Pandapotan. Dalam cerita, Tokoh Bang Pandapotan terus mengejar Tiurma sehingga Tiurma memiliki anak dengan Bang Pandapotan. Hal tersebut tidak diketahui oleh Bang Lindung hingga suatu hari kejadian yang ditutupi tokoh Tiurma terungkap bahwa anak yang dilahirkannya bukan anak Bang Lindung, melainkan anak dari Bang Pandapotan. Akhir cerita, Bang Pandapotan ditangkap polisi dan Tiurma jauh miskin. Sedangkan Tokoh Bang Lindung diceritakan telah bertobat dan Bu Nauli hamil.

Dalam novel SAZZ, pengarang juga memakai alur sorot balik atau menceritakan kembali kejadian dari awal. Penceritaan itu dilihat dari Tiurma mengenang masa lalunya dan bagaimana Bang Pandapotan meninggal.

Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Tiurma tidak akan lupa dari kenangan masa silam yang teramat mains tapi sekaligus juga teramat pahit ketika remaja dulu. Usianya masih tujuh belas tahun ketika seorang lelaki itu adalah Pandapotan, yang biasa disapa oleh warga desa itu dengan Bang Dapot.” (SAZZ, 2005:77)

“Masih jelas melintas di benaknya bayang-bayang wajah suaminya yang selalu murung karena usahanya menyewakan selusin sapi-sapi untuk membajak sawah mulai suram. Dari hasil menyewakan selusin sapi untuk membajak sawah itulah Bang Dapot dapat memberi nafkah tiga orang isterinya, juga dari hasil ladangnya.”( SAZZ, 2005:78)


(33)

4.4 Latar atau Setting

Latar atau setting adalah waktu dan tempat terjadinya lakuan di dalam karya sastra atau drama. Latar atau setting novel SAZZ karya Maulana Syamsuri di sebuah desa yang terletak di kaki bukit Mandailing Natal. Waktu kejadian setiap hari yaitu pagi, siang, dan malam. Lokasi terjadinya lakuan cerita di sekolah ketika Bu Nauli mengajar anak-anak membaca puisi, Rumah Bu Nauli digambarkan dengan suasana yang tenang, damai, dan sejuk. Rumah Tiurma yang digambarkan dengan tokoh sembako di depan rumah dan tidak jauh dari rumah Bu Nauli. Pengarang juga berusaha menceritakan daerah-daerah di desa kaki bukit dengan mendeskripsikannya secara nyata sehingga pembaca dapat menggambarkan keadaan pedesaan tersebut.

Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Sepanjang hari, sepanjang bulan, bahkan sepanjang tahun, desa yang terletak di kaki bukit itu selalu sepi dan senyap. Yang terdengar hanya kokok ayam jantan bersahut-sahutan, kicau burung di ranting pohon, lenguh sapi betina yang memanggil jantannya, kepak sayap kelelawar serta nyanyian jengkrik, derai angin yang membelai daun-daun pepohonan atau gemericik air sungai. Kadang-kadang terdengar suara perempuan di tengah sawah yang sedang menguning untuk mengusir burung. Sesekai terdengar nyanyian pemanjat pohon aren yang berlirik mantera-mantera agar tandan pohon aren yang berlirik mantera-mantera agar tandan enau itu banyak mengucurkan nira untuk bahan baku gula bargot.” (SAZZ, 2005:1)

4.5 Sudut Pandang atau Point of View

Sudut pandang adalah titik tolak pengarang sebagai penceritaan akuan yang berada dalam cerita atau penceritaan diaan yang berada di luar cerita. Sudut pandang pengarang dalam novel SAZZ berkedudukan sebagai orang ketiga yang serba tahu. Pengarang mengungkapkan novel SAZZ dengan mengetahui segala sesuatu yang terjadi, bahkan pikiran dan perasaan pelakunya yaitu Bu Nauli, Bang Lindung, Tiurma, dan Bang Pandapotan, dan dapat melihat tingkah laku mereka dari segala sudut. Dari segi penceritaan, pengarang juga memasukkan unsur budaya yang melekat pada tokoh-tokohnya dan menggambarkannya


(34)

secara jelas.

4.6 Gaya Bahasa

Pengarang menggunakan gaya bahasa yang sederhana dan menggunakan bahasa daerah. Gaya bahasa pengarang dilihat dari penyusunan kata-kata dan juga pencantuman puisi daerah atau falsafah daerah Mandailing di dalam novel SAZZ. Bahasa itu juga dapat dimengerti pembaca karena pengarang berusaha membuat pengertian pada kata-kata daerah yang tidak dimengerti dan bahasa itu juga sebagai bahan pendidikan bagi pembaca dalam memahami bahasa daerah satu suku. Pengarang juga memakai bahasa tulisan yang santun digunakan oleh masyarakat sehingga dapat dibaca secara biasa, jelas, dan santai dengan mengikuti penceritaan atau alur cerita novel.


(35)

BAB V

ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK TERHADAP NOVEL SETEGUK AIR ZAM-ZAM KARYA MAULANA SYAMSURI

5.1. Fakta Kemanusiaan

Fakta kemanusiaan tidak dapat dipisahkan dari tiga golongan manusia yang menguasai kehidupan di dunia. Manusia tersebut adalah orang-orang yang digolongkan sebagai alim ulama, orang kafir, dan orang munafik. Alim ulama adalah golongan orang-orang yang suka berbuat baik, memiliki kepandaian antara ilmu dunia dan ilmu akhirat, dan mengamanahkan sebgaian harta atau rezekinya untuk kemaslahatan umat manusia. Orang kafir adalah orang yang tidak mau tunduk kepada hukum yang diturunkan Tuhan kepada para utusanNya. Orang munafik adalah orang-orang yang tidak sesuai antara perkataan atau pengetahuannya dengan perbuatannya. Aktivitas verbal dan fisik ketiga golongan manusia inilah yang menghasilkan fakta kemanusiaan menurut kepentingan masing-masing.

Fakta kemanusiaan dapat ditelusuri dengan cara mengenali setiap gejala kemanusiaan. Gejala ini dapat dikenal dari proses sadar diri manusia akan dirinya. Kesadaran tersebut atau kesadaran terhadap realitas kepribadiaan, moralitas, kebudayaan, dan kelembagaan tindakan manusia (Poedjawijatana, 1987: 88-124). Gejala kemanusiaan tersebut akan melahirkan berbagai persoalan dalam membuka cakrawala kemanusiaan. Persoalan tersebut pada hakikatnya terpusat pada apa yang seharusnya dalam kemanusiaan dengan apa yang nyata ada dialami dalam kemanusiaan.

Kemampuan manusia memahami gejala kemanusiaan dan meneladani sikap alim ulama akan menciptakan fakta kemanusiaan yang ideal. Fakta kemanusiaan tersebut akan semakin memperjelas keberadaan golongan alim ulama, kafir, dan munafik. Fakta-fakta inilah yang terakomodasi dan memperlihatkan perubahan atau penyempurnaan dalam struktur novel


(36)

SAZZ karya Maulana Syamsuri.

Fakta kemanusiaan dalam novel SAZZ merupakan cerminan dari masyarakat khususnya

masyarakat Mandailing. Keterlibatan pengarang dalam perkara kemanusiaan ini sesuai dengan pendapat pengarang.

Untuk lebih mempermudah mengenal fakta kemanusiaan yang dikandung Novel SAZZ,

maka akan dilakukan kajian berdasarkan fakta individu dan fakta sosial. Fakta individu merupakan fakta kemanusiaan yang ditimbulkan oleh pengaruh libidinal atau nafsu manusia, sedangkan fakta sosial merupakan fakta kemanusiaan yng ditimbulkan oleh setiap orang dalam pengaruh-mempengaruhi kondisi sosial tertentu. Kedua fakta tersebut akan ditelusuri dari unsur-unsur struktur dan ditopang oleh kondisi sosial yang dihadapi penyair.

5.1.1 Fakta Individual

Fakta kemanusiaan yang tergolong dalam kategori fakta individu memiliki kesejajaran dengan hasil strukturasi. Fakta individu dalam novel SAZZ dikemukakan pada cerita. Novel

SAZZ merupakan novel yang bertema keluarga. Tema itu merupakan persoalan yang selalu

dekat dengan sikap emosi atau libinal lain dalam usaha setiap individu menciptakan keseimbangan hidup.

Fakta individu dalam SAZZ dimulai dari keinginan memiliki seorang anak di dalam

keluarga. Bu Nauli sebagai istri yang soleha dan hamba yang takluk pada kemahakuasaan Tuhan berusaha untuk dapat memperoleh keturunan.

Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Namun Tuhan belum juga memberikan rahmat dan anugerah kepada pasangan itu. Perut Bu Nauli tetap biasa-biasa saja, belum juga ada tanda-tanda kehamilannya. Entah kapan perutnya akan berubah seperti karung beras. Paahal Bu Nauli sudah amat merindukan kehadiran seorang bayi dalam hidupnya. Dia sudah amat ingin menimang bayi. Dia sudah amat ingin memberikan asi kepada bayi yang lahir dari rahimnya sendiri. Padahal perkawinannya sudah berlangsung lebih delapan tahun. Berbagai usaha dan cara sudah ditempuh pasangan suami istri itu.” (SAZZ, 2005:11)


(37)

Pada kutipan ini sosok Bu Nauli sebagai individu yang berharap menginginkan seorang anak memberikan gambaran kenyataan seperti berasal dari alam bawah sadarnya. Dari sini tercitra gambaran individu yang sadar terhadap realitas sebagai seorang yang soleh di muka bumi ini. Kesolehan itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Bu Nauli adalah seorang perempuan soleha yang sellau menjaga dan memelihara martabat diri dan kehormatan keluarga. Bu Nauli tidak pernah melalai-lalaikan solat bila sudah terdengar azan dari puncak menara masjid. Bu Nauli selalu ingat sabda nabi, bahwa wanita itu adalah tiangnegara. Baik wanita, baiklah negara. Bila rusak wanita maka hancurlah negara.” (SAZZ, 2005:75)

kesadaran Bu Nauli terhadap realitas semakin menampakkan wujud fakta individualnya. Individu, dalam novel yang bertema keluarga, ingin menjadi istri dan manusia sejati sehingga berusaha menyadarkan atau meyakinkan diri bahwa bukan istri yang tidak dapat memberi keturunan, melainkan suami yang tidak dapat memberi keturunan. Fakta tersebut dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Bu Nauli selalu yakin, bahwa dirinya bukanlah perempuan mandul, karena dari garis keturunannya sekandung, semua mempunyai keturunan. Bahkan yang melahirkan anak kembar juga ada. Justru yang kewalahan mencegah kelahiran juga ada karena tiap tahun anak-anaknya lahir terus.”( SAZZ, 2005:51-52)

Usaha individualitas sosok Bu Nauli menjadi istri dan manusia sejati merupakan perwujudan dari rasa yakin pada dirinya dan Tuhan. Kesadaran individualitas Bu Nauli mengikuti jalan hidup orang saleh kembali pada Tuhan ternyata tidak bisa bebas sepenuhnya dari persoalan lain yaitu suami menikah lagi dengan perempuan lain hingga menimbulkan konflik batin pada diri Bu Nauli. Persoalan individualitas itu sendiri mempengaruhi usaha pembentukan manusia sejati.

Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Ya, Tuhan. Apakah aku akan kehilangan kasih sayang dari Bang Lindung?,” tangisnya berderai ketika Bu Nauli pulang ke rumah.


(38)

“Tapi aku sudah melihat sendiri betapa mesranya Bang Lindung dengan perempuan lain!.”

“Suamimu sangat menghendaki adanya keturunan dan itulah yang tidak mampu kau berikan. Kau harus menerima kenyataan pahit ini, Nauli”

“Apakah aku sangat menderita?. Apakah hidupku akan penuh dengan derai air mata. Apakah hari-hari ke depan akan penuh dengan duri tajam atau pisau terhunus?”

“tidak harus begitu, Nauli. Suamimu tetap milikmu, tapi pada hari-hari tertentu dia tidak akan berada di sisimu.”

“Bersama perempuan itu?” “Ya!”

“Oh, rasanya aku tidak mampu untuk menerima keadaan ini.” “Kau harus mampu, sebab begitulah kodrat seorang perempuan.”

“Oh, hatiku teramat perih!”, Bu Nauli mengusap dadanya sendiri yang terasa amat perih, untuk bernafas pun terasa amat sesak dan dadanya seperti sedang terhimpit seonggok batu gunung.” (SAZZ, 2005:63)

Realitas ini memberi kekuatan bahwa sikap individualitas itu merupakan luapan libidinal alam bahwa sadarnya.Sikap individualitas yang bersandar pada aspek kemanusiaan ini dimulai dari kesadaran realitas Bu Nauli terhadap potensi diri.

Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Kau akan mendapat kekuatan batin di sana, anakku. Tidak hanya itu. Kau harus menyadari, bahwa banyak tempat-tempat makbul untuk berdoa. Siapa tahu doamu di Jabal Rahmah atau di depan Multazam permohonanmu untuk mendapatkan anak akan dikabulkan Allah.”

“Hatiku tergugah, Bu. Tiba-tiba saja hatiku tergerak untuk menemani ibu,” sahut Bu Nauli.

“Kau belum terlambat untuk hamil dan punya anak, Nauli. Siapa tahu seteguk air zam-zam yang kau ambil sendiri dari sumbernya akan menjadi obat yang paling ampuh bagimu. Siapa tahu seteguk air zam-zam yang kau peroleh sendiri dan kau sapukan diperutmu, kau akan hamil nanti!”

Tiba-tiba saja Bu Nauli bangkit dan memeluk ibundanya. Ada derai air mata di pipinya. “Aku akan pergi ke sana bersama ibu. Aku akan menjual apa yang ada untuk dapat

menjejakkan kaki di Masjidil Haram, juga untuk hadir di Arafah!” cetus Bu Nauli dalam pelukan ibunya.

“Syukurlah kalau hatimu memang tergugah!” (SAZZ, 2005:113-114)

Kesadaran terhadap keindividualitas sosok Bu Nauli mencapai puncak ketika Bu Nauli merasa mengalami krisis jati diri pada konflik di rumah tangganya, sehingga memunculkan rasa untuk mengakhiri petualangan keindividualitasnya dengan menerima perempuan yang menjadi istri kedua suaminya.


(39)

5.1.2 Fakta Sosial

Fakta kemanusiaan yang dikategorikan sebagai fakta sosial terdapat dalam Novel SAZZ

seluruhnya berasal dari puisi dan filsafat yang bertemakan kritik sosial dan kemanusiaan dalam kutipan yang beraneka ragam. Pengarang berusaha memunculkan beberapa kutipan yang mengandung fakta sosial. Fakta sosial merupakan perwujudan dari keterlibatan seseorang individu dalam kondisi sosialnya sehingga menghasilkan keseimbangan hidup dalam masyarakat.

Fakta sosial dalam SAZZ memainkan peranan dalam kondisi sosial yang realistik.

Pertama, peranan dalam berusaha mewujudkan perdamaian dunia. Kedua, peranan dalam usaha menghapus budaya kolusi dan korupsi di Indonesia. Ketiga, peranan dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Ketiga peranan itu telah mengakomodasikan setiap individu dalam kepentingan kelompok atau golongan tertentu.

Fakta kemanusiaan yang memiliki peranan dalam usaha mewujudkan perdamaian dunia, kesejahteraan bangsa Indonesia, dan nilai-nilai kemanusiaan.

Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Sejak masih kecil, setiap anak yang dilahirkan dan bermukim di Mandailing Godang sudah terbiasa dengan pola hidup yang dilandasi rasa malu yang disebut “parsulaha”, sehingga dalam berbuat harus hati-hati. Namun, setiap warga Mandailing pasti memiliki sifat berani dalam menegakkan kebenaran yang ditandai dengan falsafah “Laklak dipajar-pijor, singgalak marpora-pora. Muda jongjong di na tagor, batu mamak di indora”. “ (SAZZ, 2005:5)

Pada kutipan juga terlihat peranan terhadap keseimbangan hidup mendapat perioritas utama dalam SAZZ, kemudian peran terhadap kehidupan berbangsa di Indonesia dan

perdamaian manusia di dunia. Akan tetapi, isi kutipan tersebut tidak akan mengurangi fakta kemanusiaan, sebab fakta tersebut secara keseluruhan akan mewujudkan citra manusia sejati.

Keseimbangan hidup atas dasar nilai-nilai kemanusiaan dalam realitas SAZZ mendapat


(40)

menghargai manusia hanya dari fungsinya untuk berproduksi, menjalankan fungsinya, dan sifat-sifat lahiriah. Cara hidup seperti ini sangat tidak manusiawi sebab apabila manusia tidak menjalankan fungsi sosial itu, maka dia berhak disingkirkan, dicerca atau di bunuh.

Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Belasan warga segera datang. Mereka sangat marah menyaksikan tindakan anarkhis yang dilakukan oleh Bang Dapot. Tentu saja warga lebih simpatik kepada Haji Sulaiman yang selalu jadi imam masjid daripada terhadap Bang Pandapotan yang tidak pernah sekali pun menginjakkan kaki di rumah ibadah itu. Apa lagi kalau ada warga yang meninggal, pasti yang memimpin pelaksanaan Fardhu Kifayah adalah pemilik traktor itu. Juga dalam hal melaksanakan berbagai adat mulai dari menyambut kelahiran bayi, pernikahan, mengkhitankan anak dan kenduri lainnya, pasti Haji Sulaiman adalah pemegang peran utama.” (SAZZ, 2005:82)

Fakta sosial pada kutipan tersebut diwujudkan melalui gaya hidup yang berlebihan. Gaya hidup tersebut lebih mementingkan kesenangan duniawi seperti kemewahan, hawa nafsu, dan mementingkan diri sendiri. Gaya hidup yang berlebihan itu menjadi perwujudan orang-orang yang tidak mempunyai peraturan sehingga menimbulkan kemerosotan moral manusia yang telah mengaburkan dan menghilangkan batas-batas nilai kemanusiaan dalam hidup bermasyarakat.

Fakta sosial ini telah masuk dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Fakta ini telah menimbulkan budaya kolusi yang mementingkan kepentingan pribadi atau golongan. Kehadiran budaya kolusi juga diiringi dengan budaya korupsi. Fakta sosial ini merupakan akibat melemahnya semangat nasionalisme. Semangat itu digambarkan pengarang dengan membandingkan masyarakat kota dengan masyarakat desa.

Itu dapat dilihat dari kritikan pengarang terhadap pendidikan di Indonesia yang sudah dipengaruhi budaya korupsi,

“Permainan patgulipat memang sudah amat sering terjadi dalam dunia kepegawaian apalagi dalam keguruan. Lulusan ef-ka-i-pe yang mau jadi guru harus memberikan uang pelicin yang jumlahnya lebih dari harga ekor lembuh bengala kepada oknum tertentu juga begitu. Mau jadi pegawai negeri di instansi lain juga demikian. Apa lagi mau jadi aparat, pasti harus tersedia uang yang tidak sedikit..” (SAZZ, 2005:31)


(41)

kutipan itu merupakan akibat kemerosotan moral dan kekaburan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga kolusi dan korupsi mengeksploitasi manusia sebagai objek dengan watak yang tidak menghargai diri dengan sungguh-sungguh di Indonesia.

Budaya kolusi dan korupsi di Indonesia menambah kemerosotan moral manusia. Fakta sosial ini membuat usaha mewujudkan perdamaian sulit dilaksanakan dengan baik. Hal ini disesbabkan ada pihak-pihak tertentu yang melihat usaha perdamaian itu sebagai sesuatu yang diobjekkan. Cara tersebut bertolak belakang dengan nilai kemanusiaan dan termasuk dalam golongan orang-orang munafik.

5.2 Subjek Kolektif

Subjek kolektif merupakan istilah yang diberikan untuk menggantikan istilah masyarakat dalam kajian strukturalisme genetik. Subjek kolektif dalam kajian ini dibagi dua, yaitu subjek individual dan transindividual. Subjek individual merupakan subjek yang melakukan aktivitas bedasarkan emosi atau naluri libinal. Subjek ini berbeda dengan subjek transindividual, sebab subjek ini merupakan subjek yang melakukan aktivitas secara kolektif dalam kondisi sosialnya. Oleh karena itu, subjek ini disebut juga subjek kolektif, yaitu subjek yang mewakili atau merupakan perwujudan dari aspirasi dan aktivitas setiap individu dalam masyarakatnya.

Subjek kolektif dalam SAZZ dapat dilihat dari penggunaan nama pada tokoh dan kata

ganti. Dari penggunaan nama tokoh itu dapat diketahui bahwa subek SAZZ adalah realistik.

Subjek yang ditampilkan terdiri dari beragam yaitu subjek individual dan kolektif. Dari keseluruhan strukturasi SAZZ tersebut diperoleh gambaran, bahwa SAZZ lebih banyak

menggunakan nama tokoh daripada kata ganti yang merujuk makna lugas kekolektivitasannya.


(42)

Setelah meneliti penggunaan nama tokoh dalam kajian strukturalisme genetik ini diperoleh kenyataan, bahwa dalam SAZZ tidak semua merujuk kepada subjek individual. Hal

ini dikemukakan dari sudut tema individualitas dan tema kolektivitas. Demikian juga dengan suasana yang ditimbulkan oleh penggunaan nama lebih merujuk pada kehadiran bersama atau lebih merupakan perwakilan dari kelompok sosial.

Keberadaan subjek SAZZ merujuk pada kolektivitasan dapat dilihat dari pemanggilan

nama tokoh yang satu dengan tokoh yang lain seperti Bu Nauli memanggil suaminya Bang Lindung. Konsepsi pengarang menunjukkan Syamsuri menjadikan novelnya sebagai perwujudan aktivitas masyarakat Mandailing. Dalam strukturalisme genetik, perwujudan inilah yang dikategorikan sebgaai subjek kolektif.

5.2.1 Subjek Individual

Subjek individual dalam SAZZ karya Maulana Syamsuri mengandung fakta individual.

Subjek ini ditandai dengan adanya nama-nama tokoh seperti Bu Nauli, Bang Lindung, Tiurma, dan Bang Pandapotan.

Dari tokoh-tokoh tersebut ditemukan persesuaian antara fakta individual dengan subjek individual. Kesesuaian itu ditentukan oleh aktivitas libinal subjek individual yang secara konsekuen menghasilkan fakta individual. Hal ini berarti novel SAZZ yang mengandung

fakta individual merupakan cermin emosi dan nafsu tokoh-tokoh. Pencerminan ini menempatkan fakta individual dalam mempertinggi kualitas diri menghadapi masyarakatnya.

Subjek individual dalam novel SAZZ pada hakikatnya menampilkan empat karakter

manusia. Pertama, manusia religius yang melakukan transendensi atas dosa-dosanya di bumi. Kedua, manusia individualistik yang menjadikan diri sendiri sebagai pusat kehidupannya. Ketiga, pecinta sejati yang mensakralkan cinta terhadap kekasih sebagai amanah Tuhan. Keempat, pedamba anak yang menempatkan anak sebagai puncak kebahagiaan dalam rumah


(43)

tangganya.

Pertama, manusia religius. Manusia religius dapat dilihat dari sosok tokoh Bu Nauli yang senantiasa melakukan solat, puasa, dan membaca Al Qur’an. Manusia ini ditampilkan melalui watak yang takut kepada Tuhan. Rasa takut atau takwa ini merupakan hasil intropeksi subjek individual terhadap dosa-dosanya di bumi. Intropeksi ini dilakukan tanpa bantuan orang lain, sehingga aktivitas libidinal dapat dipusatkan untuk menemukan jatidirinya.

Perjalanan subjek individual menemukan jatidiri religius menempatkannya dalam dunia tragik. Hal ini diperlihatkan dari kegagalan berasimilasi dalam sikap menghayati alim ulama dengan sungguh-sungguh pada saat sadar diberi amanat menjadi khalifah di bumi. Subjek individual terus-menerus melakukan transendensi dengan pasrah.

Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Sungguh beda dengan Bu Nauli yang sama sekali tidak mempercayainya. Jauh di dasar hatinya yang paling dalam, dia tidak dapat menerima ritual itu. Sama sekali Bu Nauli tidak percaya lelaki itu terbang ke Pusuk Buhit dalam sesaat. Juga tidak percaya sang dukun berdialog dengan roh-roh halus bukit itu. Sulit untuk diterima akal sehat Ompung Datu memetik tumbuhan ramuan di Pusuk Buhityang terletak di Pulau Samosir dan harus menyebrangi Danau Toba. Lebih tidak percaya lagi Ompung Datu mengatakan, bahwa dalam dirinya melekat begu jahat. Dalam hati, Bu Nauli hanya mengucap Istighfar berkali-kali, bahkan beribuan kali.” (SAZZ, 2005:45)

Kedua, manusia individualistik. Manusia ini ditampilkan terlalu mementingkan diri sendiri dan menjadikan diri sendiri sebagai pusat alasan hidupnya. Wujud manusia seperti ini ditandai dengan tidak mau menyalahkan orang lain dan berusaha menilik diri sendiri dalam menyelesaikan persoalan hidupnya.

itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Andainya suatu saat Bang Lindung harus menikah lagi, dia hanya berharap Bang Lindung tetap mencintainya. Biarlah dua malam bersama isterinya yang mampu memberinya keturunan dan satu malam lagi di sisinya. Bu Nauli akan lebih banyak mengalah nanti.” (SAZZ, 2005:58)


(44)

diri sendiri. Penampilan itu telah membentuk jati diri manusia yang toleran dan harmonis dalam hidupnya.

Keberadaan subjek individual yang mengutamakan diri sendiri diperlihatkan dari sikap Bu Nauli yang pasrah dan berserah. Sikap tersebut merupakan cermin individualistik manusia menghadapi kondisi sosial dan individualnya. Sikap ini dapat dilihat dari keegoisan individu untuk tetap mengendalikan diri sesuai kemampuan diri sendiri.

Ketiga, pecinta sejati. Subjek individual ii merupakan transformasi manusia religius. Hal ini disebabkan subjek individual ini mengarahkan rasa cinta kepada kekasih seperti rasa cinta kepada Tuhan. Hal yang membedakan adalah Tuhan bersifat mahaabstrak dan sakral sedangkan kekasih bersifat konkret dan tidak sakral.

Keteguhan subjek individual mempertahankan cinta sejati kepada kekasihnya diperlihatkan pada kutipan “Namun Bu Nauli hanya mampu pasrah kepada Tuhan. Hanya mampu berdoa dan memohon agar Bang Lindung tetap setia dan tetap selalu berada di sisinya.” (SAZZ, 2005:53). Pecinta sejati dalam kutipan diperlihatkan secara eksplisit melalui

doa untuk setia sampai meninggal dunia. Ekspresi cinta ini menempatkan manusia sebagai kekasih dalam sikap religius.

Keempat, pedambaan anak. Manusia pedamba anak memiliki keyakinan bahwa puncak kebahagiaan berumah tangga terletak pada kehadiran seorang anak. Pandangan seperti ini dalam novel SAZZ telah menghadirkan rasa sabar, sayang, dan rindu dalam duka dan

meminta belas kasih. Itu diperlihatkan pada kutipan di baawah ini,

“Padahal Bu Nauli sudah amat merindukan kehadiran seorang bayi. Dia sudah amat ingin memberikan asi kepada bayi yang lahir dari rahimnya sendiri. Padahal perkawinannya sudah berlangsung lebih delapan tahun. Berbagai usaha dan cara sudah ditempuh pasangan suami isteri itu.” (SAZZ, 2005:11)

Keberadaan anak dalam percintaan dan rumah tangga subjek individual telah membangkitkan suka dan dukanya. Keinginan itu ternyata tidak mampu menepis duka,


(45)

sehingga hasrat libidinal subjek individual terus-menerus mengumandangkan kebahagiaan memiliki anak. Kehadiran anak diyakini akan menepiskan kedukaan.

Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Bu Nauli selalu termenung. Selalu terbayang di pelupuk matanya betapa indahnya menimang bayi, memberinya asi, menidurkannya diiringi dendang “bue-bue” atau meninabobokkan serta mengajaknya bermain-main setelah berusia dua atau tiga tahun.” (SAZZ, 2005:15)

5.2.2 Subjek Transindividual

Subjek transindividual dalam novel SAZZ karya Maulana Syamsuri ditemukan kutipan

yang mengandung kritik sosial dan kemanusiaan. Kutipan-kutipan itu dihubungkan dengan fakta sosial. Fakta sosial itu dijalin dengan sandaran kritik sosial dan kemanusiaan sehingga subjek transindividual memiliki kemungkinan lebih luas dalam melakukan kritik yang seimbang. Hal ini relevan dengan fakta kemanusiaan sebagai hasil usaha manusia mencapai keseimbangan hidup dengan alam sekitarnya. Dengan demikian, struktut sosial yang dihasilkan subjek transindividual akan lebih harmonis dan saling menguntungkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Subjek transindividual SAZZ dapat dikenal melalui aktivitas tokoh. Aktivitas tersebut

merupakan perwujudan aktivitas fisik dan verbal suatu kelompok masyarakat. Aktivitas yang menonjol adalah kritik terhadap pemegang kekuasaan dan kekayaan serta pemakluman terhadap nasib orang miskin dan tertindas. Di antara kedua pihak yang bertentangan kondisi inilah subjek transindividual melakukan aktivitas kolektifnya, sehingga dapat mengakomodasikan diri dalam struktur masyarakat yang mengalami kerusakan moral.

Pengakomodasian diri menjadi cara hidup yang dipilih subjek transindividual dalam novel

SAZZ karya Maulana Syamsuri. Hal ini disebabkan kesulitan subjek transindividual

melakukan asimilasi dalam kondisi sosial yang tidak dielaborasikan. Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,


(46)

“Nauli hanya tersenyum. Dia tidak pernah merasa iri meski pun tingkat kehidupan sahabatnya jauh lebih baik. Nauli sudah cukup bahagia meskipun hidup sederhana sebagai guru di desa dan suaminya cuma pemilik mobil tua yang selalu mengangkut hasil panen. Bu Nauli merasa cukup bahagia kalau hari minggu menerima uang storan dari suaminya setelah mobil tua itu dicarter oleh warga desa untuk menghadiri pesta di desa lain yang jauh letaknya.” (SAZZ, 2005:33)

Aktivitas itu memperlihatkan subjek individual yang merupakan bagian dari subjek kolektif merasa bahagia hidup sederhana di dalam masyarakat desa. Kehidupan sederhana merupakan akibat penolakan subjek transindividual berasimilasi dalam struktur masyarakat yang hidup mewah.

Perwujudan subjek transindividual dapat dilihat dari keberadaan subjek kolektif sebagai kehadiran bersama dalam persoalan lingkungan hidup. Masyarakat desa yang masih menjaga lingkungan disekitarnya dan melestarikan lingkungan dalam novel SAZZ menjadi wujud

kebersamaan di dalam masyarakat. Perwujudan tersebut mengakibatkan terciptanya alam desa yang masih indah dan terawat. Hal itu dikarenakan masyarakat desa memiliki nilai tanggung jawab bersama.

5.3 Pandangan Dunia

Pandangan dunia merupakan salah satu mediasi yang digunakan untuk menghubungkan struktur puisi dengan masyarakat. Pandangan dunia dapat diteliti aspirasi, perilaku, dan perasaan setiap idividu dan kelompok individu dalam masyarakat. Individu-individu tersebut memberi kontribusi dalam kondisi sosial. Oleh karena itu, pandangan dunia terus-menerus akan menampilkan hasil interaksi subjek kolektif dengan situasi alam sekitar yang menentukan nasib dan masa depan masyarakatnya.

Proses interaksi yang dilakukan subjek kolektif tidak berlangsung secara kebetulan proses itu berlangsung lama dan perlahan-lahan secara bertahap sehingga menampilkan struktur mentalitas baru yang mampu mengatasi mentalitas lama. Hal ini disebabkan adanya


(47)

kesadaran yang nyata dan kesadaran yang mungkin dari individu-individu dalam memahami keterbatasannya. Hal ini membatasi kemampuan manusia untuk menyadari secara lengkap dan menyeluruh tentang makna dan arah dari seluruh aspirasi, perilaku, dan emosi kolektif masyarakatnya (Faruk, 1999:16:17).

Pandangan dunia dalam SAZZ dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu

pandangan dunia, manusia, dan Tuhan. Kesadaran yang nyata dan kesadaran yang mungkin dalam memandang dunia, manusia, dan Tuhan dapat dilihat dari tema keinginan memiliki seorang keturunan sehingga melakukan segala cara agar mendapatkan keturunan. Keinginan mempunyai sang anak membuat tokoh Bu Nauli lebih mendekatkan diri pada Tuhan sebagai pencipta alam semesta.

Novel SAZZ memiliki pandangan dunia yang besar dari kesadaran yang mungkin dan

pandangan tentang manusia. Kesadaran yang mungkin itu merupakan kritik sosial yang berbicara mengenai manusia.

5.3.1 Kesadaran yang Nyata

Kesadaran yang nyata dalam SAZZ karya Maulana Syamsuri adalah tema dari novel.

Kedudukan pandangan dunia dari kesadaran yang nyata dalam novel bertemakan keluarga memiliki konsistensi dengan fakta kemanusiaan dan subjek kolektif. Hal ini dapat ditelusuri dari kesejajaran antara kesadaran yang nyata dengan fakta individual dan subjek individual dalam kategori fakta kemanusiaan dan subjek kolektif. Kesejajaran ini telah menempatkan pandangan dunia individu-individu dalam kelompok masyarakat akan terus-menerus terikat oleh aspirasi, perilaku, dan emosi kolektif yang mendasari kehidupannya. Aspirasi, perilaku, dan emosi individu-individu yang dimiliki oleh kesadaran yang nyata dalam SAZZ karya

Maulana Syamsuri hanya ditujukan kepada manusia dan Tuhan.


(48)

terutama terdiri dari pelaku utama dan pelaku sampingan. Para pelaku berperan secara tidak seimbang dalam rumah tangga yang disadari oleh istri telah menanggung semuanya akibat tidak dapat memberi keturunan kepada suaminya. Oleh sebab itu, tokoh utama bernama Bu Nauli menderita kesedihan dan kepasraan akibat gagal mewujudkan obsesi yang sempurna dalam berumah tangga.

Gambaran rumah tangga dalam novel SAZZ dilihat dari usaha yang selalu dilakukan

pasangan suami-istri Bu Nauli dan Bang Lindung untuk memperoleh keturunan. Pada novel ditemukan posisi suami yang bertindak sebagai kepala rumah tangga yang ingin sempurna di rumah tangganya. Akan tetapi, keinginan itu tidak tidak sesuai dengan keadaan suami sehingga pelacakan terhadap kemampuan suami mempertahankan keutuhan rumah tangga hanya ditopang oleh ketulusan cinta dan keegoisan.

Suami dan istri dalam SAZZ memang ditampilkan Maulana Syamsuri sebagai pecinta

sejati. Suami ditampilkan lebih agresif dan isteri lebih banyak memaklumkan kondisi sosial yang dihadapi rumah tangganya. Pada posisi ini mulai diperlihatkan superioritas suami dalam menghadapi persoalan rumah tangga. Sikap ini melahirkan optimisme dan pesimisme sekaligus sebab optimis yang dibangun selalu berakhir dengan kegagalan. Hal itu terlihat dari kekecewaan suami yang tidak memperoleh anak dari hasil perkawinannya. Kondisi ini disadari oleh suami dapat menghancurkan keutuhan rumah tangga sehingga suami memilih untuk menikah lagi.

Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Bagaimana dengan Kak Nauli?. Apakah dia akan menganggap diriku telah merenggut kebahagiaan miliknya. Apakah Kak Nauli akan beranggapan bahwa aku merenggut Bang Lindung dari sisinya?”

“Dia tidak akan menuduh seperti itu.” “Kenapa?”

“Karena dia sudah memaklumi dirinya, suatu saat aku akan mengawini perempuan lain karena dia seorang perempuan mandul. Laki-laki harus punya anak dari perkawinan yang syah dan aku tidak mendapatkannya dari Nauli. Dia sudah menduga hal ini pasti akan terjadi.” (SAZZ, 2005:61)


(49)

Kekecewaan suami dalam mewujudkan obesesi yang sempurna mengurangi keteguhan hatinya mempertahankan rumah tangga. Pengaruh keluarga dan pengaruh adat istiadat membuat suami menikah lagi dengan wanita lain agar memperoleh keturunan. Namun, kecintaannya kepada istri membuat suami tetap mempertahankan rumah tangga sebab perceraian dianggap sesuatu yang haram dan dilarang agama.

Istri ternyata memiliki pandangan dunia yang mengagungkan kesakralan perkawinan dengan cara menciptakan kesejukan dalam rumah tangga. Oleh karena itu, istri terus-menerus menyembunyikan kesedihan akibat tidak dapat memberikan anak pada suami.

Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Bu Nauli mash selalu sering termenung dan terkadang air matanya berderia-derai seperti hujan lebat yang membasahi bumi Mandailing. Namun, Bu Nauli hanya pasrah kepada Tuhan bila malam sepi, meskipun dingin dan sepi dia selalu bangun dan melaksanakan solat tahajud. Di tengah malam yang sepi dan dingin itu, Bu Nauli memohon kepada Tuhan untuk mendapat ketenangan dalam rumah tangganya.”(SAZZ, 2005:58)

Kesadaran suami dan istri untuk mempertahankan rumah tangga tidak muncul secara lengkap dan menyeluruh. Kesadaran itu muncul secara bertahap. Mula-mula dari gagasan mengajak istri untuk mempertahankan cinta sejati dalam keluaga. Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Aku tidak akan membuat hati isteriku hancur. Aku tidak akan membuat dada isteriku perih. Tidak akan membuat hidupnya penuh dengan rintihan dan air mata.”

“Demi Tuhan, begitu?” “Demi, Tuhan!”

“Oh, Bang Lindung, aku sangat mencintaimu...” Tiba-tiba saja Bu Nauli merebahkan kepalanya di lengan Bang Lindung yang masih mengemudikan mobil Tuanya. “Aku tidak ingin kehilangan dirimu.”

“Aku juga tidak berpikir untuk menikah lagi. Aku tidak tega menyakiti hati isteriku yang cantik dan karirrnya sebagai guru, orang yang paling dihormati di desa kita. Aku bangga kawin dengan seorang guru.” (SAZZ, 2005:35)

Gagasan ini menjadi pengendali emosi akibat kegagalan melahirkan anak. Itu dapat dilihat dari . Dari kondisi ini terjadi perubahan perilaku dalam bentuk bercinta kembali antara


(50)

sesama kekasih. Kemudian secara berturut-turut muncul godaan untuk membagi cinta.

Kesadaran individu-idividu mempertahankan rumah tangga tanpa anak semakin diperjelas dalam novel yang menceritakan segala cara telah ditempuh untuk memperoleh keturunan. Novel SAZZ melahirkan pandangan dunia suami sebagai laki-laki yang

mendambakan anak dari hasil perkawinannya. Anak dipandang sebagai bukti kejantanan dan kebahagiaan berumah tangga. Status sosial inilah yang tidak dimiliki sehingga menimbulkan kekecewaan suami. Akan tetapi, kekecewaan itu dapat dikendalikan dengan rasa cinta yang tulus dan tanpa pamrih.

Kesadaran yang nyata yang dimiliki individu-individu dalam rumah tangga telah melahirkan suami sebagai laki-laki yang memiliki hubungan kompleks dengan masyarakat. Pertama, sikap optimis dalam memandang diri dan orang lain. Kedua, sikap intropeksi dalam menyelesaikan persoalan hidup. Sikap ini memberi kesempurnaan perilaku optimistik subjek individual sehingga tidak memiliki ketergantungan dengan orang lain.

Pandangan dunia dari kesadaran yang nyata semakin disempurnakan dalam kepercayaan tokoh terhadap ketuhanan. Kesadaran individu-individu memandang cinta, anak, dan individualitas dipertajam dalam percintaan yang terjalin antara tokoh. Cinta, anak, dan individualitas dipandang sebagai hasil interaksi manusia yang memiliki kedudukan tinggi dan hanya dapat dikalahkan oleh kemahatinggian Tuhan. Oleh karena itu, manusia ditempatkan sebagai pemimpin bumi. Kepemimpinan inilah yang tidak disadari secara menyeluruh sehingga mengakibatkan manusia selalu terjebak dalam aktivitas yang dilarang oleh Tuhan.

Tuhan dalam novel SAZZ dipandang sebagai sesuatu yang mahaagung. Oleh karena itu,

manusia wajib takwa dan tawakhal kepada Tuhan. Proses pengakuan ketuhanan ini diperlihatkan dalam perilaku riligius manusia yang sadar telah gagal menjalankan fungsi kekhalifahannya di bumi. Perilaku tersebut dapat dilihat dari ketidakberdayaan seorang perempuan soleha yang bernama Nauli dihadapan kemahaagungan Tuhan.


(1)

5.3.2 Kesadaran yang Mungkin

kesadaran yang mungkin merupakan kategori pandangan dunia yang lahir dari hubungan sosial suatu kelompok masyarakat dengan sesama dan alam sekitarnya. Hubungan ini bersifat menyeluruh dan terpadu sehingga mengesampingkan kepentingan individu-individu secara individualistik. Kesadaran seperti ini dapat ditelusuri dari isi novel yang mementingkan masyarakatnya dan alam sekitarnya. Pandangan terhadap dunia di luar dunia individu inilah yang akan dijadikan pedoman dalam melacak kondisi sosial yang mendasari kelahiran novel

SAZZ karya Maulana Syamsuri.

Kesadaran kelompok masyarakat untuk mengakomodasikan diri dalam novel SAZZ lebih ditujukan kepada manusia daripada alam sekitarnya. Pandangan dunia terhadap sesama manusia merupakan kesadaran yang menyeluruh dari kelompok masyarakat desa. Kelompok masyarakat desa dalam novel SAZZ saling berasimilasi dalam kehidupan sosialnya. Kehidupan sosial masyarakat desa memunculkan gejala-gejala takwa terhadap Tuhan, optimis, polos, solidaritas yang tinggi, dan memiliki sikap mensyukuri dengan keadaan yang dijalani.

Kesadaran yang mungkin sesuai dengan Novel SAZZ menujukkan masyarakat desa belum berasimilasi dengan masyarakat kota sehingga dalam masyarakat desa masih terlihat sistem kekerabatannya. Individu-individu saling menjaga adat-istiadat dalam suku khususnya suku Mandailing.

Gaya hidup tokoh-tokoh dalam novel adalah citra kepribadian manusia yang menghargai kehidupannya di dunia. Hal itu dapat dilihat dari tokoh-tokoh saling menghargai cinta dan kasih. Masyarakat desa juga memandang individu yang satu dengan individu yang lain memiliki hubungan yang erat. Hubungan itu menjadikan masyarakat saling mengenal dengan yang lain. Hal itu dapat berdampak pada kebutuhan individu bergantung pada masyarakat. Namun, kelemahan dari kebutuhan itu membuat masyarakat desa kehilangan jati dirinya


(2)

karena telah diatur oleh sistem kekerabatan. Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini.

“Kata-kata itu membuat Bu Nauli menunduk wajah. Dia tahu benar makna kata-kata, bahwa dalam masyarakat Mandailing setiap anggota masyarakat merasa senasib sepenanggungan. Bila seorang warga dalam kesulitan, seluruh warga ikut bersama-sama merasakannya dan berusaha untuk membantu.” (SAZZ, 2005:33)

Pandangan dunia yang lahir dari masyarakat yang sederhana memperkuat keberadaan pengarang sebagai orang yang ingin mengenal jati diri masyarakat desa. Pengarang juga berusaha menampilkan kehidupan desa dengan melatarinya dengan kondisi alam pedesaan.

Hal itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“tidak hanya seorang guru bernama Bu Aminah dan suaminya yang selalu merindukan kampung halamannya di Mandailing, tapi masih ribuan orang-orang yang berdarah Mandailing pasti selalu merindukan tanah kelahirannya, merindukan alamnya yang indah, gunung-gunungnya yang hijau, sungai-sungainya yang mengalir tenang dan airnya amat jernih. Para perantau asal Madina pasti selalu rindu kepada desannya di Batang Natal, Lingga Bayu, Si Abu, Bukit Malintang, Ulu pungkut, lembah Sorik Merapi dan lain-lain.” (SAZZ, 2005:33)


(3)

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Novel SAZZ karya Maulana Syamsuri dikemukakan dengan bahasa sopan yang dapat dimengerti masyarakat. Novel SAZZ memiliki jalan cerita yang lurus sehingga cerita dapat dimengerti. Masyarakat yang dikemukakan dalam novel SAZZ memiliki kebudayaan yang baik dengan istiadat lama. Tokoh-tokoh dalam cerita sangat menjunjung tinggi adat-istiadat sehingga tokoh-tokoh terikat dalam adat adat-istiadat lama tersebut. Hal itu dapat dilihat dari tokoh Suami harus menikah lagi karena tidak memiliki keturunan.

Struktural genetik dalam novel SAZZ terdiri dari fakta kemanusiaan, subjek kolektif, dan pandangan dunia. Pertama, fakta kemanusiaan yang diungkapkan adalah fakta individu dan fakta sosial. Fakta individu mengungkapkan persoalan yang selalu dekat dengan sikap emosi atau libinal lain dalam usaha setiap individu menciptakan keseimbangan hidup khususnya pada tokoh utama Bu Nauli, sedangkan Fakta sosial mengungkapkan perwujudan dari keterlibatan seseorang individu dalam kondisi sosialnya.

Kedua, subjek kolektif yang diungkapkan adalah subjek individual dan subjek transindividual. Subjek individual mengungkapkan cerminan emosi dan nafsu tokoh-tokoh di dalam novel SAZZ, sedangkan subjek transindividual mengungkapkan aktivitas tokoh yang merupakan perwujudan aktivitas fisik dan verbal suatu kelompok masyarakat.

Ketiga, pandangan dunia yang diungkapkan adalah kesadaran yang nyata dan kesadaran yang mungkin. Kesadaran yang nyata mengungkapkan gambaran mengenai pelaku-pelaku dalam novel khususnya gambaran mengenai rumah tangga tokoh, hubungan tokoh dengan toko lain, dan hubungan tokoh dengan Tuhannya, sedangkan kesadaran yang mungkin mengungkapkan masyarakat dalam novel dan alam yang digambarkan oleh pengarang.


(4)

6.2 Saran

Karya-karya yang dikarang oleh sastrawan Sumatera khususnya Sumatera Utara perlu dikembangkan. Pembaca dan peminat karya sastra Sumatera Utara perlu memperhatikan karya sastra Sumatera Utara. Hal itu dikarenakan karya sastera Sumatera utara lebih mengungkapkan keberadaan satu daerah yang masyarakat memiliki kebudayaan. Perkembangan itu dilakukan agar kebudayaan di Sumatera Utara dapat dikenal oleh seluruh kalangan masyarakat, baik masyarakat yang memiliki kebudayaan berbeda dengan yang diceritakan pengarang maupun kebudayaan yang diceritakan.


(5)

Daftar Pustaka

Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang: Sinar Baru Algensindo digilib.Uns. ac.id/abstrak.pdf.php?d id=1538 (retrieved: 22 Juni 2011)

Djajasudarma dan T. Fatimah. 1993. Metode Linguistik Ancangan Metode Penelitian dan Pengkajian. Bandung: Eresco

Esten, Mursal. 1978. Kesusastraan : Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Hamidy, U.U. 1983. Pembahasan Karya Fiksi dan Puisi. Pekanbaru: Bumi Pustaka

Jabrohim dkk. (Ed). 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia Keristiana. 2008. “Representasi Multikultural dalam Novel Pusara Karya Maulana Syamsuri:

Tesis S2 Departemen Sastra Indonesia”. Medan: USU

Kutha, Nyoman Ratna. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Malo, Monase. 1985. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Karunika

Nursisto. 2000. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa Poedjawijatana, I.R. 1987. Manusia dan Alamnya. Jakarta: Bumi Aksara

Pradopo, Rachmat Djoko. 2001. “Dewa Telah Mati: Kajian Strukturalisme Semiotik” dalam Jabrohim (ed) Metode Penelitian Sastra. Cet 2. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya Putra, Wiradi. 2009. “Novel Rahasia Meede Karya E.S.Ito: Analisis Cerita Detektif: Skripsi

Departemen Sastra Indonesia.” Medan: USU

Rosliani. 1996. “Pengkajian Strukturalisme Genetik Terhadap Kumpulan Puisi ‘Luka Dunia Lukaku’ Karya N.A. Hadian: Skripsi Departemen Sastra Indonesia.” Medan: USU Suwondo, Tirto. 2001. “Analisis Struktural Saslah satu Model Pendekatan dalam Penelitian

sastra” , dalam Metode Penelitian Sastra, dalam Jabrohim (ed). Yogyakarta: Hanindita Graha Widia


(6)

Semi, Atar. 1988. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa

Suroto. 1989. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga

Syamsuri, Maulana. 2005. Seteguk Air Zam-Zam. Bogor: Sastra Novela

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya Wahyuni, Sri. 2002. “Novelet Rembulan Perak Karya Lila Fitri Ali: Konflik Kejiwaan

Wanita Karier: Skripsi Departemen Sastra Indonesia”. Medan: USU

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia

www.47semiotika.html (retrieved: 8 Desember 2010)