Pemberdayaan Camat Konstruksi Ideal Politik Hukum Hubungan Kewenangan antara

127 kondisi yang ada, yaitu ada ketidakmerataan kemampuan Kepala Desa dan Perangkat Desa dalam pengelolaan keuangan Desa. Permasalahan ini disebabkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah, dalam hal ini Presiden sama-sama berkepentingan menjadikan Undang-Undang Desa sebagai komoditas politik untuk meraih simpati rakyat dalam pemenangan Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden. Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah “seakan lupa” bahwa fungsi legilasi nasional sangat penting dalam rangka pembentukan hukum yang menjadi jalan bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Selain terkesan lalai dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah juga terkesan kurang hati-hati dan cermat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. 182 Sehingga substansi teknis berkaitan dengan pengelolaan keuangan desa kurang diperhatikan lebih lanjut, implikasinya lahirlah ketentuan yang menyandera pelaksanaan otonomi Desa tersebut.

2. Pemberdayaan Camat

Keberadaan Kecamatan dalam sistem pemerintahan di Negara Republik Indonesia sudah cukup lama, bahkan lebih tua dari usia Negara Republik Indonesia. Kecamatan baik sebagai sebuah entitas maupun sebagai sebuah organisasi telah mengalami pasang naik dan pasang surut dalam menjalankan perannya sebagai agen kekuasaan maupun dalam rangka melayani masyarakat. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Kecamatan disebut sebagai onderdistric, mempunyai tugas membantu Kepala Distrik Wedana untuk menjalankan fungsi penegakan hukum dan aturan. Kepala Onder Distric juga berkedudukan sebagai Jaksa Pembantu yang diberi tugas untuk melaksanakan penyidikan berbagai pelanggaran hukum tertentu. Pada masa kemerdekaan, peran Wedana mengalami pasang surut, kemudian 182 Otong Rosadi, “Hukum Kodrat, Pancasila dan Asas Hukum dalam Pembentukan Hukum di Indonesia”, artikel dalam Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 3, No. 3, September 2010, hlm. 277. 128 justru dihapus. Perannya diambil alih dan digantikan oleh Camat sebagai kepala pemerintahan. 183 Ketika Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 berlaku, kedudukan kecamatan sebagai wilayah administratif pemerintahan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi serta Camat sebagai kepala wilayah tampak begitu masif. Hal ini sejalan dengan dengan sistem pemerintahan yang bersifat sentralistik represif, sehingga pemerintah pusat memerlukan kepanjangtanganan sampai ke unit yang terbawah. Kedudukan Presiden sebagai satu-satunya mandaris Majelis Permusyawaratan Rakyat kemudian memunculkan devariasinya berupa kepala wilayah sebagai penguasa tunggal di bidang pemerintahan di wilayah administratif. Sebagai penguasa tunggal di bidang pemerintahan, kepala wilayah menjadi koordinator forum komunikasi pimpinan daerah yang disebut Musyawarah Pimpinan Daerah Muspida. Di tingkat Kecamatan, Camat sebagai kepala wilayah, berkedudukan pula sebagai koordinator Musyawarah Pimpinan Kecamatan Muspika. Posisi Camat sebagai koordinator Musyawarah Pimpinan Kecamatan Muspika. Posisi camat sebagai koordinator diperkuat melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Instansi Pemerintah di Daerah. 184 Sebagai institusi pelaksana asas dekosentrasi, Camat menjadi pengawal berjalannya program-program pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan yang ada di Kecamatan. Camat sebagai kepala wilayah Kecamatan ikut bertanggung jawab terhadap berbagai program inpres yang ada di wilayahnya, seperti Inpres Bantuan Desa, Inpres Kesehatan, Inpres Pendidikan, dan lain sebagainya. Melalui cara demikian, pengendalian program dan proyek dari pusat sampai ke bawah terjalin dengan rapi dan dalam satu garis komando. Pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan urusan residual yang menjadi kewenangan pemerintah pusat juga ditangani 183 Sadu Wasistiono, Ismail Nurdin, dan M Fahrurozi, Perkembangan Organisasi Kecamatan dari Masa ke Masa, Penerbit Fokusmedia bekerjasama dengan Lembaga Kajian Manajemen Pemerintahan Daerah, Bandung, 2009, hlm. 200. 184 Ibid. 129 oleh Camat, untuk menjaga agar tidak terjadi kekosongan pemerintahan. Urusan residual adalah urusan-urusan sisa yang tidak masuk ke dalam urusan instansi vertikal di daerah maupun dinas daerah. 185 Setelah terjadinya reformasi tahun 1998, melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, arus utama pelenggaraan pemerintahan yang semula bersifat sentralistik diubah menjadi sangat desentralistik. Keberadaan instansi vertikal di daerah sangat dibatasi hanya untuk kewenangan mutlak yang ditangani oleh Pemerintah Pusat. Keberadaan wilayah administrasi pemerintahan berupa Kabupaten, Kotamadya, Kota Administratif serta Kecamatan dengan masing-masing kepala wilayahnya juga mengalami perubahan mendasar. Fungsi ganda kepala daerah yang juga kepala wilayah hanya diadakan di tingkat provinsi, sedangkan pada tingkat KabupatenKota hanya berfungsi sebagai Kepala Daerah. 186 Melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pelaksanaan asas dekonsentrasi dititikberatkan pada tingkat Provinsi, sedangkan pada tingkat KabupatenKota dan Kecamatan hanya ada instansi vertikal yang menjalankan kewenangan mutlak pemerintah pusat meliputi: pertahanan dan keamanan, politik luar negeri, yustisi, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan strategis lainnya yang berskala nasional. Sebaliknya di tingkat KabupatenKota lebih banyak menjalankan asas desentralisasi. Salah satu konsekuensi logis dari perubahan arus utama penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah perubahan kedudukan kecamatan. Kecamatan yang semula merupakan wilayah administrasi pemerintahan berubah menjadi lingkungan kerja perangkat daerah perubahan dari ambs kring menjadi wek kring. Camat yang semula adalah kepala wilayah dan merupakan perangkat pemerintah pusat di daerah, berubah statusnya menjadi perangkat daerah. 187 185 Ibid. 186 Ibid., hlm. 200-201. 187 Ibid., hlm. 201. 130 Perubahan kedudukan kecamatan dan status Camat dalam praktiknya tidak semudah mengubah kalimat dalam undang-undang. Camat yang selama ini sudah dianggap “bapaknya” masyarakat karena diposisikan sebagai administrator pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, menghadapi berbagai dilema, baik dari segi kedudukan organisasional, hubungan dengan Pemerintah Desa maupun pengaturan pembiayaannya. Kedudukan organisasional Kecamatan tidak diatur secara jelas dan tegas di dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 84 maupun Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Penyusunan Organisasi Perangkat Daerah, kedudukan organisasi kecamatan juga tidak pernah jelas apakah sebagai unsur staf seperti Setda, unsur pelaksana seperti dinas ataupun sebagai unsur pelaksanaan teknis daerah seperti badan dan kantor. Padahal kedudukan organisasional akan menggambarkan jenis pekerjaan, pembiayaan serta mekanisme pertanggungjawabannya. 188 Fungsi utama Pemerintahan Daerah telah bergeser dari promotor pembangunan menjadi pelayan masyarakat. Sejalan dengan perubahan tersebut, sudah selayaknya apabila Kecamatan juga diposisikan sebagai salah satu unit yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat untuk jenis pelayanan sederhana, mudah, cepat serta tidak memerlukan persyaratan teknis tinggi. Berkaitan dengan perubahan fungsi pemerintahan daerah, Kecamatan sudah sepantasnya dijadikan sebagai pusat pelayanan masyarakat Pusyanmas, untuk pelayanan publik yang sederhana, mudah serta tidak memerlukan persyaratan teknis tinggi. Contoh riilnya adalah beberapa Kecamatan di Kabupaten Sukabumi ingin bergabung masuk ke wilayah Kota Sukabumi karena pelayanan ke ibukota Kabupaten terletak di Pelabuhan Ratu dianggap terlalu jauh. Masalah ini sebenarnya dapat diatasi apabila pelayanan dasar masyarakat dapat didelegasikan kepada Camat, sehingga memenuhi asas pelayanan mendekati konsumen close to the 188 Ibid. 131 customers. Ada beberapa keuntungan apabila kecamatan dapat dijadikan pusat pelayanan masyarakat antara lain: 189 a. pelayanan masyarakat menjadi lebih dekat dan merata, sehingga diharapkan dapat mengurangi hasrat pembentukan daerah otonom baru karena alasan ketidakmerataan pembangunan dan pelayanan publik; b. akan mengurangi jumlah unit-unit pelayanan berupa cabang dinas dan UPTD sebagai kepanjang tangan dari dinas di tingkat Kecamatan, sehingga dapat dilakukan penghematan; c. ada pembagian tanggung jawab pembinaan wilayah beserta isinya berdasarkan klaster Kecamatan yang cakupannya lebih terbatas dibanding KabupatenKota, sehingga akan lebih terjangkau dan terpantau secara efektif; dan d. BupatiWalikota akan dapat memusatkan perhatiannya untuk mengurus hal-hal yang berskala KabupatenKota, karena hal-hal yang berskala Kecamatan sudah ditangani oleh Camat. Menurut Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa Kecamatan atau yang disebut dengan nama lain adalah bagian dari daerah KabupatenKota yang dipimpin oleh Camat. Pasal 221 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa Daerah KabupatenKota membentuk Kecamatan dalam rangka meningkatkan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik, dan pemberdayaan masyarakat DesaKelurahan. Lalu, dalam Pasal 224 ayat 1 mengatur bahwa Kecamatan dipimpin oleh seorang Kepala Kecamatan yang disebut Camat yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada BupatiWalikota melalui Sekretaris Daerah. Pasal 225 ayat 1 mengatur bahwa Camat mempunyai tugas: a menyelenggarakan urusan pemerintahan umum; b mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat; c mengoordinasikan upya 189 Ibid., hlm. 202. 132 penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum; d mengoordinasikan penerapan dan penegakan Perda dan Perkada; e mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan sarana pelayanan umum; f mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan yang dilakukan perangkat daerah di Kecamatan; g Membina dan mengawasi penyelenggaraan kegiatan Desa danatau Kelurahan; h Melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah KabupatenKota yang tidak dilaksanakan oleh unit kerja perangkat daerah KabupatenKota yang ada di Kecamatan; dan i Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Selain itu, Pasal 226 ayat 1 mengatur bahwa selain melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 225 ayat 1, Camat mendapatkan pelimpahan sebagian kewenangan BupatiWalikota untuk melaksanakan sebagaian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah KabupatenKota. Lalu, Pasal 226 ayat 2 mengatur bahwa pelimpahan kewenangan BupatiWalikota sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan berdasarkan pemetaan pelayanan publik yang sesuai dengan karakteristik Kecamatan danatau kebutuhan masyarakat pada Kecamatan bersangkutan. Sebagai subsistem dalam sistem pemerintahan, penyempurnaan mengenai kedudukan Kecamatan dan organisasi pemerintahannya akan sangat tergantung pada perubahan subsistem lainnya. Dengan kondisi yang ada sebagimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, di mana desa tetap dipertahankan melalui otonomi bersifat tradisional yang diakui oleh Pemerintah Pusat, maka eksistensi Kecamatan dapat diperkuat menjadi pusat pelayanan pengelolaan keuangan Desa. Dalam artian tahapan-tahapan teknis administratif pengelolaan keuangan Desa yang harus melewati 5 lima tahap yang selama ini menjadi kewenangan Desa dilimpahkan ke Kecamatan untuk bagian-bagian yang sifatnya teknis, birokratis, dan administratif utamanya yang berkaitan dengan penyusunan dokumen perencanaan, dokumen pelaksanaan, dokumen pentausahaan perbulan, laporan realisasi, dan laporan 133 pertanggungjawaban. Pemerintah Desa untuk menjaga eksistensi otonomi desa yang dimilikinya hanya diberikan tugaswewenang untuk merancang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan laporan realisasi anggaran secara sederhana, lalu untuk kelengkapan formil dalam setiap tahapan dilakukan oleh Kecamatan. Sehubungan dengan adanya wewenang, tugas, dan kewajiban Camat menjadi besar dan luas dalam menyelenggarakan pemerintahan. Sehingga perlu diimbangi dengan peningkatan pengetahuan dan kemampuan teknis administratifmanajerial Kepala Desa dan Perangkat Desa yang dilakukan melalui bimbingan teknis oleh Pemerintah beserta Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah KabupatenKota. Hal ini bertujuan agar sistem pengelolaan keuangan Desa yang dilakukan dapat berjalan secara berkesinambungan, tanpa adanya hambatan-hambatan teknis yang menyebabkan kegagalan dalam pengelolaan keuangan Desa. 190

3. Implikasi kepada Peraturan Perundang-Undangan