Faktor – faktor yang mempengaruhi kelelahan bersuara

produksi suara, pita suara mengalami vibrasi sebanyak 80 sampai 800 kali perdetik. Getaran ini bisa di observasi menggunakan cinematografi dengan pengambilan film sebanyak 2000 sampai 4000 kali perdetik Courey 2009. Pada videostroboskopi, digunakan cahaya xenon untuk menyinari laring guna mendapatkan pembiasan fraction tiap detik. Cahaya xenon akan menyinari pita suara terus-menerus pada berbagai posisi. Mikrofon digunakan untuk menangkap sinar dan mensikroniksasikannya menjadi frekuensi getaran pita suara Courey 2009. Karakteristik getaran pita suara di observasi pada frekuensi yang berbeda. Pada frekuensi suara yang rendah, pita suara akan menunjukkan pola getaran yang besar. Jika frekuensi suara bertambah akibat peningkatan tegangan pita suara, maka pola vibrasi menjadi lebih kecil. Hal ini disebabkan karena vibrasi pita suara hanya terjadi pada mukosa superfisial plika vokalis Courey 2009.

2.2.2 Faktor – faktor yang mempengaruhi kelelahan bersuara

Kelelahan bersuara disebabkan oleh berbagai hal Welham dan Maclagan 2003. Menurut Jones et al 2002. Kelelahan bersuara akibat lingkungan kerja merupakan kombinasi dari efek vokasional, personaliti dan faktor biologi. Faktor vokasional termasuk, lamanya pemakaian suara selama bekerja, bising di lingkungan kerja, jarak berbicara, dan faktor stres. Faktor personaliti Speech-related personality termasuk, kebiasaan seseorang menggunakan suara yang keras, terlalu tinggi dan cepat. Faktor biologi termasuk, semua faktor yang dapat menyebabkan gangguan pada mukosa pita suara seperti merokok, minum alkohol, kafein, sinusitis, penyakit alergi, dan gastrointestinal refluks GERD. Universitas Sumatera Utara Morrison dan Rammage mengatakan ada empat faktor internal yang dapat mempengaruhi produksi suara, yaitu posisi tubuh yang salah, kebiasaan merokok, emosi dan GERD Koojiman et al. 2005. Jonsdotir 2003 dalam disertasinya mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya kelelahan bersuara pada guru antara lain intensitas suara, bidang studi yang diajarkan, jenis kelamin, faktor stres, faktor ergonomik, kebiasaan merokok dan penyakit infeksi saluran napas. Pendapat yang sama juga dikemukan oleh Munier dan Kinsella 2007. William 2003 menambahkan bahwa meningkatnya resiko terjadinya kelelahan bersuara tergantung pada durasi mengajar, lamanya berprofesi menjadi guru dan faktor usia. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan terhadap munculnya kelelahan bersuara adalah faktor lingkungan tempat bekerja. Kondisi sekolah yang bising, kondisi fisik kelas seperti kelas yang sempit dengan jumlah murid yang terlalu banyak, bising, debu, penerangan yang buruk, ventilasi udara yang kurang, dapat mengganggu kualitas suara selama mereka bekerja. Alves et al. 2009. Jonsdotir 2003 menemukan adanya korelasi antara keluhan guru seperti rasa kering ditenggorokan, suara serak dan rasa tidak enak ditenggorokan dengan kondisi lingkungan sekolah yang buruk. Faktor resiko yang paling utama munculnya kelelahan bersuara adalah penggunaan suara itu sendiri. Hal ini berhubungan dengan tingkat intensitas suara yang digunakan selama mengajar. Berbicara di lingkungan yang ramai atau berbicara dengan jarak yang jauh dapat meningkatkan intensitas suara. Rata-rata intensitas suara perempuan dalam percakapan sehari-hari sebesar 48 dB sedangkan intensitas suara laki- laki sebesar 51 dB Jonsdotir 2003. Universitas Sumatera Utara Guru yang mengajar pada mata pelajaran tertentu misalnya guru agama, guru kesenian, dan guru olah raga, dapat mempengaruhi timbulnya masalah bersuara Jonsdotir 2003, Williams 2003, Nerriere et al. 2009 . Hal ini disebabkan karena guru bidang studi ini lebih banyak menggunakan suara selama mengajar dan terkadang mereka harus menggunakan suara yang lebih keras Nerriere et al. 2009. Di Indonesia, khususnya Kota Medan, guru wali kelas yang mengajar di SD adalah guru yang bertanggung jawab terhadap sejumlah murid dalam satu kelas dan merangkap sebagai guru yang mengajar di beberapa bidang studi. Perempuan lebih beresiko mengalami kelelahan bersuara dibandingkan laki-laki Smith et al. 1998 , Williams 2003. Russel et al 1998 dalam studinya mengatakan bahwa perempuan dua kali lebih mudah mengalami kelelahan bersuara dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan pada struktur organ pembentuk suara. Pada perempuan frekuensi fundamental F0 lebih tinggi dibandingkan laki-laki, sehingga pita suara pada perempuan lebih banyak mengalami vibrasi Jonsdotir 2003. Adanya perbedaan jumlah fibronectin dan hyaluronic acid HA pada lapisan lamina propria pita suara, menyebabkan pita suara perempuan lebih tipis dan kaku dibandingkan laki laki Eckley 2008. Butler menemukan kadar hyaluronic acid pada perempuan lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Ini menyebabkan pita suara perempuan lebih mudah mengalami trauma akibat pengunaan suara yang berlebihan Jones et al. 2002. Stres bisa menjadi salah satu faktor pemicu munculnya kelelahan bersuara pada guru. Kyriacou dan Sutcliffe melakukan pemeriksaan terhadap 257 guru di Inggris dan menemukan 20 guru bekerja dalam kondisi stres Jonsdotir 2003. Hal ini berhubungan dengan murid yang tidak disiplin dan kondisi kelas yang bising selama Universitas Sumatera Utara kegiatan belajar mengajar. Guru yang bekerja pada kondisi stres dapat mengakibatkan munculnya kelelahan bersuara demikian juga sebaliknya Simberg 2004. Posisi tubuh saat bekerja juga mempengaruhi munculnya kelelahan bersuara. Guru lebih sering berdiri saat mengajar dibandingkan posisi duduk. Vintturi et al 2003 pada penelitiannya menemukan bahwa guru yang mengajar pada posisi berdiri lebih banyak mengeluhkan adanya gangguan bersuara dibandingkan dengan posisi duduk. Koojiman et al 2005 menemukan adanya hubungan antara tegangan otot-otot laring dengan posisi tubuh terhadap munculnya kelelahan bersuara. Posisi yang tidak simetris antara leher dan bahu dapat menyebabkan terjadinya lordosis servikal yang dapat mempengaruhi produksi suara. Merokok dapat menyebabkan edema pada pita suara. Ini mengakibatkan terjadinya gangguan vibrasi sehingga frekuensi fundamental F0 menurun. Damborenea 1999 pada studinya menemukan bahwa frekuensi fundamental F0 lebih rendah ditemukan pada perokok dibanding dengan yang bukan perokok. Reaksi alergi dan infeksi saluran napas atas menyebabkan suara menjadi serak. Lapisan superfisial pita suara yang longgar dan lentur akan bergetar lebih maksimal saat berbicara. Kondisi ini dapat menyebabkan kekakuan pita suara akibat laringitis Jonsdotir 2003. Laringitis kronis akibat penggunaan suara yang berlebihan dapat mengakibatkan inflamasi yang menetap sehingga pita suara menjadi lebih kaku Jonsdotir 2003. Preciado et al 2005 dalam studinya menemukan bahwa laringitis banyak dijumpai pada pria, kemungkinan ini disebabkan oleh kebiasaan mengkonsumsi alkohol dan merokok. Universitas Sumatera Utara

2.2.3 Dampak kelelahan bersuara