b. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan
pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan
diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, apendisitis dan sebagainya.
c.Barium enema Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium
ke colonmelalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan
komplikasi-komplikasi dari appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding. Foto barium
enema yang dilakukan perlahan pada appendicitis akut memperlihatkan tidak adanya pengisian apendiks dan efek
massa pada tepi medial serta inferiordari seccum; pengisian
lengkap dari apendiks menyingkirkan appendicitis.
d. CT-Scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis. Selain itu juga dapat menunjukkan komplikasi dari appendicitis seperti
bilaterjadi abses. e. Laparoscopi
Yaitu suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic
yang dimasukkan dalam abdomen, appendiks dapat divisualisasikan secara langsung.Tehnik ini dilakukan di bawah
pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendiks maka pada saat itu
Universitas Sumatera Utara
juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendiks.
Diagnosis Banding :
1. Gastroenteritis akut 2. Kehamilan Ektopik
3. Adenitis Mesenterium
Penatalaksanaan :
1. Sebelum operasi a. Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis seringkali masih belum jelas. Dalam keadaan ini
observasi ketat perlu dilakukan. Pasien diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan. Laktasif tidak boleh diberikan bila
dicurigai adanya apendisitis ataupun bentuk peritonitis lainnya. Pemeriksaan abdomen dan rectal serta pemeriksaan darah
lekosit dan hitung jenis diulang secara periodik. Foto abdomen dan toraks tegak dilakukan untuk mencari kemungkinan
adanya penyulit lain. Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah
dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan. b. Antibiotik.
Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan
antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitisperforate. Penundaan tindakan bedah sambil
memberikanantibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.
Universitas Sumatera Utara
2. Operasi
1.Appendiktomi cito appendicitis akut, abses, dan perforasi 2.Appendiktomi elektifappendisitis kronis
3.Konservatif kemudian operasi elektif appendisitis infiltrat Operasi Appendisitis akut disebut : A. Chaud
Operasi Appendisitis kronis disebut : A. Froid
3. Pascaoperasi Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui
terjadinya pendarahan di dalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernafasan. Angkat sondelambung bila pasien telah
sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah.
Baringkan pasien dalam posisi semi Fowler. Pasien dikatakan
baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada
perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal.
Komplikasi :
Komplikasi yang mungkin timbul adalah peritonitis, abses subfrenikus, infiltrat dan fokal sepsis intraabdominal lain.
26
• Penyakit crohn. Definis
i : Penyakit Crohn Enteritis Regionalis, Ileitis Granulomatosa, Ileokolitis
adalah peradangan menahun pada dinding usus. Penyakit ini mengenai seluruh ketebalan dinding usus. Kebanyakan terjadi pada bagian terendah
Universitas Sumatera Utara
dari usus halus ileum dan usus besar, namun dapat terjadi pada bagian manapun dari saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus, dan
bahkan kulit sekitar anus.
penyebab :
Penyebab penyakit Crohn sampai saat ini belum diketahui. Penelitian memusatkan perhatian pada tiga kemungkinan penyebabnya,
yaitu: - Kelainan fungsi sistim pertahanan tubuh
- Infeksi - Makanan.
Gejala dan tanda :
Gejala awal yang paling sering ditemukan adalah diare menahun, nyeri kram perut, demam, nafsu makan berkurang dan penurunan berat
badan.Pada pemeriksaan fisik ditemukan benjolan atau rasa penuh pada perut bagian bawah, lebih sering di sisi kanan.
Komplikasi :
Yang sering terjadi dari peradangan ini adalah penyumbatan usus, saluran
penghubung yang abnormal fistula dan kantong berisi nanah abses. Fistula
bisa menghubungkan dua bagian usus yang berbeda. Fistula juga
bisa menghubungkan usus dengan kandung kemih atau usus dengan permukaan kulit, terutama kulit di sekitar anus. Adanya lobang pada usus
halus perforasi usus halus merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Jika mengenai usus besar, sering terjadi perdarahan rektum. Setelah
beberapa tahun, resiko menderita kanker usus besar meningkat. Sekitar
Universitas Sumatera Utara
sepertiga penderita penyakit Crohn memiliki masalah di sekitar anus,
terutama fistula dan lecet fissura pada lapisan selaput lendir anus.
Penyalit Crohn dihubungkan dengan kelainan tertentu pada bagian tubuh lainnya, seperti batu empedu, kelainan penyerapan zat gizi dan
penumpukan amiloid amiloidosis. Bila penyakit Crohn menyebabkan timbulnya gejala-gejala saluran
pencernaan, penderita juga bisa mengalami : - peradangan sendi artritis
- peradangan bagian putih mata episkleritis - luka terbuka di mulut stomatitis aftosa
- nodul kulit yang meradang pada tangan dan kaki eritema nodosum - luka biru-merah di kulit yang bernanah pioderma gangrenosum.
Jika penyakit Crohn tidak menyebabkan timbulnya gejala-gejala di saluran pencernaan, penderita masih bisa mengalami :
- peradangan pada tulang belakang spondilitis ankilosa - peradangan pada sendi panggul sakroiliitis
- peradangan di dalam mata uveitis dan - peradangan pada saluran empedu kolangitis sklerosis primer.
Gejala utamanya mungkin berupa peradangan sendi, demam, anemia atau pertumbuhan yang lambat.
Diagnosis :
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya kram perut yang terasa nyeri dan diare berulang, terutama pada penderita yang juga memiliki peradangan pada
sendi, mata dan kulit.
Universitas Sumatera Utara
Tidak ada pemeriksaan khusus untuk mendeteksi penyakit Crohn, namun pemeriksaan darah bisa menunjukan adanya:
- anemia - peningkatan abnormal dari jumlah sel darah putih
- kadar albumin yang rendah - tanda-tanda peradangan lainnya.
Barium enema bisa menunjukkan gambaran yang khas untuk penyakit Crohn pada usus besar.
Jika masih belum pasti, bisa dilakukan pemeriksaan kolonoskopi pemeriksaan usus besar dan biopsi untuk memperkuat diagnosis.
CT scan bisa memperlihatkan perubahan di dinding usus dan menemukan adanya abses, namun tidak digunakan secara rutin sebagai pemeriksaan
diagnostik awal.
Penatalaksanaan :
Pengobatan ditujukan untuk membantu mengurangi peradangan dan meringankan gejalanya.Kram dan diare bisa diatasi dengan obat-obat
antikolinergik, difenoksilat, loperamide, opium yang dilarutkan dalam alkohol dan codein. Obat-obat ini diberikan per-oral melalui mulut dan
sebaiknya diminum sebelum makan. Untuk membantu mencegah iritasi anus, diberikan metilselulosa atau
preparat psillium, yang akan melunakkan tinja. Sering diberikan antibiotik berspektrum luas.
Antibiotik metronidazole bisa membantu mengurangi gejala penyakit Crohn, terutama jika mengenai usus besar atau menyebabkan terjadinya
abses dan fistula sekitar anus.
Universitas Sumatera Utara
Sulfasalazine obat lainnya dapat menekan peradangan ringan, terutama pada usus besar. Tetapi obat-obat ini kurang efektif pada penyakit Crohn
yang kambuh secara tiba-tiba dan berat.Kortikosteroid misalnya prednisone, bisa menurunkan demam dan mengurangi diare,
menyembuhkan sakit perut dan memperbaiki nafsu makan dan menimbulkan perasaan enak. Tetapi penggunaan kortikosteroid jangka
panjang memiliki efek samping yang serius. Biasanya dosis tinggi dipakai untuk menyembuhkan peradangan berat dan gejalanya, kemudian
dosisnya diturunkan dan obatnya dihentikan sesegera mungkin. Obat-obatan seperti azatioprin dan mercaptopurine, yang merubah kerja
dari sistim kekebalan tubuh, efektif untuk penyakit Crohn yang tidak memberikan respon terhadap obat-obatan lain dan terutama digunakan
untuk mempertahankan waktu remisi bebas gejala yang panjang. Obat ini mengubah keadaan penderita secara keseluruhan, menurunkan
kebutuhan akan kortikosteroid dan sering menyembuhkan fistula.Tetapi obat ini sering tidak memberikan keuntungan selama 3-6 bulan dan bisa
menyebabkan efek samping yang serius. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan yang ketat terhadap kemungkinan terjadinya alergi,
peradangan pankreas pankreatitis dan penurunan jumlah sel darah putih.
26
• PID : Pelvic inflammatory diseasePID adalah penyakit infeksi dan
inflamasi pada traktur reproduksi bagian atas, termasuk uterus, tuba
fallopi, dan struktur penunjang pelvis. PID merupakan sebuah
Universitas Sumatera Utara
spektrum infeksi pada traktus genitalia wanita yang termasuk di
dalamnya endometritis, salpingitis, tuba-ovarian abses, dan peritonitis. PID
biasanya disebabkan oleh kolonisasi mikroorganisme di endoserviks yang bergerak ke atas menuju endometrium dan tuba
fallopi. Inflamasi dapat timbul kapan saja dan pada titik manapun di traktus genitalia.
Faktor Resiko : Terdapat beberapa faktor resiko terjadinya PID, namun yang utama
adalah aktivitas seksual atau disebabkan karena luka pada mukosa
misalnya akibat AKDR atau kuretase. Resiko juga meningkat berkaitan
dengan jumlah pasangan seksual. Pasien yang digolongkan memiliki
resiko tinggi untuk PID adalah wanita berusia dibawah 25 tahun,
menstruasi, memiliki pasangan seksual yang multipel, tidak menggunakan kontrasepsi, dan tinggal di daerah yang tinggi prevalensi
penyakit menular seksual. PID juga sering timbul pada wanita yang pertama kali berhubungan seksual. Pemakaian AKDR meningkatkan
resiko PID 2-3 kali lipat pada empat 4 bulan pertama setelah
pemakaian, namun kemudian resiko kembali menurun.
Etiologi :
PID biasanya disebabkan oleh mikroorganisme penyebab penyakit menular seksual seperti N. Gonorrhea dan C. Trachomatis.
Mikroorganisme endogen yang ditemukan di vagina juga sering
ditemukan pada traktus genitalia wanita dengan PID. Mikroorganisme
tersebut termasuk bakteri anaerob seperti prevotella dan
peptostreptokokus seperti G. vaginalis. Bakteri tersebut bersama
Universitas Sumatera Utara
dengan flora vagina menyebar secara asenden dan secara enzimatis merusak barier mukosa serviks.
Beberapa jenis inflamasi yang termasuk PID dan sering ditemukan
adalah : a. Salpingitis
Mikroorganisme yang tersering menyebabkan salpingitis adalah N. Gonorhea dan C. trachomatis. Salpingitis timbul pada remaja yang
memiliki pasangan seksual multiple dan tidak menggunakan kontrasepsi. Gejala meliputi nyeri perut bawah dan nyeri pelvis yang
akut. Nyeri dapat menjalar ke kaki. Dapat timbul sekresi vagina. Gejala tambahan berupa mual, muntah, dan nyeri kepala.
Temuan laboratorium yaitu normal leukosit atau leukositosis.
Penatalaksanaan adalah dengan antimicrobial terapi. Pasien harus
dirawat, tirah baring, dan diberi pengobatan empirik. Prognosis bergantung pada terapi antimicrobial spectrum luas dan istirahat yang
total. Komplikasi berupa hidrosalping, pyosalping, abses tubaovarian, dan infertilitas.
b. Abses Tuba Ovarian Abses ini dapat muncul setelah onset salpingitis, namun lebih sering
akibat infeksi adnexa yang berulang. Pasien dapat asimptomatik atau dalam keadaan septic shock. Onset ditemukan 2 minggu setelah
menstruasi dengan nyeri pelvis dan abdomen, mual, muntah, demam, dan takikardi. Seluruh abdomen tegang dan nyeri. Leukosit dapat
rendah, normal, atau sangat meningkat.
Universitas Sumatera Utara
Diagnosa diferensial yaitu kista ovarium, neoplasma ovarium, kehamilan ektopik, dan periapendiceal abses. Penatalaksanaan awal
dengan antibiotik. Jika massa tidak mengecil setelah dua atau tiga 2- 3 minggu terapi antibiotik, merupakan indikasi pembedahan.
Diagnosis : PID
dapat didiagnosa dengan riwayat nyeri pelvis, sekresi cairan vagina, nyeri tekan adnexa, demam, dan peningkatan leukosit.
1. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik, biasanya didapati :
• Nyeri tekan perut bagian bawah • Pada pemeriksaan pelvis dijumpai : sekresi cairan
mukopurulen,nyeri pada pergerakan serviks, nyeri tekan uteri, nyeri tekanadnexa yang bilateral
• Mungkin ditemukan adanya massa adnexa Beberapa tanda tambahan adalah :
1. Suhu oral lebih dari 38ºC 2. Pemeriksaan Laboratorium
• Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai jumlah leukosit lebihdari 100.000 pada 50 kasus. Hitung leukosit mungkin
normal,meningkat, atau menurun, dan tidak dapat digunakan
untukmenyingkirkan PID.
• Peningkatan erythrocyte sediment rate digunakan
untukmembantu diagnose namun tetap tidak spesifik. • Peningkatan c-reaktif protein, tidak spesifik.
Universitas Sumatera Utara
• Pemeriksaan DNA
dan kultur gonorrhea dan
chlamidyadigunakan untuk mengkonfirmasi PID.
• Urinalisis harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran kemih.
3. Pemeriksaan Radiologi
• Transvaginal ultrasonografi : pemeriksaan ini
memperlihatkanadnexa, uterus, termasuk ovaroium. Pada pemeriksaan ini PIDakut Nampak dengan adanya ketebalan
dinding tuba lebih darilima 5 mm, adanya septainkomplit dalam tuba, cairan mengisituba fallopi, dan tanda cogwheel.
Tuba fallopi normal biasanyatidak terlihat pada USG. • CT scan digunakan untuk mendiagnosa banding PID.
PenemuanCT scan pada PID adalah servisitis, ooforitis,
salpingitis, penebalan ligament uterosakral, dan adanya abses
atau kumpulan cairan pelvis. Penemuan CT scan tidak spesifik pada kasus PID dimana tidak ada bukti abses.
• MRI jarang mengindikasikan PID. Namun jika digunakan
akanterlihat penebalan, tuba yang berisi cairan dengan atau tanpacairan pelvis bebas atau kompleks tubaovarian.
4. Prosedur Lain Laparoskopi adalah standar baku untuk diagnosis defenitif
PID .Mengevaluasi cairan di dalam abdomen dilakukan
untukmenginterpretasi kerusakan. Pus menunjukkan adanya abses tubaovarian, rupture apendiks, atau abses uterin. Darah ditemukan
pada ruptur kehamilan ektopik, kista korpus luteum, mestruasi
Universitas Sumatera Utara
retrograde, dll.Kriteria minimum pada laparoskopi untuk mendiagnosa
PID adalah edema dinding tuba, hyperemia permukaan tuba, dan
adanya eksudat padapermukaan tuba dan fimbriae. Massa pelvis
akibat abses tubaovarian atau kehamilan ektopik dapat terlihat. Endometrial biopsi dapat dilakukan untuk mendiagnos
endometritis secara histopatologis.
Penatalaksanaan CDCcentres for disease control dan preventionmemperbaharui
panduan untuk diagnosis dan manajemen PID.Panduan CDC terbaru
membagi criteria diagnostik menjadi 3grup : Grup 1: minimum kriteria dimana terapi empiris diindikasikan bilatidak
ada etiologi yang dapat dijelaskan. Kriterianya yaituadanya nyeri tekan uterin atau adnexa dan nyeri saatpergerakan
serviks. Grup 2: kriteria tambahan mengembangkan spesifisitas diagnostik
termasuk kriteria berikut : suhu oral 38,3ºC, adanya sekret mukopurulen
dari servical
atau vaginal,peningkatan
erythrocyte sedimentation rate, peningkatanc-reactif protein, adanya bukti laboratorium infeksiservikalis oleh N.
gonorhea atau C. trachomatis.
Grup 3: kriteria spesifik untuk PID didasarkan pada prosedur yang
tepat untuk beberapa pasien yaitu konfirmasilaparoskopik, ultrasonografi transvaginal yangmemperlihatkan penebalan,
tuba yang terisi cairan dengan atau tanpa cairan bebas pada
Universitas Sumatera Utara
pelvis, ataukompleks tuba-ovarian, dan endometrial biopsy yangmemperlihatkan endometritis.
Kebanyakan pasien diterapi dengan rawatan jalan, namunterdapat indikasi untuk dilakukan di rawat inap yaitu :
• Diagnosis yang tidak jelas • Abses pelvis pada ultrasonografi
• Kehamilan • Gagal merespon dengan perawatan jalan
• Ketidakmampuan untuk bertoleransi terhadap regimen oral • Sakit berat atau mual muntah
• Imunodefisiensi • Gagal untuk membaik secara klinis setelah 72 jam terapi rawat
jalan. Terapi dimulai dengan terapi antibiotik empiris spektrum luas.
Jika terdapat AKDR, harus segera dilepas setelahpemberian
antibiotik empiris pertama. Terapi terbagi menjadi 2yaitu terapi untuk pasien rawat inap dan rawat jalan.
Terapi pasien rawatan inap
Regimen A: Berikan cefoxitin 2 gram iv atau cefotetan 2 gr iv per12 jam ditambah doxisiklin 100 mg per oral atau iv per 12
jam. Lanjutkan regimen ini selama 24 jamsetelah pasien pasien membaik secara klinis, lalumulai doxisiklin 100 mg
per oral 2 kali sehariselama 14 hari. Jika terdapat abses tubaovarian, gunakan metronoidazole atau klindamisin
untukmenutupi bakteri anaerob.
Universitas Sumatera Utara
Regimen B: Berikan clindamisin 900 mg iv per 8 jam tambahgentamisin 2 mgkg BB dosis awal iv diikuti
dengandosis lanjutan 1,5 mgkg BB per 8 jam. Terapi ih dihentikan 24 jam setelah pasien membaik secaraklinis,
dan terapi per oral 100 mg doxisiklindilanjutkan hingga 14 hari.
Terapi pasien rawatan jalan :
Regimen A : Berikan ceftriaxone 250 mg im dosis tunggal tambah doxisiklin 100 mg oral 2 kali sehari selama 14 hari,
dengan atau tanpa metronidazole 500 mg 2 kali sehari selama 14 hari.
Regimen B : Berikan cefoxitin 2 gr im dosis tunggal dan proibenecid 1 gr per oral dosis tunggal atau dosis tunggal
cephalosporin generasi ketiga tambah dozisiklin 100 mg oral 2 kali sehari selama 14 hari dengan atau
tanpa metronidazole 500 mg oral 2 kali sehari selama 14 hari.Pasien dengan terapi intravena dapat
digantikan dengan terapi per oral setelah 24 jam perbaikan klinis. Dan dilanjutkan hingga total 14 hari.
Penanganan juga termasuk penanganan simptomatik seperti antiemetic, analgesia, antipiretik, dan terapi
cairan.
Terapi Pembedahan
: Pasien yang tidak mengalami perbaikan klinis setelah 72 jam terapi
harus dievaluasi ulang bila mungkin dengan laparoskopi dan intervensi
Universitas Sumatera Utara
pembedahan. Laparotomi digunakan untuk kegawatdaruratan sepeti rupture abses, abses yang tidak respon terhadap pengobatan,
drainase laparoskopi. Penanganan dapat pula berupa salpingoooforektomi, histerektomi, dan bilateral salpingooforektomi.
Idealnya, pembedahan dilakukan bila infeksi dan inflamasi telah membaik.
24
2.10. Komplikasi