Teknik Water Wet-bonding WWB Teknik Ethanol Wet-bonding EWB

Sampai saat ini pada umumnya banyak praktisi yang mengeringkan permukaan gigi yang telah dietsa untuk memeriksa permukaan yang teretsa. Pengeringan dengan semprotan udara akan menyebabkan tertutupnya celah-celah dalam kolagen. Jika dilakukan pengeringan udara pada dentin yang mengalami demineralisasi maka dapat mengakibatkan kolapsnya kolagen, menghalangi pembentukan lapisan hybrid dan mengganggu infiltrasi dari resin komposit. Oleh karena itu, seiring dengan perkembangan ilmu maka teknik ini mulai jarang digunakan karena kolapsnya kolagen akan mempengaruhi perlekatan dan kekuatan dari restorasi yang mempengaruhi lamanya restorasi bertahan didalam rongga mulut. 1

2.3.4.2 Teknik Wet-bonding

Teknik wet-bonding adalah sebuah teknik yang dapat digunakan untuk mencegah kolapsnya kolagen dentin yang mengalami demineralisasi dan membantu infiltrasi dari resin. 20 Bagaimanapun, tingkat kebasahan pemukaan gigi yang dibutuhkan untuk mempertahankan integritas kolagen tanpa mempengaruhi kekuatan perlekatan sangat sulit dilakukan. 7,14,18,33 Kapas atau kain kasa dapat digunakan untuk mengurangi kebasahan pada permukaan untuk mempersiapkan permukaan yang lembab sebelum proses bonding dilakukan. 1,7 Keadaan lembab moist adalah permukaan kavitas bebas dari air tetapi masih terdapat selapis tipis air pada kavitas. 7 Kanca dan Gwinnett cit Jayaprakash et al. 2010 menyarankan bahwa setelah pengetsaan, dentin tidak boleh dikeringkan. Mempertahankan permukaan dentin dalam keadaan lembab moist setelah pengetsaan merupakan hal yang sangat penting. Keadaan lembab akan mencegah kolapsnya kolagen dan pembentukan lapisan hybrid menjadi lebih banyak. 14 Oleh karena itu, diperkenalkan alternatif pada permukaan dentin yang telah dietsa dengan menjaga kelembabannya yang dikenal dengan teknik wet-bonding. Hal ini dapat meningkatkan perlekatan resin dengan dentin dan mengurangi terjadinya sensitivitas pasca perawatan. 7

2.3.4.2.1 Teknik Water Wet-bonding WWB

Water wet-bonding adalah pembilasan permukaan dentin setelah pengetsaan dengan menggunakan air dan membiarkannya dalam keadaan lembab untuk Universitas Sumatera Utara mencegah kolapsnya matriks kolagen. Keberadaan air diantara dentin yang mengalami demineralisasi dan bahan bonding dapat membantu infiltrasi monomer resin sepanjang lapisan hibrid yang terbentuk. 22 Serat kolagen permeabel sangat dipengaruhi oleh permukaan sekitar dentin yang lembab. Kelembaban yang optimal adalah kolagen dalam keadaan sedikit basah moist, bukan dalam keadaan basah atau kering. Apabila permukaan sekitar dentin basah maka resin tidak bisa melekat kuat dan sulit berpenetrasi ke dalam jaringan kolagen karena dihalangi oleh molekul-molekul air dan apabila terlalu kering maka serat kolagen akan kolaps dan dentin tidak bisa melekat kuat pada kolagen. 2 Dentin yang masih vital memiliki sifat yang lembab. Air memegang peranan penting untuk menjaga kesatuan dari molekul kolagen. Pada penggunaan teknik water wet-bonding, kolapsnya matriks kolagen dapat dicegah dimana air dapat menghindari kontak langsung dari kolagen fibril dari ikatan interpeptida. Penambahan air dan membiarkannya tetap lembab terhadap permukaan dentin setelah pengetsaan diharapkan mampu menambah perlekatan restorasi. 26 Jayaprakash et al. 2010 melaporkan bahwa permukaan dentin yang dikeringkan dapat mengurangi air dan kelembaban dari dentin. Penambahan air atau menjadikan dentin dalam keadaan lembab diharapkan mampu mengurangi tegangan permukaan dentin dan meningkatkan kekuatan perlekatan dari restorasi. 14

2.3.4.2.2 Teknik Ethanol Wet-bonding EWB

Etanol adalah salah satu bahan yang dapat digunakan untuk pembilasan dentin dan mencegah dehidrasi matriks kolagen sehingga kolapsnya kolagen dapat dicegah. 19 Etanol memiliki tekanan permukaan yang rendah dan mudah menyebar pada permukaan sehingga dapat membantu filtrasi dari monomer resin. 18 Penggunaan etanol dapat menghambat penguapan air selama penetrasi monomer sehingga monomer dapat masuk ke dalam dentin yang mengalami demineralisasi. 14,20,21 Selain itu, etanol dapat mengurangi diameter fibril dari matriks kolagen sehingga menambah perlekatan dengan membentuk lapisan hybrid yang lebih banyak dibandingkan dengan pengunaan air Gambar 8. 22 Universitas Sumatera Utara Gambar 8. SEM A. Permukaan dentin yang dilakukan water wet-bonding B. Permukaan dentin yang dilakukan ethanol wet-bonding. HL=hybrid layer 22 Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, teknik ethanol wet-bonding mulai banyak diteliti. Biasanya pengunaannya pada total-etch three-step dan total-etch two- step. 30 Penggunaan ethanol wet-bonding merupakan alternatif yang dapat digunakan untuk mencegah kolapsnya matriks kolagen menggantikan teknik water wet-bonding. Beberapa penelitian melaporkan bahwa etanol dapat menjaga dan menutupi bagian dari serabut kolagen, menggantikan air yang hilang selama proses demineralisasi. 29,34,35 Penggunaan etanol dapat membantu infiltrasi resin komposit BisGMATEGDMA pada dentin yang menghasilkan kekuatan mekanik yang tinggi. Oleh karena itu, penggunaan resin hidropobik yang bersifat menyerap sedikit air dapat mempengaruhi dentin bonding pada ethanol wet-bonding. 18 Hosaka et al. 2009 melaporkan terjadi peningkatan kekuatan perlekatan dan daya tahan pada ethanol wet-bonding yang dibandingkan dengan water wet-bonding. Sadek et al. 2009 pada penelitian in vitro melaporkan bahwa ethanol wet-bonding memiliki kekuatan perlekatan dan daya tahan yang lebih besar dibandingkan dengan water wet-bonding. 23 Pada ethanol wet-bonding tampak penyusutan diameter serabut kolagen dan meningkatkan pembentukan lapisan hybrid sehingga menghasilkan ikatan yang lebih optimal. Maka, ikatan resin komposit dan dentin dapat bertahan lama. 21,22,24 Universitas Sumatera Utara Kanca dan Gwinnett cit Jayaprakash et al. 2010 melaporkan bahwa penggunaan etanol dapat membantu menjaga kelembaban permukaan dentin sehingga permukaan yang lembab diharapkan dapat mencegah kolapsnya kolagen setelah dilakukan pengetsaan. 14 Studi terbaru dan beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan teknik ethanol wet-bonding dapat meningkatkan kekuatan ikatan dengan dentin sehingga menjadi lebih tahan lama dibandingkan dengan water-wet bonding. 18 Guimaraes et al. 2012 melaporkan bahwa penggunaan ethanol wet-bonding menghasilkan diameter serabut kolagen yang lebih kecil daripada water wet-bonding dan memperbesar jarak antar serabut yang berhubungan dengan peningkatan kekuatan perlekatan. 19 Li et al. 2012 melakukan penelitian tentang infiltrasi resin yang menggunakan water wet-bonding dan ethanol wet-bonding dan didapatkan hasil bahwa ethanol wet- bonding dapat membantu infiltrasi resin kedalam zona terdalam dari kolagen dan membentuk lapisan hibrid yang optimal. Selain itu, nilai positif dari penggunaan ethanol wet-bonding pada dentin bonding dapat mempengaruhi ikatan kimiawi komposit terhadap bahan bonding. 22

2.4 Permasalahan Pada Restorasi Klas II

Kavitas Klas II adalah kavitas yang melibatkan permukaan proksimal gigi posterior yang mengenai bagian mesial dan distal atau hanya salah satu permukaan proksimal gigi. Gigi dengan kavitas klas II sulit dikontrol kelembabannya terutama pada dinding gingiva dan adanya tubulus dentin sehingga adaptasi marginal resin komposit dengan gigi sulit terjadi dan dapat menimbulkan kebocoran mikro pada restorasi dan memicu terbentuknya karies sekunder. 36,37 Selain itu, tingkat kebocoran mikro lebih tinggi pada tepi restorasi yang hanya terdiri dari dentin karena perlekatan terhadap dentin lebih sulit dibandingkan perlekatan terhadap email. 1,8,13 Selain itu, sering juga terdapat kebocoran tepi restorasi pada tepi gingiva. Ini disebabkan preparasi kavitas melibatkan proksimal dan kegagalan proses bonding dinding gingiva sehingga sangat sulit memperoleh titik kontak kembali. 2,4 Bonding akan membentuk mechanical interlocking dengan struktur gigi. Pada kavitas klas II Universitas Sumatera Utara sering terjadi kegagalan bonding yang akan membentuk celah antara resin komposit dan struktur gigi. Celah ini disebabkan karena kekuatan bonding yang kurang baik sehingga tidak mampu menahan tekanan shrinkage pada saat polimerisasi. 2 Untuk mendapatkan perlekatan yang maksimal antara bahan bonding dentin dan kolagen dentin maka serat kolagen harus dalam keadaan permeabel. 2 Pada restorasi Klas II resin komposit, masalah yang cukup besar adalah sering terjadinya shrinkage akibat polimerisasi dan adaptasi yang kurang baik terutama pada tepi gingiva yang dapat menyebabkan berbagai hal, salah satunya adalah terjadinya kebocoran mikro. Pada saat terjadi shrinkage akan terjadi tegangan kontraksi yang dipengaruhi oleh C-factor yaitu perbandingan dari permukaan restorasi yang berikatan dengan yang tidak berikatan pada struktur gigi, dimana semakin tinggi nilai C-factor maka semakin besar kemungkinan terganggunya perlekatan resin komposit. Restorasi Klas II memiliki nilai c-factor sebesar 4:2 yang berarti bahwa terdapat 4 permukaan yang berikatan dan 2 permukaan yang tidak berikatan dengan struktur gigi Gambar 9. 1,4,6 Gambar 9. Hubungan C-factor dengan shrinkage polimerisasi pada berbagai klas restorasi gigi. 1,6

2.5 Kebocoran Mikro

Perlekatan antara bahan restorasi dan struktur gigi dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti kemampuan operator, bahan yang digunakan, struktur gigi dan efektivitas bahan perekat. 26 Apabila perlekatan tidak terbentuk sempurna akan Universitas Sumatera Utara menyebabkan bakteri, cairan atau debris makanan dapat masuk ke dalam celah antara resin komposit dan dinding kavitas yang akan menyebabkan kebocoran mikro gap. 9,10-12 Menurut Yavuz dan Aydin 2010, celah mikro dapat mengurangi kerapatan tepi restorasi sehingga restorasi tidak dapat bertahan lama, hipersensitivitas pada gigi yang direstorasi, terjadinya karies sekunder, perubahan warna pada margin kavitas dan restorasi, peradangan pulpa, dan kegagalan perawatan endodontik. 3,9,10 Faktor yang mempunyai pengaruh besar terhadap terjadinya kebocoran mikro adalah koefisien ekspansi termal, penyusutan polimerisasi, dan adhesi dari restorasi. Koefisien ekspansi termal adalah perubahan volume per derajat perubahan temperatur. Setiap kali restorasi mengalami perubahan suhu dalam rongga mulut, restorasi juga akan mengalami perubahan volume. Perbedaan koefisien ekspansi termal antara struktur gigi dan bahan restorasi mengakibatkan terjadinya kebocoran mikro karena terbentuk ruang akibat kontraksi termal. Preparasi kavitas yang tidak baik, prosedur aplikasi yang kurang baik, isolasi yang tidak adekuat juga akan menyebabkan terjadinya kebocoran mikro. 11 Menurut Arias et al. 2004 tidak ada bahan bonding yang dapat menghilangkan kebocoran mikro. Kebocoran mikro biasanya disebabkan akibat polimerisasi, shrinkage, jenis resin komposit yang digunakan, beban kunyah yang di terima kavitas, lokasi dari margin yang dipersiapkan dan teknik insersi yang digunakan. Kebocoran mikro dapat diturunkan nilainya salah satunya adalah dengan menggunakan teknik insersi secara inkremental. Insersi resin komposit dengan teknik inkremental dapat mengurangi kebocoran mikro karena lapisan antar resin komposit dapat mendistribusikan penyusutan polimerisasi sehingga resultan tegangan internal tersebar. Penggunaan teknik penyinaran 3 sisi juga dapat mengurangi kebocoran mikro, karena kontraksi polimerisasi yang terjadi mengarah ke arah sinar. Penyinaran dilakukan dari arah bukal, lingual dan gingival. 8 Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengukur dan mengamati kebocoran mikro secara in vivo dan in vitro yaitu material radioaktif isotop, chemically agent, tes bakteri, scan electronic microscopy, artifisial karies, analisis aktivasi neutron, dan tes penetrasi zat warna. Metode yang paling sering digunakan Universitas Sumatera Utara adalah tes penetrasi zat warna. Ini merupakan metode paling sering digunakan karena proses kerjanya yang mudah, sederhana, ekonomis, dan relatif cepat. Larutan yang dapat dipakai antara lain basic fuchsin, methylene blue, silver nitrate, crystal violet, eritrosin dan Rodhamine B. Zat warna Methylene Blue 2 adalah zat warna yang paling sering digunakan yang merupakan zat pewarna yang dapat berpenetrasi lebih baik dibandingkan pewarna lainnya dan dapat berperan sebagai indikator yang adekuat karena memiliki berat molekul yang lebih kecil dari berat molekul toksin bakteri sehingga zat warna dapat masuk walaupun celah mikro yang terbentuk sangat kecil. 2 Penetrasi zat pewarna dapat dilihat dengan bantuan stereomikroskop. Mikroskop ini memiliki pembesaran objek 7-30x yang menghasilkan lapangan pandang yang luas dan jarak kerja yang panjang. 11 Universitas Sumatera Utara KERANGKA TEORI Wet- bonding Membiarkan dentin dalam keadaan lembab moist  mencegah kolapsnya matriks kolagen  mencegah terbentuknya celah mikro Dry- bonding Pembilasan dentin setelah pengetsaan  dentin disemprotkan udara sampai benar- benar kering Aplikasi Resin Komposit Nanohybrid  Memiliki partikel yang sangat kecil  Mencegah terbentuknya celah mikro  Shrinkage lebih kecil Kavitas Klas II Perlekatan restorasi sulit di dapat  preparasi berhubungan dengan margin servikal yang dekat daerah sulkus gingiva dan struktur tubulus dentin Teknik bonding Terbentuk celah mikro Upaya Pencegahan Kebocoran Mikro ? Ethanol wet-bonding Water wet-bonding penambahan air untuk mencegah kolapsnya matriks kolagen menghambat penguapan air  monomer dapat berpenetrasi ke dalam dentin yang mengalami demineralisasi Jaringan kolagen pada dentin yang mengalami demineralisasi akan kolaps bersamaan dengan hilangnya jarak interfibrillar antara serabut kolagen yang terpapar Universitas Sumatera Utara

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

3.2 Hipotesis Penelitian

Dari uraian yang telah disebutkan di atas maka hipotesis untuk penelitian ini adalah: 1. Ada pengaruh teknik dry-bonding, water wet-bonding dan ethanol-wet bonding pada restorasi Klas II resin komposit nanohybrid terhadap celah mikro. 2. Ada perbedaan pengaruh teknik dry-bonding, water wet-bonding dan ethanol- wet bonding pada restorasi Klas II resin komposit nanohybrid terhadap celah mikro. Celah Mikro Teknik dry-bonding Teknik water wet-bonding Teknik ethanol wet-bonding Restorasi Klas II Universitas Sumatera Utara

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Jenis dan Desain Penelitian 4.1.1 Jenis Penelitian Eksperimental Laboratorium

4.1.2 Desain Penelitian

Posttest Only Control Group Design 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi Penelitian 1. Departemen Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi USU 2. Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran USU 3. Laboratorium Biologi Dasar LIDA USU

4.2.2 Waktu penelitian

Februari 2015 – Mei 2015 4.3 Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1 Populasi Gigi premolar yang telah diekstraksi untuk keperluan ortodonti.

4.3.2 Sampel

Gigi premolar atas yang telah diekstraksi untuk keperluan ortodonti dengan kriteria sebagai berikut : a. Gigi premolar satu dan dua rahang atas b. Tidak ada fraktur mahkota dan belum pernah direstorasi c. Mahkota masih utuh dan tidak karies d. Akar terbentuk sempurna Universitas Sumatera Utara

4.3.3 Besar Sampel

Jumlah sampel yang digunakan ditentukan besarnya dengan rumus Federer untuk rancangan eksperimental, yaitu: n-1 r- 1 ≥ 15 r = ∑ perlakuan = 3 n-1 3- 1 ≥ 15 2n- 2 ≥ 15 2n ≥ 17 n ≥ 8,5 n = 10 pembulatan keatas Keterangan : r = jumlah perlakuan dalam penelitian ada 3 perlakuan n = jumlah sampel Besar sampel untuk setiap kelompok menurut perhitungan di atas adalah 10 sampel. Dalam penelitian ini, setiap sampel nantinya akan dibelah menjadi dua bagian permukaan, yaitu permukaan bukal dan palatal tanpa membandingkan kedua skor. Jadi jumlah keseluruhan sampel gigi premolar maksila adalah 30 sampel atau 60 permukaan yang dibagi secara random menjadi tiga kelompok perlakuan, yaitu: Kelompok I : Restorasi kavitas Klas II dengan teknik dry – bonding dan resin komposit nanohybrid Tetric N-Ceram, Ivoclar Vivadent sebanyak 10 sampel atau 20 permukaan Kelompok II : Restorasi kavitas Klas II dengan teknik water wet-bonding dan resin komposit nanohybrid Tetric N-Ceram, Ivoclar Vivadent sebanyak 10 sampel atau 20 permukaan Kelompok III : Restorasi kavitas Klas II dengan teknik ethanol wet-bonding dan resin komposit nanohybrid Tetric N-Ceram, Ivoclar Vivadent sebanyak 10 sampel atau 20 permukaan Universitas Sumatera Utara 4.4 Variabel dan Defenisi Operasional 4.4.1 Variabel Penelitian

4.4.1.1 Variabel Bebas