UNSUR RAKYAT TERLATIH DALAM SISTEM PERTAHANAN DAN KEAMANAN RAKYAT SEMESTA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA.

(1)

SKRIPSI

UNSUR RAKYAT TERLATIH DALAM SISTEM

PERTAHANAN DAN KEAMANAN RAKYAT

SEMESTA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG

NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN

NEGARA

I GEDE D.E. ADI ATMA DEWANTARA NIM. 1103005182

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

i

SKRIPSI

UNSUR RAKYAT TERLATIH DALAM SISTEM

PERTAHANAN DAN KEAMANAN RAKYAT

SEMESTA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG

NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN

NEGARA

I GEDE D.E. ADI ATMA DEWANTARA NIM. 1103005182

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

ii

UNSUR RAKYAT TERLATIH DALAM SISTEM

PERTAHANAN DAN KEAMANAN RAKYAT

SEMESTA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG

NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN

NEGARA

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh gelar sarjana hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

I GEDE D.E. ADI ATMA DEWANTARA NIM. 1103005182

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(4)

(5)

(6)

v

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu

Puji syukur penulis panjatkan kehidupan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas anugrah-Nyalah skripsi ini yang berjudul “UNSUR RAKYAT TERLATIH DALAM SISTEM PERTHANAN DAN KEAMANAN RAKYAT SEMESTA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA” dapat terselesaikan. Penyusunan skripsi ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai rangkaian kegiatan akademis yang lain,untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H., Dekan Fakultas Hukum Unniversitas Udayana;

2. Bapak I Ketut Sudiarta, S.H., M.H., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana;

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, S.H., M.H., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana;

4. Bapak I Wayan Suardana, S.H., M.H., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana;


(7)

vi

5. Bapak Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H., yang menjabat sebagai Ketua Bagian Hukum Tata Negara Universitas Udayana;

6. Bapak Prof. Dr. Drs. Yohanes Usfunan, S.H., M.Hum, sebagai dosen pembimbing I yang telah membimbing dan mengarahkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

7. Bapak I Nengah Suantra, S.H., M.H., sebagai dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu di sela-sela kesibukan beliau untuk membimbing dan mengarahkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini; 8. Bapak Dewa Gde Rudy, S.H., M.Hum, sebagai Pembimbing Akademik

yang telah memberikan petunjuk dan arahan selama penulis mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana;

9. Bapak Dr. I Nyoman Suyatna, S.H., M.H., sebagai Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan yang telah memberikan dorongan serta rekomendasi mengikuti seminar nasional bidang pertahanan mewakili Universitas Udayana;

10. Bapak Prof. Budi Susilo Soepandji, sebagai Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia yang telah memberikan materi atau bahan yang menunjang penyelesaian skripsi ini;

11. Bapak Brigjen (Purn) Santoso, sebagai mantan Sekretaris Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan Republik Indonesia yang telah memberikan materi atau bahan yang menunjang penyelesaian skripsi ini;


(8)

vii

12. Bapak Kolonel Inf. Poerwanto, sebagai Kasub Direktorat Komponen Pendukung Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan Republik Indonesia yang telah memberikan materi atau bahan yang menunjang penyelesaian skripsi ini;

13. Bapak Letkol. Arm. Suteja, sebagai Pabandya Wanwil Sterdam IX/Udayana yang telah berkenan diwawancarai guna menunjang penyelesaian skripsi ini; 14. Bapak Letkol. Inf. Fifin Zudi, S.Pd, sebagai Kepala Seksi Teritorial Korem 163/Wira Satya yang telah berkenan memberikan rekomendasi mengikuti seminar nasional di bidang pertahanan guna menunjang penyelesaian skripsi ini;

15. Ibu AKBP Dra. Ni Ketut Sulasih, sebagai Kasubbid PID Bidang Humas Polda Bali yang telah berkenan diwawancarai guna menunjang penyelesaian skripsi ini;

16. Bapak Mayor Pnb. Wiratmaja, sebagai Kadisops Lanud Ngurah Rai yang telah berkenan diwawancarai guna menunjang penyelesaian skripsi ini; 17. Bapak Kapten Laut (KH) I Dewa Ketut Dana Susila, sebagai Pjs Paspotmar

Lanal Denpasar yang telah berkenan diwawancarai guna menunjang penyelesaian skripsi ini;

18. Bapak/Ibu Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat selama masa studi di Fakultas Hukum Universitas Udayana;

19. Bapak/Ibu Pegawai Biro Administrasi Kemahasiswaan Universitas Udayana atas bantuannya dalam hal administrasi seminar nasional bidang pertahanan;


(9)

viii

20. Bapak/Ibu Pegawai Tata Usaha serta Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana atas bantuannya dalam hal administrasi kampus dan peminjaman literatur;

21. Kedua orang tua tercinta, I Gede Sukaarsa dan Wiwik Indayati, S.Pd yang telah banyak memberikan semangat dan dukungan moral maupun material dalam menyelesaikan skripsi ini;

22. Kakak tercinta, Ni Putu D.E. Raditya Dewi Ratih Purnamasari, S.ST.Par yang telah banyak memberikan semangat dan dukungan moral maupun material dalam menyelesaikan skripsi ini;

23. Bapak/Ibu Mahasiswa Program Studi Perperangan Asimetris Universitas Pertahanan atas bantuannya dalam mengumpulkan literatur bidang pertahanan;

24. Seluruh Anggota dan Alumni Resimen Mahasiswa Batalyon A-901/Mayurajana Universitas Udayana yang telah memberikan semangat dan dorongan;

25. Teman-teman yang telah memberikan semangat dan dorongan, khususnya Made Risma Caesar W, Dian Arya Patni, Puspita Dewi, dan Odey Vidhyasthuty;

26. Seluruh rekan-rekan angkatan 2011 yang telah menumbuhkan tali persahabatan dan persaudaraan yang tidak akan pernah dilupakan sepanjang masa.


(10)

ix

Akhirnya semoga budi baik dari Bapak/Ibu/Saudara/i akan mendapatkan imbalan yang sesuai dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Om Shanti, Shanti, Shanti, Om

Penulis,

I Gede D.E. Adi Atma Dewantara 1103005182


(11)

(12)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN HALAMAN SAMPUL DALAM

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

ABSTRAK ... xv

ABSTRACT ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 9

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 9

1.5 Tujuan Penelitian... 11

1.5.1 Tujuan Umum ... 11

1.5.2 Tujuan Khusus... 11

1.6 Manfaat Penelitian... 12


(13)

xii

1.6.2 Manfaat Praktis ... 12

1.7 Landasan Teoritis ... 13

1.8 Metode Penelitian ... 19

1.8.1 Jenis Penelitian ... 19

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 24

1.8.3 Sumber Bahan Hukum ... 25

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 27

1.8.5 Teknik Analisis ... 28

BAB II PEMAHAMAN DASAR SISTEM PERTAHANAN DAN KEAMANAN RAKYAT SEMESTA 2.1 Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta ... 31

2.1.1 Pengertian Sistem ... 31

2.1.2 Pengertian Pertahanan ... 32

2.1.3 Pengertian Keamanan ... 33

2.1.4 Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta ... 34

2.2 Komponen Pertahanan Negara ... 36

2.2.1 Komponen Utama ... 36

2.2.2 Komponen Cadangan ... 37

2.2.3 Komponen Pendukung ... 38


(14)

xiii

BAB III KEDUDUKAN UNSUR RAYAT TERLATIH DALAM

SISHANKAMRATA

3.1 Kedudukan Unsur Rakyat Terlatih ... 40

3.2 Hak Rakyat Terlatih ... 42

3.3 Kewajiban Rakyat Terlatih... 45

3.4 Perbandingan Rakyat Terlatih ... 49

BAB IV UNSUR RAKYAT TERLATIH YANG TERMASUK KOMPONEN PERTAHANAN 4.1 Komponen Masyarakat ... 59

4.2 Komponen Cadangan ... 62

4.3 Komponen Pendukung ... 65

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan... 72

5.2 Saran ... 73


(15)

xiv

DAFTAR TABEL


(16)

xv ABSTRAK

Montevideo (Pan American) Convention on Right and Duties of State of 1993 menentukan bahwa unsur-unsur Negara yaitu adanya populasi yang tetap, adanya wilayah tertentu, adanya pemerintahan dan kemampuan untuk menjalin hubungan dengan negara lain. Dalam mempertahankan kedaulatan suatu negara, rakyat mempunyai kedudukan yang penting dalam sistem pertahanan dan keamanan negara. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 30 ayat (2) menyatakan bahwa sistem pertahanan dan keamanan negara bersifat semesta artinya penyelenggaraan pertahanan dan keamanan negara melibatkan seluruh komponen masyarakat. Permasalahan yang muncul adalah mengenai kedudukan rakyat terlatih serta penggolongannya dalam sistem pertahanan dan keamanan negara.

Skripsi ini merupakan suatu penelitian hukum normatif yang menggunakan studi kepustakaan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual.

Berdasarkan hasil analisis, kedudukan unsur rakyat terlatih dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dibedakan menjadi dua yaitu komponen cadangan dan komponen pendukung. Komponen cadangan adalah warga Negara yang memenuhi persyaratan tertentu yang diarahkan sebagai kombatan dan dipersenjatai. Komponen pendukung adalah komponen masyarakat yang memperkuat komponen utama dan komponen cadangan seperti Polisi, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Perlindungan Masyarakat (Linmas), Satuan Pengamanan (Satpam), Resimen Mahasiswa (Menwa), Polisi Khusus, Organisasi Pemuda, Tenaga Ahli atau Profesional, Veteran, Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia, Individu, dan Organisasi Masyarakat.


(17)

xvi

ABSTRACT

Montevideo (Pan American) Convention on Rights and Duties of State of 1993, determines that elements of the State that is a permanent population, a defined territory, a government and a capacity to enter into relations with other states. In defending the sovereignty of a state, the people have an important position in the system of national defense and security. Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 Article 30 paragraph (2), states that the system of national defense and security are universal means that the implementation of national defense and security involving all components of society. The problem that arises is the position of the people trained and classification in the system of national defense and security.

This thesis is a normative legal research using library study. Research carried out by using the approach of legislation and conceptual approaches.

Based on the result analysis, the position of the element of Rakyat Terlatih

in Law No. 3 of 2002 on National Defence divided into two: reserve components and supporting components. Reserve components is the citizens who meet certain requirements are directed as combatants and armed. Supporting components are components of society that reinforces the main component and reserve component such as the Police, Public Order Agency, Community Protection, Security Unit, Student Regiment (Menwa), Special Police, Youth Organization, Expert or Professional, Veteran, Retired Indonesian National Army / Indonesian National Police, individuals, and community organizations.


(18)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Berdirinya sesuatu negara yang merdeka pada hakikatnya ada unsur-unsur yang harus dipenuhi. Pasal 1 Montevideo (Pan American) Convention on Right and Duties of State of 1993, unsur-unsur Negara yaitu a permanent population

(adanya populasi yang tetap), a defined territory (adanya wilayah tertentu), a government (adanya pemerintahan) dan a capacity to enter into relations with other states (kemampuan untuk menjalin hubungan dengan negara lain); keempat unsur tersebut merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.1

Salah satu unsur yang paling hakiki dalam suatu negara adalah rakyat. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, rakyat adalah warga masyarakat, segenap penduduk yang menempati wilayah tertentu (dalam suatu negara). Istilah rakyat mempunyai pengertian yang erat dengan Rumpun, Bangsa, dan Natie.2 Rumpun

diartikan sebagai sekumpulan manusia yang mempunyai ciri-ciri jasmaniah yang sama. Misalnya warna kulit, rambut, bentuk badan, bentuk muka dan sebagainya.

Bangsa diartikan sebagai sekumpulan manusia yang merupakan satu kesatuan karena mempunyai persamaan kebudayaan. Misalnya bahasa, adat kebiasaan, agama, dan sebagainya. Natie diartikan sebagai sekumpulan manusia yang merupakan suatu kesatuan karena mempunyai satu kesatuan politik yang sama.

1 Huala Adolf, 1996, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Cetakan Kedua, Raja Grafindo Persada,Jakarta, h. 2.


(19)

2 Rakyat merupakan komponen yang penting bagi suatu negara, karena rakyatlah yang pertama kali berkehendak membentuk negara. Secara politis, rakyat adalah semua orang yang berada dan berdiam dalam suatu Negara atau menjadi penghuni Negara yang tunduk pada kekuasaan Negara itu. Negara sebagai suatu identitas adalah abstrak, yang tampak adalah unsur-unsur negara yang berupa rakyat, wilayah, dan pemerintah. Salah satu unsur negara yang nampak adalah rakyat. Rakyat yang tinggal diwilayah negara menjadi penduduk negara yang bersangkutan. Warga Negara adalah rakyat yang menetap di suatu wilayah dan rakyat tertentu dalam hubungannya dengan negara. Dalam hubungan antara warga negara dan negara, warga negara mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap negara dan sebaliknya warga negara juga mempunyai hak-hak yang harus diberikan dan dilindungi oleh negara.

Istilah warga negara merupakan terjemahan dari istilah staatsburger dalam bahasa belanda, sedangkan dalam bahasa inggris untuk istilah yang pengertiannya sama adalah citizen. Selain itu dalam kamus besar bahasa Indonesia dikenal pula istilah kaula negara. Istilah kaula berasal dari bahasa jawa, mempunyai istilah yang sepadan dengan onderdaan dalam perundang-undangan Hindia Belanda yang berlaku saat masa penjajahan. Onderdaan ditujukan kepada warga belanda yang berada di Hindia Belanda, yang merupakan salah satu wilayah jajahan kerajaan Belanda. Jadi dapat diartikan bahwa onderdaan atau kaula negara merupakan konsep yang kurang lebih identik dengan pengertian semi warga negara.


(20)

3 Di dalam era globalisasi seperti saat ini cenderung meniadakan sekat-sekat antar negara di berbagai bidang seperti ekonomi, budaya, politik, pertahanan dan sebagainya. Dalam bidang pertahanan, sebuah negara yang sedang berkonflik atau konfrontasi tidak hanya dapat melakukan perang konvensional, perang asimetris, perang hibrida, dan perang proxy. Perang konvensional berupa perang yang langsung menyerang wilayah suatu negara menggunakan persenjataan militer. Pada dewasa ini ancaman perang konvensional kemungkinan sangat kecil karena semakin berkembangnya situasi dan kemajuan teknologi yang ada. Kerasnya tuntutan-tuntutan kepentingan kelompok saat ini mendorong penggunaan jenis perang yang baru seperti perang asimetris, perang hibrida dan perang proxy.

Perang asimetris adalah perang antara belligerent atau pihak-pihak berperang yang kekuatan militernya sangat berbeda. Perang hibrida atau kombinasi merupakan perang yang menggabungkan teknik perang konvensional, perang asimetris, dan perang proxy untuk mendapat kemenangan atas pihak lawan. Pada saat kondisi kuat, perang konvensional dilakukan untuk mengalahkan pihak lawan. Namun, pada saat situasi kurang menguntungkan, cara-cara lain dilakukan untuk melemahkan pihak musuh. Proxy war merupakan suatu konfrontasi antara dua kekuatan besar dengan menggunakan pemain pengganti untuk menghindari konfrontasi secara langsung dengan alasan untuk mengurangi risiko konflik langsung yang berisiko pada kehancuran fatal. Biasanya pihak ketiga yang bertindak sebagai pemain pengganti adalah negara kecil, namun kadang juga bisa dilakukan oleh kekuatan nonstate actors seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Oraganisasi Masyarakat (Ormas), kelompok


(21)

4 masyarakat atau perorangan. Indikasi adanya proxy war di antaranya adalah gerakan separatis, demonstrasi massa dan bentrok antar kelompok dan juga dapat dilihat melalui berbagai bentuk pemberitaan media yang provokatif, peredaran narkoba, penyebaran pornografi serta seks bebas. Perang proxy atau proxy war

merupakan ancaman yang sangat besar bagi bangsa dan negara Indonesia.

Pada masa yang akan datang, peningkatan konsumsi energi dunia 41 persen dari kebutuhan hari ini, dimana energi fosil diperkirakan akan habis pada tahun 2048 dan digantikan dengan bio energi.3 Sasaran konflik akan mengarah pada lokasi sumber pangan yang sekaligus merupakan sumber energi. Indonesia sebagai salah satu negara ekuator yang memiliki potensi vegetasi sepanjang tahun akan menjadi arena persaingan kepentingan nasional berbagai negara. Warga negara sebagai tulang punggung bangsa harus menyadari bermacam tantangan dan ancaman bangsa tersebut untuk kemudian bersatu padu dan bersinergi menjaga keselamatan bangsa dan negara. Intinya yang terbaik adalah Back to basic, mengerti bahwa cinta dan peduli akan kepentingan negara harus menjadi kepentingan tertinggi di atas kepentingan lainnya.

Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan hukum dasar telah mengatur hak dan kewajiban sebagai warga negara khusus membela negara yang dimuat dalam dalam Pasal 27 ayat (3), serta Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3 British Petroleum, 2013, BP Statistical Review of World Energy June 2013, Pureprint Group Ltd,UK.


(22)

5 Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.

Dalam kedua ayat tersebut di atas, ada perbedaan penyebutan antara warga Negara pada ayat (1) dengan rakyat pada ayat (2). Pada ayat (1) penyebutan warga negara merujuk pada kedudukan warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban. Sedangkan pada ayat (2) penyebutan rakyat lebih merujuk pada sistem, yang mana rakyat menjadi salah satu komponen dalam sistem pertahanan dan keamanan. Penyebutan rakyat dalam ayat (2) telah menyakup warga negara dan penduduk yang tinggal di Negara Indonesia.

Sebagaimana Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di atas, warga negara sebagai rakyat mempunyai peranan yang penting dalam sistem pertahanan dan keamanan. Sistem yang dianut Indonesia adalah Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). Sesuai Pasal 30 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi :

Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan


(23)

6 Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-undang.

Berdasar ketentuan Pasal 30 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pertahanan Negara kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Rancangan Undang-Undang tentang Pertahanan Negara dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Dan kemudian Rancangan Undang-Undang tentang Pertahanan Negara yang telah dibahas dan mendapatkan persetujuan bersama ditetapkan oleh Presiden menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Pasal 1 angka (2) berbunyi :

sistem pertahanan adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional bangsa lainnya serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara mengklasifikasikan komponen sistem pertahanan dan keamanan negara yaitu komponen utama, komponen cadangan dan komponen pendukung. Dalam hal ini komponen utama sistem pertahanan dan keamanan negara adalah Tentara Nasional Indonesia. Sedangkan rakyat sebagai warga negara merupakan bagian dari komponen cadangan dan/atau komponen pendukung. Pada masa era orde baru, atau peran rakyat sebagai warga negara dalam upaya bela negara lebih


(24)

7 dikenal dengan istilah rakyat terlatih dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1999 tentang rakyat terlatih.

Pengaturan lebih lanjut setiap komponen sistem pertahanan dan keamanan Negara diatur oleh undang-undang tersendiri. Komponen utama diatur melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Sedangkan komponen cadangan dan komponen pendukung ada undang-undang yang mengatur secara khusus. Walau ada Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1999 tentang Rakyat Terlatih yang merupakan undang-undang yang mengatur keterlibatan rakyat dalam pertahanan dan keamanan negara.

Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1999 tentang Rakyat Terlatih tidak dapat dikatakan sebagai landasan hukum komponen cadangan dan/atau komponen pendukung karena Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1999 tentang Rakyat Terlatih disusun berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum amandemen dan merupakan penjabaran atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia yang telah dicabut. Dengan kata lain Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1999 tentang Rakyat Terlatih sudah tidak dapat diberlakukan lagi karena tidak memiliki landasan yuridis.

Dengan penjabaran seperti diatas maka ada kekosongan norma yang mengatur peran rakyat dalam sistem pertahanan dan keamanan negara. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, tidak mengatur unsur-unsur rakyat terlatih digolongkan sebagai komponen cadangan dan/atau


(25)

8 komponen pendukung. Dengan tidak diaturnya unsur-unsur rakyat terlatih dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara maka perlu adanya pengkajian unsur-unsur rakyat terlatih dalam sistem pertahanan dan keamanan negara.

Tidak semua warga negara bisa dikatakan sebagai rakyat terlatih dalam komponen cadangan dan/atau komponen pendukung. Dengan begitu perlu juga di kaji unsur-unsur rakyat terlatih yang diklasifikasikan menjadi komponen cadangan atau komponen pendukung. Untuk mendapatkan gambaran tentang masalah tersebut di atas, menarik untuk diteliti dan diangkat dalam bentuk skripsi dengan judul “UNSUR RAKYAT TERLATIH DALAM SISTEM PERTAHANAN DAN KEAMANAN RAKYAT SEMESTA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1.2.1 Bagaimanakah kedudukan unsur-unsur rakyat terlatih dalam Sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta ?

1.2.2 Apa saja unsur-unsur rakyat terlatih yang digolongkan sebagai komponen pertahanan ?


(26)

9 1.3. Ruang Lingkup Masalah

Dalam penulisan ilmiah perlu kiranya ditentukan secara tegas mengenai batasan materi yang akan diuraikan. Ruang lingkup masalah dapat dibahas terarah dan sistematis serta tidak menimbulkan suatu pembahasan yang nantinya keluar dari pokok permasalahannya. Adapun yang akan dibahas dalam penelitian ini peranan rakyat terlatih dalam sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta ditinjau dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

Lingkup pembahasannya yaitu pada ruang lingkup masalah pertama mengenai bagaimanakah kedudukan unsur-unsur rakyat terlatih dalam Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Ruang lingkup masalah kedua akan dibahas apa saja unsur-unsur rakyat terlatih yang digolongkan sebagai komponen pertahanan.

1.4. Orisinalitas Penelitian

Dari penelusuran yang dilakukan, ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan sistem pertahanan dan keamanan negara sebagaimana yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yaitu :

a. Skripsi dari I Gede Adhi Supradnyana, NIM 0803005181, alumni mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana tahun 2014, dengan judul skripsi adalah Status Tentara Anak dalam Konflik Bersenjata. Adapun yang menjadi pokok permasalahan yang ditulis dalam skripsi ini adalah masalah bagaimanakah status tentara anak-anak dalam


(27)

10 konflik bersenjata dilihat dari perspektif prinsip pembedaan dalam Hukum Humaniter Internasional dan apa akibat hukum keterlibatan tentara anak-anak dalam konflik bersenjata dilihat dari perspektif prinsip pembedaan dalam Hukum Humaniter Internasional.

b. Skripsi dari Gusti Randa, NIM 0810111006, alumni mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang tahun 2014, dengan judul skripsi adalah Fungsi Pemerintah Daerah dalam Menjaga Pertahanan dan Keamanan Negara. Adapun yang menjadi pokok permasalahan yang ditulis dalam skripsi ini adalah masalah bagaimanakah fungsi pemerintah daerah dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara dan bagaimanakah hubungan fungsi pemerintahan daerah dengan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara.

c. Skripsi dari Fitrianti, NIM E0006130, alumni mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2010, dengan judul skripsi adalah Analisis Kewenangan Kementerian Pertahanan sebagai Pelaksanaan Fungsi Pertahanan Negara menurut Ketentuan Pasal 30 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun yang menjadi pokok permasalahan yang ditulis dalam skripsi ini adalah masalah bagaimanakah arah kebijakan Kementrian Pertahanan untuk melaksanakan fungsi pertahanan.


(28)

11 Berdasarkan penelusuran dari beberapa skripsi dengan judul dan pokok permasalahan seperti yang dijelaskan tersebut di atas, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul Unsur-Unsur Rakyat Terlatih dalam Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara dan permasalahan yang hendak diteliti dalam penelitian ini belum ada yang membahasnya, sehingga skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah keorisinalannya atau keasliannya.

1.5. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan ini adalah : 1.5.1 Tujuan Umum

Penulisan ini secara umum bertujuan untuk mengkaji unsur-unsur rakyat terlatih dalam sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta ditinjau dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

1.5.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengkaji bagaimanakah kedudukan unsur-unsur rakyat

terlatih dalam sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta. 2. Untuk mengkaji unsur-unsur rakyat terlatih yang digolongkan


(29)

12 1.6. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penulisan ini dapat diklasifikasikan atas dua hal, baik yang bersifat teoritis maupun praktis, yaitu :

1.6.1 Manfaat Teoritis

Penulisan ini secara umum bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum terkait dengan pendekatan analisa sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta terkait kewajiban rakyat dan yang digolongkan sebagai rakyat terlatih. Dalam konteks ilmu hukum yang dapat dipergunakan sebagai bahan pustaka dalam bidang hukum kewarganegaraan terutama mengenai hak dan kewajiban warga negara dalam upaya pembelaan negara. 1.6.2 Manfaat Praktis

1. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun atau membahas rancangan undang-undang yang terkait dengan unsur-unsur rakyat terlatih dalam sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta.

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi rakyat dalam pemahaman konteks kewajiban warga negara dalam pertahanan dan keamanan negara sebagai bentuk bela negara.

3. Sebagai bahan pertimbangan mahasiswa yang akan menempuh program hukum tata negara, serta sebagai sumbangan pemikiran untuk para pihak yang berkepentingan dalam menambah wawasan.


(30)

13 1.7. Landasan Teoritis

Landasan teoritis merupakan dukungan teori, konsep, asas, dan pendapat-pendapat hukum dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Oleh karena itu teori merupakan serangkaian konsep, definisi dan proposisi yang berkaitan dan bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistematis tentang suatu gejala.4

Landasan teoritis dalam penulisan skripsi ini menggunakan beberapa teori, konsep dan asas-asas hukum yaitu sebagai berikut :

a. Teori kedudukan

Secara umum kedudukan diartikan posisi, status, atau tingkatan. Kedudukan menyangkut lingkungan pergaulan, prestige, hak-hak, dan kewajiban. Secara abstrak, kedudukan berarti tempat seseorang dalam satu pola tertentu. Bahkan seseorang bisa mempunyai beberapa kedudukan karena memiliki beberapa pola kehidupan. Menurut Ralph Linton, ada tiga macam cara memperoleh kedudukan, yaitu :5

1. Ascribed status, yaitu kedudukan seseorang yang dicapai dengan sendirinya tanpa memperhatikan perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran. Contoh, anak yang lahir dari keluarga bangsawan dengan sendirinya langsung memperoleh status bangsawan.

4 Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, h. 141.

5 Maryati kun dan Juju Suryawati,2001, Sosiologi untuk SMA dan MA, Erlangga, Jakarta,


(31)

14 2. Achieved status, yaitu kedudukan yang dicapai seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Misalnya seseorang dapat menjadi sarjana kesehatan masyarakat asalkan memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan tersebut bergantung pada yang bersangkutan bisa atau tidak menjalaninya. Apabila yang bersangkutan tidak dapat memenuhi persyaratan tersebut ia tidak akan mendapat kedudukan yang diinginkannya. Contoh, setiap orang bisa menjadi pengusaha sukses asalkan mempunyai kemampuan untuk mencapainya.

3. Assigned status, merupakan kedudukan yang diberikan kepada seseorang. Kedudukan ini mempunyai hubungan yang erat dengan achieved status. Artinya suatu kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang yang berjasa, yang telah memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Contohnya, gelar pahlawan, siswa teladan, penghargaan kalpataru dan pemberian jasa lainnya.

George Jellinek mengemukakan, ada empat macam status warga negara yaitu :6

1. Status Positif, bahwa seorang warga negara diberi hak kepadanya untuk menuntut tindakan positif dari pada negara


(32)

15 mengenai perlindungan atas jiwa, raga, milik, kemerdekaan dan sebagainya.

2. Status Negatif, seorang warga negara akan dijamin kepadannya bahwa negara tidak boleh ikut campur tangan terhadap hak-hak asasi warga negaranya, itu terbatas untuk mencegah timbulnya tindakan yang sewenang-wenang daripada negara. Walaupun demikian dalam keadaan tertentu negara dapat melanggar hak-hak asasi rakyat jika tindakannya itu ditunjukkan untuk kepentingan umum.

3. Status Aktif, bahwa setiap warga negara berhak ikut serta dalam pemerintahan negara, menggunakan hak pilih aktif maupun pasif.

4. Status Pasif, merupakan kewajiban bagi setiap warga negaranya untuk mentaati dan tunduk kepada segala perintah negaranya. b. Teori asal mula negara

Teori-teori asal mula berdirinya suatu negara adalah teori perjanjian masyarakat, teori teokratis, dan teori historis. Teori perjanjian masyarakat menganggap perjanjian sebagai dasar negara dan masyarakat. Teori ini dipandang tertua dan terpenting. Setiap perenungan mengenai negara dan masyarakat, mau tidak mau akan menghasilkan paham-paham yang mendasarkan adanya negara dan masyarakat itu pada persetujuan


(33)

anggota-16 anggotanya. Persetujuan itu dapat dinyatakan secara tegas atau dianggap telah diberikan secara diam-diam.7

Teori ketuhanan lahir sebagai resultan-resultan kontroversial dari kekuasaan politik dalam abad pertengahan. Kaum monarchomach yaitu mereka yang berpendapat bahwa raja yang berkuasa secara tiranik dapat diturunkan dari mahkotanya, bahkan dapat dibunuh, menganggap sumber kekuasaan adalah rakyat, sedangkan raja-raja pada waktu itu menganggap sumber kekuasaan mereka diperoleh dari Tuhan. Negara dibentuk oleh Tuhan dan pemimpin-pemimpinan negara ditunjuk oleh Tuhan. Raja dan pemimpin-pemimpin negara hanya bertanggung jawab pada Tuhan dan tidak kepada siapapun.8 Teori historis ialah bahwa lembaga-lembaga sosial tidak dibuat tapi tumbuh secara evolusioner sesuai dengan kebutuhan- kebutuhan manusia. Sebagai lembaga sosial yang diperuntukan guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia, maka lembaga-lembaga itu tidak luput dari pengaruh tempat, waktu, dan tuntutan-tuntutan zaman.9

c. Teori kedaulatan

Adapun teori-teori tentang kedaulatan antara lain teori kedaulatan tuhan, teori kedaulatan negara, teori kedaulatan rakyat dan teori kedaulatan hukum. Teori Kedaulatan Tuhan, teori ini mengandung makna kekuasaan tertinggi dalam negara adalah berasal dari Tuhan. Dunia dan segala isinya adalah ciptaan Tuhan, demikian pula kedaulatan yang ada pada pemerintah atau raja-raja menggunakan atau sesuai dengan kehendak Tuhan. Teori

7 Ni’matul Huda, Op Cit, h. 37.

8 F. Isjwara, 1992, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan 9, Binacipta, Jakarta, h. 152. 9 Ni’matul Huda, Op Cit, h. 48.


(34)

17 kedaulatan negara, teori ini mengandung makna negaralah sumber kedaulatan dalam negara. Negara dianggap mempunyai hak yang tidak terbatas terhadap hidup, kebebasan, dan harta benda dari warganya. Warga negara taat kepada hukum tidak karena suatu perjanjian tetapi karena hukum itu adalah kehendak negara. Teori kedaulatan rakyat, teori ini mengandung makna rakyatlah yang berdaulat dan mewakili kedaulatan kepada suatu badan yaitu pemerintah. Bilamana pemerintah melakukan tugasnya tidak sesuai dengan kehendak rakyat, maka rakyat akan mengganti pemerintah. Teori kedaulatan hukum, teori ini mengandung makna hukum adalah pernyataan nilai-nilai yang terbit dari kesadaran hukum manusia, dan hukum merupakan sumber dari kedaulatan. Negara harus mentaati tata tertib hukum, karena hukum itu dalam teori ini terletak diatas negara.10

d. Teori pertahanan

Doktrin pertahanan pada hakikatnya adalah suatu ajaran tentang prinsip-prinsip fundamental pertahanan negara yang diyakini kebenarannya, digali dari nilai-nilai perjuangan bangsa dan pengalaman masa lalu untuk dijadikan pelajaran dalam mengembangkan konsep pertahanan sesuai dengan tuntutan tugas pertahanan dalam dinamika perubahan, serta dikemas dalam bingkai kepentingan nasional. Doktrin Pertahanan Negara tidak bersifat dogmatis, tetapi penerapannya disesuaikan dengan perkembangan kepentingan nasional.

10 I Dewa Gede Atmadja et. al., 2014, Buku Ajar Ilmu Negara, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 59


(35)

18 Doktrin Pertahanan Negara memiliki arti penting, yakni sebagai penuntun dalam pengelolaan sistem dan penyelenggaraan pertahanan negara. Pada tataran strategis, Doktrin Pertahanan Negara berfungsi untuk mewujudkan sistem pertahanan yang bersifat semesta, baik pada masa damai maupun pada keadaan perang. Dalam kerangka penyelenggaraan pertahanan negara, esensi Doktrin Pertahanan Negara adalah acuan bagi setiap penyelenggara pertahanan dalam mengnyinergikan pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter secara terpadu, terarah, dan berlanjut sebagai satu kesatuan pertahanan.11

e. Teori pembenar bela negara

Negara dalam keadaan darurat dibenarkan untuk memberlakukan

staatnoodrecht seperti pemberlakuan wajib bela Negara. Dalam bahasa Belanda staatnoodrecht artinya hukum darurat negara yaitu hak negara atau penguasa negara untuk melakukan tindakan-tindakan menyimpang dari tata hukum atau peraturan yang ada yang sehari-harinya berlaku, manakala negara dihadapkan dengan keadaan bahaya bagi keselamatan hidup negara, bangsa, rakyat dan tata hukumnya. Dasar pemberlakuan staatnoodrecht

adalah asas Salus Publica Suprema Lex yang artinya kepentingan umum di atas undang-undang.12

11 Departemen Pertahanan Republik Indonesia, 2007, Doktrin Pertahanan Negara, Jakarta, h. 4.

12 Yohanes Usfunan, 2015, Hukum, HAM, dan Pemerintahan, Udayana University Press, Denpasar, h.41-42.


(36)

19 1.8. Metode Penelitian

Sebelum mengetahui lebih banyak tentang metode penelitian hukum, sebaiknya terlebih dahulu mengetahaui pengertian metodelogi. Metode mempunyai beberapa pengertian yaitu (a) logika dari penelitian ilmiah, (b) studi terhadap prosedur dan teknik penelitian, dan (c) suatu sistem dari prosedur dan teknik penelitian.13 Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa metode penelitian adalah suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni.

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya. Di samping itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap faktor hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.14

1.8.1 Jenis Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini disebabkan, penelitian bertujuan untuk menjelaskan suatu hal secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Keberadaan suatu metodelogi adalah suatu unsur yang harus ada dalam setiap penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.15

13 Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 17. 14 Soerjono Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, h. 43. 15 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2013, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan


(37)

20 Jenis penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris.16 Dalam penulisan ini jenis penelitian yang digunakan bersifat penelitian hukum normatif. Penelitian hukum yang bersifat normatif adalah penelitian hukum kepustakaan. Adapun ciri-ciri dari penelitian hukum normatif yaitu :17

1. Suatu penelitian yang beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma/asas hukum;

2. Tidak menggunakan hipotesa; 3. Menggunakan landasan teori; dan

4. Menggunakan bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

Dari perspektif tujuannya, penelitian hukum normatif dapat dibagi menjadi 5 (lima) jenis, sebagai berikut :18

1. Penelitian Terhadap Asas-Asas Hukum, penelitian terhadap unsur-unsur hukum baik unsur ideal (normwissenschaft/ sollenwissenschaft) yang menghasilkan kaidah-kaidah hukum melalui filsafat hukum dam unsur nyata (tatsachenwissenshaft/ seinwissenschaft) yang menghasilkan tata hukum tertentu. Kegiatan penelitian hukum jenis ini meliputi :

16 Zainuddin Ali, Op.Cit, h. 22.

17 Amiruddin dan Zainal Azikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta, h. 166.


(38)

21 a) Mengidentifikasi kaidah-kaidah hukum yang telah dirumuskan di dalam pasal-pasal tertentu yang menjadi objek penelitian, misalnya memilih pasal-pasal yang mengatur “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”, seperti Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP.

b) Klasifikasikan pasal-pasal tersebut, seperti cacat jiwa, belum dewasa, keadaan terpaksa, melaksanakan perintah dan sebagainya.

c) Analisis pasal-pasal tersebut dengan menggunakan asas hukum yang ada.

d) Konstruksikan dengan ketentuan: mencakup bahan hukum yang diteliti, konsisten, estetis, dan sederhana dalam perumusannya.

2. Penelitian Terhadap Sistematika Hukum

Mengadakan identifikasi terhadap pengertian pokok dalam hukum seperti subjek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan objek hukum dalam peraturan perundang-undangan. Dalam usaha mengkaji sistematika peraturan perundang-undangan, ada 4 (empat) prinsip penalaran yang perlu diperhatikan, yaitu :

a) Derogasi, Menolak suatu aturan yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi;


(39)

22 b) Nonktradiksi, tidak boleh menyatakan ada tidaknya suatu

kewajiban dikaitkan dengan suatu situasi yang sama; c) Subsumi, adanya hubungan logis antara dua aturan dalam

hubungan aturan yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah;

d) Eksklusi, tiap sistem hukum diidentifikasikan oleh sejumlah peraturan perundang-undangan.

Kegiatannya yang pertama adalah mengumpulkan peraturan perundang-undangan yang menjadi fokus penelitian. Selanjutnya klafikasikan berdasarkan kronologis dari bagian-bagian yang diatur oleh peraturan tersebut. Kemudian analisis dengan menggunakan pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum, yang mencakup subjek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukun, dan objek hukum. Yang dianalisis hanya pasal-pasal yang isinya mengandung kaidah hukum, kemudian lakukan konstruksi dengan cara memasukkan pasal-pasal tertentu ke dalam kategori-kategori berdasarkan pengertian dasar dari sistem hukum.

3. Penelitian Terhadap Sinkronisasi Perundang-undangan Vertikal maupun Horisontal

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan sampai sejauh manakah suatu perundang-undangan tertentu serasi secara vertikal maupun horizontal. Ditinjau secara vertikal, yakni


(40)

23 apakah perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan, apabila dilihat dari sudut hirarki perundang-undangan tersebut. Sedangkan secara horizontal, maka yang ditinjau adalah perundang-undangan yang sederajat yang mengatur bidang yang sama. Untuk dapat melakukan penelitian tersebut lebih dahulu harus dilakukan inventarisasi perundang-udangan yang mengatur bidang hukum yang telah di tentukan untuk di teliti.

4. Penelitian Terhadap Perbandingan Hukum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan masing-masing sistem hukum yang diteliti, jika ditemukan persamaan dari masing-masing sistem hukum tersebut, maka dapat dijadikan dasar unifikasi sistem hukum. Namun jika ada perbedaan, dapat diatur dalam hukum antar tata hukum.

5. Penelitian Terhadap Sejarah Hukum

Penelitian ini bermaksud untuk menjelaskan perkembangan dari bidang-bidang hukum yang diteliti. Di lain pihak, maka dapat pula diteliti perkembangan atau sejarah terbentuknya hukum yang mengatur bidang-bidang kehidupan tertentu. Penelitian ini dapat dilakukan dalam bidang hukum positif tertulis maupun hukum tercatat. Dengan penelitian jenis ini, akan terungkap


(41)

24 kepermukaan mengenai fakta hukum masa silam dalam hubungannya dengan fakta hukum masa kini.

Penulisan penelitian hukum normatif ini termasuk dalam jenis penelitian sejarah hukum. Penelitian ini membahas perkembangan perundang-undangan yang terkait dengan sistem pertahanan dan keamanan negara, yang difokuskan pada kaidah-kaidah tentang kewajiban warga negara dalam sistem pertahanan dan keamanan negara.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan penelitian adalah metode atau cara mengadakan penelitian.19 Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, pendekatan-pendekatan yaitu pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).20 Pembahasan dalam penelitian ini akan dikaji dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach) yang dikemukakan oleh berbagai pakar hukum, dan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur mengenai pertahanan negera.

Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini, kemudian dikaitkan dengan permasalahan yang akan dibahas. Pendekatan

19 Suharsimi Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, Rieneka Cipta, Jakarta, h.23.

20 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cetakan kedua, Kencana, Jakarta, h. 93.


(42)

25 konseptual, yaitu penelitian terhadap konsep-konsep hukum, seperti sumber hukum, fungsi hukum, lembaga hukum, dan sebagainya.21

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Pada penelitian hukum normatif, menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder :

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai otoritas (autoritatif) yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah pembuatan suatu peraturan perundang-undangan, dan putusan hakim. Adapun bahan-bahan hukum primer yang digunakan yakni :

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

c) Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1999 tentang Rakyat Terlatih;

d) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia;

e) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara;


(43)

26 f) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara

Nasional Indonesia;

g) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

h) Peraturan Presiden Nomor 41 Tahun 2010 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara Tahun 2010-2014; i) Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor

Per/23/M/XII/2007 tentang Doktrin Pertahanan Republik Indonesia.

j) Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor Per/03/M/II/2008 tentang Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008;

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum.22 Adapun bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku-buku tentang hukum tatan, ilmu negara, pertahanan negara hukum yang termuat dalam media massa, kamus, dan ensiklopedia hukum, serta situs-situs di internet yang memuat tulisan-tulisan terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini.


(44)

27 3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang dapat memperjelas suatu persoalan atau suatu istilah yang ditemukan pada bahan-bahan hukum primer dan sekunder. Seperti kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar, dan sebagainya.

4. Bahan Hukum Penunjang

Bahan hukum penunjang yaitu hasil wawancara mendalam dari tokoh-tokoh kunci (key person) atau informan di bidang pertahanan dan keamanan negara. Informan adalah orang atau individu yang memberikan informasi bahan hukum yang dibutuhkan oleh peneliti sebatas yang diketahuinya dan peneliti tidak dapat mengarahkan jawaban sesuai dengan yang diinginkannya.23 Seperti Panglima Komando Daerah Militer (Kodam), Kepala Kepolisian Daerah (Polda), Komandan Komando Resor Militer (Korem), para perwira TNI/Polri dan sebagainya.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan-bahan hukum dilakukan dengan pendekatan studi kepustakaan (library research) yaitu mengumpulkan buku-buku hukum baik dari dalam maupun buku asing, tulisan hukum diinternet, makalah dan majalah hukum yang relevan dengan objek penelitian. Terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, prosedur pengumpulannya dilakukan dengan mengkualifikasi hukum yang telah ditentukan dalam

23 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2013, Dualime Penelitian Hukum Normatif dan


(45)

28 usulan penelitian, yakni bahan hukum yang menyangkut tinjauan umum tentang kewajiban warga negara, kedaulatan negara dan teori pendekatan dalam hukum tata negara, serta bagaimana kedudukan unsur-unsur rakyat terlatih dalam sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta dan apa saja unsur-unsur rakyat terlatih yang dapat digolongkan komponen pertahanan.

Penelitian ini ditunjang juga dengan melakukan wawancara mendalam dengan informan di bidang pertahanan dan keamanan negara terkait dengan hal-hal rakyat terlatih.

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Setelah bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini telah terkumpul, maka selanjutnya bahan hukum tersebut baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder diolah dan dianalisis. Dalam pengolahan bahan hukum penelitian ini berwujud kegiatan mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Teknik sistematisasi yaitu suatu teknik yang dilakukan untuk mengetahui kesesuaian maupun hubungan antara aturan-aturan yang digunakan dalam menerapkan hukum. Pengolahan bahan dilakukan dengan cara, melakukan seleksi bahan hukum, memudian melakukan klasifikasi menurut penggolongan bahan hukum dan menyusun bahan hukum hasil penelitian tersebut secara logis, artinya ada hubungan dan keterkaitan antara bahan hukum satu dengan bahan hukum lainnya untuk mendapatkan gamabaran umum dari hasil penelitian.24


(46)

29 Analisis bahan hukum merupakan kegaiatan dalam penelitian yang berupa melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan bahan hukum yang dibantu dengan teori-teori yang didapatkan sebelumnya.25 Menganalisis bahan hukum penunjang yang didapatkan dari hasil wawancara, peneliti harus dapat menetukan bahan hukum mana yang memiliki kualitas sebagai bahan hukum yang diharapkan atau diperlukan. Untuk mendapatkan bahan hukum penunjang yang diharapkan, penelitian ini menggunakan cara analisis dengan membaca keseluruhan hasil wawancara, kemudian melakukan klasifikasi dan diakhiri dengan membuat kesimpulan. Analisis bahan hukum dalam penelitian hukum mempunyai sifat-sifat yaitu:26

1. Deskriptif, bahwa peneliti dalam menganalisis berkeinginan untuk memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian sebagaimana hasil penelitian yang dilakukannya. Di sini peneliti tidak melakukan justifikasi terhadap hasil penelitiannya tersebut.

2. Evaluatif, bahwa peneliti memberikan justifikasi atas hasil penelitian. Peneliti akan memberikan penilaian dari hasil penelitian, apakah hipotesis dari teori hukum yang diajukan diterima atau ditolak.

25 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Op.Cit, h. 183. 26 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Op.Cit, h. 183-184.


(47)

30 3. Perskriptif, bahwa untuk memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang telah dilakukannya. Argumentasi di sini dilakukan oleh peneliti untuk memberikan preskripsi atau penilaian mengenai benar atau salah atau apa yang seyogianya menurut hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian.

Sedangkan, dalam penelitian ini menggunakan sifat penelitian deskripsi yang merupakan pemaparan secara jelas dan terperinci mengenai kondisi atau posisi dari masalah hukum yang dianalisis dalam penelitian ini.


(48)

31 BAB II

PEMAHAMAN DASAR SISTEM PERTAHANAN DAN KEAMANAN RAKYAT SEMESTA

2.1 Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta 2.1.1 Pengertian Sistem

Kata sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) atau bahasa Yunani (sustēma) adalah suatu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi.27 Istilah ini sering dipergunakan untuk menggambarkan suatu set entitas yang berinteraksi, di mana suatu model matematika seringkali bisa dibuat.

Dalam Kamus Besar Bahas Indonesia, pengertian sistem adalah perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Sistem juga dapat diartikan sebagai kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan serta mempunyai komponen-komponen penggerak, contohnya negara. Menurut Aristoteles, negara merupakan persekutuan dari pada keluarga dan desa guna memperoleh hidup yang sebaik-baiknya.28 Dari pendapat yang dikeluarkan oleh Aristoteles dapat diketahui bahwa negara merupakan sebuah sistem yang saling berhubungan antara rakyat dan lembaga-lembaga negara dimana mempunyai tujuan untuk

27 Hedi Sasrawan, 2014, “25 Pengertian Sistem Menurut Para Ahli”. URL :http://hedisasrawan.blogspot.com/2014/01/25-pengertian-sistem-menurut-para-ahli.html. diakses tanggal 20 Juni 2015.


(49)

32 memberikan hidup yang baik bagi rakyat dan rakyatlah sebagai penggerak dari negara. Banyak sistem yang diterapkan dalam sebuah negara seperti sistem perekonomian, sistem perdagangan, sistem pertahanan dan keamanan dan lain sebagainya.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, sistem merupakan serangkaian atau gabungan dari perangkat atau komponen yang saling berhubungan atau berkaitan satu dengan yang lainnya untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu.

2.1.2 Pengertian Pertahanan

Kata pertahanan berasal dari kata dasar tahan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata tahan mempunyai arti keadaan tetap meskipun mengalami berbagai hal. Dengan pengertian tersebut, pertahanan merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk menciptakan kondisi atau keadaan yang stabil.

Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Pasal 1 angka 1 mendefinisikan pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Pertahanan Negara merupakan kekuatan bersama (sipil dan militer) diselenggarakan oleh suatu negara untuk menjamin integritas wilayahnya, perlindungan dari orang dan/atau menjaga kepentingan-kepentingannya. Dengan demikian penyelenggaraan pertahanan negara harus mengacu pada tujuan


(50)

33 mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah. Pertahanan negara dikelola oleh Kementerian Pertahanan. Tentara Nasional Indonesia disebut sebagai kekuatan pertahanan.

2.1.3 Pengertian Keamanan

Kata keamanan berakar kata dari kata aman. Secara sederhana istilah keamanan dapat diartikan sebagai suasana bebas dari segala bentuk ancaman bahaya, kecemasan, dan ketakutan. Dalam kajian tradisional, keamanan lebih sering ditafsirkan dalam konteks ancaman fisik (militer) yang berasal dari luar. Walter Lippmann seorang ahli Hubungan Internasional merangkum kecenderungan ini dengan pernyataannya yang terkenal:

“suatu bangsa berada dalam keadaan aman selama bangsa itu tidak dapat dipaksa untuk mengorbankan nilai-nilai yang diaggapnya penting (vital) ..., dan jika dapat menghindari perang atau, jika terpaksa melakukannya, dapat keluar sebagai pemenang”29

Karena itu, seperti kemudian disimpulkan Arnord Wolfers, masalah utama yang dihadapi setiap negara adalah membangun kekuatan untuk menangkal (to deter) atau mengalahkan (to defeat) suatu serangan. Dengan semangat yang sama, kolom keamanan nasional dalam International Encyclopaedia of the Social Science mendefinisikan keamanan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk melindungi nilai-nilai internalnya dari ancaman luar.

Mengkaji tentang keamananakan mengenal dua istilah penting, dilemma keamanan (security dilemma) dan dilemma pertahanan (defence

29 Anak Agung Banyu Prawita, 2005, Pengantar Hubungan Internasional, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, h. 121.


(51)

34

di1emma). Dilema keamanan (security dilemma), menggambarkan betapa upaya suatu negara untuk meningkatkan keamanannya dengan mempersenjatai diri justru, dalam suasana anarki internasional, membuatnya semakin rawan terhadap kemungkinan serangan pertama pihak lain. Dilema pertahanan (defence di1emma), menggambarkan betapa pengembangan dan penggelaran senjata baru maupun aplikasi doktrinal nasional mungkin saja justru tidak produktif atau bahkan bertentangan dengan tujuannya untuk melindungi keamanan nasional. Perbedaan dilema pertahanan (defence di1emma) dari dilema keamanan (security dilemma), dimana dilema keamanan (security dilemma) yang bersifat interaktif dengan apa yang dilakukan pihak lain, dilema pertahanan semata-mata bersifat non-interaktif, dan hanya terjadi dalam lingkup nasional, terlepas dari apa yang mungkin dilakukan pihak lain.

2.1.4 Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta

Pada hakikatnya sistem pertahanan Negara Indonesia adalah segala upaya pertahanan bersifat semesta. Sistem pertahanan tersebut lebih dikenal dengan Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta yang lebih dikenal dengan Sishankamrata. Sifat kesemestaannya dimana dalam penyelenggaraan sistem pertahanan negara didasarkan pada kesadaran akan hak dan kewajiban seluruh warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri untuk mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Kesemestaan mengandung makna pelibatan seluruh rakyat dan segenap sumber daya nasional, sarana dan


(52)

35 prasarana nasional, serta seluruh wilayah negara sebagai satu kesatuan pertahanan yang utuh dan menyeluruh.30 Pertahanan negara dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini dibawah Kementerian Pertahanan dan dipersiapkan secara dini dengan sistem pertahanan negara.

Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara yang bersifat semesta mempunyai ciri-ciri yaitu kerakyatan, kesemestaan, dan kewilayahan. Ciri kerakyatan mengandung makna bahwa orientasi pertahanan diabdikan oleh dan untuk kepentingan seluruh rakyat. Ciri kesemestaan mengandung makna bahwa seluruh sumber daya nasional didayagunakan bagi upaya pertahanan. Ciri kewilayahan merupakan gelar kekuatan pertahanan yang tersebar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan kondisi geografi sebagai satu kesatuan pertahanan.31

Bagi Indonesia, penyelenggaraan pertahanan dan keamanan negara bukan semata-mata ditujukan untuk perang, melainkan juga untuk mewujudkan perdamaian, menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengamankan kepentingan nasional, serta menjamin terlaksananya pembangunan nasional.32 Sistem pertahanan dan keamanan Negara yang efektif adalah pertahanan dan keamanan yang mampu menghadirkan suasana aman dan damai di mana kehidupan masyarakat berjalan secara normal, dan hubungan dengan sesama negara lain baik di

30 Departemen Pertahanan Republik Indonesia II, 2008, Buku Putih Pertahanan Indonesia

2008, Jakarta, hlm. 43. 31 Ibid.


(53)

36 kawasan maupun di luar kawasan berlangsung secara harmonis dan saling menghargai.

Fungsi pertahanan Indonesia diselenggarakan dengan Sistem Pertahanan Semesta guna mewujudkan dan mempertahankan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan segala isinya sebagai satu kesatuan pertahanan. Konsepsi pertahanan negara ini mempunyai dua fungsi, yaitu Pertahanan Militer dan Pertahanan Nirmiliter.33 Fungsi pertahanan militer yang diemban oleh Tentara Nasional Indonesia meliputi operasi militer perang dan operasi militer selain perang. Fungsi pertahanan nirmiliter adalah pemberdayaan sumber daya nasional baik kekuatan nirmiliter maupun pertahanan sipil, yang meliputi fungsi untuk penanganan bencana alam, operasi kemanusiaan, sosial budaya, ekonomi, psikologi pertahanan yang berkaitan dengan kesadaran bela negara, dan pengembangan teknologi. Pertahanan nirmiliter dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, disebut dengan komponen cadangan dan komponen pendukung.

2.2 Komponen Pertahanan Negara

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, mengklasifikasikan komponen pertahan negara sebagai berikut :

2.2.1 Komponen Utama

Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, memberikan pengertian komponen utama adalah


(54)

37 Tentara Nasional Indonesia yang siap digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan. Sebagai komponen utama, Tentara Nasional Indonesia bertugas untuk menanggulangi atau menghadapi ancaman-ancaman militer. Dalam melaksanakan fungsinya komponen utama didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung.

2.2.2 Komponen Cadangan

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, memberi pengertian komponen cadangan adalah sumber daya nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama. Pada Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, menyatakan komponen cadangan terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama. Mobilisasi adalah tindakan pengerahan dan penggunaan secara serentak sumber daya nasional serta sarana dan prasarana nasional sebagai kekuatan pertahanan negara.

Dari kedua pasal tersebut diatas, warga negara mempunyai sebuah kedudukan dalam sishankamrata. Pada Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara terdapat kata “telah disiapkan” dapat ditafsirkan bahwa warga negara yang telah diberikan pembekalan atau pelatihan tentang bela negara. Hal itu merupakan bentuk upaya pemerintah dalam menyiapkan sistem pertahanan. Di dalam


(55)

Undang-38 Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia disebut Rakyat terlatih. 2.2.3 Komponen Pendukung

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, memberikan pengertian komponen pendukung adalah sumber daya nasional yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan. Pada Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, menyatakan komponen pendukung terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan.

Dari kedua pasal tersebut diatas, menyatakan juga warga negara mempunyai sebuah kedudukan dalam sishankamrata. Berbeda dengan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menekankan bahwa warga negara yang tidak diberikan pembekalan atau pelatihan tentang bela negara dapat mempunyai kedudukan yang sama dalam sistem pertahanan keamanan negara. Warga negara yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, berpartisipasi dalam sistem pertahanan keamanan negara dengan menggunakan kemampuan dibidang-bidang tertentu yang dimilikinya.


(56)

39 2.3 Rakyat Terlatih

Pasal 1angka 1 Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1999 tentang Rakyat Terlatih, memberikan definisi Rakyat Terlatih adalah komponen dasar kekuatan pertahanan keamanan negara yang mampu melaksanakan fungsi ketertiban umum, perlindungan rakyat, keamanan rakyat, dan perlawanan rakyat dalam rangka penyelenggaraan pertahanan keamanan negara. Komponen dasar yang dimaksud dalam pasal tersebut diatas adalah rakyat. Pada pengertian rakyat terlatih tersebut diatas terdapat kata “mampu melaksanakan fungsi” yang mana dapat ditafsirkan bahwa rakyat sebelum melaksanakan fungsi ketertiban umum, perlindungan rakyat, keamanan rakyat, dan perlawanan rakyat, mendapatkan pelatihan, pendidikan dan pembinaan terlebih dahulu.

Rakyat terlatih merupakan implementasi dari kewajiban warga negara dalam upaya bela negara yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Rakyat terlatih apabila negara dalam keadaan perang maka semua warga negara atau rakyat terlatih menurut syarat-syarat tertentu wajib memanggul senjata untuk membela negaranya. Jika dikaitkan dengan teori status warga negara dari George Jellinek maka warga negara dalam hal tersebut berstatus pasif karena warga negara menjalankan kewajibannya dan tunduk pada perintah negara.


(1)

di1emma). Dilema keamanan (security dilemma), menggambarkan betapa upaya suatu negara untuk meningkatkan keamanannya dengan mempersenjatai diri justru, dalam suasana anarki internasional, membuatnya semakin rawan terhadap kemungkinan serangan pertama pihak lain. Dilema pertahanan (defence di1emma), menggambarkan betapa pengembangan dan penggelaran senjata baru maupun aplikasi doktrinal nasional mungkin saja justru tidak produktif atau bahkan bertentangan dengan tujuannya untuk melindungi keamanan nasional. Perbedaan dilema pertahanan (defence di1emma) dari dilema keamanan (security dilemma), dimana dilema keamanan (security dilemma) yang bersifat interaktif dengan apa yang dilakukan pihak lain, dilema pertahanan semata-mata bersifat non-interaktif, dan hanya terjadi dalam lingkup nasional, terlepas dari apa yang mungkin dilakukan pihak lain.

2.1.4 Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta

Pada hakikatnya sistem pertahanan Negara Indonesia adalah segala upaya pertahanan bersifat semesta. Sistem pertahanan tersebut lebih dikenal dengan Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta yang lebih dikenal dengan Sishankamrata. Sifat kesemestaannya dimana dalam penyelenggaraan sistem pertahanan negara didasarkan pada kesadaran akan hak dan kewajiban seluruh warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri untuk mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Kesemestaan mengandung makna pelibatan seluruh rakyat dan segenap sumber daya nasional, sarana dan


(2)

prasarana nasional, serta seluruh wilayah negara sebagai satu kesatuan pertahanan yang utuh dan menyeluruh.30 Pertahanan negara dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini dibawah Kementerian Pertahanan dan dipersiapkan secara dini dengan sistem pertahanan negara.

Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara yang bersifat semesta mempunyai ciri-ciri yaitu kerakyatan, kesemestaan, dan kewilayahan. Ciri kerakyatan mengandung makna bahwa orientasi pertahanan diabdikan oleh dan untuk kepentingan seluruh rakyat. Ciri kesemestaan mengandung makna bahwa seluruh sumber daya nasional didayagunakan bagi upaya pertahanan. Ciri kewilayahan merupakan gelar kekuatan pertahanan yang tersebar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan kondisi geografi sebagai satu kesatuan pertahanan.31

Bagi Indonesia, penyelenggaraan pertahanan dan keamanan negara bukan semata-mata ditujukan untuk perang, melainkan juga untuk mewujudkan perdamaian, menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengamankan kepentingan nasional, serta menjamin terlaksananya pembangunan nasional.32 Sistem pertahanan dan keamanan Negara yang efektif adalah pertahanan dan keamanan yang mampu menghadirkan suasana aman dan damai di mana kehidupan masyarakat berjalan secara normal, dan hubungan dengan sesama negara lain baik di

30 Departemen Pertahanan Republik Indonesia II, 2008, Buku Putih Pertahanan Indonesia

2008, Jakarta, hlm. 43.

31 Ibid.


(3)

kawasan maupun di luar kawasan berlangsung secara harmonis dan saling menghargai.

Fungsi pertahanan Indonesia diselenggarakan dengan Sistem Pertahanan Semesta guna mewujudkan dan mempertahankan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan segala isinya sebagai satu kesatuan pertahanan. Konsepsi pertahanan negara ini mempunyai dua fungsi, yaitu Pertahanan Militer dan Pertahanan Nirmiliter.33 Fungsi pertahanan militer yang diemban oleh Tentara Nasional Indonesia meliputi operasi militer perang dan operasi militer selain perang. Fungsi pertahanan nirmiliter adalah pemberdayaan sumber daya nasional baik kekuatan nirmiliter maupun pertahanan sipil, yang meliputi fungsi untuk penanganan bencana alam, operasi kemanusiaan, sosial budaya, ekonomi, psikologi pertahanan yang berkaitan dengan kesadaran bela negara, dan pengembangan teknologi. Pertahanan nirmiliter dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, disebut dengan komponen cadangan dan komponen pendukung.

2.2 Komponen Pertahanan Negara

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, mengklasifikasikan komponen pertahan negara sebagai berikut :

2.2.1 Komponen Utama

Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, memberikan pengertian komponen utama adalah


(4)

Tentara Nasional Indonesia yang siap digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan. Sebagai komponen utama, Tentara Nasional Indonesia bertugas untuk menanggulangi atau menghadapi ancaman-ancaman militer. Dalam melaksanakan fungsinya komponen utama didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung.

2.2.2 Komponen Cadangan

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, memberi pengertian komponen cadangan adalah sumber daya nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama. Pada Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, menyatakan komponen cadangan terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama. Mobilisasi adalah tindakan pengerahan dan penggunaan secara serentak sumber daya nasional serta sarana dan prasarana nasional sebagai kekuatan pertahanan negara.

Dari kedua pasal tersebut diatas, warga negara mempunyai sebuah kedudukan dalam sishankamrata. Pada Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara terdapat kata “telah disiapkan” dapat ditafsirkan bahwa warga negara yang telah diberikan pembekalan atau pelatihan tentang bela negara. Hal itu merupakan bentuk upaya pemerintah dalam menyiapkan sistem pertahanan. Di dalam


(5)

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia disebut Rakyat terlatih. 2.2.3 Komponen Pendukung

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, memberikan pengertian komponen pendukung adalah sumber daya nasional yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan. Pada Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, menyatakan komponen pendukung terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan.

Dari kedua pasal tersebut diatas, menyatakan juga warga negara mempunyai sebuah kedudukan dalam sishankamrata. Berbeda dengan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menekankan bahwa warga negara yang tidak diberikan pembekalan atau pelatihan tentang bela negara dapat mempunyai kedudukan yang sama dalam sistem pertahanan keamanan negara. Warga negara yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, berpartisipasi dalam sistem pertahanan keamanan negara dengan menggunakan kemampuan dibidang-bidang tertentu yang dimilikinya.


(6)

2.3 Rakyat Terlatih

Pasal 1angka 1 Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1999 tentang Rakyat Terlatih, memberikan definisi Rakyat Terlatih adalah komponen dasar kekuatan pertahanan keamanan negara yang mampu melaksanakan fungsi ketertiban umum, perlindungan rakyat, keamanan rakyat, dan perlawanan rakyat dalam rangka penyelenggaraan pertahanan keamanan negara. Komponen dasar yang dimaksud dalam pasal tersebut diatas adalah rakyat. Pada pengertian rakyat terlatih tersebut diatas terdapat kata “mampu melaksanakan fungsi” yang mana dapat ditafsirkan bahwa rakyat sebelum melaksanakan fungsi ketertiban umum, perlindungan rakyat, keamanan rakyat, dan perlawanan rakyat, mendapatkan pelatihan, pendidikan dan pembinaan terlebih dahulu.

Rakyat terlatih merupakan implementasi dari kewajiban warga negara dalam upaya bela negara yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Rakyat terlatih apabila negara dalam keadaan perang maka semua warga negara atau rakyat terlatih menurut syarat-syarat tertentu wajib memanggul senjata untuk membela negaranya. Jika dikaitkan dengan teori status warga negara dari George Jellinek maka warga negara dalam hal tersebut berstatus pasif karena warga negara menjalankan kewajibannya dan tunduk pada perintah negara.