Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian Ringkasan Hasil Kedua Subjek

25

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian

Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti melakukan persiapan terlebih dahulu. Pertama-tama, peneliti mencari subjek yang sesuai dengan kriteria subjek dalam penelitian ini. Peneliti mendapatkan subjek yang sesuai dengan kriteria melalui teman dan keluarga. Peneliti segera menghubungi ketiga subjek tersebut untuk menjelaskan tujuan dari penelitian ini serta menanyakan kebersediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Setelah ketiga subjek tersebut bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, peneliti segera menentukan waktu dan tempat bertemu dengan mereka. Berikut jadwal bertemu subjek dengan peneliti: Tabel 2. Jadwal wawancara dan pengisian skala No. Subjek Hari,Tanggal Waktu Tempat 1. B Sabtu, 17 Mei 2014 17.00-19.00 Rumah subjek 2. T Jumat, 23 Mei 2014 14.00-14.30 Rumah subjek 3. P Senin, 26 Mei 2014 11.00-13.00 Rumah subjek Wawancara yang terlaksana direkam dengan menggunakan digital recorder. Proses wawancara dengan subjek pertama berjalan dengan lancer. Subjek dapat bercerita panjang lebar dengan mudah kepada peneliti. Beberapa hari kemudian, peneliti menemui subjek kedua untuk melakukan proses wawancara. Data dari hasil wawancara dengan subjek 26 kedua terpaksa harus peneliti gugurkan karena subjek kedua tidak masuk dalam kriteria subjek yang telah peneliti tentukan sebelumnya. Sama seperti proses wawancara dengan subjek pertama, proses wawancara dengan subjek ketiga juga berjalan dengan lancar. Setelah wawancara selesai, peneliti kemudian membuat verbatim yang sesuai dengan deskripsi yang telah subjek sebutkan sebelumnya serta melakukan analisis dari deskripsi tersebut.

B. SUBJEK I

1. Deskripsi Subjek

B merupakan seorang perempuan yang berusia 35 tahun. Saat ini B tinggal terpisah dengan suaminya karena tuntutan pekerjaan. Meskipun demikian, B dan suaminya telah berkomitmen untuk bertemu setiap 3 bulan 1 kali selama 1 bulan penuh. B bekerja di Jakarta sedangkan suami B bekerja di Paris. Saat ini B bekerja di Bank Dunia di program nasional pemberdayaan masyarakat. B telah memutuskan untuk tidak memiliki anak sejak B masih duduk di bangku kuliah. Sebelum bertemu dengan lelaki yang saat ini menjadi suami B, B sempat menjalin sebuah relasi romantis dengan salah seorang lelaki selama 8 tahun. Namun, hubungan tersebut harus berakhir karena lelaki tersebut tidak mendukung keinginan B untuk tidak memiliki anak. Meskipun demikian, B kemudian bertemu dengan seorang lelaki yang saat ini menjadi suaminya. Pada pertemuan 27 pertamanya dengan lelaki tersebut, B menceritakan permasalahan yang terjadi pada dirinya dan menemukan kecocokan dengan lelaki tersebut. B merasa cocok dengan lelaki tersebut karena mereka memiliki jalan pikiran yang sama, khususnya dalam hal pengambilan keputusan untuk tidak memiliki anak. Karena kecocokan tersebutlah, B menikah dengan lelaki itu.

2. Analisis Deskriptif

a. Awal

Dalam wawancara, B menceritakan bahwa ketika B masih kecil, B tidak mendapatkan haknya sebagai seorang anak untuk diasuh oleh kedua orang tuanya. B menganggap pengalaman masa kecilnya merupakan pengalaman yang menyakitkan. Pengalaman tersebut berpengaruh besar pada pengambilan keputusan B untuk tidak memiliki anak. B merupakan individu yang senang memiliki banyak kegiatan dan masih ingin meniti karirnya. Saat itu B memiliki pekerjaan yang menuntutnya untuk selalu berpergian. B menyadari bahwa memiliki anak merupakan tanggung jawab yang besar sehingga apabila B memiliki anak, B akan terpaksa diam dirumah dan harus berhati-hati dalam memilih kegiatan. Oleh sebab itu, B mengambil keputusan untuk tidak memiliki anak karena B menyadari bahwa pekerjaan yang ia pilih tidak sejalan dengan kehidupan seorang ibu yang memiliki anak. B tidak ingin 28 mengulangi kesalahan yang sama, yaitu berlaku tidak adil kepada anaknya apabila B memiliki anak.

b. Tengah

Selama menjalankan pilihannya untuk tidak memiliki anak, B sering mendapatkan pertanyaan-pertanyaan seputar anak dari lingkungan sekitar. Pada awalnya, B masih sangat bersemangat untuk menjelaskan kepada mereka mengenai alasannya memilih tidak memiliki anak. Namun, saat ini B tidak begitu bersemangat lagi dan lebih memilih untuk memberikan jawaban yang diharapkan oleh lingkungan. “Harus belajar ngeles, sama orang harus dapetin jawaban yang mereka mau ”. Ibu B sempat tidak menyetujui keputusan B tersebut. namun, perlahan-lahan ibu B mulai menyadari bahwa B tidak ingin menyusahkan ibunya sehingga ibu B mendukung keputusan B. Ketidakpedulian B pada komentar lingkungan sekitar serta Adanya dukungan dan upaya dari sang ibu agar B terhindar dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh keluarga besar, membuat B semakin berpegang teguh pada pilihannya. “Mau ngomong apa juga bodo. Hahaha. Hidupku. Hahaha. Yang penting kan keluarga ”. Tak hanya bergantung pada usaha sang ibu, B juga melakukan usaha untuk membuktikan pada keluarga bahwa 29 pilihan hidupnya merupakan pilihan yang benar. “Dan memang saudara-saudara ngeliat aku juga makin maju aja, jadi ya „ah.. mungkin itu memang pilihan yang benar ‟. Gitu aja sih. Itu pembuktian juga ”.

c. Akhir

Pada akhirnya, keputusan B untuk tidak memiliki anak tetap B jalani hingga saat ini. Hal ini dikarenakan B merasa hidup yang dijalaninya sudah memuaskan. Sebab, hal yang diinginkan oleh B telah tercapai, yakni tidak berlaku tidak adil pada anaknya. “Kehidupan seperti ini lebih adil. Nggak bayangin kan, kalo punya anak, suami dimana, istri dimana, anak dimana, itu juga tambah nggak lucu lagi ”. Selain itu, B juga merasakan adanya keuntungan dari menjalankan pilihannya tersebut, yakni lebih bebas dalam menggunakan waktunya untuk karir dan diri sendiri serta tidak berkontribusi dalam ledakan populasi.

d. Kesimpulan

Kisah hidup B bersifat progresif. Usaha yang dilakukan B untuk mempertahankan keputusannya sebagai seorang voluntary childlessness di tengah masyarakat pronatal membuatnya semakin sukses dalam meniti karir serta mendapatkan kehidupan yang lebih baik. 30

3. Analisis Interpretatif

a. Generativitas

Skor generativitas yang diukur menggunakan Skala Generativitas Loyola juga menunjukkan bahwa B memiliki komitmen dalam berperilaku yang berkaitan dengan generativitas yang tergolong normal. Dari skala tersebut, dapat dilihat bahwa B mewariskan atau meneruskan ilmu pengetahuan yang ia miliki, kemampuan, dan lain-lain; berkontribusi pada kebaikan komunitas, masyarakat, dan lain-lain; melakukan sesuatu yang akan selalu diingat dan diwariskan; menjadi kreatif dan produktif serta merawat dan bertanggung jawab pada orang lain.  Generativitas Parental Salah satu cara B untuk menyalurkan dorongan generativitas yaitu melalui generativitas parental. B akan menyalurkan kasih sayang dan perhatiannya pada suami dan hewan peliharaan. “Soalnya kalo cuman mikir obyek afeksi aja, stiap orang pasti butuh obyek afeksi kan. Toh ada suami, ada kucing tiga. “ Selain itu, B juga memiliki keinginan untuk membantu anak- anak yang kurang mampu serta memiliki pekerjaan yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. “Toh kalo nanti memang butuh anak, atau ngerasa butuh obyek afeksi yang baru gitu bisa ngangkat, kan banyak anak yang dibuang juga toh. Kasihan juga . …. Ya emang karna nguntungin si bocah 31 juga kan ya. Masih banyak yang butuh di bantu juga kok. Kalopun nggak ngangkat, paling nggak bantu anak buat digedein gitu. Di keluarganya sendiri atau apa. ” “Kerjaanku di program nasional pemberdayaan masyarakat” B memiliki keinginan untuk tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, yaitu berlaku tidak adil kepada anak seperti yang dilakukan oleh orang tua subjek terhadapnya. “Aku nggak mau kalo aku punya anak aku seperti aku dulu sampai aku kesulitan banget, tapi yaudah. Kebetulan aku memilih kegiatan yang mobilitasnya tinggi, jadi ya aku nggak mau aku nggak fair sama anakku. ” “... kita nggak mau mengulang kesalahan yang sama ya.” “Dan ketika aku aktif banget, akan nggak fair buat anakku nanti. ” “... pilihan pekerjaanku apa dan aku yakin kalo aku terusin pilihan pekerjaan eh.. aku ngejar cita-citaku itu, aku nggak akan sempet punya waktu untuk ngurus anak dan itu nggak adil buat anaknya. ” “... di sisi yang lain juga aku tidak berlaku tidak adil pada anakku kalo aku punya anak. ”  Generativitas Kultural Cara lain yang dilakukan oleh B untuk menyalurkan dorongan generativitas yaitu dengan generativitas kultural. B tidak ingin berkontribusi pada ledakan populasi 32 “Nggak nambah populasi juga. Hahaha. Itu masalah dunia. Terlalu banyak manusia. ”

b. Motif-motif

 Karir B memilih untuk tidak memiliki anak karena masih ingin membangun karir dan mengejar cita-citanya. B menyadari bahwa dirinya akan kehilangan kebebasan dalam memilih kegiatan dan dengan terpaksa diam di rumah apabila B memiliki anak. Oleh sebab itu, B lebih memilih untuk tidak memiliki anak agar tidak kehilangan kebebasannya. “Aku sadar karena pertama, waktu itu aku masih merasa aku harus bangun karir dulu gitu. ” “... pilihan pekerjaanku apa dan aku yakin kalo aku terusin pilihan pekerjaan eh.. aku ngejar cita-citaku itu, aku nggak akan sempet punya waktu untuk ngurus anak dan itu nggak adil buat anaknya. ”  Zero Population Growth B sadar salah satu permasalahan yang sedang dihadapi oleh dunia adalah masalah ledakan populasi sehingga hal tersebut mempengaruhi B untuk tetap menjalani kehidupan tanpa anak. “Nggak nambah populasi juga. Hahaha. Itu masalah dunia. Terlalu banyak manusia. ” 33  Pengalaman hidup Pengalaman masa kanak-kanak B sangat mempengaruhi B dalam mengambil keputusan untuk tidak memiliki anak. B memiliki pengalaman yang kurang baik sebagai seorang anak. Ketika B masih kecil, B tidak diasuh oleh kedua orang tuanya, melainkan diasuh oleh kakek neneknya. B merasa hal tersebut tidak adil sebab orang tua yang seharusnya mengasuh anak, lebih memilih untuk bersenang-senang dengan teman- temannya. Dengan demikian, B sadar bahwa dirinya tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, yaitu berlaku tidak adil kepada anaknya hanya karena dirinya disibukkan oleh pekerjaan. “Jadi aku dititipkan di orang tua dan kemudian mereka akan sibuk traveling, jalan-jalan, haha hihi dengan temannya, tanpa merasa mereka ada tanggung jawab anak, yang mereka harus nabung untuk anaknya itu sekolah dan seterusnya, dan seterusnya, makan sehari-hari. ” “Jadi, aku masih punya dendam itu sampe aku menyalahkan ibuku untuk beberapa hal yang aku nggak punyai atau nggak dapet kesempatan itu. ” “Aku nggak mau kalo aku punya anak aku seperti aku dulu sampai aku kesulitan banget, tapi yaudah. Kebetulan aku memilih kegiatan yang mobilitasnya tinggi, jadi ya aku nggak mau aku nggak fair sama anakku. ”  Manfaat yang dirasakan Adanya manfaat yang dirasakan oleh B dari menjalankan keputusannya, membuat B hingga saat ini tetap memilih untuk tidak memiliki anak. Manfaat yang B rasakan, yaitu berupa 34 fleksibilitas dalam menggunakan waktu sehingga B dapat bekerja semaksimal mungkin dan terus dapat mengejar cita- citanya. Selain itu, B merasa kehidupan yang ia jalani saat ini sangat memuaskan dan lebih adil. Keinginan B untuk tidak bersikap tidak adil pun terpenuhi. “... lebih enteng untuk ngejalanin opsiku buat memilih karir dan kerja gitu kan. Eee.. bahwa aku juga bebas maksimalkan waktuku untuk kerja buat masyarakat. Yang kayak gitu. Eeem.. aku juga bisa pakai waktuku banyak tanpa harus.. misal memang ada kerjaan yang belum selesai, kalo aku harus kerja sampe jam 11, aku nggak akan mikir „ooh.. ada anakku yang harus ini.. nggak enak.. gimana..‟ jadi nggak stengah-stengah. Kalo kerja, kerja total gitu. Totalitas aja sih. ” “Ketika aku tidak mem... tidak menjalankan citaku dengan stengah-stengah di satu sisi, ...” “Kehidupan seperti ini lebih adil.”

C. Subjek II

1. Deskripsi Subjek

P merupakan seorang lelaki yang berusia 54 tahun. Pertama kali P memutuskan untuk tidak memiliki anak ketika P masih berumur 16 tahun. Saat itu P memiliki keinginan untuk hidup selibat sehingga P memutuskan untuk masuk seminari. P memilih untuk masuk seminari karena P ingin dapat meolong orang sebanyak-banyaknya tanpa terikat oleh anak dan istri. Namun, keinginan P untuk hidup selibat pun terhenti karena P merasa bahwa hal tersebut bukan panggilan hidupnya. Dengan demikian, P memutuskan untuk keluar dari seminari dan tetap melanjutkan cita-citanya untuk menolong orang sebanyak- banyaknya tanpa terikat oleh anak saja. P merupakan lulusan UNDIP 35 dan IKIP Negeri Semarang, fakultas ilmu kimia dan fakultas hukum. Ketika P masih muda, P bergabung dengan organisasi yang membela para buruh. Selain itu, dulu B juga bekerja sebagai dosen. Berhubung saat ini P sudah menginjak usia 54 tahun, P merasa bahwa dirinya sudah tua dan tidak ada perusahaan yang ingin menerimanya untuk bekerja. Oleh sebab itu, P sekarang hanya bergabung dalam kegiatan di masyarakat dan gereja serta berjualan makanan ringan untuk menambah biaya hidup keluarganya. P telah menikah dengan seorang perempuan yang kebetulan rahimnya telah diangkat. P merasa bahwa dengan mendapatkan istri yang tidak memiliki Rahim tersebut justru mendukung obsesinya untuk menolong orang lain sebanyak- banyaknya tanpa terikat oleh anak.

2. Analisis Deskriptif

a. Awal

P memutuskan untuk tidak memiliki anak karena P ingin melayani orang sebanyak-banyaknya tanpa terikat oleh anak dan istri sehingga P memilih untuk menjadi seorang Romo. Keinginan P untuk melayani ini muncul karena ayah P sering berpesan untuk selalu menolong orang lain. Setelah menjalani kehidupannya di seminari, keinginan P untuk menjadi Romo tidak tercapai karena P merasa bahwa panggilan hidup untuk menjadi Romo telah hilang. Dengan demikian, P keluar dari seminari dan secara kebetulan 36 bertemu dengan seorang perempuan yang rahimnya telah diangkat. “Bulek kan bicara gini „Pak. Bapak. Tapi aku udah diangkat loh rahimnya. Dak kecewa toh dapet aku? ‟. Nggak. Malah kebetulan. Jadi, mendukung obsesi om toh ”. P tidak mempermasalahkan hal tersebut karena P sudah dari awal memutuskan untuk tidak memiliki anak demi menjalankan keinginannya, yaitu melayani orang sebanyak-banyaknya tanpa terikat oleh anak. P menyatakan bahwa biaya kebutuhan anak saat ini tergolong mahal. P menyadari bahwa apabila P memiliki anak, uang yang P dapatkan tidak dapat digunakan untuk melayani melainkan untuk memenuhi kebutuhan sang anak.

b. Tengah

Setelah menjalani kehidupannya sebagai voluntary childlessness, P sering mendapatkan pertanyaan mengenai anak dari beberapa orang yang P temui, terutama dari lingkungan tempat tinggalnya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tersebut dirasakan P cukup mengganggu. “Yang halangannya kalo ada orang tidak seiman, trus kok udah married lama nggak dikasih anak?”. Untuk mengatasi hal tersebut, P akan memberikan jawaban yang dapat mencegah pembicaraan tersebut terus mengalir, seperti belum dikaruniai anak. Meskipun demikian, P menyatakan bahwa dirinya merasa biasa saja ketika mendapat pertanyaan-pertanyaan 37 tersebut. Untuk bertahan pada situasi tersebut, P selalu berserah, bersyukur kepada Tuhan dan berusaha menolong sesama dengan sebaik- baiknya. “Ya udahlah nanti masa tua kan mengalir. Hidup ini mengalir. Bersyukur pada Tuhan, sesuai dengan penyelenggaraan Allah, penyelenggaraan Tuhan, hidup mengalir berusaha menolong melayani sesama dengan sebaik-baiknya. Nanti Tuhan selalu memberikan jalan yang terbaik buat om dan bulek ”. Kerabat serta orang-orang seiman tidak pernah mempermasalahkan pilihan hidup P untuk tidak memiliki anak. Dari menjalani hidupnya sebagai voluntary childlessness, P menunjukkan pada masyarakat sekitar bahwa dirinya merupakan individu yang ringan tangan sehingga P menjadi salah satu orang yang diperhatikan dan dipandang oleh masyarakat.

c. Akhir

Akhir cerita, P tetap menjalankan kehidupannya sebagai voluntary childlessness hingga saat ini. Hal ini dikarenakan P merasakan adanya keuntungan dari tidak memiliki anak, yaitu P bebas dalam menggunakan waktunya. Dengan demikian, P merasa sangat bahagia karena P mendapatkan apa yang diinginkannya, yaitu melayani orang sebanyak- banyaknya. “Secara psikis om bahagia sekali ”. “ Semakin kesini, nggak punya anak semakin lebih bisa melayani ”. Keputusan P untuk tidak memiliki anak juga 38 diperkuat oleh kesepakatan P dengan sang istri untuk tidak mengadopsi anak.

d. Kesimpulan dan Isu yang Terkait

Kisah hidup P bersifat progresif. Melalui usahanya untuk tetap mempertahankan keputusannya sebagai seorang voluntary childlessness di tengah masyarakat Pronatal, P saat ini merasa sangat bahagia. Selain itu, pengalaman religiusitas P semakin diperkuat setelah menjalani keputusannya untuk tidak memiliki anak. P terus berserah dan bersyukur kepada Tuhan atas apa yang telah Tuhan berikan kepadanya.

3. Analisis Interpretatif

a. Generativitas

P memiliki skor yang tergolong normal pada skor generativitas yang diukur menggunakan Skala Generativitas Loyola. Dari skala tersebut, dapat dilihat bahwa P mewariskan atau meneruskan ilmu pengetahuan yang ia miliki, kemampuan, dan lain-lain; berkontribusi pada kebaikan komunitas, masyarakat, dan lain-lain; melakukan sesuatu yang akan selalu diingat dan diwariskan; menjadi kreatif dan produktif serta merawat dan bertanggung jawab pada orang lain. 39  Generativitas Parental Salah satu cara yang dilakukan P untuk menyalurkan dorongan generativitas, yaitu melalui generativitas parental. P memiliki keinginan untuk membantu orang lain. “... supaya bisa melayani orang sebanyak-banyaknya, ikut berbagi dengan banyak orang. ” “Kepengennya ya melayani itu tok.” P melakukan hal yang bermanfaat bagi masyarakat untuk menyalurkan dorongan tersebut. “Masalah kenaikan gaji, upah berkala, tunjangan kesehatan, jaminan sosial, jaminan tenaga kerja, trus kenaikan eee.. UMR, upah minimal regional. Udah masuk dua tahun, gaji belum sesuai dengan UMR daerah itu, harus diperjuangkan.” “Melayani itu misalnya ya, misalnya melayani itu ada melayani untuk gereja, itu kan juga pelayanan. Kegiatan gereja, aktivis gereja kan pelayanan juga. Belum di RT RW kan banyak kegiatan. Belum di karang taruna, belum di masyarakat.” “Ya masyarakat sini, lingkungan sini ada masalah, tanya om.”  Generativitas Kultural P juga menyalurkan dorongan generativitas melalui generativitas kultural, dimana P menanamkan nilai-nilai pada mahasiswanya ketika P menjadi seorang dosen. “Anak-anak itu kalo trisakti nakal-nakal anaknya. Kalo masuk kuliah tu, dosennya udah masuk, satu jam sesudahnya baru masuk. 40 Jangan main-main ya sama bapak. Bapak kuliah jam tujuh ya, stengah tujuh udah masuk ruangan. Buka, bapak duduk di kursi dosen nunggu anak-anak itu. Nanti, „bapak udah dateng loh. Udah di dalam ruangan loh.‟. Wuah langsung cepet-cepetan. Paling nggak ada lima menit udah selesai masuk. Kan ngajari disiplin. ”  Generativitas Teknis P meneruskan ilmu pengetahuan yang P miliki pada generasi muda melalui perannya sebagai seorang dosen. P juga menanamkan nilai-nilai pada generasi muda. “ Om ngajar, ngajar PMP sama hukum itu, ya mata kuliahnya om, tak ajarkan. ”

b. Motif-motif

 Ekonomi Salah satu alasan P memilih untuk tidak memiliki anak adalah alasan ekonomi. P menyatakan bahwa biaya kebutuhan anak saat ini tergolong mahal. P menyadari bahwa apabila P memiliki anak, uang yang P dapatkan tidak dapat digunakan untuk melayani melainkan untuk memenuhi kebutuhan sang anak. “... coba kalo punya istri dan anak, kan gajinya kan untuk anak istri. Untuk anak biaya anak kan mahal sekarang.” 231-237 41  Pengalaman hidup Ketika P masih anak-anak, ayah P sering menasihati untuk selalu menolong sesama. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi P dalam mengambil keputusan untuk tidak memiliki anak. P ingin melayani orang sebanyak-banyaknya tanpa terikat oleh anak. Oleh sebab itu, P memilih untuk tidak memiliki anak. “Dulu bapak sering berpesan „gemar-gemarlah menolong orang lain‟.”  Manfaat yang dirasakan Adanya manfaat yang P rasakan setelah menjalani keputusannya, membuat P semakin kuat pada pendiriannya untuk tidak memiliki anak. P saat ini merasa sangat bahagia karena P dapat menolong orang lain tanpa terikat oleh waktu. “... ndak punya anak, jadi lebih leluasa lah kemana-mana. Nggak jam sembilan bapak-bapak pulang nidurin anaknya. Lah om kan sampe jam 12, 1 ada kebaktian ato ada apa kan, sampe pagi pun tak ladeni. ” “Semakin kesini, nggak punya anak semakin lebih bisa melayani. ”

D. Ringkasan Hasil Kedua Subjek

Kedua subjek memiliki narasi yang bersifat progresif. Narasi yang bersifat progresif ini merupakan narasi yang melukiskan kehidupan sebagai sebuah tantangan yang mengandung kesempatan untuk membuatnya maju. Kisah kedua subjek diawali dengan pengambilan 42 keputusan untuk tidak memiliki anak di tengah masyarakat pronatal. Keputusan yang mereka ambil mengantar mereka pada kehidupan yang kurang nyaman. Beragam pertanyaan dan komentar dilontarkan oleh masyarakat pronatal. Pertanyaan dan komentar yang didapat merupakan konsekuensi dari keputusan yang telah mereka ambil dan dirasa cukup mengganggu oleh kedua subjek. Berbagai macam usaha dilakukan oleh kedua subjek untuk mendapatkan kehidupan yang lebih nyaman. Akhir cerita, usaha yang mereka lakukan membuahkan hasil yang baik, yakni subjek pertama merasa bahwa kehidupannya saat ini terasa memuaskan dan lebih adil serta semakin sukses dalam meniti karirnya sedangkan subjek kedua semakin diperkuat dalam pengalaman religiusitasnya dan merasa sangat bahagia karena ia dapat melayani orang sebanyak- banyaknya tanpa terikat oleh anak. Kedua subjek sama-sama memiliki dorongan generativitas. Generativitas yang muncul pada diri individu voluntary childlessness adalah generativitas parental, generativitas kultural dan generativitas teknis. Berdasarkan hasil pengukuran menggunakan skala generativitas loyola, komitmen kedua subjek untuk bertanggung jawab terhadap generativitas selanjutnya tergolong normal. Hal ini menunjukkan bahwa kedua subjek dapat mengembangkan generativitas melalui berbagai macam cara, seperti melalui generativitas parental, kultural dan teknis. Generativitas parental kedua subjek muncul dalam bentuk penyaluran kasih sayang serta perhatian pada pasangan, hewan peliharaan 43 dan masyarakat yang kurang beruntung. Generativitas kultural kedua subjek muncul dalam bentuk mempertahankan budaya yang sudah ada, seperti tidak ingin berkontribusi pada ledakan populasi dan menanamkan nilai-nilai kepada generasi yang lebih muda. Sedangkan generativitas teknis muncul dalam bentuk mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki. Dalam mengambil keputusan sebagai individu voluntary childlessness, kedua subjek sama-sama memiliki motif yang dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya dan adanya manfaat yang dirasakan. Motif lain yang muncul adalah adanya pengaruh zero population growth, alasan ekonomi dan karir. Motif-motif tersebut muncul karena adanya pengaruh dari pengalaman pribadi dan lingkungan. Dalam konteks personal, kedua subjek memiliki pengalaman yang berbeda. Subjek pertama menganggap bahwa tantangan utama dalam menjalankan kehidupannya sebagai voluntary childlessness adalah membuktikan bahwa pilihan untuk tidak memiliki anak yang diambilnya merupakan pilihan yang tepat. Konsekuensi yang didapat dari menjalankan keputusannya memang dirasa cukup mengganggu, namun tidak dilihat sebagai ancaman melainkan sebagai sebuah tantangan yang harus dihadapi dan dapat membawanya untuk lebih maju. B mendeskripsikan berbagai pengalaman yang penuh perjuangan dan adanya dukungan dari keluarga. Sedangkan tantangan utama bagi subjek kedua adalah dapat menolong orang sebanyak-banyaknya tanpa terikat oleh anak. P cenderung 44 mendeskripsikan pengalaman yang penuh perjuangan dan adanya dukungan dari pasangan dan kerabatnya. Konsekuensi yang didapat P tidak dilihat sebagai ancaman untuk menolong orang sebanyak-banyaknya, melainkan sebagai sebuah kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Pada konteks sosial, narasi dilihat melalui perspektif moral Noblitt dan Dempsey dalam Murray dalam Smith, 2008 sebagai suatu dongeng tentang benar dan salah, dari berbagai usaha untuk melakukan kesalehan selama masa cobaan Murray dalam Smith, 2008. Dalam menghadapi konsekuensi yang didapat dari masyarakat pronatal, B tidak berusaha melawan masyarakat, melainkan berusaha berdamai dengan keadaan yang ada. B akan memberikan penjelasan serta jawaban yang diharapkan oleh masyarakat apabila B mendapatkan pertanyaan seputar anak. Sedangkan P, apablia P mendapatkan komentar dan pertanyaan dari masyarakat pronatal, P juga akan memberikan jawaban yang diharapkan oleh masyarakat. Selain itu, P juga memiliki kehidupan iman yang kuat sehingga P melihat konsekuensi yang didapat dari menjalankan keputusannya sebagai sebuah sarana untuk lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan.

E. Pembahasan