Sangsi Adat Pada Lembaga Perkriditan Desa Dalam Krangka Principal-Agent (Studi Kasus di LPD Desa Pekraman Jungut Kabupaten Klungkung).

(1)

1 LAPORAN PENELITIAN MANDIRI

Sanksi Adat Pada Lembaga Perkreditan Desa Dalam

Kerangka

Principal-Agent

(Studi Kasus di LPD Desa

Pekraman Jungut Kabupaten Klungkung)

Oleh

Drs I Made Adigorim

JURUSAN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


(2)

(3)

3

Daftar Isi

Sampul Dalam ... 1

Lembaran Pengesahan ... 2

Daftar Isi ... 3

Abstrak ... 5

BAB I ... 6

1 1.Latar Belakang ... 6

1 2. Rumusan Masalah ... 8

1 3. Pertanyaan Penelitian ... 8

1 4. Tujuan Penelitian ... 9

BAB II Landasan Teori ... 9

. Gap Teori dan Empiris ... 9

2.1 Pengertian LPD ... 9

2.2 Fungsi dan Tujuan LPD ... 10

2.3 Struktur Organisasi LPD di Provinsi Bali ... 11

2.4 Kredit ... 17

2.5 Ilmu Ekonomi Kelembagaan Baru ... 20

2.6 Teori Principal-Agent ... 21

BAB III. METODA PENELITIAN ... 26


(4)

4

3.2 Pendekatan Penelitian ... 24

3.3 Unit Analisis ... 28

3.4 Teknik Pemilihan Informasi ... 28

3.5 Jenis Data ... 29

3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 29

3 7.Teknik Analisis Data... 30

3 7.1 Analisis Non-Parametrik ... 28

3 7.2 Analisis Kualitatif ... 31

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN ... 32

4.1 Gambaran umum LPD Desa Pekraman Jungut ... 32

4.2 Penyebab Kredit Macet ... 35

4.3 Dampak Adanya Sanksi Terhadap Debitur yang Kreditnya Macet ... 38

4.4 Perbedaan Kredit Sebelum dan Sesudah Adanya Sanksi Adat ... 40

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 42

5.1 Simpulan ... 42

5.2 Saran ... 43


(5)

5 Abstrak

Dalam Penyaluran kredit di LPD Desa Pekraman Jungut terdapat masalah principal-agent antara debitur sebagai agent dan pihak LPD sebagai pricipal sehingga menyebabkan terjadinya kredit macet. Debitur yang tidak berusaha dan tidak ada beritak baik untuk melunasi kreditnya, maka dijatuhi sanksi adat seperti kasus I Nyoman Sukarta yang dijatuhi sanksi adat. Tulisan ini mendiskusikan mengani penyebab kredit, dampak sanksi adat terhadap debitur yang kreditnya macet, serta perbedaan kredit sebelum dan sesudah adanya sanksi adat.

Dengan menggunakan teori principal-agent penelitian ini menunjukkan terjadinya kredit macet di LPD Desa Pekraman Jungut disebabkan karena adanya hidden information yang menyebabkan terjadinya model adverese selction dan model moral hazard. Adanya hidden information disebabkan karena awig-awig atau rule of the game dalam penyaluran kredit yang tidak sesuai dengan rule of the game lembaga keuangan formal lainya. Selain itu, dampak sanksi adat hanya jika seseorang yang terkena sanksi merupakan warga adat hanya di satu di desa pekraman, jika seseorang terdaftar menjadi warga adat di dua desa pekraman maka sanksi tidak berdampak.Terdapat perbedaan kredit sebelum dan sesudah adanya sanksi adat terhadap debitur yang kreditnya macet, yang berarti adanya sanksi adat telah mempengaruhi jumlah kredit.

Keyword : Principal-agent, Sanksi Adat, Hidden Infotmation, Rule of The Game, Kredit Macet.


(6)

6 BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Ekonomi Kelembagaan selama beberapa dekade terkahir dipercaya sebagai alat yang digunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh ekonomi kalsik atau kynes. Kelembagaan sendiri merupakan aturan yang membatasi perilaku menyimpang manusia untuk membangun interaksi politik, ekonomi, dan sosial (North dalam Yustika, 2008). Lembaga dalam perkembanganya dapat dibagi menjadi dua yaitu lembaga informal dan formal. Menurut Arsyad (2005) 1) menyatakan bahwa lembaga atau institusi informal meliputi aturan-aturan yang dituangkan dalam bentuk hukum oleh pemerintah, aturan yang dibakukan dan diadopsi oleh lembaga swasta yang melakukan kegiatanya sesuai undang-undang dan lembaga informa merupakan aturan tidak tertulis seperti sanksi sosial dan norma sosial.

Kelembagaan informal dan formal terdapat pada berbagai sektor, dari sektor keuangan sampai pertanian, baik yang berada di desa dan kota. Lembaga keuangan di desa terdiri dari lembaga keuangan informal dan formal. Menurut Yustika (2008) terdapat 3 jenis lembaga keuangan pedesaan yaitu lembaga keuangan formal yang diatur oleh undang-undang, semi formal yang tidak diatur oleh undang-undang namun disuvervisi oleh agen pemerintah dan informal yang beroprasi diluar supervisi pemerintah. Lembaga keuangan informal, semiformal, dan informal bukan hanya terdapat di desa saja, namun terdapat juga di daerah perkotaan. Lembaga keuangan formal dapat berupa bank umum dan bank swasta. Lembaga keuangan semi formal berupa lembaga perkreditan desa yang ada di bali salah satunya. Lembaga perkreditan desa merupakan lembaga keuangan yang menyediakan jasa keuangan simpan dan pinjam yang dikelola oleh desa adat. Lembaga perkreditan desa yang berada di bali ini dapat juga dikategorikan sebagai lembaga keuangan


(7)

7 mikro. Lembaga keuangan mikro seperti LPD memberikan peran besar dalam meningkatkan ekonomi di pedesaan.

Perkembangan lembaga perkreditan desa di provinsi bali selama beberapa tahun terkahir berkembang sangat cepat. Perkembangan LPD jauh lebih cepat dari BPR terlihat dari jumlah aset LPD pada juni 2007 sebesar 2.196 miliar rupiah, sedangkan jumlah aset yang dimiliki oleh BPR pada juni 2007 sebesar 1.599 miliar, aset yang dimiliki BPR lebih kecil dibandingkan aset LPD. Selain itu, jumlah kredit yang disalurkan LPD pada juni 2007 sebesar 1.638 miliar rupiah lebih besar dibandingkan kredit yang disalurkan oleh BPR yang hanya sebesar 1.201 miliar rupiah dan tingkat pertumbuhan kredit yang disalurkan LPD juni 2006 sebesar 16.07 persen lebih tinggi dibanding tingat pertumbuhan kredit yang disalurkan BPR yang sebesar 15.79 persen. Dana pihak ketiga LPD pada juni 2007 sebesar 1.686 miliar rupiah tetap lebih besar dibanding dana pihak ketiga BPR yang sebesar 1.032 miliar rupiah. Ini semua menunjukan bahwa perkembangan LPD selama juni 2006 sampai juni 2007 sangat pesat dibandingkan perkembangan BPR.

Tabel.1.1 Perkembangan Aset, Kredit, DPK LPD dan BPR di Provinsi Bali Juni 2010 – Juni 2011

Keterangan

Periode (%) Pertumbuhan Jun-10 Sep-10 Des-10 Mar-11 Jun-11 Des – 10 Jun-11

Aset BPR 1.351 1.411 1.479 1.517 1.599 8.12 18.36 Aset LPD 1.847 1.923 2.011 2.126 2.196 9.19 18.92 Kredit BPR 1.037 1.065 1.091 1.13 1.201 10.03 15.79 Kredit LPD 1.411 1.469 1.496 1.557 1.638 9.49 16.07

DPK BPR 857 903 949 994 1.032 8.72 20.39

DPK LPD 1.424 1.471 1.529 1.643 1,686 10.31 18.38 Sumber : www. Bank Indonesia.go.id.


(8)

8 Perkembangan lembaga perkreditan desa di Provinsi Bali juga diikuti oleh masalah yang dialami lembaga keuangan lainya berupa adanya kredit macet. Kredit macet terjadi karena berbagai faktor. Dalam penyaluran kredit di lembaga perkreditan desa terdapat hubungan principal dan agent, pihak LPD selaku principal dan debitur selaku agent. Debitur atau agent diberikan kepercayaan untuk mengelola dana dari LPD dan dikenakan bunga untuk setiap kredit yang diajukan oleh debitur. Dalam model pricipal-agent dipercaya bahwa model principal-agent terjadi karena adanya informasi tidak sempurna antara pricipal dan agent. Sehingga pada banyak kasus kredit macet di berbagai lembaga keuangan disebabkan oleh adanya informasi asimetris. Sejalan dengan itu, terjadi kasus kredit macet di LPD Desa Pakraman Jungut, terjadi 2 kasus kredit macet dengan debitur yang bernama I Wayan Sukarta dan I Dewa Nyoman Gurnita. Salah satu debitur yaitu I Wayan Sukarta diberikan sanksi adat karena tidak mau dan tidak berusaha untuk mengembalikan kredit, namun I Dewa Nyoman Gurnita yang juga kreditnya macet tidak diberikan sanksi adat karena sudah mau mengembalikan kreditnya dengan membagi hasil produksi dari tanah sawah kepada desa pakraman jungut untuk digunakan sebagai pembayaran kreditnya sesuai keputusan paruman ( rapat desa), dalam kasus kredit macet di LPD Desa Adat jungut terjadi masalah principal-agent antara pihak LPD dan debitur.

1.2. Rumusan Masalah

Penyaluran kredit di LPD Desa Pekraman Jungut terdapat masalah principal-agent antara debitur sebagai agent dan pihak LPD sebagai pricipal sehingga menyebabkan terjadinya kredit macet. Adanya kredit macet menyebabkan diberikan sanksi adat terhadap debitur yang sama sekali tidak mau berusaha mengembalikan kredit dan tidak memiliki iditikad baik untuk mengembalikan kredit.


(9)

9 1.3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian diatas maka pertanyaan penelitian ini adalah : 1) Apa penyebab kredit macet di LPD Desa Pekraman Jungut ?

2) Bagaimana dampak sanksi adat terhadap krditur yang kreditnya macet?

3) Apakah ada perbedaan kredit sebelum dan sesudah adanya sanksi adat di LPD Desa Adat Jungut ?

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah :

1. Mengindetifikasi penyebab kredit macet di LPD Desa Pekraman Jungut. 2. Mengidentifikasi dampak sanksi adat terhadap krditur yang kreditnya macet. 3. Mengidentifikasi perbedaan kredit sebelum dan sesudah adanya sanksi adat


(10)

10 BAB II

LANDASAN TEORI

Gap Teori dan Empiris

Selama ini terdapat adanya gap teori karena belum banyak yang menerapkan ekonomi kelembagaan di lembaga perkreditan desa dibali. Selain itu, belum banyak yang mengkaji mengenai sanksi adat terhadap kredit macet pada lembaga perkreditan desa di bali menggunakan teori principal-agent. Sehingga penelitian ini berusaha mengkaji pemberian sanksi adat terhadap debitur yang kreditnya macet menggunakan teori principal-agent.

2.1. Pengertian LPD

Berdasarkan Peraturan Daerah Tingkat I Provinsi Bali No.2 Tahun 1998 Bab 3 Pasal 3 dikemukakan pengertian tentang Lembaga Perkreditan Desa (LPD) adalah suatu nama bagi badan usaha simpan pinjam yang dimiliki Desa Adat yang berada di Provinsi Daerah Tingkat I Bali dan merupakan wadah perekonomian rakyat pedesaan. Menurut Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, LPD terbentuk karena adanya prinsip otonomi daerah dimana Provinsi, Kabupaten, dan Kota berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan Negara dan berada di daerah kabupaten/ kota.

Penggunaan atau pemanfaatan LPD ditujukan kepada unit-unit usaha baik yang menyangkut kepentingan desa maupun peningkatan taraf hidup warga desa


(11)

11 yang bersangkutan. Jadi LPD merupakan suatu bidang usaha simpan pinjam yang dimiliki oleh Desa Adat dalam rangka peningkatan taraf hidup krama/warga desa untuk menunjang pembangunan desa khususnya dan pembangunan nasional pada umumnya. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh LPD sebagai berikut: 1) Menerima/ menghimpun dana krama desa dalam bentuk tabungan dan deposito 2) Memberikan pinjaman hanya kepada krama desa

3) Menerima pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan maksimum sebesar 100% dari jumlah modal, termasuk cadangan dan laba ditahan kearah batasan lain dalam jumlah pinjaman atau dukungan/bantuan dana

4) Menyimpan kelebihan likuiditasnya pada BPD dengan imbalan bunga bersaing dan pelayanan yang memadai.

2.2. Fungsi dan Tujuan LPD

Adapun fungsi Lembaga Perkreditan Desa menurut Peraturan Daerah Tingkat 1 Propinsi Bali No.2 tahun 1988 yaitu:

1) Lembaga Perkreditan Desa (LPD) sebagai wadah kekayaan desa yang berupa uang atau surat-surat berharga lainnya.

2) Pendayagunaan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) diarahkan kepada usaha peningkatan taraf hidup krama desa untuk menunjang pembangunan desa. Dengan demikian berbagai usaha yang dilakukan LPD memiliki tujuan, sebagai berikut:

1) Mendorong pembangunan ekonomi masyarakat desa melalui kegiatan menghimpun tabungan dan deposito dari krama desa.

2) Memberantas ijon, gadai gelap, dan lain-lain yang dapat dipersamakan dengan itu.


(12)

12 3) Menciptakan pemerataan kesempatan berusaha sekaligus perluasan kesempatan

kerja bagi krama desa.

4) Meningkatkan daya beli dan melancarkan lalu lintas pembayaran dan peredaran uang di desa.

2.3. Struktur Organisasi LPD di Provinsi Bali

Organisasi merupakan wadah untuk menampung seluruh aktivitas yang dilakukan oleh sekelompok orang di dalam mencapai tujuan, sehingga koordinasi kerja dapat dilaksanakan dengan baik. Struktur organisasi sebuah organisasi atau lembaga memberikan gambaran secara sistematis mengenai pemberian tugas dan tanggung jawab serta hubungan yang terdapat dalam suatu organisasi atau lembaga bersangkutan. Struktur organisasi disusun agar dapat menggambarkan kerangka hubungan antara satuan-satuan organisasi di dalam satu organisasi/lembaga dalam rangka mempertegas tugas dan wewenang masing-masing bagian. LPD di wilayah kota Denpasar sebagai suatu lembaga keuangan yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala daerah Tingkat I Bali No. 972 Tahun 1984 secara umum memiliki struktur organiasasi sebagai berikut pada gambar 2.1 berikut

Gambar 11.1 Struktur Organisasi Lembaga Perkreditan Desa di Kota Denpasar

Gubernur

Badan Pembina LPD Propinsi

Desa Adat Kantor

Pusat BPD

Camat Badan Pembina LPD

Bupati/ Walikota Kantor

Cabang BPD

Kantor PLPDK


(13)

13 Keterangan gambar :

: Garis Wewenang dan Tanggung jawab

: Garis Pengawas

Sumber: Pembina Lembaga Perkreditan Desa Kabupaten (PLPDK) Klungkung, 2009

Penjelasan bagan diatas adalah sebagai berikut.

1) Badan Pembina LPD (propinsi, kabupaten, kecamatan)

Gubernur, bupati/walikota, dan camat sebagai ketua badan pembina LPD tingkat propinsi, kabupaten, dan kecamatan secara umum mempunyai tugas sebagai pembina LPD dalam melakukan operasinya. Tiap-tiap LPD mengirim laporan tahunannya untuk selanjutnya mendapatkan pengesahan dari tim pembina tersebut.

2) Bank Pembangunan Daerah Bali

BPD Bali bertindak sebagai pengawas LPD di mana tanggung jawab tersebut telah dilakukan sesuai dengan standar pengawasan bagi lembaga keuangan mikro. BPD Bali telah melakukan berbagai upaya pengawasan yang dilakukan oleh unit tersendiri di kantor pusat. (dalam hal ini Bagian Lembaga Perkreditan

Kepala LPD

Kasir Tata Usaha

Badan Pengawas

Bagian Umum

Tabungan dan Deposito


(14)

14 Desa di bawah Biro Pembinaan Cabang) dan dibantu oleh staf khusus dimasing-masing cabang BPD Bali. Pengawasan oleh BPD Bali dilakukan melalui:

(a) Off-site, yakni memonitor dan menganalisa laporan bulanan dan caturwulan seluruh LPD untuk mengetahui tingkat kesehatan LPD dan mendeteksi permasalahan yang terjadi.

(b) On-site, yaitu mengunjungi/menginspeksi secara langsung ke lokasi LPD bersangkutan sesuai jadwal, untuk verifikasi kebenaran informasi yang diberikan oleh LPD tersebut.

3) PLPDK (Pembina Lembaga Perkreditan Desa Kabupaten/Kota)

PLPDK merupakan pembina teknis LPD dipelaksanaan operasionalnya. Masing-masing LPD harus membuat laporan bulanan, dan selanjutnya diserahkan kepada PLPDK untuk diperiksa. PLPDK juga melakukan evaluasi terhadap LPD untuk setiap tahunnya, serta menilai secara langsung kesehatan masing-masing LPD.

4) Desa Pekraman

Desa pekraman adalah pemilik LPD. Operasional LPD dapat diketahui sekaligus diawasi oleh paruman desa pekraman. Mengingat LPD merupakan lembaga milik desa pekraman yang bertujuan untuk menjaga ketahanan ekonomi desa pekraman, maka perlu dibuat aturan untuk itu. Setiap tahun, pengelola LPD wajib melaporkan rencana kerja dan rencana anggaran pendapatan dan belanja LPD untuk tahun berikutnya kepada krama desa pekraman untuk mendapat persetujuan. Pengurus LPD bertanggungjawab kepada desa pekraman, melalui kelian desa pekraman.

5) Badan Pengawas

Badan Pengawas LPD diangkat dan diberhentikan oleh krama desa pekraman melalui paruman desa pekraman dan ditetapkan oleh kepala daerah (bupati/walikota). Badan pengawas LPD terdiri dari seorang ketua yang langsung dirangkap bendesa pekraman serta beberapa anggota (minimal 2


(15)

15 orang). Badan pengawas bertanggungjawab langsung kepada kepala LPD. badan pengawas LPD memiliki tugas sebagai berikut:

(a) Mengawasi pengelolaan LPD.

(b) Memberikan petunjuk kepada pengurus.

(c) Memberikan saran, pertimbangan, dan ikut menyelesaikan permasalahan. (d) Mensosialisasikan keberadaan LPD.

(e) Mengevaluasi kinerja pengurus secara berkala.

(f) Menyusun dan menyampaika n laporan hasil pengawasan pada paruman desa.

6) Kepala LPD

Kepala LPD sebagai pucuk pimpinan dalam mengelola LPD dan bertanggungjawab kepada desa pekraman. Kepala LPD memiliki tugas sebagai berikut:

(a) Mendistribusikan pekerjaan kepada bawahan/karyawan. (b) Mengawasi operasional LPD.

(c) Mempertanggungjawabkan operasional LPD kepada desa pekraman dalam paruman.

(d) Menandatangani setiap pembukuan dan transaksi yang dibuat oleh tata usaha dan kasir sesuai dengan peraturan yang berlaku.

(e) Memberikan jawaban pada setiap permohonan pinjaman, dan selanjutnya mengajukan kepada kelian banjar untuk dimintai persetujuan.

(f) Melaksanakan stock opname bersama bawahan minimal sebulan 5 kali. (g) Membuat rencana kerja dan program-program pelaksanaan termasuk

Rencana Anggaran Pendapatan Belanja (RAPB)

(h) Melaksanakan kebijaksanaan yang telah dihasilkan oleh paruman desa atau hasil keputusan rapat masyarakat pedesaan.


(16)

16 Tata usaha adalah karyawan yang bertanggungjawab langsung kepada kepala LPD serta membawahi bagian administrasi umum dan pembukuan. Tata usaha bertanggungjawab kepada Kepala LPD. Tata usaha memilki tugas antara lain: (a) Menerima bukti-bukti dari petugas keliling maupun transaksi di kantor LPD

pada hari itu, menyetornya menurut jenis transaksi dan menjumlahkan angka-angka yang ada pada setiap bukti berdasarkan jenis transaksinya. (b) Mencatat transaksi ke dalam primanota kredit, primanota tabungan, dan

surat simpanan berjangka berdasarkan lembar-lembar lain yang diterimanya dari petugas keliling maupun bukti transaksi di kantor LPD pada hari itu. (c) Mencatat nota debet/kredit yang diterima dari bank atau pengeluaran cek

atau bilyet giro pada buku bank, membuat slip jurnal atau transaksi nonkas yang tidak berhubungan dengan nasabah.

(d) Pada akhir bulan memindahkan saldo neraca percobaan akhir bulan yang bersangkutan ke neraca percobaan awal bulan berikutnya.

8) Kasir

Bagian kasir bertanggungjawab kepada kepala LPD. Tugas bagian kasir yaitu: (a) Menerima uang baik dari nasabah, tabungan, bunga pinjaman dan simpanan

berjangka maupun dari pihak lain.

(b) Mengeluarkan uang untuk pemberian pinjaman, pencairan tabungan dan simpanan berjangka, pelunasan pinjaman yang diberikan, pembayaran biaya (misalnya bunga simpanan berjangka dan biaya sehari-hari).

(c) Memberikan jasa perbankan lain dari nasabah, misalnya pembayaran nasabah secara tunai atau pemindah bukuan.

9) Administrasi Umum

Bagian administrasi umum bertanggungjawab kepada kepala LPD. Tugas dari bagian administrasi umum yaitu:

(a) Mengawasi, mengkoordinir kelancaran tugas bagian administrasi. (b) Melaksanakan surat-menyurat.


(17)

17 (c) Menyiapkan dokumen-dokumen penting dari hasil transaksi termasuk

dokumen pegawai. 10) Pembukuan

Bagian pembukuan bertanggungjawab kepada kepala LPD. Tugas dari bagian pembukuan yaitu:

(a) Melaksanakan pencatatan dan pengesahan transaksi. (b) Melaksanakan penyetoran dan penarikan kas ke BPD.

(c) Mengecap transaksi, menjurnal dan memposting dalam neraca percobaan setiap hari.

(d) Merakapitulasi bunga deposito yang belum terbayarkan setiap akhir bulan. (e) Membuat laporan laba rugi dan neraca serta laporan kegiatan lainnya setiap

akhir bulan.

11) Kepala bagian tabungan/ deposito

Kepala bagian tabungan/deposito bertanggungjawab kepada kasir. Tugas dari kepala bagian tabungan/deposito yaitu:

(a) Menulis buku tabungan dengan identitas penabung.

(b) Meminta pada penabung untuk menandatangani buku dan kartu tabungan. (c) Meregister deposito (simpanan berjangka).

12) Kepala bagian kredit

Bagian kredit merupakan bagian yang berhubungan langsung dengan kredit nasabah maupun calon nasabah. Kepala bagian kredit bertanggungjawab kepada kasir. Tugas dari kepala bagian kredit adalah:

(a) Meregister permohonan kredit dan membantu nasabah dalam mengisi formulir permohonan kredit.

(b) Menganalisa kelayakan dari fasilitas kredit yang diberikan. (c) Melaksanakan cek fisik terhadap jaminan.

(d) Membuat perjanjian kredit beserta ikatan jaminan tersebut termasuk ikatan notaris.


(18)

18 (f) Melakukan upaya hukum terhadap kredit yang bermasalah.

13) Petugas lapangan tabungan/deposito

Petugas lapangan tabungan/deposito bertanggungjawab kepada kepala bagian tabungan/deposito. Tugas dari petugas lapangan tabungan/deposito adalah: (a) Menulis jumlah uang yang ditabung di buku tabungan atau deposito.

(b) Memeriksa jumlah yang ditabung di dalam buku tabungan dan memparaf serta cap tabungan.

(c) Mencatat jumlah yang ditabung ke dalam buku penerimaan tabungan dan merekapitulasi tabungan.

(d) Mencari nasabah/calon nasabah dengan cara jemput bola.

(e) Mencocokkan dan menjumlahkan semua uang yang sudah dicatat dalam buku penerbitan dana dan merekapitulasi tabungan secara kolektif dan selanjutnya menyerahkan kepada kasir.

14) Petugas lapangan kredit

Petugas lapangan kredit bertanggungjawab kepada kepala bagian kredit. Tugas dari petugas lapangan kredit adalah:

(a) Setiap bulan menagih angsuran kepada debitur.

(b) Mencatat tagihan dari debitur ke dalam kartu angsuran. (c) Mencatat pembebanan bunga atas pinjaman debitur.

2.4. Kredit

Pengertian kredit menurut Undang-Undang RI No.10 th 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan menyatakan bahwa Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Definisi kredit menurut Rollin G. Thomas yang dikutip oleh M.Rachmat Firdaus (1995) adalah kredit didasarkan pada


(19)

19 kepercayaan atas kemampuan si peminjam untuk membayar sejumlah uang pada masa yang akan datang.

Dari definisi tersebut tampaklah ada beberapa unsur dalam pemberian kredit, yaitu:

1) Adanya orang atau badan yang memiliki uang,barang atau jasa yang bersedia untuk meminjamkannya kepada pihak lain yang disebut kreditur. 2) Adanya pihak yang membutuhkan atau meminjam uang barang atau jasa

yang disebut debitur.

3) Adanya kepercayaan dari kreditur terhadap debitur yaitu keyakinan pemberi kredit yang diberikan (berupa uang, barang, jasa) akan benar-benar diterima kembali pada masa tertentu atau dimasa yang akan datang.

4) Adanya janji atau kesanggupan membayar dari debitur kepada kreditur. 5) Adanya perbedaan waktu yaitu perbedaan antara saat penyerahan uang,

barang atau jasa oleh kreditur dengan saat pembayaran kembali dari debitur. 6) Adanya resiko yaitu sebagai akibat dari adanya unsur perbedaan waktu

diatas, dimana masa yang akan datang merupakan sesuatu yang belum pasti, maka kredit itu pada dasarnya mengandung unsur resiko. Resiko tersebut bisa berasal dari bermacam-macam sumber baik resiko yang disengaja oleh nasabah yang lalai, maupun resiko yang tidak disengaja misalnya terjadi bencana alam atau bangkrutnya usaha nasabah tanpa ada unsur kesengajaan. Tjukria P. Tawaf (1999) menguraikan kolekbilitas kredit merupakan keadaan pembayaran pokok atau angsuran pokok dan bunga oleh nasabah serta tingkat kemungkinan diterimanya kembali dana yang ditanamkan. Selain itu dijelaskan ketentuan kolektibilitas kredit adalah sebagai berikut:


(20)

20 1) Kolekbilitas lancar (pass) apabila memenuhi kriteria:

(a) Pembayaran angsuran pokok dan atau bunga tepat waktu;atau (b) Memiliki mutasi rekening yang aktif;atau

(c) Bagian dari kredit yang dijamin dengan agunan tunai (cash collateral). 2) Dalam perhatian khusus (special mention) apabila memenuhi kriteria:

(a) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga yang belum melampaui 90 hari;atau

(b) Kadang-kadang terjadi cerukan; (c) Mutasi rekening relatif aktif;atau

(d) Jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan;atau (e) Didukung oleh pinjaman baru

3) Kurang lancar (substandard) apabila memenuhi kriteria:

(a) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 90 hari;atau

(b) Sering terjadi cerukan;atau

(c) Frekuensi mutasi rekening relatif rendah;atau

(d) Terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjian lebih dari 90 hari;atau

(e) Terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi oleh debitur;atau (f) Dokumentasi pinjaman yang lemah.

4) Diragukan (doubtful) apabila memenuhi kriteria:

(a) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 180hari;atau

(b) Terjadi cerukan yang bersifat permanen;atau (c) Terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari;atau (d) Terjadi kapitalisasi bunga;atau

(e) Dokumentasi hukum yang lemah baik untuk perjanjian kredit maupun pengikatan jaminan.


(21)

21 (a) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga yang telah melampaui

270 hari;atau

(b) Kerugian operasional dengan pinjaman baru;atau

(c) Dari segi hukum maupun kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar.

2.5. Ilmu Ekonomi Kelembagaan Baru

Ilmu ekonomi memiliki banyak cabang ilmu, diantaranya ilmu ekonomi kelembagaan. Ilmu ekonomi kelembagaan secara umum dibagi menjadi yaitu ilmu ekonomi kelembagaan lama (old institutional economics) dan ilmu ekonomi kelembagaan baru (new institutional economics). Menurut Yustika (2008) menyatakan Ilmu ekonomi kelembagaan lama (old institutional economics) berargumentasi bahwa kelembagaan merupakan faktor kunci dalam menjelaskan dan mempengaruhi perilaku ekonomi namun dengan sedikit pendekatan teoritis yang mumpuni, sedangka ekonomi kelembagaan baru (new institutional economics) mencoba memperkenalkan pentingnya peran kelembagaan, namun tetap berargumentasi bahwa pendekatan ini bisa disandingkan dengan kreangka neoklasik tetapi dibawah ekonomi kelembagaan baru beberapa asumsi tidak dipakai seperti nilai transaksi yang nol, rasionalitas yang lengkap serta informasi yang sempurna.

Ekonomi kelembagaan baru memiliki banyak cabang. Banyaknya cabang ekonomi kelembagaan disebabkan karena ekonomi kelembagaan baru merupakan ilmu yang secara definitif merupakan sebuah studi multidisiplin. Cabang pertama dari ekonomi kelembagaan baru adalah sejarah ekonomi baru, dan selanjutnya terdapat aliran pilihan publik, ekonomi sosial baru, teori tindakan kolektif, ekonomi dan hukum serta ekonomi biaya transaksi yang terdiri dari teori modal sosial, teori hak kepemilikan dan ekonomi informasi (Yustika, 2008)


(22)

22 2.6. Teori Principal-Agent

Kontrak merupakan aturan penting dalam mengatur berbagai kegiatan khusunya kegiatan ekonomi, sehingga dalam kegiatan ekonomi tidak terdapat pihak yang dirugikan dan diuntungkan. Menurut Yustika (2008), kontrak secara umum menggambarkan kesepakatan satu pelaku untuk melakukan tindakan yang memiliki nilai ekonomi kepada pihak lain, tentunya dengan konsekwensi adanya tindakan balasan atau pembayaran. Dengan adanya kontrak yang jelas maka tidak ada pihak yang merasa dirugikan atau diuntungkan. Dalam teori kontrak terdapat beberapa permasalaha. Furubotn dan Richter (2001) terdapat beberapa 6 model teori kontrak dan permasalahanya, diantaranya sebagai berikut :

1. The expense-preference model of the managerial theory. Dalam teori ini pemilik perusahaan memiliki informasi yang terbatas mengenai operasi dan tidak dapat mengawasi kegiatan dari manajer. Disini terjadi masalah bahwa keuntungan dan output maksimum tidak akan terjadi karena adanya opportunistic behaviour setelah kontrak disetujui antara pemilik perusahaan dengan manajer.

2. The principal-agent model of the moral hazard. Dalam teori ini diasumsikan bahwa principal tidak memliki informasi yang lengkap mengenai agent dan tidak dapat mengawasi kegiatan agent. Principal mencoba untuk secara aktif mendekati utilitas maksimum nya yang pertama. Dimana dalam model ini agent berusaha untuk mendapatkan keuntungan untuk dirinya dengan melakukan kegiatan beresiko.

3. The principal-agent model of the adverese selcetion. Dalam teori ini masih memiliki asumsi yang sama atas principal yang tidak memliki informasi yang sempurna mengenai agent sebelum kontrak disetujui, dimana agent tidak menggambarkan keadaan yang tidak sesunguhnya mengenai dirinya. 4. The theory of implicit contract deal. Dimana teori ini juga membahas


(23)

23 disekuilibrium, menyediakan penjelasan ekonomi mengenai kekakuan upah dan perbedaan antara upah pekerja dan penerimaan marginal.

5. The incomplete contract model. Teori ini menjelaskan menganai dormula pendekatan biaya transaksi williamson. Dimana terdapat 2 asumsi, yaitu adanya informasi tidak sempurna antara pembuat keputusan dan ketidakpastian masa depan.

6. Selft-enforcing agreements merupakan teori yang menjelaskan kontrak tidak dapat diselengarakan pengadilan. Dalam situasi ini hanya suatu kegiatan hanya dapat dilaksanakan dengan perjanjian yang berarti mengancam untuk menghentikan perjanjian. Disini informasi dianggap sempurna dan keseimbangan akan mencapai steady state , dimana penjual selalu memenuhi janjinya sepanjang waktu dan pembeli dapat memenuhi harapanya.

Dari 6 model masalah kontrak mana diturunkanlah teori mengenai pricipal-agent. Teori pricipal-agent lebih dikenal sebagai teori yang memisahkan antara peran pemilik lembaga yang sering disebut principal yang menyerahkan pengelolaan lembaga terhadap tenaga-tenaga profesional atau orang yang berada dibawah principal yang disebut agent yang lebih mengerti menjalankan nonoprasional lembaga sehari hari. Teori principal-agent menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit, dengan pihak lain (agent) dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang dinginkan oleh prinsipal (dalam hal ini terjadi pendelegasian wewenang) (Halim dan Abdulah, 2010). Menurut Furubotn dan Richter (2001) menyatakan pricipal dapat berupa pemilik dari perusahaan dan agent adalah manajer dari perusahaan tersebut dan juga principal mungkin seperti yang memberikan pekerjaan dan agent yang pekerjannya. Hal yang serupa dinyatakan oleh Berle dan Means (1932, dalam Arifin, 2004) bahwa terpisahnya kepemilikan


(24)

24 (ownership) dan manajemen (control) akan memunculkan masalah karena kepentingan pemilik dan manajer tidak selalu sejalan, permasalahan yang muncul karena seorang agent (orang yang menerima tugas atau wewenang) tidak selalu bertindak sesuai dengan keinginan prinsipal (orang yang memberikan tugas atau wewenang) dikenal dengan nama masalah principal-agent.

Masalah principle-agent disebabkan oleh informasi tidak sempurna diantara principal dan agent, sehingga salah satu pihak memiliki informasi yang lebih sempurna dari yang lain. Informasi asimetrik adalah kondisi yang menunjukkan sebagian investor mempunyai informasi dan yang lainnya tidak memilikinya (Jogianto dalam Muhamad, 2010). Menurut Furubotn dan Richter (2001), informasi tidak sempurna merupakan asumsi dasar dari pendekatan principal-agent dimana, agent menikmati kelebihan informasi dari principal. Mishkin dalam Qurrata (2010) mengungkapkan informasi tidak sempurna terjadi karena salah satu pihak lebih mengetahui kelengkapan informasi dibandingkan pihak lain, sehingga pihak yang tidak menegtahui informasi tersebut kesulitan untuk menentukan keputusan yang tepat dibandingkan pihak yang memiliki informasi lebih lengkap.

Jika teori principal-agent diaplikasi pada pembiayaan pihak debitur sebagai agent, pasti agent/debitur memiliki informasi yang lebih sempruna dibanding pihak principal yaitu pihak LPD. Apabila dalam kontrak awal informasi yang disampaikan pada dewan pengawas dan LPD tidak sempurna, maka tidak dapat dipungkiri lagi principal-agent problem di antara pihak LPD dan debitur akan terjadi.

Informasi Tidak Sempurna

Principal-agent model memiliki masalah utama berupa informasi tidak sempurna atau asymetric information, kelebihan informasi yang dimiliki oleh salah satau pihak akan merugikan pihak lainya. Informasi yang tidak sempurna akan membuahkan kondisi yang disebut dengan moral hazard dan adverse selection.


(25)

25 Petrie (2002, dalam Halim dan Abdulah,2010) mendefinisikan moral hazard dan adverse selection sebagai berikut:

Moral hazard refers to the tendency of an agent, after the contract is entered

into, to shirk or otherwise not fully seek to promote the principal’s interests.

Adverse selection refers to the inability of a principal to determine, before the contract is entered into, which among several possible agents is most likely to

promote the principal’s interests; and, given this imperfect information, the

tendency for candidates with less than average motivation or qualifications to apply.

Adverse Selection

Adverse selection adalah masalah yang terjadi karena informasi tidak sempurna. Menurut Furubotn dan Richter (2001) dalam principal-agent dengan model adverse selection, terjadi masalah dimana principal tidak mengetahui kualitas dari agent sebelum kontrak disetujui. Principal tidak dapat mengobservasi fungsi biaya dari tiap agent dan juga principal tidak tidak mengetahui agen masuk pada tipe yang mana, namun disisi lain agent mengetahui fungsi biaya dari dirinya sendiri sebelum kontrak disetujui. Selanjutnya Gilardi (2001, dalam Halim dan Abdulah, 2010:3) menyatakan, bahwa:

Adverse selection (or ex-ante opportunism, or hidden information) occurs whenever the principal cannot be sure that he is selecting the agent that has the most appropriate skills or preferences and moral hazard (or ex-post opportunism,

or hidden action) occurs whenever the agent’s actions cannot be perfectly

monitored by the principal.

 Didalam model Adverse Selection terdapat ungkapan yang disebut mengenai lemon principal oleh Akerlof ( 1970, dalam Furubotn dan Richer, 2001). Contoh dari principal lemon adalah pasar mobil bekas, dimana yang baik disebut peaches dan yang buruk lemons. Penjual sebagai agent lebih mengetahui mengenai informasi mobil, dimana pembeli sebagai principal tidak bisa membedakan mobil yang baik atau yang buruk karena mobil baik dan buruk dijual pada


(26)

26 harga yang sama. Selain itu, kebanyakan mobil yang di jual adalah mobil dengan keadaan yang buruk dan mobil dengan keadaan baik tidak akan dijual secara keseluruhan. Jika diaplikasikan dalam pemberian kredit di LPD, maka pihak LPD yang memberikan kredit pada debitur tidak mengetahui informasi secara sempurna mengenai debitur. Debitur umumnya akan memperlihatkan kondisi yang dapat membuat pihak LPD mempercayakan kreditnya kepada pihak debitur.

MoralHazard

Miller dalam principal agent theory notes (2005, dalam Qurrata, 2010) mengemukakan bahwa agent melakukan tindakan yang sangat beresiko karena ingin meningkatkan profitabilitas, namun principal tidak dapat meninjau perilaku agent tersebut. Dalam hal ini terdapat dua perilaku yang dapat dikatakan sebagai perilaku yang menyimpang dan menjadi moral hazard. Perilaku pertama agent akan menggunakan yang seharusnya untuk modal usaha, dana tersebut untuk kepentingan pribadinya seperti untuk berjudi, daripada untuk usaha.

Perilaku kedua Agent ingin meningkatkan profitabilitas sehingga ia memilih usaha yang resikonya lebih besar dari yang seharusnya atau pihak agent berusaha untuk memaksimumkan profit usahanya dengan memperbesar pengeluaran. Karena modal seluruhnya berasal dari lender maka ia akan memaksimumkan kapasitas usahanya untuk mendapatkan pendapatan yang lebih besar. Sehingga apabila usahanya gagal, maka ia tidak akan dapat mengembalikan dana yang telah ia pinjam. Kedua perilaku tersebut menyimpang dari perjanjian transaksi sehingga dikatakan sebagai perilaku moral hazard.


(27)

27 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Kabupaten Klungkung, tepatnya di LPD Desa Pakraman Jungut. LPD Desa Pakraman Jungut di pakai sebagai objek penelitian karena pada LPD ini terjadi kasus sanksi adat yang dikenankan pada debitur yang tidak mau melunasi kreditnya.

3.2 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini diarahkan menggunakan pendekatan analisis kualitatif dan kuantitatif untuk menangkap masalah yang ada dilapangan. Peneliti kualitatif merupakan penelitian yang berusaha menjangkau berbagai aspek dari dunia sosial termasuk atmosfer yang membentuk suatu objek amatan yang sulit ditangkap melalui pengukuran yang presisif atau diekspresikan dalam angka, dengan demikian, penelitian kualitatif lebih bersifat transendental, termasuk di dalamnya memiliki tujuan menghilangkan keyakinan palsu yang terbentuk pada sebuah objek kajian ( Somantri, 2005). Sedangkan analisis kuantitatif adalah metode analisis data yang dilakukan dengan cara mengklasifikasikan, membandingkan dan menghitung angka dengan rumus releva, dalam analisis kuantitatif pada penelitian ini menggunakan alat uji wilcoxon. Peneltian kualitatif memiliki beberapa macam jenis, antara lain biografi, fenomenologi, grounded theory, etnografi, studi kasus. Menurut Afriani ( 2009) menyatakan terdapat 5 jenis penelitian, yaitu:

1. Biografi

Penelitian biografi adalah studi tentang individu dan pengalamannya yang dituliskan kembali dengan mengumpulkan dokumen dan arsip-arsip. Tujuan penelitian ini adalah mengungkap turning point moment atau epipani yaitu


(28)

28 pengalaman menarik yang sangat mempengaruhi atau mengubah hidup seseorang. Peneliti menginterpretasi subjek seperti subjek tersebut memposisikan dirinya sendiri.

2. Fenomenologi

Penelitian fenomenologi mencoba menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji. Pendekatan fenomenologi menunda semua penilaian tentang sikap yang alami sampai ditemukan dasar tertentu. Penundaan ini biasa disebut epoche (jangka waktu). Konsep epoche adalah membedakan wilayah data (subjek) dengan interpretasi peneliti. Konsep epoche menjadi pusat dimana peneliti menyusun dan mengelompokkan dugaan awal tentang fenomena untuk mengerti tentang apa yang dikatakan oleh responden. 3. Grounded theory

Walaupun suatu studi pendekatan menekankan arti dari suatu pengalaman untuk sejumlah individu, tujuan pendekatan grounded theory adalah untuk menghasilkan atau menemukan suatu teori yang berhubungan dengan situasi tertentu . Situasi di mana individu saling berhubungan, bertindak, atau terlibat dalam suatu proses sebagai respon terhadap suatu peristiwa. Inti dari pendekatan grounded theory adalah pengembangan suatu teori yang berhubungan erat kepada konteks peristiwa dipelajari.

4. Etnografi

Etnografi adalah uraian dan penafsiran suatu budaya atau sistem kelompok sosial. peneliti menguji kelompok tersebut dan mempelajari pola perilaku, kebiasaan, dan cara hidup. Etnografi adalah sebuah proses dan hasil dari sebuah penelitian. Sebagai proses, etnografi melibatkan pengamatan yang cukup panjang terhadap suatu kelompok, dimana dalam pengamatan tersebut peneliti terlibat dalam keseharian hidup responden atau melalui


(29)

29 wawancara satu per satu dengan anggota kelompok tersebut. Peneliti mempelajari arti atau makna dari setiap perilaku, bahasa, dan interaksi dalam kelompok.

5. Studi kasus

Penelitian studi kasus adalah studi yang mengeksplorasi suatu masalah dengan batasan terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam, dan menyertakan berbagai sumber informasi. Penelitian ini dibatasi oleh waktu dan tempat, dan kasus yang dipelajari berupa program, peristiwa, aktivitas, atau individu.

Dari 5 jenis penelitian diatas maka penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi karena dapat membantu peneliti dalam melakukan pengamatan, imajinasi, berpikir secara abstrak, serta dapat merasakan atau menghayati fenomena di lapangan penelitian, dimana dalam konteks ini adalah gambaran mengenai fenomena ada atau tidaknya persoalan dalam Principal Agent Theory antara debitur dengan dewan pengawas dan LPD.

3.3. Unit Analisis

Penelitian ini menggunakan unit analisis yang berfokus pada persoalan penelitian sehingga tidak mengutamakan tempat. Dalam pengkajiannya, informan yang dibutuhkan adalah informan kunci. Informan kunci dalam penelitian ini Ketua pengawas LPD, Ketua LPD desa adat dan debitur LPD untuk mengetahui masalah yang menyebabkan terjadinya kasus kredit macet di LPD Desa Adat Jungut.

3.4 Teknik Pemilihan Informan

Penelitian ini mencoba menggunakan nonprobability sampling dengan metode purposive sampling. Non probability sampling adalah pengambilan/penarikan sampel dalam populasi berdasarkan pertimbangan pribadi (subyektif) atau tidak memberi peluang/kesempatan sama bagi setiap elemen atau


(30)

30 (www.metodepenelitian.lecture.ub.ac.id). Dalam penelitian ini metode purposive adalah taknik pengambilan sampel yang dilakukan dengan memilih satuan sampling atas dasar pertimbangan sekelompok pakar atau ahli di bidang ilmu yang sedang diteliti. Dalam penelitian ini sampling akan diberlakukan pada informan yang berperan sebagai ketua badan pengawas, ketua LPD dan 4 orang debitur LPD. 3.5. Jenis Data

a. Data Primer

Data primer merupakan data yang langsung didapatkan dari sumber informasi tersebut, yang didapat dari wawancara dan dokumentasi yang dilakukan sendiri oleh peneliti dan sumber ataupun informan. Data-data tersebut berupa data naratif, deskriptif, dalam kata-kata mereka yang diteliti, dokumen pribadi, dan catatan lapangan.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber lain selain informan. Data tersebut berupa data dokumenter (arsip-arsip yang dimiliki oleh LPD desa adat jungut).

3.6. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:

a. Wawancara

Wawancara dengan metode semi terstruktur diperlukan agar peneliti dapat leluasa melacak berbagai segi dan arah untuk mendapatkan informasi yang selengkapnya dan secara mendalam. Dengan demikian, upaya understanding of understanding dapat terpenuhi secara memadai. Wawancara ini dimulai dari isyu yang dicakup dalam pedoman wawancara. Pedoman wawancara bukanlah jadwal


(31)

31 seperti dalam penelitian kuantitatif. Sekuensi pertanyaan tidaklah sama pada tiap partisipan bergantung pada proses dan pedoman wawancara dapat agak panjang dan rinci walaupun hal itu tidak perlu diikuti secara ketat, pedoman wawancara berfokus pada subyek area tertentu yang diteliti, tetapi dapat direvisi setelah wawancara karena ide yang baru muncul belakangan (Rahcmawati, 2010).

b. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan bagian yang penting dalam kegiatan pengumpulan data. Sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban atas kekayaan sumber, dokumentasi dapat digunakan untuk pengujian, penafsiran, atau peramalan. Dalam hal ini, contoh dokumentasi penelitian berupa foto-foto lapangan.

3 7. Teknik Analisis Data

3 7.1 Analisis Non-parametrik

Untuk mengentahui perbedaan jumlah kredit sebelum dan sesudah adanya sanksi adat, maka digunakan uji wilcoxon. Selain itu alasan lain kenapa menggunakan uji wilcoxon karena sampel yang ada kurang dari 30, sehingga uji paling layak digunakan. Dalam melakukan pengujian dengan uji wilcoxon digunakan juga software SPSS 16.00. Uji wilcoxon memiliki rumus sebagai berikut :

dimana ;


(32)

32 Keterangan :

T = Jumlah jenjang = Mean Populasi n = Sampel

= Standar deviasi

Hipotesis Statistik: 0

H : i= 0 artinya tidak ada perbedaan jumlah kredit sebelum dan sesudah sanksi adat.

Hi: I 0 artinya ada perbedaan jumlah kredit sebelum dan sesudah sanksi adat.

Kriteria Pengujian : 0

H ditolak dan H1diterima apabila Zhitung > Ztabel

0

H diterima dan H1ditolak apabila Zhitung  Ztabel

3 7.2. Analisis Kualitatif

Pada penelitian kualitatif, data-data yang telah didapat kemudian diklarifikasikan ke dalam tabel-tabel. Untuk kemudian dianalisis dengan proses penalaran secara ilmiah, penuturan, penafsiran, perbandingan dan kemudian penggambaran fenomena-fenomena yang terjadi secara apa adanya, guna dapat mengambil kesimpulan dan memberikan saran-saran dengan cara menguraikan dalam kata-kata. Analisis data dalam penelitian kualitatif ini mempunyai beberapa proses, yaitu :

1. Reduksi Data (Data Reduction)

Proses pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang tercatat dilapangan. Dengan melakukan reduksi data diharapkan


(33)

33 menghasilkan data yang sesuai, terklasifikasi dengan jelas, tepat guna dan terorganisir. Reduksi data ini berlangsung selama penelitian dilaksanakan. 2. Penyajian Data (Data Display)

Data yang telah terkumpul dan terklasifikasikan selanjutnya disajikan dalam tabel maupun kalimat. Kumpulan data tersebut selanjutnya dapat menjadi informasi yang tersusun dengan baik, sehingga memungkinkan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

3. Penarikan kesimpulan (Verification)

Data yang diperoleh dilapangan, dianalisis dengan beberapa cara untuk mencapai validitas dan akuratisasi.


(34)

34 BAB IV

ANALISA DAN PEMBAHASAN

4.1Gambaran Umum LPD Desa Pekraman Jungut

Desa Pekraman Jungut adalah salah satu Desa Pekraman yang ada di Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung. Jumlah Kepala Keluarga di Desa Pekraman Jungut berjumlah 120 Kepala Keluarga (KK) yang berada secara administrasi dibawah Desa Dinas Bungbungan. Secara geografis Desa Pekraman Jungut disebelah baratnya dan selatanya dibatasi oleh Desa Pekeraman Tambahan Kecamatan Tembuku Kabupaten Bangli, Disebelah Utara Desa Pekeraman Tohpati Kecamatan Banjarangkan dan disebelah Timurnya adalah Desa Pekraman Bungbungan. Desa Pekeraman Jungut memiliki tugas dan tanggung jawab yang besar terutama untuk pemeliharaan pura kayangan tiga (tempat suci) yaitu Pura Puseh, Pura Dalem Pura Baleagung dan diluar kayangan tiga juga memliki pura Grya Sakti.

Desa Pekramana Jungut memiliki sebuah LPD dengan nama LPD Desa Pekraman Jungut. Pada LPD Desa Pekraman Jungut memiliki perangkat LPD yang berjumlah 4 orang terdiri dari ketua, sekertaris dan bendahara dan ditambah dengan satu badan pengawas yang berjumlah 2 orang dan ketua dari badan pengawas merupakan juga bendesa adat (kepala desa) dan wakil dari badan pengawas merupakan penyarikan desa adat (sekertaris kepala desa). Jumlah perangkat yang sedikit ini disebabkan karena LPD karena hanya melayani warga yang berjumlah 120 kepala keluarga, jadi struktur organasai yang simpel dianggap paling ideal. Jumlah perangkat LPD Desa Pekraman Jungut ini memang tidak seperti peraturan pemerintah daerah, karena LPD Desa Pekraman Jungtu merupakan LPD yang baru dikembangkan dan didirikan pada tahun 2000, sehingga jika mengikuti struktur seperti peraturan daerah mengenai LPD sangat tidak mungkin karena bisa menyebabkan biaya oprasional membengkak.


(35)

35 Tabel. 4.1. Jumlah Modal, Tabungan, Peminjam, Kredit 2002-2011

Tahun Modal & cadangan Tabungan Debitur Jumlah Kredit

2002 6.827.456 6.814.084 98 13.641.540

2003 8.583.175 32.385.931 60 21.523.915

2004 15.982.170 31.440.285 22 15.550.000

2005 24.218.000 28.744.854 15 24.250.000

2006 41.210.986 74.194.163 165 115.420.000

2007 62.435.555 133.028.731 146 161.200.843

2008 94.024.819 170.918.667 167 243.612.563

2009 124.230.309 186.400.881 150 228.041.649

2010 155.769.585 276.798.832 115 282.823.031

2011 175.457.094 375.306.034 120 252.954.969

Sumber : LPD Desa Adat Jungut

LPD Desa Adat Jungut berkembang dengan baik jika dilihat dari jumlah modal, tabungan, dan kredit yang terus tumbuh dari tahun ke tahun walaupun cukup berfluktuasi. Pada tahun 2002 merupakan awal pendirian LPD. Pada awal pendirian, LPD Desa Pekraman Jungut memiliki modal sebesar 6.827.456 juta rupiah yang merupakan jumlah modal terdah antara tahun 2000 samapai 2011 dan pada tahun 2011 jumlah menjadi 175.457.094 juta rupiah yang merupakan jumlah modal tertinggi. Pada tahun 2000 jumlah tabungan 6.814.084 juta rupiah yang merupakan jumlah tabungan terendah dan jumlah tabungan menjadi 375.306.034 juta rupiah pada tahun 2011. Selain itu jumlah kredit terus mengalami peningkatan semenjak tahun 2002 yang berjumlah 13.641.540 juta rupiah menjadi 252.954.969 juta rupiah dengan jumlah debitur 120 orang.

Sebelum masuk ke dalam pembahasan, perlu diketahui mengenai unit analisi dari penelitian ini. Unit analisis penelitian ini terdiri dari para debitur dan perangkat


(36)

36 LPD Desa Pekraman Jungut yang merupaka informan penting untuk diteliti. Dalam penelitian ini terdapat 6 informan yang terdiri dari 4 orang debitur, 1 Orang Ketua Dewan Pengawas LPD, dan 1 Orang Ketua LPD.

Tabel 4.2. Nama Informan Ketua Dewan Pengawas dan Ketua LPD Desa Pekraman Jungut

Nama Usia Jabatan

I Nyoman Sudira 45 tahun Ketua Badan Pengawas LPD

I Wayan Sudiarta 39 tahun Ketua LPD

Sumber : Diolah dari Hasil Penelitian 2010

Selain menggunakan informan dari perangkat LPD, penelitian ini juga menggunakan informan dari para debitur. Terdapat 4 orang debitur, dari 4 orang debitur tersebut, 1 diantaranya kreditnya pernah macet. Nama debitur tersebut antara lain sebagai berikut pada tabel 4.2 dibawah.

Tabel 4.3. Nama Informan Debitur LPD Desa pekraman Jungut

Nama Debitur Usia Kategori Kredit Pekerjaan

I Dewa Nyoman Gurnita 40 tahun Macet Wiraswata

I Made Mudana 40 tahun Lancar Guru

I Ketut Widya 39 tahun Lancar Guru

I Nengah Ariawan 30 tahun Lancar PNS

Sumber : Diolah dari Hasil Penelitian 2010 4.1Penyebab Kredit Macet

Prinsip pemberian kredit di lembaga keuangan pada umumnya selalu menggunakan prinsip 5 c yaitu caracter, capacity, capital, colateral dan condotion. Prinsip ini digunakan untuk mengindari terjadinya kredit macet dalam dunia perbangkan. Pada lembaga keuangan mikro seperti LPD Desa Pekraman Jungtu ini


(37)

37 juga memiliki prinsip pemberian kredit, namun sedikit berbeda dari lembaga keuangan lainnya karena prinsip ini ditetapkan dalam paruman(rapat desa adat). Menurut Ketua LPD I Wayan Sudirta prinsip dalam penyaluran ditetapkan setelah terjadinya kasus kredit macet yang menimpa I Wayan Sukarta dan prinsip dalam penyaluran kredit sangat berbeda di setiap desa pekraman karena prinsip penyaluran kredit akan ditentukan dalam paruman (rapat desa adat). Menurut I Nyoman Sudira, sebelum adanya kasus kredit macet, paruman (rapat desa adat) menentukan bahwa setiap Warga Desa Pekraman Jungut memiliki kesempatan yang sama dalam mendapatkan kredit dari LPD Desa Adat jungut, setelah adanya kasus kredit macet maka ditentuka prinsip yang digunakan dalam pemberian berdasarkan karakter, pekerjaan, dan ijin dari keluarga dan juga ditetapkan juga bahwa pemberian kredit minimum yang disalurkan mulai dari Rp.500.000 sampai dengan maksimum sebesar Rp.15.000.000 dan jika terjadi kredit macet maka seluruh kredit akan dibayarakan sementara oleh desa pekraman jungut sehingga LPD tetap dapat beroprasi, jadi debitur yang kreditnya macet tidak lagi berususan dengan pihak LPD melainkan pihak desa pekraman.

Menurut ketua badan pengawas I Nyoman Sudira, seluruh masyarakat di desa pekraman pasti akan mendapatkan kredit disesuaikan dengan karatker, pekerjaan, ijin keluarga, dimisalkan jika seorang calon debitur dinilai oleh ketua dan perangkat LPD yang lain dianggap memiliki karakter yang kurang baik, pekerjaannya tidak tetap, dan konsidi ekonomi keluarganya masuk kategori miskin namun diberikan ijin oleh keluarganya untuk mengajukan kredit di LPD maka, pihak LPD akan tetap memberikan kredit dengan jumlah paling minimum yaitu sebesar Rp.500.000. Menurut Ketua LPD I Wayan Sudirta, kredit minimum tetap akan diberikan jika pihak keluarga dari calon debitur setuju bahwa calon debitur meminjam di LPD, jika tidak ada persetujuan maka kredit tidak akan disalurkan. Prinsip penyaluran kredit oleh LPD Desa Pekraman Jungut ini memang tidak sesuai dengan prinsip pemberian kredit secara umum yang menggunakan prinsip seperti caracter,


(38)

38 capacity, capital, colateral dan condotion economy, sehingga rule of the game yang telah ditetapkan paruman (rapat desa adat) lemah.

Menurut Ketua Badan Pengawas I Nyoman Sudira, dalam pengajuan kredit pihak debitur tidak diharuskan untuk melaporkan pendapatannya, jumlah modal yang dimiliki untuk usaha, kredit di lembaga keuangan lain, ataupun jumlah tabungan, ini disebabkan karena pelaporan semacam ini tidak ditetapkan dalam awig-awig (aturan yang ditetapkan dalam paruman) yang ditentukan dalam paruman (rapat desa adat). Jadi disini ada terjadi hidden information antara pihak LPD dan badan pengawas selaku pricipal dengan debitur sebagai agent. Pihak LPD sebagai pricipal hanya mengetahui jenis pekerjaan dan karakter dari debitur, namun tidak mengetahui pendapatan yang merupakan bagian dari capacity debitur dalam rangka pengembalian kredit, adanya hidden information menyebabkan pihak LPD sebagai principal kesulitan untuk menetapkan keputusan yang tepat yaitu berapa kredit yang layak diberikan, dibanding pihak debitur sebagai agent yang memiliki informasi lebih baik mengenai dirinya.

Selain itu, karena adanya hidden information maka debitur sebagai agent mungkin akan gagal dalam melunasi kredit karena sebenarnya tidak memiliki kemampuan untuk melunasi kredit secara finansial seperti kasus I Nyoma Sukarta. Terjadinya hidden information, sehingga ini juga menyebabkan terjadi masalah pricipal-agent dengan model adverese selecetion, pihak debitur mengetahui capacity dirinya untuk mengembalikan kredit , tetapi pihak LPD tidak mengetahui hal ini karena paruman adat (rapat desa) tidak menetapkan hal tersebut. Adanya hidden information pada kasus di LPD Desa Pekraman Jungut juga memungkinkan terjadinya model moral hazzard sehingga pihak debitur sebagai agen melakukan tindakan-tindakan untuk menguntukan dirinya sendiri yang beresiko tinggi. Tindakan yang berresiko tinggi yang dapat dilakukan dapat menyebabkan gagalnya pelunasan kredit.

Kasus kredit macet di LPD Desa Pekraman Jungut ada dua debitur yaitu I Nyoman Suparta dan I Dewa Nyoman Gurnita. Menurut Ketua Badan pengawas I


(39)

39 Nyoman Sudira dan Ketua LPD I Wayan sudiarta, debitur I Nyoman suparta sekeluarga memang sudah sering bermasalah dengan desa pekraman jungut. Dewan Pengawas I Nyoman Sudira menyatakan bahwa kakek dari nyoman suparta pernah bermasalah karena tidak mau mebayar sanksi adat karena melanggar awig-awig, (aturan) selanjutnya ayah dari I Nyoman suparta juga menunggak pinjaman yang diberikan oleh desa pekraman sehingga diberikan sanksi adat sampai sekarang. Selain itu, I Nyoman suparta sendiri menunggak kredit sehingga paruman (rapat desa adat) menjatuhkan sanksi karena tidak ada itikad baik dan tidak berusaha untuk melunasi kreditnya semenjak awal peminjaman sampai tahun 2010 kredit yang ditunggak tidak dibayar sama sekali.

Dalam kasus Kredit macet yang menimpa I Nyoman Suparta terjadi model adverese selection karena hanya salah satu pihak yang memiliki informasi yang sempurna, dalam hal ini pihak debitur I Nyoman suparta yang mengetahui kemampuannya dalam mengembalikan kredit, pihak LPD dan ketua badan pengawas tidak mengetahui informasi mengenai kemampuan Debitur dalam mengembalikan kredit. Hal ini terjadi karena kelemahan awig-awig atau rule of the game yang ditetapkan oleh paruman adat.

Kelemahanya dari awig-awig atau rule of the game ini menimbulkan terjadinya kredit macet, selain itu pihak LPD percaya bahwa jika semua orang pasti mengembalikan kredit yang dipinjam karena jika terjadi kredit macet maka debitur akan menerima sanksi, Namun pada kenyataannya sampai sekarang kredit macet dari I Nyoma Suparta tidak dilunasi sampaia tahun 2010. Ini merupakan akibat dari kelemahan awig-awig atau rule of the game yang ditetapkan paruman (rapat desa adat) yang menetapkan semua orang berhak untuk mendapatkan kredit tanpa melihat pekerjaan, pendapatan, karakter, kredit di lembaga keuangan lain, dan jumlah aset yang dimiliki. Setelah ada kasus adat, prinsip penyaluran kredit yang baru juga memiliki kelemahan karena pihak debitur tetap tidak diwajibkan melaporkan pendapatan, jumlah tabungan, aset, dan kredit di lembaga keuangan lain yang menggambarkan mengenai capacity debitur dalam mengembalikan kredit


(40)

40 yang menimbulkan hidden information dan menyebabkan terjadinya hububngan pricipal-agent dengan model adverese selection. Dalam prinsip yang ditetapkan prinsip yang digunakan hanya berdasar penilaian dari pihak ketua LPD mengenai pekerjaan calon debitur, karakter dan ijin dari pihak keluarga, sehingga perinsip penyaluran tetap memiliki kelemahan. Kelemahan awig-awig yang lain adalah hak setiap debitur untuk mendapat kredit untuk walaupun mendapat kredit dengan jumlah minimum ini tetap memiliki kelemahan karena walaupun minimun bisa saja debitur tidak mampu melunasi kredit karena adanya karakter dari debitur memang buruk.

Lemahnya pengawasan dari dewan pengawas dan perangkat LPD juga menyebabkan terjadinya masalah kredit macet. Menurut Ketua Badan Pengawas I Wayan Sudira, bahwa badan pengawas dan ketua LPD tidak memiliki kewajiban untuk mengawasi penggunaan kredit karena tidak ada aturan yang mengatur mengenai pengwasan kredit dalam awig-awig yang ditetapkan oleh paruman adat, pengawasan yang lemah ini juga dapat menimbulkan terjadinya moral hazard.

4.2Dampak Adanya Sanksi Adat Terhadap Debitur yang Kreditnya Macet

Pemberian sanksi adat pada tahun 2005 kepada debitur I wayan Sukarta yang tidak berusaha dan tidak ada itikad baik untuk mengembalikan kredit memang pilihan terkahir yang diambil oleh Desa Pekraman Jungut. Pemberian sanksi pada I Wayan Sukarta berupa dicabutnya seluruh hak adatnya yang salah satunya berupa tidak diberikannya hak untuk melakukan penguburan di kuburan setempat tidak menyebabkan I wayan sukarta berinisiatif untuk berusaha membayarkan kreditnya. Menurut I Nyoman Sudirta selaku ketua dewan pengawas yang juga bendesa adat, menyatakan bahwa I Wayan sukarta pada paruman adat telah mengaku menyerah dan menyatakan tidak mampu untuk melunasi kreditnya.

Penyebab lain kenapa I Wayan Sukarta mengaku menyerah dan menyatakan tidak mampu untuk melunasi kredit serta menerima sanksi yang


(41)

41 diberikan, menurut Ketua Dewan Pengawas I Nyoman Sudirta menyatakan bahwa selama ini seluruh keluarga I Wayan Sukarta telah menetap di Denpsar, dan jika I Wayan Sukarta telah menjadi warga adat di Denpasar, ini menyebabkan ia berani untuk menerima sanksi adat, karena walaupun ia tidak mendapat hak untuk mengubur keburan di Desa Adat Jungut, ia tetap dapat melakukan penguburan di Denpasar karena telah menjadi warga adat di Denpasar. Namun untuk kasus kredit macet dengan debitur I Dewa Nyoman Gurnita, adanya sanksi adat menyebabkan I Dewa Nyoman Gurnita melunasi kreditnya dengan melakukan bagi hasil produksi padinya dengan pihak desa adat. Bagi hasil disini dimaksud, lima puluh persen dari hasil produksi padinya setiap panen akan diserahkan kepada desa adat sebagai pelunasan kreditnya. I Dewa Nyoman Gurnita mengakui bahwa ia dan keluarganya malu karena jika sampai terkena sanksi adat, karena orang tua I Dewa Nyoma Gurnita merupakan mantan bendesa adat.

Selain itu, I Dewa Nyoman Gurnita mengakui bahwa memliki ketakutan karena jika hak penguburannya dicabut maka ia tidak akan bisa melakukan penguburan dimanapun karena secara turun-temurun seluruh keluarganya sudah tinggal di desa pekraman jungut sampai sekarang dan hanya menjadi warga adat di Desa Adat Jungut. Untuk kasus kredit macet I Dewa Nyoman Gurnita, adanya sanksi telah menyebabkan pihak debitur mau melunasi kreditnya, ini disebabkan jika seluruh keluarga tidak menjadi warga adat di desa lain, untuk kasus kredit I Wayan Sukarta memang unik karena I Wayan Sukarta telah menetap dan menjadi warga adat di Denpasar sehingga adanya sanksi tidak memberikan dampak.

Sanksi adat memang dapat berdampak terhadap debitur jika seorang yang terkena sanksi adat menjadi warga adat hanya di satu desa pekraman seperti misalnya I Dewa Nyoman Gurnita, namun jika seorang menjadi warga adat di dua desa pekraman yang berbeda, maka adanya sanksi adat tidak akan berdampa. Dimisalkan jika seorang dijatuhakan sanksi berupa dicabutnya hak mendapatkan pemakaman didesa A , maka ia tetap dapat mendapat hak pemakaman di desa B


(42)

42 karena orang tersebut merupakan warga adat desa B. Iniliah yang menyababkan sanksi adat tidak berdampak kepada orang yang terdaftar menjadi warga adat di dua desa pekraman yang berbeda.

4.3 Perbedaan Kredit Sebelum dan Sesudah Adanya Sanksi Adat

]Untuk mengetahui perbedaan kredit sebelum dan sesudah adanya sanksi adat kepada debitur yang kreditnya macet maka dilakukan uji dengan uji wilcoxon. Pengambilan kesimpulan dari alat uji wilcoxon ini dengan membandingkan nilai signifikansi dengan nilai probabilitas, probabilitas dapat dilihat pada tabel t statistic dibawah.

1. Hipotesis :

0

H : i= 0 artinya tidak ada perbedaan jumlah kredit sebelum dan sesudah sanksi adat.

Hi: I 0 artinya ada perbedaan jumlah kredit sebelum dan sesudah sanksi adat.

2. Ketentuan :

Ho : ditolak jika Probabilitas < α = 0,05 Ho : diterima jika Probabilitas ≥ α = 0,05 3. Kesimpulan :

Test Statisticsb

Sesudah adanya sanksi adat - Sebelum adanya sanksi adat

Z -2.023a

Asymp. Sig. (2-tailed) .043

a. Based on negative ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test


(43)

43 Oleh karena nilai signifikan (sig.) pada tabel tes-t Statistik besar 0,043 lebih kecil dari nilai α = 0,05, maka Ho : ditolak dan H1 : diterima, berarti terdapat perbedaan jumlah kredit yang ditawarkan sebelum dan sesudah sanksi.

Adanya perbedaan kredit antara sebelum dan sesudah adanya kasus sanksi adat, sehingga disimpulkan bahwa kasus sanksi adat memiliki pengaruh terhadap jumlah kredit. Sanksi adat yang dijatuhkan kepada debitur yang kreditnya macet telah mendapat berbagai respon dari Warga Desa Jungut. Menurut I Made Mudana, I Nengah Ariawan dan I Ketut Widya yang merupakan debitur di LPD Desa Jungut menyatakan bahwa memiliki kecemasan karena adanya kasus sanksi adat. I Made Mudana menyatakan bahwa bisa saja sanksi menimpa dirinya karena tidak mampu melunasi kredit, sehingga nantinya jika kembali membutuhkan kredit dengan jumlah yang cukup besar, kemungkinan akan mengajukan kredit di lembaga keuangan lainya seperti koprasi yang tidak memiliki sanksi adat seperti LPD Desa Adat Jungut.

I Nengah Ariawan menyatakan hal yang hampir mirip, ia menyatakan bahwa mengalami kecemasan karena tidak memiliki aset berupa tanah ataupun kendaraan yang dapat dijual jika ia mengalami kredit macet. Selain itu, I Ketut Widya juga memiliki ketakutan yang sama karena jika ia tidak mampu melunasi kredit, ia dan beserta keluarganya akan sangat malu karena sanksi yang diberikan tersebut sehingga jika kembali memerlukan dana, ia lebih memilih untuk menggunakan lembaga keuangan seperti pegadaian. Dilain pihak, Ketua LPD I Wayan Sudiarta menyatakan bahwa setelah adanya sanksi adat terhadap I Nyoman Sukarta, dirinya selaku ketua LPD semakin hati-hati dalam melakukan penilaian terhadap calon debitur dan penyalurab kredit agar nantinya tidak terjadi kredit macet.


(44)

44 BAB V

SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan

Dari hasil analisis sanksi adat terhadap debitur yang kreditnya macet di LPD Desa Pekraman Jungut Kabupaten Klungkung dapat disimpulkan :

1. Terjadinya kredit macet di LPD Desa Pekraman Jungut disebabkan karena adanya hidden information yang menyebabkan terjadinya model adverese selction dan model moral hazard. Adanya hidden information disebabkan karena awig-awig atau rule of the game dalam penyaluran kredit yang tidak sesuai dengan rule of the game lembaga keuangan formal lainya. Kelemahannya awig-awig atau rule of the game dari proses penyaluran kredit berupa tidak diwajibakannya calon debitur untuk melaporkan jumlah pendapatan, jumlah tabungan, jumlah kredit di lembaga keuangan lain yang, serta jumlah aset yang dimiliki.

2. Sanksi adat untuk debitur I Wayan Suparta yang kreditnya macet tidak memiliki dampak, karena I Wayan Suparta sudah menyerah dan mengaku tidak mampu untuk melunasi kreditnya karena telah menetap di Denpasar dan sudah menjadi warga desa adat di Denpasar maka sanksi adat ini jelas tidak berdampak karena walaupun tidak diberikan hak penguburan di Desa Adat Pekraman Jungut, I Wayan Suparta tetap dapat melakukan penguburan di Denpasar karena sudah terdaftar menjadi warga adat di Denpasar. Dampak sanksi adat hanya jika seseorang yang terkena sanksi merupakan warga adat hanya di satu di desa pekraman, jika seseorang terdaftar menjadi warga adat di dua desa pekraman, sanksi adat seperti dicabutnya hak penguburan ditempat kuburan setempat tidak akan berdampak.


(45)

45 3. Terdapat perbedaan kredit sebelum dan sesudah adanya sanksi adat terhadap debitur yang kreditnya macet, yang berarti adanya sanksi adat telah mempengaruhi jumlah kredit. Terdapatnya perbedaan ini disebabkan karena adanya kecemasan jika tidak mampu melunasi kredit akan terkena sanksi adat yang dapat menyebabkan pihak yang dijatuhi sanksi malu dan menyebabkan debitur mencari alternatif lembaga keuangan yang tidak memberikan sanksi jika tidak mampu melunasi kredit misalnya pegadaian. Selain itu, adanya perbedaan disebabkan karena pihak LPD sebih selektif dalam menyalurkan kreditnya.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan dengan sejumlah keterbatasan penelitian ini, selanjutnya diusulkan beberapa saran yang mungkin dapat dilakukan dan bermanfaat bagi pengembangan LPD. Adapun saran yang diusulkan adalah sebagai berikut :

1. Dirubahnya aturan adat / rule of the game dalam penyaluran kredit dengan diterapkan prinsip 4 C yaitu Caracter, Capital, Capaicity, Colateral serta jika prinisip 4 C ini tidak dapat diterapkan karena maka minimal calon debitur harus melaporkan pendapatan, jumlah tabungan serta kredit yang sedang dalam proses pelunasan dilembaga keuangan lain. Sehingga dengan diterapkan diharapkan terhindar dari resiko kredit macet karena pihak LPD memiliki informasi yang sempurna. Serta dilakukanya pengawasan penggunaan kredit oleh pihak LPD

2. Diterapkanya sistem jaminan untuk kredit di atas satu juta rupiah, karena jika pihak debitur tidak mampu untuk melunasi kredit maka aset yang dimiliki oleh pihak debitur dapat disita atau dilelang agar


(46)

46 pihak LPD tidak mengalami kerugian. Jadi walaupun seseorang tidak dapat mengembalikan kredit, maka tidak harus diberikan sanksi berupa dicabutnya hak penguburan dan tidak menyebabkan pihak yang kreditnya macet tidak menjadi malu dan tertekan. Sehingga warga tidak cemas lagi karena tidak perlu dijatuhi sanksi adat dan tidak perlu malu karena aset yang dimiliki digunakan untuk melunasi kredit.

3. Dibuatnya awig-awig baru yaitu bahwa setiap warga hanya boleh menjadi warga di satu desa pekraman saja. Jika ada seseorang yang terdaftar menjadi warga adat di dua desa pekraman maka ia tidak diperkanankan untuk mendapatkan kredit.


(47)

47 Daftar Pustaka

Arsyad, Lincolin. 2005. “Institution Do realy matter : Important Lessons From Village Credit Institution Of Bali”. Vol.20, no2. Jurnal Ekonomi dan Bisnis. Arifin, Zaenal. 2004. “Solusi masalah agensi perusahaan publik di indonesia:

pendekatan game-modeling dan pendekatan positif empiris”. Jurnal Siasat Bisnis. Vol 9.

Afriani, Iyan. 2009. Metode Penelitian Kualitatif. www.penalaran-unm.org/index.php.

Firdaus, M. Rachmat. 1994. Teori dan Analisa Kredit. Bandung : PT. Purna Sarana Lingga Utama.

Furubotn, Eirik G and Richter Rudolf. 2001. Institutions and Economic Theory. USA. The University Of Michigan Press.

Halim, Abdulah dan Abdulah Syukri. 2010. Hubungan dan Masalah Keagenan di Pemerintah daerah. Jurnal Akuntansi Pemerintah.

Muhamad. 2010. Penyesuaian Masalah Agensi (Agency Problem) dalam Kontrak Pembiayaan Mudharabah. www.journal.Uii.ac.id/index.php/Unisia/ article/view/143/107.

Peraturan Gubernur Bali No. 16 Tahun 2008 Tentang Pengurus dan Pengawas Internal Lembaga Perkreditan Desa.

Qurrata, Vika Anisa. 2010. “Analisis Persoalan Penguasaan Informasi Risk and Return pada Nasabah dalam Kerangka Principal-Agent”: Skripsi. Malang : Universitas Brawijaya.


(48)

48 Rachmawati, Imami Nur. 2010. Metode Pengumpulan Data Dalam Penelitian

Kualitatif: Wawancara.

Somatri, Gumilar Rusliwa. 2005.”Memahami Metode Kualitatif”. Makara, Sosio Humaniora. Vol.2 No 2.

Tjukria, P. Tawaf. 1999. Audit Intern Bank Suatu Penelahan Serta Petunjuk Pelaknsanaannya. Buku 1. Cetakan Pertama. Jakarta : Salemba Empat.

Undang-Undang RI No.10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992

Yustika, Ahmad Erani. 2008. Ekonomi Kelembagaan. Malang. Bayumedia Publising

www. bank indonesia.go.id.20/08/2010.


(1)

43 Oleh karena nilai signifikan (sig.) pada tabel tes-t Statistik besar 0,043 lebih kecil dari nilai α = 0,05, maka Ho : ditolak dan H1 : diterima, berarti terdapat perbedaan jumlah kredit yang ditawarkan sebelum dan sesudah sanksi.

Adanya perbedaan kredit antara sebelum dan sesudah adanya kasus sanksi adat, sehingga disimpulkan bahwa kasus sanksi adat memiliki pengaruh terhadap jumlah kredit. Sanksi adat yang dijatuhkan kepada debitur yang kreditnya macet telah mendapat berbagai respon dari Warga Desa Jungut. Menurut I Made Mudana, I Nengah Ariawan dan I Ketut Widya yang merupakan debitur di LPD Desa Jungut menyatakan bahwa memiliki kecemasan karena adanya kasus sanksi adat. I Made Mudana menyatakan bahwa bisa saja sanksi menimpa dirinya karena tidak mampu melunasi kredit, sehingga nantinya jika kembali membutuhkan kredit dengan jumlah yang cukup besar, kemungkinan akan mengajukan kredit di lembaga keuangan lainya seperti koprasi yang tidak memiliki sanksi adat seperti LPD Desa Adat Jungut.

I Nengah Ariawan menyatakan hal yang hampir mirip, ia menyatakan bahwa mengalami kecemasan karena tidak memiliki aset berupa tanah ataupun kendaraan yang dapat dijual jika ia mengalami kredit macet. Selain itu, I Ketut Widya juga memiliki ketakutan yang sama karena jika ia tidak mampu melunasi kredit, ia dan beserta keluarganya akan sangat malu karena sanksi yang diberikan tersebut sehingga jika kembali memerlukan dana, ia lebih memilih untuk menggunakan lembaga keuangan seperti pegadaian. Dilain pihak, Ketua LPD I Wayan Sudiarta menyatakan bahwa setelah adanya sanksi adat terhadap I Nyoman Sukarta, dirinya selaku ketua LPD semakin hati-hati dalam melakukan penilaian terhadap calon debitur dan penyalurab kredit agar nantinya tidak terjadi kredit macet.


(2)

44 BAB V

SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan

Dari hasil analisis sanksi adat terhadap debitur yang kreditnya macet di LPD Desa Pekraman Jungut Kabupaten Klungkung dapat disimpulkan :

1. Terjadinya kredit macet di LPD Desa Pekraman Jungut disebabkan karena adanya hidden information yang menyebabkan terjadinya model adverese selction dan model moral hazard. Adanya hidden information disebabkan karena awig-awig atau rule of the game dalam penyaluran kredit yang tidak sesuai dengan rule of the game lembaga keuangan formal lainya. Kelemahannya awig-awig atau rule of the game dari proses penyaluran kredit berupa tidak diwajibakannya calon debitur untuk melaporkan jumlah pendapatan, jumlah tabungan, jumlah kredit di lembaga keuangan lain yang, serta jumlah aset yang dimiliki.

2. Sanksi adat untuk debitur I Wayan Suparta yang kreditnya macet tidak memiliki dampak, karena I Wayan Suparta sudah menyerah dan mengaku tidak mampu untuk melunasi kreditnya karena telah menetap di Denpasar dan sudah menjadi warga desa adat di Denpasar maka sanksi adat ini jelas tidak berdampak karena walaupun tidak diberikan hak penguburan di Desa Adat Pekraman Jungut, I Wayan Suparta tetap dapat melakukan penguburan di Denpasar karena sudah terdaftar menjadi warga adat di Denpasar. Dampak sanksi adat hanya jika seseorang yang terkena sanksi merupakan warga adat hanya di satu di desa pekraman, jika seseorang terdaftar menjadi warga adat di dua desa pekraman, sanksi adat seperti dicabutnya hak penguburan ditempat kuburan setempat tidak akan berdampak.


(3)

45 3. Terdapat perbedaan kredit sebelum dan sesudah adanya sanksi adat terhadap debitur yang kreditnya macet, yang berarti adanya sanksi adat telah mempengaruhi jumlah kredit. Terdapatnya perbedaan ini disebabkan karena adanya kecemasan jika tidak mampu melunasi kredit akan terkena sanksi adat yang dapat menyebabkan pihak yang dijatuhi sanksi malu dan menyebabkan debitur mencari alternatif lembaga keuangan yang tidak memberikan sanksi jika tidak mampu melunasi kredit misalnya pegadaian. Selain itu, adanya perbedaan disebabkan karena pihak LPD sebih selektif dalam menyalurkan kreditnya.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan dengan sejumlah keterbatasan penelitian ini, selanjutnya diusulkan beberapa saran yang mungkin dapat dilakukan dan bermanfaat bagi pengembangan LPD. Adapun saran yang diusulkan adalah sebagai berikut :

1. Dirubahnya aturan adat / rule of the game dalam penyaluran kredit dengan diterapkan prinsip 4 C yaitu Caracter, Capital, Capaicity, Colateral serta jika prinisip 4 C ini tidak dapat diterapkan karena maka minimal calon debitur harus melaporkan pendapatan, jumlah tabungan serta kredit yang sedang dalam proses pelunasan dilembaga keuangan lain. Sehingga dengan diterapkan diharapkan terhindar dari resiko kredit macet karena pihak LPD memiliki informasi yang sempurna. Serta dilakukanya pengawasan penggunaan kredit oleh pihak LPD

2. Diterapkanya sistem jaminan untuk kredit di atas satu juta rupiah, karena jika pihak debitur tidak mampu untuk melunasi kredit maka aset yang dimiliki oleh pihak debitur dapat disita atau dilelang agar


(4)

46 pihak LPD tidak mengalami kerugian. Jadi walaupun seseorang tidak dapat mengembalikan kredit, maka tidak harus diberikan sanksi berupa dicabutnya hak penguburan dan tidak menyebabkan pihak yang kreditnya macet tidak menjadi malu dan tertekan. Sehingga warga tidak cemas lagi karena tidak perlu dijatuhi sanksi adat dan tidak perlu malu karena aset yang dimiliki digunakan untuk melunasi kredit.

3. Dibuatnya awig-awig baru yaitu bahwa setiap warga hanya boleh menjadi warga di satu desa pekraman saja. Jika ada seseorang yang terdaftar menjadi warga adat di dua desa pekraman maka ia tidak diperkanankan untuk mendapatkan kredit.


(5)

47 Daftar Pustaka

Arsyad, Lincolin. 2005. “Institution Do realy matter : Important Lessons From Village Credit Institution Of Bali”. Vol.20, no2. Jurnal Ekonomi dan Bisnis. Arifin, Zaenal. 2004. “Solusi masalah agensi perusahaan publik di indonesia:

pendekatan game-modeling dan pendekatan positif empiris”. Jurnal Siasat Bisnis. Vol 9.

Afriani, Iyan. 2009. Metode Penelitian Kualitatif. www.penalaran-unm.org/index.php.

Firdaus, M. Rachmat. 1994. Teori dan Analisa Kredit. Bandung : PT. Purna Sarana Lingga Utama.

Furubotn, Eirik G and Richter Rudolf. 2001. Institutions and Economic Theory. USA. The University Of Michigan Press.

Halim, Abdulah dan Abdulah Syukri. 2010. Hubungan dan Masalah Keagenan di Pemerintah daerah. Jurnal Akuntansi Pemerintah.

Muhamad. 2010. Penyesuaian Masalah Agensi (Agency Problem) dalam Kontrak Pembiayaan Mudharabah. www.journal.Uii.ac.id/index.php/Unisia/ article/view/143/107.

Peraturan Gubernur Bali No. 16 Tahun 2008 Tentang Pengurus dan Pengawas Internal Lembaga Perkreditan Desa.

Qurrata, Vika Anisa. 2010. “Analisis Persoalan Penguasaan Informasi Risk and Return pada Nasabah dalam Kerangka Principal-Agent”: Skripsi. Malang : Universitas Brawijaya.


(6)

48 Rachmawati, Imami Nur. 2010. Metode Pengumpulan Data Dalam Penelitian

Kualitatif: Wawancara.

Somatri, Gumilar Rusliwa. 2005.”Memahami Metode Kualitatif”. Makara, Sosio Humaniora. Vol.2 No 2.

Tjukria, P. Tawaf. 1999. Audit Intern Bank Suatu Penelahan Serta Petunjuk Pelaknsanaannya. Buku 1. Cetakan Pertama. Jakarta : Salemba Empat.

Undang-Undang RI No.10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992

Yustika, Ahmad Erani. 2008. Ekonomi Kelembagaan. Malang. Bayumedia Publising

www. bank indonesia.go.id.20/08/2010.