Agus Sabar Sabdono 21100112130051 2017 Analisis Kestabilan Lereng

(1)

UNIVERSITAS DIPONEGORO

ANALISIS KESTABILAN LERENG PIT 7 WEST B

TAMBANG BATUBARA PT. BUMA SITE BINUNGAN,

BERAU, KALIMANTAN TIMUR

TUGAS AKHIR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

AGUS SABAR SABDONO

21100112130051

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

JUNI 2017


(2)

HALAMAN PENGESAHAN

Tugas Akhir ini diajukan oleh

Nama : Agus Sabar Sabdono

NIM : 21100112130051

Jurusan/Departemen : Teknik Geologi

Judul Tugas Akhir : Analisis Kestabilan Lereng Pit 7 West B Tambang Batubara PT. BUMA Site Binungan, Berau, Kalimantan Timur

Telah berhasil dipertahankan dihadapan Tim Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Strata-1 pada Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.

TIM PENGUJI

Pembimbing I : Ir. Wahju Krisna Hidajat, M.T.

Pembimbing II : Devina Trisnawati, S.T., M. Eng.

Penguji : Ahmad Syauqi Hidayatillah, S.T., M.T.

Semarang, 8 Juni 2017 Mengetahui,

Ketua Departemen Teknik Geologi

Najib, S.T., M. Eng., Ph.D NIP. 197710202005011001


(3)

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS

Dengan ini saya menyatakan, bahwa dalam Tugas Akhir ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan dari suatu Perguruan Tinggi. Berdasarkan pengetahuan saya, tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diakui dalam naskah ini dan disebutkan dalam Daftar Pustaka.

Nama : Agus Sabar Sabdono NIM : 21100112130051 Tanda Tangan :


(4)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Diponegoro, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Agus Sabar Sabdono

NIM : 21100112130051

Departemen : Teknik Geologi Fakultas : Teknik

Jenis Karya : Tugas Akhir

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Diponegoro Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

ANALISIS KESTABILAN LERENG PIT 7 WEST B TAMBANG BATUBARA

PT. BUMA SITE BINUNGAN, BERAU, KALIMANTAN TIMUR

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti/Noneksklusif ini Universitas Diponegoro berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Semarang Pada Tanggal : 8 Juni 2017 Yang menyatakan


(5)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah atas segala rahmat, berkat, dan karunia Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, kelancaran dan kesabaran sehingga dapat terselesaikannya Tugas Akhir ini. Tugas Akhir ini berjudul Analisis Kestabilan Lereng Pit 7 West B Tambang Batubara PT. BUMA Site Binungan, Berau, Kalimantan Timur, diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik pada Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang.

Dalam Laporan Tugas Akhir ini, penulis berusaha memberikan analisis kestabilan lereng daerah penelitian studi Tugas Akhir pada Blok Penambangan Batubara PT.BUMA Site Binungan yang masuk kedalam area Cekungan Tarakan (Sub-Cekungan Berau). Pekerjaan yang dilakukan antara lain analisis geologi regional daerah penelitian, pembuatan sayatan, pembuatan penampang, survey lapangan, analisis kondisi geologi lokasi penelitian, pembuatan permodelan lereng, dan melakukan analisis kestabilan lereng. Berdasarkan bab dan sub-bab dalam laporan Tugas Akhir ini, penulis berharap informasi dapat diterima pembaca dengan mudah sehingga pembaca dapat memperoleh informasi yang dibutuhkan tentang daerah penelitian.

Laporan Tugas Akhir ini masih memiliki kekurangan, dan jauh dari kata sempurna, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan laporan ini serta laporan yang akan datang. Penulis telah memberikan yang terbaik dalam penelitian maupun penyusunannya dan semoga laporan Tugas Akhir ini bisa bermanfaat bagi semua pihak, terutama yang sedang melakukan penelitian terkait denga tema yang sama. Amin.

Semarang, 8 Juni 2017


(6)

HALAMAN PERSEMBAHAN

“Tugas Akhir ini saya persembahkan untuk Bapak Sapardi Joko Damono, S.P.d.i,.M.Pd., Ibu Suji, Adik Muhammad Akbar Jamaludin dan keluarga Trah

Eyang Mijo Mangun Tinoyo, Trah Eyang Harto Suripto”

Dan Kami jadikan di bumi gunung-gunung yang kukuh supaya ia meneguhkannya. Dan Kami jadikan padanya celah-celah sebagai jalan supaya

mereka mendapatkan petunjuk (Al Anbiyaa : 31)

Dan engkau lihat gunung-gunung itu, engkau kira ia tetap di tempatnya padahal dia berjalan seperti awan berjalan. Perbuatan Allah yang mengukuhkan segala sesuatu. Sesungguhnya Dia mengetahui apa-apa

yang kamu kerjakan (An Naml : 88)

Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian kami pisahkan keduannya, dan dari air kami jadikan sesuatu yang hidup. Maka mengapakah

mereka tiada juga beriman? (Al-Anbiya : 30)

Ya Tuhan kami, jauhkanlah azab jahannam dari kami karena sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal. Sungguh, jahannam itu


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam penyusunan Laporan Tugas Akhir ini, penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk itu penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang besar kepada :

1. Najib, S.T., M. Eng., Ph.D sebagai ketua Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang.

2. Ir. Wahju Krisna Hidajat, M.T. dan Devina Trisnawati, S.T., M. Eng., sebagai dosen pembimbing Tugas Akhir yang telah memberikan ilmu dan bimbinganya sehingga Tugas Akhir ini dapat diselesaikan dengan baik.

3. Ibu dan Bapak yang selalu memberikan kasih sayang, perhatian, semangat dan dorongan doa serta bantuan moral, material sehingga Tugas Akhir ini dapat terselesaikan.

4. Kepada Departemen Engineering PT. BUMA Site Binungan, Berau, Kalimantan Timur. I Gusti Ngurah Agung, Irfandi Oky P, Asto Budoyo K, Dian Oktavianto, Jheny Eka Wijaya, Petsi Chandra, Izaku Mike A, Ibnu Widigdo, Ayu, Sarjono, Agung Kurniawan, Ridwansyah Sitepu, Ardian Adkhan, Syamsuar, Doni Setiawan, Anang, Muhammad Ulya, Yunita Sari. 5. Kakak Agung Iswanto yang juga sedang melaksanakan skripsi, yang

memberikan semangat, ide dan motivasi.

6. Sahabat KKN UNDIP Tim I tahun 2016 Desa Giyono, Kecamatan Jumo, Kab.Temanggung. Latifah Chikmawati, Kurnia Rizqia Rahmawati, Alifa Rizqia Rahmawati, Dahona Lenthe Lavinia, Theresia Evelyn, Mona Pradipta H, M. Khoirur Rijal, Imam Oktariadi, Gilang Mustika Aji.

7. Andi, Sukri dan rekan-rekan MT PT. BUMA Site Binungan sebagai teman ngobrol dan sharing-sharing pengalaman selama berada di Mess Binungan yang ikut memberikan supportnya.

8. Kepada seluruh teman-teman Geologi UNDIP khususnya angkatan 2012 yang selalu memberi motivasi dan dukungannya, dan pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semarang, 8 Juni 2017


(8)

ABSTRAK

I

ndonesia memiliki potensi sumber daya alam yang besar, salah satunya adalah batubara. Batubara memiliki peranan penting dalam sektor energi sebagai energi alternatif pembangkit listrik atau penggerak sektor industri. Batubara ditambang secara terbuka atau open pit mining. Proses penambangan batubara khususnya pada tahap eksploitasi harus memperhatikan tingkat kestabilan lereng agar proses penambangan dapat berjalan dengan baik, aman dan kondusif. Keamanan lokasi penambangan menjadi prioritas utama demi tercapainya Zero Harm (kondisi tidak terjadi atau meminimalkan kecelakaan yang bisa merugikan perusahaan). Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi geologi dan tingkat kestabilan lereng tambang pada Pit 7 West B PT. BUMA Site Binungan yang berada di Desa Sambaliung, Kecamatan Tanjung Redeb, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Metode yang digunakan meliputi studi pustaka, observasi lapangan serta analisis data primer maupun sekunder, sedangkan software yang digunakan dalam pengolahan data adalah minescape, roclab, rocscience slide 6, autocad dan arc gis. Hasil penelitian menunjukkan pada Pit 7 West B masuk ke dalam Formasi Latih (Tml) dengan litologi penyusun berupa batupasir kuarsa, batulempung dan batubara. Struktur geologi primer berupa perlapisan, parallel laminasi, wavy ripple, normal graded bedding dan nodul. Struktur geologi sekunder berupa mudcrack, convolute, kekar tarik dan kekar gerus. Berdasarkan hasil measuring stratigraphy dapat diketahui lingkungan pengendapan berada pada kawasan rawa atau lacustrine, dengan litologi dari tua ke muda berupa batupasir, batulempung, batubara. Bidang perlapisan antara batubara, batulempung dan batupasir memiliki strike/dip N 2280 E/510 dan N 2200 E/480. Analisis kestabilan lereng dilakukan terhadap lereng lowwall dan highwall pada kondisi aktual maupun desain tahun 2017 dan didapatkan hasil untuk kondisi aktual lereng lowwall memiliki nilai FK rata-rata 4,1 dan lereng highwall memiliki FK rata-rata 3,5 sedangkan untuk desain penambangan tahun 2017 didapatkan nilai FK rata-rata lereng lowwall sebesar 2,6 dan nilai FK untuk lereng highwall sebesar 1,8 sehingga keduanya dinyatakan aman/stabil.


(9)

ABSTRACT

Indonesia has large potential resource, one of them is coal. Coal has significant contribution in part of energy as alternative energy as electrical generator or power in industrial sector. Coal is mined openly or open pit mining. Coal mining process, especially in exploitation stage, must pay attention to slope stability grade so that the mining process can be done well, safely and conducively. A safe mining location becomes main priority to achieve Zero Harm (zero accident condition or minimalize accident that can cause disadvantage for the company). This research aims to know the geology condition and slope stability mining level in Pit 7 West B PT.BUMA Site Binungan that located in Sambaliung Village, Tanjung Redeb District, Berau Regency, East Borneo Province. Method that used in this research are literature study, in site observation, primary and secondary data analysis, while the software used in data processing is minescape, roclab, rocscience slide 6, autocad and arc gis. Result shows that Pit 7 West B included in Latih Formation (Tml) which consists of quartz sandstone, mudstone, and coal lithology. Primary geology structure are bedding, parallel lamination, wavy ripple, normal graded bedding and nodul, while seconda ry geology structure are mudcrack, convolute, shear joint and tension joint. Based on stratigraphy measurement report, it is known that depositional environment is located in swamp area or lacustrine, with lithology order from older to young: sandstone, mudstone, coal. Bedding side between coal, mudstone, and sandstone have strike/dip N 2280E/510 and N 2200 E/480. Slope stability analysis done to lowwall and highwall slopes,both in actual condition and 2017 design. Result shows that actual contour lowwall slope has FK mean value 4,1 and highwall slope has FK mean value 3,5, while for 2017 mining design shows FK mean value 2,6 for the lowwall slope and 1,8 for highwall slope,so both are declared safe.


(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... iv

KATA PENGANTAR ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR ISTILAH ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Tujuan Penelitian ... 2

1.3Manfaat Penelitian ... 3

1.4Perumusan Masalah ... 3

1.5Ruang Lingkup Penelitian ... 4

1.6Penelitian Terdahulu ... 6

1.7Kerangka Pikir Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Daerah Penelitian ... 8

2.2 Rock Quality Designation ... 17

2.3 Massa Batuan ... 19

2.4 Bidang Diskontinuitas ... 20

2.5 Geological Strength Index ... 22

2.6 Faktor Kerusakan ... 24

2.7 Window Mapping ... 26

2.8 Mekanisme Keruntuhan ... 30

2.9 Jenis Longsoran ... 33

2.10 Kestabilan Lereng ... 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metodologi Penelitian ... 49

3.2 Tahapan Penelitian... 49

3.3 Alat dan Bahan ... 51

3.4 Sumber Data ... 52

3.5 Hipotesis ... 53

3.6 Diagram Alir Penelitian ... 53

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Geologi Pit 7 West B ... 55

4.2 Data Pemboran Geologi ... 72

4.3 Pemetaan Geoteknik ... 75


(11)

4.5 Analisis Kestabilan Lereng ... 82 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 104 5.2 Saran ... 105 DAFTAR PUSTAKA


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Peta Administrasi Lokasi Penelitian ... .5

Gambar 1.2 Sayatan Lereng Pit 7 West Section 1-1‟ ... .6

Gambar 1.3 Penampang Lereng Pit 7 West Section 1-1‟ ... .6

Gambar 1.4 Analisis Desain Awal Lereng Pit 7 West Section 1-1‟ ... .6

Gambar 1.5 Kondisi Lereng Pit 7 West Section 1-1‟ Counter Weight ... .7

Gambar 1.6 Analisis Desain Awal Pit 7 West Section 1-1‟ FK 1.35 ... .7

Gambar 1.7 Analisis Desain Awal Pit 7 West Section 1-1‟Sidecase ... .8

Gambar 1.8 Kerangka Pikir Penelitian ... .9

Gambar 2.1 Cekungan Tarakan Kalimantan Timur ...11

Gambar 2.2 Peta Geologi Daerah sekitar Berau, Kalimantan Timur ...13

Gambar 2.3 Stratigrafi Daerah Berau, Kalimantan Timur ...16

Gambar 2.4 Perhitungan Rock Quality Designation (Deere, 1963)………….20

Gambar 2.5 Konsep dasar massa batuan (Wylie dan Mah, 2004) ...21

Gambar 2.6 Diagram GSI berdasarkan Hoek dan Marinos (2000) ...25

Gambar 2.7 Representasi antara Undisturbed Rockmass dan Blasted Rock (Hoek dan Karzulovic, 2000) ...28

Gambar 2.8 Bentuk longsoran busur (Hoek dan Bray, 1981) ...35

Gambar 2.9 Longsoran bidang (Hoek dan Bray, 1981) ...36

Gambar 2.10 Bentuk longsoran baji (Hoek dan Bray, 1981) ...36

Gambar 2.11 Bentuk longsoran guling (Hoek dan Bray, 1981) ...37

Gambar 2.12 Sketsa lereng dan gaya yang bekerja ...45

Gambar 2.13 Gaya yang bekerja pada dinding lereng (A.W.ψishop,1955)… 46 Gambar 2.14 Sketsa gaya yang bekerja pada satu sayatan ...46

Gambar 2.15 Upaya peningkatan kestabilan lereng ...49

Gambar 2.16 Tahapan Penurunan MAT...50

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian ...56

Gambar 4.1 Sisi selatan Pit 7 West B ...58

Gambar 4.2 Sisi utara Pit 7 West B ...58

Gambar 4.3 Kenampakan Pit 7 West B dari puncak sidewall ...59

Gambar 4.4 Peta Lokasi Pit 7 West B ...59

Gambar 4.5 Peta geologi Pit 7 West B...60

Gambar 4.6 Kontak lapisan batubara dan batulempung ...60

Gambar 4.7 Batubara seam X dengan sisipan amber ...61

Gambar 4.8 Batulempung di sebelah tenggara seam X ...62

Gambar 4.9 Batupasir diantara seam X1 dan X5 ...62

Gambar 4.10 Kondisi lereng extremely weathered sisi timur Pit 7 West B...63

Gambar 4.11 Kenampakan lereng distinctly weathered sisi barat Pit West B .64 Gambar 4.12 Struktur perlapisan batubara, batulempung dan batupasir ...65

Gambar 4.13 Struktur wavy ripple ...65

Gambar 4.14 Struktur paralel laminasi ...66

Gambar 4.15 Struktur nodul pada batulempung ...66

Gambar 4.16 Struktur normal graded bedding ...66

Gambar 4.17 Struktur kekar tarik dan kekar gerus ...67

Gambar 4.18 Struktur convolute antara seam X dan X1 ...68


(13)

Gambar 4.20 Rekahan 1-4 cm pada batulempung extremely weathered ...69

Gambar 4.21 Bidang erosional pada tebing batupasir sisipan batubara ...70

Gambar 4.22 Kolom measuring stratigraphy Pit 7 West B ...71

Gambar 4.23 Lanjutan 1 kolom measuring stratigraphy Pit 7 West B ...72

Gambar 4.24 Lanjutan 2 kolom measuring stratigraphy Pit 7 West B ...73

Gambar 4.25 Sekuen stratigrafi sedimen klastik endapan danau air tawar dan lakustrin (Nichols, 2009) ...74

Gambar 4.26 Peta geologi teknik Pit 7 West B...80

Gambar 4.27 Penampang aktual sayatan A-A‟ dan ψ-ψ‟ ...81

Gambar 4.28 Penampang desain tahun 2017 sayatan A-A‟ dan ψ-ψ‟ ...82

Gambar 4.29 Penampang aktual sayatan C-ω‟ dan D-D‟ ...82

Gambar 4.30 Penampang desain tahun 2017 sayatan C-ω‟ dan D-D‟ ...83

Gambar 4.31 Penampang aktual sayatan E-E‟ dan F-F‟ ...83

Gambar 4.32 Penampang desain tahun 2017 sayatan E-E‟ dan F-F‟ ...84

Gambar 4.33 Analisis kestabilan lereng sayatan A-A‟ sisi highwall ...84

Gambar 4.34 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan A-A‟ ...86

Gambar 4.35 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan A-A‟ sisi lowwall ....86

Gambar 4.36 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan A-A‟ ...87

Gambar 4.37 Grafik FK kondisi aktual sayatan A-A‟ ...88

Gambar 4.38 Analisis kestabilan lereng sayatan B-ψ‟ sisi highwall ...88

Gambar 4.39 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan B-ψ‟ ...89

Gambar 4.40 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan B-ψ‟ sisi lowwall ...89

Gambar 4.41 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan B-ψ‟ ...90

Gambar 4.42 Grafik FK kondisi aktual sayatan B-ψ‟ ...90

Gambar 4.43 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan C-ω‟ sisi highwall ....91

Gambar 4.44 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan C-ω‟ ...91

Gambar 4.45 Analisis kestabilan lereng sayatan C-ω‟ sisi lowwall ...92

Gambar 4.46 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan C-ω‟ ...92

Gambar 4.47 Grafik FK aktual terhadap jarak horizontal sayatan C-ω‟ ...94

Gambar 4.48 Analisis kestabilan lereng sayatan D-D‟ sisi highwall ...94

Gambar 4.49 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan D-D‟ ...95

Gambar 4.50 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan D-D‟ sisi lowwall ...96

Gambar 4.51 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan D-D‟ ...96

Gambar 4.52 Grafik FK kondisi aktual sayatan D-D‟ ...96

Gambar 4.53 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan E-E‟ sisi highwall ....97

Gambar 4.54 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan E-E‟ ...97

Gambar 4.55 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan E-E‟ sisi lowwall ...98

Gambar 4.56 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan E-E‟ ...99

Gambar 4.57 Grafik FK kondisi aktual sayatan E-E‟ ... .99

Gambar 4.58 Analisis kestabilan lereng sayatan F-F‟ sisi highwall... .100

Gambar 4.59 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan F-F‟ ...101

Gambar 4.60 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan F-F‟ sisi lowwall .... .102

Gambar 4.61 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan F-F‟ ...102

Gambar 4.62 Grafik nilai FK aktual sayatan F-F‟ ... .102

Gambar 4.63 Lereng highwall sayatan B-B‟ desain 2017 ... 104


(14)

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Jadwal kegiatan penelitian...5

Tabel 2.1 Kualitas batuan berdasarkan nilai RQD (Deere, 1963) ...20

Tabel 2.2 Pedoman memperkirakan faktor kerusakan (Hoek,2002) ...26

Tabel 2.3 Tingkat pelapukan batuan ...29

Tabel 2.4 Tingkat kekuatan batuan ...29

Tabel 2.5 Bentuk blok batuan ...30

Tabel 2.6 Jenis-jenis ketidakselarasan ...31

Tabel 2.7 Bentuk ketidakselarasan ...31

Tabel 2.8 Tingkat kekasaran...31

Tabel 2.9 Jenis material pengisi ...32

Tabel 2.10 Nilai parameter mi (Hoek,2001) ...33

Tabel 2.11 Penyebab longsor di beberapa tempat ...41

Tabel 2.12 Hubungan nilai FK dengan intensitas longsor (Bowles, 1989) ...47

Tabel 3.1 Alat dan bahan ...53

Tabel 3.2 Sumber data. ...54

Tabel 4.1 Tingkat pelapukan terhadap kedalaman ...77

Tabel 4.2Geometri lereng Pit 7 West B ...81


(16)

DAFTAR ISTILAH

Bench : jalan datar diantara 2 buah lereng.

Blasting : peledakan batuan pada lokasi tambang, untuk menghilangkan lapisan overburden.

Disposal : tempat penimbunan lapisan overburden hasil dari proses blasting.

Hauling Road : jalan utama yang digunakan sebagai jalur transportasi pengangkutan batubara, overburden, dan mobilitas LV tambang.

HD : High Dump (Truk pengangkut batubara atau material OB).

Highwall : lereng dengan kemiringan memotong perlapisan batuan. Load : beban muatan HD yang melintasi hauling road.

Lowwall : lereng dengan kemiringan searah perlapisan batuan. MA : million years ago (juta tahun yang lalu), kurun waktu

kejadian dalam skala waktu geologi.

Overburden : lapisan batuan selain batubara di lokasi penambangan, seperti batupasir, batulempung, serpih lempungan dan sebagainya.

Pit : lokasi penambangan batubara. Seam : perlapisan batubara.

Seismic load : gelombang yang dihasilkan dari proses blasting.

Sidewall : dinding lereng tambang yang di desain tegak lurus yang merupakan bagian sisi dari pit.

Sump : cekungan yang di desain untuk menampung air pada lokasi tambang dan berada di elevasi terendah.


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk Indonesia yang setiap tahunnya meningkat secara signifikan, menyebabkan peningkatan kebutuhan hidup. Upaya pemerintah untuk menyediakan kebutuhan terutama di sektor energi, yang memberikan sumbangan besar terhadap keberlangsungan pemenuhan kebutuhan berupa pasokan energi listrik dan bahan bakar fosil. Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam berupa hutan, batubara, gas bumi, panas bumi, flora dan fauna. Kekayaan alam yang dimiliki, seyogyanya bisa dimanfaatkan se-optimal mungkin agar tercapainya stabilitas energi nasional.

Sektor batubara merupakan penyumbang energi terbesar setelah migas, dengan menurunya harga jual migas dunia, yang mempengaruhi harga jual migas nasional menjadikan batubara sebagai energi alternatif pengganti bahan bakar minyak. Batubara dapat digunakan sebagai bahan bakar pembangkit generator listrik, bahan bakar kereta api dan industri lain yang membutuhkan pasokan batubara. Melimpahnya batubara di Indonesia, sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor batubara terbesar ke-3 di dunia dengan total cadangan 237.295 juta ton, setelah Cina dan Amerika Serikat (BP Statistical Review of World Energy, 2015)

PT. BUMA (Bukit Makmur Mandiri Utama) adalah perusahaan penambangan batubara yang berlokasi di Kalimantan Timur dan berdiri sejak 1998. Perusahaan ini menyediakan jasa kepada pemilik hak eksploitasi (owner) batubara di Indonesia meliputi semua proses, termasuk survey geologi dan perencanaan, pengangkatan lapisan, penambangan batubara, produksi, reklamasi serta rehabilitasi.

Proses penambangan batubara diawali dengan tahapan eksplorasi, eksploitasi dan rehabilitasi. Proses eksplorasi merupakan tahapan pencarian lokasi yang memiliki potensi sumber daya yang potensial untuk dilakukan penambangan, sedangkan proses eksploitasi adalah pengambilan sumber daya dari lokasi sumber ditemukanya menuju ke lokasi pengolahan yang kemudian


(18)

akan di distribusikan ke pasar atau industri yang membutuhkanya. Rehabilitasi memiliki peranan yang penting agar lahan bekas penambangan menjadi lahan yang tetap dapat ditumbuhi oleh vegetasi seperti sebelum dilakukan penambangan.

Penambangan batubara khususnya pada tahap eksploitasi, harus memperhatikan tingkat kestabilan lereng tambang demi terciptanya lingkungan penambangan yang aman dan kondusif. Tingkat kestabilan lereng tambang sendiri dapat diketahui setelah dilakukan penyelidikan geoteknik yang meliputi pengeboran geoteknik, pengujian sifat fisik dan sifat mekanik batuan. Lereng dinyatakan stabil apabila memenuhi kriteria Bowles (1989) yang menyatakan bahwa lereng dengan nilai FK>1,25 berada pada kondisi stabil/aman. Kestabilan lereng tambang dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal meliputi kondisi massa batuan, desain tambang yang digunakan dan kondisi geologi lokasi penambangan, sedangkan faktor eksternal meliputi intensitas curah hujan dan tingkat pelapukan. Penelitian ini memberikan gambaran mengenai kondisi geologi di lokasi penambangan, dengan menekankan pada aspek kestabilan lereng dinding lowwall dan highwall pada kondisi aktual dan rencana desain tambang pada tahun 2017. Analisis kestabilan lereng ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap desain penambangan yang paling optimal untuk digunakan serta memberikan gambaran mengenai kondisi dari masing-masing lereng, sehingga dapat dilakukan tindakan lebih lanjut untuk meminimalkan resiko terjadinya kecelakaan operasional yang dapat merugikan perusahaan.

1.2Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan memiliki tujuan :

1. Mengetahui kondisi geologi lokasi penambangan. 2. Mengetahui tingkat kestabilan lereng tambang.

3. Mengetahui desain lereng tambang yang paling optimal untuk dikembangkan.


(19)

4. Mengetahui langkah-langkah untuk meningkatkan kestabilan lereng tambang.

1.3Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada :

1. Mahasiswa yang sedang belajar atau melakukan penelitian tentang kestabilan lereng dinding tambang sehingga dapat digunakan sebagai referensi atau literatur yang dapat menambah wawasan dan daftar pustaka. 2. Masyarakat ataupun pihak yang sedang membaca penelitian ini, sehingga

dapat mengetahui potensi sumber daya yang berada di wilayah Tanjung Redeb, Berau, Kalimantan Timur

3. Instansi tempat dilakukanya penelitian yaitu PT. BUMA khususnya departemen engineering dengan mempertimbangkan hasil analisis faktor keamanan, sehingga dapat dilakukan penyesuaian desain tambang yang paling optimal untuk digunakan.

1.4Perumusan Masalah 1.4.1 Rumusan Masalah

1. Terjadinya kasus longsoran di lereng pertambangan mengakibatkan terhentinya aktivitas penambangan.

2. Segi keamanan lokasi penambangan menjadi prioritas utama demi tercapainya Zero Harm (kondisi tidak terjadi/meminimalkan kecelakaan yang bisa merugikan perusahaan).

3. Desain tambang yang optimal dapat memberikan hasil produksi maksimal tanpa mengesampingkan segi keamanan pada lingkungan penambangan.

1.4.2 Batasan Masalah

Batasan permasalahan dalam penelitian tugas akhir ini adalah :

1. Lokasi penelitian dilakukan pada Pit 7 West B tambang batubara PT.BUMA site Binungan, Kalimantan Timur.


(20)

2. Window mapping dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui gambaran kondisi di lapangan secara cepat dan efektif.

3. Analisis kestabilan lereng dilakukan dengan parameter dari data hasil pengeboran yang merupakan data sekunder, sedangkan untuk data primer berupa kondisi batuan di lapangan meliputi: jenis litologi, stratigrafi lapisan, arah strike/dip, struktur geologi dan persebaran batuan.

4. Kriteria keruntuhan yang digunakan dalam analisis kestabilan lereng adalah Hoek dan Brown (1989).

5. Analisis kestabilan lereng menggunakan permodelan dengan software Rockscience Slide 6.

6. Nilai faktor keamanan yang dianggap aman adalah FK>1,25 (Bowles, 1989).

1.5Ruang Lingkup Penelitian 1.5.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada Pit 7 West B tambang batubara PT. BUMA site Binungan, Berau, Kalimantan Timur (Gambar 1.1, halaman 5) pada lereng lowwall dan highwall, untuk menuju ke lokasi dapat menggunakan transportasi udara dari Bandara Adi Sucipto Yogyakarta menuju Bandara Sepinggan, Balikpapan dengan waktu tempuh selama 3 jam, kemudian dilanjutkan kembali dengan transportasi udara menuju ke Bandara Kalimarau, Berau dengan waktu tempuh selama 1,5 jam, selanjutnya perjalanan dilanjutkan dengan transportasi darat menuju ke site penambangan dengan waktu selama 30 menit.

1.5.2 Waktu Penelitian

Rentang waktu penelitian dilakukan selama 2 bulan dimulai pada bulan Desember 2016 dan berakhir pada akhir bulan Februari 2017, untuk rincian waktu penelitian beserta jadwal kegiatan dapat dilihat pada Tabel 1.1 halaman 5.


(21)

Tabel 1.1 Jadwal kegiatan penelitian

Kegiatan

Bulan

Desember 2016 Januari 2017 Februari 2017

Minggu ke- III IV I II III IV I II

Tahap Pendahuluan (Studi literatur)

Tahap Pengambilan Data Lapangan Tahap Pengolahan Data

Pembuatan Laporan dan Presentasi

PETA ADMINISTRASI LOKASI PENELITIAN

Gambar 1.1 Peta administrasi lokasi penelitian

1.6Penelitian Terdahulu

Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya pada daerah sekitar lokasi penelitian, seperti pada Tabel 1.2 halaman 6.


(22)

Tabel 1.2 Penelitian terdahulu

No Judul Peneliti Tujuan Metode Hasil

1 Peta Geologi Berau, Kalimantan Timur Situmorang dan Burhan (1995) Mengetahui kondisi geologi daerah penelitian Pemetaan Geologi Peta Geologi daerah sekitar Berau, Kalimantan Timur 2 Analisis struktur

geologi Suaran, Berau, Kalimantan Timur

PT. Indra Geodia (1996) Mengetahui struktur geologi daerah penelitian Interpretasi liniasi dari SAR dan posisi perlapisan, pengamatan pola struktur Struktur geologi berupa lipatan, formasi pembawa batubara, struktur breksiasi pada jalur sesar 3 Analisis kestabilan

lereng Pit 7 West

PT.Berau Coal

Mengetahui tingkat kestabilan lereng Pit 7 West Bishop, Circular Failure, Counter Weight, Rocscience Slide 6

Nilai FK lereng

4 Analisis kestabilan lereng Pit 7 West

PT. BUMA Mengetahui tingkat kestabilan lereng Pit 7 West Bishop, Circular Failure, Sidecase, Rocscience Slide 6

Nilai FK lereng


(23)

1.7Kerangka Pikir Penelitian

Kerangka pikir dalam penelitian yang dilakukan, seperti pada Gambar 1.2 di bawah ini.

Gambar 1.2 Kerangka pikir penelitian Kawasan Berau merupakan

bagian dari Cekungan Tarakan yang masuk kedalam Sub-Cekungan Berau dengan Formasi Latih yang terdapat sumberdaya batubara

Penambangan batubara di kabupaten Berau dikerjakan oleh beberapa kontraktor tambang, salah satunya PT.BUMA BINSUA

Longsor yang terjadi pada lokasi penambangan dapat menghambat operasional penambangan dan kecelakaan yang merugikan pihak perusahaan

Diperlukan adanya analisis untuk mengetahui tingkat kestabilan lereng dinding tambang, untuk meminimalkan terjadinya resiko kecelakaan akibat longsornya dinding tambang

Pemetaan geologi Pemetaan geologi teknik

Peta geologi, permodelan lereng tambang

Peta geoteknik, massa batuan, GSI, density, sudut geser dalam, dan kohesi

Analisis Kestabilan Lereng menggunakan Software Rocscience Slide 6

- Mengetahui tingkat kestabilan lereng dinding tambang - Merekomendasikan langkah untuk meningkatkan


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional Daerah Penelitian 2.1.1 Fisiografi Cekungan Tarakan

Cekungan Tarakan merupakan salah satu dari 3 (tiga) Cekungan Tersier utama yang terdapat di bagian timur continental margin Kalimantan dari utara ke selatan: Cekungan Tarakan, Cekungan Kutai dan Cekungan Barito, yang dicirikan oleh hadirnya batuan sedimen klastik sebagai penyusunnya yang dominan, berukuran halus sampai kasar dengan beberapa endapan karbonat. Fisiografi, Cekungan Tarakan meliputi kawasan daratan dan sebagianya lagi kawasan lepas pantai, di bagian utara dibatasi oleh tinggian Semporna yang terletak sedikit ke utara antara perbatasan Indonesia-Malaysia, di sebelah selatan oleh Punggungan Mangkalihat yang memisahkan Cekungan Tarakan dengan Cekungan Kutai, kearah barat dari cekungan meliputi kawasan daratan sejauh 60 sampai 100 km dari tepi pantai hingga Tinggian Kuching, ke arah timur batas cekunganya melewati kawasan paparan benua dari Laut Sulawesi.

Cekungan Tarakan adalah daerah rendahan di sebelah utara Cekungan Kutai di bagian timur Pulau Kalimantan yang bersama dengan berbagai cekungan lainnya menjadi pusat pengendapan sedimen dari bagian timur laut Sundaland selama zaman Kenozoikum (65,5-0,01 MA) . Batas Cekungan Tarakan di bagian barat dibatasi oleh lapisan Pra-Tersier Tinggian Kuching dan dipisahkan dari Cekungan Kutai oleh kelurusan timur-barat Tinggian Mangkalihat seperti yang terlihat pada Gambar 2.1 halaman 9.

Proses pengendapan Cekungan Tarakan di mulai dari proses pengangkatan. Transgresi yang diperkirakan terjadi pada Kala Eosen sampai Miosen Awal (23-16 MA) bersamaan dengan terjadinya proses pengangkatan gradual pada Tinggian Kuching dari barat ke timur. Pada Kala Miosen Tengah (16-11,6 MA) terjadi penurunan (regresi) pada Cekungan Tarakan, yang dilanjutkan dengan terjadinya pengendapan


(25)

progradasi ke arah timur dan membentuk endapan delta, yang menutupi endapan prodelta dan batial. Cekungan Tarakan mengalami proses penurunan secara lebih aktif lagi pada Kala Miosen sampai Pliosen (23-2,6 MA). Proses sedimentasi delta yang tebal relatif bergerak ke arah timur terus berlanjut selaras dengan waktu.

Gambar 2.1 Cekungan Tarakan Kalimantan Timur

(Sumber: Core-Lab G&G Eva luation Simenggaris Block dengan modifikasi, 2009).

Cekungan Tarakan berupa depresi berbentuk busur yang terbuka ke timur ke arah Selat Makasar atau Laut Sulawesi yang meluas ke utara Sabah dan berhenti pada zona subduksi di Tinggian Semporna dan merupakan cekungan paling utara di Kalimantan. Tinggian Kuching dengan inti lapisan Pra-Tersier (145-65,5 MA) terletak di sebelah baratnya, sedangkan batas selatannya adalah Ridge Suikersbood dan Tinggian Mangkalihat.

Ditinjau dari fasies dan lingkungan pengendapannya, Cekungan Tarakan terbagi menjadi empat sub cekungan, yaitu Tidung Sub-basin, Tarakan Sub-basin, Muara Sub-basin dan Berau Sub-basin.

1. Tidung Sub-basin: Terletak paling utara dan untuk sebagian besar berkembang di daratan, terisi sedimen berumur Oligosen sampai Miosen Akhir (33,9-5,3 MA). Dipisahkan dengan Berau sub-basin di bagian selatan oleh Sekatak Ridge.


(26)

2. Berau Sub-basin: Terletak pada bagian selatan dan sebagian besar berkembang di daratan. Terisi oleh sedimen berumur Eosen Akhir sampai Miosen Akhir (55,8-5,3 MA).

3. Tarakan Sub-basin: Terletak pada bagian tengah dan merupakan sub cekungan paling muda. Perkembangan paling utara ke arah lepas pantai dan terisi dengan Formasi Tarakan-Bunyu yang berumur Miosen Akhir (11,6-5,3 MA).

4. Muara Sub-basin merupakan deposenter paling selatan dan perkembangan sedimennya ke arah lepas pantai di utara Tinggian Mangkalihat. Muara Sub-basin dipisahkan dengan Berau sub-basin, di utaranya oleh Suikerbrood Ridge, yaitu suatu Tinggian yang berarah Barat-Timur.

2.1.2 Kondisi Geologi Sub Cekungan Berau

Daerah Binungan terletak pada Cekungan Tarakan, salah satu dari 3 cekungan utama di mandala Kalimantan Timur yang terbentuk pada kurun Tersier. Cekungan Tarakan terdiri dari empat anak cekungan (sub-basin) yaitu : Tidung, Tarakan, Muras dan Berau.

Daerah Binungan termasuk dari Cekungan Berau yang merupakan anak cekungan (sub basin) dari Cekungan Tarakan, yang terletak pada pantai Timurlaut Kalimantan Timur dan sebagian kecil berada di bagian Tenggara Sabah. Luas cekungan seluas 300 km2 arah Utara-Selatan dan 150 km2 arah Timur-Barat. Bagian Selatan dibatasi oleh Tinggian Mangkalihat yang merupakan pemisah antara Cekungan Tarakan dan Cekungan Kutai, di bagian Utara oleh Tinggian Kalimantan Utara (Malaysia), di sebelah Barat oleh Tinggian Sekatak dan dibagian Selatan dan Anak Cekungan Tidung di bagian Utara seperti Gambar 2.2 halaman 11.


(27)

Gambar 2.2 Peta Geologi Daerah sekitar Berau, Kalimantan Timur (Situmorang dan

Burhan, 1995 dengan modifikasi).

Secara umum, geologi daerah Binungan terbentuk dari batuan Formasi Latih atau dikenal juga sebagai Formasi Lati. Batuannya berupa sedimen deltaik yang terdiri dari fraksi klastik halus serta lapisan batubara, dengan ketebalan bervariasi mulai dari <1 meter sampai dengan 8 meter. Data hasil pemboran eksplorasi menunjukkan dominasi batuan sedimen secara berurutan adalah batulanau, batulempung, batupasir, dan batubara. Pada beberapa lokasi yang relatif sempit, kadang terbentuk ”channel system”, yakni hilangnya lapisan fraksi halus atau batubara digantikan oleh lapisan batupasir.

a) Struktur Geologi

Analisis struktur yang diperoleh dari rangkuman hasil penelitian PT. Indera Geodia tahun 1996 (interpretasi liniasi dari SAR dan posisi perlapisan) dan hasil pengamatan pola struktur terhadap daerah yang baru dibuka, khususnya di daerah kupasan rencana jalan ke Suaran.


(28)

Struktur lipatan yang terbentuk di daerah Binungan terdiri dari: 1. Sinklin Binungan

Dengan arah Utara yang membentuk sayap (Timur dan Barat) relatif simetris dengan kemiringan 100-120, mendekati Sungai Binungan, sinklin ini menunjam secara landai.

2. Antiklin Rantau

Arah Utara-Barat Laut, dimulai dari sebelah Utara Sungai Berau sampai Binungan Selatan. Sayap Barat Daya dengan kemiringan 500-700 sedangkan sayap Timur Laut dengan memiliki kemiringan 100-120.

3. Sinklin Suaran

Sinklin Suaran membentuk lipatan terbuka dengan bentuk sayap relatif simetris dan menunjam ke arah Barat Laut dengan kemiringan 100-300. Terdapat dua struktur sesar yang terjadi di daerah Binungan ini, yaitu Sesar Binungan dan Sesar Kelay yang merupakan sesar ikutan (secondary fault). Sesar Binungan merupakan sesar utama memanjang 5 km dengan arah Barat Laut-Tenggara, sesar ini merupakan tipe sesar gunting (scissors-type fault). Daerah Barat diinterpretasi sebagai sesar naik relatif terhadap bagian Timur, hal ini didasarkan data sebagai berikut :

Pengulangan berupa lapisan datar dari formasi pembawa batubara (coal measures) dengan penampakan kedua kemiringan lapisan kearah Barat dengan batas bagian Selatan dari sesar.

1. Adanya kenampakan pelurusan (lineament)

2. Ditemukan material terbreksikan (breciated) dengan komponen batugamping dan batupasir pada jalur sesar 3. Terdapat kemiringan relatif besar dekat zona sesar

Sesar Kelai berarah Timur-Barat dengan pergeseran (throw) sekitar 30 m. Sesar ini diintepretasikan sebagai sesar naik dimana daerah Utara sesar bergerak naik relatif terhadap daerah Selatan.


(29)

b) Stratigrafi

Secara regional, daerah Sub-Cekungan Berau merupakan bagian dari Cekungan Tarakan dan tersusun oleh batuan sedimen, batuan vulkanik dan batuan beku dengan kisaran umur dari Tersier sampai Kwarter (65,5-0,01 MA). Formasi yang menyusun stratigrafi Anak Cekungan Berau terdiri dari 4 (empat) formasi utama. Urutan dari yang tertua yaitu Formasi Birang (Formasi Globigerina Marl), Formasi Latih (Formasi Batubara Berau), Formasi Labanan (Formasi Domaring) dan Formasi Sinjin seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.3 halaman 14.

1. Formasi Birang

Tersusun dari perselingan antara napal, batu gamping, tufa hablur di bagian atas, serta perselingan antara napal, rijang, konglomerat, batupasir kwarsa, dan batugamping di bagian bawah. Napal kelabu, kompak, mengandung foraminifera besar terutama orbituid. Konglomerat kompak, tersusun dari batuan beku, kwarsa dan kwarsit berukuran kerikil, membulat tanggung sampai menyudut tanggung dengan matriks berupa pasir berbutir halus sampai kasar. Batupasir kwarsa, kelabu-coklat kekuningan, berbutir halus-sedang, membundar tanggung, kompak, berlapis baik sampai dua meter, mengandung mineral kwarsa, mineral bijih, fragmen batuan dan mineral hitam. Batugamping, berwarna putih, sangat kompak, berlapis baik dan berselang-seling dengan batupasir kwarsa yang mengandung foraminifera besar dan kecil yang sangat berlimpah.


(30)

Formasi ini disebut juga Formasi Globigerina Marl yang berumur Oligo-Miosen (33,9-5,3 MA) dan diendapkan di lingkungan laut dangkal. Ketebalan formasi ini lebih dari 110 meter.

Gambar 2.3 Stratigrafi daerah Berau Kalimantan Timur (Situmorang dan Burhan, 1995 dengan

modifikasi).

2. Formasi Latih ( disebut juga Formasi Lati)

Formasi Latih tersusun dari perselingan antara batupasir kwarsa, batulempung, batulanau dan batubara di bagian atas, dan bersisipan dengan serpih pasiran dan batugamping di bagian bawah. Batupasir kwarsa, berwarna kelabu muda,


(31)

coklat kekuningan, hingga ungu, berbutir halus hingga kasar, membulat tanggung hingga menyudut, berlapis baik, selang-seling dengan batulempung berwarna kelabu hingga kehitaman dan terdapat sisa tumbuhan.

Batulanau, berwarna kelabu kekuningan, berselingan dengan batupasir kwarsa, umumnya tidak gampingan. Batubara, berwarna coklat-hitam, selang-seling dengan batupasir kwarsa dan batulempung, tebal dari beberapa centimeter hingga 5,5 meter. Serpih pasiran, berwarna coklat kemerahan, berbutir halus sampai sedang. Batugamping merupakan sisipan di bagian bawah, berwarna putih, sangat kompak dan berlapis baik. Ketebalan Formasi Latih kurang lebih 600 m (Klompe, 1941). Umur Miosen Tengah dan diendapkan pada lingkungan delta, estuarin dan laut dangkal.

Formasi ini menjemari dengan atas Formasi Birang. Nama lain dari formasi ini adalah Formasi Batubara Berau (Klompe, 1941). Sebagai lapisan pembawa batubara (coal bearing), Formasi Latih cukup luas sebarannya, meliputi sebagian besar wilayah KPPT Berau Coal, termasuk daerah Binungan, yang dibagi menjadi blok 1-4, 5, 6 dan blok 7. Berdasarkan kedudukan posisi stratigrafinya Formasi Latih dibagi menjadi dua yaitu :

a. Formasi Latih bagian atas yang terbentuk dari pengulangan pengendapan (selang seling) yang terdiri dari satuan: batupasir kwarsa, batu lanau, batu lempung dan batubara (Klompe, 1941).

b. Formasi Latih bagian bawah, terbentuk dari sisipan serpih pasiran dan batugamping. Batugamping berwarna putih, sangat kompak dan berlapis baik dengan ketebalan 600 meter, berumur Miosen Tengah (16-11,6 MA). Umumnya batuan tersebut diendapkan pada


(32)

lingkungan delta, estuarin sampai laut dangkal. Formasi Latih bagian bawah ini menjemari dengan bagian atas Formasi Birang (Klompe, 1941).

3. Formasi Labanan

Formasi Labanan tersusun dari perselingan konglomerat, batupasir, batulanau,batulempung dengan sisipan batugamping dan batubara. Konglomerat, terdiri dari fragmen batuan beku (andesit, basalt) kwarsa, kwarsit, berukuran kerikil, membundar tanggung-menyudut tanggung, matriks tersusun dari pasir halus-kasar. Batupasir, berwarna kelabu-coklat, kompak, berbutir halus sampai sedang, gampingan, fragmen terdiri dari batuan beku, kwarsa dan mineral bijih.

Batulanau, berwarna kelabu kotor, kompak, mengandung sisa tumbuhan, perlapisan kurang baik. Batulempung, berwarna kelabu kehijauan, mengandung sisa tumbuhan dan fosil moluska. Batugamping, berwarna putih-kecoklatan, pasiran, kompak, berlapis baik. Batubara berwarna coklat-kehitaman, tebal di bagian atas hanya beberapa centimeter, sedangkan di bagian bawah mencapai 1,5 meter. Tebal Formasi Labanan lebih kurang 450 meter, umur Miosen Akhir (11,6-53 MA) dan terletak secara tidak selaras di atas Formasi Latih. Lingkungan pengendapannya adalah fluviatil. Nama lain dari Formasi Labanan ini adalah Formasi Domaring (Klompe, 1941).

4. Formasi Sinjin

Formasi ini tersusun dari perselingan tuf, aglomerat, tuf lapili, lava andesit piroksen, tuf terkersikan, batulempung tufaan dan kaolin. Tuf berwarna putih kecoklatan-ungu, berbutir halus, lunak-kompak, berselingan dengan aglomerat dan tuf lapili, berwarna kelabu kehijauan, kehitaman, mengandung andesit dan basalt. Lava andesit piroksen menunjukkan struktur


(33)

aliran. Tuf terkersikan berwarna coklat muda-ungu, berlapis baik, berbutir sangat halus, mengandung mineral kwarsa, feldspar dan mineral hitam. Batulempung tufaan, kelabu kotor-kelabu kecoklatan, kompak, berlapis buruk, mengandung sisa tumbuhan. Tebal formasi ini lebih dari 500 meter, umurnya diduga Pliosen (5,3-2,6 MA) dan terletak secara tidak selaras di atas Formasi Labanan (Klompe, 1941).

2.2 Rock Quality Designation (RQD)

RQD (Rock Quality Designation)merupakan metode untuk memperkirakan kualitas dari massa batuan secara kuantitatif. RQD didefinisikan sebagai persentase dari perolehan inti bor (cor e) yang secara tidak langsung didasarkan pada jumlah bidang lemah dan jumlah bagian yang lunak dari massa batuan yang diamati dari inti bor (core), hanya bagian yang utuh dengan panjang lebih besar dari dua kali diameter inti yang dijumlahkan kemudian dibagi panjang total pengeboran (core run). RQD (Rock Quality Designation) dihitung dari data pemboran dengan menggunakan rumus (Deere, 1963).

� =Ʃ Panjang batuan inti > 2 � � � �

Panjang total inti batuan yang didapat × 100%

(2.1) Keuntungan dalam penggunaan RQD ialah pengerjaan yang sederhana, hasil yang diinginkan cepat diperoleh dan biaya murah. RQD merupakan petunjuk kualitas batuan yang mempertimbangkan tingkat pelapukan, lunak, hancur dan terkekarkan sebagai bagian dari suatu massa batuan. Hubungan antara nilai RQD dan kualitas massa batuan dapat dilihat pada Tabel 2.1 halaman 18.


(34)

Tabel 2.1 Kualitas batuan berdasarkan nilai RQD (Deere, 1963). Kualitas Batuan RQD (%)

Sangat buruk Buruk

Sedang Baik

Sangat baik

0-25 25-50 50-75 75-90 90-100

Metode langsung digunakan dalam perhitungan nilai RQD apabila tersedia data core logs. Selama pengukuran panjang core pieces, harus dilakukan pada sepanjang garis tengahnya. Inti bor yang retak ataupun pecah akibat aktivitas pemboran maka digabungkan dan dihitung sebagai satu batuan utuh. Inti bor yang mengalami pecah dikarenakan proses alami maka tidak diperhitungkan pada perhitungan RQD seperti pada Gambar 2.4.

Panjang total pengeboran (core run) = 100 cm RQD = panjang core >2 �

panjang core total X 100% RQD = 28+11+20+25

100 X 100% RQD = 84 %


(35)

2.3 Massa Batuan

Hoek (2009), massa batuan merupakan susunan dari sistem blok-blok batuan utuh yang dipisahkan oleh bidang-bidang diskontinuitas yang masing-masing saling bergantung sebagai sebuah kesatuan unit yang berupa joint, bidang perlapisan dan patahan. Massa batuan dibentuk dengan adanya diskontinuitas, tegangan overburden danperubahan akibat proses pelapukan (Hunt, 2007). Pada Gambar 2.5 di bawah menjelaskan bahwa konsep dasar dari massa batuan berasal dari batuan utuh yang memiliki sifat homogen dan kemudian adanya bidang diskontinuitas membuat kekuatan massa batuan menjadi berkurang.

Gambar 2.5 Konsep dasar massa batuan (Wylie dan Mah, 2004).

Adanya bidang diskontinuitas ini membedakan kekuatan massa batuan dengan kekuatan batuan utuh atau intact rock. Massa batuan akan memiliki kekuatan yang lebih kecil dibandingkan dengan batuan utuh. Variasi yang besar dalam hal komposisi dan struktur dari batuan serta sifat dan keberadaan bidang diskontinuitas yang memotong batuan akan membawa komposisi dan struktur yang kompleks terhadap suatu massa batuan.

Menurut Hoek dan Brown (1980), sifat atau karateristik massa batuan dapat menentukan dalam pekerjaan penggalian seperti terowongan dan lereng. Kekuatan massa batuan, kuat geser, kekuatan batuan utuh dan


(36)

perilaku tegangan-regangan batuan menjadi parameter penting dalam perhitungan desain, kegiatan pemboran dan peledakan dalam suatu pertambangan.

2.4 Bidang Diskontinuitas

Secara umum bidang diskontinuitas merupakan bidang yang membagi massa batuan menjadi bagian-bagian yang terpisah. Menurut Wyllie dan Mah (2004), bidang diskontinuitas dapat berupa bidang perlapisan, joint ataupun patahan. Bidang diskontinuitas dapat mempengaruhi kuat geser batuan termasuk bentuk dan tingkat kekasaran permukaan batuan.

Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa bidang diskontinuitas terbentuk karena tegangan tarik yang terjadi pada batuan. Hal ini yang membedakan antara diskontinuitas alami yang terbentuk oleh peristiwa geologi atau geomorfologi, dengan diskontinuitas artifisial yang terbentuk akibat aktivitas manusia misalnya pemboran, peledakan dan proses pembongkaran material batuan. Menurut Brady dan Brown (2004), struktur diskontinuitas pada batuan disebut sebagai struktur batuan sedangkan batuan yang tidak pecah disebut sebagai material batuan yang bersama struktur batuan, membentuk massa batuan.

Beberapa macam bidang diskontinuitas sebagai berikut (Brady dan Brown, 2004):

1. Fault ataupatahan

Fault atau patahan adalah bidang diskontinuitas yang secara jelas memperlihatkan tanda-tanda bidang tersebut mengalami pergerakan. Tanda-tanda tersebut diantaranya adalah adanya zona hancuran maupun slickenside atau jejak yang terdapat disepanjang bidang fault. Fault dikenal sebagai weakness zone karena akan memberikan pengaruh pada kestabilan massa batuan dalam wilayah yang luas.

2. Joint atau kekar

Joint adalah bidang diskontinuitas yang terbentuk secara alami tanpa ada tanda-tanda pergeseran yang terlihat. Kelompok joint yang sejajar


(37)

disebut joint set dan saling berpotongan membentuk joint system.

Joint berdasarkan lokasi terjadinya atau tempat terbentuknya dapat dikelompokkan menjadi :

a) Foliation joint adalah bidang diskontinuitas yang terbentuk sepanjang bidang foliasi pada batuan metamorf.

b) Bedding joint adalah bidang diskontinuitas yang terbentuk sepanjang bidang perlapisan pada batuan sedimen.

3. Fold atau Lipatan

Lipatan adalah bidang diskontinuitas pada batuan yang terbentuk karena batuan mengalami deformasi sehingga terlipat. Lipatan dapat berskala luas ataupun lokal. Selama proses perlipatan, tegangan dan tekanan dapat meningkat sehingga dapat mengurangi kuat geser batuan. 4. Crack

Crack adalah bidang diskontinuitas yang berukuran kecil atau tidak menerus. Crack untuk menjelaskan pecahan atau crack yang terjadi pada saat pengujian batuan, peledakan dan untuk menjelaskan mekanisme pecahnya batuan.

5. Rupture

Rupture adalah pecahan atau bidang diskontinuitas yang terjadi karena proses ekskavasi atau pekerjaan manusia yang lain.

6. Fissure

Fissure adalah bidang diskontinuitas yang berukuran kecil, terutama yang tidak terisi atau terbungkus oleh material isian.

7. BeddingPlane

Merupakan istilah untuk bidang perlapisan pada batuan sedimen. Bedding terdapat pada permukaan batuan yang mengalami perubahan ukuran dan orientasi butir dari batuan tersebut serta perubahan mineralogi yang terjadi selama proses pembentukan batuan sedimen. Bidang perlapisan dapat mengurangi kuat geser.


(38)

8. Shear Zone

Shear Zone adalah bidang pergeseran yang berisi material hancuran akibat tergerus oleh pergerakan kedua sisi massa batuan dengan ukuran celah yang lebih lebar dari kekar. Ketebalan material hancuran yang berupa batu atau tanah ini bervariasi dari ukuran milimeter sampai meter.

9. Cleat

Cleat merupakan rekahan pada lapisan batubara dengan arah memotong dan searah dengan lapisan batubara.

10.Vein

Vein merupakan bidang diskontinuitas yang berupa material atau mineral yang mengisi celah pada batuan. Vein dapat berupa batuan beku akibat proses mineralisasi. Vein dapat menambah kekuatan massa batuan dan dapat mengurangi kekuatan batuan.

2.5 Geological Strength Index (GSI)

Dalam penggunaan Kriteria Keruntuhan Hoek-Brown, GSI merupakan hal paling penting dimana merepresentasikan kekuatan batuan dan deformasi dari hasil laboratorium dan pengamatan di lapangan (Hoek, 1998). Kekuatan massa batuan terkekarkan tergantung kepada sifat/kekuatan batuan yang utuh dan juga kepada bebas atau tidaknya blok-blok batuan yang menyusun massa batuan tersebut untuk meluncur dan berotasi di bawah kondisi tegangan yang berbeda. Hal tersebut dikontrol oleh bentuk geometri dari blok-blok batuan tersebut. Suatu blok batuan yang menyudut dengan bidang permukaan kasar akan mempunyai kekuatan massa batuan yang lebih besar dibandingkan dengan blok batuan yang membundar dan bidang permukaannya terlapukan.

GSI diperkenalkan oleh Hoek dkk (1995) ditujukan untuk memperkirakan berkurangnya kekuatan suatu massa batuan yang disebabkan oleh kondisi geologi yang berbeda. Menurut Marinos dkk (2005), GSI menggambarkan pengklasifikasian massa batuan dengan


(39)

parameter yaitu litologi, kondisi diskontinuitas, struktur diskontinuitas, bentuk massa batuan yang merepresentasikan proses geologi yang terjadi.

Pada Gambar 2.6 di bawah menjelaskan bahwa Joint Condition menurut Bieniawski (1989) merepresentasikan permukaan diskontinuitas dan Rock Quality Designation menunjukkan spasi diskontinuitas. Menurut Hoek dkk (2013) hubungan antara GSI, Joint Condition dan RQD dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :

GSI = 1,5 Jcond + RQD/2 ………...(2.2)


(40)

2.6 Faktor Kerusakan (Disturbance F actor)

Nilai D merupakan faktor kerusakan yang tergantung derajat kerusakan massa batuan yang disebabkan oleh peledakan maupun pelepasan tegangan. Dalam desain suatu lereng pada tambang terbuka dengan kriteria Hoek-Brown dengan asumsi massa batuan insitu tidak terganggu (undisturb in-situ rock masses) dimana D=0 adalah terlalu optimistis (Hoek, 2002). Kerusakan massa batuan dapat disebabkan oleh peledakan dan pelepasan tegangan (stress release) akibat lepasnya overburden, oleh karena itu harus dipertimbangkan adanya faktor untuk mempertimbangkan tingkat kerusakan massa batuan akibat proses tersebut, untuk mengakomodasi hal tersebut, Hoek (2002) memperkenalkan faktor kerusakan massa batuan/disturbance factor (D) yang merupakan nilai tingkat kerusakan massa batuan yang diakibatkan oleh peledakan maupun pelepasan tegangan. Pedoman untuk menentukan besaran nilai D disajikan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Pedoman untuk memperkirakan faktor kerusakan (Hoek, 2002).

Massa Batuan Deskripsi Massa Batuan Nilai D

Kualitas peledakan yang sangat baik atau pengeboran menggunakan alat bor terowongan yang menghasilkan kerusakan minimum massa batuan di sekitar terowongan

D = 0

Penggalian mekanik pada massa batuan lemah (tanpa peledakan) menghasilkan gangguan minimal.

Penggalian lubang bukaan tambang menghasilkan pengangkatan lantai yang jelas, sehingga gangguan bisa sangat besar.

D = 0 D = 0.5


(41)

Massa Batuan Deskripsi Massa Batuan Nilai D

Kualitas peledakan yang buruk pada terowongan batuan keras, tingkat kerusakan lokal besar, berpengaruh 2 sampai 3 m massa batuan sekitarnya.

D = 0,8

Pengaruh peledakan skala kecil pada lereng, mengakibatkan kerusakan menengah pada massa batuan.

D = 0,7 (Peledakan

Baik)

D = 1,0 (Peledakan

Buruk) Kemiringan lereng tambang terbuka

yang sangat besar, mengalami gangguan yang besar karena hasil peledakan dan juga karena pengaruh dari pemindahan overburden.

Pada beberapa batuan lemah, penggalian dapat dilakukan dengan menggaruk dan mendorong dengan alat mekanik, dan mengakibatkan tingkat kerusakan yang kecil pada lereng.

D = 1,0 (Peledakan

Produksi)

D = 0,7 (Penggalia

n Mekanik)

Penentuan nilai D (Disturbance Factor), juga perlu memperhatikan luasan daerah yang terkena efek dari peledakan (Hoek, 2012). Pada lereng yang akan dianalisis, tidak semua daerah akan terkena dampak dari peledakan atau dengan kata lain nilai D tidak dapat disamaratakan. Daerah tersebut dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu Disturbed Rock Mass dan Undisturbed Rock Mass Gambar 2.7 halaman 26. Cara perhitungan menurut Hoek dan Karzulovic (2000), dapat dinyatakan sebagai berikut :

T =1,5 x H

……….

(2.3)


(42)

Gambar 2.7 Representasi antara Undisturbed Rockmass dan Blasted Rock

(Hoek dan Karzulovic, 2000).

2.7 Window Mapping

Pemetaan geoteknik merupakan metode dalam mendapatkan gambaran kondisi lapangan, dalam assessment geoteknik dan pit tambang. Menurut Wyllie dan Mah (2004), terdapat beberapa metode yang umum dipakai antara lain scanline mapping dan window mapping. Metode-metode ini dapat dilakukan di lereng tambang baik highwall maupun lowwall. Highwall merupakan lereng terjal yang arah kemiringannya memotong atau tegak lurus dari bidang perlapisan batubara sedangkan lowwall merupakan lereng landai yang arah kemiringannya sejajar dengan bidang perlapisan batubara (Swana dkk, 2012). Tujuan dilakukannya geotechnical mapping yaitu untuk mengumpulkan data antara lain :

1. Kehadiran, karakteristik dan keberagaman bidang diskontinuitas seperti bedding, kekar maupun patahan di lereng tambang.

2. Keberagaman karakteristik dan kekuatan massa batuan pada lereng tambang.

3. Kondisi massa batuan (pelapukan, kekuatan, kekar, bentuk blok, GSI). Hal-hal yang dimasukkan dalam Window Mapping antara lain lokasi mapping, koordinat, elevasi dan orientasi lereng. Parameter yang dihitung antara lain (Australian Standard, 2005) :


(43)

1. Deskripsi Massa Batuan, yang terdiri dari tingkat pelapukan, tingkat kekuatan, bentuk blok batuan, jumlah set discontinuity.

Untuk pedoman dalam deskripsi massa batuan sebagai berikut seperti pada Tabel 2.3-2.5 halaman 27-28 :

Tabel 2.3 Tingkat pelapukan batuan (Australian Standard, 2005) Pelapukan

Kode Istilah Pengertian

RS Tanah residu Tanah terbentuk pada batuan yang sangat lapuk, struktur dan material penyusunya massa batuan sudah tidak diketemukan XW Sangat lapuk Pelapukan batuan yang meluas dan memiliki

material tanah dan akan memisahkan diri atau dapat dihancurkan dengan tangan di dalam air DW Lapuk Tegas Perybahan warna yang kontras, biasanya karena pelapukan mineral besi (Fe) dan kekuatan massa batuan telah berubah karena pelapukan

SW Lapuk samar Sedikit mengalami perubahan warna, sedikit menunjukan perubahan pada kekuatan batuan FR Segar Tidak terdapat perubahan warna atau zat

warna

Tabel 2.4 Tingkat kekuatan batuan (Australian Standard, 2005) Kekuatan

Kode Istilah Is(50) (MPa) Pengertian

EL Rendah sekali <0,03 Mudah dihancurkan dengan tangan untuk material yang mengandung tanah

VL Sangat rendah 0,03-0,1 Material hancur dibawah pukulan kuat dengan ujung runcing palu, dan dapat di kelupas dengan pisau, sangat sulit untuk memotong sample triaksial menggunakan tangan. Potongan diatas 30 mm dapat dihancurkan menggunakan tekanan jari

L Rendah 0,1-0,3 Dapat digores dengan pisau, retakan dengan jarak 1-3 mm yang ditunjukan oleh sampel dengan pukulan kuat pada ujung palu. Satu potongan inti batuan yang panjangnya 150 mm dan diameter


(44)

Kode Istilah Is(50) (MPa) Pengertian

50 mm dapat dihancurkan dengan tangan, sisi yang runcing pada inti batuan rapuh dan hancur ketika dipegang

M Sedang 0,3-1 Sangat dapat digores dengan pisau, potongan inti batuan panjang 150 mm dan diameter 50 mm dapat dihancurkan dengan tangan dengan susah

H Tinggi 1-3 Potongan inti batuan panjang 150 mm dan diameter 50 mm tidak dapat dihancurkan menggunakan tangan tetapi dapat dihancurkan dengan palu dengan sekali pukulan

VH Sangat Tinggi 3-10 Sampel batuan hancur dengan dengan lebih dari 1 kali pukulan, batuan bergetar karena pukulan EH Tinggi Sekali >10 Sampel batuan membutuhkan

banyak pukulan dengan palu untuk menghancurkan ikantan marerial , batuan bergetar karena pukulan

Tabel 2.5 Bentuk blok batuan (Australian Standard, 2005) Bentuk

Kode Istilah Pengertian

BLK Kubus Seperti bentuk kubus dengan sisi yang menyerupai TAB Berlembar Berbentuk lempengan dengan tebal lebih kecil

dibandingkan panjang atau lebarnya

COL Balok Tinggi bidang lebih besar dibandingkan lebar dan tebalnya

IRR Tidak Beraturan

Bentuk bidang tidak beraturan

2. Deskripsi Diskontinuitas, yang terdiri dari tipe diskontinuitas, orientasi bidang diskontinuitas, panjang, spasi, bentuk, kekasaran, material pengisi dan ketebalan.

Untuk pedoman dalam bidang diskontinuitas sebagai berikut seperti pada Tabel 2.6-2.9 pada halaman 29-30 :


(45)

Tabel 2.6 Jenis-jenis ketidakselarasan (Australian Standard, 2005) Jenis Ketidakselarasan

Kode Istilah Pengertian

B Bedding

parting

Kekar sejajar dengan perlapisan batuan

J Joint Kekar yang memotong perlapisan batuan

C Cleat Celah kekar yang tertutup material lain didalam batubara

F Fault Ketidakselarasan mayor yang memotong sepanjang perlapisan batuan dengan offset yang terlihat jelas atau perpindahan sepanjang sebuah bidang. Sesar dapat bersih atau terdapat zona sempit material pengisi

S Bedding

shear

Zona sempit dari pergeseran parallel terhadap salah satu perlapisan sepanjang kontak antara dua lapisan yang berdekatan atau seluruhnya dengan sebagian lapisan, biasanya lempung, sepanjang pergeseran yang terjadi. Permukaan yang halus dan tegas muncul Z Fault/Shear

zone

Zona lempengan yang terdapat banyak parallel atau sesar mendatar karena perpindahan. Seringkali terdiri dari hancuran atau material yang telah bergerser.

Tabel 2.7 Bentuk ketidakselarasan (Australian Standard, 2005) Bentuk Ketidakselarasan

Kode Istilah Pengertian

P Datar Permukaan ketidakselarasan adalah bidang datar C Kurva Permukaan ketidakselarasan bebentuk melengkung,

bisa cekung atau cembung. Bentuk lengkungan bisa satu sumbu (silinder) atau dua sumbu (bola)

W Bergelombang Permukaan ketidakselarasan bergelombang atau undulasi dan tersusun atas pengulangan bentuk cekung-cembungdari bidang tengah ketidakselarasan S Putus-putus Permukaan ketidakselarasan tersusun atas bidang

runcing

Tabel 2.8 Tingkat kekasaran (Australian Standard, 2005) Kekasaran

Kode Pengertian Kode Pengertian Kode Pengertian 1 Putus-putus-kasar 4

Bergelombang-Kasar

7

Datar-kasar 2 Putus-putus-halus 5

Bergelombang-halus

8

Datar-halus 3

Putus-putus-runcing

6

Bergelombang-runcing

9


(46)

Tabel 2.9 Jenis material pengisi (Australian Standard, 2005) Material Pengisi

Kode Pengertian Kode Pengertian Kode Pengertian

A Clayed

sand/sandy clay

O Coal T Silt

B Carbonaceous matter

P Pyrite X Clean, no

infill atau coating

C Calcite Q Quartz Y Clay

G Graphite R Resin (amber)

L Limonite/iron staining

S Sand

2.8 Mekanisme Keruntuhan

2.8.1 Konsep Keruntuhan Hoek and Brown

Dalam analisis desain suatu lereng memperkirakan kekuatan dan karakteristik deformasi suatu massa batuan merupakan hal yang sangat penting (Hoek dkk, 2000), hal ini dikarenakan kekuatan batuan utuh yang didapatkan dari pengujian laboratorium belum mencerminkan kekuatan massa batuan, untuk itu diperlukan adanya rumusan yang menghubungkan kekuatan batuan utuh dengan kekuatan massa batuan. Rumusan Hoek dan Brown (1980) digunakan untuk memperkirakan kekuatan massa batuan berdasarkan hubungan antara blok batuan dan kondisi permukaan diantara blok batuan tersebut.

Hoek dan Brown (1980) mengusulkan metode untuk mendapatkan kekuatan massa batuan terkekarkan yang dikenal sebagai Original Hoek-Brown Criterion. Kriteria ini dimulai dari kekuatan batuan utuh dengan faktor-faktor untuk mengurangi kekuatan tersebut berdasarkan karakteristik pada bidang diskontinuitas di dalam massa batuan. Kriteria ini terus dikembangkan oleh Hoek, dkk (1995) dengan memasukkan konsep Geological Strength Index (GSI). Nilai GSI diperoleh dari hasil deskripsi geologi berdasarkan struktur dan kondisi permukaan.


(47)

Rock Type Class Group Texture

Coarse Medium Fine Very Fine

Sedimentary Clastic Conglomerate

(21±3)

Sandstone (17±4) Siltstone (7±2) Claystone (4±2) Breccias (19±5) Greywacke (18±3) Shale (6±2) Marls (7±2) Non Clastic Carbonates Crystalline

Limestone (12±3) Sparitic Limestone (10±2) Micritic Limestone (9±2) Dolomites (9±3)

Evaporites Gypsum (8±2)

Anhydrite (12±2)

Organic Coal

(8-21)

Chalk (7±2) Metamorphic Non Foliated Marble

(9±3) Hornfels (19±4) Metasandstone (19±3) Quartzites (20±3)

Slightly Foliated Migmatite (29±3)

Amphibolites (26±6)

Gneiss (28±5)

Foliated Schist

(12±3)

Phyllites (7±3)

Slates (7±4) Vulcanic Plutonic Light Granite

(32±3)

Diorite (25±5) Granodiorite

(29±3) Dark Gabbro

(27±3) Norite (20±5)

Dolerite (16±5)

Hypabissal Hypabissal (20±5)

Diabase (15±5)

Peridotite (25±5)

Vulcanic Lava Rhyollite (25±5) Dacite (25±3) Obsidian (19±3) Andesite (25±5) Basalt (25±5)

Pyroclastic Agglomerat (19±3)

Breccia (19±5)

Tuff (13±5) Tabel 2.10 Nilai parameter mi (Hoek, 2001).


(48)

2.8.2 Konsep Keruntuhan Mohr-Coloumb

Hoek dan Brown (1997) menyatakan bahwa kebanyakan software geoteknik masih mengacu pada kriteria keruntuhan Mohr-Coulomb yang terlebih dahulu menentukan sudut geser dalam dan nilai kohesi yang setara untuk masing-masing massa batuan. Melalui penyesuaian pada plot Mohr-Coulomb, dihasilkan persamaan untuk mendapatkan nilai sudut geser dalam dan kohesi (Hoek dkk, 2002) :

…….…(2.4)

= � � 1+2 + 1− �3 + �3 −1 1+ 2+ 1+ 6 + �3 −1 1+ 2+

...(2.5)

………. (2.6) Nilai �3max merupakan batas akhir dari hubungan tegangan kriteria Hoek-Brown dan Mohr-Coloumb. Penentuan nilai σ3max pada lereng didapatkan berdasarkan rumusan (Hoek-Brown Criterion Edisi 2002) :

91 . 0 max 3 ' 72 . 0 ' '       H cm cm

…………...(2.7) γ merupakan bobot isi batuan dan H merupakan tinggi lereng. Nilai �′ merupakan besarnya kuat tekan massa batuan yang diperoleh dari persamaan :

�′ =. +4 − −8 ( 4 + )

−1

2(1+ )(2+ ) ………..(2.8)

2.9 Jenis Longsoran

Hoek dan Bray (1981) mengklasifikasikan longsoran pada tambang terbuka menjadi 4 jenis longsoran yaitu Longsoran Busur (Circular Failure), Longsoran Bidang (Plane Failure), Longsoran Baji (Wedge Failure), dan Longsoran Guling (Toppling Failure).

 

               1 3 1 3 1 ' 6 2 1 2 ' 6 sin ' a n b b a n b b m s am a a m s am   ci

n


(49)

1. Longsoran Busur

Longsoran busur merupakan longsoran batuan yang terjadi sepanjang bidang luncur yang berbentuk busur Gambar 2.8 halaman 33. Longsoran busur paling umum terjadi di alam, terutama pada batuan yang lunak (tanah). Pada batuan yang keras longsoran busur hanya dapat terjadi jika batuan tersebut sudah mengalami pelapukan dan mempunyai bidang-bidang lemah (rekahan) yang sangat rapat dan tidak dapat dikenal lagi kedudukannya. Longsoran busur akan terjadi jika partikel individu pada suatu tanah atau massa batuan sangat kecil dan tidak saling mengikat. Penurunan sebagian permukaan atas lereng yang berada disamping rekahan menandakan adanya gerakan lereng yang pada akhirnya akan menimbulkan kelongsoran lereng.

Gambar 2.8 Bentuk longsoran busur (Hoek dan Bray, 1981).

2. Longsoran Bidang

Longsoran bidang merupakan suatu longsoran batuan yang terjadi sepanjang bidang luncur yang dianggap rata. Bidang luncur tersebut dapat berupa bidang sesar, rekahan (joint) maupun bidang perlapisan batuan. Longsoran bidang dapat terjadi jika ditemukan tiga kondisi antara lain (Hoek dan Bray, 1981):

1. Kemiringan dari bidang diskontinuitas harus melebihi sudut geser dalam.

2. Kemiringan dari bidang diskontinuitas harus lebih kecil dari kemiringan muka lereng.


(50)

Secara umum longsoran bidang dapat terjadi apabila memenuhi beberapa syarat seperti pada Gambar 2.9 halaman 34:

1. Jurus bidang luncur (αp) sejajar atau mendekati sejajar terhadap jurus bidang permukaan lereng (αf) dengan perbedaan maksimal 20°.

2. Kemiringan bidang luncur ( p) harus lebih kecil kemiringan bidang permukaan lereng ( f).

3. Kemiringan bidang luncur ( p) lebih besar daripada sudut geser dalam.

4. Terdapatnya bidang bebas yang merupakan batas lateral dari massa batuan yang longsor.

Gambar 2.9 Longsoran bidang (Hoek dan Bray, 1981).

3. Longsoran Baji

Pada Gambar 2.10 halaman 35, merupakan kondisi dimana terjadinya longsoran baji. Longsoran ini hanya bisa terjadi pada batuan yang mempunyai lebih dari satu bidang lemah yang saling berpotongan membentuk baji (plane A dan plane B), dalam kondisi yang sangat sederhana longsoran baji terjadi pada sepanjang garis potong kedua bidang lemah tersebut (line of intersection).


(51)

Gambar 2.10 Bentuk longsoran baji (Hoek dan Bray, 1981).

4. Longsoran Guling

Longsoran guling terjadi pada lereng terjal untuk batuan yang keras dengan bidang-bidang lemah tegak atau hampir tegak dan arahnya berlawanan dengan arah kemiringan lereng. Kondisi untuk mengguling ditentukan oleh sudut geser dalam dan kemiringan sudut bidang gelincirnya, suatu balok dengan tinggi h terletak pada bidang miring dengan sudut kemiringan sebesar α yang disajikan pada Gambar 2.11. Longsoran dapat terjadi bila > 900

+Ø-α dimana adalah kemiringan bidang lemah, Ø adalah sudut geser dalam dan α adalah kemiringan lereng.

Gambar 2.11 Bentuk longsoran guling (Hoek dan Bray, 1981).

2.10 Kestabilan Lereng

2.10.1 Faktor yang Mempengaruhi Ketidakstabilan Lereng

Faktor-faktor penyebab lereng rawan longsor meliputi faktor internal (dari tubuh lereng sendiri) maupun faktor eksternal (dari luar lereng), antara lain: kegempaan, iklim (curah hujan), vegetasi, morfologi, batuan/tanah maupun situasi setempat (Anwar dan


(52)

Kesumadharma, 1991, dalam Hirnawan, 1994), tingkat kelembaban tanah (moisture), adanya rembesan, dan aktifitas geologi seperti patahan (terutama yang masih aktif), rekahan dan liniasi (Sukandar, 1991).

Proses eksternal penyebab longsor yang dikelompokkan oleh Brunsden 1993, dalam Dikau et.al., 1996 diantaranya adalah :

1) Pelapukan (fisika, kimia dan biologi) dan erosi. 2) penurunan tanah (ground subsidence).

3) deposisi (fluvial, glasial dan gerakan tanah) 4) getaran dan aktivitas seismik.

5) jatuhan tepra. 6) perubahan rezim air

Pelapukan dan erosi sangat dipengaruhi oleh iklim yang diwakili oleh kehadiran hujan di daerah setempat, curah hujan kadar air/water content (%) dan kejenuhan air/saturation (Sr :%). Pada beberapa kasus longsor, hujan sering sebagai pemicu karena hujan meningkatkan kadar air tanah yang menyebabkan kondisi fisik/mekanik material tubuh lereng berubah. Kenaikan kadar air akan memperlemah sifat fisik-mekanik tanah dan menurunkan Faktor Kemanan lereng (Hirnawan dan Zakaria, 1991).

Penambahan beban di tubuh lereng bagian atas (pembuatan/peletakan bangunan, misalnya dengan membuat perumahan atau villa di tepi lereng atau di puncak bukit) merupakan tindakan beresiko mengakibatkan longsor. Demikian juga pemotongan lereng pada pekerjaan cut&fill, jika tanpa perencanaan dapat menyebabkan perubahan keseimbangan tekanan pada lereng. Letak atau posisi tanaman keras dan kerapatannya mempengaruhi Faktor Keamanan Lereng (Hirnawan, 1993), hilangnya tumbuhan penutup menyebabkan alur-alur pada beberapa daerah tertentu. Penghanyutan yang semakin meningkat akhirnya mengakibatkan terjadinya longsor (Pangular, 1985). Dalam kondisi ini erosi tentunya memegang peranan


(53)

penting. Penyebab lain dari kejadian longsor adalah gangguan-gangguan internal, yaitu yang datang dari dalam tubuh lereng sendiri terutama karena ikut-sertanya peranan air dalam tubuh lereng. Kondisi ini tak lepas dari pengaruh luar, yaitu iklim yang diwakili oleh curah hujan. Jumlah air yang meningkat dicirikan oleh peningkatan kadar airtanah, derajat kejenuhan, atau muka airtanah. Kenaikan airtanah akan menurunkan sifat fisik dan mekanik tanah dan meningkatkan tekanan pori (m) yang berarti memperkecil ketahananan geser dari massa lereng (lihat rumus Faktor Keamanan 2.10, pada halaman 41). Debit air tanah juga membesar dan erosi di bawah permukaan (piping atau subaqueous erosion) meningkat, akibatnya lebih banyak fraksi halus (lanau) dari masa tanah yang dihanyutkan, lebih jauh ketahanan massa tanah akan menurun (Bell, 1984, dalam Hirnawan, 1993). Kejadian di Sodonghilir dan Taraju (1992) Bukit Lantiak, Padang dan Sagalaherang, Ciamis (1999), dan kejadian di beberapa tempat lainnya umumnya disebabkan penurunan sifat fisik dan mekanik tanah karena kehadiran air dalam tubuh lereng, Tabel 2.11 halaman 40.

A. Cuaca / Iklim

Curah hujan sebagai salah satu komponen iklim, akan mempengaruhi kadar air/water content (%) dan kejenuhan air/saturation (Sr, %). Pada beberapa kasus longsor di Jawa Barat, air hujan seringkali menjadi pemicu terjadinya longsor. Hujan dapat meningkatkan kadar air dalam tanah dan lebih jauh akan menyebabkan kondisi fisik tubuh lereng berubah-ubah. Kenaikan kadar air tanah akan memperlemah sifat fisik-mekanik tanah (mempengaruhi kondisi internal tubuh lereng) dan menurunkan faktor kemanan lereng (Hirnawan dan Zufialdi, 1993).

Kondisi lingkungan geologi fisik sangat berperan dalam kejadian gerakan tanah selain kurangnya kepedulian masyarakat karena kurang informasi ataupun karena semakin merebaknya


(54)

pengembangan wilayah yang mengambil tempat di daerah yang mempunyai masalah lereng rawan longsor.

B. Ketidakseimbangan Beban di Puncak dan di Kaki Lereng Beban tambahan di tubuh lereng bagian atas (puncak) mengikutserta-kan peranan aktivitas manusia. Pendirian atau peletakan bangunan, terutama memandang aspek estetika belaka, misalnya dengan membuat perumahan (real estate) atau villa di tepi-tepi lereng atau di puncak-puncak bukit merupakan tindakan ceroboh yang dapat mengakibatkan longsor. Kondisi tersebut menyebabkan berubahnya keseimbangan tekanan dalam tubuh lereng. Sejalan dengan kenaikan beban di puncak lereng, maka keamanan lereng akan menurun.

Pengurangan beban di daerah kaki lereng berdampak menurunkan Faktor Keamanan. Makin besar pengurangan beban di kaki lereng, makin besar pula penurunan faktor keamanan lerengnya, sehingga lereng makin labil atau makin rawan longsor. Aktivitas manusia berperan dalam kondisi seperti ini. Pengurangan beban di kaki lereng diantaranya oleh aktivitas penambangan bahan galian, pemangkasan (cut) kaki lereng untuk perumahan, jalan dan lain-lain, atau erosi (Hirnawan, 1993).

Kasus longsor yang disebabkan oleh kondisi ketidakseimbangan beban pada lereng antara lain:

1) longsor di tempat penggalian trass di tepi jalan raya Lembang akibat penggalian bahan baku bangunan dengan cara membuat tebing yang hampir tegak lurus.

2) longsor sekitar jalan di Bandung Utara akibat pemangkasan untuk kawasan perumahan (real estate).

3) longsoran di tepi sungai Cipeles (Jalan Raya Bandung-Cirebon) juga diakibatkan oleh kondisi ketidakseimbangan beban.


(55)

C. Vegetasi / Tumbuh-tumbuhan

Hilangnya tumbuhan penutup, dapat menyebabkan alur-alur pada beberapa daerah tertentu. Penghanyutan makin meningkat dan akhirnya terjadilah longsor (Pangular, 1985). Dalam kondisi tersebut berperan pula faktor erosi. Letak atau posisi penutup tanaman keras dan kerapatannya mempengaruhi faktor keamanan lereng. Penanaman vegetasi tanaman keras di kaki lereng akan memperkuat kestabilan lereng, sebaliknya penanaman tanaman keras di puncak lereng justru akan menurunkan Faktor Keamanan Lereng sehingga memperlemah kestabilan lereng (Hirnawan, 1993).

Penyebab lain dari kejadian longsor adalah gangguan internal yang datang dari dalam tubuh lereng sendiri terutama karena ikut sertanya peranan air dalam tubuh lereng.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Kondisi geologi pada Pit 7 West B, tersusun atas litologi batupasir kuarsa, batulempung dan batubara dan struktur geologi didominasi oleh kekar gerus dan kekar tarik. Struktur sedimen terdiri atas perlapisan, parallel laminasi, wavy ripple, convolute, nodul dan normal gradded bedding

dengan strike/dip perlapisan batulempung, batubara dan batubara, batupasir sebesar N 2280 E/510, N 2200 E/480, trend/plunge untuk kekar gerus dan kekar tarik berarah N 890 E/840, N 890 E/800, N 510E/750, N 150E/900. Berdasarkan pada hasil measuring stratigraphy dapat diketahui bahwa lokasi penelitian memiliki lingkungan pengendapan rawa (shallow lake, model Nichols, 2009).

2. Tingkat kestabilan lereng lowwall dan highwall Pit 7 West B berada pada kategori aman/stabil (Bowles,1989), dengan rentang nilai FK kondisi aktual highwall antara 2,3-3,5 dan lowwall antara 1,5-8.4, sedangkan untuk nilai FK desain highwall berkisar antara 1,3-1,9 dan lowwall antara 1,9-2,2.

3. Optimalisasi nilai FK untuk lereng desain highwall untuk sayatan B-ψ‟ dapat dilakukan dengan merubah sudut lereng dari 650 menjadi 290 sehingga didapatkan nilai FK 2 dari yang sebelumnya 1,7, sedangkan untuk lereng desain highwall sayatan C-ω‟ dilakukan dengan merubah sudut lereng dari 650 menjadi 280 sehingga didapatkan nilai FK baru sebesar 2 dari yang sebelumnya 1,3. Optimalisasi lereng desain highwall

sayatan E-E‟ dengan melakukan perubahan sudut lereng menjadi 310 sehingga didapatkan FK baru sebesar 2 dari yang sebelumnya 1,5.

4. Peningkatan stabilitas lereng dapat dilakukan dengan memperkecil sudut kelerengan atau menurunkan tinggi lereng serta menghilangkan lapisan tanah penutup pada elevasi di atas 40 mdpl.


(2)

5.2 Saran

1. Rekomendasi sudut lereng desain highwall adalah 280-350, sehingga

didapatkan nilai FK≥2.

2. Pembuatan parit pada sepanjang bench merupakan upaya yang efektif dan efisien untuk meningkatkan stabilitas lereng serta mengurangi intensitas rembesan air pada dinding lereng dari air hujan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Australian Standart. 2005. Technical Memorandum for Geothecnical Mapping: Quensland.

Azizi, M.A. 2012. Analisis Resiko Kestabilan Lereng Tambang Terbuka (Studi

Kasus Tambang Mineral X). Prosiding Simposium dan Seminar

Geomekanika ke-1: Jakarta.

Azizi, M.A. 2014. Pengembangan Metode Reliabilitas Penentuan Kestabilan Lereng Tambang Terbuka Batubara di Indonesia. Disertasi (tidak dipublikasikan). Jurusan Rekayasa Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung: Bandung.

Bachtiar Andang. 2008. Geologi Pulau Kalimantan. Bandung. ITB. Slide PPT Bieniawski, Z.T. 1989. Engineering rock mass classification. John Wiley

Interscience: New York.

Bowles, J.E. 1984. Physical and Geotechnical Properties of Soil: Second Edition. McGraw-Hill: New York, USA.

Brady, B.H.G and Brown, E.T. 2004. Rock Mechanics for Underground Mining Third Edition. Kluwer Academic Publishers: Boston, USA.

Deere, D.U. 1963. Technical Description of Rock Cores for Engineering Purposes. Felsmechanik und Ingenieurgeologie (Rock Mechanics and Engineering Geology), 1(1). 16-22.

Fossen Haakson. 2010. Structural Geology. New York. Cambridge University Press.

Hoek, E and Brown, E.T. 1980. Empirical Strength Criterion for Rock Masses. Journal of the Geotechnical Engineering Division: Proceedings of American Society of Civil Engineers, Vol. 106.

Hoek, E and Brown, E.T. 1997. Technical Note Practical Estimates of Rock Mass Strength. Elsevier: International Journal Rock Mechanics and Mining Sciences Vol 34, No 8 pages 1165-1186.

Hoek, E and Bray, J.W. 1981. Rock Slope Engineering. The Institution of Mining and Metallurgy. 3rd edition : London.


(4)

Hoek, E and Marinos, P. 2000. GSI: Geologically Friendly Tool for Rock Mass Strength Estimation. Proceeding of the International Conference Geotechnical and Geological Engineering: Melbourne.

Hoek, E., Read, J., Karzulovic, A., Chen, Z.Y. 2000. Rock Slopes for Civil and Mining Engineering. Proceeding of the International Conference Geotechnical and Geological Engineering: Melbourne.

Hoek,E., Torres, C.C., Corkum, B. 2002. Hoek Brown Criteria Failure Criteria 2002. NARMS-TAC Conference: Toronto.

Hoek, E., Carter, T.G., Diedrichs, M.S. 2013. Quantification of Geological Strength Index Chart. Proceedings of 47th Geomechanic Symposium: San Fransisco.

Lisle Richard J. 2004. Geological Structures and Map : A Practical Guide.

Oxford,UK. Cardiff University.

Nichols Gary. 2009. Sedimentology Stratigraphy. United Kingdom. Willey-Blackwell.

Ragan Donald D. 2009. Structural Geology An Introduction to Geometrical Techniques. New York. Cambridge University Press.

Reineck Singh. 1980. Depositional Sedimentary Environments. New York. Departement of Geology. Lucknow University India.

Stability in Surface Mining Conference: Society for Mining, Metallurgical and Exploration 2000 p 59-70

Sukamto. 1996.Peta Geologi Indonesia. Skala 1:5000000. Puslitbang Sumber Daya Geologi: Bandung.

Sukardi.1995. Peta Geologi Lembar Muaralasan, Kalimantan Skala 1:250000. Puslitbang Sumber Daya Geologi: Jakarta.

Suwana, G.W. Desain Lereng Final Dengan Metode RMR, SMR, dan Analisis Kestabilan Lereng pada Tambang Terbuka. Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Buletin Sumber Daya Geologi Volume 7 Nomor 2: Bandung.

Wesley Laurence D. 2010. Fundamentals of Soil Mechanics for Sedimentary and Residual Soils. New Jersey. John Willey & Sons,inc.


(5)

(6)