PEMBINGKAIAN BERITA RUU NIKAH SIRI DI SURAT KABAR KOMPAS DAN JAWA POS (Studi Analisis Framing RUU Nikah Siri di Surat Kabar Kompas dan Jawa Pos).

(1)

seluruh makhluk. Hanya kepadaNya syukur dipanjatkan atas selesainya skripsi ini. Sejujurnya penulis akui bahwa pendapat sulit ada benarnya, tetapi factor kesulitan itu lebih banyak datang dari diri. Karena itu, kebanggaan penulis bukanlah pada selesainya skripsi ini, melainkan kemenangan atas berhasilnya menundukkan diri sendiri. Semua kemenangan dicapai tidak lepas dari bantuan berbagai pihak selama proses penyelesaian skripsi ini, penulis “wajib” mengucapkan terima kasih kepada mereka yang disebut berikut :

1. Dra. Dyva Claretta, M.Si selaku Dosen Pembimbing. Terima kasih atas segala kontribusi ibu terkait penyusunan skripsi ini.

2. Prof. DR. Ir. Teguh Soedarto, MP, selaku Rektor UPN “Veteran” Jatim.

3. Dra. Hj. Suparwati, M.Si, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UPN “Veteran” Jatim.

4. Juwito, S.Sos, M.Si, sebagai Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UPN “Veteran” Jatim.

5. Drs. Syaifuddin Zuhri, M.Si sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UPN “Veteran” Jatim.

6. Seluruh Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi maupun Staf Karyawan FISIP hingga UPN “Veteran” Jatim pada umumnya.

7. Bambang Hartono, S.H, Erni Kusuma, Alfira Rizki Harnita, selaku orang tua dan kakak yang telah memberikan support penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(2)

ii Sealy Rica.

9. Seluruh pihak yang tak dapat penulis sebutkan atas keterbatasan halaman ini, untuk segala bentuk bantuan yang diberikan, penulis ucapkan terima kasih. Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kritik maupun saran selalu penulis harapkan demi tercapainya hal terbaik dari skripsi ini. Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat sekaligus menambah pengetahuan bagi berbagai pihak. Amin.

Surabaya, April 2010 Penulis


(3)

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR LAMPIRAN... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Kegunaan Penelitian ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 11

2.1 Landasan Teori ... 11

2.1.1 Media Massa, Interpretasi dan Konstruksi Realitas... 11

2.1.2 Berita sebagai Hasil Konstruksi realitas Sosial…………... 14

2.2 Ideologi Institusi Media………. 15

2.3 Framing dan Proses Produksi berita ... 18

2.4 Analisis Framing termasuk Paradigma Konstruktifis... 19

2.5 Teori Analisis Framing ... 20

2.6 Perangkat Framing Robert M. Entman... 23

2.7 Perkawinan Siri……… 29

2.8 Sejarah dan Perkembangan Kawin Siri……… 31 iii


(4)

BAB III METODE PENELITIAN ... 40

3.1 Metode Penelitian………... 40

3.2 Subjek dan Objek Peneliti ... 42

3.3 Unit Analisis ... 43

3.4 Populasi dan Korpus... 43

3.5 Teknik Pengumpulan Data………... 45

3.6 Teknik Analisis Data... 45

3.7 Langkah-Langkah Analisis Framing ... 46

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 49

4.1 Gambaran Objek Penelitian………... 49

4.1.1 Surat Kabar Kompas………... 49

4.1.1.1 Sejarah Perkembangan Kompas……… 49

4.1.1.2 Sebaran dan Profil Pembaca Kompas………... 53

4.1.1.3 Kebijakan Redaksional………. 57

4.1.2 Surat Kabar Jawa Pos……… 61

4.1.2.1. Sejarah Perkembangan Jawa Pos……….. 61

4.1.2.2. Sebaran dan Profil Pembaca Jawa Pos……….. 68

4.1.2.3 Kebijakan Redaksional……… 69

4.2 Frame Surat Kabar Kompas dan Jawa Pos……… 77 iv


(5)

v

dengan Jawa Pos……….. 94

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….. 105

5.1 Kesimpulan………. 105

5.2 Saran……… 106

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(6)

edisi 19 Februari 2010... 109 Lampiran 2. Jawa Pos, “NU Tolak Pidana Pelaku Nikah Siri”,

edisi 18 Februari 2010... 111 Lampiran 3. Jawa Pos, “Ketua MUI Sebut Nikah Siri Halal”,

edisi 19 Februari 2010... 112


(7)

Pos membingkai pemberitaan sama tentang kontroversi RUU Nikah Siri. Surat kabar Kompas dan surat kabar Jawa Pos sama-sama menolak untuk disahkannya RUU Nikah Siri. Sedangkan yang menjadi objek penelitian ini adalah berita-berita mengenai kontroversi RUU Nikah Siri tepatnya pada periode bulan Februari 2010.

Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis sebuah berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, dan hendak dibawa kemana berita tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model milik Robert N Entman. Model ini digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan menonjolkan aspek tertentu dari realitas oleh media. Dalam konsepsi Entman, framing pada dasarnya merujuk pada pemberian definisi, penjelasan, evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan.

Pada penelitian ini unit analisis yang digunakan adalah unit analisis reference, yaitu unit yang digunakan untuk menganalisis kalimat atau kata yang dimuat dalam teks berita mengenai kontroversi RUU nikah siri di surat kabar Kompas dan Jawa Pos. Populasi dalam penelitian ini adalah berita-berita mengenai kontroversi RUU nikah siri selama periode bulan Februari 2010 di surat kabar Kompas dan Jawa Pos. Adapun korpus dalam penelitian ini terdiri dari 5 korpus, yang diantaranya Kompas terdiri dari 1 korpus yaitu tanggal 19 Februari 2010 dan Jawa Pos ada 2 korpus yaitu tanggal 18 dan 19 Februari 2010. Peneliti menggunakan teknik analisis framing milik Robert M.Entman. Konsep milik Entman menggunakan empat cara untuk anlaisis framing, Define Problem atau Problem Identification (pendefinisian masalah), Diagnose Cause atau Causal Interpretation (memperkirakan penyebab masalah), Make Moral Judgement atau Moral Evaluation (membuat keputusan moral), dan Treatment Recommendation (menekankan penyelesaian).

Dari data yang dianlisis oleh peneliti, maka diperoleh surat kabar Kompas dan Jawa Pos sama-sama tidak mendukung sanksi pidana bagi para pelaku nikah siri dalam draft RUU Nikah Siri. Dalam pemberitaannya, surat kabar Kompas lebih melihat potensi perempuan akan dirugikan untuk kedua kaliya dengan adanya ketentuan ishbat nikah dalam RUU Nikah Siri. Sedang surat kabar Jawa Pos lebih menegaskan bahwa pernikahan siri itu sah dan halal menurut agama Islam karena sudah terpenuhi syarat dan rukun dari pernikahan sah itu sendiri. Hal ini ditekankan untuk menghindari anggapan bahwa nikah siri adalah haram dan melakukan nikah siri adalah perbuatan criminal dan melanggar hukum.


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dalam beberapa hari belakang ini masyarakat, khususnya umat Islam, memperbincangkan RUU tentang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan atau kemudian dikenal dengan RUU Nikah Siri. Sebagian masyarakat mempermasalahkan RUU itu karena terlalu jauh mengatur ke kehidupan pribadi umat muslim. Lebih dari itu, RUU memberi ancaman pidana kepada pelaku suatu perkawinan yang disebut siri, sementara sebagian umat Islam dan ulama menganggap perkawinan semacam itu tetap masuk dalam kategori sah dan halal. Hanya saja perkawinan ini belum dicatatkan ke dalam administrasi negara.

Sebagian lain, menganggap perkawinan atau nikah siri ini memberi dampak dan tidak menghargai harkat perempuan, termasuk juga memberi dampak buruk kepada anak-anaknya karena statusnya masih belum tercatat dalam administrasi negara. Bahkan dianggap bisa merugikan pihak perempuan dan anak-anak jika perkawinan itu gagal di tengah jalan, sehingga sulit mendapatkan penguatan legal atas waris kepada mantan istri dan anak-anaknya. Namun lebih jauh dari itu, pasal-pasal dalam RUU itu sendiri mengandung kontroversi. Terdapat sanksi pidana yang lebih ringan ditujukan kepada pelaku zina dibanding pelaku nikah siri. Nuansa kontroversi semakin terasa, jika di tengah masyarakat aktivitas pelacuran justru mendapat “pengesahan”, sementara perbuatan yang halal malah dihukum.


(9)

Dari realitas yang tertera diatas, maka sangatlah menarik bahwa sebuah institusi media, khususnya institusi media cetak, untuk mengangkat dan menampilkan pemberitaan mengenai kasus kontroversi RUU nikah siri yang dianggap mempunyai dampak yang luas bagi kehidupan masyarakat.

Surat kabar Kompas edisi bulan Februari 2010 memberitakan bahwa sebuah pernikahan siri itu dianggap dapat merugikan pihak perempuan dan anak-anak hasil dari pernikahan siri bila pernikahan tersebut gagal ditengah jalan maka perempuan dan anak-anak tersebut akan kehilangan hak-haknya secara hukum. Disini surat kabar Kompas mempertanyakan tentang keefektifan RUU Nikah Siri tersebut, apakah akan lebih melindungi kaum perempuan yang selama ini dirugikan oleh praktik nikah siri.

Sedangkan dalam surat kabar Jawa Pos di dalam pemberitaannya pada edisi bulan Februari 2010 dengan jelas menegaskan bahwa nikah siri ini halal di dalam agama Islam dan pernikahan siri tersebut dapat menghindarkan dari perbuatan zina. Sehingga tidak dibenarkan adanya sanksi pidana kepada para pelaku nikah siri dalam draft RUU Nikah Siri. Hal ini diperkuat pernyataan dari narasumber yang kredibel yang berusaha ditonjolkan oleh surat kabar Jawa Pos.

Di dalam hal ini perkawinan siri memang akan berdampak buruk bagi perempuan dan anak hasil perikahan siri. Tetapi dengan adanya RUU tersebut, maka sanksi pidana tersebut akan lebih merugikan pihak perempuan untuk yang kedua kalinya oleh ketentuan isbat nikah. Karena masih banyak perempuan yang masih kesulitan dalam mengakses KUA atas dasar kondisi sosiologis dan geografis yang membuat ketentuan pencatatan perkawinan menjadi sulit dilakukan. Berikut kutipan


(10)

dari Mantan Komisioner Komnas HAM, Sri Wiyanti Eddyono pada surat kabar Kompas tanggal 19 Februari 2010 :

“Ia juga menengarai adanya potensi perempuan dirugikan untuk kedua kali oleh ketentuan isbat nikah (pengajuan penetapan nikah di pengadilan). Selain itu, Sri Wiyanti juga mengingatkan kondisi sosiologis dan geografis yang membuat ketentuan pencatatan/registrasi perkawinan menjadi sulit dilakukan. Semua pihak diminta tidak berpikir Jakasentris (atau wasentris). Diluar wilayah itu, perempuan kesulitan mengakses Kantor Urusan Agama (KUA). Ia mencontohkan kaum perempuan di Papua, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan sangat mungkin kesulitan mengakses KUA. “Kala hal demikian terjadi, perempuan-perempuan itu justru menjadi korban lagi, “ujarnya.

Sedang dalam Islam pernikahan siri ini dianggap halal karena sudah memenuhi syarat dan rukun perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah menurut Islam jika ada mempelai pria dan wanita, wali dari mempelai wanita, dua saksi, ijab atau ucapan penyerahan calon wanita dari wali atau perwakilan wali kepada mempelai laki-laki untuk dinikahi, dan Kabul atau ucapan penerimaan pernikahan dari mempelai laki-laki atau walinya. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amien menegaskan bahwa dalam Islam tidak ada larangan nikah siri atau di bawah tangan. Dengan begitu kata dia, maka hukum nikah siri tidak haram (Jawa Pos, 19 Februari 2010), sedang Ketua PB NU Ahmad Bagja berpandangan bahwa draft RUU Hukum Material Peradilan Agama tersebut tidak logis. Sementara di sisi lain perzinahan dan kumpul kebo dianggap sebagian hak asasi manusia karena alasan suka sama suka (Jawa Pos, 18 Februari 2010).


(11)

Dari pemberitaan media massa di atas, kasus kontroversi seputar RUU nikah siri ini mendapat banyak penolakan. Dalam pemberitaan di surat kabar Jawa Pos, nikah siri adalah sesuatu yang halal di dalam agama Islam dan nikah siri ini dilakukan karena ketidak mampuan para pasangan ini untuk menikah dan jika RUU ini disahkan untuk menghukum para pelaku nikah siri maka akan semakin maraknya perzinahan dan kumpul kebo. Dan dalam pemberitaan di surat kabar Kompas juga meragukan rencana pemerintah dalam mengesahkan RUU nikah siri ini. Karena apakah RUU ini akan benar-benar melindungi perempuan dan anak-anak korban pernikahan siri atau malah berpotensi perempuan akan dirugikan yang kedua kalinya dengan adanya sanksi pidana dalam RUU Nikah Siri tersebut .

Budaya nikah siri sebenarnya bukanlah hal yang baru di masyarakat Indonesia, terutama bagi masyarakat yang tinggal di daerah-daerah yang jauh dari perkotaan. Dulu pernikahan siri sering dilakukan dengan motif karena kekurangan ekonomi, sehingga yang berusaha dipenuhi adalah syarat wajib dari pernikahan saja (ada mempelai, wali, mas kawin, dan ada saksi), sedangkan sunnahnya yakni apa yang disebut walimah-an tidak dilakukan. Hal ini dikarenakan tidak cukup biaya untuk mengadakan acara walimah-an yang tujuan sebenarnya adalah mengumumkan adanya pernikahan.

Namun dalam perkembangannya, factor ekonomi juga melandasi seorang wanita bersedia dinikahi yang hanya diakui secara agama saja oleh seorang pria beristri. Dengan alasan karena tidak bisa melunasi hutang atau merasa tidak mempunyai cukup kemampuan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari yang kian meninggi.


(12)

Mereka bersedia melakukan nikah siri dengan berbagai prasyarat yang diajukan oleh pihak calon suami, seperti jangka waktu, anak, dan harta gono gini.

Dalam hal ini media massa secara teoritis memiliki fungsi sebagai saluran informasi, pendidikan dan hiburan, tetapi tidak semua informasi dapat disampaikan oleh jurnalis. Hanya informasi yang memiliki nilai berita saja yang akan ditampilkan oleh media massa, hal ini menunjukkan bahwa media massa memiliki selektifitas dalam menyajikan realitas kepada khalayak. Terkadang media massa hanya mengangkat suatu berita yang dianggap tidak merugikannya atau bahkan berita yang membawa dampak yang cukup ekstrim bagi masyarakat. Media massa memiliki wewenang penuh untuk memutuskan apa yang akan diberitakan, diliput, ditonjolkan dan apa yang harus dibuang, disembunyikan dari khalayak (Nugroho, 1999 : 21)

Berita-berita yang disajikan oleh media cetak pada umumnya seputar peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat atau bahkan di dalam pemerintahan, sehingga masyarakat mengetahui informasi-informasi yang terjadi di sekitarnya dan di dalam pemerintahan. Dalam hal ini dibutuhkan kejujuran dari pihak pers dalam menyampaikan berita-berita yang akan disampaikan kepada khalayak, agar masyarakat mengetahui kejadian yang sebenarnya. Tetapi pada masa orde baru terjadi pemberangusan terhadap kebebasan pers. Pengekangan terhadap kebebasan pers pada masa orde baru ini dapat dilihat dari pembredelan berbagai media massa, hal ini terkait dengan penghapusan atau pembatalan SIUPP oleh pemerintah kepada media-media, yang oleh pemerintah berita-berita yang disajikan oleh media massa tersebut dinilai dapat menggangu stabilitas nasional. (Nurudin, 2003 : 67)


(13)

Seiring dengan berjalannya era reformasi, perlahan muncul kembali keberanian dan kejujuran dalam menentukan sikap dan pandangan. Hal ini bisa ditemui lagi dalam editorial, judul, dan fakta yang lebih terbuka dan berani. Sungguh sesuatu yang sangat jarang terjadi atau bahkan hampir tidak ditemukan pada era orde baru.

Berita pada dasarnya dibentuk lewat proses aktif dari pembuat berita. Peristiwa yang kompleks dan tidak beraturan, disederhanakan dan dibuat bermakna oleh pembuat berita. Tahap paling awal dari produksi berita adalah bagaiama wartawan mempersepsi peristiwa atau fakta yang akan diliput.

Para jurnalis selalu menyatakan bahwa dirinya telah bertindak secara objektif, seimbang, dan tidak berpihak pada kepentingan apapun kecuali rasa solidaritas atas hak khalayak (masyarakat) untuk mengetahui kebenaran. Meskipun sikap independen dan objektifitas sealu dijadikan patokan setiap jurnalis, namun pada kenyataannya masih sering dijumpai susunan berita yang berbeda atas suatu peristiwa. Ada media yang menonjolkan aspek tertentu, dipihak lain ada media yang menutupi aspek tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dibalik jubah kebesaran independensi dan objektifitas, seorang jurnalis menyimpan paradox, tragedy, bahkan ironi. (Eriyanto, 2004 : vi)

Fakta yang akurat dan aktualisasi masyarakat, merupakan perwujudan dari sebuah informasi atas berita yang selaras, seimbang, dan dapat dipercaya. Oleh karena itu, setiap perspektif media dalam mengolah dan menyusun berita akan selalu berbeda-beda, baik itu dalam kemasan maupun dalalm tampilannya. Hal tersebut


(14)

dikarenakan adanya segmentasi yang berbeda-beda, serta visi dan misi yang dibangun dan diciptakan oleh masing-masing media.

Untuk melihat bagaimana media dalam mengungkap suatu peristiwa (realitas) peneliti memilih analisis framing sebagai metode penelitian. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis sebuah berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, dan hendak dibawa kemana berita tersebut. (Eriyanto, 2001 :224)

Dengan menggunakan analisis framing, misalnya akan jelas bahwa masing-masing media, baik cetak atau elektronik punya “penangkapan” tersendiri tentang apa berita yang perlu ditonjolkan dan dijadikan focus dan mana yang harus disembunyikan atau bahkan dihilangkan. Begitu pula dengan cara bagaimana sebuah isu dituturkan dan ditayangkan, pasti setiap media memiliki angle, cara dan gaya masing-masing yang saling berbeda, meskipun perbedaan itu tidak selalu signifikan. (Malik dalam Jurnal ISKI, 2001 : 69)

Dalam analisis framing tedapat beberapa model, peneliti menggunakan model milik Robert N Entman. Model ini digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan menonjolkan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas, sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada isu yang lain. Dalam konsepsi Entman, framing pada dasarnya merajuk pada pemberian definisi, penjelasan,


(15)

evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan. (Eriyanto, 2002 : 186)

Sedang subjek dalam penelitian ini adalah surat kabar Kompas dan Jawa Pos, alasan penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai bagaimana surat kabar Kompas dan Jawa Pos dalam membingkai, terutama dalam menyusun, mengisahkan, menulis, dan menekankan fakta-fakta mengenai kontroversi RUU nikah siri beberapa waktu lalu. Surat Kabar Kompas dipilih dalam penelitian ini, karena harian tersebut merupakan harian yang paling prestisius dan paling laku di Indonesia (lebih dari setengah juta kopi terjual setiap harinya) dan juga merupakan surat kabar yang berkualitas terbesar di Asia Tenggara. (Sen dan Hill, 2001 : 68). Selain itu Kompas memiliki reputasi kedalaman analistis dan gaya penulisan yang rapi. Kompas juga memiliki kerajaan bisnis yang terdiri dari 38 perusahaan yang dikenal sebagai Kompas Gramedia Group melalui berbagai buku, majalah, dan surat kabar, Kompas Gramedia Group mendominasi industry penerbitan. (Send an Hill, 2001 : 68-89). Surat Kabar Kompas ini memiliki visi manusia dan kemanusiaan, sehingga surat kabar ini berusaha untuk senantiasa peka akan nasib manusia dan berpegang pada ungkapan klasik dalam jurnalistik, yaitu menghibur yang papa dan mengingatkan yang mapan. (Oetama, 2001 : 147). Sehingga pada kasus ini, dimana terjadi kontroversi antara pihak yang mendukung atau yang menolak RUU tersebut, surat kabar Kompas senantiasa peka akan pendapat-pendapat dari pihak-pihak yang setuju atau menolak pemberian sanksi terhadap para pelaku nikah siri dalam RUU tersebut.

Surat Kabar Jawa Pos dipilih dalam penelitian ini, karena Jawa Pos merupakan perusahaan pers terbesar kedua dan merupakan Koran terbesar ketiga di Indonesia,


(16)

dengan sirkulasi sekitar 350.000 eksemplar setiap harinya. Selain itu Jawa Pos adalah surat kabar pertama dan sampai sekarang satu-satunya yang berkembang menjadi konglomerat pers melalui konsentrasi secara eksklusif di pasar propinsi. (Send dan Hill, 2001 : 69-70). Surat Kabar Jawa Pos ini memiliki misi idiil dan misi bisnis sebagai pilar utama untuk kelangsungan hidup perusahaan. Oleh karena itu, dalam penyampaian berita menghendaki dan diarahkan pada sesuatu yang lain daripada yang lain dengan menampilkan rubric-rubrik tertentu sebagai nominasi unggulan, berita-berita paling actual, reportase, gambar kartun, hiburan-hiburan yang bersifat kreatif, juga tidak ketinggalan berita yang bersifat kesenangan (human interest). (Eduardus, 2001 : 33)

Baik Kompas Gramedia Group maupun Jawa Pos Group, keduanya telah menujukan kapasitas sebagai surat kabar yang sanggup bertahan dan memperluas diri ke perusahaan komersial nasional. Selain itu Kompas Gramedia Group maupun Jawa Pos Group adalah yang paling kuat dalam menghadapi krisis ekonomi dan politik di hari-hari terakhir orde baru, dan paling siap menuju ke era pasca Soeharto. (Send dan Hill, 2001 : 70)

Periode yang dipilih dalam penelitian ini adalah periode bulan Februari 2010. Periode tersebut dipilih, karena pada periode itu surat kabar Kompas dan Jawa Pos menurunkan berita mengenai kontroversi seputar RUU nikah siri.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang permasalah diatas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah :


(17)

“Bagaimanakah pembingkaian berita tentang Rancangan Undang-Undang Nikah Siri dalam Surat Kabar Kompas dan Jawa Pos”.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian adalah untuk mengetahui :

“Bagaimanakah pembingkaian berita tentang Rancangan Undang-Undang Nikah Siri dalam Surat Kabar Kompas dan Jawa pos”.

1.4. Kegunaan Penelitian

Manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Secara Teoritis

Untuk memberikan ciri ilmiah pada sebuah penelitian ilmiah dengan mengaplikasikan teori-teori khususnya teori komunikasi tentang pemahaman pesan yang dikemas melalui analisis framing. Sebagai fenomena komunikasi yang mempunyai signifikasi teoritis, metodologis, dan praktik, studi analisis framing diharapkan dapat berkembang pada disiplin ilmu komunikasi.

b. Secara Praktis

Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran pada institusi terutama surat kabar Kompas dan Jawa Pos khususnya dalam membingkai atau mengkronstruksi suatu realitas.


(18)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Media Massa, Interpretasi dan Konstruksi Realitas

Istilah interaksi merujuk pada bagaimana gagasan dan pendapat tertentu dari seseorang atau sekelompok orang ditampilkan dalam pemberitaan (Eriyanto, 2001 : 113), sehingga realitas yang terjadi tidaklah digambarkan sebagaimana mestinya, tetapi digambarkan secara lain. Bisa lebih baik atau bahkan lebih buruk.penggambaran yang buruk, cenderung memarjinalkan seseorang atau kelompok tertentu.

Hal ini terkait dengan visi, misi, serta ideology yang dipakai oleh masing-masing media, sehingga kadangkala dari hasil pembingkaian tersebut dapat diketahui bahwa media lebih berpihak pada siap (jika yang diberitakan adalah seseorang atau kelompok tertentu). Keberpihakan pemberitaan media terhadap salah satu kelompok atau golongan dalam masyarakat, dalam banyak hal tergantung pada etika, moral, dan nilai-nilai tertentu, tidak mungkin dihilangkan dalam pemberitaan media. Hal ini merupakan bagian dari integral dan tidak terspisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi suatu realitas. Media menjadi tempat pertarungan ideology antara kelompok-kelompok yang ada di masyarakat.

Media dalam memaknai realitas melakukan dua proses. Pertama, pemilihan fakta berdasarkan pada asmsi bahwa jurnalis tidak mungkin tidak melihat tanpa perspektif.


(19)

Kedua, bagaimana suatu fakta tersebut disajikan kepada khalayak. Hal ini tentunya tidak dapat dilepaskan bagaimana fakta dapat diinterpretasikan dan dipahami oleh media. (Eriyanto, 2001 : 116)

Pendapat Sobur dalam bukunya “Analisis Teks Media”, bahwa hakekatnya pekerjaan media adalah mengkonstruksi realitas (Sobur, 2002 : 88). Isi media merupakan hasil para pekerja media dalam mengkonstruksi berbagai realitas yang dipilihnya untuk dijadikan sebuah berita, diantaranya realitas politik dan human interest. Disebabkan sifatnya dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka dapat dikatakan bahwa seluruh isi media adalah realitas yang dikonstruksi (construct reality). Pembuatan berita di media dasarnya tidak lebih dari penyusunan realitas-realias, sehingga membentuk sebuah “cerita”. Berita adalah realitas yang dikonstruksikan. (Tuchman dalam Sobur, 2002 : 88)

Gambaran tentang realitas yang dibentuk oleh isi media inilah yang nantinya mendasari respon dan sikap khalayak terhadap objek social. Informasi yag salah dari media massa, akan memunculkan sikap yang salah juga terhadap objek social itu. Karenanya media massa dituntut menyampaikan informasi secara akurat dan berkualitas. Kualitas informasi ini yang merupakan tuntutan etnis dan moral penyajian isi media. Menurut istilah Peter Berger, isi media massa merupakan konsumsi otak bagi khalayak. Sehingga apa yang ada di media massa, akan mempengaruhi realitas subjektif pelaku interaksi social. (Jurnal ISKI, 2001 : 11)


(20)

Media massa memiliki peranan sebagai agen sosialisasi pesan tentang norma dan nilai. Surat kabar merupakan salah satu bentuk media massa yang memiliki fungsi untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat umum. Sebagai seorang agen, wartawan telah menjalin transaksi dan hubungan dengan objek yang diliputnya, sehingga berita merupakan produk dari transaksi antara wartawan dengan fakta yang diliput. (Eriyanto, 2002 : 31)

Media cetak merupakan salah satu arena social, tempat berbagai kelompok social -masing dengan politik bahasa yang mereka kembangkan sendiri berusaha menampilkan definisi situasi atau realitas berdasarkan versi mereka yang dianggap sahih. (Hidayat dalam Siahaan, 2001 : 88). Berita untuk media massa cetak surat kabar, harus berfungsi mengarahkan, menumbuhkan atau membangkitkan semangat dan memberikan penerangan. Artinya, berita yang kita buat harus mampu mengarahkan perhatian pembaca, sehingga mengikuti alur pemikiran yang tertulis dalam berita tersebut. (Djutoro, 2002 : 49)

Apa yang tersaji dalam berita yang kita baca setiap hari, adalah produk dari pembentukan realitas oleh media. Media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak.

Menurut Berger dan Luckman, realitas social adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadaran umum, wacana politik sebagai hasil dari konstruksi social. (Bungin, 2001 : 13)


(21)

2.1.2 Berita sebagai Hasil Konstruksi realitas Sosial

Berita merupakan nyawa dari media massa. Keberadaan media massa, baik pada awal kelahirannya, masa perkembangannya, maupun sampai di era kejayaanya sekarang ini sehingga memasuki era informasi, bukan saja penting tetapi juga sangat menentukan arah peradaban umat manusia. Dengan demikian, berita yang memberi hidup media massa. Karena tanpa berita, media massa tidak akan bermakna apapun.

Definisi berita menurut William S. Maulsby yang menyatakan bahwa : “Berita bisa didefinisikan sebagai suatu penuturan secara benar dan tidak memihak dari fakta-fakta yang mempunyai arti yang penting dan baru terjadi, yang dapat menarik perhatian para pembaca berita di surat kabar tersebut”. Dan menurut Ric C. hepwood yang memberikan batasan : “Berita adalah laporan pertama dari kajian yang penting sehingga dapat menarik perhatian umum”. (Pareno, 2005 : 6)

Dalam memaknai realitas, media melakukan dua proses besar. Pertama, pemilihan fakta berdasarkan pada asumsi bahwa jurnalis tidak mungkin terlibat tanpa perspektif. Kedua, bagaimana suatu fakta terpilih tersebut disajikan kepada khalayak (Eriyanto, 2003 : 116). Hal ini tentunya tidak dapat dilepaskan dari bagaimana fakta dapat diinterpretasikan dan dipahami oleh media.

Berita – yang merupakan substansi jurnalisme – adalah rekonstruksi fakta social yang diceritakan sebagai wacana fakta media. Perspektif rekonstruksionis melihat realitas tak terbuka diteliti secara langsung, tetapi lebih merupakan cerminan suatu kenyataan yang hanya dapat dikonstruksi suatu pikiran. Konstruksi ini berisi suatu kesapakatan pemahaman, komunikasi intersubjektif, andil semua pihak, serta


(22)

pengalaman dan interpretasi bersama terhadap makna, norma, peran dan aturan. Karena konstruksi fakta bersifat simbolik, maka bentuknya lebih diskursif, yakni dinyatakan, dilakukan, dikonfirmasi melalui teks atau wacana.

Media harus selalu menyajikan dan menjelaskan tujuan dan nilai-nilai dalam masyarakat. Ini tidak berarti media harus mendramatisir pemberitaannya, melainkan berusaha mengaitkan suatu peristiwa yang pada hakikatnya merupakan makna keberadaan masyarakat dan hal-hal yang harus diraih. Alasannya, media adalah instrument pendidik masyarakat, sehingga media harus “memikul tanggung jawab sebagai pendidik dalam memaparkan segala sesuatu dengan mengaitkannya ke tujuan dasar masyarakat”. (Rivers, Peterson dan Wensen, 2004 : 109)

2.2 Ideologi Institusi Media

Media massa tidak hidup dalam situasi yang vakum. Struktur dan penampilan media ditentukan oleh banyak factor baik internal maupun eksternal. System politik merupakan factor eksternal yang sangat berpengaruh terahadap struktur dan kemasan media tersebut. Sedangkan factor internalnya adalah kebijakan redaksi, yaitu sruktural dalam mengkonstruksi sebuah realita. Sebuah media yang lebih ideologis pada umumnya muncul sebagai konstruksi realita yang bersifat pembelaan terhadap kelompok yang sealiran dan penyerangan terhadap kelompok yang berbeda haluan. (Hamad, 2004 : 36)

Media disini dipandang sebagai instrument ideology melalui satu kelompok yang menyebarkan pengaruh dan dominasinya terhadap kelompok lain. Media bukanlah ranah yang netral dimana berbagai kelompok akan mendapatkan perlakuan yang sama


(23)

dan seimbang. Media justru bisa menjadi subjek yang mengkonstruksi realitas berdasarkan penafsiran sendiri untuk disebarkan pada khalayak. Media berperan dalam mendefinisikan realitas. Maka kelompok dan ideology dominanlah yang biasanya berperan dalam hal ini. (Sudibyo, 2001 :55)

Fungsi pertama dalam ideology adalah media sebagai mekanisme integrasi social. Media berfungsi untuk menjaga nilai-nilai kelompok itu. Dan media dapat mendefinisikan nilai dan perilaku yang sesuai dengan kelompok yang dipandang dapat menyimpang. Perubahan sikap atau nilai-nilai yang menyimpang tersebut bukanlah sesuatu yang alamiah yang terjadi dengan sendirinya, tetapi media tersebut mengkonstruksikan menjadi sebuah perstiwa. (Eriyanto, 2001 : 122)

Menurut Matthew Kieran dalam Eriyanto (2001 : 130), berita tidaklah dibentuk dari ruang hampa, berita diproduksi dari ideology yang dominan dalam suatu wilayah kompetensi tertentu. Pada titik inilah pendekatan konstruktisionisme memperkenalkan konsep ideology. Konsep ini membantu menjelaskan bagaimana wartawan bisa membuat liputan berita yang memihak pada suatu pandangan atau kelompok. Praktik-praktik itu mencerminkan ideology dari wartawan atau media tepat ia bekerja.

Teori mengenal ideology sebuah media pada dasarnya termasuk ke dalam teori kritik Marxist dan aliran Frankfrut. Dalam teori ini edia dilihat sebagai alat konstruksi budaya dan menempatkan perhatian lebih banyak pada ide daripada benda-benda yang bersifat material. Melalui cara berpikir demikian, media menunjuk pada dominasi ideology para elit yang diraih dengan memanipulasi citra dan symbol yang


(24)

pada dasarnya menguntungkan kepentingan kelas dominan tersebut. (Ibid, 1991 : 131)

Dilain pihak, Moss mengartikan bahwa ideology sebagai seperangkat asumsi budaya yang menjadi “normalisasi alami dan tidak pernah dipersoalkan lagi”. (Briyanto, 2005 : x). Sedangkan Shoemoker dan Resse mengatakan bahwa objektifitas lebih merupakan ideology bagi jurnalis dibandingkan seperangkat aturan atau praktik yang disediakan oleh jurnalis. Ideology ini adalah konstruksi untuk memberi kesadaran kepada khalayak bahwa pekerjaan jurnalis adalah menyampaikan kebenaran. Objektifitas juga memberikan legitimasi kepada media untuk disebarkan kepada khalayak bahwa apa yang disampaikan adalah kebenaran. (Eriyanto, 2001 : 112-113)

Pada proses produksi sebuah berita, sebuah media selalu melibatkan pandangan dan ideology wartawan, juga kepentingan media itu sendiri. Ideology ini menentukan aspek fakta yang dipilih dan membuang apa yang ingin dibuang. Artinya jika seorang wartawan menulis berita dari salah satu sisi, menampilkan sumber dari satu pihak, dan memasukkan opininya dalam suatu berita. Semua itu dilakukan dalam rangka pembenaran tertentu. Sehingga dapat dikatakan media bukan sarana yang netral dalam menampilkan kekuatan dan kelompok dalam masyarakat secara apa adanya.

Suatu konsep ideologi media juga dapat membantu menjelaskan mengenai mengapa waktu memilih fakta tertentu untuk ditonjolkan, dari pada fakta yang lain, walaupun hal tersebut dapat merugikan pihak lain. Kemudian menempatkan sumber beritanya yang satu lebih menonjol daripada sumber berita yang lain ataupun secara


(25)

nyata atau tidak melakukan pemihakkan kepada pihak-pihak tertentu. Artinya, wartawan dan media yang bersangkutan erat secara strategis menghasilkan berita yang sesuai dengan karakter media tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, media merupakan inti instrument ideology yang tidak dipandang sebagai zona netral, dimana berbagai kelompok dan kepentingan dapat ditampung. Akan tetapi media lebih sebagai subjek yang mengkonstruksikan realitas atas penafsiran wartawan atau media sendiri untuk disebarluaskan pada khalayak. (Eriyanto, 2000 : 92). Media massa sebagai pendefinisi realitas tidak dapat dipisahkan dari keterkaitan antara bahasa yang digunakan dalam pemberitaannya. Dengan kata lain, perbincangan mengenai media selalu berkaitan dengan ideology yang membentuknya, dimana pada akhirnya ideology tersebut akan mempengaruhi bahasa (gaya, ungkapan, dan kosa kata), serta pengetahuan (kebenaran realitas) yang digunakan.

2.3 Framing dan Proses Produksi berita

Framing berhunbungan dengan proses produksi berita, yang meliputi kerangka kerja dan rutinitas organisasi media. Suatu peristiwa yang dibingkai dalam kerangka tertentu dan bukan bingkai yang lain, bukan hanya disebabkan oleh struktur skema wartawan, tetapi juga rutinitas kerja dan institusi media, yang secara langsung atau tidak langsung memepangaruhi pemaknaan terhadap sesuatu peristiwa. Institusi media dapat mengontrol pola kerja tertentu yang mengharuskan wartawan melihat peristiwa kedalam kemasan tertentu, atau bisa juga wartawan menjadi bagian dari anggota komunitasnya. Jadi, wartwan hidup dan bekerja dalam suatu institusi yang


(26)

mempunyai pola kerja, kebiasaan, aturan, norma, etika dan rutinits sendiri. Dimana semua elemen proses produksi berita tersebut mempengaruhi cara pandang wartawan dalam memaknai peristiwa. (Eriyanto, 2005 : 99-100)

Framing adalah bagian yang tak terpisahkan dari bagaimana awak media mengkonstruksi realitas. Framing berhubungan erat dengan proses editing (penyuntingan) yang melibatkan semua pekerja di bagian keredaksian. Reporter dilapangan menentukan siapa yang akan diwawancarinya, serta pertanyaan apa yang akan diajukan. Redaktur yang bertugas di desk yang bersangkutan dengan maupun tanpa berkonsultasi dengan redaktur pelaksana atau redaktur umum, menentukan judul apa yang akan diberikan. Petugas tatap muka – dengan atau tanpa berkonsultasi dengan para redaktur – menentukan apakah teks berita itu perlu diberi aksentuasi foto, karikatur atau bahkan ilustrasi mana yang akan dipilih. ( Eriyanto, 2006 ; 165)

2.4 Analisis Framing termasuk Paradigma Konstruktifis

Analisis framing termasuk pada paradigma konstruktifis. Dimana paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkan. Paradigma ini juga memandang bahwa realitas kehidupan social bukanlah realitas yang natural, melainkan hasil dari konstruksi. Sehingga konsentrasi analisanya adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma ini sering disebut sebagai paradigma produksi dan penukaran makna. (Eriyanto, 2002 : 37)


(27)

Konsep framing dari para konstruktisionis dalam literature sosiologi, memperkuat asumsi mengenai proses kognitif individual – penstrukturan kognitif dan teori proses pengendalian informasi – dalam psikologi. Framing dalam konsep psikologi dilihat sebagai penempatan informasi dalam konteks yang unik, sehingga elemen-elemen tertentu suatu isu memperoleh alokasi sumber kognitif individu lebih besar. Konsekuensinya, elemen-elemen yang terseleksi menjadi penting dalam mempengaruhi penilaian individu atau penarikan kesimpulan. (Siahaan, Purnomo, Imawan, Jacky, 2001 : 77)

Yang menjadi titik perhatian pada paradigma konstruktifis adalah bagaimana masing-masing pihak dalam lalu intas komunikasi, saling memproduksi dan mempertukarkan makna. Pesan dibentuk secara bersama-sama antara pengirim dan penerima atau pihak yang berkomunikasi dan dihubungkan dengan konteks social dimana mereka berada. Intinya adalah bagaimana pesan itu dibuat atau diciptakan oleh komunikator dan bagaimana pesan itu secara aktif, ditafsirkan oleh individu sebagai penerima pesan. ( Eriyanto, 2002 : 40)

2.5 Teori Analisis Framing

Anlisis framing sebagai pengembangan lebih lanjut dari analisis wacana, banyak meminjam perangkat operasional analisis wacana. Analisis framing dapat mengungkap kecenderungan perspektif jutnalis atau media saat mengkonstruksi fakta. Secara sosiologis, menurut Ervin Goffman, konsep analisis framing memelihara kelangsungan kebiasaan kita mengklasifikasi, mengorganisasi, dan meginterpretasi secara aktif pengalaman-pengalaman hidup kita untuk dapat memahaminya. Skema


(28)

interpretasi itu disebut frames, yang memungkinkan individu untuk dapat melokasi, merasakan, mengidentifikasi, dan memberi label terhadap peristiwa-peristiwa serta informasi. (Siahaan et al dalam Sobur, 2006 : 163)

Analisis framing merupakan suatu analisis yang dipakai untuk mengungkapkan bagaimana seorang wartawan dari suatu media tertentu membingkai atau mengkonstruksi suatu realitas atau kasus tertentu. Analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideology media saat megkontruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti, atau lebih diingat untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya.

Selain itu analisis framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan dan konstruksi realitas itu, hasil akhirnya adalah bagian tertentu dari realitas yang menonjol dan lebih mudah dikenal. (Eriyanto, 2002 : 66). Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955. Mulanya, frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana serta menyediakan kategori standar untuk mengapresiasikan realita. Lalu dikembangkan lagi oleh Goffman pada tahun 1974, mengandaikan frame sebagai kepentingan perilaku yang membimbing individu dalam membaca realitas. (Sobur, 2002 : 162)

Dengan kata lain framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana persepktif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu


(29)

dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa kemana berita tersebut (Nugroho et al dalam Sobur, 2006 : 162). Karenanya, berita menjadi manipulative dan bertujuan mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar, atau tidak terelakkan. (Imawan dalam Sobur, 2006 : 162)

G.J Aditjondro (Sudibyo dalam Sobur, 2006 : 165) mendefinisikan framing sebagai metode penyajian realitas dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja, dengan menggunakan istilah-istilah yang mempunyai konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya.

Analisis framing mempunyai asumsi bahwa wacana media massa mempunyai peranan penting yang sangat strategis dalam menentukan apa yang penting atau signifikan bagi public (Sudibyo, 2001 : 220). Secara umum, framing dipandang sebagai proses penonjolan atau penyeleksian dari sebuah realitas yang ada pada media massa. Sehingga penonjolan aspek-aspek tersebut memudahkan pembaca untuk mengingat apa yang menjadi pokok pembahasan utama dari berita. Karena hasil penyeleksian dan penonjolan ini mendapatkan penempatan yang lebih besar dalam format fisik teks berita. Maka tidak menutup kemungkinan pembaca akan terpengaruh dan mempunyai pertimbangan untuk berpendapat.


(30)

Framing ini pada akhirnya menentukan bagaimana realitas itu hadir di hadapan pembaca. Melaui framing inilah dapat ditentukan bagaimana realitas itu harus dilihat, dianalisis dan diklarifikasikan dalam kategori tertentu. Dalam hubungannya dengan penulisan berita, framing dapat mengakibatkan suatu peristiwa yang sama dapat menghasilkan berita yang secara radikal berbeda apabila wartawan mempunyai frame yang berbeda ketika melihat peristiwa tersebut dan menuliskan pandangannya dalam berita, karena asumsi dasar dari framing adalah bahwa individu wartawan selalu menyertakan pengalaman hidup, social, dan kecenderungan psikologisnya ketika menafsirkan pesan yang datang keapadanya.

Individu tidak dibayangkan sebagai subjek pasif, sebaliknya dia aktif dan otonom. Menurut Aditjondro dalam Siahaan et al, proses framing merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses penyuntingan yang melibatkan semua pekerja dibagian keredaksian media cetak. Bahkan melibatkan semua pekerja dibagian yang terkait dengan kasus tertentu, yang masing-masing pihak ingin ditonjolkan atau harus ada informasi yang tidak peru diketahui oleh umum. (Sobur, 2001 : 165)

Analisis framing dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana realitas dikonstruksi oleh media. Selain itu, analisis framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai realitas analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, actor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media. (Eriyanto, 2002 : 3)

2.6 Perangkat Framing Robert M. Entman

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan dari model Robert M. Entman. Model ini berasumsi bahwa framing memberi tekanan lebih pada


(31)

bagaimana teks komunikasi ditampilkan dan bagian mana yang ditonjolkan atau dianggap penting oleh pembuat teks. Kata penonjolan itu sendiri dapat didefinisikan : membuat informasi terlihat lebih jelas, lebih bermakna, atau lebih mudah diingat oleh khalayak, lebih terasa dan tersimpan dalam memori dibandingkan dengan yang disajikan secara biasa.

Bentuk penonjolan tersebut bisa beragam : menempatkan suatu aspek infromasi lebih menonjol dibandingkan dengan yang lain, lebih mencolok, melakukan pengulangan informasi yang dipandang penting atau dihubungkan dengan aspek budaya yang akrab di benak khalayak. Dengan bentuk seperti itu, sebuah ide atau gagasan atau informasi lebih mudah terlihat, lebih mudah diperhatikan, diingat, dan ditafsirkan karena berhubungan dengan skema pandangan khalayak. Karena penonjolan adalah produk interaksi antara teks dan penerima, kehadiran frame dalam teks bisa jadi tidak seperti yang dideteksi oleh peneliti, khalayak sangat mungkin mempunyai mempunyai pandangan tentang apa yang ia pikirkan atas suatu teks dan bagaimana teks berita tersebut dikonstruksikan dalam pikiran. (Eriyanto, 2002 : 186)

Menurut Entman dalam Siahaan (2001 : 80), framing memiliki implikasi bagi komunikasi politik. Frame menurut perhatian terhadap beberapa aspek dari realitas dengan mengabaikan elemen-elemen lainnya yang memungkinkan khalayak memiliki reaksi berbeda. Politisi mencari dukungan dengan memaksakan kompetisi satu sama lain. Mereka bersama jurnalis membangun frame berita.

Daam konteks ini, menurut Entman, framing memainkan peran utama dalam mendesakkan kekuasaan politik, dan frame dalam teks berita sungguh merupakan


(32)

kekuasaan yang tercetak. Entman menunjukkan identitas para actor atau interest yang berkompetisi untuk mendominasi teks. Namun Entman menyayangkan banyak teks berita dalam merefleksikan permainan kekuasaan dan batas wacana atas sebuah isu, memperlihatkan homogenitas framing pada satu tingkat analisis, dan belum mempersaingkannya dengan framing lainnya.

Konsep framing dalam pandangan Entman, secara konsisten menawarkan sebuah cara untuk mengungkapkan the power of communication text. Analisis framing dapat menjelaskan dengancara yang tepat pengaruh atas kesadaran manusia yang didesak oleh transfer (atau komunikasi) informasi dari sebuah lokasi seperti, pidato, ucapan atau ungkapan, news report, atau novel. Framing menurut Entman secara esensial meliputi penyeleksian dan penonjolan.

Membuat frame adalah menyeleksi beberapa aspek dari suatu pemahaman atas sebuah realitas, dan membuatnya lebih menonjol di dalam suatu teks yang dikomunikasikan sedemikian rupa sehingga mempromosikan sebuah definisi permasalahan yang khusus, interpretasi kausal, evaluasi moral dan atau merekomendasikan penanganannya. (Siahaan dalam Sobur, 2006 164-165)

Pada prosesnya, framing sangat berkaitan erat dengan rutinitas dan konvensi professional jurnalistik. Proses framing tidak dapat dipisahkan dari strategi pengolahan dan penyajian informasi dalam persentasi media. Dalam hal ini, wartawan menempati posisi startegis untuk menyusun dan mengolah informasi. Dengan posisi ini wartawan mengolah dan mengemas informasi sesuai dengan ideology, kecenderungan ataupun keberpihakan politik mereka. Wartawan juga dapat


(33)

membatasi dan menafsirkan komentar-kmentar sumber berita, serta memberi porsi pemberitaan yang berbeda antara sumber berita yang satu dengan lainnya. Hal tersebut merupakan konsep framing yang dikemukakan oleh Entman, framing digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan penonjolan aspek tertentu dari realitas (Eriyanto, 2002 : 186). Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi besar daripada isu yang lain.

Entman melihat framing dalam dua dimensi, yaitu seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek realitas. Kedua factor ini dapat lebih mempertajam framing berita melalui proses seleksi isu, menentukan fakta yang dipilih, ditonjolkan, dan dibuang yang tentunya akan melibatkan nilai dan ideology para wartawan yang telibat dalam produksi sebuah berita.

Dalam konsepsi Entman, framing pada dasarnya merujuk pada pemberian definisi, penjelasan, evaluasi dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan. (Eriyanto, 2002 : 188)

Frame timbul dalam dua level. Pertama, konsepsi mental yang digunakan untuk memproses informasi dan sebagai karakteristik dari teks berita. Kedua, perangkat spesifik dan narasi barita yang dipakai untuk membangun pengertian mengenai peristiwa. Frame berita dibentuk dari kata kunci, metafora, konsep, symbol, citra yang ada dalam narasi berita. Karenanya, frame dapat dideteksi dan diselidiki dari kata, citra dan gambar tertentu yang memberi makna tertentu dari teks berita.


(34)

Kosakata dan gambar itu ditekankan dalam teks sehingga lebih menonjol disbandingkan bagian lain dalam teks. Itu dilakukan lewat pengulangan, penempatan yang lebih menonjol atau menghubungkan bagian lain dalam teks berita. Sehingga bagian itu lebih menonjol, lebih mudah dilihat, diingat dan lebih mempengaruhi khalayak. (Eriyanto, 2002 : 189)

Menurut Entman, framing dalam berita dilakukan dengan empat cara, yakni : pertama, pada identifikasi masalah (problem identification), yaitu peristiwa dilihat sebagai apa da dengan nilai positif atau negative; kedua, pada identifikasi penyebab masalah (diagnose cause); ketiga, pada evaluasi moral (moral evaluation); dan keempat, saran penanggulangan masalah (trestment recommendation), yaitu menawarkan suatu cara penanganan masalah dan kadangkala memprediksi hasilnya. (Eriyanto, 2001 : 20)

Konsepsi framing dari Entman tersebut menggambarkan secara luas bagaimana peristiwa dimaknai dan ditandai oleh wartawan. Define problems atau problem identification (pendefinisian masalah) adalah elemen yang pertama kali dapat dilihat mengenai framing. Elemen ini merupakan master frame atau bingkai yang paling utama. Ia menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan. Ketika ada masalah atau peristiwa, bagaimana peristiwa atau isu tersebut dipahami. Peristiwa yang sama dapat dipahami secara berbeda. Dan bingkai yang berbeda ini akan menyebabkan realitas bentukan yang berbeda pula. (Eriyanto, 2002 : 190)

Diagnose cause atau causal interpretation (memperkirakan penyebab masalah), merupakan elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai actor


(35)

auatu peristiwa. Penyebab disini bisa berarti apa (what), tetapi bisa juga berarti siapa (who). Bagaimana peristiwa dipahami, tentu saja menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah. Karena itu, masalah yang dipahami secara berbeda, penyebab masalah secara tidak langsung juga akan dipahami secara berbeda pula.

Make moral judgement (membuat pilihan moral) adalah elemen framing yang dipakai untuk membenarkan atau memberikan argumentasi pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat. Ketika masalah sudah didefinisikan, penyebab masalah sudah ditentukan , dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut. Gagasan yang dikutip, berhubungan dengan sesuatu yang familiar dan dikenal oleh khalayak.

Elemen framing yang lain adalah treatment recommendation (menekankan penyelesian). Elemen ini dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan. Jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan masalah. Penyelesaian itu tentu saja sangat bergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa yang dipandang sebagai penyebab masalah. (Eriyanto, 2002 : 191)

Pada prakteknya esensi framing tersebut bisa diimplementasikan media dengan berbagai cara, yakni dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lain, serta menonjolkan aspek isu tersebut dengan menggunakan berbagai strategi wacana, diantaranya dengan indicator. (Eriyanto, 2001 : 191-193)

a. Penempatan yang mencolok (menempatkan di headline atau pada halaman depan)


(36)

b. Pengulangan

c. Pemaknaan grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan

d. Pemakaian foto

e. Pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan

f. Asosiasi terhadap symbol-simbol budaya, generaisasi, implikasi dan lain-lain

2.7 Perkawinan Siri

Perkawinan dalam bahasa arab adalah “nikah”. Artinya ada arti sebenarnya ada arti kiasan. Arti sebenarnya nikah adalah “dham” yang artinya “menghimpit”, “menindih”, atau “berkumpul”. Arti kiasannya adalah sama dengan “wathaa” yang artinya “bersetubuh”.

Menurut hukum Islam, nikah itu pada hakikatnya ialah “aqad” antara calon suami-istri untuk memperbolehkan keduanya bergaul sebagai suami istri. “aqad” artinya ikatan atau perjanjian. Jadi “aqad nikah” artinya perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita dan seorang laki-laki. (Asmin, 1986 : 28)

Menurut Haviland (1985 : 77), perkawinan adalah suatu transaksi dan kontrak yang sah dan resmi antara seorang wanita dan seorang pria yang mengukuhkan hak mereka yang tetap untuk berhubungan seks antara satu sama lain dan menegaskan bahwa si wanita yang bersangkutan sudah memenuhi syarat untuk hamil dan melahirkan.


(37)

Menurut Koentjaraningrat (1992 : 93), perkawinan adalah suatu peralihan atau lifecycle dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga dari semua manusia di dunia. Dengan demikian, dipandang dari sudut pandang kebudayaan manusia, maka perkawinan merupakan pengatur tingkah laku manusia yang bersangkut paut dengan kehidupan seknya, ialah kelakuan-kelakuan seks, terutama persetubuhan. Selain sebagai pengatur kelakuan seksnya, perkawinan juga mempunyai berbagi fungsi lain dari kehidupan kebudayaan dan masyarakat manusia. Pertama memberi ketentuan hak dan kewajiban serta perlindungan kepada hasil persetubuhan, yaitu anak-anak. Juga perkawinan juga memenuhi kebutuhan manusia akan seorang teman hidup, memenuhi kebutuhan akan harta, akan gengsi, dan kelas masyarakat; dan pemeliharaan akan hubungan baik antara kelompok-kelompok kerabat tertentu sering juga merupakan alasan dai suatu perkawinan.

Ada 2 jenis perkawinan, yaitu :

1. Perkawinan di KUA

Yang dimaksud dengan perkawinan di KUA disini adalah perkawinan yang dilakukan di KUA atau perkawinan yang dilakukan di depan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan dicatatkan di KUA, seperti yang diatur dan ditentuan oleh UU no. 1 tahun 1974.

2. Perkawinan siri

Yang dimaksud dengan perkawinan siri adalah perkawinan yang tidak dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan tidak dicatatkan di KUA. Perkawinan ini oleh Ramulyo disebut dengan istilah perkawinan


(38)

dibawah tangan. Perkawinan ini biasanya dilakukan oleh kiai atau ulama atau orang yang dipandang telah mengetahui hukum-hukum munakahat (pernikahan). (Muhdhot, 1994 : 22)

Kata siri berasal dari bahasa arab sirra, sirra berarti rahasia (Yuns, 1973 : 167). Kawin siri menurut artinya adalah nikah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau rahasia. Sedangkan dalam prakteknya di masyarakat, kawin siri adalah perkawinan yang tidak disaksikan oleh orang banyak dan tidak dilakukan di depan PPN atau dicatat di KUA setempat.

2.8 Sejarah dan Perkembangan Kawin Siri

Istilah kawin siri, sebenarnya bukan masalah baru di dalam masyarakat Islam, sebab kitab Al-Muwatha’, mencatat bahwa istilah kawin siri berasal dari ucapanUmar Bin Khatab ketika diberitahuka bahwa telah terjadi perkawinan yang tidak dihadiri oleh saksi kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka dia berkata yang artinya “Ini nikah siri dan aku tidak memperbolehkannya, dan sekiranya aku datang pasti aku rajam”.

Pengertian kawin siri dalam persepsi Umar tersebut didasarkan oleh adanya kasus perkawinan yang hanya degan menghadirkan seorang saksi laki-laki dan seorang perempuan. Ini berarti syarat jumlah saksi belum terpenuhi, kalau jumlah saksi belum lengkap meskipun sudah ada yang datang. Maka perkawinan semacam ini menurut Umar dipandang sebagai nikah siri. Ulama-ulama besar sesudahnya pun seperti Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’I berpendapat bahwa nikah siri itu tidak boleh dan jika itu terjadi harus difasakh (batal). Namun apabila saksi telah terpenuhi tapi


(39)

para saksi dipesan oleh wali nikah untuk merahasiakan perkawinan yang mereka saksikan, ulama besar berbeda pendapat. Imam Malik, memandang perkawinan itu pernikahan siri dan harus difasakh, karena menjadi syarat mutlak sahnya perkawinan adalah pengumuman (I’ian). Keberadaan saksi hanya pelengkap. Maka perkawinan yang ada saksi tetapi tidak ada pengumuman adalah perkawinan yang tidak memenuhi syarat. Namun Abu Hanifah, Syafi’I, dan Ibnu Mundzir berpendapat bahwa nikah semacam itu adalah sah. Abu Hanifah dan Syafi’I menilai nikah semacam itu bukanlah nikah siri karena fungsi saksi itu sendiri adalah pengumuman (I’ian). Karena itu kalau sudah disaksikan tidak perlu lagi ada pengumuman khusus. Kehadiran saksi pada waktu melakukan aqad nikah sudah cukup mewakili pengumuman, bahkan meskipun minta dirahasiakan, sebab menurutnya tidak ada lagi rahasia kalau sudah ada empat orang. Dengan demikian dapat ditarik pengertian bahwa kawin siri itu berkaitan dengan fungsi saksi, ulama sepakat bahwa fungsi saksi adalah pengumuman (I’ian wa syuhr) kepada masyarakat tentang adanya perkawinan. (Zahra dalam Nasution, 2002 : 163)

Akan tetapi dalam perkembangannya dalam masyarakat Islam, kawin siri dipandang sebagai perkawinan yang sah menurut agama. Wirawan (dalam Hariadi, 1994 : 4) menyatakan perkawinan siri merupakan sebagai salah satu bentuk perkawinan yang dikenal oleh masyarakat Indonesia, yaitu suatu perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Islam dengan odin atau kiai sebagai pelaksananya (yang mengukuhkan). Sementara Muhammad (1991) menyebutkan bahwa kawin siri dalam pandangan Islam adalah perkawinan yang dilaksanakan sekedar untuk memenuhi ketentuan mutlak untuk sahnya akad nikah yang ditandai dengan adanya :


(40)

1. Calon pengantin laki-laki dan perempuan

2. Wali pengantin perempuan

3. Dua orang saksi

4. Ijab dan Qobul

Syarat-syarat diatas disebut sebagai rukun atau syariat wajib nikah.

Selain itu terdapat sunah nikah yang perlu juga dilakukan sebagai berikut :

1. Khutbah nikah

2. Pengumuman perkawinan dengan penyelenggaraan walimah/perayaan

3. Menyebutkan mahar atau mas kawin

Dengan demikian dalam proses kawin siri yang dilaksanakan adalah rukun atau wajib nikahnya saja, sedangkan sunah nikah tidak dilaksanakan, khususnya mengenai pengumuman perkawinan atau yang disebut walimah/perayaan. Dengan demikian orang yang mengetahui pernikahan tersebut juga terbatas pada kalangan tertentu saja. Keadaan demikian disebut dengan sunyi atau rahasia atau siri. Pada perkembangan selanjutnya istilah siri ini dikaitkan dengan aturan-aturan yang ditetapkan pemerintah, kawin siri bermakna kawin yang tidak dicatatkan petugas yang telah ditunjuk oleh pemerintah KUA. Sebagaimana dikatakan Ramulyo (2002 : 239) yaitu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Islam, memenuhi baik rukun maupun syarat-syarat perkawinan tetapi tidak didaftarkan pada PPN seperti diatur dan ditentukan UU no. 1 tahun 1974.


(41)

2.9 Kawin Siri Dalam Pandangan Hukum Islam

Merujuk pada sejarah dan perkembangannya, kawin siri pada awalnya merupakan perkawinan yang dilarang dalam Islam karena tidak memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang berupa saksi. Ulama besar seperti Abu Hanifah, Malik dan Syafi’I sepakat kalau perkawinan tersebut harus di fasakh. Namun dalam perkembangannya di masyarakat Islam, kawin siri merupakan perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat-syarat perkawinan sehingga masyarakat memandang sah menurut agama (Islam). Kemudian kawin siri berkembang kembali ketika diakitkan dengan aturan-aturan yang ditetapkan pemerintah sehingga kawin siri bermakna perkawinan yang tidak dicatatkan di KUA. (Ramulyo, 2002 : 239)

Meskipun kawin siri sah menurut Islam, tapi hal tersebut kurang sesuai dengan ajaran Islam karena Nabi Muhammad SAW bersabda : “Umumkanlah perkawinan itu” dan firman Allah yang artinya : “Hai orang-orang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul dan kepada pemerintah yang sah (ulil amri minkum). Berdasrkan firman tersebut, maka orang yang melakukan nikah siri berarti tidak taat pada pemerintah yang telah menetapkan untuk mencatatkan perkawinan pada KUA.

2.10 Kawin Siri Dalam Pandangan Hukum Negara

Kawin siri kalau dihubungkan dengan hukum Negara sebenarnya berkaitan dengan pencatatan perkawinan pada instansi pemerintah yang berwenang yaitu KUA, sebagaimana diatur dalam UU No. 1 tahun 1974, sebenarnya bukanlah UU pertama yang mengatur tentang pencatatan pernikahan bagi muslim Indonesia. Sebelumnya


(42)

sudah ada UU no. 22 tahun 1946, yang mengatur tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk.

Tentang pencatatan perkawinan dalam UU no.22 tahun 1946 disebutkan :

1. Perkawinan diawasi oleh PPN

2. Bagi pasangan yang melakukan perkawinan tanpa pegawasan dari PPN, dikenakan hukuman karena merupakan satu pelanggaran

Lebih tegas tentang pencatatan dan tujuan pencatatan perkawinan ditemukan pada penjelasannya, bahwa dicatatkanya perkawinan agar mendapat kepastian hukum dan ketertiban.

Ketika menjelaskan hukuman bagi pasangan yang melakukan perkawinan tanpa pengawasan disebutkan, maksud hukuman bagi pasangan yang melanggar adalah agar aturan administrasi ini diperhatikan, tetapi tidak mengakibatkan batalnya perkawinan. Dari penjelasan ini sangat tegas terlihat bahwa fungsi pencatatan tersebut hanyalah bersifat administratif, bukan syarat sah atau tidakya perkawinan.

Kemudian dalam UU no. 1 tahun 1974 yang pelaksanaanya berlaku efektif mulai tanggal 1 Oktober 1975, tentang pencatatan perkawinan disebutkan, “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sementara pada pasal lain disebutkan “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Sedangkan dalam penjelasan terhadap UU no. 1 tahun 1974 tentang pencatatan dan sahnya pekawinan disebutkan :


(43)

1. Tidak ada perkawinan diluar agama

2. Maksud hukum agama termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian dalam PP no. 9 tahun 1975, yang merupakan peraturan tentang pelaksanaan UU no.1 tahun 1974, disebutkan bahwa perkawinan menurut penganut Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat, dengan tata cara (proses) pencatatan yang dimulai dengan:

1. Pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan

2. Pelaksanaan akad nikah dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi

3. Penandataganan akta perkawinan oleh kedua saksi, pegawai pencatat dan wali.

Dengan penandatangan tersebut berarti proses pencatatan perkawinan telah selesai. Bagi orang yang tidak memberi tahu kepada pegawai pencatat tentang kehendak melaksanakan perkawinan atau melaksanakan perkawinan tidak di hadapan pegawai pencatat, termasuk perbuatan melanggar yang dapat dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah).

Dalam kompilasi hukum Islam di Indonesia yang berbicara tentang pencatatan perkawinan tampak bahwa fungsi pencatatan hanya sekedar urusan administrasi, bukan sebagai syarat sah atau tidaknya suatu pernikahan (akad nikah) (Nasution, 2002 : 146-149). Namun kalau teks-teks tersebut dihubungkan dengan pasal-pasal


(44)

yang ada dalam batang tubuh Undang-Undang, khususnya UU no. 1 tahun 1974 secara keseluruhan, dan dihubungkan dengan perundang-undangan lain yang pernah berlaku di Indonesia, ternyata memunculkan pro dan kontra tentang fungsi pencatatan. Sebagian pemikir berpandangan, pencatatan menjadi syarat sah, sementara yang lain memandangnya sebagai syarat administrasi.

Kelompok yang berpendapat penctatan sebagai sah perkawinan secara umum adalah kelompok sarjana dan ahli hukum yang selama ini tunduk dan melaksanakan perkawinan berdasarkan hukum perdata dan ordonansi Perkwinan Kristen Indonesia, yang hanya dengan adanya akta perkawinan dapat dibuktikan sahnya perkawinan (berdasarkan pasal 100 B.W). Mereka berpendapat bahwa saat mulai sahnya perkawinan adalah setelah pendaftaran/pencatatan perkawinan.

Adapun kelompok yang berpendapat bahwa pencatatan hanya sebagai urusan administrasi, umumnya dipegang kaum muslim dan juga banyak ahi-ahli hukum, bahwa saat mulai sahnya perkawinan bukan pada saat pendaftaran/pencatatan. Pendaftaran tersebut hanyalah berfungsi sebagai administrasi belaka. Sedang saat mulai sah perkawinan adalah setelah ijab Kabul. (syahar dalam Nasution, 2002 : 158-160)


(45)

2.11 Kerangka Berpikir

Media massa adalah salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan akan informasi. Media massa berhak untuk menentukan fakta apa yang akan diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa kemana berita tersebut. Hal ini tentu saja berkaitan dengan cara pandang atau perspektif yang digunakan oleh masing-masing media. Media massa dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu media cetak dan media elektronik. Media cetak adalah suatu media yang statis dan mengutamakan pesan-pesan visual.

Pekerjaan sebuah media pada dasarnya adalah sebuah pekerjaan yang berhubungan dengan pembentukan realitas. Pada dasarnya realitas bukan sesuatu yang telah tersedia, yang tinggal diambil oleh wartawan. Sebalikya, semua pekerja jurnalis pada dasarnya adalah agen : bagaimana peristiwa yang acak, kompleks disusun sedemikian rupa sehingga membentuk suatu berita, wartawanlah yang akan mengurutkan, membuat teratur, menjadi mdah dipahami dengan memilih actor-aktor yang akan diwawancarai, sehingga ia membentuk suatu kisah yang dibaca oleh khalayak. Dalam hal ini surat kabar Kompas dan Jawa Pos pada periode Februari 2010 ini berusaha mengemas berita-berita seputar kontroversi RUU Nikah Siri yang dibuat oleh Departemen Agama beberapa waktu lalu.

Berita yang merupakan hasil konstruksi realitas dari sebuah proses manajemen redaksional, ternyata tidak selalu menghasilkan makna yang sama seperti yang diharapkan wartawan dalam diri khalayak pembacanya. Berita adalah mencerminkan realitas social yang direkonstruksi. Berita yang ada di media dapat realitas yang sama.


(46)

Demikian halnya dengan berita seputar kontroversi RUU Nikah Siri yang dikeluarkan oleh Departemen Agama beberapa waktu lalu. Surat kabar Kompas dan Jawa Pos mempunyai sudut pandang yang berbeda pula dalam pemberitaannya masing-masing mengenai realitas yang sama.


(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Sebagai konsekuensi dari paradigma penelitian yang berlandaskan pada paradigma konstruktifis, maka kecenderungan penelitian ini akan lebih bersifat kualitatif. Penelitian ini pada dasarnya mencoba untuk menangkap perspektif pemberitaan dalam kaitannya dengan bagaimana pemberitaan itu memperlihatkan orientasi sebuah media dengan cara tertentu dalam memperlakukan realitas atau fakta. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang secara khas berkaitan dengan observasi, wawancara dengan narasumber, menelaah terhadap teks-teks dari berbagai teknik kebahasaan, seperti percakapan dan analisis data.

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian deskriptif kualitatif. Tipe penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejernih mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang diteliti. (Kountur, 2003 : 53)

Metode ini merupakan suatu metode yang berupaya memberikan gambaran mengenai suatu fenomena tertentu secara terperinci, yang pada akhirnya akan memperoleh pemahaman yang lebih jelas mengenai fenomena yang diteliti.

Pada penelitian deskriptif ini hanya memaparkan situasi atau peristiwa, tidak mencari atau menjalankan hubungan dan tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. (Rakhmat, 2001 : 24)


(48)

Pada penelitian ini yang akan dipaparkan adalah bagaimana cara media dalam membingkai atau mengkonstruksi berita-berita mengenai kontroversi RUU Nikah Siri pada surat kabar Kompas dan Jawa Pos, yang meliputi penyeleksian isu dan penulisan berita. Penelitian ini terdiri dari bagaimana cara wartawan dalam menyusun fakta, mengisahkan fakta dan menentukan fakta.

Selain itu metode framing yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode framing milik Robert M.Entman. Entman melihat framing sebagai cara untuk mengetahui bagaimana suatu media mengemas berita dan mengkonstruksi realitas melalui dua dimensi besar, yaitu seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realita atau isu. Penonjolan adalah proses membuat informasi menjadi lebih bermakna, lebih menarik, berarti, detail, mudah diingat oleh khalayk.

Framing dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lain. Dan menonjolkan aspek yang mencolok (misal, menempatkan di headline), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaia label tertentu ketika menggambarkan peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap symbol, generalisasi, dan lain-lain. Aspek tersebut dipakai untuk membuat dimensi tertentu dan konstruksi berita menjadi bermakna dan mudah diingat oleh khalayak.

Define problems atau problem identification (pendefinisian masalah) adalah elemen yang pertama kali dapat dilihat mengenai framing. Elemen ini merupakan master frame atau bingkai yang paling utama. Ia menekankan bagaimana peristiwa


(49)

dipahami oleh wartawan. Ketika ada masalah atau peristiwa, bagaimana peristiwa atau isu tersebut dipahami. Peristiwa yang sama dapat dipahami secara berbeda.

Diagnose cause atau causal interpretation (memperkirakan penyebab masalah), merupakan elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai actor suatu peristiwa. Penyebab disini bisa berarti apa (what), tetapi bisa juga berarti siapa (who). Bagaimana peristiwa dipahami, tentu saja menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah.

Make moral judgement (membuat pilihan moral) adalah elemen framing yang dipakai untuk membenarkan atau memberikan argumentasi pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat. Ketika masalah sudah didefinisikan, penyebab masalah sudah ditentukan , dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut. Gagasan yang dikutip, berhubungan dengan sesuatu yang familiar dan dikenal oleh khalayak.

Treatment recommendation (menekankan penyelesian). Elemen ini dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan. Jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan masalah. Penyelesaian itu tentu saja sangat bergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa yang dipandang sebagai penyebab masalah. (Eriyanto, 2002 : 191)

3.2 Subjek dan Objek Peneliti

Subjek dari penelitian ini adalah surat kabar Kompas dan Jawa Pos. sedangkan objek dari penelitian ini adalah berita-berita seputar kontroversi RUU nikah siri yang merebak pada bulan Februari 2010.


(50)

3.3 Unit Anaisis

Pada penelitian ini unit analisis yang digunakan adalah unit analisis reference, yaitu unit yang digunakan untuk menganalisis kalimat atau kata yang dimuat dalam teks berita mengenai kontroversi RUU nikah siri di surat kabar Kompas dan Jawa Pos.

Analisis teks media dengan melihat hubungan antar kalimat, foto, grafik, dan ungkapan narasumber untuk mengungkapkan pemaknaan terhadap perspektif pemberitaan surat kabar Kompas dan Jawa Pos dalam melihat suatu peristiwa yang dalam hal ini terkait kasus kontroversi RUU nikah siri.

3.4 Populasi dan Korpus

Populasi dalam penelitian ini adalah berita-berita mengenai kontroversi RUU nikah siri selama periode bulan Februari 2010 di surat kabar Kompas dan Jawa Pos.

Sedangkan korpus adalah suatu himpunan terbatas atau juga dari unsure yang memiliki sifat bersama atau tunduk pada aturan yang sama. (Arkoun dalam Achmad, 2001 : 43). Pendapat lain ada juga yang mengartikan korpus adalah sekumpulan bahan yang terbatas, yang ditentukan pada perkembangan oleh analisis dengan semacam kesemenaan, bersifat sehomogen mungkin (Kurniawan, 2001 : 70). Sifat yang homogeny ini diperlukan untuk memberi harapan yang beralasan bahwa unsure-unsurnya dapat dianalisis sebagai keseluruhan.


(51)

Adapun korpus dalam penelitian ini adalah berita-berita yang membahas kontroversi seputar RUU nikah siri pada periode bulan Februari 2010 di surat kabar Kompas dan Jawa Pos.

Yang terdiri dari, korpus surat kabar Kompas sebagai berikut ;

1. Kompas, Jumat 19 Februari 2010

Judul berita “RUU Perkawinan Benarkah Melindungi Perempuan”

Sedangkan korpus surat kabar Jawa Pos sebagai berikut :

1. Jawa Pos, Kamis 18 Februari 2010

Judul berita “NU Tolak Pidana Pelaku Nikah Siri”

2. Jawa Pos, Jumat 19 Februari 2010


(52)

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Data-data dalam penelitian ini diperoleh secara langsung dengan mengidentifikasi wacana berita yang berpedoman pada model analisis framing dari Robert M.Entman. data hasil identifikasi tersebut dianalisis untuk menentukan cara pandang atau perspektif yang digunakan oleh media dalam mengkonstruksi realitas menjadi berita. Data-data dalam penelitian ini adalah berita-berita mengenai kontroversi seputar RUU nikah siri di surat kabar Kompas dan Jawa Pos.

Selain itu, dalam penelitian ini juga menggunakan data sekunder yang diperoleh dari informasi yang relevan dari buku, surat kabar, internet, yang digunakan untuk menambah perspektif kajian analisis dalam upaya menjawab permasalahan penelitian. Data-data sekunder juga diperoleh dari literature dan sumber data surat kabar yang merupakan informasi tambahan yang dilakukan dengan studi kepustakaan.

3.6 Teknik Analisis Data

Anaisis data merupakan upaya dalam mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi untuk meningkatkan pemahaman penelitian tentang kasus yag diteliti (kontroversi seputar RUU nikah siri) dan menjadikannya sebagai temuan bagi orang lain.

Peneliti menggunakan teknik analisis framing sebagai teknik dalam menganalisis data penelitian ini. Analisis framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif media ketika menyeleksi isu dan menuliskannya menjadi berita. Data-data yang diperoleh dengan pengumpulan secara langsung dengan mengidentifikasi wacana berita, dianalisis dengan langkah-langkah analisis framing milik Robert


(53)

M.Entman. Konsep milik Entman menggunakan empat cara untuk anlaisis framing, pertama problem identification yaitu bagaimana media mengidentifikasi masalah. Dimana peristiwa tersebut dilihat sebagai apa oleh media. Kedua, causal interpretation yaitu bagaimana media mengidentifikasi masalah yakni siapa yang dianggap sebagai penyebab masalah dalam peristiwa yang diberitakan. Ketiga, moral evaluation yaitu bagaimana media melakukan penilaian atas penyebab suatu masalah, dan bagaimana cara penanganan suatu masalah atau treatment recommendation yaitu bagaimana media menawarkan dan merekomendasikan suatu cara penanganan masalah dan bahkan memprediksi hasilnya.

3.7 Langkah-Langkah Analisis Framing

Dengan menggunakan perangkat framing model Robert M.Entman, peneliti hendak menguraikan berita-berita yang memuat kasus Kontroversi RUU nikah siri di surat kabar Kompas dan Jawa Pos, dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Pertama : peneliti mengumpulkan semua berita-berita yang memuat tentang kasus seputar kontroversi RUU nikah siri di surat kabar Kompas dan Jawa Pos periode bulan Februari 2010. Yang kemudian membuat kerangka framingnya berdasarkan model dari Robert M.Entman.

2. Kedua : melakukan analisis terhadap berita-berita tersebut dan kemudian membuat interpretasi-interpretasi terhadap berita tersebut berdasarkan model Robert M.Entman. Analisis berita-berita tersebut akan didasarkan pada empat struktur besar, yaitu ;


(54)

a. Define problems atau problem identification (pendefinisian masalah) adalah elemen yang pertama kali dapat dilihat mengenai framing. Elemen ini merupakan master frame atau bingkai yang paling utama. Ia menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan. Ketika ada masalah atau peristiwa, bagaimana peristiwa atau isu tersebut dipahami. Peristiwa yang sama dapat dipahami secara berbeda. Dan bingkai yang berbeda ini akan menyebabkan realitas bentukan yang berbeda pula. (Eriyanto, 2002 : 190)

b. Diagnose cause atau causal interpretation (memperkirakan penyebab masalah), merupakan elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai actor suatu peristiwa. Penyebab disini bisa berarti apa (what), tetapi bisa juga berarti siapa (who). Bagaimana peristiwa dipahami, tentu saja menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah. Karena itu, masalah yang dipahami secara berbeda, penyebab masalah secara tidak langsung juga akan dipahami secara berbeda pula.

c. Make moral judgement (membuat pilihan moral) adalah elemen framing yang dipakai untuk membenarkan atau memberikan argumentasi pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat. Ketika masalah sudah didefinisikan, penyebab masalah sudah ditentukan , dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut. Gagasan yang dikutip, berhubungan dengan sesuatu yang familiar dan dikenal oleh khalayak.


(55)

d. Treatment recommendation (menekankan penyelesian). Elemen ini dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan. Jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan masalah. Penyelesaian itu tentu saja sangat bergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa yang dipandang sebagai penyebab masalah. (Eriyanto, 2002 : 191)


(56)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Objek Penelitian

4.1.1. Surat Kabar Kompas

4.1.1.1. Sejarah Perkembangan Kompas

Suatu hari awal tahun 1965, Letjen Ahmad Yani (1922-1965) selaku Menteri/Panglima TNI-AD menelepon rekannya sekabinet, Drs. Frans Seda. Yani melemparkan ide menerbitkan Koran melawan pers komunis. Frans Seda menanggapi ide itu, membicarakannya dengan Ignatius Josef Kasimo (1900-1986) – sesama rekan di Partai Katolik – dan dengan rekannya yang memimpin majalah intisari, Petrus Kanisius Ojong (1920-1980) dan Jakob Oetama. Kedua nama terakhir itulah yang kemudian mempersiapkannya. Nama Koran itu Bentara Rakyat, sebuah penegasan diri sebagai pembela rakyat yang sebenarnya; berbeda dengan Koran-koran dibawah nama Partai Komunis Indonesia (PKI) yang memanipulasi makna rakyat.

Menjelang terbitnya Bentara Rakyat, Frans Seda sebagai menteri Perkebunan datang ke Istana Merdeka menemui Presiden Soekarno. Presiden bertanya nama Koran yang akan terbit. Dijawab oleh Seda bernama Bentara Rakyat. Bung Karno menimpali, “sebaiknya Koran itu diberi nama Kompas supaya jelas diterima sebagai penunjuk arah”. Akhirnya dinamai Kompas. Bentara Rakyat dijadikan nama yayasan yang menerbitkan. (Buket Kompas : Juni ; 2000)


(57)

Kompas pertama kali terbit pada hari Senin tanggal 28 Juni 1965 setebal empat halaman, dicetak 4.800 eksemplar, berdasarkan keputusan Menteri Penerangan No. 003N/SK/DPHMJSIT/1965 tertanggal 9 Juni 1965. Pelopor utama berdirinya lembaga media ini adalah orang-orang muda yang beberapa diantaranya adalah P.K. Ojong, Jakob Oetama, August Parengkuan, serta Indra Gunawan seperti diungkapkan diatas.

Pada bulan-bulan pertama Kompas diplesetkan sebagai Komt Pas Morgen atau “Kompas yang datang pada keesokan harinya”, karena sering telat terbit. Oleh PKI namanya diplesetkan sebagai “komando pastor”, sebab tokoh-tokoh pendiri dan perintisnya berasal dari golongan Katolik. Diawaki tidak lebih dari 10 orang di bagian redaksi dan bisnis sampai tahun 1972, kantor redaksi ada di Jl. Pintu Besar Selatan, kemudian pindah ke Jl. Palmerah Selatan 22-26.

UU Pokok Pers Tahun 1982 dan ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers mewajibkan penerbit pers berbadan hukum. Oleh karena itu, sejak tahun 1982 penerbit Kompas bukan lagi Yayasan Bentara Rakyat, tetapi PT. Kompas Media Nusantara.

Awal mula penerbitan harian yang terbit di ibukota Negara ini, berada pada kondisi yang cukup memprihatinkan. Kantor yang ditempati berbagi dua dengan kantor majalah Intisari yang bertempat di Jalan Pintu Besar Selatan No. 86-88 Jakarta Kota. Sedangkan percetakannya masih menggunakan percetakan milik PN. Eka Grafika.


(58)

Satu bulan setelah mencetak penerbitannya pada PN. Eka Grafika, Kompas beralih pada percetakan Masa Merdeka milik BM. Diah. Tampaknya Kompas mendapat keuntungan lebih dengan mencetak penerbitannya di percetakan Masa Merdeka ini karena ternyata hasil cetakannya jauh lebih bagus dan karena sudah menggunakan mesin rotasi sehingga daya cetakannya lebih cepat. Sampai kemudian oplah Kompas meningkat hampir seratus persen.

Situasi dan kondisi yang tidak menentu pada masa orde lama mempengaruhi perkembangan Kompas selanjutnya. Penghentian penerbitan beberapa surat kabar sehubungan dengan adanya pemberontakan G30S/PKI juga menimpa Kompas. Tepatnya tanggal 2 Oktober 1965, Kompas mendapat perintah untuk menghentikan kegiatannya. Namun manakala kondisi sudah mulai memulih, pada akhirnya Kompas kembali diijinkan terbit kembali pada tanggal 6 Oktober 1965.

Setelah berbagai kekacauan yang disebabkan oleh meletusnya G30S/PKI. Kompas kemudian tidak lagi mencetak pada percetakan PN.Eka Grafika, PT. Kinta yang merupakan percetakan terbaik saat itu menjadi pilihan Kompas untuk mencetak harian ini. Selain pertimbangan peningkatan kualitas juga karena salah satu harian yang mencetak di percetakan tersebut berhenti terbit karena adanya pelarangan. Beberapa alasan pelarangan penerbitan terhadap beberapa media massa waktu itu karena afikasi lembaga media dengan partai terlarang. Pada perkembangan selanjutnya Kompas terbit 4 halaman tiap harinya dengan oplah yang terus saja menanjak yaitu mencapai 15.000 eksemplar. Semenjak itu Kompas terus saja meningkatkan oplahnya hingga pada tahun 1972, harian ini telah memiliki percetakan sendiri yang dinamakan PT. Gramedia.


(1)

politik merupakan factor eksternal yang sangat berpengaruh terhadap struktur dan kemasan media tersebut. Sedangkan factor internalnya adalah kebijakan redaksional, yaitu structural dalam mengkonstruksi sebuah realitas. Dalam instansi seperti organisasi media yang menerbitkan media cetak berupa surat kabar, boleh jadi factor idealis dan ideologis ikut menjadi pertimbangan yang relative pasti dilakukan untuk menyaring berita yang masuk. Sebuah media yang lebih ideologis, pada umumnya muncul sebagai kontruksi realitas yang bersifat pembelaan terhadap kelompok yang sealiran dan penyerangan terhadap kelompok yang berbeda haluan.

Media disini dipandang sebagai instrument ideology melalui satu kelompok yang menyebarkan pengaruh dan dominasinya pada kelompok yang lain. Media bukanlah ranah yang netral, dimana berbagai kelompok akan mendapatkan perlakuan yang sama dan seimbang. Media justru bisa menjadi subjek yang mengkonstruksi realitas berdasarkan penafsiran sendiri untuk disebarkan kepada khalayak. Media berperan dalam mendefinisikan realitas. Maka kelompok dan ideology yang dominanlah yang biasanya memiliki peran yang cukup besar.

Selain pengaruh dominasi orientasi para pemimpin media terhadap konstruksi realitas berita, yang disajikan oleh wartawan pada kedua surat kabar tersebut didalam mengolah dan mengemas informasi atau sebuah realitas juga dipengaruhi ideology, pengalaman hidup dan social serta kecenderungan psikologi wartawan.

Wartawan sebagai individu, memiliki cara berpikir (frame of thinking) yang khas atau spesifik dan sangat dipengaruhi oleh acuan pengalaman yang dimiliki. Selain itu juga dipengaruhi oleh kebiasaan menggunakan sudut pandang. Setiap individu juga


(2)

104   

memiliki konteks dalam “membingkai” sesuatu sehingga menghasilkan makna yang unik. Konteks yang dimaksud, misalnya senang-tidak senang menganggap bagian tertentu lebih penting daripada bagian yang lain, dapat juga konteks sesuai dengan bidangnya masing-masing (social, politik, ekonomi, keamanan, agama, dll), juga konteks masa lalu atau masa depan dan seterusnya.

Jadi meskipun wartawan punya ukuran tentang “nilai sebuah berita” (news value), tetapi wartawan juga punya keterbatasan visi, kepentingan ideologis, dan sudut pandang yang berbeda, dan bahkan latar belakang budaya dan etnis. Peristiwa itu baru disebut mempunyai nilai berita, dan karenanya layak diberitakan kalau peristiwa tersebut berhubungan dengan elit atau orang yang terkenal, human interest, dll. Secara sederhana, semakin besar peristiwa, maka semakin besar pula dampak yang ditimbulkannya.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dengan melihat hasil frame dari surat kabar Kompas dan Jawa Pos, maka dapat ditarik kesimpulan berdasarkan konsep framing dari Robert M. Entman untuk mencari solusi yang telah dikemukakan pada perumusan masalah yang terdapat pada Bab 1 mengenai kontroversi RUU Nikah Siri.

Untuk penekanan isu dari kedua surat kabar tersebut, surat kabar Kompas dan Jawa Pos sama-sama terkesan cenderung menolak sanksi pidana dalam RUU Nikah Siri dan mengajak masyarakat untuk tidak terburu-buru dalam mendesakkan pembahasan RUU Nikah Siri tersebut. Karena surat kabar Kompas menganggap adanya potensi perempuan dirugikan untuk kedua kalinya oleh ketentuan isbhat nikah yang terdapat dalam pasal RUU Nikah Siri . Hal tersebut juga diperkuat dengan adanya pernyataan dari narasumber yang dihadirkan surat kabar Kompas.

Selain itu surat kabar Jawa Pos juga menegaskan bahwa pernikahan siri itu sah dan halal menurut agama Islam karena sudah terpenuhi syarat dan rukun dari pernikahan sah itu sendiri. Hal ini ditekankan oleh surat kabar Jawa Pos untuk menghindari anggapan bahwa nikah siri adalah haram dan melakukan nikah siri adalah perbuatan criminal dan melanggar hukum.


(4)

106   

5.2 Saran

Terlepas dari saran secara teoritis, dalam hal ini peneliti ingin memberi saran kepada masing-masing media yang menjadi objek penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti sedikit menemukan kesulitan dalam menentukan frame antar kedua media tersebut dan juga menentukan struktur berita dalam perangkat analisis framing Robert M. Entman. Hal ini terkait komentar dari narasumber yang terdapat dalam surat kabar Kompas maupun Jawa Pos. Dalam surat kabar Kompas, narasumber hanya terkait pada hak-hak asasi manusia tanpa memandang nikah siri dari sudut agamanya. Sedang surat kabar Jawa Pos yang hanya memandang dari sudut agama saja tanpa melihat hak-hak dari perempuan dan anak-anak.

Yang ingin peneliti sampaikan adalah, bahwa karena media bisa mempengaruhi sikap dan pola pikir masyarakat tentang sesuatu. Dan masyarakat menganggap media adalah sebuah cerminan dari realitas yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Sehingga peneliti ingin memberikan saran kepada media agar memberikan informasi yang benar-benar memberikan manfaat bagi pembacanya. Hal ini sangat penting, mengingat permasalahan nikah siri ini adalah salah satu permasalahan yang sangat kompleks. Oleh karena itu diharapkan untuk pemberitaan selanjutnya, surat kabar Kompas ataupun Jawa Pos benar-benar memberi pemahaman yang luas dari berbagai sudut, baik sudut kemanusiaan ataupun sudut keagamaan dalam setiap permasalahan dan ikut serta dalam memberikan solusi bagi pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan tersebut.


(5)

Bungin, Burhan, 2001. Imaji Media Massa : Konstruksi dan Makna, Jakarta : PT. Rajagrafindo.

Djuroto, Totok, 2002. Manajemen Penerbitan Pers, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Eriyanto, 2001. Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta : Lkis.

Eriyanto, 2002. Analisis Framing : Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, Yogyakarta : LKIS.

Hamad, Ibnu, 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa : Sebuah Critical Discourse Analysis Terhadap Berita-Berita Politik, Jakarta : Granit.

Hariadi, 1994. Kawin Siri Sebagai Siasat Kawin Dalam Media Studi Wanita, Vol.1, Surabaya : PP/SW Lembaga Penelitian UNAIR.

Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi, 2001. Pers Indonesia Era Transisi, Bandung : PT. Remajarosdakarya.

Koenjtoroningrat, 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta : Dian Rakyat.

Kountur, Rony, 2003. Metode Penelitian Untuk Penelitian Skripsi dan Tesis, Jakarta : PPM.

Kurniawan, 2001. Semiologi Roland Barthez, _____ : Indonesiantara.

Muhdor, A Zuhdi, 1994. Memahami Hukum Perkawinan, Bandung : Al-Bayan. Nasution, Khoirudin, 2002. Status Wanita di Asia Tenggara : Studi Terhadap

Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Jakarta : INIS.

Nugroho, Bima, Eriyanto, Frans Yudiasis, 1999. Politik Media Mengemas Berita, Jakarta : ISAI.


(6)

Oetama, Jacob, 2001. Pers Indonesia, Jakarta : Buku Kompas.

Pareno, Dr.H.Sam Abede, MM, 2005. Manajemen Berita Antara Idealisme dan Realita, Surabaya : Papyrus.

Rakhmat, Jalaludin, 2001. Metode Penelitian Komunikasi, Bandung : Rosdakarya. Ramulyo, Idris, 2002. Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Bumi Aksara.

Rivers, Jensen, Peterson, 2004. Media Massa dan Masyarakat Modern, Jakarta : Pranada Media.

Sen, Krishna dan David T.Hill, 2001. Media, Budaya dan Politik di Indonesia, Jakarta : ISAI.

Sobur, Alex, 2001. Analisis Teks Media, Bandung : Remaja Rosdakarya. Sobur, Alex, 2002. Analisis Teks Media, Bandung : Rosdakarya.

Sobur, Alex, 2006. Analisis Teks Media, Bandung : PT. Remajarosdakarya. Siahaan, Hotman M, 2001. Pers yang Gamang, Jakarta : LSPS, ISAI.

Yunus, Mahmud, 1973. Kamas Arab Indonesia, Jakarta : Yayasan Penyelengaraan Penerjemah/Penafsir Al-Quran.

Non Buku :

Diah Ayunda P. 2007. Pembingkaian Berita Poligami AA Gym di Tabloid Nova dan Nurani (Studi Analisis Framing Berita Poligami AA Gym di Tabloid Nova dan Nurani). Laporan Skripsi UPN ”Veteran” Jawa Timur Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi.

Rr. Putri Kusumaning Ayu. 2007. Wacana Pernikahan Siri alam Tayangan Infotainment (Critical Discourse Analysis Tentang Pernikahan Siri di Kalangan Artis Dalam Tayangan Infotainment Insert Investigasi episode 324 tanggal 5 Maret 2007 di trans TV). Laporan Skripsi UPN ”Veteran” Jawa Timur Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi.


Dokumen yang terkait

PEMBINGKAIAN BERITA TENTANG KASUS KORUPSI SPORT CENTER DI HAMBALANG PADA SURAT KABAR JAWA POS DAN KOMPAS.

0 3 47

PEMBINGKAIAN BERITA BAILOUT CENTURY (Studi Analisis Framing Tentang Bailout Century Pada Sidang Paripurna SPR di Surat Kabar Jawa Pos dan Kompas).

1 2 100

Pembingkaian Berita Sel Mewah Artalyta di Rutan Pondok Bambu Jakarta (analisis framing dalam surat kabar Jawa Pos dan Kompas).

0 4 102

Pembingkaian Berita Isu Reshuffle Kabinet (Studi Analisis Framing Berita Isu Reshuffle Kabinet di Surat Kabar Jawa Pos dan Kompas).

0 0 102

PEMBINGKAIAN BERITA KISRUH PILKADA DI MOJOKERTO PADA SURAT KABAR KOMPAS DAN JAWA POS EDISI, 22 -23 MEI 2010. ( STUDI ANALISIS FRAMING KISRUH PILKADA DI MOJOKERTO PADA SURAT KABAR KOMPAS DAN JAWA POS EDISI 22-23 MEI 2010).

0 1 79

PEMBINGKAIAN BERITA PEMBATALAN KUNJUNGAN KEPALA NEGARA KE BELANDA DI SURAT KABAR (Studi Analisis Framing Berita Pembatalan Kunjungan Kepala Negara ke Belanda di Surat Kabar Jawa Pos dan Kompas).

3 13 142

PEMBINGKAIAN BERITA PEMBATALAN KUNJUNGAN KEPALA NEGARA KE BELANDA DI SURAT KABAR (Studi Analisis Framing Berita Pembatalan Kunjungan Kepala Negara ke Belanda di Surat Kabar Jawa Pos dan Kompas)

0 0 17

KATA PENGANTAR - PEMBINGKAIAN BERITA RUU NIKAH SIRI DI SURAT KABAR KOMPAS DAN JAWA POS (Studi Analisis Framing RUU Nikah Siri di Surat Kabar Kompas dan Jawa Pos)

0 0 17

PEMBINGKAIAN BERITA KISRUH PILKADA DI MOJOKERTO PADA SURAT KABAR KOMPAS DAN JAWA POS EDISI, 22 -23 MEI 2010. ( STUDI ANALISIS FRAMING KISRUH PILKADA DI MOJOKERTO PADA SURAT KABAR KOMPAS DAN JAWA POS EDISI 22-23 MEI 2010).

0 0 22

Pembingkaian Berita Isu Reshuffle Kabinet (Studi Analisis Framing Berita Isu Reshuffle Kabinet di Surat Kabar Jawa Pos dan Kompas)

0 0 17