Perilaku Enjokousai dalam Novel Grotesque Karya Natsuo Kirino.

(1)

PERILAKU ENJOKOUSAI DALAM NOVEL GROTESQUE

KARYA NATSUO KIRINO

I GUSTI AYU ANDANI PERTIWI

1201705027

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG

FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

(3)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa,

Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan anugerah-Nya, skripsi dengan judul

“Perilaku Enjokousai dalam Novel Grotesque Karya Natsuo Kirino” dapat diselesaikan dengan baik.

Melalui kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada kepada Ida Ayu Laksmita Sari, S.Hum.,M.Hum selaku

pembimbing pertama dan Renny Anggraeny, S.S.,M.Pd selaku pembimbing

kedua yang selalu membimbing dengan sabar serta memberikan masukan dan

saran yang berguna dalam proses penyelesaian skripsi ini.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana

atas segala fasilitas yang diberikan selama mengikuti dan menyelesaikan

pendidikan Sastra Jepang di Universitas Udayana. Terima kasih juga kepada Prof.

Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A selaku Dekan Fakultas Sastra dan Budaya atas

izin yang diberikan untuk menempuh pendidikan di Fakultas Sastra dan Budaya

Universitas Udayana. Tidak lupa pula terima kasih kepada Ni Luh Putu Ari

Sulatri, S.S.,M.Si selaku ketua Program Studi Sastra Jepang Fakultas Sastra dan

Budaya Universitas Udayana. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga

kepada para dosen Fakultas Sastra dan Budaya khususnya para dosen Program


(4)

iv

Pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih untuk

ayah dan ibu tercinta, I Gusti Ketut Oka dan Sumbawati yang telah mendidik dan

membimbing penulis dari kecil hingga dewasa serta selalu memberikan dukungan.

Khusus untuk nenek dan kakek tersayang yang kini telah tiada, penulis

mengucapkan terima kasih banyak atas segala kasih sayang, didikan, dan

kenangan indah yang telah diberikan dari kecil hingga penulis beranjak dewasa.

Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih untuk kakak-kakak tercinta,

I Gusti Ayu Dewi Wulandari, I Gusti Ayu Devyarani Windari, I Gusti Ayu

Restiani Vidyari dan adik Gustiagus Umbu Aldi Putra serta bibi, paman, dan

seluruh keluarga besar yang telah memberikan kasih sayang dan selalu

mendukung penulis. Terima kasih pula penulis sampaikan untuk orang terdekat

Putu Surya Wedra Lesmana, S.T.,M.Eng yang telah membantu dalam pencarian

sumber data serta selalu memberikan semangat dan dorongan untuk penulis.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada sahabat penulis Mirda Raihan

Khairunnisa, Ni Nengah Sri Wahyuni, Arry Luh Ketut Prasthaningrum, serta

teman-teman Sastra Jepang khususnya Sastra Jepang angkatan 2012 yang telah

banyak membantu serta memberikan kenangan yang indah selama mengikuti

perkuliahan.

Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa selalu memberikan anugerah dan

rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi

ini.

Denpasar, Januari 2016


(5)

v ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Perilaku Enjokousai dalam Novel Grotesque Karya Natsuo Kirino”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis, faktor penyebab, dan dampak perilaku enjokousai dalam novel Grotesque karya Natsuo Kirino.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sosiologi sastra Wellek dan Warren dan teori patologi sosial Kartono. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode informal dan metode deskriptif analisis.

Hasil analisis menunjukkan bahwa perilaku enjokousai terbagi menjadi dua yaitu 1) enjokousai yang dilakukan secara individu, dan 2) enjokousai yang dilakukan dengan berkelompok. Perilaku enjokousai dalam novel Grotesque disebabkan oleh beberapa faktor yaitu 1) adanya nafsu seks yang abnormal (hiperseks); 2) pertimbangan ekonomis untuk mempertahankan hidup; 3) pada masa kanak-kanak pernah melakukan hubungan seksual; 4) kompensasi terhadap perasaan inferior; 5) adanya anggapan bahwa wanita memang dibutuhkan dalam permainan cinta. Selanjutnya dampak perilaku enjokousai yang terdapat dalam novel Grotesque yaitu 1) merusak sendi-sendi kehidupan keluarga; 2) merusak sendi-sendi moral dan hukum; 3) adanya pengeksploitasian manusia oleh manusia lain; 4) menyebabkan terjadinya disfungsi seksual.


(6)

vi

要約

本論文 タ 桐野夏生 ロテス 小説 け

援助交際 あ 研究 目的 桐野夏生 ロテス 小説 け

援助交際 種類 原因要素 影響を理解す こ あ 研究 使用した

理論 Wellek Warren 文学 社会 理論 Kartono 社会 病理 理

論 あ 研究 使用した方法論 記述的分析 非公式 あ 分析 結

果 援助交際 種類 二つあ そ 1)個人的 行わ 援助交際 2)

集団的 行わ 援助交際 あ ロテス 小説 け 援助交際

原因 様々 あ そ 1)ハ パーセ ス 2)生活 ため 経 的

理由 3)若年時 す 性交 を経験し い 4) 劣等感 補償 5)

女性 愛 ゲーム 必要 み さ そ ロテス 小説

け 援助交際 影響 1)家族 人生を壊す 2)道徳 法律を壊す 3) 人

間 人間 開発 4)勃起不全 原因


(7)

vii Daftar Isi

Halaman Judul ... i

Lembar Pengesahan ... ii

Kata Pengantar ... iii

Abstrak ... v

要約... vi

Daftar Isi ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan Umum ... 4

1.3.2 Tujuan Khusus ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.4.1 Manfaat Teoretis ... 4

1.4.2 Manfaat Praktis ... 5

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 5


(8)

viii

1.7 Metode dan Teknik Penelitian ... 6

1.7.1Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 6

1.7.2 Metode dan Teknik Analisis Data ... 6

1.7.3 Metode danTeknik Penyajian Hasil Analisis Data ... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI ... 8

2.1 Kajian Pustaka ... 8

2.2 Konsep ... 10

2.2.1 Perilaku Menyimpang ... 11

2.2.2 Enjokousai ... 11

2.3 Kerangka Teori ... 13

2.3.1 Teori Sosiologi Sastra ... 13

2.3.2 Teori Patologi Sosial ... 14

BAB III RIWAYAT PENGARANG DAN KARYA-KARYANYA ... 18

3.1 Natsuo Kirino ... 18

3.2 Karya-karya Natsuo Kirino ... 20

3.2.1 Novel Out ... 21

3.2.2 Novel Grotesque ... 24

BAB IV ANALISIS PERILAKU ENJOKOUSAI DALAM NOVEL GROTESQUE KARYA NATSUO KIRINO ... 28


(9)

ix

4.1 Jenis-jenis Perilaku Enjokousai ... 28

4.1.1 Enjokousai yang Beroperasi dengan Bantuan Organisasi dan Sindikat yang Teratur ... 29

4.1.2 Enjokousai yang Beroperasi Secara Individual ... 37

4.2 Hal-hal yang Melatarbelakangi Perilaku Enjokousai ... 39

4.2.1 Adanya Nafsu Seks yang Abnormal (Hiperseks) ... 40

4.2.2 Pertimbangan Ekonomis untuk Mempertahankan Hidup ... 42

4.2.3 Pada Masa Kanak-kanak Pernah Melakukan Hubungan Seksual ... 45

4.2.4 Kompensasi terhadap Perasaan-perasaan Inferior ... 47

4.2.5 Adanya Anggapan Bahwa Wanita Memang Dibutuhkan dalam Permainan Cinta ... 49

BAB V DAMPAK YANG DITIMBULKAN DARI PERILAKU ENJOKOUSAI TOKOH DALAM NOVEL GROTESQUE KARYA NATSUO KIRINO ... 51

5.1 Dampak yang Ditimbulkan dari Perilaku Enjokousai Tokoh dalam Novel Grotesque Karya Natsuo Kirino ... 51

5.1.1 Merusak Sendi-sendi Kehidupan Keluarga ... 52

5.1.2 Merusak Sendi-sendi Moral dan Hukum ... 56

5.1.3 Adanya Pengeksploitasian Manusia oleh Manusia Lain ... 59

5.1.4 Menyebabkan Terjadinya Disfungsi Seksual ... 62

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 65


(10)

x

6.2 Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR UNDUHAN DAFTAR KAMUS LAMPIRAN


(11)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai salah satu negara maju, Jepang mengalami banyak

fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakatnya. Salah satu fenomena-fenomena

yang sedang menjamur di Jepang yaitu enjokousai. Enjokousai merupakan

kegiatan atau praktik yang dilakukan oleh para remaja putri yang dibayar oleh

laki-laki tengah umur dengan menemani mereka berkencan ataupun sampai

dengan melakukan hubungan seksual (Smyth, 1998). Kebanyakan pelaku

enjokousai berasal dari latar belakang ekonomi kelas menengah sampai kelas

menengah ke atas (Wong, 2008:2)

Fenomena enjokousai sebenarnya bukan masalah baru di Jepang. Pada

tahun 1793, di era pemerintahan Shougun Tokugawa, pemerintah melegalkan

untuk menjual anak perempuan mereka ke dalam prostitusi. Akan tetapi hal itu

mereka lakukan untuk mencari uang supaya keluarganya dapat bertahan hidup

(Sheldon, 1993:721). Enjokousai mulai populer di kalangan remaja Jepang seiring

dengan berkembangnya terekura (servis kencan dengan media telepon) yang

menjadi fasilitas untuk mempermudah pertemuan antara pelaku dan konsumen,

dan berujung dengan aktivitas seksual (Wakabayashi, 2003:155). Sampai saat ini

diketahui bahwa pelaku enjokousai sebagian besar dilakukan oleh gadis-gadis di

bawah usia 18 tahun dan sebagian kecil dilakukan oleh gadis-gadis dewasa di atas


(12)

mendorong pengarang-pengarang di zaman modern memunculkan karya sastra

yang bertemakan enjokousai.

Salah satu karya sastra yang memunculkan perilaku enjokousai pada

tokohnya adalah dalam novel Grotesque karya Natsuo Kirino. Novel Grotesque

adalah sebuah novel yang mengisahkan kehidupan dua orang wanita yang

berprofesi sebagai seorang pelacur yang terbunuh secara sadis. Kedua wanita

tersebut adalah Kazue Sato dan Yuriko. Kazue Sato memiliki dua profesi ganda.

Pada siang hari Sato adalah karyawati di salah satu perusahaan terkenal di Jepang

dan ketika malam ia beralih profesi menjadi seorang pelacur. Yuriko adalah

seorang gadis campuran Jepang dan Swiss. Semenjak remaja ia telah mengenal

kehidupan seks. Dengan bantuan temannya, ia mulai memikat pria-pria hidung

belang untuk berkencan dengannya. Melalui tokoh-tokoh dalam novel ini

dijelaskan mengenai kehidupan seorang enjokousai.

Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dipilihnya novel Grotesque

karya Natsuo Kirino sebagai objek penelitian, yaitu yang pertama dalam novel ini

diceritakan mengenai kehidupan seorang enjokousai. Tokoh dalam novel yang

melakukan enjokousai yaitu Yuriko dan Sato. Yuriko melakukan enjokousai

ketika ia berusia 15 tahun. Diawali dengan melakukan hubungan seks pertama

kali dengan pamannya sendiri, kemudian ia mulai berani berhubungan seksual

dengan lelaki lain yang lebih tua darinya dengan maksud untuk mendapatkan

sejumlah uang. Bahkan ia menyebut dirinya sendiri sebagai seorang pencetak

uang. Dengan latar belakang kehidupan yang berbeda dari Yuriko, Sato juga


(13)

ia lampiaskan dengan melakukan enjokousai. Baginya, ada semacam perasaan

bangga bisa melakoni pekerjaan yang tidak semua perempuan berani lakukan.

Kedua, novel Grotesque ditulis oleh seorang penulis Jepang terkenal

bernama Natsuo Kirino yang telah beberapa kali memenangkan penghargaan di

bidang karya sastra. Ia pernah memenangkan penghargaan Grand Prix untuk fiksi

kriminal di Jepang yang merupakan penghargaan sastra tertinggi di negeri itu.

Novel Grotesque sendiri telah memenangkan penghargaan Izumi Kyōka Prize for Literature tahun 2003 (Tokyo, Kodansha:2003).

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dipilihlah novel Grotesque karya

Natsuo Kirino sebagai objek penelitian ini khususnya tentang perilaku enjokousai

dengan menggunakan teori sosiologi sastra.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka masalah yang dibahas dalam

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah perilaku enjokousai yang terdapat dalam novel Grotesque

karya Natsuo Kirino?

2. Bagaimanakah dampak yang ditimbulkan dari perilaku enjokousai tokoh yang

terdapat dalam novel Grotesque karya Natsuo Kirino?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan, penelitian ini memiliki dua


(14)

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan apresiasi

terhadap karya sastra Jepang agar semakin dikenal masyarakat. Selain itu,

memberikan informasi kepada pembaca agar dapat memahami novel Grotesque

karya Natsuo Kirino beserta aspek sosiologinya.

1.3.2 Tujuan Khusus

Penelitian ini memiliki tujuan khusus yaitu sebagai berikut:

1. Mengetahui perilaku enjokousai yang terdapat dalam novel Grotesque

karya Natsuo Kirino

2. Mengetahui dampak dari perilaku enjokousai tokoh dalam novel

Grotesque karya Natsuo

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoretis

maupun praktis, yaitu:

1.4.1 Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan mengenai karya

sastra Jepang, khususnya mengenai penelitian dalam karya sastra dengan

menggunakan teori sosiologi sastra dalam novel Grotesque karya Natsuo Kirino.

Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk


(15)

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca dan para

pembelajar bahasa Jepang untuk memahami perilaku enjokousai khususnya

mengenai jenis-jenis perilaku enjokousai, latar belakang serta dampak perilaku

enjokousai dalam novel Grotesque karya Natsuo Kirino.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Batasan-batasan penelitian diperlukan dalam sebuah penelitian. Hal ini

berfungsi untuk membatasi jangkauan penelitian agar tidak melenceng dari pokok

bahasan. Maka dari itu, ruang lingkup penelitian difokuskan pada perilaku

enjokousai dan dampak yang ditimbulkan dari perilaku enjokousai dalam novel

Grotesque karya Natsuo Kirino.

1.6 Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah novel asli

dengan judul Grotesque karya Natsuo Kirino diterbitkan di Jepang oleh Bungei

Shunju LTD pada tanggal 27 Juni 2003 dengan tebal 536 halaman. Dipergunakan

pula sumber lain, yaitu buku, jurnal, sumber internet mengenai masyarakat Jepang,


(16)

1.7 Metode dan Teknik Penelitian

Sebagai alat, sama dengan teori, metode berfungsi menyederhanakan

masalah sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami (Ratna, 2004).

Metode dan teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.7.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode kepustakaan dan dilanjutkan dengan teknik catat. Metode kepustakaan

yaitu metode yang secara khusus meneliti teks untuk dapat memahami teks dan

menginterpretasikannya (Ratna, 2004:39). Tahapan pengumpulan data pada

penelitian ini dilakukan pertama dengan menetapkan sumber data, yaitu novel

Grotesque. Setelah menetapkan sumber data, langkah kedua yaitu membaca

secara intensif novel Grotesque, kemudian yang terakhir mencatat data yang

sesuai dengan rumusan masalah yaitu mengenai perilaku enjokousai dalam novel

Grotesque dan dampak yang ditimbulkan dari perilaku enjokousai.

1.7.2 Metode dan Teknik Analisis Data

` Metode yang digunakan dalam analisis data adalah metode deskriptif

analisis, yaitu mendeskripsikan dan memahami data-data yang didapat kemudian

dianalisis (Ratna, 2004:53). Data-data yang terdapat dalam novel dianalisis

dengan mendeskripsikan fakta-fakta yang ada sesuai dengan masalah yang

dibahas dalam penelitian. Teknik analisis data dilakukan dengan

mengidentifikasikan masalah dan menganalisis data-data mengenai perilaku

enjokousai yang terdapat dalam novel serta dampak dari perilaku enjokousai.


(17)

1.7.3 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Metode penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini adalah metode

informal yaitu penyajian hasil analisis dengan rangkaian kata-kata, bukan dalam

bentuk angka-angka (Ratna, 2004:50). Teknik penyajian hasil analisis data yaitu

teknik narasi. Hasil analisis data mengenai perilaku enjokousai yang terdapat

dalam novel serta dampak-dampak dari perilaku enjokousai yang terdapat dalam

novel Grotesque karya Natsuo Kirino disajikan dengan rangkaian kata-kata dalam


(18)

8

2.1 Kajian Pustaka

Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan, terdapat beberapa

penelitian yang dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Soraya (2014) berjudul

“Pengaruh Interaksi Sosial pada Perilaku Enjokousai Tokoh Tomoko dalam Film Tenshi no Koi Karya Sutradara Kanchiku Yuri” menganalisis tentang tokoh Tomoko yang menjadi pelaku enjokousai melalui interaksi sosial. Teori yang

digunakan dalam penelitian Soraya adalah teori sosiologi sastra terfokus pada

sistem interaksi sosial. Selain itu, Soraya juga menggunakan teori mise en scene

karena data yang dianalisis berupa adegan dalam film. Hasil penelitian Soraya

adalah setelah mengalami proses interaksi sosial, tokoh Tomoko kemudian

mengidentifikasikan dirinya sebagai pelaku enjokousai. Dimulai dari adanya

kontak sosial dan komunikasi dengan kelompok siswi populer, proses imitasi pada

kelompok pertemanannya, kemudian sugesti dari kelompoknya. Tomoko merasa

nyaman sebagai pelaku enjokousai. Persamaan dengan penelitian ini terletak pada

objek kajian yaitu mengenai enjokousai. Namun, dalam penelitian Soraya hanya

menonjolkan kegagalan proses interaksi sosial sebagai penyebab tokoh Tomoko

melakukan enjokousai sedangkan dalam penelitian ini dibahas secara lebih

mendalam mengenai kehidupan seorang pelaku enjokousai dan juga dijelaskan


(19)

enjokousai. Penelitian Soraya memberikan pemahaman mengenai faktor penyebab

enjokousai khususnya dari segi interaksi sosial.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Rani (2014) berjudul “Prostitusi Remaja Wanita Jepang dalam Anime Initial D” menganalisis tentang seorang gadis bernama Natsuki Mogi yang menjalin hubungan dengan seorang laki-laki yang lebih tua

darinya demi bisa memenuhi kebutuhannya baik kebutuhan ekonomi maupun hasrat

seksual. Teori yang digunakan yaitu teori semiotik Roland Barthes. Metode yang

digunakan adalah metode kualitatif yaitu suatu proses yang mencoba untuk

mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai kompleksitas yang ada dalam

interaksi manusia. Hasil penelitian Rani adalah ditemukan unsur-unsur dan

karakteristik dari tokoh Natsuki Mogi dan papa sebagai pelaku enjokousai. Selain itu,

tokoh Natsuki Mogi merupakan refleksi pelaku enjokousai yang melakukan

enjokousai hanya untuk menambah pengalaman seksual masa remaja. Pemahaman

mengenai enjokousai dalam penelitian Rani hanya dijelaskan sebatas pemahaman

akan hal-hal yang menjadi pendorong terjadinya enjokousai sedangkan dalam

penelitian ini pemahaman mengenai enjokousai dilakukan secara lebih mendalam

yaitu pemahaman mengenai jenis-jenis enjokousai, faktor penyebabnya, serta dampak

yang ditimbulkan dari perilaku enjokousai. Penelitian Rani memberikan pemahaman

mengenai konsep enjokousai khususnya mengenai hal-hal yang melatarbelakangi

perilaku enjokousai.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Jiwaningrat (2008) yang berjudul


(20)

Perilaku Enjokousai dalam Film Love and Pop” menganalisis tentang remaja putri bernama Hiromi yang terjerumus ke dalam perilaku enjokousai karena konformitas

dalam kelompok. Penelitian Jiwaningrat menggunakan teori konformitas. Metode

yang digunakan yaitu metode deskriptif. Hasil penelitian Jiwaningrat adalah tokoh

Hiromi menjadi seorang pelaku enjokousai karena konformitas yang dianalisis dari

empat unsur pemicu yaitu kepercayaan diri yang lemah, rasa takut terhadap celaan

sosial, kepercayaan terhadap kelompok, dan kurangnya informasi. Adapun alasan

yang mendasarinya yaitu kepercayaan diri yang lemah tercermin dalam tindakan dan

perkataan Hiromi yang tidak pernah dapat menolak akan apa yang dikatakan oleh

teman-temannya. Persamaan dengan penelitian ini yaitu mengangkat fenomena

enjokousai yang terjadi di Jepang yang direfleksikan melalui tokoh dalam sebuah

karya sastra. Pada penelitian Jiwaningrat, hanya mengangkat secara khusus

konformitas sebagai salah satu penyebab terbesar perilaku enjokousai sedangkan pada

penelitian ini dibahas secara mendalam mengenai perilaku enjokousai yang meliputi

jenis-jenis perilaku enjokousai, hal-hal yang melatarbelakangi perilaku enjokousai,

serta dampak yang ditimbulkan dari perilaku enjokousai. Penelitian Jiwaningrat

memberikan pemahaman secara jelas mengenai konsep enjokousai.

2.2 Konsep

Konsep merupakan semua istilah atau kata kunci yang digunakan dalam suatu

karya ilmiah. Beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini ialah sebagai


(21)

2.2.1 Perilaku Menyimpang

Suatu perilaku dianggap menyimpang apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai

dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat atau dengan kata lain

penyimpangan (deviation) adalah segala macam pola perilaku yang tidak berhasil

menyesuaikan diri (conformity) terhadap kehendak masyarakat (Arief Herdiyanto,

2004:5). Elisanti dan Rostini (2009:93) menyatakan bahwa penyimpangan

merupakan ancaman, tetapi juga merupakan alat pemeliharaan stabilitas sosial.

Perilaku menyimpang merupakan salah satu cara untuk menyesuaikan kebudayaan

dengan perubahan sosial. Dewasa ini tidak ada satu pun masyarakat yang dapat

bertahan dalam kondisi statis untuk jangka waktu yang lama.

Perilaku menyimpang dapat dibedakan menjadi penyimpangan individual dan

penyimpangan kolektif. Penyimpangan individual terdiri dari penyalahgunaan

narkoba, proses sosialisasi yang tidak sempurna, pelacuran, penyimpangan seksual,

tindak kriminal, gaya hidup, dan tindak eksentrik. Perilaku kolektif terdiri atas

kenakalan remaja, tawuran pelajar, dan penyimpangan kebudayaan.

2.2.2 Enjokousai

Istilah enjokousai berasal dari dua kata yaitu enjo (援助) yang berarti bantuan

dan kousai (交際) berarti pergaulan (Matsuura, 1994). Jadi, enjokousai secara harfiah

mengandung arti pergaulan bantuan atau seringkali disebut pergaulan yang


(22)

dan mengalami perluasan makna. Istilah enjokousai didefinisikan sebagai transaksi

yang dilakukan oleh seseorang dengan memberikan pelayanan seksual tanpa paksaan

untuk mendapatkan sejumlah uang atau hadiah (Wakabayashi, 2003:145). Enjokousai

dikenal sebagai fenomena sosial daerah perkotaan Jepang dan dikenal sebagai bentuk

baru dari prostitusi. Perilaku enjokousai lebih banyak dilakukan oleh perempuan

dibandingkan laki-laki.

Menurut Maruta, pelaku enjokousai berkisar pada usia 14-52 tahun, meskipun

96% dari mereka adalah remaja. Pekerjaan mereka berkisar dari sekolah tinggi,

pekerja kantor, pekerja paruh waktu, dan ibu rumah tangga. Adapun orang-orang

yang terlibat dalam enjokousai sebagai pembeli, rentang usia mereka dari sembilan

belas sampai lebih dari delapan puluh tahun. Sebagian besar adalah pria usia tiga

puluhan dan empat puluhan yang memiliki kemampuan ekonomi yang baik untuk

membayar pelaku enjokousai. Enjokousai dapat dimulai melalui perantara terekura

(servis kencan dengan media telepon). Selain itu, terkadang gadis muda bertemu

dengan pria di tempat-tempat umum seperti klub malam atau taman di siang hari.

Karena seringkali enjokousai berakhir di sebuah hotel yang sering dinamakan “Love Hotel”, terutama yang berakhir dengan melakukan hubungan seksual. “Love Hotel” adalah hotel tempat pasangan yang sudah menikah atau yang belum menikah

melakukan hubungan seksual dalam waktu singkat. Alasan banyak pasangan memilih

“Love Hotel” adalah karena jika dilakukan di dalam rumah tidak ada privasi, dindingnya tipis, dan kamar sempit (Maruta dalam Wakabayashi, 2003:157).


(23)

Ada resiko signifikan yang dihadapi oleh gadis-gadis yang melakukan

enjokousai dalam menghadapi pelanggannya yaitu seperti dipukuli atau diserang

secara seksual karena perbedaan dalam hal kekuasaan, status ekonomi, kecerdasan,

dan pengalaman antara pria dan wanita. Semakin banyak para gadis tersebut memiliki

pelanggan, resiko terhadap bahaya tersebut semakin besar. Untuk menghindari

bahaya tersebut, gadis-gadis lebih memilih hubungan jangka panjang. Untuk

perlindungan juga, dua gadis mungkin terlibat dalam satu enjokousai yang disebut

dengan “kyoyu papa” yang berarti “ayah bersama” atau dikonseptualisasikan sebagai lelaki milik para gadis. Tetapi, para lelaki tidak menyukai hubungan yang seperti itu

karena beresiko tinggi membuat mereka teridentifikasi (Wakabayashi, 2003:158)

2.3 Kerangka Teori

Teori yang digunakan untuk menganalisis perilaku enjokousai dalam novel

Grotesque karya Natsuo Kirino adalah Teori Sosiologi Sastra Wellek dan Warren dan

Teori Patologi Sosial dari Kartini Kartono.

2.3.1 Teori Sosiologi Sastra

Menurut Damono (1978:2) sosiologi sastra merupakan pendekatan terhadap

sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Selain itu, sosiologi sastra

merupakan suatu telaah terhadap suatu karya sastra. Wellek dan Warren (dalam


(24)

1. Sosiologi pengarang yang mempermasalahkan latar belakang sosial, status

pengarang, dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di

luar karya sastra.

2. Sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan isi karya sastra, tujuan, serta

hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri berkaitan dengan masalah sosial,

situasi tertentu, atau dengan sistem politik, ekonomi, sosial dan budaya.

3. Sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra

terhadap masyarakat.

Dalam penelitian ini yang dibahas adalah isi dari novel Grotesque tentang

fenomena sosial yang ada di Jepang yaitu perilaku enjokousai. Sehingga dari teori

Wellek dan Warren tersebut, penelitian ini memfokuskan pada butir kedua yaitu

sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan isi karya sastra. Teori tersebut

digunakan untuk menganalisis perilaku enjokousai dalam novel Grotesque karya

Natsuo Kirino.

2.3.2 Teori Patologi Sosial

Menurut Kartono, patologi sosial mengkaji mengenai gejala-gejala sosial

yang dianggap “sakit” atau penyakit masyarakat. Berbagai penyakit masyarakat, antara lain : individu sosiopatik, perjudian, korupsi, kriminalitas, pelacuran, dan

mental disorder.

Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua umur kehidupan

manusia itu sendiri. Yaitu berupa tingkah laku lepas bebas tanpa kendali dan cabul,


(25)

batas-batas kesopanan. Pelacuran itu selalu ada pada semua negara berbudaya, sejak zaman

purba sampai sekarang dan senantiasa menjadi masalah sosial atau menjadi objek

urusan hukum dan tradisi. Selanjutnya, dengan perkembangan teknologi, industri dan

kebudayaan manusia, turut berkembang pula pelacuran dalam berbagai bentuk dan

tingkatannya. Perbuatan melacurkan diri dilakukan baik sebagai kegiatan sambilan

atau pengisi waktu senggang (amateurisme), maupun sebagai pekerjaan penuh atau

profesi.

Kartono (2014:216) menjabarkankan definisi dari pelacuran adalah sebagai

berikut :

1. Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi

impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi dalam bentuk

pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (prosmiskuitas),

disertai eksploitasi dan komersialisasi seks yang impersonal tanpa afeksi sifatnya.

2. Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri (persundalan) dengan jalan

memperjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk

memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran.

3. Pelacuran ialah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan badannya

untuk berbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah.

Kebanyakan pelacur adalah wanita-wanita muda di bawah umur 30 tahun.

Mereka pada umumnya memasuki dunia pelacuran pada usia yang muda, yaitu 13-24

tahun dan yang paling banyak ialah usia 17-24 tahun. Tindak-tindak immoral seksual,


(26)

dalam bersenggama, dan dilakukan dengan banyak pria (promiskuitas) pada

umumnya dilakukan oleh anak-anak gadis penganut seks bebas (Kartono, 2014:225).

Kartono (2014:245) menjelaskan motif-motif yang melatarbelakangi

pelacuran pada wanita dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor

eksternal. Faktor internal berupa rendahnya standar moral dan tingginya nafsu seksual

yang dimiliki orang tersebut. Sedangkan faktor eksternal berupa kesulitan ekonomi,

korban penipuan, korban kekerasan seksual dan keinginan untuk memperoleh status

sosial yang lebih tinggi. Selain itu, Kartono (2014:251) membagi jenis-jenis prostitusi

menjadi tiga macam, yaitu :

a) Prostitusi menurut aktivitasnya :

1. Prostitusi yang terdaftar. Prostitusi yang pelakunya diawasi oleh bagian Vice

Control dari kepolisian, yang dibantu dan bekerja sama dengan Jawatan Sosial dan

Jawatan Kesehatan.

2. Prostitusi yang tidak terdaftar. Termasuk dalam kelompok ini ialah mereka yang

melakukan prostitusi secara gelap-gelapan dan liar,baik secara perorangan maupun

kelompok.

b) Pelacuran menurut jumlahnya :

1. Prostitusi yang beroperasi secara individual merupakan single operator.

2. Prostitusi yang bekerja dengan bantuan organisasi dan sindikat yang teratur rapi.

c) Pelacuran berdasarkan tempat penggolongan atau lokasinya :

1. Segreasi atau lokalisasi, yang terisolasi atau terpisah dari kompleks penduduk


(27)

2. Rumah-rumah panggilan (call houses, tempat rendezvous, parlour)

Teori patologi sosial digunakan untuk menganalisis perilaku enjokousai serta

dampak dari perilaku enjokousai yang terdapat dalam novel Grotesque karya Natsuo


(1)

dan mengalami perluasan makna. Istilah enjokousai didefinisikan sebagai transaksi yang dilakukan oleh seseorang dengan memberikan pelayanan seksual tanpa paksaan untuk mendapatkan sejumlah uang atau hadiah (Wakabayashi, 2003:145). Enjokousai dikenal sebagai fenomena sosial daerah perkotaan Jepang dan dikenal sebagai bentuk baru dari prostitusi. Perilaku enjokousai lebih banyak dilakukan oleh perempuan dibandingkan laki-laki.

Menurut Maruta, pelaku enjokousai berkisar pada usia 14-52 tahun, meskipun 96% dari mereka adalah remaja. Pekerjaan mereka berkisar dari sekolah tinggi, pekerja kantor, pekerja paruh waktu, dan ibu rumah tangga. Adapun orang-orang yang terlibat dalam enjokousai sebagai pembeli, rentang usia mereka dari sembilan belas sampai lebih dari delapan puluh tahun. Sebagian besar adalah pria usia tiga puluhan dan empat puluhan yang memiliki kemampuan ekonomi yang baik untuk membayar pelaku enjokousai. Enjokousai dapat dimulai melalui perantara terekura (servis kencan dengan media telepon). Selain itu, terkadang gadis muda bertemu dengan pria di tempat-tempat umum seperti klub malam atau taman di siang hari. Karena seringkali enjokousai berakhir di sebuah hotel yang sering dinamakan “Love Hotel”, terutama yang berakhir dengan melakukan hubungan seksual. “Love Hotel” adalah hotel tempat pasangan yang sudah menikah atau yang belum menikah melakukan hubungan seksual dalam waktu singkat. Alasan banyak pasangan memilih “Love Hotel” adalah karena jika dilakukan di dalam rumah tidak ada privasi, dindingnya tipis, dan kamar sempit (Maruta dalam Wakabayashi, 2003:157).


(2)

Ada resiko signifikan yang dihadapi oleh gadis-gadis yang melakukan enjokousai dalam menghadapi pelanggannya yaitu seperti dipukuli atau diserang secara seksual karena perbedaan dalam hal kekuasaan, status ekonomi, kecerdasan, dan pengalaman antara pria dan wanita. Semakin banyak para gadis tersebut memiliki pelanggan, resiko terhadap bahaya tersebut semakin besar. Untuk menghindari bahaya tersebut, gadis-gadis lebih memilih hubungan jangka panjang. Untuk perlindungan juga, dua gadis mungkin terlibat dalam satu enjokousai yang disebut dengan “kyoyu papa” yang berarti “ayah bersama” atau dikonseptualisasikan sebagai lelaki milik para gadis. Tetapi, para lelaki tidak menyukai hubungan yang seperti itu karena beresiko tinggi membuat mereka teridentifikasi (Wakabayashi, 2003:158)

2.3 Kerangka Teori

Teori yang digunakan untuk menganalisis perilaku enjokousai dalam novel Grotesque karya Natsuo Kirino adalah Teori Sosiologi Sastra Wellek dan Warren dan Teori Patologi Sosial dari Kartini Kartono.

2.3.1 Teori Sosiologi Sastra

Menurut Damono (1978:2) sosiologi sastra merupakan pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Selain itu, sosiologi sastra merupakan suatu telaah terhadap suatu karya sastra. Wellek dan Warren (dalam Damono, 1993:111-112) membagi sosiologi sastra menjadi tiga bagian, yaitu :


(3)

1. Sosiologi pengarang yang mempermasalahkan latar belakang sosial, status pengarang, dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra.

2. Sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri berkaitan dengan masalah sosial, situasi tertentu, atau dengan sistem politik, ekonomi, sosial dan budaya.

3. Sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra terhadap masyarakat.

Dalam penelitian ini yang dibahas adalah isi dari novel Grotesque tentang fenomena sosial yang ada di Jepang yaitu perilaku enjokousai. Sehingga dari teori Wellek dan Warren tersebut, penelitian ini memfokuskan pada butir kedua yaitu sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan isi karya sastra. Teori tersebut digunakan untuk menganalisis perilaku enjokousai dalam novel Grotesque karya Natsuo Kirino.

2.3.2 Teori Patologi Sosial

Menurut Kartono, patologi sosial mengkaji mengenai gejala-gejala sosial yang dianggap “sakit” atau penyakit masyarakat. Berbagai penyakit masyarakat, antara lain : individu sosiopatik, perjudian, korupsi, kriminalitas, pelacuran, dan mental disorder.

Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua umur kehidupan manusia itu sendiri. Yaitu berupa tingkah laku lepas bebas tanpa kendali dan cabul, karena adanya pelampiasan nafsu seks dengan lawan jenisnya tanpa mengenal


(4)

batas-batas kesopanan. Pelacuran itu selalu ada pada semua negara berbudaya, sejak zaman purba sampai sekarang dan senantiasa menjadi masalah sosial atau menjadi objek urusan hukum dan tradisi. Selanjutnya, dengan perkembangan teknologi, industri dan kebudayaan manusia, turut berkembang pula pelacuran dalam berbagai bentuk dan tingkatannya. Perbuatan melacurkan diri dilakukan baik sebagai kegiatan sambilan atau pengisi waktu senggang (amateurisme), maupun sebagai pekerjaan penuh atau profesi.

Kartono (2014:216) menjabarkankan definisi dari pelacuran adalah sebagai berikut :

1. Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (prosmiskuitas), disertai eksploitasi dan komersialisasi seks yang impersonal tanpa afeksi sifatnya. 2. Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri (persundalan) dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran.

3. Pelacuran ialah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan badannya untuk berbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah.

Kebanyakan pelacur adalah wanita-wanita muda di bawah umur 30 tahun. Mereka pada umumnya memasuki dunia pelacuran pada usia yang muda, yaitu 13-24 tahun dan yang paling banyak ialah usia 17-24 tahun. Tindak-tindak immoral seksual, berupa relasi seksual terang-terangan tanpa malu, sangat kasar, dan sangat provokatif


(5)

dalam bersenggama, dan dilakukan dengan banyak pria (promiskuitas) pada umumnya dilakukan oleh anak-anak gadis penganut seks bebas (Kartono, 2014:225).

Kartono (2014:245) menjelaskan motif-motif yang melatarbelakangi pelacuran pada wanita dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berupa rendahnya standar moral dan tingginya nafsu seksual yang dimiliki orang tersebut. Sedangkan faktor eksternal berupa kesulitan ekonomi, korban penipuan, korban kekerasan seksual dan keinginan untuk memperoleh status sosial yang lebih tinggi. Selain itu, Kartono (2014:251) membagi jenis-jenis prostitusi menjadi tiga macam, yaitu :

a) Prostitusi menurut aktivitasnya :

1. Prostitusi yang terdaftar. Prostitusi yang pelakunya diawasi oleh bagian Vice Control dari kepolisian, yang dibantu dan bekerja sama dengan Jawatan Sosial dan Jawatan Kesehatan.

2. Prostitusi yang tidak terdaftar. Termasuk dalam kelompok ini ialah mereka yang melakukan prostitusi secara gelap-gelapan dan liar,baik secara perorangan maupun kelompok.

b) Pelacuran menurut jumlahnya :

1. Prostitusi yang beroperasi secara individual merupakan single operator.

2. Prostitusi yang bekerja dengan bantuan organisasi dan sindikat yang teratur rapi. c) Pelacuran berdasarkan tempat penggolongan atau lokasinya :

1. Segreasi atau lokalisasi, yang terisolasi atau terpisah dari kompleks penduduk lainnya.


(6)

2. Rumah-rumah panggilan (call houses, tempat rendezvous, parlour)

Teori patologi sosial digunakan untuk menganalisis perilaku enjokousai serta dampak dari perilaku enjokousai yang terdapat dalam novel Grotesque karya Natsuo Kirino.