Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hak Pemegang Saham Minoritas dalam Transaksi Bisnis Internasional T1 312010025 BAB II

(1)

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN

ANALISIS HAK TERHADAP PEMEGANG SAHAM

MINORITAS

Gambaran tentang tinjauan kepustakaan atas hak pemegang saham minoritas yang penulis uraikan dalam bab ini tidak lain dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah. Rumusan masalah penelitian yang Penulis maksudkan itu adalah bagaimana hak pemegang saham minoritas (minority interests) menurut hukum bisnis internasional atau hukum yang mengatur mengenai transaksi bisnis internasional yang ada di dalam kepustakaan.

Isi kepustakaan yang menjelaskan konsep-konsep di balik perlindungan terhadap pemegang saham minoritas (minority interests) tersebut terdiri dari hakikat pemegang saham minoritas, pertanggung jawaban perusahaan terhadap pemegang saham minoritas, peranan badan pengadilan terhadap perlindungan pemegang saham minoritas, dan arti penting dari studi kepustakaan hak pemegang saham minoritas. Konsep-konsep demikian itu diapkai sebagai pedoman untuk melihat bagaimana perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham minoritas di perseroan terbatas memanifestasikan


(2)

18 diri di dalam putusan-putusan satuan amatan Skripsi dan Penelitian ini yang digambarkan setelah uraian kepustakaan mengenai konsep-konsep perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham minoritas tersebut. Tentang bagaimana keberadaan hak-hak pemegang saham minoritas itu memanifestasikan diri di dalam putusan-putusan yang telah digambarkan terlebih dahulu tersebut, terutama bagaimana prinsip-prinsip hukum yang berkaitan dengan hak-hak pemegang saham minoritas memanifestasikan diri di dalam Putusan 137, dalam Bab ini, hal itu Penulis tempatkan di bawah judul analisis hak-hak pemegang saham minoritas. Hanya saja, berikut di bawah ini, bagaimana kepustakaan hukum di Indonesia (jika ada) membahas aspek perlindungan terhadap pemegang saham minoritas dan ketentuan hukum perdagangan atau bisnis internasional mengatur mengenai hal tersebut. 2.1. Konsep Hak terhadap Pemegang Saham Minoritas

Secara leksikal, yaitu pengertian terhadap apa yang disebut sebagai pemegang saham minoritas dalam kamus hukum, dirumuskan sebagai:

“Those stockholders of a corporation who hold so few shares in

relation to the total outstanding that they are unable to control the management of the corporation or to elect directors” 19(Dapat diterjemahkan, mereka pemegang saham dari suatu perusahaan yang memiliki atau memegang begitu sedikit saham jika dibandingkan dengan total saham seluruhnya ditambah lagi mereka tidak dapat mengontrol manajemen perusahaan atau pengangkatan direktur)

19 Black, Henry Campbell, “Black’s Law Dictionary”, St Paul Min

n: West Publishing Co., 1990. hlm., 997.


(3)

19 Dalam kaitan dengan apa yang baru saja dikemukakan Penulis di atas, kepentingan pemegang saham mayoritas dengan kepentingan pemegang saham minoritas dalam suatu perseroan terbatas seringkali bertentangan satu dengan yang lain. Ada pendapat bahwa pertentangan kepentingan antara kedua kelas pemegang saham perseroan terbatas tersebut adalah faktor utama yang menyebabkan hak pemegang saham minoritas dalam suatu perusahaan seringkali diabaikan bahkan dirugikan. Untuk menjaga kedua belah pihak, dalam hal ini pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas agar tidak saling merugikan, kepustakaan dalam ilmu hukum mengenal prinsip

Mayority Rule Minority Protection.”

Menurut prinsip ini, yang memerintah (the ruler) di dalam perseroan tetap pihak pemegang saham mayoritas, tetapi kekuasaan pihak pemegang saham mayoritas tersebut haruslah dijalankan dengan selalu melindungi (to protect) pihak pemegang saham minoritas20.

Berlandaskan prinsip majority rule minority protection sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas, maka literatur hukum kemudian memerinci beberapa hak pemegang saham minoritas. Hak pemegang saham minoritas yang pertama, hak positif. Hak seperti itu dimengerti sebagai pemegang saham minoritas diberikan kesempatan untuk mengambil inisiatif-inisiatif tertentu sehingga pelaksanaan bisnis perusahaan tidak merugikan kepentingannya. Selanjutnya hak yang kedua yaitu hak negatif.

20

Dr. Munir Fuady, Perlindungan Pemegang Saham Minoritas, CV. Utomo, Bandung, 2005. hlm., 89.


(4)

20 Dalam kategori hak seperti itu pemegang saham minoritas diberikan hak untuk memblokir/menghambat/memveto terhadap tindakan-tindakan tertentu yang diambil oleh perusahaan yang merugikan kepentungan pemegang saham minoritas. Kategori ketiga yaitu hak normalisasi, pihak pemegang saham minoritas diberikan hak untuk memaksa perusahaan untuk menuruti ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-unndangan atau dalam anggaran dasar perusahaan.

Kategori keempat hak kompensasi, jika terjadi tindakan yang merugikan pemegang saham minoritas, maka kepada pemegang saham minoritas tersebut tidak diberikan hak untuk menghambat atau memblokir tindakan perusahaan meskipun dengan tindakan perseroan tersebut, kepentingan pemegang saham minoritas akan dirugikan21.

21

Dr. Munir Fuady, Perlindungan Pemegang Saham Minoritas, CV. Utomo, Bandung, 2005. hlm., 93-94.


(5)

21 2.2. Perspektif Hukum Perdagangan Internasional Melindungi Saham Minoritas

Gambaran kepustakaan tentang bagaimana hukum positif Indonesia memberikan perlindungan terhadap pemegang saham minoritas (proteection of minority shareholders), terutama bagi pemegang saham minoritas yang berinvestasi dalam bisnis yang berdimensi perdagangan internasional seperti yang dihadapi oleh Livio di atas, terasa tidak mencukupi.

Penulis juga menyadari bahwa ketidakcukupan kepustakaan, jika tidak mau dikatakan tidak ada sama sekali kepustakaan yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang membicarakan mengenai hal itu, disamping UU Perseroan Terbatas22 yang mengakui bahwa setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Komisaris. Ini mengindikasikan bahwa ada perlindungan terhadap pemegang saham minoritas yang hak-haknya dikesampingkan. Mengingat setiap saham yang dikeluarkan mempunyai satu hak suara23

Oleh sebab itu, Penulis menyambut baik apa yang diungkapkan dalam suatu Penelitian Ilmiah dalam bidang hukum24 yang tidak dipublikasikan di

22

Lihat Pasal 61 Ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007

23

Lihat Pasal 84 Ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007

24

Gambaran kaedah hukum yang diambil dari Kepustakaan dimaksud Penulis ambil dari Penelitian Individuil Jeferson Kameo SH., LL.M., Ph.D yang dilakukan di Glasgow dari tahun 2001 sampai dengan 2005. Penelitian tersebut tidak dipublikasikan, oleh karea itu


(6)

22 bawah ini, sebagai gambaran aspek hukum dalam Kepustakaan yang dapat menuntun pengkajian atas Putusan 137 yang menjadi satuan amatan utama Penelitian dan Penulisan Karya Tulis Kesarjanaan yang dilakukan oleh Penulis ini.

Gambaran kepustakaan dalam rangka menjawab rumusan masalah Penelitian ini yaitu bagaimana hak pemegang saham minoritas (minority interests) menurut hukum bisnis internasional atau hukum yang mengatur mengenai transaksi bisnis internasional dimaksud, Penulis pilah ke dalam beberapa bagian sebagai berikut:

2.2.1. Pengendalian dalam Perusahaan menurut Perspektif Hukum

Membicarakan mengenai aspek hukum perlindungan terhadap pemegang saham minoritas dalam perspektif hukum perdagagnan internasional tidak terlepas dari pemahaman akan prinsip atau kaedah hukum umum yang berkaitan dengan itu, yaitu bahwa pemegang saham yang mempunyai hak untuk memilih (the voting shareholders) adalah pihak yang mengendalikan perusahaan (control the company)25. Dimaksudkan dengan para pemegang saham yang mempunyai hak pilih itu adalah, sudah disinggung juga dalam kutipan yang lebih dahulu telah Penulis kemukakan di atas, pemegang saham yang menguasai lebih dari 50 prosen (per cent) dari pemegang saham yang mempunyai hak pilih.

Penulis berterima kasih kepada Pak Jeff yang telah memberikan akses menggunakan hasil penelitian tersebut untuk kepentingan penelitian dan analisis untuk Skripsi ini.

25

Hasil penelitian individuil Jeferson Kameo, Catatan Kaki No. 19 di atas. Ibid. Selanjutnya, sepanjang rujukan berada dari hasil penelitian individuil ini maka referensi untuk catatan kaki hanya disebut dengan Jeferson Kameo saja.


(7)

23 Golongan atau si pemegang saham tersebut dapat membuat keputusan apa saja dalam rapat umum pemegang saham (ordinary resolution). Sementara itu, apabila seorang atau golongan pemegang saham itu menguasai 75 prosen saham maka orang itu juga dapat mengadakan suatu rapat umum luar biasa (extraordinary) atau rapat istimewa (special resolution). Begitu pula dengan mereka yang menguasai jumlah saham di antara angka prosentasi sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka orang-orang itu dapat melakukan pengendalian yang beraneka macam di dalam perseroan dimaksud. Kaitan dengan isu bagaimana perlindungan terhadap pemegang saham minoritas, prosentase sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas dapat menjadi suatu persoalan penting tatkala seseorang mempertimbangkan untuk menanamkan modalnya atau berinvestasi di suatu perusahaan.

Sebagai contoh, manakala seseorang yang bernama (A) mengundang seseorang lain bernama (B) untuk mendirikan suatu perusahaan dengan dirinya, dan menyarankan supaya si (B) memasukkan 49 prosen dari saham perusahaan dimaksud sementara si (A) mengambil 51 prosen, maka kepemilikan mereka atas perusahaan tersebut memang terlihat hampir berimbang (almost equal). Hanya saja, kekuasaan mereka untuk mengendalikan perusahaan itu sangat jauh dari berimbang (very far from equal), meski hanya selisih satu prosen. Di sinilah isu pemegang saham minoritas mulai muncul. Si (B) akan sangat berhati-hati untuk menerima proporsi tawaran saham yang diberikan oleh si pihak (A) tersebut.


(8)

24 Dalam kaitan dengan isu hak pemegang saham minoritas, orang mungkin saja berpendapat bahwa si (B) sekurang-kurangnya akan memiliki

suatu derajat mengendalikan perusahaan itu secara negatif “negative control”. Maksudnya, dengan jumlah suara yang demikian itu dia dapat saja melakukan blokir terhadap diselenggarakannya rapat umum pemegang saham yang istimewa. Namun demikian, dengan jumlah saham yang lebih kecil, katakanlah 25 prosen, maka (B) sama sekali tidak mempunyai kekuasaan untuk mengendalikan perusahaan tersebut.

Sementara itu, apabila tiap-tiap pemegang saham (the two shareholders) itu masing-masing menguasai 50 prosen saham maka keduanya mempunyai kekuasaan untuk melakukan pengendalian secara negatif. Tidak ada satu pun dari kedua belah pihak itu bisa memaksakan diselenggarakannya suatu rapat umum pemegang saham jenis apa pun, baik itu luar biasa, istimewa maupun rapat umum pemegang saham biasa dan sebagainya. Sehingga orang pada umumnya berpendapat bahwa penguasaan yang seimbang yaitu 50 prosen masing-masing menguasai saham seperti itu merupakan suatu penguasaan atas saham perusahaan yang ideal dari dua orang yang menjadi pemilik perusahaan itu.

Hanya saja, keadaan yang seimbang itu bisa jadi mungkin memang ideal apabila kedua belah pihak itu rukun-rukun saja (the shareholder get on with each other). Hanya sja, manakala ada suatu kebuntuan (complete dealock) maka jalan hukum yang selama ini tersedia adalah Pengadilanlah yang akan membubarkan perusahaan itu (wind the company up), jika satu dari


(9)

25 kedua belah pihak yang berhubungan hukum itu meminta kepada pihak Pengadilan. Hukum perdagangan internasional mendikte (the Law dictates) bahwa dasar permohonan kepada pengadilan tersebut adalah apa yang disebut dengan kaedah just and equitable26 (kepantasan dan kepatutan atau adil).

Kaedah hukum seperti itu muncul dalam Re27 Yenidge tobaco Co Ltd28 [1916] 2 Ch 426. Dalam kasus itu Pengadilan melikuidasi perusahaan yang bernama Yenidge Co Ltd, padahal menurut hakim perusahaan itu adalah suatu perusahaan yang lagi bonafid dan untung atau profitable. Dibubarkannya perusahaan itu oleh hakim karena dua direkturnya yang juga adalah pemegang saham, dalam hal ini Mr. Rothman dan Mr. Weinberg sudah berada pada titik tidak bisa berkompromi antara satu dengan yang lainnya (had reached complete deadlock).

Hakim yang memutus kasus itu bernama Cozen-Hardy Mr

mengatakan: „Certainly, having regard to the fact that there are only two

26 Jeferson Kameo

mengartikan kaedah itu ke dalam bahasa hukum di Indonesia sebagai sesuai dengan kepantasan dan kepatutan atau keadilan.

27

Kata Re menunjuk kepada suatu situasi bahwa dalam sengketa itu si Penggugat diwakili oleh Perusahaan karena perintah pengadilan. Hal inilah mekanisme internasional yang memungkinkan seseorang meminta kepada hakim untuk membela kepentingan dirinya dan juga kepentingan perusahaan itu dari kungkungan mayoritas, apabila hakim mengabulkan maka posisi orang itu tidak ditulis namanya hanya dicatatkan saja di pengadilan tetapi diberi tanda Re. Demikian penjelasan Jeferson Kameo. Pendapat peneliti tersebut reliable

mengingat yang bersangkutan mengenyam pendidkan hukum di Inggris dan Skotlandia.

28

[1916] 2 Ch 426., dikutip dari Jeferson Kameo. Perlu Penulis kemukakan di sini bahwa menurut Jeferson Kameo, tanda [1916] adalah tahun diputusnya dan juga tahun publikasi dari jural hukum yang bernama Ch. Ch adalah jurnal hukum tempat kaedah hukum dapat ditemukan karena memuat apa yang dikatakan oleh hakim yang didikte oleh hukum bernama

Law Reports Chancery Division. Jurnal ini mulai diterbitkan dan masih terus dipublikasikan hingga saat ini. Hal ini dikemukakan dalam buku Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.


(10)

26 directors who will not speak to each other, and no business which deserves the name of business in the affairs of the company can be carried on, I think the company should not be allowed to continue”. Memperhatikan apa yang terjadi dengan Mr. Rothman dan Mr. Weinberg itu, orang dapat

mengatakan: “lah bagaimana dengan situasi apabila satu dari kedua pihak itu adalah pemegang saham minoritas, misalnya hanya memegang 49 prosen?‟.

Di bawah ini perkembangan kaedah untuk mengatasi kebuntuan minoritas manakala ada ketakutan sebagaimana baru saja dikemukakan tersebut.

2.2.2. Hakikat Hak Saham Minoritas Perspektif Ilmu Hukum

Apakah sejatinya hakikat (the nature) dari isu atau kaedah perlidungan terhadap pemegang saham minoritas, yang dalam kasus ini akan dipergunakan untuk menganalisis satuan amatan yaitu Putusan 137 Pengadilan Negeri Semarang itu? Dalam ilmu hukum, dalam hal ini Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, setiap kaedah itu haruslah dilihat sebagai suatu kontrak. Itu berarti, termasuk kaedah-kaedah yang memberikan perlindungan kepada kepentingan pemegang saham minoritas dalam suatu Perusahaan pun adalah contracts. Sedangkan Kontrak dalam Perspektif Ilmu Hukum tersebut didefinisikan sebagai:

“It is the group of kinds of obligations all concerned with legal

duties undertaken by persons, by promises to, or agreement with, another, to give or do or refrain from doing something to of for another, or with legal duties imposed by law to give or do something to or for another where justice requires it though there


(11)

27

is no promise”29

.(Dapat diterjemahkan, Segenap kewajiban bagi setiap orang berjanji atau bersepakat dengan orang lain untuk memberikan, atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain tersebut, atau berkenaan dengan segenap kewajiban yang dituntut oleh hukum kepada setiap orang untuk memberikan atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain apabila keadilan menghendaki meskipun tidak diperjanjikan sebelumnya).

Berikut di bawah ini, perlindungan terhadap pemegang saham minoritas itu Penulis lihat atau kaji dalam perspektif kontrak sebagai nama ilmu hukum, dalam di bawah ini metoda yang Penulis pergunakan adalah perbandingan hukum, dimana kaedah transaksi bisnis internasional yang berlaku di Inggris dan Skotlandia dilihat sebagai sesuatu kontrak atau sesuatu yang harus dilakukan dalam memberikan perlindungan terhadap pemegang saham minoritas, baik itu yang ada di dalam keputusan-keputusan pengadilan (Yurisprudensi) dan legislasi yang berlaku di negara itu, kemudian hal itu dipergunakan dengan transposisi untuk membeda atau menganalisis Putusan 137 yang menjadi satuan amatan Penelitian dan Penulisan Karya Tulis Ilmiah Kesarjanaan Penulis ini.

29


(12)

28 2.2.3. Kaedah Foos v Harbottle30 Hukum Transaksi Bisnis Internasional

Posisi dari pemegang saham minoritas menurut kaedah hukum yang mengatur mengenai perdagangan internasional dimulai dari munculnya suatu kaedah yang bernama the rule in Foss v Harbottle. Kaedah yang bernama Foss v Harbottle mengandung hukum yang mengatur bahwa manakala ada perbuatan melawan hukum atau kesalahan yang dilakukan terhadap suatu perusahaan maka hanya perusahaan itu sajalah yang mempunyai hak untuk mengajukan gugatan dalam kaitannya dengan perbuatan tersebut.

Di sinilah muncul persoalan bagi pemegang saham minoritas yang dirasakan tidak begitu terlindungi dalam suatu perusahaan oleh ketentuan peraturan yang pernah berlaku. Kasus Foss v Harbottle31 bermula dari dua orang anggota dari suatu perusahaan yang menggugat lima orang direktur dari perusahaan tersebut sebab para direktur itu telah menjual tanah dengan harga yang sudah dimark-up atau ditinggikan dari harga normal kepada perusahaan yang mereka nahkodai itu sehingga dengan demikian perusahaan itu mengalami kerugian.

Aturan yang mengunci hak pemegang saham minoritas di balik Foss v Harbottle adalah bahwa pemegang saham yang dua itu tidak mempunyai hak untuk mengajukan gugatan. Kaedah itu lebih jauh menandasakan bahwa apabila para direktur dari perusahaan itu sudah melakukan kesalahan yang

30

Jeferson Kameo, Ibid.

31

(1843) 2 Hare 461. Dikutip dari Jeferson Kameo, Hasil Penelitian Ilmiah yang tidak mau Dipublikasikan.


(13)

29 merugikan perusahaan itu maka hak untuk mengajukan gugatan atas pihak yang merugikan perusahaan itu terletak pada perusahaan yang bersangkutan. Apa yang merugikan pemegang saham minoritas adalah bahwa perusahaan yang bersangkutan sangat tidak mungkin melakukan gugatan seperti itu sebab perusahaan itu dikendalikan oleh para direktur yang didugat oleh kedua orang pemegang saham yang berbuat curang (the very directors who had cheated it!), sebagaimana telah dikemukakan di atas.

Memang, ada pendapat bahwa Foss v Harbottle mengandung manfaat, dalam hal ini akan mencegah diajukannya banyak gugatanyang akan dilancarkan kepada perusahaan seperti dalam kasus Foss v Harbottle. Ada pendapat bahwa apabila setiap orang di dalam suatu perusahaan memperoleh hak dari hukum untuk mengajukan gugatan atas suatu dugaan adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan terhadap perusahaan yang bersangkutan maka apa yang terjadi adalah akan banyak sekali jumlah gugatan yang berpotensi muncul sebagaimana terjadi di dalam kasus Foss v Harbottle.

Peristiwa itu kemudian memunculkan tuntutan akan adanya perlindungan terhadap pemegang saham minoritas yang juga dibicarakan oleh Penulis sebagai karya tulis kesarjanaan Penulis dalam Skripsi ini.

Di Inggris dan di dunia internasional, sebagaimana penelitian individual yang tidak dipublikasikan yang dilakukan oleh Jeferson Kameo menemukan Foss v Harbottle telah mentriger munculnya berbagai keputusan


(14)

30 pengadilan dan produk peraturan legislatif yang didikte oleh hukum perdagangan internasional dan dikenal secara populer dengan hukum transaksi bisnis internasional disusun atas keprihatinan yang dilihat di dalam Foss v Harbottle. Aturan-aturan yang memberikan perlindungan kepada pemegang saham minoritas, yang juga telah menjadi keprihatinan Tri Budiono dan Rudhi Prasetya perlu dimunculkan di dalam sistem hukum Indonesia sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas akan digambarkan di bawah ini.

2.2.4. Isu Hak Saham Minoritas dalam Yurisprudensi Tetap dan Legislasi Jeferson Kameo dalam temuan penelitian yang tidak dia publikasikan menyatakan bagaimana hukum mendikte (the Law dictates) para hakim Inggris bertransposisi terhadap hukum di Skotlandia untuk mematuhi kaedah hukum perdagangan internasional dalam memberikan perlindungan terhadap pemegang saham minoritas dalam tiga situasi.

Pertama, tatkala ada suatu penipuan terhadap minoritas (where there is a fraud on the minority). Kedua, jika perbuatan yang dilakukan itu dapat digolongkan sebagai suatu tindakan sewenang-wenang atau melampau kekuasaan dan ilegal (if the act done is ultra vires or illegal). Ketiga, manakala hak perseorangan seorang anggota, termasuk jika si anggota itu adalah pemegang hak atas jumlah saham yang minoritas (where the personal rights of a member have been infringed). Berikut di bawah ini, merujuk penelitian individuil yang tidak dipublikasikan oleh Jeferson Kameo, Penulis


(15)

31 memerinci gambaran tentang bagaimana perlindungan terhadap pemegang saham minoritas hasil dikte hukum kepada hakim-hakim di Inggris tersebut.

Manakala ada suatu penipuan terhadap minoritas (where there is a fraud on the minority) atau pihak yang lemah itu dapat dijelaskan dengan melihat beberapa perilaku di bawah tangan (underhand behaviour); cara melihat fraud atas minoritas seperti itu diambil mengingat sulit bagi Penulis untuk mendefinisikan apa yang dimaksudkan dengan fraud tersebut. Definisi bisa dibuat hanya saja kurang menguntungkan, menurut Penulis jika dibandingkana dengan memahami konsep fraud melalui ilustrasi kasus, tradisi belajar ilmu hukum (Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum)32 yang dikembangkan di Skotlandia. Beginilah situasi itu, yang hanya bisa dilukiskan dengan memperhatikan yurisprudensi tetap yang pernah di putus di Inggris, disamping nantinya dalam Bab ini juga dikemukakan bagaimana hal itu terjadi di Indonesia dalam Putusan 137 yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkrahck van gewijde).

Di dalam kasus-kasus yang pernah diputus di Inggris itu dapat dilihat bagaimana pemegang saham minoritas mengalami apa yang disebut dengan fraud, suatu situasi dimana hak-hak pemegang saham minoritas itu menjadi tumbal, terlihat seperti sandiwara reality show yang enak ditonton dan dipelihara, karena hak-hak pemegang saham minoritas itu diinjak-injak namun dalam banyak hal kadang-kala dijadikan bahan lawakan oleh para pemimpin

32

Lihat buku: Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga yang ditulis oleh Jeferson Kameo.


(16)

32 masyarakat di negara itu untuk menyatukan suatu komunitas tersebut, atau untuk membuat semacam hiburan, seolah-olah dunia ini belum pernah dimerdekakan, alias masih ada misi penyelamatan dunia yang belum selesaikan oleh Hukum.

Yurisprudensi pertama, Cook v Deeks33 adalah satu yurisprudensi tetap yang penting, dimana dalam kasus itu Cook adalah satu dari empat direktur dalam suatu perusahaan jasa konstruksi. Perusahaan jasa konstruksi itu adalah perusahaan yang sering sekali menjalankan suatu bisnis jasa konstruksi yang mendatangkan banyak keuntungan dengan perusahaan lain, berdimensi transkasi bisnis internasional, yaitu the Canadian Pacific Railway Company.

Suatu waktu, ketika suatu perjanjian baru sedang berada di tingkat negosiasi antara perusahaan tempat Cook itu dengan the Canadian Pacific Railway Company, tiga direktur sekaligus juga adalah pemegang saham di perusahaan tempat Cook itu bekerja menutup perjanjian itu untuk mereka sendiri, tidak untuk perusahaan Cook juga bekerja. Ketiga direktur itu menguasai dan memiliki total saham di perusahaan tempat Cook bekerja sebesar 75 prosen.

Itu artinya, Cook adalah pemegang saham minoritas dalam situasi suatu perusahaan yang sedang menjalankan operasi bisnis atau transaksi bisnis internasional. Ketiga direktur itu membuat suatu resolusi, rapat umum

33


(17)

33 pemegang saham, bahwa perusahaan dimana Cook itu bekerja dan menguasai serta memiliki saham minoritas tidak punya kepentingan dengan perjanjian baru yang semula dinegosiasi untuk perusahaan tetapi belakangan disusupi untuk kepentingan si tiga direktur tersebut.

Cook mengajukan gugatan ke pengadilan, mengajukan dalil bahwa rapat umum pemegang saham (the resolution) yang dibuat oleh ketiga direktur yang menguasai 75 prosen saham di atas tidak berlaku (ineffective) dan Cook juga meminta hakim agar keuntungan yang diperoleh dari perjanjian yang dibuat atas nama tiga direktur itu, dan bukan atas nama perusahan Cook juga bersama dengan tiga direktur tersebut harus diambil dan diberikan kepada peruahaan. Hakim dalam Cook v Deeks memberikan Putusan (holding) yang melindungi pemegang saham minoritas dan kasus itu menjadi Landmark yang sangat terkenal hingga saat ini. Hakim dalam kasus itu menyatakan bahwa ketiga direktur selain Cook telah melakukan apa yang disebut sebagai fraud terhadap pemegang saham minoritas34.

Yurisprudensi kedua, yaitu yurisprudensi yang di dalamnya mengandung kaedah hukum yang mendikte perlindungan terhadap pemegang

34

Yurisprudensi ini diambil dari hasil penelitian individuil Jeferson Kameo yang tidak dipublikasikan. Penelitian Jeferson Kameo memiliki nilai reabilitas yang sangat tinggi sebab yang bersangkutan mempunyai akses langsung ke tangan pertama. Di tengah kenyataan bahwa begitu mahalnya biaya untuk memperoleh akses terhadap dokumen-dokumen yang memuat kasus-kasus itu untuk diverivikasi (syarat keilmuan), yang bersangkutan (Jeferson Kameo) membaca langsung dokumen-dokumen tempat tersimpannya kasus-kasus yang telah menjadi Yurisprudensi itu; sebab seperti telah dikemukakan di atas, yang bersangkutan mengenyam pendidikan tinggi hukum di Inggris dan skotlandia. Tidak banyak orang memperoleh akses dan kesempatan yang sama, dan sebagai mahasiswa yang membutuhkan rujukan ilmiah seperti itu merasa sangat memperoleh manfaat dari penelitian individuil atas kasus-kasus Yurisprudensi itu.


(18)

34 saham minoritas yaitu Re J. Beauforte (London) Ltd35. Dalam kasus itu, di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (Memorandum) mencantumkan pemberian kekuasaan atau kewenangan Perusahaan tersebut untuk menjalankan perusahaan yaitu pembuatan pakaian dan gaun perempuan.

Hanya saja, pada kenyataannya Perusahaan tersebut yaitu J. Beauforte (London) Ltd., justru melakukan bisnis yang lain sama sekali, yaitu membuat venir panel dari kayu. Akibat dari keputusan Perusahaan yang tidak sejalan dengan apa yang sudah diamanatkan di dalam AD-ART Perusahaan itu, J. Beauforte (London) Ltd membuat perjanjian-perjanjian dengan sejumlah developer untuk membuat suatu bangunan pabrik yang baru, demikian pula si pihak Perusahaan, dalam hal ini J. Beauforte (London) Ltd., membuat perjanjian-perjanjian dengan sejumlah pihak untuk mensuplai venir dan juga anehnya batu bara yang sudah diolah (coke). Perusahaan itu kemudian menjadi bangkrut.

Para developer dan pedagang-pedagang yang membuat perjanjian dengan J. Beauforte (London) Ltd belum dibayar dan oleh sebab itu mereka menggugat atas dasar perjanjian yang telah dibuat. Menarik, bahwa dalam kasus ini baik para developer maupun pihak pedagang itu tidak berhasil memenangkan gugatan sebab semua perjanjian itu adalah ultra vires (beyond the powers) atau melampaui kekuasaan maupun kewenangan. Pihak minoritas yang ikut sebagai turut tergugat di dalam gugatan itu (Re) dilindungi dari

35

[1953] 1 All ER 634. Sumber, masih merujuk kepada Penelitian individuil Jeferson Kameo.


(19)

35 tuntutan kepada J. Beauforte (London) Ltd untuk membayar ganti rugi. Hakim juga mengemukakan pandangan jika semua pihak yang dirugikan, secara konstruktif sejatinya mengetahui adanya ultra vires itu.

Yurisprudensi ketiga, yaitu yurisprudensi mengenai adanya tuntutan hukum untuk memberikan perlindungan kepada pemegang saham minoritas, dalam hal hak perseorangan seorang anggota, termasuk jika si anggota itu adalah pemegang hak atas jumlah saham yang minoritas (where the personal rights of a member have been infringed) dirugikan. Yurisprudensi ketiga itu adalah Pender v Lushington36. Dalam Yurisprudensi tersebut, Anggaran Dasar Perseroan mengandung ketentuan bahwa setiap jumlah sepuluh suara terdapat satu hak untuk memilih, hanya saja tidak ada satu anggota pun berhak memiliki hak untuk memilih lebih dari seratus suara (100 votes).

Agar supaya kelebihan dari saham-saham itu tetap bernilai suara, seorang pemegang saham yang memegang dan memiliki lebih dari seribu saham mengalihkan sisa dari saham yang tidak bernilai suara itu kepada anggota dalam perusahaan itu bernama Pender. Orang terakhir itu merupakan pemegang saham minoritas dalam perusahaan tersebut.

Si Direktur perusahaan tersebut, bernama Lushington, menolak untuk menerima suara yang timbul dari saham-saham yang dikuasai oleh Pender dan Pender pun menggugat pihak Lushington. Hakim memutus bahwa

36


(20)

36 saham-saham yang dikuasai Pender telah dialihkan secara sah, sehingga apa yang dilakukan Lushington tidak menerima saham-saham Pender tersebut adalah merupakan suatu pelanggaran terhadap hak Pender sebagai satu anggota dari Perusahaan.

Disamping kaedah-kaedah hukum yang melindungi pemegang saham minoritas sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas, dalam Yurisprudensi, studi kepustakaan yang tetap sama merujuk kepada hasil penelitian individuil Jeferson Kameo juga membuktikan bahwa ada kaedah-kaedah hukum transaksi bisnis internasional yang diadopsi ke dalam beberapa regulasi yang berkaitan dengan Undang-undang Perseroan Terbatas37 yang berlaku di Inggris. Dalam apa yang disebut dengan The Insolvency Act 1986, seperti diungkap Jeferson Kameo, Hakim dapat melikuidasi (wind a company up) suatu perusahaan38 dengan alasan bahwa pembubaran perusahaan itu merupakan suatu perbuatan yang pantas dan patut atau berkeadilan (just and equitable to do so). Hak pemegang saham minoritas yang dilindungi di sini terlihat dari kenyataan bahwa UU itu membolehkan, bahkan seorang pemegang satu saham saja (a single shareholder) dapat memiliki hak untuk menggugat tersebut.

Sementara itu, dalam UU Perseroan Terbatas Inggris sendiri ditentukan bahwa siapa saja anggota suatu perseroan terbatas dapat

37

The Companies Act 1985, merujuk kepada hasil penelitian Jeferson Kameo yang tidak dipublikasikan.

38


(21)

37 mengajukan gugatan kepada Pengadilan atas dasar hukum bahwa urusan-urusan dari suatu Perseroan Terbatas sedang, atau telah, atau bakal, dilakukan dengan suatu cara yang tidak adil merugikan (unfairly prejudical) terhadap semua anggota (shareholders) dari perusahaan itu atau kepada anggota tertentu dari Perusahaan tersebut.

Manakala Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan (the conduct) yang bersangkutan adalah langkah-langkah yang tidak adil dan merugikan, maka Pengadilan dapat melakukan: (1) memerintahkan kepada Perusahaan tersebut untuk bertindak-tanduk menurut cara-cara tertentu yang telah ditentukan di kemudian hari; (2) mencegah Perusahaan itu untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu; (3) memerintahkan Perusahaan itu untuk menggugat perbuatan salah atau melawan hukum yang sudah dilakukan kepada Perusahaan itu; (4) memerintahkan kepada beberapa anggota dari perusahaan itu untuk membeli saham-saham yang dikuasai oleh pihak lain; (5) membuat perintah apa saja yang menurut Pengadilan pantas39.

Berikut di bawah ini Penulis merasa perlu untuk mengemukakan bagaimana hakim di Inggris telah menerapkan kelima jalan perlindungan kepada pemegang saham minoritas yang diatur oleh legislasi di negara itu, dan yang juga dalam hal tertentu tidak terlalu berbeda dengan perlindungan

39


(22)

38 terhadap pemegang saham minoritas yang dikenal dalam legislasi yang berlaku di Skotlandia40.

Kasus yang pertama yaitu Re HR Harmer Ltd41. Dalam kasus itu, pihak Harmer yaitu suatu perusahaan yang bergerak dan sukses meraup banyak keuntungan besar dalam bidang usaha penjualan perangko-perangko antik yang bernilai tinggi. Harmer kemudian mendirikan suatu Perusahaan (HR Harmer Ltd) untuk membeli (take over) kegiatan usaha yang sudah dijalankan sebelumnya oleh Harmer itu.

Kedua anak-anaknya, seperti ayah mereka, adalah merupakan direktur dari Perusahaan yang baru didirikan oleh Harmer itu. Harmer tetap mempertahankan hak memilih pengendalian (voting control) atas Perusahaan itu sekalipun kedua anaknya itu menguasai dan memiliki hampir seluruh saham dari Perusahaan itu. Ketika usia si Harmer mencapai 88 tahun, kedua anaknya itu menggugat pengadilan meminta pembebasan (relief) dengan dalil bahwa orang tua mereka itu benar-benar mengabaikan keinginan mereka berdua, Harmer menjalankan Perusahaan itu seolah-olah ia masih memiliki Perusahaan mereka tersebut.

Lagi pula, Harmer, menurut kedua anaknya itu, telah mengambil keputusan yang sangat buruk, memekerjakan detektif swasta untuk mengawasi

40 Ibid. 41

[1958] 3 All ER 589 9CA). Hasil Penelitian Individuil Jeferson Kameo, tidak dipublikasikan.


(23)

39 para karyawan perusahaan itu dan mengabaikan (countermaded) resolusi atau keputusan-keputusan yang diambil dalam Rapat Umum Pemegang Saham yang dilakukan oleh para direktur Perusahaan tersebut. Hakim memutuskan, Harmer seharusnya menjadi Presiden Direktur dari Perusahaan itu seumur hidup, namun tidak ada kekuasaan yang khusus tentang apa pun yang diberikan kepada si Harmer, selanjutnya Harmer juga berhak atas gaji. Para hakim itu juga memerintahkan si Harmer tidak lagi menginterfensi urusan-urusan Perusahaan tersebut terkecuali ada keputusan yang sah untuk melakukan hal itu yang dibuat oleh Dewan Direksi (the Board of Directors).

Sedangkan kasus yang kedua, yaitu Re Nuneaton Borough Athletic Football Club42. Daam kasus yang kedua itu, Perusahan hanya dikuasakan untuk menerbitkan 2000 surat saham dengan masing-masing senilai satu Pounsterling. Si Penggugat telah membeli 24 ribu surat saham, sekalipun penerbitan semua surat saham itu tidak pernah dilakukan secara sah. Dengan demikian hal itu berarti bahwa si Penggugat itu telah membelanjakan suatu jumlah uang yang sangat besar sekali, namun saham-saham terhadap mana uang si Penggugat itu dibelanjakan adalah saham-saham yang tidak pernah ada.

Hakim memutus bahwa si pemilik atas dua ribu lembar saham yang diterbitkan secara sah harus mengalihkan sebanyak 1007 kepada si pihak Penggugat dengan suatu harga yang wajar (a fair price). Namun demikian,

42


(24)

40 ada suatu syarat bahwa si Penggugat harus membayar suatu hutang yang sangat besar yang telah dibuat oleh si pemegang dua ribu saham terhadap Club (Nuneaton Borough Athletic Football Club) tersebut.

Kasus yang ketiga yaitu; Re Sam Weller and Sons Ltd43. Si Penggugat dalam kasus itu memiliki 42.5 prosen saham dalam suatu perusahaan yang dikendalikan oleh Pamannya, Sam Weller. Selama tiga puluh tujuh tahun, Perusahaan itu tidak pernah meningkatkan dividennya, sekalipun mengalami banyak keuntungan dalam tahun-tahun terakhir sebelum kasus diajukan ke Pengadilan.

Pada tahun 1985, dari keuntungan neto sebesar tiga puluh enam ribu Pounsterling, si Paman hanya membayar dividen sebanyak dua ribu enam ratus lima puluh Pounsterling. Hakim memutus bahwa apa yang dilakukan oleh Sam Weller adalah suatu perbuatan yang disebut dengan menimbulkan kerugian yang tidak adil (unfair prejudice) atau di Indonesia mungkin sapat disebut dengan perbuatan melawan hukum44. Pada saat itu, seorang hakim yang bernama P. Gibson J mengatakan:

“It is asserted by the petitioners that the sole director is

conducting the affairs of the company for the sole benefit of himself and his family, and that while he and his sons are taking

43

[1990] Ch 682. Lagi-lagi, merujuk Penelitian Individuil Jeferson Kameo yang tidak dipublikasikan.

44

Sehingga menurut pandangan Penulis, di Indonesia, ketentuan yang memberikan perlindungan kepada pemegang saham minoritas sudah ada, yaitu KUHPerdata yang megnatur mengenai perbutan melawan hukum (PMH).


(25)

41 an income from the company, he is causing the company to pay inadequate dividens to the shareholders ... (whose interests may be not only prejudiced by the policy of low dividend payments,

but unfairly prejudiced)”45

. (Maksudnya adalah; telah didalilkan oleh para Penggugat bahwa si satu-satunya Direktur dari Perusahaan itu telah menjalankan urusan dari Perusahaan tersebut hanya semata-mata untuk kepentingan dirinya sendiri dan keluarganya, dan tatkala dia dan anak-anaknya mengambil atau meraup gaji dan pendapatan dari Perusahaan itu, dia menyebabkan Perusahaan tersebut membayarkan dividen yang tidak memenuhi syarat kepada para pemegang saham Perusahaan itu ... (semua pemegang saham yang kepentingannya mungkin saja tidak semata dirugikan oleh kebijakan Perusahaan membayar dividen yang rendah, tetapi lebih dari itu juga menimbulkan suatu kerugian yang tidak adil).

Demikianlah gambaran tentang studi kepustakaan mengenai kaedah hukum dalam transaksi bisnis internasional yang memberikan perlindungan kepada pemegang saham minotiras yang telah diadopsi di Inggris dan skotlandia, baik oleh para hakim melalui Yurisprudensi yang berlaku di sana dan juga dalam regulasi yang dibuat di negara-negara itu. Berikut di bawah ini, apakah kaedah perlindungan terhadap para pemegang saham minoritas itu juga dikenal di Indonesia dalam suatu analisis terhadap Putusan 137. Namun sebelum analisis itu dikemukakan terlebih dahulu perlu dikemukakan di sini gambaran tentang Putusan 137 tersebut.

45


(26)

42 2.3. Hasil Penelitian Satuan Amatan dimana Ada Aspek Isu Kepentingan Minoritas

Kasus yang menjadi satuan amatan, yang dalam pandangan Penulis mengandung persoalan atau isu atau kaedah dalam hukum perdagagnan internasional atau hukum dan transaksi bisnis internasional yang memberikan perlindungan terhadap pemegang saham minoritas tersebut terjadi di Pengadilan Negeri Semarang. Pengadilan Negeri Semarang memutus perkara telah melahirkan Putusan 137. Putusan itu telah berkekuatan hukum tetap pada 21 September 2004.

2.3.1. Pihak dalam Sengketa Hak Terhadap Pemegang Saham Minoritas Jeferson Kameo menggariskan, bahwa setiap studi, mau dikatakan sebagai studi ilmu hukum, dalam perpektif Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum46, maka studi itu tidak hanya menentukan bahwa sesuatu yang distudi itu adalah suatu kontrak, namun setelah itu harus menunjuk siapa si subyek hukum (the party to contract) yang mengemban hak-hak dan kewajiban (obligations) di sana. Atas dasar itu, maka apa yang ada di dalam satuan amatan Penulis, ternyata adalah bahwa pihak-pihak yang ada di dalamnya dimulai dari Livio47.

46

Kajian, studi Penulis terhadap buku Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga yang ditulis oleh Jeferson Kameo.

47

Pihak yang dalam Putusan137 sebagai Penguggat, di atas telah disingkat hanya Livio saja. Pihak ini elemen internasional, sehingga dimensi hukum yang ada di dalam Putusan 137 adalah hukum trainsaksi bisnis (dalam hal ini investasi saham dalam Perseroan Terbatas Modal Asing (PMA) di Indonesia.


(27)

43 Pihak Livio adalah seorang pekerja swasta berkebangsaan Italy. Livio adalah pemegang saham minoritas, atau apa yang nantinya Penulis analisis kemudian disebut dalam Bahasa Inggris Hukum sebagai protection of minority shareholders, sebab Livio, dalam pengamatan penulis atas Putusan 137 tersebut hanya menguasai dan memiliki sepuluh prosen saham di PT. Antik Dimensi yang berinvestasi di Demak (Indonesia).

Dua pihak lainnya yang berhadapan dengan Livio menguasai sembilan puluh prosen saham, yaitu pihak-pihak yang digugat, dalam hal ini Ny. Naning Tjatoerprilyani Oetami, untuk selanjutnya disebut dengan Ny. Naning. Pihak ini sejatinya juga merupakan pemegang saham minoritas yang harus mendapatkan perlindungan, hanya saja, kebetulan, dalam Putusan 137 ini, Ny. Naning yang bergabung dengan Mr. Tarantino berada dalam posisi atau kedudukan yang berhadap-hadapan (vis-a-vis) dengan Livio. Ny. Naning, sama halnya dengan Livio juga seorang pekerja swasta, berkebangsaan Indonesia, tinggal di Semarang. Pihak (the party to contract) selanjutnya yang juga merupakan seorang pekerja swasta berikutnya yang sudah bekerja di Indonesia 20 tahun lebih bernama Mr. Nuzio Tarantino (untuk selanjutnya disingkat Nuzio), berkebangsaan Italia menguasai delapan puluh prosen saham di perusahaan yang sama.

2.3.2. Saat Mulainya Isu Hak Terhadap Pemegang Saham Minoritas Adapun dalam duduk perkara, atau dalam hal ini Penulis istilahkan sebagai isu dimulainya, atau saat mulainya persoalan perlindungan hukum


(28)

44 terhadap pemegang saham minoritas, dimilai dari dalam Putusan 137 adalah sebagai berikut.

Berdasarkan akta Notaris Nomor: 1 tertanggal 30 Januari 2001 yang dibuat oleh Dra. Jessica Linjani, SH., yang berkantor di Ungaran, Jawa Tengah, dan oleh Notaris tersebut telah dibuatkan akta pendirian PT. Antik Dimensi. Pihak yang adalah suatu perusahaan atau badan hukum itu didirikan untuk jangka waktu tiga puluh tahun. PT. Antik Dimensi bermaksud dan memiliki tujuan menjalankan usaha di bidang industri meubel dan perdagangan impor/ekspor atas hasil produksi dari PT. Antik Dimensi. Direktur PT. Antik Dimensi adalah Ny. Naning, dengan Mr. Nunzio sebagai Komisaris. Keseluruhan Modal PT. Antik Dimensi, yang tidak dinyatakan di atas kertas adalah tiga puluh miliar rupiah.48

Dalam rangka menunjang pelaksanaan operasional perseroan tersebut maka dibutuhkan sebidang tanah guna mendirikan bangunan gudang dan kantor. Kemudian diputuskan pihak PT. Antik Dimensi, sebagai subyek hukum menggunakan tanah milik Ny. Naning, subyek hukum lainnya, di luar keberadaan Ny. Naning sebagai Direktur PT. Antik Dimensi dan di luar pula kedudukannya sebagai pemegang saham di PT. Antik Dimensi. Ny. Naning adalah pemilik sebidang tanah bersertifikat hak milik Nomor 210 dengan luas kurang lebih seribu seratus dua puluh dua meter persegi.

48

Menurut Mr. Tarantino (Nunzio), ketika berlangsungnya suatu eksekusi yang berakibat pada tidak berartinya sama sekali Putusan 137 yang telah memberikan perlindungan terhdap saham minoritas, Livio.


(29)

45 Sertifikat Hak Milik atas Tanah (SHM) tersebut bertertanggal 26 Agustus 1994 dan dalam gambar situasi tertanggal 30 Juli 1994 No. : 3517/1994 tertulis atas nama Naning Tjatorpriyani Oetami (Ny. Naning) dan dikeluarkan oleh kantor Pertanahan Kabupaten Demak Propinsi Jawa Tengah. Perjanjian49 Nomor 1 tertanggal 01 Februari 2001 yang dibuat dihadapan Dra. Jessica Linjani, SH.

Dalam kontrak atau Akta Perjanjian tersebut para pihak adalah Ny. Naning berkedudukan sebagai pihak yang memberikan hak atas tanahnya kepada Ny. Naning sendiri, namun dalam kedudukan sebagai Direktur PT. Antik Dimensi menggunakan tanah50 tersebut. Sedangkan Mr. Tarantino, dan dalam konteks penelitian dan penulisan karya tulis kesarjanaan ini, sudah tentu Livio, dalam kepentingannya sebagai pemegang saham minoritas (a minority shareholder) untuk dirinya (Livio) sendiri dan untuk PT. Antik Dimensi sebagai Orang, atau suatu Subyek Hukum dimana Livio adalah pihak di dalamnya, adalah sebagai pihak yang menggunakan tanah milik Ny. Naning sebagai pribadi.

Penggunaan tanah milik Ny. Naning itu, tentu untuk mendirikan bangunan-bangunan yang adalah milik PT. Antik Dimensi, dimana di dalamnya juga ada kepentingan Livio sebagai pemegang saham minoritas, dalam Perjanjian tersebut dinyatakan bahwa biaya sepenuhnya ditanggung

49

Nama Akta No. 1 tersebut bukan Sewa-Menyewa. Yang betul adalah suatu Perjanjian.

50

Bersama dengan empat bidang tanah lainnya, namun tidak disebutkan di dalam Akta Perjanjian No. 1.


(30)

46 oleh PT. Antik Dimensi, yang tidak saja dikuasai oleh sembilan puluh prosen saham dari pihak Mr. Tarantino dan Ny. Naning, tetapi juga ada kepentingan saham minoritas yaitu Livio.

Bidang tanah yang tadinya hanya satu dengan luas sebagaimana telah dikemukakan di atas, ditambah dengan empat bidang lainnya menjadi lima bidang tanah semuanya milik Ny. Naning sebagai pribadi, didirikan bangunan milik PT. Antik Dimensi, dan sekali lagi di dalamnya juga ada kepentingan pemegang saham minoritas yaitu Livio, baik letak, batas serta designya telah diketahui oleh kedua belah pihak, dalam hal ini yaitu PT. Antik Dimensi dan Ny. Naning, sudah barang tentu di dalannya diketahui juga oleh Livio sebagai pemegang saham minoritas, dan disetujui oleh mereka itu.

Para pihak dalam kontrak atau Perjanjian No. 1 tersebut yang dibuat di hadapan Notaris Ungaran Dra. Jessica Linjani SH itu bersepakat untuk mengatasnamakan semua ijin yang berhubungan dengan bangunan tersebut atas nama pihak Ny. Naning. Biaya serta ijin-ijin ditanggung sepenuhnya oleh pihak PT. Antik Dimensi, yang untuk mudahnya, dan juga karena semua uang memang pada prinsipnya keluar dari kantong Mr. Tarantino, ditanggung oleh Mr. Tarantino secara bersama-sama, menurut cara berpikir hukum sipil yaitu oleh Mr. Tarantino, Ny. Naning dan Livio sebagai para pemegang saham


(31)

47 yang dalam hal ini disebut PT. Antik Dimensi, berlaku sampai 1 Pebruari 203151 (tiga puluh tahun) terhitung sejak tanggal 1 Pebruari 2001.

Perjanjian (Akta No. 1) di atas itu menegaskan bahwa selesainya jangka waktu tersebut tanah-tanah serta bangunan di atasnya menjadi milik Ny. Naning52 tanpa ada kewajiban untuk melakukan ganti rugi dalam bentuk apapun kepada PT. Antik, Perusahaan Penanaman Modal Asing. Perjanjian itu juga menegaskan bahwa Mr. Tarantino membantu Ny. Naning untuk mengalihkan hak dan ijin atas bangunan tersebut ke atas nama Ny. Naning sampai selesai. Sedangkan mengenai biaya yang timbul sehubungan dengan pengalihan hak atas kepemilikan bangunan tersebut ditanggung sepenuhnya oleh Mr. Tarantino, dalam hal ini PT. Antik Dimensi.

Melanjutkan duduk perkara kasus dalam Putusan 137, singkat kata, dapat Penulis katakan bahwa permasalahan dipicu, oleh pihak Livio,

51

Satu hal yang sangat menyakitkan hati, yaitu bahwa di Indonesia ini sepertinya tidak ada yang namanya perlindungan terhadap pemegang saham minoritas, atau tidak ada kepatuhan hukum yang hukumnya ada di Indonesia, sehingga, kalau Pembaca tidak kaget, Penulis perlu mengemukakan bahwa saat ini yang namanya PT. Antik Dimensi itu sudah tidak ada lagi. Sia-siakah hukum yang sudah menggariskan perlindungan terhadap pemegang saham minoritas yang nyata-nyata ada dan diakui dalam Putusan137? Tanyakan pada rumput yang bergoyang!

52

Kalau orang mau jujur, sejatinya, Ny. Naning juga adalah pemegang saham minoritas, sebab menguasai sepuluh prosen dari jumlah total saham PT. Antik Dimensi, namun sangat menyedihkan, tidak hanya Livio, dalam the Indonesian Legal System Tragedy? yang bisa dilihat terang benderang pada Putusan137 itu, entah angin “kejahatan” apa yang bertiup, Ny. Naning pun, hingga saat ini tidak menguasai apapun dari tanah-tanah (lima bidang) miliknya tersebut. Dalam konteks penulisan skripsi ini, dua orang pemegang saham minoritas, yang pertama adalah Livio dan yang kedua adalah Ny. Naning, sekaligus adalah pemilik dari tanah-tanah tempat didirikannya bangunan-bangunan PT. Antik Dimensi, suatu transaksi bisnis internasional, mungkin dapat dikatakan saat ini hanya bisa menatap kosong, hak-haknya yang diambil di dalam putaran mesin sistem hukum yang mungkin bukan hukum yang sejati, sebab tidak berpihak kepada mereka Ny. Naning, Livio dan sekaligus pemegang saham lainnya yaitu Mr. Tarantino. Bangsa ini seolah-olah bisa dilukiskan sebagai bangsa pemerkosa hak-hak pemegang saham minoritas?


(32)

48 berdasarkan fakta yang ada, bahwa pihak Ny. Naning dan Mr. Tarantino dengan dan tanpa persetujuan dari pihak Livio sebagai salah satu pemegang sepuluh prosen saham, atau pemegang saham minoritas, merasa bahwa PT. Antik Dimensi telah secara sepihak dan tanpa memberitahukan kepada Livio telah melakukan penjualan atas asset PT. Antik Dimensi kepada pihak lain tanpa persetujuan umum dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Padahal, Pasal 11 Ayat (4) Anggaran Dasar Perseroan (AD-ART ) menyatakan bahwa seharusnya pemegang saham minoritas seperti Livio yang merupakan bagian dari RUPS perlu dimintakan persetujuannya (audi alteram partem). Rumusan ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: “perbuatan hukum untuk mengalihkan melepaskan hak atau menjadikan jaminan utang seluruh atau sebagian besar harta kekayaan perseroan, dalam satu tahun buku baik dalam satu transaksi atau beberapa transaksi yang berdiri sendiri ataupun yang berkaitan satu sama lain harus mendapat persetujuan rapat

umum pemegang saham (RUPS)”.

Memang betul, bahwa Anggaran Dasar Perseroan (AD-ART) PT. Antik Dimensi juga menegaskan bahwa persetujuan RUPS terkait dengan harta benda PT. Antik Dimensi harus di setujui 90% (sembilan puluh persen). Seperti telah dikemukakan di atas, rincian modal awal PT. Antik Dimensi yaitu pihak Ny. Naning selaku Direktur: 10% Mr. Tarantino selaku


(33)

49 Komisaris 80% dan Pihak Livio 10% dengan total keseluruhan modal tiga puluh juta rupiah53.

Artinya, berdasarkan kaedah tersebut di atas, sebetulnya menurut argumentasi pihak Ny. Naning dan pihak Mr. Tarantino pemungutan suara terkait dengan RUPS pada PT. Antik Dimensi adalah sah Mengingat 90% saham adalah gabungan saham dari saham milik Ny. Naning dan Mr. Tarantino. Sementara, pihak Livio hanya menguasai 10% saham; atau mungkin dalam konteks penulisan skripsi ini hanyalah pemegang saham minoritas, jadi dapat diabaikan dalam hal ini. Mungkin karena itulah maka hakim yang memutus Putusan 137 degan pertimbangan-pertimbangan yang ada memutuskan dan mengabulkan permohonan penggugat sebagai pemegang saham minoritas yang merasa tidak dianggap dan dikesampingkan.

Memang, harus diakui, bahwa dalam Putusan 137, ada bangunan argumen bahwa pihak Ny. Naning juga mengakui, tidak diperlukan adanya persetujuan dari pihak Livio karena kepemilikan saham pihak Livio, yang sama dengan kepemilikan saham miliknya berjumlah hanya 10% (Minoritas). Karenanya, tanpa kehadiran pihak Livio, dua pihak lainnya yang mayoritas, yaitu Ny. Naning dan Mr. Tarantino dengan kepemilikan sahamnya adalah 90 %, menurut pihak Ny. Naning dan Mr. Tarantino bisa mengambil keputusan mengenai apapun menyangkut perseroan tanpa perlu adanya RUPS, dalam hal ini mereka boleh mengesampingkan perjanjian yang telah mereka

53


(34)

50 buat dan tandatangani sendiri, sebagaimana durumuskan dalam Pasal 11 Ayat 4 AD-ART PT. Antik Dimensi.

Itulah sebabnya dalam Putusan 137 dinyatakan bahwa dengan pertimbangan bahwa Ny. Naning dan Mr. Tarantino sendiri mengakui bahwa mereka membuat akta-akta Nomor 12 dan Nomor 13 dengan mengesampingkan Pasal 11 ayat 4 AD-ART Perseroan, yang di dalamnya secara tegas menentukan harus mendapat persetujuan dalam RUPS vide salinan akta tanggal 30 Januari 2001 No. 1 Akta pendirian perseroan terbatas PT. Antik Dimensi yang sudah dikatakan di atas, dibuat dihadapan Notaris Dra. Jessica Linjani, SH.54

Sekalilagi perlu dikemukakan bahwa Putusan 137 juga mencatat bahwa selain diakui, Ny. Naning dan Mr. Tarantino juga telah mengesampingkan keberadaban Pasal 11 Ayat (4) AD-ART dimaksud, yaitu:

perbuatan hukum untuk mengalihkan melepaskan hak atau menjadikan jaminan untang selain atau sebagian besar harta

kekayaan “perseroan” dalam satu tahun buku baik di dalam satu

transaksi atau beberapa transaksi yang berdiri sendiri ataupun yang berkaitan satu sama lain harus mendapat persetujuan rapat umum pemegang saham yang sendiri atau diwakili para pemegang saham yang memiliki paling sedikit 3/4 (tiga per empat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan paling disetujui oleh paling sedikit 3/4 (tiga per empat) bagian dari jumlah seluruh suara yang dikeluarkan

secara sah dalam rapat”.

54


(35)

51 Kedua pihak pemegang saham mayoritas di atas juga membangun argumentasi mereka bahwa tidak hanya ketentuan sebagaimana dikemukakan di atas, namun lebih dari pada itu, ternyata dalam Pasal 22 Ayat (8) AD-ART Perseroan, juga mengakui bahwa:

“Pemegang saham dapat juga mengambil keputusan yang sah

tanpa mengadakan rapat umum pemegang saham dengan ketentuan semua pemegang saham telah diberi tahu secara tertulis dan semua pemegang saham memberikan persetujuan mengenai usul yang diajukan secara tertulis serta menandatangani persetujuan tersebut, keputusan yang diambil dengan cara demikian mempunyai kekuatan yang sama dengan keputusan yang diambil dengan sah dalam rapat umum

pemegang saham”.

Dengan memertimbangkan bahwa apa yang diatur didalam AD-ART perseroan tersebut di atas adalah mengikat dan harus dilaksanakan oleh Ny. Naning dan Mr. Tarantino juga oleh pihak Livio sebagai Penggugat yang dalam hal ini merupakan pemegang saham minoritas dalam perspektif penulisan dan penelitian karya tulis ilmiah dalam bidang hukum di Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga ini, kemudian dengan memertimbangkan bahwa terhadap akta notaris No. 1 tanggal 30 Januari 2001 tersebut tidak pernah diadakan perubahan apapun; ditambah dibuatnya akta Nomor 12 dan 13 tanggal 14 Desember 2001 di hadapan Subiyanto Putro,


(36)

52 SH., yang berkantor di Semarang oleh Ny. Naning dan Mr. Tarantino,55 adalah bertentangan dengan AD-ART PT. Antik Dimensi, maka apa yang dilakukan tersebut, tertera di dalam Putusan 137 sebagai sesuatu yang menurut hukum dapat dikwalifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum (PMH). Demikian dalil yang dikemukaan oleh Livio.

Sejalan dengan itu, dengan memertimbangkan bahwa akta notaris Nomor 12 dan 13 pada tanggal 14 Desember 2001 tersebut di atas telah dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum, maka dengan demikian, para Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Semarang pada waktu itu memandang bahwa tuntutan pihak Livio, yang dalam koneks penulisan karya tulis ini harus dilihat sebagai pemegang saham minoritas menganai hal itu dapat dikabulkan.

Majelis Hakim juga sempat memertimbangkan apakah akta Perjanjian, akta notaris Nomor 1 tanggal 01 Februari 200156 beralasan hukum untuk dinyatakan sah atau tidak. Maka menurut para Majelis Hakim, akta Perjanjian dimaksud adalah merupakan perjanjian antara Ny. Naning dan Mr. Tarantino yang isinya antara lain menyangkut keberadaan dan kepentingan perseroan PT. Antik Dimensi. Dengan demikian, menurut Majelis Hakim, bila dihubungkan dengan keberadaban bukti-bukti yang diajukan ke hadapan Persidangan maka secara hukum ada hak dan kepentingan penggugat yang

55

Bukti P-2 dan P-3 / T I-II-2 dan T I-II-3.

56


(37)

53 mengikat dan yang harus dilindungi57. Oleh karenanya adalah beralasan apabila berdasarkan hukum, akta perjanjian, akta notaris No. 1 tanggal 01 Februaru 200158 yang dibuat di hadapan Notaris Dra. Jesicca Linjani SH tersebut untuk dinyatakan sah. Majelis Hakim mengabulkan tuntutan pihak Livio sebagai pihak yang merupakan pemegang saham minoritas.

2.3.3. Remedy, Bentuk Perlindungan Bagi Pemegang Saham Minoritas Suatu hal menarik yang perlu dikemukakan di sini sehubungan dengan aspek perlindungan terhadap pemegang saham minoritas adalah aspek ganti kerugian atau remedy. Majelis hakim mempertimbangkan bahwa walaupun suatu kerugian yang timbul karena keberadaan suatu perkara aquo dan tidak dapat dimintakan terhadap pihak lawan, namun secara kasuistis tuntutan ganti kerugian dimaksud dapat dinilai dari sisi kepatutan dan kewajaran.

Menurut Majelis Hakim dalam Putusan 137 tersebut, karena dalam perkkara itu ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Ny. Naning dan Mr. Tarantino, maka sebagai kompensasi hukum atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan, dan karena ada tuntutan ganti kerugian yang dituntut oleh pihak Livio, yang dalam hal ini harus dibaca sebagai kepentingan pemegang saham minoritas, maka Majelis Hakim dalam Putusan 137 itu melihat atau menilai bahwa adalah sesuatu yang patut dan wajar dan karenanya menurut Majelis Hakim Pengadilan Negeri di Provinsi Jawa

57

Konteks penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah dalam bidang hukum ini, maka hal itu harus dilihat sebagai perlindungan terhadap pemegang saham minoritas, yang analisisnya akan dikemukakan Penulis dalam bagian analisis.

58 Ibid.


(38)

54 Tengah itu memandangnya sebagai beralasan untuk mengabulkan tuntutan ganti rugi tersebut dan memberikan remedy berupa ganti rugi. Dalam bahasa Inggris hukum, hal ini dikenal dengan damage.

Mengenai tuntutan pihak Livio, dalam hal ini harus dilihat sebagai tuntutan pemegang saham minoritas, yaitu tuntutan tentang putusan serta-merta, ditolak oleh majelis hakim. Majelis hakim beralasan bahwa tuntutan serta-merta itu tidak memenuhi persyaratan yang dikehendaki oleh Pasal 180 HIR. Selanjutnya, mengingat gugatan pihak Livio dikabulkan sebagian, maka biaya perkara dibebankan kepada Ny. Naning dan Mr. Tarantino.

Para Majelis hakim, berdasarkan perhatian mereka terhadap pasal-pasal dan peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan kemudian pada waktu itu mengadili bahwa mereka mengabulkan gugatan pihak Livio untuk sebagian dan menyatakan menurut hukum bahwa perbuatan Ny. Naning dan Mr. Tarantino di atas adalah perbuatan melawan hukum (PMH). Atas dasar itu Majelis Hakim juga mengatakan tidak sah dan batal demi hukum akata Nomor 12 dan 13 tanggal 14 Desember 2001 yang dibuat di hadapan Subiyanto Putro, SH., Notaris di Semarang dengan segala akibat hukumnya.

Majelis hakim juga menyatakan sah menurut hukum akta No.: 1 tertanggal 01 Februari 2001 tentangg Perjanjian yang dibuat di hadapan Dra. Jessica Linjani, SH., Notaris di Ungaran. Dalam Putusan 137 tersebut, Majelis Hakim kemudian menghukum Ny. Naning dan Mr. Tarantino untuk membayar ganti rugi terhadap penggugat lima puluh juta rupiah.


(39)

55 Ganti kerugian atau dalam koneks penulisan karya tulis ini harus dibaca sebagai ganti kerugian dalam rangka memulihkan hak-hak dan kepentingan pemegang saham minoritas itu terdiri dari kerugian immateriil sebesar dua puluh lima juta rupiah dan materiil sebesar dua puluh lima juta rupiah. Majelis Hakim juga menghukum Ny. Naning dan Mr. Tarantino untuk membayar ongkos biaya perkara sebesar dua ratus enam puluh sembilan ribu rupiah. Selebihnya majelis hakim menolak gugatan pihak Livio untuk selain dan selebihnya.

2.4. Analisis Kaedah Hak Hukum terhadap Pemegang Saham Minoritas Setelah mengemukakan studi kepustakakaan yang mebahas mengenai isu perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas (protection of minority shareholders), selanjutnya diikuti dengan pemaparan gambaran hasil penelitian, yaitu Putusan 137 Pengadilan Negeri Semarang sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka kini tiba gilirannya bagi Penulis untuk mengemukakan analisis terhadap Putusan 137 untuk melihat apakah kaedah-kaedah perlindungan hukum yang berdimensi hukum perdagangan atau transaksi bisnis internasional terhadap pemegang saham minoritas yang dikemukakan dalam studi kepustakaan itu juga ada dan diakui di dalam sistem hukum Indonesia, dalam hal ini dipergunakan juga oleh para hakim misalnya, dalam mengadili dan memutus kasus yang diajukan kepada mereka. Analisis berikut di bawah ini dimulai dari bagaimana aspek sejarah isu perlidungan terhadap pemegang saham minoritas tersebut, baik yang berlaku dan dikenal


(40)

56 dan dibahasa di Indonesia, setidak-tidaknya telah dikemukakan di atas oleh Penulis, dimulai dari pendapat para ahli hukum yang menekuni bidang perseroan terbatas, kemudian dilanjutkan dengan hakikat dari perlindungan terhadap pemegang saham minoritas sabagai suatu kontrak dan hal-hal yang lebih detail yaitu transposisi antara kaedah-kaedah yang ada di dalam studi kepustakaan dengan apa yang ada di dalam Putusan 137.

2.4.1. Sejarah Pergumulan Memikirkan Hak atas Pemegang Saham Minoritas

Pergumulan pemikiran tentang bagaimana sistem hukum di muka bumi ini memberikan perhatian terhadap isu perlindungan terhadap pemegang saham minoritas itu sesungguhnya, seperti telah Penulis kemukakan di atas, terjadi di mana saja, khususnya dalam konteks penelitian ini terjadi di Indonesia, maupun di Inggris dan Skotlandia.

Hal seperti itu terbukti dengan apa yang sudah Penulis kemukakan di atas, sudah mulai dipikirkan oleh para ahli yang melakukan spesialisasi dalam melihat aspek perlindungan terhadap pemegang saham minoritas itu, terutama ahli hukum perusahaan di Indonesia dan juga di Inggris dan Skotlandia.

Di Indonesia, Tri Budiono, kajian yang paling kontemporer mnegenai aspek perbadingan hukum atas perlindungan terhadap pemagang saham minoritas ini, seperti dikemukakan di atas, mengemukakan bahwa prinsip hak suara yang dianut dalam UU PT adalah satu saham satu suara (one share one vote). Prinsip inilah yang seringkali disebut sebagai demokrasi perusahaan atau demokrasi kapitalisme. Apabila dilihat dari sejarah perkembangannya,


(41)

57 demokrasi perusahaan atau demokrasi kapitalisme ini mengadopsi demokrasi politik yang berbasiskan pada orang (one man one vote). Tetapi dalam demokrasi perusahaan, basis orang (one man one vote) dimodifikasi menjadi basis uang (one share one vote) yang terpresentasikan dalam bentuk share (stock). Dari aspek ini, mempersamakan (satuan) orang dengan (satuan) uang sejatinya, menurut Tri Budino, sesuatu yang berada di luar kaedah hukum namun aspek politik, merupakan bentuk dehumanisasi. Demokrasi perusahaan, telah melahirkan tirani mayoritas yang berada di tangan pemegang saham mayoritas. Satu orang pemegang saham yang memiliki saham Perseroan 51% dapat mengalahkan 1000 orang yang apabila dikalkulasi jumlah saham yang dimilikinya hanya 49%. Kondisi demikian sejatinya telah melahirkan kesempatan penyalahgunaan posisi –khususnya yang dapat dilakukan oleh pemegang saham mayoritas- yang dapat merugikan pemegang saham minoritas.

Kondisi ini, seperti telah diungkapkan dalam Bab I, merujuk Tri Budiono, masih diperparah oleh peran yang dilakukan oleh pengurus Perseroan (Direksi) dan Dewan Komisaris yang cenderung berfihak pada pemegang saham mayoritas. Pemegang saham minoritas yang secara posisional jauh lebih lemah apabila dibandingkan dengan pemegang saham mayoritas, sangat sulit ketika mereka harus berhadapan dengan konspirasi pemegang saham mayoritas Direksi dan Dewan Komisaris. Hal lain yang turut memperlemah kedudukan pemegang saham minoritas adalah prinsip persona standi in judicio (capacity standing in court or in judgement), yaitu hak untuk


(42)

58 mewakili Perseroan baik di depan maupun di luar pengadilan. Secara normatif, posisi ini hanya terbuka pada pemegang saham mayoritas.59 Meskipun kutipan di atas tampak menyesali keadaan tirani mayoritas dalam suatu perseroan terbatas, namun penulis yang pandangannya Penulis kutip itu, mungkin secara sengaja menyembunyikan kaedah hukum bisnis internasional yang secara historis sudah mulai bertumbuh di dalam penelitian itu dapat dirujuk untuk memberikan perlindungan kepada pemegang saham minoritas yang berinvestasi dalam suatu perseroan terbatas.

Sebelum itu, orang lainnya juga yaitu Rudhi Prasetya mengemukakan pandangannya mengenai aspek sejarah bagaimana Indonesia yang didikte oleh hukum memikirkan cara yang terbaik dalam rangka menanggapi persoalan atau legal isu kepentingan dari pemegang saham minoritas (minority interests) tersebut mengemukakan keluhan yang sama dengan kaedah yang dia pinjam dari Belanda yang dinamakan dengan enqueterech dalam memberikan perlindungan dimaksud.

Dalam penjelasan umum undang-undang Perseroan Terbatas, menurut Rudhi Prasetya, berkali-kali dijelaskan bahwa, dalam menyusun undang-undang ini sangat diperhatikan untuk memberikan perlindungan kepada pemegang saham minoritas. Sebagaimana kita ketahui, dalam setiap pengambilan keputusan dalam PT berlaku asas pemungutan suara (vooting). Dalam hubungan ini maka akan menjadi sangat lebih kedudukan seorang

59


(43)

59 pemegang saham yang prosentase dari saham yang dimilikinya lebih kecil dari presentase pemegang saham lainnya. Dalam hubungan inilah memang diperlukan adanya mekanisme yang melindungi kepentingan pemegang saham minoritas yang bisa tertindas itu. Saya melihat memang telah dirasakan perlu sekali adanya perlindungan terhadap pemegang saham minoritas60 tersebut.

Terlebih-lebih manakala kita melihat praktek go-publik PT-PT yang ada di Indonesia, rata-rata atas saham yang listing dan dijual memasuki bursa tersebut keseluruhannya tidak lebih dari 30% dari seluruh saham yang ditempatkan. Tujuh puluh prosen dari saham yang ada masih tetap dikuasai

dan dipegang oleh para pendiri atau yang dinamakan pula “pemegang saham utama”. Pada hal para pemegang saham minoritas sebersar 20% tersebut

tersebar luas di antara publik. Telah lama melalui berbagai tulisan saya, telah saya ingatkan perlu adanya suatu lembaga yang memberikan perlindungan terhadap pemegang saham minoritas dari kekalahannya dalam pemungutan suara dalam RUPS, seperti yang di negara Belanda dinamakan enqueterech.

Adapun menurut Rudhi Prasetya, sebagaimana telah dikemukakan pula juga oleh Penulis dalam Bab I, pada intinya, lembaga ini memberikan hak kepada pemegang saham minoritas untuk memohon melalui Pengadilan

60

Hal ini di dalam Literatur di Inggris disebut dengan isu protection of minority interests. Hasil penelitian individual yang dilakukan oleh Jeferson Kameo SH., LL.M., Ph.D dalam suatu kasus yang sangat terkenal yaitu Foss v Harbottle yang diputus dalam tahun 1843 di Inggris membuktikan bahwa apa yang dikemukakan oleh Dr. Parsetyo di atas itu sudah dipikirkan di Inggris dengan istilah protection of minority interests. Prinsip itu dibangun

sebagai pengecualian atas “kemutlakan” majority rule yang mendapat ekspresi dalam Foss v Harbottle (1843) 2 Hare 461., dirujuk dari penelitian individuil di atas yang tidak dipublikasikan.


(44)

60 untuk dilakukannya pemeriksaan pada perseroan berhubung terdapat dugaan adanya kecurangan-kecurangan atau hal-hal yang disembunyikan oleh pemegang saham mayoritas. Mengapa melalui pengadilan? Dipikirkan, di satu pihak perlu diberikannya perlindungan terhadap pemegang saham minoritas, tetapi di lain pihak kemungkinan dapat disalahgunakan oleh para competitor (pesaing dagang), yang dengan sengaja membeli sejumlah saham kecil semata-mata untuk mengetahui rahasia perusahaan. Dengan permohonan melalui hakim, dapat diharapkan hakim akan berperan untuk menapis, sampai sejauh mana memang beralasan permintaan pemeriksaan pemegang saham

bersangkutan”61

.

Seperti ungkapan dalam kutipan di atas, satu hal yang memperlemah posisi dari pemegang saham minoritas yaitu prinsip persona standi in judicio (capacity standing in court or in judgement), yaitu hak untuk mewakili Perseroan baik di depan maupun di luar pengadilan, dimana secara normatif, posisi tersebut hanya terbuka pada pemegang saham mayoritas. Disamping hal-hal seperti yang telah Penulis kemukakan di atas, yang sudah terlebihdahulu Penulis singgung dalam Bab I Skripsi ini62, khusus mengenai bagaimana hukum memberikan perindungan terhadap hak pemegang saham minoritas yang berdimensi hukum perdagangan internasional, termasuk di dalamnya persona standi in judicio, terungkap dari kutipan di atas, terkesan

61

Prof. Dr. Rudhi Prasetya, S.H., Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm., 229-231.

62


(45)

61 belum diperhatikan secara serius dalam sistem hukum pada umumnya, menurut penulis di atas, apalagi oleh sistem hukum positif Indonesia, demikian kata penulis tersebut. Itulah sebabnya di bawah ini analisis disusun oleh Penulis dengan maksud membahas dan menemukan cara yang ada, di balik kaedah hukum perdagangan internasional yang sudah dikenal dalam rangka memberikan perlindungan kepada pemegang saham minoritas dalam suatu perseroan terbatas, dalam hal ini khususnya dalam memberikan perlindungan kepada pemegang saham minotiras dalam suatu bisnis atau transaksi/perdagagnan internasional.

Penulis, berasumsi bahwa secara historis, sudah lama sejatinya, termasuk yang secara implisit terkandung di dalam Pasal 1365 KUHPerdata, PMH, ada perkembagan pemikiran dan pergulatan untuk menghadirkan kaedah perlindungan hukum itu dalam sistem hukum di Indonesia. Dimensi terakhir dari analisis sisi historis pergulatan pemikiran mengenai bagaimana hukum memberikan perlindungan kepada pemegang saham minoritas tersebut adalah bahwa apabila dibandingkan antara sistem hukum Inggris dan apalagi Skotlandia dengan sistem hukum Indonesia, maka Inggris dan Skotlandia, dilihat dari tahun kasus Landmark dimana hak pemegang saham minoritas persona standi in judicio mulai dipikirkan oleh para hakim, sebagaimana dikemukakan di atas, jauh lebih dahulu memikirkan mengenai hal itu. The rule in Foss v Harbottle misalnya sudah diputus atau dibuat pada tahun 1843, sedikit lebih tua dari lembaga penundukan diri kepada hukum perdata Eropah yang sudah diberlakukan juga kepada golongan Timur Asing dan lain-lain di


(46)

62 Hindia Belanda dalam tahun 192563, namun agak lebih muda jika dibandingkan dengan pembentukan peraturan hukum perdata yang dilakukan oleh Napoleon sebelumnya.

2.4.2. Hakikat Hak terhadap Pemegang Saham Minoritas (Suatu Kontrak) Dalam sub-judul 2.2.2. di atas64, telah Penulis kemukakan suatu hasil studi kepustakaan Penulis bahwa di dalam perspektif ilmu hukum, dalam hal ini Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, setiap kaedah itu haruslah dilihat sebagai suatu kontrak (a contract). Itu berarti, termasuk kaedah-kaedah (obligations) yang berdimensi memberikan perlindungan kepada kepentingan pemegang saham minoritas (protection of the minority shareholders) dalam suatu Perusahaan seperti Perseroan Terbatas pun adalah contracts.

Apabila prinsip seperti itu dipergunakan untuk membadah atau menganalisis Putusan 137, maka tampak dengan jelas pula bahwa para hakim Indonesia, dalam hal ini Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara 137 juga menganut prinsip yang sama. Termasuk di dalamnya para notaris yang membuat akta-akta pendirian perusahaan, seperti akta Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PT. Antik Dimensi. Bahwa kaedah pemberian perlindungan terhadap pemagang saham minoritas, dalam hal ini kepada si pihak Livio dalam Putusan 137 itu adalah suatu kontrak, jelas nampak dalam Akta yang dirujuk oleh Putusan 137:

63

Mengenai tahun-tahun sejarah berlakunya KUHPerdata di Indonesia, di mana ketentuan mengenai perbuatan melawan hukum ada di dalamnya, lihat Seluk Beluk dan Asas Asas Hukum Perdata yang ditulis oleh Riduan Syahani SH., Alumni, Bandung, 2000, hlm., 4 – 20.

64


(47)

63 Pasal 11 Ayat (4) Anggaran Dasar Perseroan (AD-ART ) menyatakan bahwa seharusnya pemegang saham minoritas seperti Livio yang merupakan bagian dari RUPS perlu dimintakan persetujuannya (audi alteram partem). Rumusan ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: “perbuatan hukum untuk mengalihkan melepaskan hak atau menjadikan jaminan utang seluruh atau sebagian besar harta kekayaan perseroan, dalam satu tahun buku baik dalam satu transaksi atau beberapa transaksi yang berdiri sendiri ataupun yang berkaitan satu sama lain harus mendapat persetujuan rapat umum pemegang

saham (RUPS)”. Para Majelis Hakim, yang dalam hal ini memandang pasal-pasal itu sebagai suatu kontrak, sekalipun tidak dinyatakan secara eksplisit, berdasarkan perhatian mereka terhadap pasal-pasal dan peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan kemudian pada waktu itu mengadili bahwa mereka mengabulkan gugatan pihak Livio untuk sebagian dan menyatakan menurut hukum bahwa perbuatan Ny. Naning dan Mr. Tarantino di atas adalah perbuatan melawan hukum (PMH).

Demikian pula, karena menganggap bahwa ketentuan-ketentuan dalam Akta-akta di atas merupakan suatu kontrak, meskipun tidak secara eksplisit, atas dasar itu Majelis Hakim juga mengatakan tidak sah dan batal demi hukum akata Nomor 12 dan 13 tanggal 14 Desember 2001 yang dibuat di hadapan Subiyanto Putro, SH., Notaris di Semarang dengan segala akibat hukumnya. Sebagaimana diketahui, seperti yang selama ini dipahami, namun karena


(48)

64 kekuasaan65 dianggap lain, dengan dinyatakan batalnya Akta No. 12 menyebabkan jual-beli seharusnya batal demi hukum (null and void).

2.4.3. Saat Mulainya Isu Hak Terhadap Pemegang Saham Minoritas Sebagai suatu kontrak, maka harus pula ditentukan kapan sejatinya hak, dalam hal ini perlindungan terhadap kepentingan pemegang saham minoritas itu dimulai. Sebagaimana terlihat dalam gambaran hasil penelitian terhadap Putusan 137 di atas, hak untuk memperoleh perlindungan terhadap Livio sebagai pihak dalam perjanjian itu, sudah tentu lahir sejak adanya akta pendirian perseroan terbatas PT. Antik Dimensi. Selain itu, dalam pengamatan Penulis, hak seperti itu semakin nyata terancam dan oleh sebab itu mulai dirasakan betapa pentingnya perlindungan seperti itu diberikan oleh hukum, ketika pembuatan Akta No. 1 di hadapan Notaris Dra. Jesicca Linjani SH. Dalam kontrak atau Akta Perjanjian tersebut para pihak adalah Ny. Naning berkedudukan sebagai pihak yang memberikan hak atas tanahnya kepada Ny. Naning sendiri, namun dalam kedudukan sebagai Direktur PT. Antik Dimensi menggunakan tanah66 tersebut. Sedangkan Mr. Tarantino, dan dalam konteks penelitian dan penulisan karya tulis kesarjanaan ini, sudah tentu Livio, dalam kepentingannya sebagai pemegang saham minoritas (a minority shareholder) untuk dirinya (Livio) sendiri dan untuk PT. Antik Dimensi sebagai Orang, atau suatu Subyek Hukum dimana Livio adalah pihak di dalamnya, adalah sebagai pihak yang menggunakan tanah milik Ny. Naning sebagai pribadi.

65

Hal itu tidak dibahas oleh Penulis dalam karya tulis ini, namun Putusan-putusan yang berkaitan dengan Putusan 137 yang telah menyebabkan pelaksanaan kaedah hukum dalam Putusan137 terkesan tidak pasti dilampirkan dalam Skripsi ini.

66

Bersama dengan empat bidang tanah lainnya, namun tidak disebutkan di dalam Akta Perjanjian No. 1.


(1)

69 Satu nomenklatur yang paling jelas dalam Putusan 137 yang telah menjustifikasi Majelis Hakim untuk memberikan perlindungan terhadap pemegang saham minoritas yaitu adanya kerugian dari pihak pemegang saham minoritas, dalam hal ini Livio. Seperti telah Penulis kemukakan dalam gambaran hasil penelitian sebagaimana dikemukakan di atas, kategori justifikasi itu adalah adanya kerugian. Hal ini dapat didistilasi dari pernyataan Majelis Hakim yang menyatakan sah menurut hukum akta No.: 1 tertanggal 01 Februari 2001 tentangg Perjanjian yang dibuat di hadapan Dra. Jessica Linjani, SH., Notaris di Ungaran. Dalam Putusan 137 tersebut, Majelis Hakim kemudian menghukum Ny. Naning dan Mr. Tarantino untuk membayar ganti rugi terhadap penggugat lima puluh juta rupiah. Kata ganti rugi itu mengindikasikan bahwa ada kategori ketiga, sebagaimana dikemukakan dalam studi kepustakaan atas Yurisprudensi Inggris sebagaimana dikemukakan di atas. Ganti kerugian atau dalam koneks penulisan karya tulis ini harus dibaca sebagai ganti kerugian dalam rangka memulihkan hak-hak dan kepentingan pemegang saham minoritas itu terdiri dari kerugian immateriil sebesar dua puluh lima juta rupiah dan materiil sebesar dua puluh lima juta rupiah. Majelis Hakim juga menghukum Ny. Naning dan Mr. Tarantino untuk membayar ongkos biaya perkara sebesar dua ratus enam puluh sembilan ribu rupiah. Selebihnya majelis hakim menolak gugatan pihak Livio untuk selain dan selebihnya.

Dalam Putusan 137, menurut hemat Penulis tidak ada indikasi dapat digunakannya fraud, atau penipuan yang dilakukan oleh pihak pemegang


(2)

70 kendali dominan dalam PT. Antik Dimensi. Seperti nampak dalam studi kepustakaan mengenai fraud, dikemukakan bahwa fraud itu adalah sama dengan yang ada di dalam Yurisprudensi pertama, Cook v Deeks68, satu yurisprudensi dimana Cook adalah satu dari empat direktur dalam suatu perusahaan jasa konstruksi menggugat Deeks mengingat Perusahaan jasa konstruksi itu mengalihkan keuntungan yang seharusnya dinikmati oleh Perusahaan dimana Cook juga adalah pemegang saham. Sedangkan kasus kedua mengenai fraud di dalamnya mengandung kaedah hukum yang mendikte perlindungan terhadap pemegang saham minoritas yaitu Re J. Beauforte (London) Ltd69. Dalam kasus itu, di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (Memorandum) mencantumkan pemberian kekuasaan atau kewenangan Perusahaan tersebut untuk menjalankan perusahaan yaitu pembuatan pakaian dan gaun perempuan. Hanya saja, pada kenyataannya Perusahaan tersebut yaitu J. Beauforte (London) Ltd., justru melakukan bisnis yang lain sama sekali, yaitu membuat venir panel dari kayu. Akibat dari keputusan Perusahaan yang tidak sejalan dengan apa yang sudah diamanatkan di dalam AD-ART Perusahaan itu, J. Beauforte (London) Ltd membuat perjanjian-perjanjian dengan sejumlah developer untuk membuat suatu bangunan pabrik yang baru, demikian pula si pihak Perusahaan, dalam hal ini J. Beauforte (London) Ltd., membuat perjanjian-perjanjian dengan sejumlah pihak untuk mensuplai venir dan juga anehnya batu bara yang sudah

68

[1916] 1 AC 544 (PC)

69

[1953] 1 All ER 634. Sumber, masih merujuk kepada Penelitian individuil Jeferson Kameo.


(3)

71 diolah (coke). Perusahaan itu kemudian menjadi bangkrut. Sedangkan Yurisprudensi ketiga mengenai fraud yang tidak ditemukan di dalam Putusan 137 dapat menjadi legitimasi tuntutan untuk memperoleh perlindungan hukum kepada pemegagn saham minorotas adalah Pender v Lushington70. Dalam Yurisprudensi tersebut, Anggaran Dasar Perseroan mengandung ketentuan bahwa setiap jumlah sepuluh suara terdapat satu hak untuk memilih, hanya saja tidak ada satu anggota pun berhak memiliki hak untuk memilih lebih dari serast suara (100 votes). Agar supaya kelebihan dari saham-saham itu tetap bernilai suara, seorang pemegang saham yang memegang dan memiliki lebih dari seribu saham mengalihkan sisa dari saham yang tidak bernilai suara itu kepada anggota dalam perusahaan itu bernama Pender. Orang terakhir itu merupakan pemegang saham minoritas dalam perusahaan tersebut. Si Direktur perusahaan tersebut, bernama Lushington, menolak untuk menerima suara yang timbul dari saham-saham yang dikuasai oleh Pender dan Pender pun menggugat pihak Lushington. Hakim memutus bahwa saham-saham yang dikuasai Pender telah dialihkan secara sah, sehingga apa yang dilakukan Lushington tidak menerima saham-saham Pender tersebut adalah merupakan suatu pelanggaran terhadap hak Pender sebagai satu anggota dari Perusahaan. Disamping Yurisprudensi mengenai fraud yang tidak padan dengan Putusan 137, legitimasi gugatan untuk menuntut hak pemegang saham minoritas pun tidak padan dan tidak ditemukan dalam Putusan 137. Di atas, pada bagian studi kepustakaan Penulis mengemukakan bahwa dalam UU Perseroan

70


(4)

72 Terbatas Inggris sendiri ditentukan bahwa siapa saja anggota suatu perseroan terbatas dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan atas dasar hukum bahwa urusan-urusan dari suatu Perseroan Terbatas sedang, atau telah, atau bakal, dilakukan dengan suatu cara yang tidak adil merugikan (unfairly prejudical) terhadap semua anggota (shareholders) dari perusahaan itu atau kepada anggota tertentu dari Perusahaan tersebut. Sepanjang pengamatan penulis, justifikasi tentang adanya unfairly prejudical terhdap Livio sebagai pemegang saham minoritas, tidak secara eksplisit dinyatakan di dalam Putusan itu oleh Majelis Hakim.

2.4.6. Remedy Hak terhadap Pemegang Saham Minoritas

Hal penting yang jgua sudah dikemukakan di atas sehubungan dengan aspek perlindungan terhadap pemegang saham minoritas adalah aspek ganti kerugian atau remedy. Dalam Putusan 137, Majelis hakim mempertimbangkan bahwa walaupun suatu kerugian yang timbul karena keberadaan suatu perkara aquo dan tidak dapat dimintakan terhadap pihak lawan, namun secara kasuistis tuntutan ganti kerugian dimaksud dapat dinilai dari sisi kepatutan dan kewajaran. Menurut Majelis Hakim dalam Putusan 137 tersebut, karena dalam perkara itu ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Ny. Naning dan Mr. Tarantino, maka sebagai kompensasi hukum atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan, dan karena ada tuntutan ganti kerugian yang dituntut oleh pihak Livio, yang dalam hal ini harus dibaca sebagai kepentingan pemegang saham minoritas, maka Majelis Hakim dalam Putusan 137 itu melihat atau menilai bahwa adalah sesuatu yang patut dan wajar dan


(5)

73 karenanya menurut Majelis Hakim Pengadilan Negeri di Provinsi Jawa Tengah itu memandangnya sebagai beralasan untuk mengabulkan tuntutan ganti rugi tersebut dan memberikan remedy berupa ganti rugi. Dalam bahasa Inggris hukum, hal ini dikenal dengan damage. Ganti kerugian atau dalam koneks penulisan karya tulis ini harus dibaca sebagai ganti kerugian dalam rangka memulihkan hak-hak dan kepentingan pemegang saham minoritas itu terdiri dari kerugian immateriil sebesar dua puluh lima juta rupiah dan materiil sebesar dua puluh lima juta rupiah. Majelis Hakim juga menghukum Ny. Naning dan Mr. Tarantino untuk membayar ongkos biaya perkara sebesar dua ratus enam puluh sembilan ribu rupiah. Selebihnya majelis hakim menolak gugatan pihak Livio untuk selain dan selebihnya. Hal seperti ini juga tidak secara eksplisit ditemukan dalam studi kepustakaan terhadap bagaimana perlindungan atas kepentingan pemegang saham minoritas yang berlaku di Inggris, yang telah dikemukakan di atas. Uraian perpektif kepustakaan mengenai hal itu sebagaimana dikemukakan di atas hanya memunculkan bahwa manakala Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan (the conduct) yang bersangkutan adalah langkah-langkah yang tidak adil dan merugikan, maka Pengadilan dapat memerintahkan kepada Perusahaan tersebut untuk bertindak-tanduk menurut cara-cara tertentu yang telah ditentukan di kemudian hari; mencegah Perusahaan itu untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu; memerintahkan Perusahaan itu untuk menggugat perbuatan salah atau melawan hukum yang sudah dilakukan kepada Perusahaan itu; memerintahkan kepada beberapa anggota dari perusahaan itu untuk membeli


(6)

74 saham-saham yang dikuasai oleh pihak lain; membuat perintah apa saja yang menurut Pengadilan pantas71.

71