tesis full text dedhi

(1)

PENGARUH PEMBERIAN KETOTIFEN TERHADAP

KADAR INTERLEUKIN 6 SERUM DAN SKOR NYERI

PADA OPERASI MASTEKTOMI

TESIS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Magister Kedokteran Keluarga

Minat Utama: Ilmu Biomedik

Oleh

Dedhi Subandriyo S501008013

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2014

commit to user


(2)

i


(3)

ii


(4)

iii commit to user


(5)

iv

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur ke hadirat Alloh, Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk dan rahmat yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaian Tesis dengan

judul ”Pengaruh Pemberian Ketotifen Terhadap Kadar Interleukin 6 Serum dan Skor Nyeri Pada Operasi Mastektomi”.

Tesis ini dimaksudkan sebagai penelitian yang merupakan salah satu persyaratan untuk mencapai derajat magister, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapakan terima kasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, Drs, MS selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan di Universitas Sebelas Maret ini.

2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program Magister di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

3. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr, SpPD-KR FINASIM, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Fakultas kedokteran Universitas Sebelas Maret.

4. Dr. Hari Wujoso, dr. SpF, MM selaku Ketua Program Studi Magister Kedokteran Keluarga Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan


(6)

v

kesempatan untuk mengikuti studi Program Magister Kedokteran Keluarga dan selaku pembimbing metodologis yang dengan kesabarannya membimbing dan meneliti Tesis ini sehingga menjadi lebih baik.

5. Ari Natali P. dr. MPH. Ph.D. selaku Sekretaris Program Studi Magister Kedokteran Keluarga Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan studi pada program Magister Kedokteran Keluarga.

6. Sugeng Budi Santosa, dr, SpAn. KMN selaku Kepala SMF Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FKUNS/RSDM. Terima kasih atas segala bimbingan dan masukan yang diberikan pada penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini.

7. Mulyo Hadi Sudjito dr, SpAn KNA selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Anestesi dan Terapi Intensif FKUNS/RSDM dan selaku pembimbing substansi , atas kesediaannya meluangkan waktu dan memberikan masukan dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga tesis ini dapat terselesaikan. 8. ”Guru-guruku” yang tidak pernah lelah mengajari, dan memberi

kesempatan penulis untuk menimba ilmu di IK Anestesiologi dan Intensive Care UNS.

9. Kedua orang tua penulis, Bapak Endi Suwadji dan Ibu Titik Murgiati yang sangat penulis hormati dan sayangi yang selalu memberi dukungan, bantuan, perhatian, kasih sayang, dan tidak bosan-bosannya berdoa untuk penulis agar penulis cepat dapat menyelesaikan pendidikan.


(7)

vi

10.Istri tercinta dan tersayang, Nurul Indarti Setyaningrum, yang tak pernah lelah memberi dukungan, doa, cinta, kasih sayang, pengertian, dan perhatiannya, serta anak-anaku, Ummu Abdillah Asy Syifa dan Abdurrohman Afifi yang menjadikan hidup lebih berwarna selama penulis menjalani pendidikan.

11.Kakak-kakakku yang penulis cintai dan sayangi, yang selalu memberi dukungan agar penulis dapat menyelesaikan pendidikan.

12.Rekan-rekan residen anestesi yang telah membantu dan mendukung, terkhusus dr. Frans Kausario dan dr. Arya Windhi yng telah membantu dalam proses sampling.

13.Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran dari pembaca penulis harapkan sehingga lebih sempurna.

Surakarta, Agustus 2014

Dedhi Subandriyo, dr


(8)

vii ABSTRACK

Dedhi Subandriyo, S501008013. 2014. Pengaruh Pemberian Ketotifen Terhadap Kadar Interleukin 6 Serum dan Skor Nyeri Pada Operasi Mastektomi. Pembimbing I: Dr. Hari Wujoso, dr., MM, Sp.F. Pembimbing II: Mulyo Hadi Sudjito, dr., Sp.An, KNA. Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran, Program Studi Magister Kedokteran Keluarga, Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Background : Postsurgical chronic pain is the consquence of exaggerate and ongoing inflammation. Inflammatory processes after surgical incision are maintained through the release of inflammatory mediators by resident cell, including mast cell. Ketotifen as a mast cell stabilizer, had been proven inhibits mast cell degranulation, released several media tor, including proinflammatory cytokine interleukin 6..

Purpose : To proof effect of ketotifen in reduce interleukin 6 serum level and pain score in mastectomy procedure.

Methods : This is a clinical study setting withvdouble blind randomized controlled trial. Thirty patients were randomly devided in to two groups. K1, Ketotifen group, fiveteen patients with mastectomy procedure and get oral ketotifen. K2, fiveteen patients and get placebo. Before and on day 3th post operative, the patinets were examinated interleukin 6 serum level and pain score. The alteration il-6 serum level and pain score were analyzed with independent t-test.

Result : There was significant differences (p < 0.05), the alteration il-6 serum level and pain score of the ketotifen treated group (K1) was lower than control group (K1).

Conclusion Ketotifen play a role in preventing post operative pain, however administering oral ketotifen effective control exceed inflammatory response in post operativ which marked with inhibition interleukin 6 product .

Keywords : Ketotifen, interleukin-6, post operative pain.


(9)

viii ABSTRAK

Dedhi Subandriyo, S501008013. 2014. Pengaruh Pemberian Ketotifen Terhadap Kadar Interleukin 6 Serum dan Skor Nyeri Pada Operasi Mastektomi. Pembimbing I: Dr. Hari Wujoso, dr., MM, Sp.F. Pembimbing II: Mulyo Hadi Sudjito. dr., Sp.An, KNA. Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran, Program Studi Magister Kedokteran Keluarga, Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Latar Belakang : Nyeri kronis pasca bedah merupakan salah satu konskuensi dari adanya proses inflamasi yang berlebihan. Proses inflamasi pasca bedah diawali dengan pelepasan mediator inflamasi oleh sel residen, dimana salah satunya adalah sel mast. Ketotifen sebagai agent stabilisasi sel mast, telah terbukti mencegah terjadinya degranulasi sel mast yang akan melepaskan berbagai mediator, termasuk sitokin proinflamasi interleukin 6.

Tujuan : Membuktikan pengaruh pemberian ketotifen terhadap penurunan kadar interleukin 6 serum dan skor nyeri pada operasi mastektomi

Metode : Uji klinik dengan desain double blind randomized controlled trial. 30 pasien yang menjalani operasi mastektomi dibagi menjadi dua kelompok. K1, kelompok ketotifen terdiri dari 15 pasien yang menjalani operasi mastektomi dengan pemberian ketotifen oral perioperatif, dan K2, kelompok kontrol terdiri dari 15 pasien yang menjalani operasi mastektomi yang diberikan plasebo oral. Sebelum operasi dan hari ketiga setelah operasi pasien di periksa kadar interleukin 6 serum dan skor nyeri. Perubahan kadar interleukin 6 dan skor nyeri sebelum dan setelah operasi yang didapat di analisa dengan uji statistik independent t-test. Hasil : Ada perbedaan yang bermakna (p < 0.05) dari perubahan kadar interleukin 6 dan skor nyeri pada kelompok yang diberi ketotifen yang lebih kecil jika dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Kesimpulan : Ketotifen mempunyai peran dalam pencegahan nyeri paska operasi, dimana ketotifen efektif mengendalikan reaksi inflamasi yang berlebihan paska operasi yang ditandai dengan hambatan produksi interleukin 6.

Kata Kunci : Ketotifen, interleukin-6, nyeri paska operasi.


(10)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI TESIS ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

1. Tujuan Umum ... 6

2. Tujuan Khusus ... 6

D. Manfaat penelitian ... 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A. Kajian Teori ... 7

1. Nyeri ... 7

a. Patofisiologi Inflamasi dan Nyeri ... 7

b. Persepsi Nyeri dan Nosisepsi ... 10

c. Mediator Inflamasi dan Modulasi Nyeri ... 11

d. Nyeri Kronis Pasca Bedah ... 28

e. Proses Penyembuhan Luka ... 34

f. Pengukuran Intensitas Nyeri ... 37

2. Interleukin 6 ... 39

3. Ketotifen ... 41

a. Struktur Kimia ... 42

b. Mekanisme Kerja ... 43


(11)

x

c. Farmakokinetik... ... 44

d. Sediaan, Dosis dan Cara Pemberian ... 44

e. Efek Samping ... 45

4. Sel Mast ... 46

B. Kerangka Teori ... 53

C. Kerangka Konsep ... 54

D. Hipotesis ... 55

BAB III. METODE PENELITIAN ... 56

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 56

B. Jenis Penelitian... 56

C. Populasi dsn Besar Sampel ... 57

D. Variabel Penelitian ... 58

E. Definisi Operasional ... 58

F. Instrumen Penelitian ... 59

G. Alur Penelitian ... 60

H. Analisa Penelitian ... 62

I. Perijinan Penelitian ... 62

J. Jadwal Kegiatan dan Organisasi Penelitian ... 63

BAB IV. HASIδ PENEδITIAN DAN PEεBAHASAN……….. ... 64

A. Hasil Penelitian ... 64

B. Analisis Data………. ... 65

C. Pembahasan………... ... 69

D. Keterbatasan Penelitian……… ... 71

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ……… ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73


(12)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Jalur pelepasan dan metobolisme asam arakidonat ... 15

Gambar 2.2 Imunofisiologi nyeri inflamasi ... 16

Gambar 2.3 Biosintesis prostanoid ... 20

Gambar 2.4 Biosintesis leukotriene ... 22

Gambar 2.5 Imunofisiologi pasca cidera saraf tepi ... 24

Gambar 2.6 Respon mediator inflamasi ... 32

Gambar 2.7 Numeric Pain Intensity Scale ... 36

Gambar 2.8 Visual Analogue Scale ... 36

Gambar 2.9 Wong Baker Faces Pain Rating Scale ... 37

Gambar 2.10 Alur Ikatan sitokin dengan nosiseptor ... 38

Gambar 2.11 Asal dan diferensiasi sel mast... 45

Gambar 2.12 Pertumbuhan sel mast dan distribusinya di jaringan ... 46

Gambar 2.13 Aktivasi sistim imun dan sensitisasi nosiseptor ... 47

Gambar 2.14 Respon kanal calcium selama aktivasi sel mast ... 48

Gambar 2.15 Degranulasi sel mast mengeluarkan berbagai mediator kimia .... 51

Gambar2.16 Proses degranulasi yang dimediasi reseptor Fc RI sel mast ... 52

Gambar2.17 Kerangka Teori ... 53

Gambar2.18 Kerangka Konsep ... 54

Gambar 3.1 Alur Penelitian ... 59

Gambar 4.1 Perubahan Kadar IL 6 Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 75

Gambar 4.2 Perubahan VAS Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 78


(13)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Perkiraan kejadian nyeri kronis pasca bedah ... 27

Tabel 4.1. Uji Normalitas Data Demografi ... 65

Tabel 4.2 Distribusi Umur, Tinggi Badan dan Berat Badan Responden ... 66

Tabel 4.3 Independen Sample Tes perubahan kadar IL 6 ... 67

Tabel 4.4 Uji Mann Whitney Sample Tes Variabel VAS ... 68


(14)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Pernyataan Persetujuan (Informed Consent) Lampiran 2 Formulir dan Check List Penelitian

Lampiran 3 Hasil Penelitian dan Analisis Statistik Lampiran 4 Lembar Konsultasi Tesis

Lampiran 5 Ethical clearance


(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Trauma pembedahan akan menghasilkan perubahan biokimia lokal komplek yang ikut andil dalam suatu proses inflamasi dan nyeri akut pasca operasi, dan dalam beberapa kasus berlanjut ke nyeri kronik pasca operasi. Cedera jaringan akan mengakibatkan peningkatan sitokin proinflamasi yang akan menyebabkan sensitisasi sistim syaraf sentral maupun perifer, yang mengarah kepada terjadinya hiperalgesia (Buvanendran dan Kroin, 2010).

Anestesi lokal, opioid, maupun cyclooxygenase (COX) inhibitor dapat mengontrol nyeri pasca operasi baik selama ataupun segera setelah pembedahan. Secara umum penanggulangan nyeri perioperatif dengan memberikan obat-obat tersebut di atas, dan non steroid anti inflamasi drugs (NSAID) yang bekerja pada jalur cyclooxygenase (COX) inhibitor, baik COX-1 maupun COX-2 paling banyak digunakan, namun pada hambatan pada jalur lipoxigenase (LOX) belum banyak perhatian padahal leukotrien yang dihasilkan dari jalur ini memiliki andil yang besar dalam proses inflamasi bahkan proses inflamasi yang sudah timbul diperberat dengan kehadiran leukotrien ini akibat kemampuannya sebagai kemotaktik. Kemotaktik adalah kemampuan mediator kimia yang dapat mengundang sel-sel imunologis migrasi ke daerah inflamasi seperti netrofil, basofil, makropage dan sel mast yang mengeluarkan berbagai mediator kimia yang dapat menyebakan


(16)

2

inflamasi, nyeri akut bahkan timbulnya nyeri kronis pasca operasi (Smyth & Fitzgerald, 2012, Baratawidjaja, 2006). Nyeri yang menetap sampai setelah luka operasi sembuh bisa menjadi suatu masalah. Hal tersebut dikenal sebagai nyeri kronis pasca bedah, yang berlangsung antara tiga sampai enam bulan pasca operasi (Kehlet et al., 2006). Disebutkan antara 10 sampai 50% pasien mengalami nyeri kronis pasca bedah, setelah menjalani proses pembedahan seperti operasi hernia, mastektomi atau lumpektomi, bedah thorak, amputasi kaki, maupun coronary artery bypass grafting (CABG) (Tillu et al., 2012).

Terjadinya inflamasi setelah incisi pembedahan diawali dengan adanya produksi prostaglandin, prostasiklin dan leukotrien. Leukotrien memicu datangnya sel-sel lekosit seperti netrofil, basofil dan sel mast yang melepaskan mediator inflamasi terutama yang diperankan oleh sel mast, sehingga proses inflamasi yang terjadi bertambah hebat (Smyth & Fitzgerald, 2012). Beberapa mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, telah diketahui menghasilkan nosisepsi selama periode pasca operasi (Yasuda et al., 2013).

Sel mast yang teraktivasi dapat mengeluarkan histamin, berbagai macam mediator inflamasi seperti beberapa eichosanoid, proteoglycan, protease, serta beberapa kemokin dan sitokin proinflamasi seperti tumor necrosing factor-α (TNF-α), interleukin (IL)-6, IL-4, IL-13, dan transforming growth factor-β. TNF-α dan Iδ-6 dari sel mast meningkatkan migrasi lekosit dan memperberat lesi inflamasi. Walaupun memiliki fungsi yang bermanfaat dalam hal pertahanan diri, sitokin proinflamasi bisa memacu terjadinya kondisi patologis ketika diproduksi secara berlebihan (Kim et al., 2006).


(17)

3

Dijelaskan bahwa nyeri kronik pasca bedah adalah konsekuensi baik dari proses inflamasi yang berlebihan maupun suatu manifestasi dari nyeri neuropati yang disebabkan oleh cedera pembedahan pada syaraf perifer (Kehlet et al., 2006). Kejadian nyeri kronis pasca bedah relatif tinggi, dan hal itulah yang mendorong dipertimbangkannya usaha untuk mengendalikan proses inflamasi pasca bedah sebagai usaha untuk mengurangi kejadian nyeri kronis pasca bedah (Buvanendran & Kroin, 2010).

Ketotifen merupakan obat antialergi yang bekerja sebagai antagonis reseptor histamin, efek lain yang menguntungkan dari obat ini berhubungan dengan aksinya menghambat pelepasan mediator-mediator pro-inflamasi dari sel Mast, basofil dan netrofil. Dari penelitian Novianto (2013) telah membuktikan efektifitas ketotifen dalam mencegah degranulasi sel Mast pada tikus wistar yang dilakukan insisi pembedahan dan penelitian Apandi (2013) menyebutkan ketotifen efektif menurunkan pelepasan histamin yang dipicu oleh pemberian pelumpuh otot Atrakurium. Ketotifen menghambat pelepasan mediator sel Mast dengan cara kombinasi, memblokade influks Ca++ dari Extracellular ke Intracellular dan dengan mencegah penurunan cyclic adenosine monophosphate (c-AMP) yang dapat menghambat degranulasi sel Mast. Mekanisme calcium-dependent adalah metode utama degranulasi, meski beberapa mediator pro-fibrotik dari sel Mast juga disekresi lewat mekanisme Ca+ +- independent (Monument et al., 2012).

Penelitian ini bermaksud menganalisisi pengaruh pemberian ketotifen dalam mengurangi reaksi inflamasi yang dimediasi oleh interleukin 6


(18)

4

yang memiliki peran terjadinya nyeri kronis pasca operasi, sehingga bisa digunakan sebagai alternatif atau terapi tambahan dalam pencegahan terjadinya proses inflamasi sehingga dapat mengurangi nyeri pasca operasi. Pengambilan sampel dilakukan pada pasien dengan operasi mastektomi disebabkan hampir setiap hari dilakukan di Instalasi Bedah Sentral RS. Dr. Moewardi dan resiko terjadinya nyeri kronis paska operasi pada pasien ini juga tinggi.

B. RUMUSAN MASALAH

Apakah ada pengaruh pemberian ketotifen terhadap penurunan kadar interleukin 6 serum dan skor nyeri pada operasi mastektomi?

C. TUJUAN PENELITIAN

Membuktikan pengaruh pemberian ketotifen terhadap penurunan kadar interleukin 6 serum dan skor nyeri pada operasi mastektomi.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan teori dalam upaya menerangkan tentang pengaruh pemberian ketotifen pasca operasi pada reaksi inflamasi dan nyeri kronis.

2. Apabila penelitian ini terbukti, maka dapat dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan bahwa hambatan produksi interleukin 6 dengan menggunakan ketotifen bisa digunakan sebagai pencegahan inflamasi atau nyeri pasca operasi.


(19)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KAJIAN TEORI 1. NYERI

a. Patofisiologi Inflamasi Dan Nyeri

Nyeri merupakan salah satu tanda adanya prosesinflamasi. Inflamasi adalah respon dari suatu organisme terhadap patogen dan alterasi mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan yang mengalami cedera, seperti karena terbakar, luka operasi atau terinfeksi. Radang atau inflamasi merupakan satu dari respon utama sistem kekebalan terhadap infeksi dan iritasi. Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia (histamin, bradikinin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) yang dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator radang di dalam sistem kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar dari penyebaran infeksi (Murphy at al, 2007)

Perkembangan pengetahuan mengenai mekanisme nyeri telah membawa kita pada perbaikan penatalaksanaan klinis terhadap nyeri. Di masa mendatang diharapkan penatalaksanan nyeri dapat langsung menuju sasaran sesuai proses patofisiologi yang menyebabkan gejala nyeri yang spesifik (Marsaban et al, 2009).

Inflamasi mempunyai tiga peran penting dalam perlawanan terhadap infeksi yaitu memungkinkan penambahan molekul dan sel efektor ke lokasi


(20)

6

infeksi untuk meningkatkan performa makrofag menyediakan rintangan untuk mencegah penyebaran infeksi mencetuskan proses perbaikan untuk jaringan yang rusak (Janeway at al, 2001, Baratawidjaja, 2006, Murphy at al, 2007).

Respon inflamasi dapat dikenali dari rasa sakit, kulit lebam, demam dan lainnya, yang disebabkan karena terjadi perubahan pada pembuluh darah di area infeksi/lesi yaitu pembesaran diameter pembuluh darah, disertai peningkatan aliran darah di daerah infeksi. Hal ini dapat menyebabkan kulit tampak lebam kemerahan dan penurunan tekanan darah terutama pada pembuluh kecil, aktivasi molekul adhesi untuk merekatkan endotelia dengan pembuluh darah, kombinasi dari turunnya tekanan darah dan aktivasi molekul adhesi, akan memungkinkan sel darah putih bermigrasi ke endotelium dan masuk ke dalam jaringan. Proses ini dikenal sebagai ekstravasasi (Murphy at al, 2007).

Bagian tubuh yang mengalami inflamasi memiliki tanda-tanda sebagai berikut: tumor atau membengkak, calor atau menghangat, dolor atau nyeri, rubor atau memerah, functio laesa atau daya pergerakan menurun, dan kemungkinan disfungsi organ atau jaringan (Janeway at al, 2001, Murphy at al, 2007).

Nyeri hampir selalu merupakan manifestasi dari proses patologi yang sering menjadi keluhan utama yang dirasakan pasien sehingga mencari pertolongan ke dokter atau praktisi kesehatan lain. Rencana penangan nyeri itu sendiri harus ditujukan terhadap proses yang mendasari dari timbulnya


(21)

7

nyeri tersebut, termasuk dalam usaha mengontrol nyeri yang terjadi. Pasien biasanya menerima penatalaksanaan nyeri dari dokter umum atau spesialis setelah diagnosis ditegakkan dan penanganan terhadap proses penyakit yang mendasari nyeri tersebut mulai dilakukan (Morgan et al., 2006)

Marsaban et al (2009) membedakan beberapa tipe atau jenis nyeri, yaitu pertama nyeri nosiseptif yang disebabkan oleh aktivasi nosiseptor (reseptor nyeri) sebagai respon terhadap respon yang berbahaya, kedua adalah nyeri neuropatik yaitu nyeri yang disebabkan oleh sinyal yang diproses di sistem syaraf perifer atau pusat yang menggambarkan kerusakan sistim syaraf. Terdapat beberapa hal yang sama pada pola nyeri yaitu pola distribusi temporal dan spasial, karakteristik nyeri (superfisial dan dalam), gejala-gejala klinis yang diakibatkannya, dan petunjuk-petunjuk penting lainnya yang dapat mengarahkan ke suatu diagnosis dan penatalaksanaan.

Nyeri akibat kerusakan jaringan bisa terjadi karena ada kerusakan jaringan itu sendiri (nyeri nosiseptif), karena adanya reaksi inflamasi (inflammatory pain), dan bisa juga karena adanya kerusakan jaringan syaraf yang disebut nyeri neuropatik (neuropatic pain). Nyeri pasca bedah adalah suatu nyeri akut yang termasuk nyeri patologik dan terjadi oleh sebab kerusakan jaringan dan reaksi inflamasi. Sensasi nyeri yang dirasakan pasca bedah bisa disebabkan oleh karena ada sensitisasi syaraf perifer dan sensitisasi syaraf sentral. Dari segi perjalanan waktu, nyeri terbagi atas nyeri akut dan nyeri kronik, dimana nyeri pasca bedah termasuk dalam nyeri akut. Nyeri akut selalu disebabkan oleh adanya kerusakan jaringan (nosiseptif),


(22)

8

sedangkan nyeri kronik tidak selalu disebabkan oleh adanya nosiseptif ini. Nyeri akut yang tidak ditangani dengan baik bisa berkembang menjadi nyeri kronik (Lalenoh, 2009)

b. Persepsi Nyeri dan Nosisepsi

Salah satu fungsi saraf yang penting adalah menyediakan informasi tentang adanya ancaman bahaya atau cedera. Stimulasi suhu (>42oC), kimia (misalnya pH, produk plasma) atau kerusakan mekanis pada ujung sensorik perifer akan menimbulkan keluhan secara verbal dan usaha menghindar pada manusia. Nosiseptor adalah aferen-aferen primer yang berespon terhadap stimulasi yang berbahaya dan intens. Pertama, stimulasi nyeri mencetuskan aktivitas pada grup aferen primer di neuron-neuron ganglion sensorik (nosiseptor). Melalui sistem spinal dan berbagai sistem intersegmental, informasi tersebut mengakses pusat supraspinal di batang otak dan talamus. Sistem poyeksi ini mewakili dasar rangsangan somatik dan visera yang memberikan hasil berupa usaha menarik diri atau keluhan verbal (Marsaban et al, 2009)

Nosisepsi merupakan istilah yang menunjukkan proses penerimaan informasi nyeri yang dibawa dari reseptor perifer di kulit dan viseral ke korteks serebri melalui penyiaran neuron-neuron. Neuron-neuron sensorik pada akar dorsal ganglia mempunyai ujung tunggal yang bercabang ke akson-akson perifer dan sentral. Akson perifer mengumpulkan input sensorik dari reseptor jaringan, sementara akson sentral menyampaikan


(23)

9

input sensorik tersebut ke medula spinalis dan batang otak. Akson sensorik (aferen nosiseptif) tersebar luas di seluruh tubuh (kulit, otot, persendian, visera, meninges) dan terdiri dari tiga macam serabut saraf (Marsaban et al, 2009)

c. Mediator Inflamasi dan Modulator Nyeri

Kerusakan jaringan seperti misalnya akibat infeksi, inflamasi atau iskemia, akan memicu produksi berbagai mediator yang bekerja langsung melalui ligant-gated ion chennel atau dapat pula melalui reseptor metabotropik yang berkaitan dengan sistem second messenger untuk dapat mengaktifkan dan atau mensensitasi nosiseptor. Sistem ini diatur secara khusus dengan memperhatikan hubungan linier antara intensitas rangsangan, aktivitas pada nosiseptor, besar pengaruh pelepasan transmiter spinal dan aktivitas neuraon yang memproyeksi medula spinalis ke otak (Marsaban et al, 2009).

Jumlah mediator inflamasi dan nyeri semakin bertambah dan tidak hanya terbatas dengan mediator-mediator seperti yang di atas, tetapi juga berbagai sitokin, kemokin dan faktor-faktor pertumbuhan yang harus diperhatikan. Akhir-akhir ini diidentifikasi kepentingan relatif untuk setiap perbedaan mediator dan mekanisme kerja pada saat nyeri. (Marsaban et al, 2009)

Tahap proses terjadinya nyeri sebagai berikut : 1. Transduksi

Kerusakan jaringan menyebabkan terlepasnya substansi kimiawi endogen berupa bradikinin, substansi P, serotonin, histamin, ion H, ion K, commit to user


(24)

10

dan prostaglandin. Zat kimia ini terlepas ke dalam cairan ekstraseluler yang melingkupi nosiseptor. Kerusakan membran sel akan melepaskan senyawa

phospholipid yang mengandung asam arakhidonat dan terjadi aktivasi ujung

aferen nosiseptif. Asam arakhidonat atas pengaruh prostaglandin (PG)

endoperoxide synthase akan membentuk cyclic endoperoxide (PGG2 dan

PGH2) akan membentuk mediator inflamasi sekaligus mediator nyeri tromboksan (TXAβ), prostaglandin (PGEβ, PGβα), prostasiklin (PGIβ). Terbentuk pula leukotrien (LT) atas pengaruh 5-lipooksigenase. Setelah kerusakan jaringan timbul mediator nyeri atau inflamasi berupa substansi P, PGs, LTs dan bradikinin. Dari sel mast dilepaskan histamin. Kombinasi senyawa ini menimbulkan vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas vaskuler lokal sehingga membantu gerakan cairan ekstravasasi ke dalam ruang interstisial jaringan rusak. Proses ini mengawali mekanisme respon inflamasi yang merupakan langkah pertama dalam proses pertahanan jaringan dan reparasi luka. Mediator juga mengaktifkan nosiseptor. PGs dan LTs tidak langsung mengaktifkan melainkan mensensitisasi nosiseptor agar dapat distimuli oleh senyawa lain seperti bradikinin, histamin sehingga terjadi hiperalgesia, yaitu respon stimuli yang meningkat, pada kondisi normal sudah menimbulkan sakit. Pelepasan mediator kimiawi terus menerus dapat menyebabkan stimulasi dan sensitisasi terus menerus pula sehingga terjadi hiperalgesia, alodina dan proses berakhir sesudah terjadi proses penyembuhan. Selanjutnya leukotrien D4 (LTD4) mengaktifkan makrofag dan basofil yang akan menstimuli dan meningkatkan pelepasan eikosanoid, yaitu metabolit yang terlepas akibat terjadinya metabolisme


(25)

11

asam arakhidonat. Leukotrien D4 juga melepas substansi P dan secara tidak langsung bekerja pada neuron sensoris dengan menstimuli sel lain untuk melepaskan bahan neuron aktif. Lekosit PMN melepaskan leukotrien B4 (LTB4). Keduanya berperan dalam sensitisasi nosiseptor. Pada inflamasi, sistem imun akan melepaskan sitokin proinflamasi : interleukin Iδ1 , Iδ6, TNF, IFN. Sitokin ini dengan cepat akan berinteraksi dengan saraf perifer melalui mediator. Iδ1 berinteraksi dengan neuron sensoris, mengaktifkan eikosanoid dalam sel seperti fibroblas dan menyebabkan terlepasnya prostaglandin. Platelet dan sel mast melepas serotonin yang langsung mengaktifkan atau mensensitisasi nosiseptor dan menimbulkan hiperalgesia. Proses transduksi dapat dihambat oleh obat anti inflamasi non steroid (AINS) (Setiabudi, 2005).

2. Transmisi

Impuls akan ditransmisi oleh serabut aferen nosiseptif primer lewat radiks posterior menuju kornu posterior medula spinalis. Serabut perifer terdiri dari serabut sensorik, motorik somatik, motorik otonomik. Serabut aferen primer nosiseptif khusus yang menghantarkan impuls nosiseptif terdapat di kulit, periosteum, sendi, ligamen, otot dan visera. Serabut yang menghantarkan impuls nosiseptif hanya serabut A dan C, yang tidak bermielin atau bermielin halus. Stimulus yang dapat direspon adalah stimulus mekanik, mekanotermal dan polimodal. Impuls di neuron aferen primer melewati radiks posterior menuju medula spinalis pada berbagai tingkat dan membentuk badan sel dalam ganglia radiks posterior. Serabut aferen primer berakhir pada lamina I, substansia commit to user


(26)

12

gelatinosa (lamina II, III), lamina V dan lamina IV. Impuls ditransmisi ke neuron sekunder dan masuk ke traktus spinotalamikus lateralis. Kornu posterior berfungsi sebagai jalur masuk desendens dari otak untuk melakukan modulasi impuls dari perifer. Impuls selanjutnya disalurkan ke daerah somatosensorik di korteks serebri. Proses transmisi dapat dihambat oleh anestetik lokal (Sudrajad, 2006)

3. Modulasi

Impuls setelah mencapai kornu posterior medula spinalis akan mengalami penyaringan intensitas. Sistem pengendali modulasi ini adalah sistem gerbang kendali spinal atau the gate control theory of pain.. Apabila impuls melebihi ambang sel transmisi maka akan melewati sistem kendali gerbang spinal dan diteruskan ke pusat supraspinal di korteks somatosensoris. Substansi yang bekerja sebagai modulator penghambat nyeri di medula spinalis yaitu dinorfin, enkefalin, noradrenalin, dopamin, serotonin dan gamma amino butyric acid (GABA). Sedangkan substansi yang meningkatkan nyeri yaitu substansi P, adenosin triphosphate (ATP) dan asam amino eksitatori (Sudrajad, 2006)

4. Persepsi

Sel transmisi didalam sistim gerbang spinal kendali nyeri menerima impuls sensoris yang datang dari perifer. Apabila impuls melebihi atau sama dengan ambang sel transmisi, impuls nosiseptif tersebut dapat melewati sistim gerbang kendali dan diteruskan ke


(27)

13

pusat supraspinal yang lebih tinggi di korteks somatosensoris, kortek transisional dan sebagainya. Semua impuls nyeri sensoris perifer serta sinyal kognitif pada korteks afeksi dan kognisi akan berintergrasi dan menimbulkan persepsi yang diterima sebagai pengalaman nyeri. Secara sederhana persepsi adalah hasil integrasi dari apa yang ada pada pusat kognisi, pusat afeksi dan sistem sensoris diskriminatif yang dirasakan oleh individu, serta bagaimana cara individu tersebut menghadapinya (Setiabudi, 2005).

Pada awal fase transduksi yang dipicu adanya mediator inflamasi yang dihasilkan dari kerusakan jaringan seperti prostaglandin, leukotrien dan prostasiklin yang merupakan hasil metabolisme dari asam arakidonat (Gambar 2.1). Semakin besar kerusakan jaringan yang ada semakin besar pula mediator inflamasi yang dihasilkan dan semakin luas juga proses inflamasi yang terjadi sehingga akibat yang ditimbulkan yaitu nyeri juga akan semakin besar dirasakan (Baratawidjaja, 2006; Mansjoer, 2003)

Sindroma nyeri inflamasi dan nyeri neuropati dianggap sesuatu yang berbeda. Inflamasi merupakan fenomena yang khas, yang melibatkan kaskade dari sel-sel imun , seperti sel mast, netrofil, makrofag dan limfosit-T. Sel-sel imun tersebut menghasilkan komponen-komponen sebagai mediator nyeri. Beberapa tipe sel imun juga berperan penting dalam patogenesa dan berubahnya karakter proses nosisepti pada nyeri neuropatik perifer. Walaupun peran dan waktu pemunculan sel-sel tersebut belum jelas benar, mereka tampak bersamaan pada saat proses inflamasi terjadi. Gambar


(28)

14

2.2 menjelaskan, pasca cidera sel mast dan makrofag diaktifkan, beberapa blood-born immune cells termasuk netrofil dilibatkan dalam usaha melakukan aksi algesik baik secara langsung di nosiseptor maupun tidak langsung dengan melepaskan berbagai mediator imun (Thacker et al., 2007).

Gambar 2.1 Jalur pelepasan dan metabolisme asam arakidonat (Sumber: Smyth & Fitgerald, 2012)


(29)

15

Gambar 2.2 Imunofisiologi nyeri inflamasi (Sumber : thacker et al., 2007).

Dalam responnya terhadap cidera,sel-sel imun setempat teraktivasi dan blood-borne immune cells dikerahkan ketempat cidera. Disamping sebagai pertahanan, sel imun berperan juga dalam munculnya sensitisasi nosiseptor perifer melalui sintesa dan pelepasan mediator inflamasi serta interaksinya dengan neurotransmiter dan reseptor-reseptornya. Sel-sel imun ,sel glia dan sel saraf membentuk jaringan yang terintegrasi yang meengkoordinir respon imun dan memodulasi eksitabilitas dari jalur nyeri (Ren & Dubner, 2010).

Asam arakidonat merupakan prekusor eikosanoid yang paling penting dan terbanyak, merupakan asam lemak 20-karbon (C20) yang mengandung emapat ikatan ganda yang dimulai pada posisi omega-6 untuk menghasilkan asam 5,8,11,1eikosatetraenoat (dinyatakan dengan C20: 4-6). Eikosanoid sendiri adalah hasil produk oksigenasi asam lemak rantai panjang tak jenuh ganda, banyak ditemukan pada hewan dan juga commit to user


(30)

16

ditemukan bersama prekusornya pada berbagai jenis tumbuhan. Agar sisntesis eikosanoid dapat terjadi, mula-mula asam arakidonat harus dilepaskan atau dimobilisasi dari fosfolifid membran oleh satu atau lebih lipase dari tipe fosfolipase A2 (PLA2) (Gambar 2.1). Setidanya ada tiga fosfolipase yang memperantarai pelepasan arakidonat dari lipid membran: PLA2 sitosol, PLA2 sekretori dan PLA2 yang tak bergantung pada kalsium. Selain itu, arakidonat juga dilepaskan oleh kombinasi fosfolipase C dan lipase digliserida (Smyth & Fitgerald, 2012)

Setelah terjadinya mobilisasi, asam arakidonat dioksigenasi melalui empat jalur terpisah: jalur siklooksigenase (COX), lipoksigenase (LOX), epoksigenase P450 dan isoproston. Sejumlah faktor menentukan jenis eikosanoid yang disisntesis yaitu spesies, jenis sel dan fenotipe tertentu sel. (Smyth & Fitgerald, 2012)

a. Jalur siklooksigenase

Dua isozim COX yang unik mengubah asam arakidonat menjadi endoperoksida prostaglandin. Sintase PGH-1 (COX-1) diekspresikan secara konstan pada kebanyakan sel tanpa adanya. rangsangan dari luar. Sebaliknya, sintase PGH-2 (COX-2) dapat dirangsang, ekspresinya sangat bervariasi bergantung pada stimulus. COX-2 merupakan produk gen respon dini yang terangsang secara bermakna oleh shear stress, faktor pertumbuhan, promotor tumor dan sitokin. COX-1 menghasilkan prostanoid unruk perlindungan seperti sitoprotekti epitel lambung, sedangkan COX-2 merupakan sumber utama prostanoid pada inflamasi


(31)

17

dan kanker. Terdapat proses fisiologis dan patofisiologis yang melibatkan masing-masing enzim secara unik dan ada keadaan lain ketika keduanya berfungsi secara sinergis. Contohnya, COX-2 epitel merupakan sumber utama prostasiklin vaskular, sedangkan prostanoid yang berasal dari COX-2 ginjal penting untuk perkembangan ginjal yang normal dan pemeliharaan fungsinya. Varian COX-3 telah ditemukan pada anjing, namun kelihatannya tidak berhubungan secara fungsional dengan spesies lainnya (Smyth & Fitgerald, 2012, Baratawidjaja, 2006)

Sintase sangat penting karena pada tahap inilah obat antiinflamasi nonsteroid menimbulkan efek terapeutiknya. Indometasin dan sulindac bersifat sedikit selektif untuk COX-1. Meklofenamat dan ibuprofen kira-kira sama kuatnya untuk COX-1 dan COX-2, sedangkan celecoxib, diklofenak, refecoxib, limiracoxib dan etoricoxib menghambat COX-2 dengan selektivitas yang meningkat. Aspirin mengasetilasi dan menghambat kedua enzim secara kovalen. Dosis rendah (<100 mg/hari) menghambat khususnya, namun tidak secara ekslusif untuk COX-1, sedangkan pada dosis yang lebih tinggi dapat menghambat COX-1 dan COX-2 (Smyth & Fitgerald, 2012).

Prostaglandin, tromboksan dan prostasiklin yang secara keseluruhan disebut sebagai prostanoid dibentuk melalui kerja isomerase dan sintase. Prostaglandin berbeda satu dengan yang lainnya karena dua hal: substituen cincin pentana (yang dinyatakan dengan hurup terakhir, misal, E dan F pada PGE dan PGF) dan jumlah ikatan ganda pada rantai


(32)

18

samping (dinyatakan dengan subscript, misal PGE1 dan PGE2. Prostasiklin (PGI2, epoprostenol) disintesis terutama oleh endotel vaskular dan merupakan suatu vasodilatator kuat dan inhibitor agregasi trombosit (Smyth & Fitgerald, 2012).

Gambar 2.3 Biosintesis prostanoid (prostaglandin, tromboksan dan prostasiklin) (Sumber: Smyth & Fitgerald, 2012)

Tromboksan (TXA2) memiliki efek agregasi trombosit dan vasokontriksi. Oleh karena itu antagonis TXA2 dan inhibitor sintesisnya telah dikembangkan commit to user untuk indikasi kardiovaskular meskipun


(33)

19

penggunaan klinis obat-obat ini (kecuali aspirin) masih harus dipastikan (Smyth & Fitgerald, 2012).

b. Jalur lipoksigenase

Metabolisme asam arakidonat oleh 5-,12-, dan 15-lipoksigenase (LOX) menghasilkan produk asam hidroperoksieikosatetraenoat (HPETE) dan leukotrien (Gambar 2.4). arakidonat yang dimetabolisme melalui penggabungan molekul oksigen oleh 5-LOX, disertai dengan protein pengaktivasi 5-LOX (FLAP) kemudian menghasilkan epoksida leukotrien A4 (LTA4) yang tidak stabil. Zat antara ini dapat berubah menjadi dihidroksi leukotrien B4 atau berkonjugasi dengan glutation untuk menghasilkan leukotrien C4 (LTC4) yang mengalami degradasi bertahap pada gugus gulation oleh peptidase untuk membentuk LTD4 dan LTE4. Ketiga produk ini dikenal sebagai leukotrien sisteinil atau peptidoleukotrien. Secara neuroendokrin LTC4 dan LTD4 merangsang sekresi LHRH dan LH (Smyth & Fitgerald, 2012).

LTC4 dan LTD4 merupakan bronkokontriktor yang poten menyebabkan peningkatan permeabilitas mikrovaskular, eksudasi plasma dan sekresi mukus di saluran napas dan dikenal sebagai komponen utama dari substansi bereaksi-lambat anafilaksis (SRS-A) yang disekresikan pada asma dan anafilaksis. Kedua leukotrien ini juga yang berperan penting dalam kemampuan mengundang sel-sel inflamasi bermigrasi ke tempat dimana jaringan atau sel mengalami kerusakan


(34)

20

atau inflamasi yang disebut efek kemotaktik (Smyth & Fitgerald, 2012, Crawley et al, 1995).

LTC4 dan LTD4 efek pada jantung dapat mengurangi kontraktilitas miokardium dan aliran darah koroner yang menyebabkan depresi miokardium (Smyth & Fitgerald, 2012).

Gambar 2.4 Biosistesis leukotrien (LT): LTC4, LTD4 dan LTE4 secara keseluruhan dikenal sebagai leukotrien sisteinil (CysLTs). glutamil transpeptidase (GT), glutamil leukotrienase (GL) (Sumber: Smyth &

Fitgerald, 2012)


(35)

21

Leukotrien diyakini berperan pada patogenesis peradangan terutama pada penyakit-penyakit kronis seperti asma dan irritable bowel disease (Madsen et al, 1992). Leukotrien memiliki peran yang sangat besar terhadap patofisiologi terjadinya penyakit-penyakit inflamasi berat dan pemilihan obat anti lipoxigenase aktivity merupakan pilihan yang tepat dalam penanganan penyakit inflamasi (Kumaraswamy & Satish 2008).

Leukotrien juga diprediksi memiliki andil terhadap timbulnya nyeri kronis pasca operasi, ini dikaitkan dengan kemampuan leukotrien sebagai mediator kemotaktik. Trauma pembedahan menghasilkan pelepasan berbagai macam mediator inflamasi dari sel mast (seperti prostaglandin, interleukin 6 dan sitokinnya) dan hal ini dapat mensensitisasi aferen sensoris dan menyebabkan nyeri. Biasanya proses ini berkurang seiring dengan penyembuhan luka. Dalam beberapa kasus, dikatakan bahwa proses inflamasi ini menetap (contohnya proses inflamasi disekitar mesh yang dipasang pada herniarepair), menyebabkan perubahan plastisitas di medula spinalis. Mekanisme ini sebenarnya bukan merupakan faktor penyebab pada kebanyakan pasien dengan nyeri kronis pasca bedah (Niraj & Rowbotham, 2011).

Sindroma nyeri inflamasi dan nyeri neuropati dianggap sesuatu yang berbeda. Inflamasi merupakan fenomena yang khas, yang melibatkan kaskade dari sel-sel imun , seperti sel mast, netrofil, makrofag dan limfosit-T. Sel-sel imun tersebut menghasilkan komponen-komponen sebagai mediator nyeri. Beberapa tipe sel imun juga berperan penting dalam


(36)

22

patogenesa dan berubahnya karakter proses nosisepti pada nyeri neuropatik perifer. Walaupun peran dan waktu pemunculan sel-sel tersebut belum jelas benar, mereka tampak bersamaan pada saat proses inflamasi terjadi. Gambar 2.1 menjelaskan, pasca cidera sel mast dan makrofag diaktifkan, beberapa blood-born immune cells termasuk netrofil dilibatkan dalam usaha melakukan aksi algesik baik secara langsung di nosiseptor maupun tidak langsung dengan melepaskan berbagai mediator imun (Thacker et al., 2007).

Dalam responnya terhadap cidera,sel-sel imun setempat teraktivasi, dan blood-borne immune cells dikerahkan ketempat cidera. Disamping sebagai pertahanan, sel imun berperan juga dalam munculnya sensitisasi nosiseptor perifer melalui sintesa dan pelepasan mediator inflamasi serta interaksinya dengan neurotransmiter dan reseptor-reseptornya. Sel-sel imun ,sel glia dan sel saraf membentuk jaringan yang terintegrasi yang mekoordinir respon imun dan memodulasi eksitabilitas dari jalur nyeri (Ren & Dubner, 2010).


(37)

23

Gambar 2.5. Imunofisiologi pasca cidera saraf tepi (Sumber : thacker et al., 2007).

Seperti terlihat pada gambar 2.5, pasca cidera terjadi aktivasi sel-sel imun residen, elemen-elemen non neural ( sel Schwann, sel mast, netrofil,

makrofag dan sel T) ikut terlibat serta berproliferasi dan melepaskan TNFα,

IL-1 , Iδ-6, 2, histamin, PGE2 dan NGF yg memicu serta mempertahankan abnormalitas sensoris pasca cidera (thacker et al., 2007).

Hingga saat ini dikenal ada dua macam nyeri persisten kronis, yaitu nyeri nosiseptif dan nyeri neuropati. Nyeri nosiseptif berhubungan dengan proses peradangan akibat cidera jaringan, sedangkan nyeri neurogenik timbul akibat kerusakan saraf perifer atau saraf sentral. Pada nyeri nosiseptif, lesi pertama dan proses peradangan menyebabkan perubahan commit to user


(38)

24

pada serabut A dan serabut C yang bertanggung jawab terhadap sensitisasi, penyertaan nosiseptor yang normalnya tidak aktif, aktivasi kanal ionik dan reseptor membran (Pace et al, 2006).

Selama inflamasi dan neuropati terjadi perubahan fenotipik serabut ganglion dorsalis yaitu terjadi peningkatan eksitabilitas, perubahan sinyal sistem imun di SSP, dan modifikasi endokrin sehingga setelah kerusakan jaringan, nosiseptor menjadi hipereksitabel. Interaksi sel-sel imun dan sel glia dengan sistem saraf akan merubah sensitivitas nyeri dan memediasi transisi nyeri akut ke nyeri kronis (Ren & Dubner, 2010).

Nyeri berhubungan dengan segala kerusakan dari permukaan kulit. Intensitas dan durasi dari nyeri tergantung sifat trauma itu sendiri, proses penyembuhan, dan faktor dari individu. Pelepasan mediator nyeri merupakan mekanisme dalam menanggapi nyeri tersebut sehubungan dengan adanya stimulus perifer tersebut. Berbagai macam mediator nyeri yang dikeluarkan sangat berguna dalam proses penyembuhan luka selama beberapa waktu, tetapi dilaporkan bahwa pelepasan mediator nyeri yang terjadi terus menerus melewati periode inflamasi akan menyebabkan efek yang kurang baik atau merusak proses penyembuhan luka itu sendiri (Widgerow & Kalaria, 2012).


(39)

25

Gambar 2.6. Respon mediator inflamasi (Sumber : Widgerow & Kalaria, 2012).

Pembebasan mediator nyeri yang berlebihan bisa menyebabkan hipersensitisasi pada nosiseptor, hiperinflamasi seluler, perubahan matrik ekstraseluler, dan potensial mengakibatkan terjadinya jaringan fibrotik yang berlebihan. Pada keadaan nyeri kronis bisa jadi disebabkan oleh pelepasan mediator yang terjadi berlarut-larut (Widgerow & Kalaria, 2012).


(40)

26 d. Nyeri Kronis Pasca Bedah

Nyeri kronis pasca bedah adalah nyeri yang menetap setidaknya selama tiga bulan setelah tindakan bedah berlangsung. Nyeri yang timbul akibat konsekuensi dari suatu keganasan atau infeksi kronis tidak termasuk dalam definisi ini. Nyeri kronis pasca bedah bisa terjadi pada operasi besar seperti amputasi, penggantian sendi, dan lain sebagainya, ataupun operasi-operasi kecil seperti operasi-operasi hernia dan vasektomi (Akkaya & Ozkan, 2009) Kebanyakan referensi menyebutkan kurang lebih 80% pasien mengalami nyeri pasca operasi yang pengobatannya tidak adekuat. Telah diamati bahwa 50% pasien mungkin menderita nyeri kronis pasca operasi termasuk depresi ringan dan katastropi akibat nyeri (Harsoor, 2011).

Nyeri kronis pasca bedah terjadi melalui mekanisme kompleks yang belum jelas. Berbagai mekanisme bertanggung jawab atas sindroma nyeri yang berbeda, bahkan setelah suatu tindakan operasi yang sama (Akkaya & Ozkan, 2009).

Saat ini banyak data dari berbagai penelitian mengenai seberapa sering kejadian nyeri kronis pasca operasi. Tabel 2.1 menyajikan salah satu contoh dari penelitian tentang data kejadian nyeri kronis pasca operasi dari berbagai macam prosedur pembedahan. Tetapi, dari berbagai penelitian, estimasi seberapa sering kejadian nyeri kronis pasca operasi dari masing-masing prosedur sangat lebar, sebagai contoh, mastektomi 20-30%, amputasi 50-85%, histerektomi 30%, bedah jantung 30-55%, hernia 5-35%, dan torakotomi 5-65% (Niraj & Rowbotham, 2011)


(41)

27

Nyeri kronis pasca bedah dapat disebabkan oleh inflamasi yang sedang berlangsung maupun sebagai manifestasi nyeri neuropatik akibat cedera saraf perifer besar pada saat tindakan bedah. Pada nyeri yang disebabkan oleh inflamasi terjadi peningkatan kepekaan rasa sakit sebagai respon terhadap cedera jaringan dan inflamasi. Hal ini terjadi akibat pelepasan mediator inflamasi, yang kemudian menurunkan ambang nosiseptor penginervasi jaringan yang mengalami inflamasi tersebut (sensitisasi perifer). Bila terjadi peningkatan rangsangan (eksitabilitas) neuron sistem saraf pusat (sensitisasi sentral), nyeri inflamasi dapat timbul sebagai respon berlebihan terhadap input sensoris biasa. Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang timbul setelah cedera saraf dan sistem transmisi sensorik di sumsum tulang belakang dan otak (Akkaya & Ozkan, 2009).


(42)

28

Tabel 2.1. Perkiraan kejadian nyeri kronis pasca bedah (Sumber : Niraj & Rowbotham, 2011).

Dalam praktek klinis, sebagian besar nyeri kronis pasca bedah merupakan nyeri neuropatik. Cedera saraf utama yang melewati lokasi operasi merupakan salah satu prasyarat terjadinya nyeri kronis pasca bedah. Pada sekelompok kecil pasien, respon peradangan kontinu dapat memberikan kontribusi terhadap timbulnya nyeri inflamasi persisten, misalnya nyeri yang terjadi setelah operasi hernia inguinalis mesh. Berdasarkan temuan elektromiografi setelah dilakukan torakotomi, terdapat cedera saraf interkostal di sekitar tempat insisi hingga 50-100%. Selain itu, tingkat kerusakan saraf, yang dinilai berdasarkan adanya perubahan ambang sensorik dan respon somatosensori terhadap rangsangan listrik pada daerah commit to user


(43)

29

bekas operasi torakotomi, berkorelasi dengan intensitas nyeri kronis (Akkaya & Ozkan, 2009).

Namun, terdapat penelitian klinis yang bertentangan dengan penelitian di atas. Maguire et al. dalam Taylan & Derya (2009) melakukan uji elektrofisiologi terhadap pasien yang akan dilakukan torakotomi sebelum, segera setelah operasi, minggu ke enam pasca operasi dan bulan ketiga pasca operasi. Mereka tidak menemukan adanya hubungan antara cedera saraf interkostal dan nyeri kronis. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kontribusi sistem saraf pusat dan perifer untuk mengetahui pada tingkat mana suatu lesi dapat menimbulkan neyri neuropatik melalui cedera saraf serta cedera jaringan selain saraf yang rawan menimbulkan nyeri neuropatik (Akkaya & Ozkan, 2009).

Strategi yang bagus untuk mencegah terjadinya nyeri kronis pasca bedah adalah dengan dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang mungkin menjadi penyebab meningkatnya kejadian nyeri kronis pasca bedah. Jika ini bisa dilakukan, maka intervensi yang spesifik bisa kita lakukan. Beberap faktor yang yang dilaporkan berhubungan dengan terjadinya nyeri kronis pasca bedah adalah :

a. Nyeri praoperasi

Beratnya nyeri sebelum operasi telah menunjukkan di beberapa penelitian berhubungan dengan timbulnya yeri kronis pasca bedah. Hal ini pertama kali dikemukakan sehubungan dengan phantom limb pain setelah amputasi. Disebutkan juga terdapat hubungan yang kuat pada


(44)

30

prosedur pembedahan hernia dan torakotomi (Niraj & Rowbotham, 2011).

Dalam penelitian pada pasien yang menjalani operasi hernia, Page et al. menemukan bahwa sekitar seperempat dari seluruh jumlah pasien tidak merasakan sakit saat beristirahat sebelum operasi hernia, setengah jumlah pasien merasakan sakit ringan, dan sisanya merasakan nyeri ringan sampai sedang saat beristirahat sebelum operasi (Akkaya & Ozkan, 2009).

b. Cedera syaraf

Lesi pada syaraf perifer juga sering dikaitkan dengan kejadian nyeri kronis pasca bedah. Hal ini faktor yang paling penting pada beberapa penelitian pasca torakotomi, dan kejadian kerusakan syaraf telah memperlihatkan sebagai prediksi yang signifikan setelah hernia repair. Kerusakan syaraf sering berhubungan dengan tanda klasik dari nyeri neuropatik (Niraj & Rowbotham, 2011).

c. Proses inflamasi yang menetap

Trauma pembedahan menghasilkan pelepasan dari berbagai macam mediator inflamasi (seperti prostaglandin, sitokin) dan hal ini dapat mensensitisasi aferen sensoris dan menyebabkan nyeri. Biasanya proses ini berkurang seiring dengan penyembuhan luka. Dalam beberapa kasus, dikatakan bahwa proses inflamasi ini menetap (contohnya proses inflamasi disekitar mesh yang dipasang pada herniarepair), menyebabkan perubahan plastisitas di medula spinalis. Mekanisme ini sebenarnya


(45)

31

bukan merupakan faktor penyebab pada kebanyakan pasien dengan nyeri kronis pasca bedah (Niraj & Rowbotham, 2011).

d. Kuatnya nyeri pada awal pasca operasi

Kuatnya nyeri pada awal pasca operasi menjadi hal yang sangat penting pada beberapa situasi. Efek yang diberikan juga bervariasi tergantung prosedur yang dijalani. Sebagai contoh, nyeri yang berlangsung selama 30 hari pasca operasi dilaporkan menjadi prediktor yang signifikan pada operasi hernia repair, tetapi penelitian lain pada torakotomi hal itu tidak terjadi (Niraj & Rowbotham, 2011).

Banyak penelitian terhadap nyeri kronis pasca bedah mempublikasikan tentang pentingnya perawatan adekuat nyeri pasca operasi pada periode akut (Akkaya & Ozkan, 2009).

e. Faktor genetik

Dalam populasi umum, kepekaan terhadap nosiseptif fisiologis dan nyeri klinis dapat berbeda pada masing-masing individu. Dengan demikian, dalam generasi yang berbeda serta tingkat pengalaman merasakan nyeri yang berbeda, masing-masing individu dapat memperlihatkan respon yang berbeda pula (Akkaya & Ozkan, 2009). f. Faktor Pembedahan

Beberapa faktor bedah penting yang mungkin berkaitan dengan terjadinya nyeri kronis pasca bedah, yaitu: durasi operasi, teknik bedah (laparoskopi vs bedah terbuka), lokasi dan jenis sayatan, pengalaman ahli bedah, dan tempat di mana intervensi bedah dilakukan. Peters et al.


(46)

32

menemukan lebih banyak nyeri kronis yang terjadi setelah operasi lama yang berlangsung lebih dari 3 jam (Akkaya & Ozkan, 2009).

g. Faktor Psikososial

Terdapat banyak artikel yang berhubungan dengan efek faktor psikososial pada nyeri pasca operasi akut. Katz et al. menyimpulkan bahwa kecemasan pra operasi adalah faktor risiko dalam terbentuknya nyeri sampai 30 hari setelah operasi payudara. Insiden nyeri pasca operasi akut dipengaruhi oleh catastrophization (Keyakinan negatif dan respon berlebihan) (Akkaya & Ozkan, 2009).

e. Proses Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka merupakan proses kompleks dan dinamis dari perbaikan struktur sel dan jaringan. Penyembuhan luka melibatkan berbagai proses dengan urutan : hemostasis, inflamasi akut, regenerasi sel parenkim, migrasi dan proliferasi sel parenkim, sintesis protein ECM, remodeling jaringan ikat dan komponen parenkim, kolagenasi dan akuisisi kekuatan kekuatan luka (Winarto, 2005)

proses penyembuhan luka secara sederhana dibagi menjadi tiga fase. Yang pertama adalah fase inflamasi, kemudian diikuti oleh fase proliferasi,dan diakhiri dengan fase maturasi atau remodeling (Prasetyono, 2009).

1. Fase Inflamasi

Fase inflamasi terjadi sejak hari pertama terjadinya luka sampai kira-kira hari kelima pasca trauma. Fase inflamasi dimulai


(47)

33

dengan adanya peristiwa hemostasis yang terjadi dalam beberapa jam setelah trauma, dengan konstriksi pembuluh darah dan pembentukan formasi jala fibrin, sementara itu terjadilah reaksi inflamasi (Guo & Dipietro, 2010).

Vasokonstriksi akan diikuti dengan vasodilatasi kapiler, dengan dihasilkannya serotonin dan histamin oleh sel mast yang meningkatkan permeabilitas kapiler. Lekosit untuk selanjutnya akan mengeluarkan sitokin proinflamasi dan faktor pertumbuhan untuk mengaktifkan proses inflamasi. Fase awal dari proses inflamasi ditandai dengan perekrutan neutrofil yang mempunyai peran penting untuk fagositosis dan mensekresi protease untuk membunuh bakteri serta membantu proses degradasi jaringan nekrotik. Lebih jauh, neutrofil berfungsi sebagai chemoattractans dari sel-sel yang lain untuk terlibat dalam proses inflamasi (Reinke & Sorg, 2012).

2. Fase Proliferasi

Fase proliferasi terjadi kira-kira hari ketiga sampai hari kesepuluh pasca trauma. Fokus utama proses penyembuhan pada fase ini adalah penutupan luka dan perbaikan jaringan vaskuler (Reinke & Sorg, 2012).

Fase ini ditandai dengan pembentukan jaringan granulasi pada luka. Jaringan granulasi merupakan kombinasi dari elemen seluler termasuk fibroblas dan sel inflamasi, bersamaan dengan timbulnya


(48)

34

kapiler baru tertanam dalam jaringan longgar ekstraseluler dari matrik kolagen, fibronektin, dan asam hialuronik (Sudrajad, 2006)

Proses epitelisasi dimulai dari tepi luka oleh sel punca dari folikel rambut dan kelenjar keringat. Proses ini diaktivasi oleh jalur sinyal dari sel epitel dan nonepitel pada tepi luka yang melepaskan beberapa sitokin dan faktor pertumbuhan seperti EGF, KGF, IGF-1, dan NGF (Reinke & Sorg, 2012).

3. fase maturasi

fase ini berlangsung dari hari ke-7 dan bisa berlangsung lebih dari satu tahun. Segera setelah matrik ekstraseluler terbentuk maka dimulailah reorganisasi. Kolagen berkembang cepat menjadi faktor utama pembentuk matriks. Serabut kolagen pada permulaan terdistribusi acak membentuk persilangan dan beragregasi menjadi bundel-bundel fibril yang secara perlahan menyebabkan penyembuhan jaringan dan meningkatkan kekakuan dan kekuatan ketegangan. Sesudah lima hari periode jeda, dimana saat ini bersesuaian dengan pembentukan jaringan granulasi awal dengan matriks sebagian besar tersusun dari fibronektin dan asam hialuronidase, terjadi peningkatan cepat dari kekuatan tahanan luka karena fibrogenesis kolagen. Pencapaian kekuatan tegangan luka berjalan lambat. Sesudah 3 minggu kekuatan penyembuhan luka mencapai 20% dari kekuatan akhir. Bagaimanapun, kekuatan akhir penyembuhan luka tetap kurang dibanding dengan kulit yang tidak pernah terluka, dengan kekuatan


(49)

35

tahanan maksimal jaringan parut hanya 70 % dari kulit utuh (Sudrajad, 2006).

Remodeling aktif jaringan parut akan terus berlangsung sampai satu tahun dan tetap berjalan dengan lambat seumur hidup. Pada proses remodeling terjadi reduksi secara perlahan pada vaskularisasi dan selularitas jaringan yang mengalami perbaikan sehingga terbentuk jaringan parut kolagen yang relatif avaskuler dan aseluler. Pengerutan luka yang terjadi karena pergerakan ke dalam dari tepi luka juga merupakan faktor berpengaruh dalam penyembuhan luka dan harus dibedakan dengan kontraktur (Sudrajad, 2006).

f. Pengukuran Intensitas Nyeri :

1. Verbal Rating Scale : Metode ini menggunakan suatu word list untuk mendeskripsikan nyeri yang dirasakan. Pasien disuruh memilih kata – kata atau kalimat yang menggambarkan karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list yang ada. Penilaian ini ada beberapa kriteria : - Tidak nyeri (none)

- Nyeri ringan (mild) - Nyeri sedang (moderat) - Nyeri berat (severe)

- Nyeri sangat berat ( very severe)

2. Numerical Rating Scale : Metode ini menggunakan angka – angka untuk menggambarkan range intensitas nyeri dari angka 0-10. “0”


(50)

36

menggambarkan tidak ada nyeri. Sedangkan “10” menggambarkan nyeri

hebat. Gambar 2.7 Numeric Pain Intensity Scale

3. Visual analogue Scale : metode ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri, dengan menggunaan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Metode ini tidak dapat digunakan pada anak dibawah 8 tahun. Gambar 2.8 Visual analogue Scale

4. McGill Pain Questionare : metode ini menggunakan chek list untuk mendeskripsikan gejala-gejala nyeri ysng dirasakan. Metode ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara lain sensorik, afektif, dankognitif. Intenitas nyeri digambarkan dengan menggunakan ranking dari 0-3.

5. Faces Pain Scale : metode ini dengan cara melihat mimic wajah pasien dan biasanya untuk menilai intensitas nyeri pada anak. commit to user


(51)

37

Gambar 2.9. Wong Baker Faces Pain Rating Scale 2. INTERLEUKIN 6

Istilah limfokin pertama kali digunakan pada tahun 1960 untuk golongan protein yang diproduksi oleh limfosit B dan T yang diaktifkan. Ternyata sel-sel lain seperti makrofag, eosinofil, sel mast, sel endotel, dan epitel juga memproduksi sitokin. Oleh karena itu istilah yang lebih tepat adalah sitokin. Sitokin merupakan protein sistim imun yang mengatur interaksi antar sel dan memacu reaktivitas imun, baik pada imunitas nonspesifik maupun spesifik (Baratawidjaja, 2006).

Menurut definisinya sitokin adalah polipeptida yang diproduksi sebagai respon terhadap mikroba dan antigen lain yang diperantarai dan mengatur reaksi imunologik dan reaksi inflamasi. Banyak sitokin yang telah diidentifikasi, baik dari struktur molekul maupun fungsinya. Beberapa diantaranya merupakan mediator utama yang meningkatkan reaksi imunologik yang melibatkan makrofag, limfosit, dan sel-sel lainnya, jadi berfungsi sebagai imunomodulator spesifik maupun non-spesifik. Pada 2nd International Lymphokin Workshop di Swiss tahun 1979, dicapai kesepakatan untuk memberi satu nama generik kepada mediator-mediator tersebut yang ternyata mempunyai sifat biokimia dan sifat biologik serta fungsi yang serupa. Nama yang disepakati adalah intrleukin yang berarti


(52)

38

adanya komunikasi antar sel leukosit. Hingga sekarang telah ditemukan beberapa jenis interleukin yaitu IL-1 hingga IL-35, dan berbagai percobaan telah dilakukan untuk menentukan fungsi masing-masing (Kresno, 2010).

Sitokin proinflamasi diinduksi berbagai sel atas pengaruh mikroba, trauma atau kerusakan sel penjamu. Sitokin mengawali, mempengaruhi dan meningkatkan respon imun nonspesifik. Makrofag dirangsang oleh INF- , TNF-α, dan Iδ-1 disamping juga memproduksi sitokin-sitokin tersebut. IL-1, IL-6, dan TNF-α merupakan sitokin proinflamasi dan inflamasi spesifik. Disamping itu dikenal sitokin-sitokin yang berfungsi dalam diferensiasi dan fungsi serta mengontrol sel sistim imun dan jaringan (Baratawidjaja, 2006).

Gambar 2.10 Alur ikatan sitokin dengan nosiseptor

Interleukin-6 merupakan sitokin proinflamasi yang berperan dalam maturasi dan aktivasi neutrofil, maturasi makrofag, serta deferensiasi dari limfosit-T sitotoksik dan sel NK. IL-6 adalah salah satu mediator yang paling awal dan penting dalam induksi dan mengontrol sintesa protein fase


(53)

39

akut pada trauma, infeksi, pembedahan, dan luka bakar. Setelah terjadi cedera, konsentrasi plasma IL-6 bisa dideteksi dalam 60 menit dengan konsentrasi puncak antara 4 sampai 6 jam, dan dapat bertahan sampai 10 hari. IL-6 dipertimbangkan sebagai marker yang sangat relevan dari derajat kerusakan jaringan dalam prosedur pembedahan yang berhubungan dengan morbiditas pasca operasi (Oliveira et al., 2011).

3. KETOTIFEN

Ketotifen merupakan derivat dari benzocycloheptathiophene yang mempunyai efek anti histamin dan anti anafilaktik. Hal itu ditunjukkan dengan kemampuan ketotifen dalam mengeblok pelepasan mediator dari sel mast peritonium tikus secara in vitro. Ketotifen mencegah terjadinya pelepasan histamin dan leukotrien dari basofil dan jaringan paru, untuk menjadi antagonis histamin pada reseptor H1, untuk menghambat ambilan kalsium, untuk memblok reaksi anafilaktik kulit pasif, dan untuk mencegah asma baik yang disebabkan oleh obat atau yang disebabkan oleh alergen. Beberapa penelitian tentang ketotifen menunjukkan efek yang yang bermanfaat dalam terapi asma (Sayeed, 2011).

Ketotifen fumarat merupakan obat antihistamin dan antialergi yang telah diketahui menghambat degranulasi sel mast melalui mekanisme calcium-dependent, dan memblok histamin secara non kompetitif pada reseptor H1. Ketotifen telah disetujui oleh FDA sebagai terapi tambahan pada dewasa dan anak diatas 15 tahun dengan asma, dan baru-baru ini FDA


(54)

40

mengijinkan ketotifen dipakai sebagai terapi alergi pada mata (Monument et al., 2012).

a. Struktur Kimia

Ketotifen memiliki nama bangun yaitu 4-(1-metilpiperidin-ylidene)- 4,9-dihidro-10H-benzo [4,5] siklopenta [1,2-b] tiofen-10-satu hydrogen (E)-butadiana. Formula molekul dari ketotifen adalah C23H23NO5S, dan memiliki berat molekul 425,49742 (Serna, 2006). b. Mekanisme Kerja

Infiltrasi dan degranulasi sel mast memiliki peran dalam proses inflamasi. Degranulasi sel mast akan melepaskan berbagai macam mediator inflamasi seperti sitokin, endothelin, growth factor dan enzim proteolitik. Sehubungan dengan antagonis resptor histamin, beberapa efeknya kemungkinan berhubungan dengan inhibisi terhadap pelepasan sel mast dan derivat netrofil mediator inflamasi. Pada banyak penelitian dan kondisi klinis, ketotifen tercatat mampu mengurangi degranulasi sel mast dan mengurangi pelepasan histamin, protease sel mast, myeloperoxidase leukotriens, PAF dan bermacam-macam prostaglandin. Ketotifen juga menghambat agregasi polimorfonuklear dan migrasi serta mengurangi respon inflamasi. Hal ini secara langsung akan mengurangi fungsi eosinofil dan viabilitasnya (Khurana et al., 2011).

Ketotifen melakukan blokade secara non kompetitif terhadap ikatan histamin 1 dengan reseptornya dan menghambat degranulasi sel mast yang diperantarai oleh kalsium. Ketotifen merupakan agen


(55)

41

stabilisator sel mast yang mencegah degranulasi sel mast dengan cara mencegah influk transmembran dari ion kalsium. Ketotifen dapat memblokade pelepasan mediator oleh sel mast tikus secara in vitro. (Khurana et al., 2011). Ketotifen juga memblok konsentrasi cyclyc-AMP (c-AMP) yang diperlukan pada saat akhir degranulasi vesikel (Monument et al., 2010)

Ketotifen menghambat produksi sitokin dari sel TH2. NO adalah modulator sel Mast yang menginduksi aksi pro-inflamasi. Sel Mast juga berperan pada kerusakan ginjal melalui aktivasi lokal sistem renin-angitensin dalam nefrophati IgA. Sekresi sitokin dari sel Mast dan sel Th2 seperti TGF-B yang memfasilitasi produksi IgA. Disini ada peningkatan IL-4,5,6 yang merupakan sitokin dari sel TH2 dan sel Mast. Produksi IgA intestinal yang berlebihan diketahui sebagai salah satu penyebab nefrophati IgA. Ketotifen mengaktivasi distribusi NOS di lapisan luar korteks dan glomerulus dan menyebabkan penurunan resistensi pembuluh darah renal (Young-Sun et al., 2009).

c. Farmakokinetik

Ketotifen diabsorbsi dengan baik setelah pemberian secara oral, mencapai kadar puncak dalam plasma dalam 2-4 jam setelah pemberian. Namun demikian, belum ada informasi yang cukup mengenai absorbsi dari ketotifen sediaan tablet lepas lambat. Karena adanya efek first-pass metabolism, bioavailabilitas obat ini hanya 50%. Kadar puncak dalam plasma setelah dosis oral multipel sebesar 1mg, 2 kali sehari adalah 1.92


(56)

42

mg/L pada dewasa dan 3.25 mg/L pada anak-anak, dengan daerah dibawah kurva konsentrasi-waktu 16.98 mg/L dan 20,72 mg/L. Obat ini dilaporkan 75% terikat protein (Grant et al., 1990).

Ketotifen dimetabolisme menjadi ketotifen-N-glukoronide yang inaktif dan nor-ketotifen yang aktif secara farmakologi, dan jumlah metabolit-metabolit ini dalam urine adalah sebanyak 50% dan 10% dari dosis. Hanya sebanyak 1% yang dikeluarkan sebagai senyawa asal. Pembersihan obat ini dari plasma bersifat bifasik, dengan waktu paruh distribusi 3 jam dan waktu paruh eliminasi 22 jam pada orang dewasa. Pola eliminasi pada anak-anak sama dengan pada dewasa. Tidak tersedia data mengenai efek farmakokinetik obat ini pada usia lanjut atau pada penyakit tertentu (Grant et al., 1990).

d. Sediaan, Dosis, dan Cara Pemberian

Ketotifen tersedia dalam bentuk tablet 1 mg dan sirup 0,2 mg/ml. 1 mg ketotifen identik dengan 1,38 mg ketotifen fumarat (Dewoto, 2009). Ketotifen dalam bentuk tablet dapat diberikan pada orang dewasa dengan dosis 1 mg, dua kali sehari digunakan bersama makanan. Dosis dapat ditingkatkan menjadi 2 mg, dua kali sehari. Jika obat menyebabkan mengantuk, gunakan 0,5 dua kali sehari atau 1 mg pada malam hari dan kemudian dinaikkan sampai dosis terapetik penuh. Jika perlu dosis dapat ditingkatkan sampai 4 mg dan diberikan dalam dua dosis terbagi (Kalbe, 2011).


(57)

43

Untuk anak > 3 tahun diberikan sebanyak 1 mg, dua kali sehari. Pada anak usia 6 bulan - 3 tahun diberikan dosis 0,05 mg/ kg BB dengan pemberian per oral dua kali sehari. Pada anak-anak, dosis dapat dimulai dengan setengah dari dosis normal dan ditingkatkan sampai dosis optimal selama 5 hari (Kalbe, 2011).

e. Efek Samping

Efek samping ketotifen sama seperti efek samping AH1. Pernah dilaporkan ketotifen meningkatkan nafsu makan dan menambah berat badan. Kombinasi ketotifen dengan antidiabetik oral telah dilaporkan dapat menurunkan jumlah trombosit secara reversibel, karena itu kombinasi kedua obat tersebut harus dihindarkan. Ketotifen harus diberikan secara hati-hati pada pasien yang alergi terhadap obat ini (Dewoto, 2009).

4. Sel Mast

Sel mast mempunyai bentuk yang khas. Dengan ukuran yang bervariasi dari 10 sampai dengan 60 µm dan dengan inti di tengahnya yang berbentuk bulat atau lonjong. Sitoplasmanya yang banyak, terisi dengan granula-granula yang bervariasi. Ditemukan oleh Paul Ehlrich, seorang ilmuwan dari jerman pada tahun 1878. Distribusi dari sel mast sangat luas, dalam jaringan, sel mast cenderung banyak berada disekitar pembuluh darah dan serabut syaraf, dan berada dekat dengan permukaan epitel dan mukosa. Sel mast juga ditemukan di peritonium dan di permukaan sendi-sendi. Di


(58)

44

lokasi-lokasi tersebut sel mast memberikan perlindungan sebagai sel imun pertama dengan menghadapi invasi patogen ke jaringan dari dunia luar. (Nigrovic & Lee, 2013)

Sel mast pada jaringan di lokasi yang berbeda mempunyai granula yang berbeda pula. Granula sel mast bisa hanya mengandung tryptase saja (MCT), atau kombinasi dari tryptase, chymase, carboxypeptidase A, dan cathepsin G (MCTC). Masing-masing tipe granula ini dominan pada sel mast di lokasi-lokasi tertentu. MCT adalah tipe sel mast yang banyak berada di alveoli paru-paru, mukosa usus halus, dan pada mukosa mata yang alergi. MCTC sangat dominan pada kulit yang normal, pembuluh darah, submukosa, dan pada sinovial. (Hsu & Boyce, 2009).

Sel mast berasal dari stem cells haematopoietic, dari sunsum tulang dan berada di jaringan setelah melewati pembuluh darah. Setelah berada di jaringan, sel mast bisa hidup sampai berbulan-bulan, pada kondisi tertentu, sel mast bisa bermigrasi melalui sistim limfatik (Nigrovic & Lee, 2013).


(59)

45

Gambar 2.11. Asal dan diferensiasi sel mast (Sumber : Nigrovic & Lee, 2013)

Sel Mast beredar di sirkulasi dalam bentuk imatur, diferensiasi dan pematangannya terjadi secara lokal menyusul migrasi prekursor mereka ke jaringan atau rongga serosal yang bervascularisasi di mana sel Mast pada akhirnya akan berada. Pada vertebrata, sel Mast secara luas didistribusikan ke seluruh jaringan yang bervascularisasi, terutama di dekat permukaan yang terpapar lingkungan, termasuk kulit, saluran napas dan saluran pencernaan dimana patogen, alergen, dan agen lingkungan lainnya seringkali menyerang. (Galli et al., 2008)


(60)

46

Gambar 2.12. Pertumbuhan sel mast dan distribusinya di jaringan (Sumber : Galli et al., 2008).

Gambar di atas menerangkan sel mast jaringan berasal dari haematopoietic stem cells (HSCs), yang akhirnya berkembang menjadi progenitor sel mast (MCPs). MCPs beredar dalam darah dan masuk ke jaringan dimana mereka akan mengalami diferensiasi dan maturasi. Stem cell factor (SCF) diperlukan untuk menjaga keberlangsungan dari sel mast, tapi fenotip dari sel mast matur bisa berbeda-beda tergantung dari lingkungan faktor pertumbuhannya. Sebagai contoh adanya sitokin tambahan yang berefek pada proliferasi sel mast atau fenotip aeperti 3, il-4, il-9, TGF 1 dan faktor mikro lingkungan. Jumlah populasi sel mast dapat meningkat pada saat terjadi respon T helper 2 (TH2) terhadap infeksi parasit yang bisa merefleksikan adanya peningkatan rekrutmen, diferensiasi, dan juga proliferasi dari sel mast residen pada lokasi tersebut (Galli et al., 2008).


(61)

47

a. Cedera Jaringan & Degranulasi Sel mast

Proses inflamasi dipicu oleh aktivasi imun inate pada reseptor pengenal, termasuk Toll-like receptors (TLRs) yang mengenali dan

mengikat molekul-molekul patogen atau molekul endogen yang terlepas dari sel-sel yang rusak, seperti heat-shock protein dan high mobility group box 1 protein ( Rittner, 2008). TLRs berada dalam sel-sel imun, termasuk monosit atau makrofag dan sel dendritik, dan sel imun yang terkait seperti keratinosit. Pengikatan TLRs diikuti dengan aktivasi sinyal NF-kB dan pelepasan sitokin-sitokin inflamasi. Sel – sel imun residen, sel mast dan makrofag juga diaktifkan dalam beberapa menit setelah terjadi stimulus nyeri dan melepaskan sitokin, kemokin, efektor kaskade komplemen proinflamasi (C3a & C5a) serta vasodilator, termasuk amine vasoaktif dan bradikinin. Blood-borne neutrophils, netrofil, monosit dan limfosit T menempel pada dinding pembuluh, berekstravasasi dan menumpuk di lokasi cedera. Sel-sel imun berkontribusi terhadap sensitisasi nociceptive perifer dengan melepaskan factor-faktor soluble dan interaksi langsung dengan nociceptors (Ren & Dubner, 2010).

Berbagai rangsangan, seperti IgE, IgG dan komplek imun, beberapa mediator, kontak antar sel, dan trauma dapat mengaktifkan sel mast (Nigrovic & Lee, 2013). Aktivasi ini akan menyebabkan sel mast melepaskan beragam produk biologis aktif, banyak diantaranya berpotensi memediasi fungsi pro-inflamasi, anti-inflamasi ataupun


(62)

48

fungsi imunosupresif. Selanjutnya, sel mast dapat berpartisipasi dalam siklus aktivasi pelepasan mediator dan dapat mengaktivasi pelepasan mediator atau sitokin dalam pola yang berbeda tergantung jenis dan kekuatan rangsangan. Kekuatan dan respon alamiah sel mast terhadap berbagai stimuli dipengaruhi oleh faktor genetik atau lingkungan mikro yang mempengaruhi pola ekspresi atau sifat fungsional dari reseptor permukaan atau molekul sinyal yang berkontribusi terhadap respon tersebut (Gilfillan & Tkaczyk, 2006).

Gambar 2.13 menerangkan bahwa Cidera memicu pelepasan mediator yang mengaktifkan TLRs dan sel mast, dilepaskan juga mediator yang mendorong adesi dan transmigrasi sel-sel imun termasuk sel-T, netrofil, dan monosit serta melibatkan makrofag (Ren & Dubner, 2010).


(63)

49

Gambar 2.13. Aktivasi sistim imun dan sensitisasi nosiseptor (Sumber : Ren & Dubner, 2010).

Proses granulasi tergantung pada peningkatan konsentrasi Ca+2 intraseluler. Kalsium yang diperlukan untuk terjadinya degranulasi berasal dari intraseluler dan influk Ca2+ dari ekstraseluler melalui kanal membran. Pelepasan Ca2+ dari retikulum edoplasma diperantarai oleh

jalur sinyal PδC (Tshori & Razin, β010).

Gambar 2.14. Respon kanal calcium selama aktivasi sel mast (Sumber : Tshori & Razin, 2010).


(64)

50 b. Mediator sel mast

Sel mast matur mengandung beberapa mediator dalam granulanya, yang siap dilepaskan dengan menempel pada membran. Yang paling banyak adalah protease, tapi vasoactive amines, proteoglycans seperti heparin dan pre-formed cytokine memainkan peran yang nyata dalam konsekuensi biologis degranulasi sel mast. Pelepasan mediator-mediator ini tidak semuanya. Sebagai contoh degranulasi pada reaksi anafilaksi, sel mast mungkin hanya melepaskan sebagian kecil pada saat proses degranulasi yang terjadi secara bertahap. Lebih jauh sel mast dapat melepaskan satu dari tipe granula, tapi tidak dengan yang lain. Mungkin juga sel mast dapat membuat keluarnya sitokin dan kemokin dengan tanpa melepaskan granulanya. Disebutkan juga bahwa mediator yang dilepaskan melalui aktivasi sel mast tergantung dari tingkat deferensiasi sel mast dan macam stimulus yang mengaktivasi sel mast (Nigrovic & Lee, 2013).


(65)

51

Gambar 2.15. Degranulasi sel mast mengeluarkan berbagai mediator kimia (Sumber: Kasper et al, 2005)

Dalam beberapa menit setelah aktivasi, sel mast mulai melepaskan metabolit dari membran fosfolipid. Dalam beberapa jam aktivasi, sel mast mulai menguraikan beberapa mediator meliputi mediator proinflammasi, TNF, Il-1, dan Il-6; sitokin Th2 Il-4, Il-5, Il-10, dan Il-13; faktor kemotaktik meliputi Il-8 dan MIP-α; growth factor

untuk fibroblas, pembuluh darah, dan yang lain seperti FGF, VEGF, dan

PDGF (Nigrovic & Lee, 2013).

Nishida et al (2005) menyatakan bahwa proses degranulasi sel mast dipicu adanya rangsangan pada Fc epsilon receptor I (Fc RI) yaitu reseptor IgE di sel mast melalui dua peristiwa: translokasi granule ke


(66)

52

membran plasma melalui calcium-independent pathways dan fusi membran serta eksositosis melalui calcium-dependent pathways (gambar 2.13).

Gambar 2.16. Proses degranulasi yang dimediasi oleh reseptor Fc RI pada sel mast (Sumber Nishida et al, 2005).


(67)

53 B. KERANGKA TEORI

Trauma Pembedahan

Kerusakan pada membran sel

Fragmentasi Fosfolipid

Enzim fosfolipase Asam Arakidonat

TLR4 Enzim Lipoksigenase Enzim Siklooksigenase

Hidroperoksida Endoperoksidasi

Makrofag Leukotrien PG,Tromboksan A2,

Prostasiklin NFkβ Sel Mast

Pro inflamasi Histamin, PGE2, NGF

IL1β TNFα

Sensitasi Sel Schwan di Nosiseptor

Gambar 2.17 Kerangka teori

Ketotifen

IL 6

Nyeri


(68)

54

Keterangan :

: merangsang/memicu : menghambat

 : meningkatkan (Efek ketotifen)

 : menurunkan (Efek ketotifen)

dan : Variabel-variabel yang diteliti

C. KERANGKA KONSEP

Trauma Pembedahan

Makrofag Sel mast

Gambar 2.18 Kerangka konsep

Ketotifen

IL 6

Nyeri


(69)

55 D. HIPOTESIS

Ada pengaruh pemberian ketotifen terhadap penurunan kadar interleukin 6 serum dan skor nyeri pada operasi maktektomi.


(70)

56 BAB III

METODE PENELITIAN

A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, dimulai pada bulan Juni sampai Juli 2014. Penelitian ini dilakukan di Instalasi Bedah Pusat ini oleh karena tiap harinya tindakan pembedahan mastektomi cukup banyak.

B. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini merupakan uji klinik dengan desain Randomized Controlled Trial Double Blind yang pada pasien yang menjalanai operasi elektif sebagai subyek penelitian dengan tujuan mencari perbedaan pengaruh pemberian ketotifen terhadap kadar Interleukin 6 pasca operasi. Kelompok penelitian dibagi menjadi dua yaitu kelompok ketotifen (K1), dan kontrol (K2), penjelasannya sebagai berikut :

K1 : Kelompok pasien yang menjalani operasi elektif yang diberikan ketotifen oral dari dua jam sebelum operasi sampai dua hari hari pasca operasi dengan dosis 1 mg yang diberikan tiap 12 jam. K2 : Kelompok pasien yang menjalani operasi elektif yang diberikan

plasebo oral.


(71)

57 C. POPULASI DAN SAMPEL

POPULASI

Populasi yang diikutsertakan dalam penelitian ini adalah pasien yang menjalani pembedahan elektif dengan status fisik ASA I dan II di Instalasi Bedah Pusat RSUD Dr. Moewardi dalam kurun waktu Juni sampai dengan Juli 2014.

Kriteria inklusi :

1. Jenis kelamin perempuan menjalani operasi elektif. 2. Umur 17-60 tahun.

3. Pasien yang akan menjalani operasi mastektomi 4. Status fisik ASA I dan II

5. Hasil pemeriksaan darah rutin dalam batas normal. 6. Penderita yang bersedia diikutsertakan dalam penelitian Kriteria eksklusi :

1. Penderita mendapatkan terapi kortikosteroid 2. Pasien yang mengkonsumsi antihistamin 3. Pasien alergi terhadap ketotifen

SAMPEL

Pada penelitian ini terdapat dua variabel bebas yaitu pemberian ketotifen dan plasebo serta satu variabel terikat yaitu kadar Interleukin 6 serum, maka besar sampel minimal dapat menggunakan pedoman ”rule of thumb”. Dengan ”rule of thumb” maka besar sampel yang diperlukan adalah γ0 pasien, jadi masing-masing kelompok adalah 15 pasien. commit to user


(72)

58 D. VARIABEL PENELITIAN

1. Variabel Bebas Ketotifen

2. Variabel Terikat Kadar Interleukin 6 Skor Nyeri

E. DEFINISI OPERASIONAL

1. Ketotifen adalah Suatu obat golongan anti histamine dalam bentuk tablet ketotifen 1 mg yang dibuat dalam bentuk kapsul warna putih, dengan dosis 2 x 1 mg yang diberikan dari 2 jam sebelum operasi sampai dua hari berturut-turut pasca operasi.

Alat ukur : -

Skala pengukuran : nominal

2. Kadar interleukin 6 merupakan suatu sitokin pro inflamasi berupa perhitungan interleukin 6 dalam darah/ serum yang diperiksa dua kali yaitu sebelum pemberian obat pertama kali dan pada hari ketiga setelah pemberian ketotifen oral pasca operasi yang diperiksa di labolatorium Prodia Surakarta dengan ELISA linked enzyme immunoassay reader. Nilai rujukan normal kadar IL 6 serum di Laboratorium Klinik Prodia cabang Surakarta adalah 3,12-12,5 pg/mL.

Alat ukur : ELISA linked enzyme immunoassay reade Satuan ukur : pg / mL

Skala pengukuran : rasio


(73)

59

3. Skor nyeri merupakan penilaian intensitas nyeri pasien yang diperiksa dua kali yaitu sebelum pemberian obat pertama kali dan pada hari ketiga setelah operasi.

Alat ukur : Visual Analogue Scale (VAS) Satuan ukur : Unit

Skala pengukuran : Kategorikal ordinal

F. INSTRUMEN PENELITIAN Alat dan bahan yang digunakan :

a. Spuit 3 mL b. Ketotifen oral c. Plasebo oral

d. Tabung Vacutainer tutup warna ungu.

e. Analisis quantitative immunoassay ELISA reader (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)

f. Lembar penilaian visual Analogue Scale


(74)

60 G. ALUR PENELITIAN

Gambar 3.1 Alur Penelitian

T1 : Kadar IL 6 serum sebelum insisi pembedahan (base line). T2 : Kadar IL 6 serum pada hari ketiga setelah insisi pembedahan.

Kriteria inklusi Sampel

Analisis data Kriteria Eksklusi

Randomisasi

Kelompok Kontrol (K2) Kelompok ketotifen

(K1)

Pembedahan Pembedahan

Data dasar (T1)

Data kedua (T2)

Pemberian plasebo selama tiga hari Pemberian ketotifen

selama tiga hari

Tindakan anestesi Tindakan anestesi

Pasien rencana pembedahan mastektomi


(1)

88

Data Skor VAS KELOMPOK PLASEBO

NO

VAS

D1 D2 Perubahan

1 2 2 0

2 2 3 1

3 1 3 2

4 2 3 1

5 1 3 2

6 1 1 0

7 1 2 1

8 1 2 1

9 1 4 3

10 2 3 1

11 2 4 2

12 2 3 1

13 1 3 2

14 2 2 0

15 2 3 1

Rata² 1.53 2.73 1.20


(2)

89

DATA PERUBAHAN KADAR IL 6

T-Test

Group Statistics

Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

IL6 Perlakuan 15 8.4520 5.26529 1.35949

Kontrol 15 18.8713 16.11024 4.15964

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of the

Difference

F Sig. t df

Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error

Difference Lower Upper

IL6 Equal variances assumed

8.273 .008 -2.381 28 .024 -10.41933 4.37617 -19.38351 -1.45515

Equal variances not assumed

-2.381 16.957 .029 -10.41933 4.37617 -19.65402 -1.18464


(3)

90

PERUBAHAN DATA VAS.

Group Statistics

Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

VAS Perlakuan 15 .07 .884 .228

Kontrol 15 1.20 .862 .223

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

VAS 30 .63 1.033 -2 3

Kelompok 30 1.50 .509 1 2

Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

VAS Perlakuan 15 10.67 160.00

Kontrol 15 20.33 305.00

Total 30


(4)

91

Test Statisticsb

VAS

Mann-Whitney U 40.000

Wilcoxon W 160.000

Z -3.191

Asymp. Sig. (2-tailed) .001

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .002a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok


(5)

92

Lampiran 4

Dr. Hari Wujoso, dr. SpF, MM

NIP. 19621022 199503 1001


(6)

93

Lampiran 5