Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Dukungan Sosial Teman Sebaya, Kontrol Diri, dan Jenis Kelamin dengan Prestasi Belajar Siswa di SMA Kristen YPKPM Ambon T2 832012010 BAB II

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kajian pustaka merupakan parameter utama dalam penelitian ilmiah, karena kajian pustaka merupakan dasar pijakan untuk membangun suatu konstruk teoritik, sebagai acuan dasar dalam membangun kerangka berpikir, dan menyusun hipotesis penelitian. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam bab ini akan dibahas tentang teori yang mendasari prestasi belajar dan bagaimana hubungan prestasi belajar dan faktor-faktor yang memengaruhinya yaitu dukungan sosial teman sebaya dan kontrol diri.

1.1 PRESTASI BELAJAR 1.1.1 Pengertian Prestasi Belajar

Belajar merupakan aktivitas yang sangat penting dalam mewujudkan tujuan pendidikan, khususnya dalam mencapai prestasi. Melalui proses belajar dapat diperoleh pengetahuan dan pengalaman yang diperlukan oleh individu guna mencapai cita-cita. Dalam suatu kesempatan, Koster (2001) menyatakan bahwa pretasi belajar siswa adalah pencapaian siswa setelah mengalami proses belajar yang terwujud dalam bentuk pengetahuan (kognitif) maupun konsep diri (afektif) serta keterampilan tertentu (psikomotorik) seperti persepsi, respon siswa, dan adaptasi.

Dalam proses pendidikan prestasi dapat diartikan sebagai hasil dari proses belajar mengajar yakni, penguasaan, perubahan emosional,


(2)

atau perubahan tingkah laku yang dapat diukur dengan tes tertentu (Abdullah, 2008). Prestasi belajar adalah hasil maksimum yang dicapai oleh seseorang setelah melakukan kegiatan belajar yang diberikan berdasarkan atas pengukuran tertentu (Ilyas, 2008). Prestasi belajar adalah perubahan tingkah laku yang dianggap penting yang diharapkan dapat mencerminkan perubahan yang terjadi sebagai hasil belajar siswa, baik yang berdimensi cipta, dan rasa maupun yang berdimensi karsa (Syah, 2006).

Ada pernyataan menyatakan bahwa prestasi belajar adalah suatu penilaian yang mencerminkan kinerja akademik siswa dan penilaian tersebut diambil sebagai indikator kompetensi siswa setelah mengikuti proses pendidikan. Hal ini terlihat jelas dari penjelasan yang dikemukakan oleh Pellegrino, dkk (dalam Semper, 2008, h. 24) bahwa the academic performance is assessment reflects a student’s academic performance and istaken as an indicator of the student’s competence after an educational phase. Sementara itu, Tirtonegoro (dalam Tarmidi & Wulandari, 2005) menyatakan bahwa prestasi belajar adalah penilaian aktivitas belajar siswa yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf, maupun nilai yang sudah dicapai dalam periode tertentu. Sementara itu, Latipah (2010) menyatakan bahwa prestasi belajar menunjuk pada kinerja belajar seseorang yang umumnya ditunjukkan dalam bentuk nilai rata-rata yang diperoleh. Prestasi belajar terwujud karena adanya perubahan selama beberapa waktu yang tidak disebabkan oleh pertumbuhan, tetapi karena adanya situasi belajar.


(3)

Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah pencapaian seseorang setelah mempelajari materi pelajaran dalam satu kurun waktu tertentu. Pencapaian prestasi tersebut dapat berpengaruh pada perubahan perilaku. Prestasi biasanya ditunjukkan dengan nilai tes (ujian) atau angka nilai yang diberikan oleh guru.

1.1.2 Teori Belajar

Nasution (1994) berpendapat bahwa prestasi belajar merupakan kesempurnaan seorang peserta didik dalam berpikir, merasa dan berbuat. Menurutnya, prestasi belajar seorang peserta didik dikatakan sempurna jika memenuhi tiga aspek yaitu:

1. Aspek Kognitif. Aspek kognitif adalah aspek yang berkaitan

dengan kegiatan berpikir. Aspek ini sangat berkaitan erat dengan tingkat intelegensi (IQ) atau kemampuan berpikir peserta didik. Sejak dahulu aspek kognitif selalu menjadi perhatian utama dalam sistem pendidikan formal. Hal itu dapat dilihat dari metode penilaian pada sekolah-sekolah dewasa ini sangat mengedepankan kesempurnaan pada aspek kognitif.

2. Aspek Afektif. Aspek afektif adalah aspek yang berkaitan dengan

nilai dan sikap. Penilaian pada aspek ini dapat terlihat pada kedisiplinan, sikap hormat terhadap guru, kepatuhan dan lain sebagainya. Aspek afektif berkaitan erat dengan kecerdasan emosi (EQ) peserta didik.


(4)

3. Aspek Psikomotorik. Aspek psikomotorik menurut kamus besar

Bahasa Indonesia adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kemampuan gerak fisik yang mempengaruhi sikap mental. Jadi sederhananya aspek ini menunjukkan kemampuan atau keterampilan (skill) peserta didik setelah menerima sebuah pengetahuan.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar memiliki tiga aspek utama yakni aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik dimana ketiga aspek ini yang kemudian dituangkan sebagai nilai dalam bentuk angka pada laporan hasil belajar siswa (Iswanti, 2010). Berdasarkan hal inilah, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan hasil belajar atau nilai laporan pendidikan sebagai alat dalam mengukur tinggi rendahnya prestasi belajar siswa SMA Kristen YPKPM Ambon.

1.1.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Prestasi Belajar

Prestasi belajar yang dicapai seorang individu merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhinya baik dari dalam diri (faktor internal) maupun dari luar diri (faktor eksternal) individu. Pengenalan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar penting sekali artinya dalam rangka membantu murid dalam mencapai prestasi belajar yang sebaik-baiknya. Menurut Ahmadi (dalam Pratiwi, 2010) terdapat dua faktor yang mempengaruhi prestasi


(5)

belajar, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi prestasi belajar:

1. Faktor jasmaniah (fisiologis) baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh. Yang termasuk faktor ini misalnya jenis kelamin, penglihatan, pendengaran, struktur tubuh, dan sebagainya.

2. Faktor psikologis baik yang bersifat bawaan maupun diperoleh yang terdiri atas:

a. Faktor intelektif yang meliputi: faktor potensial yaitu kecerdasan dan bakat, faktor kecakapan nyata yaitu prestasi yang telah dimiliki.

b. Faktor non intelektif, yaitu unsur-unsur kepribadian tertentu seperti sikap, kebiasaan, minat, kebutuhan, motivasi, emosi, kontrol diri, dan penyesuaian diri.

3. Faktor kematangan fisik maupun psikis.

Sedangkan faktor eksternal yang memengaruhi prestasi belajar adalah:

1. Faktor sosial yang terdiri atas: Lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, dan dukungan sosial baik orang tua, guru, maupun teman sebaya.

2. Faktor budaya seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian.

3. Faktor lingkungan fisik seperti fasilitas rumah, fasilitas belajar, iklim.


(6)

2.2. DUKUNGAN SOSIAL TEMAN SEBAYA 2.2.1.Pengertian Dukungan Sosial

Salah satu faktor yang dibutuhkan siswa dalam proses belajar adalah adanya dukungan sosial. Sebagai remaja, mereka dapat memperoleh dukungan sosial dari berbagai sumber, seperti keluarga, guru, orang tua, dan teman sebayanya. Kumalasari & Ahyani (2012) menyatakan bahwa dukungan sosial yang diterima individu dari lingkungan, baik berupa semangat, perhatian, penghargaan, bantuan dan kasih sayang membuat remaja menganggap bahwa dirinya dicintai, diperhatikan, dan dihargai oleh orang lain. Jika individu diterima dan dihargai secara positif, maka individu tersebut cenderung mengembangkan sikap positif terhadap dirinya sendiri dan lebih menerima dan menghargai dirinya sendiri. Sehingga individu mampu hidup mandiri ditengah-tengah masyarakat luas secara harmonis.

Dukungan sosial merupakan suatu kumpulan proses sosial, emosional, kognitif, dan perilaku yang berlangsung dalam sebuah hubungan pribadi dimana individu memperoleh bantuan untuk melakukan penyesuaian adaptif atas masalah yang dihadapinya (Syarifa dkk, 2011). Sementara itu, House (dalam Kumalasari & Ahyani, 2012) menjelaskan bahwa dukungan sosial merupakan hubungan interpersonal yang di dalamnya berisi pemberian bantuan yang melibatkan aspek-aspek yang terdiri dari informasi, perhatian, emosional, penghargaan dan bantuan instrumental yang diperoleh individu melalui interaksi dengan lingkungan.


(7)

Dukungan sosial adalah komunikasi verbal dan non verbal antara penerima dan penyedia dalam mengurangi ketidakpastian tentang situasi, diri, yang lain, atau hubungan, dan fungsi untuk meningkatkan persepsi kendali pribadi dalam pengalaman hidup seseorang. Pernyataan ini terlihat jelas dalam pendapat yang diungkapkan oleh Albrecht & Adelman (dalam Kendall, 2011, h.182), defined social support as “verbal and nonverbal communication between recipients and providers that reduces uncertainty about the situation, the self, the other, or the relationship, and functions to enhance a perception of personal control in one’s life experience.

Menurut Cobb (dalam Sarafino, 1998) menyatakan bahwa dukungan sosial diartikan sebagai suatu kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang dirasakan individu dari orang-orang atau kelompok-kelompok lain. Sejalan dengan pendapat tersebut, Cohen & Wills (dalam Bishop, 1997) mendefinisikan dukungan sosial sebagai pertolongan dan dukungan yang diperoleh seseorang dari interaksinya dengan orang lain.

Dari berbagai pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dukungan sosial adalah proses pemberian informasi, perhatian, emosional, penghargaan, dan bantuan instrumental lainnya yang diperoleh seseorang dari interaksinya dengan orang lain.


(8)

2.2.2. Pengertian Teman Sebaya

Pada masa remaja ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis dan sosialnya, yang mana pada masa ini keterikatan terhadap teman sebaya sangat kuat. Keadaan seperti ini menjadikan remaja kelompok tersendiri, seolah-olah mereka antar sesamanya saling memahami, mereka mulai menjauh dari orang tua, karena merasa orang tua kurang memahami dirinya. Mereka lebih memilih memecahkan masalahnya dengan teman sebayanya dari pada dengan orang tua atau gurunya, masalah yang sangat seriuspun mereka biasanya akan membahas dengan teman sebayanya.

Dalam suatu kesempatan Santrock (2009) menyatakan bahwa dalam konteks perkembangan anak, teman sebaya adalah anak-anak dengan usia atau tingkat kedewasaan yang kurang lebih sama. Dari kedua definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa teman sebaya adalah suatu bentuk hubungan pada remaja yang memiliki usia dan tingkat kedewasaan yang sama, baik di lingkungan sekolah ataupun lingkungan rumah.

Interaksi teman sebaya yang memiliki usia yang sama memainkan peran khusus dalam perkembangan sosioemosional anak-anak. Salah satu fungsi yang paling penting dari kelompok teman sebaya adalah untuk memberikan sumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga. Hubungan baik dengan teman sebaya merupakan peran yang mungkin penting agar perkembangan anak


(9)

menjadi normal. Pernyataan tersebut dijelaskan oleh Howes & Tonyan (dalam Santrock, 2009).

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa teman sebaya adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Dengan kata lain, dukungan sosial teman sebaya adalah proses sosial yang melibatkan aspek-aspek yang terdiri dari informasi, perhatian, emosional, penghargaan dan bantuan instrumental yang diperoleh individu dari kelompok yang memiliki kesamaan tingkat kedewasaan dan usia yang kurang lebih sama.

2.2.3. Teori Dukungan Sosial Teman Sebaya

Pada suatu kesempatan, Kumalasari & Ahyani (2012) menyatakan bahwa hampir setiap remaja memiliki teman-teman sebaya dalam bentuk kelompok. Kelompok teman sebaya ini ada yang menguntungkan pengembangan proses penyesuaian diri tetapi ada pula yang justru menghambat proses penyesuaian diri remaja. Dukungan sosial dijelaskan oleh Malecki & Demaray (dalam Hidayati, 2011) merupakan persepsi seseorang terhadap dukungan yang diberikan orang lain dalam jaringan sosialnya (misalnya keluarga dan teman) yang membantu meningkatkan kemampuan diri untuk bertahan dari pengaruh-pengaruh yang merugikan. Dukungan sosial meliputi dukungan emosional, informasi, atau materi alat bantu yang diberikan. Kemudian Mead, dkk (dalam Solomon, 2004) telah jauh meneliti dukungan teman sebaya dan menyatakan bahwa dukungan teman


(10)

sebaya merupakan sistem memberi dan menerima bantuan yang dibangun berdasar prinsip-prinsip kunci yang meliputi rasa hormat, berbagi tanggung jawab, dan persetujuan yang sama mengenai apa itu menolong.

Dalam suatu kesempatan, House (dalam Glanz dkk., 2008) menyatakan bahwa dimensi dukungan sosial mencakup:

1. Dukungan emosi, keberadaan seseorang atau lebih yang bisa mendengarkan dengan simpati ketika seorang individu mengalami masalah dan bisa menyediakan indikasi kepedulian dan penerimaan.

2. Dukungan penilaian, meliputi ketersediaan informasi yang berguna dalam rangka evaluasi diri. Dengan kata lain, memberikan umpan balik dan penguatan atau penegasan.

3. Dukungan informasi, meliputi ketersediaan pengetahuan yang berguna dalam menyelesaikan masalah, seperti menyediakan informasi mengenai sumber-sumber dan layanan komunitas atau menyediakan nasehat dan tuntunan mengenai suatu aksi atau hal-hal tertentu untuk menyelesaikan masalah.

4. Dukungan instrumental, melibatkan bantuan nyata atau praktis yang secara langsung dapat membantu seseorang yang membutuhkan.

Sementara itu, Tardy (dalam del Valle dkk., 2010) menekankan kompleksitas konsep dukungan sosial dari sudut pandang pengukuran


(11)

(measurement), mengidentifikasi empat dimensi dukungan sosial, antara lain :

1. Arahan, dukungan yang diberikan atau diterima. Arahan atau dukungan yang diberikan berupa nasihat atau penjelasan sehubungan dengan topik yang dibicarakan.

2. Deskripsi atau penilaian, dukungan sosial yang secara sederhana digambarkan atau dinilai dalam cara tertentu.

3. Isi, meliputi dukungan emosional, instrumental, informasional, atau penilaian. Dapat berupa petunjuk informasi atau dapat berupa dukungan materi atau benda yang diberikan.

4. Jaringan, orang tua, guru, teman sebaya. Jaringan yang dimaksud adalah adanya orangtua, guru, dan teman sebaya sebagai sumber dukungan sosial yang diberikan.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan dimensi dukungan social teman sebaya yang dikemukakan oleh House (dalam Glanz dkk., 2008). Penulis memilih empat dimensi ini disebabkan karena lebih lengkap jika dibandingkan dengan dimensi yang dikemukakan oleh Tardy (dalam del Valle dkk., 2010).

2.2.4. Fungsi Teman Sebaya

Dalam perkembangan individu yaitu pada masa remaja, kelompok teman sebaya memiliki peran yang sangat penting bagi perkembangan remaja baik secara emosional maupun secara sosial. Buhrmester (dalam Papalia, 2008) menyatakan bahwa kelompok teman


(12)

sebaya merupakan sumber afeksi, simpati, pemahaman, panduan moral, tempat bereksperimen, dan setting untuk mendapatkan otonomi serta independensi dari orang tua. Salah satu peran dari teman sebaya yaitu berupa pemberian dukungan sosial. Dukungan sosial dari teman sebaya yaitu dukungan yang diterima dari teman sebaya yang berupa bantuan baik secara verbal maupun non verbal. Dari kelompok teman sebaya, remaja menerima umpan balik mengenai kemampuan mereka.Anak-anak sampai remaja menghabiskan semakin banyak waktu dalam interaksi teman sebaya. Pada hari sekolah, terjadi 299 episode bersama teman sebaya dalam tiap hari. Bagi remaja, hubungan teman sebaya merupakan bagian yang paling besar dalam kehidupannya (Barker & Wright, dalam Santrock, 2003).

Pada penelitian yang lain selama satu minggu, remaja muda laki-laki dan perempuan menghabiskan waktu 2 kali lebih banyak dengan teman sebaya daripada waktu dengan orang tuanya seperti yang dijelaskan oleh Condry, Simon, & Bronffenbrenner (dalam Santrock, 2003). Teman sebaya merupakan sumber status, persahabatan dan rasa saling memiliki yang penting dalam situasi sekolah. Di sekolah, remaja biasanya menghabiskan waktu bersama-sama paling sedikit selama enam jam setiap harinya. Sistem dukungan sering kali diperlukan untuk bertahan terhadap stres (Santrock, 2003). Dalam penelitian O’Brien (1996) ditemukan bahwa teman sebaya adalah sumber utama dukungan yang menyeluruh bagi remaja. Bagi remaja, teman-teman sebaya adalah kehidupannya. Hasil penelitian Becker & Luthar (dalam Yettie, 2004),


(13)

menemukan bahwa remaja yang mendapatkan dukungan dari teman sebayanya dalam bentuk penghargaan, pujian, kekaguman sekaligus menjadi seseorang yang disukai oleh teman-temannya akan menunjukkan prestasi yang baik di sekolah.

Sementara itu, Atwater (1983) menjelaskan mengenai beberapa fungsi teman sebaya sebagai berikut:

1. Teman sebaya membantu individu dalam melakukan suatu transisi dari orientasi keluarga menuju orientasi teman sebaya. Dalam proses perkembangan remaja, proses ini dimulai ketika remaja berinisiatif untuk tidak terlalu bergantung pada keluarga, tetapi mulai mencari kemandirian dengan cara mendapatkan perasaan emosional secara aman melalui teman-temannya. 2. Teman sebaya memberikan keuntungan bagaimana caranya

membina suatu hubungan yang baik dengan orang lain dan hal ini akan berguna di masa yang akan datang.

3. Teman sebaya berfungsi sebagai kelompok referensi dimana mereka akan berperan dalam menilai perilaku seseorang apakah baik atau buruk. Teman sebaya membantu individu dalam menentukan identitas personalnya.

Pada suatu kesempatan yang berbeda, Papalia (2001) menyatakan bahwa kelompok teman sebaya dapat memengaruhi pertimbangan dan keputusan seorang remaja tentang perilakunya. Ia mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang


(14)

berkaitan dengan gaya hidup. Kemudian Greenberg & Baron (dalam Atwater, 1993), menambahkan bahwa memiliki sahabat pada saat-saat sulit dapat membuat individu melihat stres yang dialaminya tidak terlalu mengancam. Sahabat atau teman juga dapat memberikan saran yang bermanfaat untuk mengatasi stres. Dukungan teman sebaya pada dasarnya adalah tindakan menolong yang diperoleh melalui hubungan interpersonal dan peran teman sebaya dalam penyesuaian sosial salah satunya berupa pemberian dukungan sosial (Yettie, 2004).

2.3. KONTROL DIRI

2.3.1 Pengertian Kontrol diri

Pada suatu kesempatan, Wursanto (dalam Marcal, 2006) mengartikan kontrol diri sebagai pengendalian diri yang mengarahkan kepada pencapaian kinerja. Sirikulchayanonta, dkk (2011), menyatakan bahwa kontrol diri adalah kemampuan individu untuk mengambil tindakan, berpikir, dan berperilaku yang akan menghasilkan perbaikan diri. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki kontrol diri rendah maka bertendensi memiliki kontrol diri yang rendah untuk mereduksi dari berbagai penyimpangan perilaku. Sementara itu, Purnama (2006) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan kontrol internal yang mendorong individu untuk menaati suatu peraturan atau norma atas dasar kemauan serta pertimbangan diri sendiri akan makna dan fungsi suatu aturan.


(15)

Kontrol diri secara umum dianggap sebagai kemampuan untuk berubah dan menyesuaikan diri sehingga memberikan hasil yang baik. Fokus utama kontrol diri adalah kemampuan untuk mengesampingkan kecenderungan perilaku mengganggu serta menaham diri dari perilaku tersebut. Hal ini terlihat jelas dalam penjelasan yang diberikan oleh Tangney & Baumeister (2004, h. 275) menyatakan bahwa self-control is widely regarded as a capacity to change and adapt the self so as to produce a better, more optimal fit between self and world. Central to our concept of self-control is the ability to override or change one’s inner responses, as well as to interrupt undesired behavioral tendencies and refrain from acting on them. From this perspective, self-control should contribute to producing a broad range of positive outcomes in life. Dari pandangan ini, kontrol diri dapat memberikan manfaat atau kontribusi positif dalam hidup individu.

Kontrol diri merupakan ketaatan yang didasarkan pada kontrol dari dalam diri sendiri (internal control). Kontrol diri terbentuk melalui proses internalisasi terhadap kontrol luar (external control) atau batasan-batasan norma yang berlaku dalam lingkungannya. Individu yang telah berhasil menginternalisasi kontrol dari luar atau tata nilai, berarti mampu menyerap dan menjiwai nilai-nilai tersebut. Individu tersebut mampu mentaati suatu peraturan tanpa merasa terpaksa atau karena ikut-ikutan, tetapi didorong oleh niat dari dalam dirinya. Individu yang memiliki kontrol diri, tidak hanya mampu mentaati peraturan dari luar, akan tetapi cenderung mampu untuk mengatur


(16)

dirinya, atau mengarahkan diri untuk mencapai tujuan yang diharapkan (Purnama, 2006).

Kontrol diri yang perlu dikembangkan pada diri individu mungkin banyak dimensi, salah satunya ialah dalam belajar. Belajar merupakan unsur pokok dalam proses pendidikan. Sesuai dengan hal ini, Gunarsa (dalam Purnama, 2006) mengemukakan bahwa adanya kontrol diri, terutama dalam hal belajar dan bekerja, akan memudahkan kelancaran belajar dan bekerja, karena dengan adanya kontrol diri, maka rasa segan, rasa malas, rasa menentang dapat mudah diatasi. Seolah-olah tidak ada rintangan maupun hambatan lain yang menghalangi kelancaran bertindak. Dalam proses pendidikan, kualitas kontrol diri dalam belajar diharapkan berkembang pada diri siswa dengan tujuan memperoleh prestasi belajar yang tinggi.

Pada suatu kesempatan Yahaya, dkk (2009) menyatakan bahwa kontrol diri memiliki peranan penting dalam suatu sistem pendidikan, karena akan mendorong mahasiswa meningkatkan kemampuan untuk mencapai tujuan. Hal ini sesuai dengan ulasannya Bear & Duquette (2008) bahwa kontrol diri berfungsi untuk membenahi diri mencapai tujuan. Tangney, dkk (2004) menambahkan bahwa kesuksesan seseorang dapat ditentukan dari tingkat kontrol diri orang tersebut. Hal ini berarti bahwa peningkatan diri secara berkesinambungan terhadap kontrol diri perlu dilakukan secara sadar, sehingga seseorang tidak mengalami kesalahan mengelola waktu serta aktivitas-aktivitas yang perlu dilakukan untuk meningkatkan akumulasi kesuksesan.


(17)

Kemudian, Rossianti (1994) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan suatu kecakapan individu dalam kepekaan membaca situasi diri dan lingkungannya serta kemampuan untuk mengontrol dan mengelola faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dalam melakukan sosialisasi. Kemampuan untuk mengendalikan perilaku, kecenderungan untuk menarik perhatian, keinginan untuk mengubah perilaku agar sesuai untuk orang lain, menyenangkan orang lain, selalu conform dengan orang lain, menutup perasaannya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kontrol diri merupakan cerminan dari seluruh kemampuan yang ada dalam diri individu untuk mengontrol diri atau mengendalikan perilaku guna menggapai tujuan yang positif dalam hidup. Sehubungan dengan penelitian ini, kontrol diri diarahkan kepada bagaimana individu mengontrol diri dengan baik guna mencapai prestasi belajar yang maksimal.

2.3.2 Teori Kontrol diri

Perilaku individu dalam proses tumbuh dan berkembang, memerlukan kontrol agar dapat mengendalikan diri. Menurut Tangney, dkk (2009), kontrol diri merupakan suatu bentuk dari kontrol diri yang mengarahkan pada perubahan perilaku positif, maka dalam penelitian ini akan lebih menekan pada kontrol diri internal sebagai wujud nyata dari kesadaran diri untuk memiliki kontrol diri yang tinggi. Selain itu,


(18)

kontrol diri yang tinggi akanmampu mengantisipasi peluang akan terpengaruhnya perilaku positif akibat terhubung dengan lingkungan eksternal. Lebih dalam lagi, dijelaskan bahwa disebabkan substansinya tersebut maka kontrol diri perlu dilihat secara keseluruhan sehingga setiap kontrol utamanya dapat dikaitkan dan dielaborasi. Hal ini mendapatkan kesesuaian dengan Gong, dkk (2009) yang menyatakan bahwa disiplin diri yang beresensikan kontrol diri merupakan salah satu penentu pencapaian akademik seseorang.

Pada suatu kesempatan, Marcel (2006) dalam penelitiannya untuk mengukur kontrol diri siswa, ia menggunakan empat komponen yaitu:

1. Ketaatan. Seorang siswa akan memperoleh hasil belajar yang maksimal jika terlebih dahulu taat terhadap peraturan yang diberlakukan di lingkungan sekolah. Contohnya datang tepat waktu, menggunakan pakaian seragam dengan baik dan benar. 2. Kesadaran untuk melaksanakan tugas sesuai pedoman. Seorang

siswa yang memiliki kontrol diri yang tinggi memiliki kesadaran dalam diri untuk menyelesaikan atau mengerjakan setiap tugas yang diterima di sekolah sesuai dengan pedoman yang diberikan oleh guru.

3. Tanggungjawab terhadap pekerjaan. Siswa dengan kontrol diri yang tinggi memiliki tanggung jawab yang tinggi atau loyal terhadap setiap tugas yang diberikan.


(19)

4. Kejujuran. Kontrol diri yang tinggi digambarkan melalui perilaku jujur dan tidak pernah membuat kecurangan. Contohnya tidak berkata bohong, tidak menyontek saat ujian. Dalam suatu kesempatan, Gong, dkk (2009) mengukur kontrol diri menggunakan empat komponen yang dikemukakan oleh Tangney, dkk (2004), yakni kontrol terhadap pemikiran (kognitif), kontrol terhadap impulse (dorongan hati), kontrol terhadap emosi, dan kontrol terhadap unjuk kerja (performance). Berikut ini penjelasan dari keempat komponen tersebut:

1. Kontrol terhadap pemikiran (kognitif) adalah kemampuan dari individu untuk mengendalikan pikiran sehingga menghasilkan sikap yang yang positif atau mengarah kepada perilaku yang objektif.

2. Kontrol terhadap impuls (dorongan hati) adalah kemampuan individu untuk mengendalikan diri serta bertindak secara bijak terhadap setiap dorongan hati negatif yang muncul secara tiba-tiba.

3. Kontrol terhadap emosi adalah kemampuan individu untuk memiliki kesadaran diri emosi dalam hubungan dengan diri sendiri maupun dengan orang lain.

4. Kontrol terhadap unjuk kerja adalah kemampuan individu untuk memperoleh nilai yang lebih baik dalam jangka waktu panjang, karena mereka akan lebih baik dalam mengerjakan tugas tepat waktu, mencegah dari aktivitas-aktivitas untuk


(20)

menunda-nunda waktu saat bekerja, belajar dengan efektif, memilih mata pelajaran dengan tepat dan mampu menjaga emosi negatif yang merusak kinerja.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan empat aspek yang dikemukakan oleh Gong, dkk (2004) yang dikutip dari Tangney, dkk (2009), yaitu kontrol terhadap pemikiran (kognitif), kontrol terhadap impulse (dorongan hati), kontrol terhadap emosi, dan kontrol terhadap unjuk kerja (performance). Pemilihan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa keempat aspek yang dikemukakan oleh Gong dkk (2004) lebih lengkap dalam mengukur keadaan internal siswa sehubungan dengan kontrol diri.

2.3.3 Manfaat Kontrol diri a. Perubahan positif perilaku

Tangney, dkk (2004) menyatakan bahwa kontrol diri akan membawa dampak positif karena seseorang akan mampu membedakan dan mengelola tiap impuls yang diperoleh dalam interaksinya dengan lingkungan. Hal ini berarti bahwa kontrol diri merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan, jika seseorang mau melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Selain itu juga, kontrol diri terkait dengan kesadaran diri untuk tetap berusaha ataupun mengontrol dirinya sendiri tanpa adanya paksaan dari luar.

Ulasan di atas didukung juga oleh Rachman (1999) bahwa kontrol diri sebagai upaya mengendalikan diri dan sikap mental


(21)

individu atau masyarakat dalam mengembangkan kepatuhan dan ketaatan terhadap peraturan dan tata tertib berdasarkan dorongan dan kesadaran yang muncul dari dalam hatinya. Menurutnya, kontrol diri sebagai alat dan sarana untuk membentuk, mengendalikan, dan menciptakan pola perilaku seseorang sebagai pribadi yang berada dalam suatu lingkungan atau kelompok tertentu. Kontrol diri muncul karena adanya kesadaran dari dalam diri bahwa tindakan yang dilakukan bermanfaat baik secara pribadi maupun bagi lingkungan sosial.

b. Bagi prestasi belajar

Baumeister, dkk (1994) dalam Tangney, dkk (2004) menyatakan bahwa kontrol diri yang baik akan memampukan individu untuk mengalokasikan waktu secara tepat dalam mengerjakan hal-hal yang positif. Tidak jauh berbeda, Rachman (1999) menyatakan bahwa kontrol diri di sekolah akan mempunyai pengaruh yang positif bagi kehidupan siswa di masa yang akan datang. Pada mulanya kontrol diri dirasakan sebagai sesuatu yang mengekang kebebasan siswa. Akan tetapi jika kontrol diri tersebut dirasakan sebagai sesutau yang membawa manfaat di kemudian hari, maka ketaatan terhadap peraturan akan lambat laun menjadi suatu kebiasaan baik yang perlu ditingkatkan. Dengan demikian akan membawa dampak positif terhadap prestasi belajar.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kontrol diri memiliki manfaat yang begitu besar dalam kehidupan setiap individu.


(22)

Manfaat dapat berupa perubahan perilaku individu ke arah yang positif yang pada akhirnya dapat menghasilkan prestasi belajar yang tinggi.

2.4 HASIL-HASIL PENELITIAN SEBELUMNYA 2.4.1 Dukungan Sosial Teman Sebaya dan Prestasi Belajar

Dukungan sosial teman sebaya adalah pemberian bantuan seorang remaja baik berupa verbal maupun non-verbal sebagi bentuk kepedulian, perhatian, keakraban, penghargaan kepada kelompok yang kepadanya remaja tersebut bergantung. Beberapa penelitian terdahulu telah dilakukan untuk melihat pengaruh dukungan sosial teman sebaya terhadap prestasi belajar siswa. Selanjutnya Ahmed, dkk (2008) menemukan bahwa dukungan sosial berpengaruh pada prestasi belajar siswa. Hasil penelitian Agmarina (2008) tentang hubungan dukungan sosial teman sebaya dengan prestasi belajar siswa kelas VI akselerasi SD Bina Insani Bogor menunjukkan bahwa korelasi rxy = 0,394 dengan

signifikansi 0,031 (p<0,05) yang berarti bahwa terdapat hubungan positif antara dukungan sosial teman sebaya dengan penyesuaian sosial siswa akselerasi.

Penelitian di atas senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Ristianti (2010) tentang hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dengan identitas diri pada remaja di SMA Pusaka 1 Jakarta menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dengan prestasi belajar siswa di SMA Pusaka 1 Jakarta dengan koefisien korelasi (r) yang diperoleh sebesar 0,565 dengan signifikansi


(23)

0,000 (p < 0,01). Hasil penelitian tambahan yang dilakukan oleh Yettie (2004) menunjukkan bahwa dukungan sosial dari teman sebayalah yang lebih berhubungan dengan penyesuaian sosial siswa akselerasi dibandingkan dengan dukungan dari orangtua atau guru. Siswa yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari teman sebayanya cenderung menunjukkan tingkat penyesuaian sosial di bawah rata-rata. Sebaliknya, subjek yang mendapat dukungan dari teman sebayanya atas perbedaan yang dimilikinya cenderung menunjukkan tingkat prestasi yang tinggi.

Maslihah (2010), menjelaskan hasil temuannya sebagai berikut: penelitian ini merupakan kajian tentang hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dan penyesuaian sosial di lingkungan sekolah dengan prestasi akademik siswa boarding school. Sampel penelitian adalah terdiri dari 92 siswa kelas VIII Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu (SMPIT) Assyfa Boarding School Kabupaten Subang Jawa Barat. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan teknik studi korelasional (correlation study) dengan dua independen variabel, yaitu dukungan sosial orang tua dan penyesuaian sosial di lingkungan sekolah serta satu dependent variable, yaitu prestasi akademik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial orang tua dengan prestasi akademik, yaitu sebesar 0,820. Artinya, semakin besar dukungan sosial orang tua yang dipersepsi siswa, semakin baik prestasi akademik yang dapat dicapai siswa. Kajian lebih dalam tentang


(24)

hubungan dukungan sosial orang tua dalam bentuk instrumental support dengan prestasi akademik menunjukkan nilai korelasi sebesar 0.798 dan hubungan dukungan sosial bentuk emotional support dengan prestasi akademik adalah sebesar 0.654.

Mackinnon (2011) meneliti tentang persepsi hubungan sosial teman sebaya dan prestasi belajar. Peserta yang diteliti 10.445 siswa (56 % perempuan, 12,6 % yang lahir di luar Kanada) sekolah menengah dari usia 15-19. Hasil penelitian menunjukkan walapun ada peran dari dukungan sosial teman sebaya dimana kadar ketinggian perannya dirasakan pada usia 15 tetapi tidak berhubungan terhadap prestasi akademik dari waktu ke waktu. Singkatnya, dukungan sosial yang dirasakan tampaknya tidak memiliki hubungan terhadap prestasi akademik masa remaja.

Rensi & Sugiarti (2010) melakukan penelitian karena melihat adanya banyak faktor yang dapat berperan pada naik turunnya prestasi belajar seorang siswa. Hal ini dapat berupa sesuatu yang berasal dari dalam maupun dari luar diri siswa tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah mengukur pengaruh dukungan sosial dan konsep diri terhadap prestasi belajar siswa. Subjek penelitian adalah siswa-siswi SMP Kristen YSKI Semarang yang sedang duduk di kelas VII. Jumlah subjek 179 orang siswa, dan dari antaranya diambil sampel sebanyak 60 orang siswa. Penelitian ini menggunakan uji statistik simultan (uji statistik F) untuk menguji hipotesis mayor penelitian dan uji statistik t


(25)

untuk menguji hipotesis minornya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial berpengaruh terhadap prestasi belajar.

Penelitian dari Dewi dkk (2011) tentang hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dengan komitmen terhadap tugas (Task Commitment) pada siswa akselerasi tingkat SMA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dengan komitmen terhadap tugas (task commitment) pada siswa akselerasi tingkat SMA. Penelitian ini dilakukan pada siswa akselerasi. Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik korelasi Product Moment dengan bantuan SPSS yang menunjukkan skor koefisien korelasi rxy= 0,531 dengan (p)

0,000 jadi p<0,01 (signifikan). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara dukungan sosial orang tua dengan komitmen terhadap tugas (task commitment) pada siswa akselerasi tingkat SMA. Sumbangan efektif dukungan sosial teman sebaya dengan komitmen terhadap tugas (task commitment) adalah 28,2%, sehingga masih ada 71,8% variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini, antara lain cita-cita atau aspirasi siswa, kemampuan siswa, kondisi siswa, kondisi lingkungan fisik dan lingkungan keluarga, unsur-unsur dinamis dalam belajar, pembelajaran, serta upaya guru dalam membelajarkan siswa.

Penelitian yang berbeda juga ditemukan oleh Fuligni (1997), yang melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh dukungan sosial teman sebaya pada prestasi belajar keluarga imigrant dari negara-negara Asia. Fuligni menemukan bahwa dukungan sosial teman sebaya


(26)

tidak berpengaruh pada prestasi belajar. Taylor (1998) menyatakan bahwa secara tidak langsung dukungan sosial teman sebaya berpengaruh pada prestasi belajar. Hal ini disebabkan karena untuk mencapai sebuah prestasi akademik maka harus melalui persepsi dari pentingnya kemampuan akademis. Cauce (1992) menyatakan bahwa dukungan teman sebaya memiliki hubungan yang negatif dengan kompetensi di sekolah, yang dalam hal ini adalah kompetensi untuk berprestasi. Hal senada juga diteliti oleh Maassen & Landsheer (2000), dan menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara dukungan sosial teman sebaya dengan prestasi belajar Matematika. Dalam penelitian Maassen & Landsheer (2000), menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara dukungan sosial teman sebaya dengan prestasi belajar Matematika. Fuligni (1997) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh dukungan sosial teman sebaya pada prestasi belajar dari keluarga immigrant dari negara-negara Asia, dan menemukan bahwa dukungan sosial teman sebaya tidak berpengaruh pada prestasi belajar.

2.4.2 Kontrol Diri dan Prestasi Belajar

Selain dukungan sosial teman sebaya dalam peningkatan prestasi belajar, kontrol diri merupakan suatu faktor penting. Tanpa adanya kesadaran akan pentingnya melaksanakan aturan yang telah ditentukan sebelumnya, pembelajaran tidak akan mungkin mencapai target yang maksimal. Penelitian yang dilakukan oleh Saputro (2007)


(27)

menemukan bahwa ada pengaruh yang kuat kontrol diri terhadap prestasi belajar sebesar 0,219 pada taraf signifikansi 0,05. Marcal (2006) melakukan penelitian terhadap mahasiswa Timor-Leste di Jakarta dengan menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang positif signifikan kontrol diri terhadap prestasi belajar. Pengaruh positif signifikan ditunjukkan dengan nilai Fhitung 12.069 > Ftabel 4.00 pada tingkat

signifikansi 0.001 < 0.05.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sakdiyah (2006) menyatakan bahwa kontrol diri memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap prestasi belajar dengan hasil uji diperoleh thitung

sebesar 4,065 dengan p=0,000 < 0,05. Duckworth & Seligman (2005) menemukan bahwa kontrol diri lebih menentukan daripada kecerdasan intelektual, karena walaupun mahasiswa memiliki tingkat kecerdasan namun tidak diimbangi dengan kemampuan mengontrol diri maka akan menyebabkan mahasiswa menjadi tidak mampu mengelola waktu dan kurang memiliki prioritas dalam apa yang sebaiknya dilakukan.

Marpaung (2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kontrol diri berpengaruh secara positif signifikan terhadap prestasi belajar. Hasil uji secara simultan dengan uji F diperoleh Fhitung= 73,446 dengan

probabiltias 0.000 < 0.05. Hal Senada juga diungkapkan oleh Saputro (2007) yang menyatakan bahwa ada pengaruh positif signifikan motivasi berprestasi dan kontrol diri terhadap prestasi belajar dengan R square sebesar 0.204 pada taraf signifikan 0.05. Hasil penelitian Widiastuti (2008) menyatakan bahwa ada hubungan yang positif


(28)

signifikan antara kontrol diri dengan prestasi belajar siswa. Hal senada juga disimpulkan dalam hasil penelitian dari Muhid (2010) ada hubungan antara self control, dan self efficacy dengan pretasi akademik dengan nilai regresi sebesar 0,644 dan alpha (p) sebesar = 0,000.

Muammar (2011) dalam penelitiannya dengan judul intelligence and self control predict academic performance of giftedand non-gifted students, meneliti peran intelijen dan pengendalian diri pada prestasi akademik dari siswa berbakat dan yang tidak berbakat. Kecerdasan diukur dengan Tes Kemampuan Umum ( GAT ), dan terdiri dari dua sub-skala, secara eksplisit, subtes verbal dan subtest kuantitatif. Kontrol diri adalah dinilai dengan melihat tingkat komitmen siswa untuk menyerahkan tugas dan pekerjaan rumah tepat waktu. Sampel terdiri dari 74 mahasiswa di sebuah lembaga di bagian Timur Arab Saudi. Prestasi siswa berbakat yang terpilih sesuai dengan kinerja akademis yang diukur dengan skor IPK; pemisahan titik adalah 3,50 dari 5,00. Intelijen dan pengendalian diri yang masuk melalui model simultan linear regresi berganda sebagai variabel independen, sedangkan IPK mahasiswa di semester pertama dimasukkan sebagai variabel kriteria. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan dan pengendalian diri berkorelasi secara signifikan dengan prestasi belajar.

Tangney, dkk (2004) juga melakukan penelitian untuk melihat pengaruh kontrol diri terhadap keberhasilan dalam belajar. Hasil penelitian menunjukan bahwa seorang siswa yang memiliki kontrol diri akan berusaha keras dalam melakukan kegiatan belajar serta memiliki


(29)

rasa optimis yang tinggi dalam mencapai sesuatu sesuai dengan diharapankan. Sebaliknya, seseorang dengan kontrol diri yang rendah menilai bahwa dirinya kurang memiliki kemampuan. Sehingga hal ini memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap keberhasilan studi.

2.4.3 Jenis Kelamin dan Prestasi Belajar

Jenis kelamin juga merupakan salah satu variabel demografi yang menarik untuk diteliti jika dihubungkan dengan prestasi belajar. Selain jenis kelamin dapat berpengaruh pada prestasi belajar, perbedaan jenis kelamin juga menarik untuk diteliti sehubungan dengan prestasi belajar.Beberapa penelitian telah dilakukan, diantaranya adalah Colley (dalam Santrock, 2007). Colley menemukan bahwa tidak ada perbedaan jenis kelamin pada kemampuan atau prestasi Matematika di grade 4, 8, dan 12. Adeyinka, dkk (dalam Santrock, 2007) juga menemukan bahwa perbedaan jenis kelamin memberikan pengaruh dan kontribusi pada prestasi belajar siswa. Dimana siswa laki-laki memiliki usaha yang keras dan kemampuan untuk memberikan yang terbaik dalam prestasi belajar, bila dibandingkan dengan siswa perempuan.

Rumusan penelitian yang berbeda juga ditemukan oleh Hyness, dkk (1988) melakukan penelitian pada siswa SMA kulit hitam dalam kaitannya dengan prestasi belajar. Kemudian mereka menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara siswa laki-laki dan perempuan pada pencapaian prestasi belajar. Senada dengan penelitian


(30)

di atas, Burleson & Samter (1992) juga meneliti perbedaan jenis kelamin di antara mahasiswa, keduanya menemukan bahwa tidak ada perbedaan jenis kelamin pada prestasi akademik mahasiswa. Arslan, Canl, & Sabo (2012) melakukan penelitian terhadap 553 orang siswa sekolah menengah pertama di Turki untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar matematika ditinjau dari jenis kelamin. Hasil penelitian menyatakan bahwa terdapat perbedaan prestasi belajar antara siswa perempuan dan laki-laki. Siswa perempuan memiliki prestasi belajar Matematika yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa laki-laki. Hal ini disebabkan karena pada saat proses belajar berlangsung, siswa perempuan lebih menunjukkan sikap belajar yang positif seperti duduk dengan tenang, menyimak pelajaran dengan baik, serta mengemukakan pertanyaan ketika terdapat bagian pelajaran yang tidak dipahami. Hal ini menyebabkan prestasi belajar perempuan lebih tinggi dari pada prestasi belajar Matematika laki-laki.

Dalam kesempatan yang berbeda, Lauzon (2001) melakukan penelitian untuk melihat perbedaan prestasi belajar Matematika siswa ditinjau dari jenis kelamin. Hasil penelitian membuktikan bahwa terdapat perbedaan prestasi belajar antara siswa laki-laki dan perempuan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa siswa laki-laki kurang tekun dalam belajar, sulit berkonsentrasi, maupun kurang bertanggung jawab.Sedangkan siswa perempuan lebih mampu mengontrol diri untuk dapat mengatur waktu belajar dengan baik sehingga menghasilkan prestasi yang maksimal. Dronen, dkk (2006) juga melakukan penelitian


(31)

terhadap untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar siswa laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian membuktikan bahwa siswa perempuan lebih tekun dan berkonsentrasi dalam belajar. Siswa perempuan mampu mengatur waktu bersantai karena lebih terobsesi untuk memperoleh hasil belajar yang tinggi. Sedangkan siswa laki-laki mudah tergoda dengan kegiatan lain selain belajar, kurang tekun dalam belajar, sulit berkonsentrasi, bahkan siswa laki-laki tidak mampu mengatur waktu antara belajar dan bermain serta nonton TV.

Berdasarkan fenomena dan hasil-hasil penelitian terdahulu yang telah penulis utarakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial teman sebaya, kontrol diri, dan jenis kelamin sebagai prediktor prestasi belajar siswa. Artinya semakin tinggi dukungan sosial yang diberikan oleh teman sebaya diikuti dengan kontrol diri yang tinggi maka akan memberikan peningkatan pada prestasi belajar siswa.

2.5 LANDASAN TEORI

Belajar adalah proses mental yang terjadi di dalam diri seseorang, sehingga menyebabkan munculnya perubahan prilaku. Aktivitas mental itu terjadi karena adanya interaksi individu dengan lingkungan yang disadari. Bukti keberhasilan dari seseorang setelah memperoleh pengalaman belajar atau mempelajari sesuatu merupakan prestasi belajar yang dicapai dalam waktu tertentu. Hal ini sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh Nana (2009) bahwa hasil


(32)

belajar atau achievement merupakan realisasi atau pemekaran dari kecakapan-kecakapan potensial atau kapasitas yang dimiliki oleh seseorang. Penguasaan hasil belajar oleh seseorang dapat dilihat dari perilakunya, baik perilaku dalam bentuk penguasaan pengetahuan, keterampilan berpikir maupun keterampilan motorik. Prestasi belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Dua faktor yang turut memengaruhi prestasi belajar diantaranya dukungan sosial teman sebaya dan kontrol diri.

Ketika siswa berada di sekolah, maka ia berada di tengah-tengah suatu lingkungan yang baru. Di lingkungan yang baru ini, individu membutuhkan penyesuaian. Schneiders (dalam Maslihah, 2011) menyebutkan bahwa penyesuaian sosial sebagai kemampuan individu untuk bereaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas sosial, situasi, dan hubungan sehingga tuntutan atau kebutuhan dalam kehidupan sosial terpenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan. Dengan demikian, jika siswa ingin mengembangkan kemampuan dalam penyesuaian sosial di lingkungan sekolah maka ia harus menghargai hak orang lain, mampu menciptakan suatu relasi yang sehat dengan orang lain, mengembangkan persahabatan, berperan aktif dalam kegiatan sosial, menghargai nilai-nilai dari hukum-hukum sosial dan budaya yang ada di lingkungan sekolahnya. Apabila prinsip-prinsip ini dilakukan secara konsisten, maka penyesuaian sosial di lingkungan sekolah yang baik akan tercapai. Diharapkan bahwa dengan


(33)

adanya penyesuaian sosial, siswa saling memberikan dukungan terhadap satu dengan yang lainnya.

Dukungan yang diberikan dapat berupa nasehat, motivasi, atau saling memberikan masukan sehubungan dengan pelajaran di sekolah. Dukungan yang diberikan ini, pada akhirnya akan memberikan dampak terhadap peningkatan prestasi belajar. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Hurlock (2001) yang berpendapat bahwa dukungan sosial juga berperan dalam prestasi belajar. Dukungan sosial dapat diperoleh bukan saja dari orangtua yang merupakan sosok penting dalam pencapaian prestasi belajar seorang siswa, tapi juga dari teman sebaya. Dukungan sosial teman sebaya dapat berupa dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental maupun dukungan informasi. Dukungan yang diberikan ini dapat meningkatkan prestasi belajar.

Dukungan sosial akan memberikan kontribusi yang positif jika diimbangi dengan kontrol diri yang tinggi dalam hal prestasi belajar. Muammar (2011) menyatakan bahwa ketika kekuatan dari dalam diri berupa kontrol diri ditingkatkan maka akan mengimbangi setiap kekuatan-kekuatan yang berasal dari faktor eksternal untuk memberikan sumbangan efektif terhadap peningkatan hasil belajar siswa. Hal ini berarti bahwa kontrol diri memainkan peran penting dalam peningkatan prestasi belajar siswa dari sisi internal. Marpaung (2009) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan suatu kekuatan dari dalam diri siswa untuk mengontrol setiap kegiatan yang dilakukan.


(34)

Pengontrolan diri yang tinggi memberikan manfaat bagi siswa agar mampu menggunakan waktu dengan efisien, menggunakan fasilitas belajar dengan maksimal, serta sebagai sumber motivasi dalam diri siswa untuk meningkatkan hasil belajar. Dengan demikian, sangat diharapakan bahwa dengan adanya dukungan sosial teman sebaya sebagai faktor eksternal diimbangi dengan kontrol diri sebagai faktor internal akan memberikan dampak yang positif bagi peningkatan prestasi belajar siswa. Dengan kata lain, seorang siswa dapat meraih prestasi belajar yang maksimal jika diikuti dengan dukungan sosial teman sebaya serta diimbangi dengan kontrol diri yang tinggi.


(35)

2.6 MODEL PENELITIAN

Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu di atas, maka penulis menyusun sebuah model atau kerangka berpikir sebagai berikut:

Gambar 2.1 Model Penelitian

Dukungan Sosial Teman

Sebaya

Kontrol Diri

Jenis Kelamin

Prestasi Belajar


(36)

2.7 HIPOTESIS PENELITIAN

Terdapat beberapa hipotesis dalam penelitian ini, yakni:

1. Ada hubungan dukungan sosial teman sebaya dan kontrol diri dengan prestasi belajar siswa di SMA Kristen YPKPM Ambon.

2. Ada pengaruh interaksi dukungan sosial teman sebaya dan jenis

kelamin dengan prestasi belajar siswa di SMA Kristen YPKPM Ambon.

3. Ada pengaruh interaksi kontrol diri dan jenis kelamin dengan prestasi belajar siswa di SMA Kristen YPKPM Ambon.

4. Ada pengaruh interaksi dukungan sosial teman sebaya, kontrol diri, dan jenis kelamin dengan prestasi belajar siswa di SMA Kristen YPKPM Ambon.

5. Ada perbedaan prestasi belajar ditinjau dari jenis kelamin pada siswa di SMA Kristen YPKPM Ambon.


(1)

terhadap untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar siswa laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian membuktikan bahwa siswa perempuan lebih tekun dan berkonsentrasi dalam belajar. Siswa perempuan mampu mengatur waktu bersantai karena lebih terobsesi untuk memperoleh hasil belajar yang tinggi. Sedangkan siswa laki-laki mudah tergoda dengan kegiatan lain selain belajar, kurang tekun dalam belajar, sulit berkonsentrasi, bahkan siswa laki-laki tidak mampu mengatur waktu antara belajar dan bermain serta nonton TV.

Berdasarkan fenomena dan hasil-hasil penelitian terdahulu yang telah penulis utarakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial teman sebaya, kontrol diri, dan jenis kelamin sebagai prediktor prestasi belajar siswa. Artinya semakin tinggi dukungan sosial yang diberikan oleh teman sebaya diikuti dengan kontrol diri yang tinggi maka akan memberikan peningkatan pada prestasi belajar siswa.

2.5 LANDASAN TEORI

Belajar adalah proses mental yang terjadi di dalam diri seseorang, sehingga menyebabkan munculnya perubahan prilaku. Aktivitas mental itu terjadi karena adanya interaksi individu dengan lingkungan yang disadari. Bukti keberhasilan dari seseorang setelah memperoleh pengalaman belajar atau mempelajari sesuatu merupakan prestasi belajar yang dicapai dalam waktu tertentu. Hal ini sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh Nana (2009) bahwa hasil


(2)

belajar atau achievement merupakan realisasi atau pemekaran dari kecakapan-kecakapan potensial atau kapasitas yang dimiliki oleh seseorang. Penguasaan hasil belajar oleh seseorang dapat dilihat dari perilakunya, baik perilaku dalam bentuk penguasaan pengetahuan, keterampilan berpikir maupun keterampilan motorik. Prestasi belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Dua faktor yang turut memengaruhi prestasi belajar diantaranya dukungan sosial teman sebaya dan kontrol diri.

Ketika siswa berada di sekolah, maka ia berada di tengah-tengah suatu lingkungan yang baru. Di lingkungan yang baru ini, individu membutuhkan penyesuaian. Schneiders (dalam Maslihah, 2011) menyebutkan bahwa penyesuaian sosial sebagai kemampuan individu untuk bereaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas sosial, situasi, dan hubungan sehingga tuntutan atau kebutuhan dalam kehidupan sosial terpenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan. Dengan demikian, jika siswa ingin mengembangkan kemampuan dalam penyesuaian sosial di lingkungan sekolah maka ia harus menghargai hak orang lain, mampu menciptakan suatu relasi yang sehat dengan orang lain, mengembangkan persahabatan, berperan aktif dalam kegiatan sosial, menghargai nilai-nilai dari hukum-hukum sosial dan budaya yang ada di lingkungan sekolahnya. Apabila prinsip-prinsip ini dilakukan secara konsisten, maka penyesuaian sosial di lingkungan sekolah yang baik akan tercapai. Diharapkan bahwa dengan


(3)

adanya penyesuaian sosial, siswa saling memberikan dukungan terhadap satu dengan yang lainnya.

Dukungan yang diberikan dapat berupa nasehat, motivasi, atau saling memberikan masukan sehubungan dengan pelajaran di sekolah. Dukungan yang diberikan ini, pada akhirnya akan memberikan dampak terhadap peningkatan prestasi belajar. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Hurlock (2001) yang berpendapat bahwa dukungan sosial juga berperan dalam prestasi belajar. Dukungan sosial dapat diperoleh bukan saja dari orangtua yang merupakan sosok penting dalam pencapaian prestasi belajar seorang siswa, tapi juga dari teman sebaya. Dukungan sosial teman sebaya dapat berupa dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental maupun dukungan informasi. Dukungan yang diberikan ini dapat meningkatkan prestasi belajar.

Dukungan sosial akan memberikan kontribusi yang positif jika diimbangi dengan kontrol diri yang tinggi dalam hal prestasi belajar. Muammar (2011) menyatakan bahwa ketika kekuatan dari dalam diri berupa kontrol diri ditingkatkan maka akan mengimbangi setiap kekuatan-kekuatan yang berasal dari faktor eksternal untuk memberikan sumbangan efektif terhadap peningkatan hasil belajar siswa. Hal ini berarti bahwa kontrol diri memainkan peran penting dalam peningkatan prestasi belajar siswa dari sisi internal. Marpaung (2009) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan suatu kekuatan dari dalam diri siswa untuk mengontrol setiap kegiatan yang dilakukan.


(4)

Pengontrolan diri yang tinggi memberikan manfaat bagi siswa agar mampu menggunakan waktu dengan efisien, menggunakan fasilitas belajar dengan maksimal, serta sebagai sumber motivasi dalam diri siswa untuk meningkatkan hasil belajar. Dengan demikian, sangat diharapakan bahwa dengan adanya dukungan sosial teman sebaya sebagai faktor eksternal diimbangi dengan kontrol diri sebagai faktor internal akan memberikan dampak yang positif bagi peningkatan prestasi belajar siswa. Dengan kata lain, seorang siswa dapat meraih prestasi belajar yang maksimal jika diikuti dengan dukungan sosial teman sebaya serta diimbangi dengan kontrol diri yang tinggi.


(5)

2.6 MODEL PENELITIAN

Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu di atas, maka penulis menyusun sebuah model atau kerangka berpikir sebagai berikut:

Gambar 2.1 Model Penelitian

Dukungan Sosial Teman

Sebaya

Kontrol Diri

Jenis Kelamin

Prestasi Belajar


(6)

2.7 HIPOTESIS PENELITIAN

Terdapat beberapa hipotesis dalam penelitian ini, yakni:

1. Ada hubungan dukungan sosial teman sebaya dan kontrol diri dengan prestasi belajar siswa di SMA Kristen YPKPM Ambon. 2. Ada pengaruh interaksi dukungan sosial teman sebaya dan jenis

kelamin dengan prestasi belajar siswa di SMA Kristen YPKPM Ambon.

3. Ada pengaruh interaksi kontrol diri dan jenis kelamin dengan prestasi belajar siswa di SMA Kristen YPKPM Ambon.

4. Ada pengaruh interaksi dukungan sosial teman sebaya, kontrol diri, dan jenis kelamin dengan prestasi belajar siswa di SMA Kristen YPKPM Ambon.

5. Ada perbedaan prestasi belajar ditinjau dari jenis kelamin pada siswa di SMA Kristen YPKPM Ambon.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Dukungan Sosial Teman Sebaya, Kontrol Diri, dan Jenis Kelamin dengan Prestasi Belajar Siswa di SMA Kristen YPKPM Ambon

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Dukungan Sosial Teman Sebaya, Kontrol Diri, dan Jenis Kelamin dengan Prestasi Belajar Siswa di SMA Kristen YPKPM Ambon T2 832012010 BAB I

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Dukungan Sosial Teman Sebaya, Kontrol Diri, dan Jenis Kelamin dengan Prestasi Belajar Siswa di SMA Kristen YPKPM Ambon T2 832012010 BAB IV

0 0 31

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Dukungan Sosial Teman Sebaya, Kontrol Diri, dan Jenis Kelamin dengan Prestasi Belajar Siswa di SMA Kristen YPKPM Ambon T2 832012010 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Dukungan Sosial Teman Sebaya, Kontrol Diri, dan Jenis Kelamin dengan Prestasi Belajar Siswa di SMA Kristen YPKPM Ambon

0 1 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Antara Dukungan Sosial Teman Sebaya dan Prestasi Belajar Pada Siswa SMA Kristen Satya Wacana Salatiga T1 802008015 BAB I

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Antara Dukungan Sosial Teman Sebaya dan Prestasi Belajar Pada Siswa SMA Kristen Satya Wacana Salatiga T1 802008015 BAB II

0 0 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Antara Dukungan Sosial Teman Sebaya dan Prestasi Belajar Pada Siswa SMA Kristen Satya Wacana Salatiga

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Antara Dukungan Sosial Teman Sebaya dan Prestasi Belajar Pada Siswa SMA Kristen Satya Wacana Salatiga

0 0 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukungan Sosial Teman Sebaya dan Hubungan Orangtua-Remaja sebagai Prediktor Identitas Diri Siswa SMA Kristen 1 Salatiga T2 832009002 BAB II

0 0 43