Manajemen Pembelajaran Berbasis Organisasi Pembelajar :Analisis Kontribusi Peran Kepala Sekolah dalam Organisasi Pembelajar terhadap Perwujudan Sekolah Efektif pada SMA di Kabupaten Indramayu).

(1)

DAFTAR ISI

Halaman :

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitian ... 15

E. Asumsi Penelitian ... 17

F. Kerangka Konseptual Penelitian ... 20

G. Hipotesis Penelitian ... 24

BAB II. KAJIAN TEORI A. Konsep Sekolah Efektif ... 27

1. Definisi Sekolah Efektif ... 27

2. Karakteristik Sekolah Efektif ... 31

3. Penelitian Mengenai Sekolah Efektif ... 38

4. Kritik Umum Penelitian Sekolah Efektif ... 43


(2)

1. Pengertian Organisasi Pembelajar ... 49

2. Substansi Organisasi Pembelajar ... 53

C. Kepemimpinan ... 69

1. Definisi Kepemimpinan ... 69

2. Peran Pemimpin dalam Organisasi Pembelajar ... 72

3. Kepemimpinan Kepala Sekolah ... 78

D. Transformational Leadership untuk Mewujudkan Sekolah Efektif ... 80

E. Aplikasi Organisasi Pembelajar untuk Mewujudkan Sekolah Efektif ... 83

F. Beberapa Penelitian Terdahulu ... 89

BAB III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 106

B. Definisi Operasional Penelitian ... 108

1. Kepala Sekolah sebagai Desainer dalam Organisasi Pembelajar... 109

2. Kepala Sekolah sebagai Guru dalam Organisasi Pembelajar... 110

3. Kepala Sekolah sebagai Pelayan Organisasi Pembelajar ... 111

4. Sekolah Efektif ... 112

C. Populasi dan Sampel Penelitian ... 113

D. Teknik Pengumpulan Data ... 119

E. Teknik Pengolahan Data ... 121


(3)

1. Uji Validitas ... 122

2. Uji Reliabilitas ... 123

3. Uji Normalitas Data ... 125

G. Prosedur Pengolahan dan Analisis Data ... 125

BAB IV. DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Hasil Penelitian ... 129

1. Kepala Sekolah sebagai Desainer Organisasi Pembelajar pada SMA di Kabupaten Indramayu ... 129

2. Kepala Sekolah sebagai Guru dalam Organisasi Pembelajar pada SMA di Kabupaten Indramayu ... 132

3. Kepala Sekolah sebagai Pelayan dalam Organisasi Pembelajar pada SMA di Kabupaten Indramayu ... 134

4. Sekolah Efektif pada SMA di Kabupaten Indramayu ... 138

5. Pengujian Hipotesis Penelitian ... 141

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 170

BAB V. KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 206

B. Implikasi ... 208

C. Rekomendasi ... 209

DAFTAR PUSTAKA ... 215


(4)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sekolah merupakan salah satu sarana untuk membangun masyarakat. Sekolah juga dapat dikatakan sebagai agen pembaharu masyarakat bahkan dunia. Manusia Indonesia yang diharapkan saat ini adalah manusia yang mampu mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya. Gambaran manusia yang seutuhnya tersebut telah dirumuskan di dalam Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 yang menyatakan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Berdasarkan tujuan tersebut diharapkan pendidikan akan dapat menciptakan manusia yang mampu menghadapi tantangan dan perubahan secara global dan meresponnya secara positif. Perubahan yang terjadi di berbagai aspek merupakan kondisi yang menuntut masyarakat harus memiliki keunggulan dan daya saing, kepribadian


(5)

2

yang tangguh dan positif, cerdas, kerja keras, sehat dan tidak mudah putus asa.

Berdasarkan hal tersebut maka sekolah sebagai lembaga pendidikan mengemban amanah masyarakat untuk membantu menciptakan peserta didik yang berkualitas sebagaimana diharapkan. Hal ini sesuai dengan visi pendidikan nasional tahun 2020, yaitu “terwujudnya bangsa, masyarakat, dan manusia Indonesia yang berkualitas tinggi, maju dan mandiri” (Depdiknas, 2000:3). Kemudian dipertegas lagi dengan rumusan Visi Indonesia 2020, yaitu “terwujudnya Indonesia yang religious, manusiawi, bersatu, adil sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan Negara”.

Untuk mewujudkan hal tersebut, sekolah harus memiliki sejumlah indikator kebermutuan sekolah, seperti memiliki layanan pembelajaran yang bermutu, memiliki fasilitas sekolah yang menunjang dan memadai, memiliki budaya sekolah yang kondusif, dan lain sebagainya. Dalam parameter teori, indikator kebermutuan sekolah ini dapat dikategorikan sebagai sekolah efektif.

Munculnya berbagai tuntutan terhadap sekolah untuk mewujudkan sekolah efektif berimplikasi pada peran-peran yang harus dilakukan oleh kepala sekolah, guru, tenaga administrasi sekolah, dan semua warga sekolah. Semua warga sekolah diharapkan dapat merespon berbagai tuntutan orang tua, masyarakat, peserta didik, dunia


(6)

3

industri/dunia usaha, dan pemerintah daerah sebagai stakeholders sekolah.

Tantangan dan kelemahan sekolah-sekolah saat ini dan ke depan diprediksikan akan semakin kompleks. Seiring berjalannya waktu, semua warga sekolah harus turut berubah menjadi lebih baik. Kondisi lebih baik dicirikan oleh kemampuan warga untuk merespon tugas dan tanggungjawabnya secara bermutu.

Walaupun demikian, perkembangan, pemahaman, dan keterampilan warga sekolah tidak selalu beriringan dengan perkembangan tuntutan stakeholders. Karena itu sekolah memerlukan pimpinan dan anggota yang memiliki kinerja tinggi dalam mengelola dan menjalankan proses pendidikan. Sedangkan organisasi sekolah yang diharapkan adalah sekolah yang memiliki warga yang selalu belajar untuk mencapai suatu perubahan yang lebih baik dalam melayani stakeholdernya. Dalam konteks itu Marguardt (1996:15) mengemukakan bahwa perubahan yang terjadi bukan sekedar produk, aktivitas dan struktur eksternal yang dapat kita amati, tetapi juga perubahan internal yang terjadi dalam organisasi. Perubahan itu adalah mengenai nilai-nilai, cara berpikir, mindset, strategi dan bahkan mungkin tujuan-tujuan yang akan dicapai.

Sekolah harus terus menerus melakukan perbaikan secara berkelanjutan untuk lebih meningkatkan kualitas yang diharapkan sesuai dengan tuntutan dan perubahan. Perbaikan kualitas tersebut harus


(7)

4

dimulai dari seorang pimpinan yaitu kepala sekolah yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan pendidikan di sekolah, walaupun pada hakikatnya setiap personil sekolah memiliki tanggungjawab.

Perkembangan prestasi pendidikan di Kabupaten Indramayu, khususnya pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) dalam kurun waktu dua tahun terakhir terus meningkat. Semisal dilihat dari peningkatan capaian kelulusan Ujian Nasional SMA Tahun Pelajaran 2007/2008 mencapai 99,76% dan pada Tahun Pelajaran 2008/2009 naik menjadi 99,94%. Demikian halnya dengan capaian penilaian kinerja Kepala SMA, untuk menentukan periodesasi dan masa jabatan kepala sekolah yang diatur dalam Perda No.26 Tahun 2003, maka setiap kepala sekolah Negeri dan DPK harus dinilai kinerjanya. Pada Tahun 2008/2009 hasil penilaian kinerja kepala sekolah dari 52 SMA Negeri dan Swasta yang dinilai kinerjanya hanya Kepala SMA Negeri dan DPK sebanyak 20 orang dengan perolehan nilai sbb : A = 8 orang, nilai B = 12 orang dan nilai C = tidak ada. Jadi masih banyak nilai kinerja kepala sekolah yang mendapat B, sehingga kinerja Kepala SMA di Indramayu masih perlu ditingkatkan..

Sebagaimana dikemukakan dalam buku “Arah Pengembangan Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah” (2006:6) strategi pengembangan pendidikan dasar dan menengah dibagi atas 4 periode:


(8)

5

* 2005 – 2010 : Peningkatan kapasitas dan modernisasi: pemerataan akses, peningkatan IPM, dan penggunaan ICT

* 2010 – 2015 : Penguatan pelayanan untuk meningkatkan mutu dan daya saing dalam pelayanan pendidikan yang semakin besar, desentralisasi fiskal dan otonomi daerah yang semakin dewasa.

* 2015 – 2020 : Daya saing regional: pengembangan mutu dan pelayanan pendidikan dasar dan menengah yang memiliki daya saing pada tingkat ASEAN

* 2020 – 2025 : Daya saing internasional: pengembangan mutu dan pelayanan pendidikan dasar dan menengah berkelas internasional.

Arah pengembangan pendidikan pada tahun 2010-2014 diarahkan pada penguatan layanan untuk meningkatkan mutu dan daya saing. Peningkatan mutu dan daya saing dilakukan dengan menguatkan layanan penyelenggaraan pendidikan, utamanya layanan KBM yang. merupakan bussines core pendidikan di dunia persekolahan. Karena itu, peningkatan kinerja kepala sekolah, guru, pustakawan, laboran, tenaga administrasi sekolah, dan pengawas sekolah menjadi amat penting untuk diprioritaskan dalam upaya peningkatan mutu dan daya saing.

Pencapaian Standar Nasional Pendidikan (SNP) sebagaimana diamanatkan dalam PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mutlak harus didesain sedemikian rupa sehingga memiliki


(9)

6

rencana yang logis dan sinergis. Dinas Pendidikan Kab./Kota sebagai pihak yang berwenang dalam penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah memiliki peran utama dalam mewujudkan SNP untuk mencapai sasaran pembangunan pendidikan dasar dan menengah sebagaimana dicanangkan dalam Arah Pengembangan Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional sampai tahun 2025.

Dalam konteks upaya capaian prestasi di Jawa Barat, pendidikan di Kabupaten Indramayu saat ini masih belum mencapai posisi puncak. Berdasarkan analisis hasil UN SMA pada tahun 2008/2009 diketahui kondisi berikut:

Nilai tertinggi yang dicapai oleh Kabupaten Indramayu masih jauh dengan nilai tertinggi yang dicapai di Jawa Barat. Misalnya untuk IPA SMA, nilai tertinggi di Jawa Barat mencapai 9.40, sedangkan perolehan nilai tertinggi di Kabupaten Indramayu mencapai 8.60. Kondisi ini menunjukkan bahwa mutu pendidikan di Kabupaten Indramayu dikategorikan baik, walaupun belum mencapai titik optimal.

Tantangan pencapaian Visi Kabupaten Indramayu, yaitu Remaja (religius, maju, mandiri dan sejahtera), pendidikan di Kabupaten Indramayu harus mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi keberagaman, berpikir visioner (maju), memiliki jiwa mandiri, dan dapat sejahtera lahir dan bathinnya pada tahun 2010. Merespon dan mengantisipasi berbagai hal tersebut, semua sumber daya


(10)

7

manusia di sekolah harus dibina dan dikembangkan untuk dapat memenuhi tugas-tugas pokoknya secara berkualitas dan secara terus menerus memiliki daya adaptabilitas terhadap berbagai tuntutan. Akan hal itu, mau tidak mau sekolah harus dijadikan sebagai Learning Organization (LO) atau bahasa kitanya Organisasi Pembelajar (OP).

Sekolah sebagai Organisasi Pembelajar yaitu sekolah yang secara terus menerus mengembangkan kemampuannya untuk menciptakan masa depan ke arah yang lebih baik. Kalau tidak demikian, sekolah akan tertinggal dan dilindas oleh perubahan yang berarti tidak dapat survive (bertahan) dan akhirnya mati. Hal ini tentu tidak hanya berlaku pada organisasi bisnis saja tetapi juga pada organisasi lainnya, termasuk lembaga sekolah. Jika sekolah ingin survive dan berkembang serta dapat bersaing dengan sekolah lainnya, harus belajar lebih baik dan lebih cepat dari keberhasilan dan kegagalannya untuk mengembangkan institusinya ke arah yang lebih baik secara terus menerus.

Dalam mewujudkan misi sekolah, unsur yang amat menentukan adalah sumber daya manusia (pimpinan, guru, siswa, karyawan, dan komite sekolah) yang terlibat langsung pada proses pendidikan di sekolah tersebut. Dari sumber daya manusia tersebut orang yang paling dominan dalam menentukan kualitas proses layanan pendidikan di sekolah adalah kepala sekolah, meskipun masih banyak faktor lain yang juga mempengaruhi kualitas layanan pendidikan di sekolah.


(11)

8

Sejalan dengan hal tersebut, UNESCO (1998:3-4) menegaskan bahwa tingginya kedudukan kepala sekolah disebabkan setiap kegiatan di sekolah pada dasarnya selalu melibatkan kepala sekolah. Keterlibatan ini disebabkan oleh (a) sifat organisasi sekolah; dan (b) fungsi kepala sekolah pada sekolah.

Pertama, sebagai organisator sekolah diciptakan dan dipelihara untuk mencapai tujuan yang berkaitan dengan pewarisan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Kepala sekolah harus memiliki potensi untuk menguasai pengetahuan dan pemahaman akademik (academic knowledge and understanding), menguasai keterampilan, menjalani prosedur, serta mendesain dan melaksanakan penelitian (research skills, procedures, design and applications), mengajar (teaching), dan menguasai administrasi (administration). Setiap kegiatan manajemen pendidikan, khususnya manajemen personil dituntut untuk berorientasi pada kinerja sejak penentuan kebutuhan kepala sekolah, rekrutmen, seleksi, pengangkatan, penempatan, pembinaan dan pengembangnnya.

Kedua, setiap kegiatan yang merupakan pelaksanaan fungsi sekolah dalam pewarisan dan pengembangan ilmu pengetahuan, selalu melibatkan kepala sekolah. Kepala sekolah memiliki otoritas dalam melaksanakan fungsi sekolah secara professional.

Pada organisasi sekolah, kepala sekolah merupakan pimpinan yang bertanggungjawab atas kelangsungan dan capaian prestasi


(12)

9

sekolah. Kepala sekolah merupakan komponen sekolah yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas sekolah (pendidikan). Seperti diungkapkan Supriadi (1998:346) bahwa “erat kaitannya antara mutu kepala sekolah dengan berbagai aspek kehidupan sekolah seperti disiplin sekolah, iklim dan budaya sekolah, dan menurunya perilaku nakal peserta didik.” Oleh sebab itu kepala sekolah bertanggungjawab atas manajemen pendidikan secara mikro yang secara langsung berkaitan dengan proses pembelajaran di sekolah. Juga administrasi sekolah, pembinaan tenaga kependidikan lainnya, dan pendayagunaan serta pemeliharaan sarana dan prasarana sebagaimana dikemukakan dalam PP Nomor 28 Tahun 1990, khususnya pasal 12 ayat 1.

Kepala sekolah yang professional adalah kepala sekolah yang menguasai, mengikuti perkembangan, mampu mengembangkan serta bertanggungjawab, memiliki kemampuan berinteraksi dengan siswa, guru dan karyawan secara professional, menghormati dan melindungi hak-hak warga sekolah lainnya menjadi teladan dalam sikap dan pemikiran, berkemampuan menyusun kurikulum yang relevan, efektif dan efisien, memberikan informasi yang luas, mendalam dan mutakhir, menciptakan suasana akademik yang kondusif bagi pengembangan siswa (Sanusi Uwes, 1999:11-12). Output dari kepala sekolah profesional adalah mutu sekolah yang lebih baik.

Kemampuan organisasi untuk mengatasi perubahan lingkungan menjadi faktor penentu sukses atau gagalnya suatu sistem organisasi.


(13)

10

Banyak faktor lain yang mempengaruhi proses Organisasi Pembelajar di sekolah, yaitu faktor lingkungan internal dan lingkungan eksternal baik yang dapat diukur maupun yang tidak dapat diukur. Faktor tersebut dapat dijadikan sumber belajar untuk dapat dianalisa kekuatan dan kelemahannya dari faktor internal. Faktor eksternal dianalisa secara terus menerus untuk melihat ancaman dan peluang, sehingga proses Organisasi Pembelajar dapat berjalan efektif, efisien dan produktif yang berdampak pada kinerja meningkat dan pada akhirnya organisasi selalu berkembang dan survive.

Sekolah memiliki layanan utama, yaitu layanan Kegiatan Belajar dan Mengajar (KBM). Fokus layanan ini juga menjadi business core sekolah sebagai suatu organisasi. Organisasi Pembelajar di sekolah merupakan upaya untuk memperbaiki secara terus menerus layanan utama sekolah, yaitu KBM dan pendukungnya, seperti fasilitas sekolah, hubungan sekolah dengan masyarakat, sistem informasi manajemen sekolah, dan sebagainya. Dalam hal ini, Petter Senge (1990:132) mengemukakan bahwa keberhasilan sebuah organisasi akan mensyaratkan Organisasi Pembelajar (OP). Lebih jauh Senge mengemukakan lima komponen utama Learning Organization (LO), yaitu: (1) personal mastery (keahlian personal), (2) mental models (model mental), (3) building shared vision (membangun visi bersama), (4) team learning (pembelajar tim), dan (5) system thinking (pemikiran system).


(14)

11

Kelima komponen tersebut bukanlah suatu instruksi atau hukuman yang harus dilakukan oleh organisasi, tetapi suatu bangun dari teori dan teknik yang harus dipelajari dan dikuasai agar dapat diimplementasikan. Untuk mewujudkan sekolah efektif, kepala sekolah harus secara terus menerus memfasilitasi warga sekolah untuk belajar sesuai dengan tuntutan pemenuhan tugas-tugas pokok dan pelaksanaan fungsi-fungsi melalui sejumlah kompetensi yang harus terus dikembangkan setiap waktu.

Memfasilitasi perwujudkan sekolah sebagai organisasi pembelajar bukanlah suatu hal yang mudah, termasuk bagi sekolah-sekolah di Kabupaten Indramayu. Ada banyak kendala yang mempengaruhi keberhasilan sekolah dilihat dari peran kepala sekolah sebagai pemimpin sekolah. Kendala tersebut dapat diidentifikasi berasal dari dalam sekolah dan luar sekolah. Faktor sekolah (internal) dapat diidentifikasi sebagai: visi, misi, budaya sekolah, struktur organisasi, iklim sekolah, gaya kepemimpinan, sumber daya material organisasi. Faktor dari luar sekolah adalah ekonomi, politik, sosial, pesaing, stakeholders, budaya masyarakat (asumsi, kepercayaan, nilai yang dianut, kebiasaan).

Pengembangan profesional tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah akan menghantarkan pada peningkatan mutu sekolah. Hal ini akan berimplikasi pada peningkatan mutu pendidikan secara lebih luas. Berdasarkan kerangka dari Petter Senge (1990;124) mengenai


(15)

12

Organisasi Pembelajar, perlu dikaji bagaimana peran kepala sekolah sebagai pemimpin untuk mewujudkan sekolah efektif khususnya SMA di Kabupaten Indramayu.

Berdasarkan hal tersebut dapat diringkas pokok-pokok permasalahan yang dihadapi oleh pendidikan di Kabupaten Indramayu sebagai berikut:

1. Capaian prestasi kinerja akademik sampai tahun 2009 dikategorikan baik dan meningkat, tetapi belum mencapai kondisi optimal. Baik dilihat dari kelulusan Ujian Nasional (UN), maupun perolehan hasil Ujian Nasional SMA.

2. Kondisi Sumber Daya Manusia (SDM) dalam bidang pendidikan khususnya SMA walaupun dapat dikatagorikan meningkat, namun belum optimal. Sebagai contoh hasil penilaian kinerja Kepala SMA lebih dari separonya belum optimal.

3. Penyelenggaraan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) SMA di Indramayu masih banyak sekolah dikelola secara situasional, belum menjadikan sekolah sebagai Organisasi Pembelajar (OP) atau Learning Organization (LO), sehingga keberadaan sekolah efektif masih kurang dan harus segera diwujudkan, melalui peningkatan peran kepala sekolah, khususnya di SMA.


(16)

13

Pemecahan masalah tersebut, penulis menganggap perlu dan penting untuk mengkaji penyelenggaraan SMA dilihat dari Indikator sekolah efektif, sehingga dapat dipetakan kondisi kualitas SMA yang ada di Kabupaten Indramayu saat ini. Selain itu, penulis juga melihat hal yang penting untuk meningkatkan optimalisasi kualitas sekolah melalui aplikasi Organisasi Pembelajar di sekolah. Dalam kerangka itulah penelitian ini mencoba dilakukan dan mengembangkan suatu model untuk meningkatkan optimalisasi kinerja personil SMA dalam mewujudkan berbagai karakteristik sekolah efektif di Kabupaten Indramayu.

Kajian ini menghasilkan data dan informasi mengenai peta kontribusi faktor-faktor yang mempengaruhi peran Kepala SMA terhadap perwujudan sekolah efektif berbasis organisasi pembelajar di Kabupaten Indramayu. Berdasarkan data dan informasi tersebut, kemudian dikembangkan model hipotetik kerangka untuk mewujudkan sekolah efektif melalui peran kepala sekolah dalam Organisasi Pembelajar pada sekolah-sekolah, khususnya SMA di Indramayu.

B. Perumusan Masalah

Masalah utama penelitian adalah bagaimana mewujudkan sekolah efektif pada Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kabupaten Indramayu. Kondisi SMA yang ada di Kabupaten Indramayu saat ini menunjukkan kondisi yang terus meningkat dilihat dari capaian


(17)

14

prestasi. Namun demikian peningkatan prestasi ini masih belum tercapai secara optimal, misalnya apabila dilihat dari posisi prestasi pendidikan Kabupaten Indramayu di Jawa Barat.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, masalah umum yang harus dipecahkan adalah “ Seberapa besar tingkat kontribusi peran kepala sekolah dalam mewujudkan sekolah epektif pada SMA di Kabupaten Indramayu melalui “ Organisasi Pembelajar ”. Masalah umum tersebut merupakan masalah penelitian yang lebih lanjut akan menjadi fokus penelitian secara husus, dengan rincian sebagai berikut :

1. Seberapa besar tingkat kontribusi peran Kepala Sekolah sebagai Desainer dalam Organisasi Pembelajar terhadap perwujudan sekolah efektif di Kabupaten Indramayu ?

2. Seberapa besar tingkat kontribusi peran Kepala Sekolah sebagai Guru dalam Organisasi Pembelajar terhadap perwujudan sekolah efektif di Kabupaten Indramayu ?

3. Seberapa besar tingkat kontribusi peran Kepala Sekolah sebagai Pelayan dalam Organisasi Pembelajar terhadap perwujudan sekolah efektif di Kabupaten Indramayu ?

4. Seberapa besar tingkat kontribusi peran Kepala Sekolah sebagai Desainer, Guru, dan Pelayan dalam Organisasi Pembelajar secara bersama-sama terhadap perwujudan sekolah efektif di Kabupaten Indramayu ?


(18)

15

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai kontribusi peran Kepala SMA dalam Organisasi Pembelajar terhadap perwujudan sekolah efektif di Kabupaten Indramayu. Tujuan umum tersebut dirinci pada tujuan khusus, yaitu mengetahui:

1. Kontribusi peran Kepala Sekolah sebagai Desainer dalam Organisasi Pembelajar terhadap perwujudan sekolah efektif di Kabupaten Indramayu.

2. Kontribusi peran Kepala Sekolah sebagai Guru dalam Organisasi Pembelajar terhadap perwujudan sekolah efektif di Kabupaten Indramayu.

3. Kontribusi peran Kepala Sekolah sebagai Pelayan dalam Organisasi Pembelajar terhadap perwujudan sekolah efektif di Kabupaten Indramayu.

4. Kontribusi peran Kepala Sekolah sebagai Desainer, Guru, dan Pelayan dalam Organisasi Pembelajar secara bersama-sama terhadap perwujudan sekolah efektif di Kabupaten Indramayu.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat baik secara teoritik maupun praktik sebagai berikut:


(19)

16

1. Secara teoritik, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat terutama dalam hal:

a. Pengembangan ilmu Admnistrasi Pendidikan, khususnya dalam kajian sekolah efektif dan Organisasi Pembelajar dalam organisasi sekolah.

b. Memberikan informasi yang akurat bagi pembentukan konsep yang berkaitan dengan sekolah efektif dan Organisasi Pembelajar dalam organisasi sekolah.

c. Memberikan sumbangan konsep model hipotetik Organisasi Pembelajar dalam organisasi sekolah yang dapat mewujudkan sekolah efektif.

2. Secara praktik, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk : a. Informasi dan evaluasi bagi para praktisi pendidikan,

khususnya kepala sekolah dan Dinas Pendidikan Kab. Indramayu dalam mewujudkan sekolah efektif.

b. Menjadi bahan pertimbangan mengenai tindaklanjut yang harus diambil oleh pengambil kebijakan di Kabupaten. Indramayu untuk mengembangkan Organisasi Pembelajar di sekolah- sekolah dalam upaya mewujudkan sekolah efektif.


(20)

17

E. Asumsi Penelitian

Perwujudan sekolah efektif sangat ditentukan oleh efektivitas kepala sekolah untuk mengembangakan guru-guru secara terus menerus. Di bawah ini beberapa asumsi yang menguatkan mengenai perlunya penelitian mengenai sekolah efektif melalui Organisasi Pembelajar

Sekolah efektif adalah sekolah yang berupaya untuk memberikan layanan KBM yang bermutu yang menekankan pada peran kepemimpinan sekolah untuk mewujudkan lingkungan sekolah yang kondusif. Lawrence W. Lezzote mengungkapkan: “In the effective school there is an orderly, purposeful, businesslike atmosphere which is free from the threat of physical harm. The school climate is not oppressive and is conducive to teaching and learning.” [tersedia online: http://www.effectiveschools.com/main/resources/resources-44-45.htm].

Lebih jauh, Lipham. James M (1981), mengungkapkan: The principal is a pivotal figure in the school and is the one who most affects the quality of teacher performance and student achievement. The author concludes that the studies reviewed demonstrate that the principal is a key factor in the success of the school.

[Tersedia online: http://www.eric.ed.gov/ERICWebPortal/custom/ portlets/recordDetails/detailmini.jsp?_nfpb=true&_&ERICExtSear ch_SearchValue_0=ED207131&ERICExtSearch_SearchType_0=n o&accno=ED207131].

Perwujudan sekolah efektif melalui pendekatan Organisasi Pembelajar pada hakikatnya upaya untuk meningkatkan mutu sekolah melalui peran pembelajaran SDM sekolah secara terus menerus,


(21)

18

sehingga mereka dapat memenuhi berbagai tuntutan pekerjaan. Pembelajaran bagi SDM dalam organisasi merupakan upaya sistematis dan sistemik dengan berbagai pendekatan sesuai dengan karakteristik organisasi sekolah masing-masing.

Pada intinya setiap personil sekolah belajar mengenai berbagai hal terkait dengan bagaimana pekerjaannya dapat lebih baik, dengan fokusnya pada upaya pemecahan berbagai permasalahan yang dihadapi dan dilakukan secara berkelompok. Secara khusus kepala sekolah memiliki peran yang signifikan dalam memfasilitasi, membina, dan mengembangkan potensi SDM sekolah untuk menjadi pembelajar-pembelajar sejati.

Dalam pandangan Senge (1990:139-233) pembelajaran dalam organisasi akan berjalan efektif, efisien, dan produktif apabila didukung oleh lima disiplin yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, yaitu: personal mastery, mental models, shared vision, team learning, dan system thinking. Lebih lanjut Senge mengungkapkan bahwa lima komponen tersebut harus dipelajari dan dikuasai agar dapat dipraktekkan. Disiplin adalah suatu jalur pengembangan guna mencapai keterampilan atau kompetensi tertentu.

Sergiovanni dan Staart (1976) mengungkapkan “conceptually, staff development is not something the school does to the teachers, but something the teacher does for himself or herself …. Staff development is basically growth oriented.” Hal ini jelas, bahwa pelaksanaan


(22)

19

pengembangan guru dan tenaga administrasi sekolah (TAS) tidak dapat dilakukan hanya pembinaan dari kepala sekolah saja, akan tetapi bagaimana guru dan TAS sendiri berperan untuk belajar dan saling membelajarkan dengan guru dan TAS yang lainnya. Orientasi akhirnya dari pengembangan guru dan TAS ini adalah pertumbuhan bukan kemapanan pengetahuan. Artinya proses yang terus berkembang dan tidak pernah berhenti.

Pembelajaran yang terjadi di sekolah tidak saja dipengaruhi oleh berbagai permasalahan dari dalam, tetapi juga dipengaruhi secara kentara oleh lingkungan eksternal sekolah. Bahkan pada hal-hal tertentu, lingkungan eksternal menjadi sangat kentara dalam membelajarkan personil sekolah. Semua personil sekolah harus merespon berbagai kelemahan dan tantangan tersebut dengan terus membentuk komunitas belajar yang secara teknis dilakukan melalui upaya pemecahan masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas dengan menjawab apa yang harus dilakukan oleh personil organisasi supaya hasil pekerjaannya lebih baik dan sekolah menjadi lebih bermutu.

Argyris (1992:67) mengungkapkan bahwa pembelajaran itu terjadi dalam dua kondisi. Pertama, pembelajaran terjadi jika organisasi memperoleh seperti yang ia inginkan: yaitu ada kesesuaian antara rencana pelaksanaan dan hasil yang dicapai. Kedua, pembelajaran terjadi jika ketidaksesuaian (mismatch) antara keinginan dan hasil


(23)

20

(outcome) itu diidentifikasi dan dikoreksi, yaitu ketidaksesuaian diubah menjadi kesesuaian. Jika kesalahan itu diketahui dan dikoreksi tanpa mempertanyakan atau mengubah nilai-nilai dasar sistem (apakah individu, kelompok, antar kelompok, organisasi atau antar organisasi) pembelajaran itu ialah single loop. Jika dalam proses koreksi itu dilakukan pemeriksaan dan pengubahan atas penyebab-penyebabnya, pembelajaran yang terjadi disebut sebagai double loop.

Demikianlah asumsi-asumsi di atas yang dikutip berdasarkan

asumsi teoritik dan asumsi empiris dari para ahli di bidangnya sebagai

konsep dasar dalam menentukan hipotesis penelitian ini.

F. Kerangka Konseptual Penelitian

Istilah kerangka konseptual penelitian identik dengan kerangka berpikir atau paradigma, yang memiliki peran sebagai theoretical perspective; a systematic sets of beliefs, dan penerapan boundaries of study. (Miles & Hubermen, 1992:33). Batasan studi (boundaries of study) ini berfungsi sebagai theoretical leads dalam menemukan dan mengembangkan hipotesis baru dan berposisi mengenai apa yang dilihat dan didengar.

Atas dasar hal tersebut di atas, Grand Theory yang akan dijadikan sebagai bahan dasar dalam penelitian ini adalah sekolah


(24)

21

efektif yang dikembangkan oleh Ronald Edmonds dan teori Learning Organization (LO) / Organisasi Pembelajar (OP) yang dikembangkan oleh Petter Senge dan Nonaka, Toyama, dan Byosiere.


(25)

22

Gambar 1.1. Kerangka Pikir Penelitian

22

TUNTUTAN LINGKUNGAN INTERNAL SEKOLAH IKEKUATAN DAN KELEMAHAN) 1. Visi, misi, dan tujuan sekolahi

2. Sumber daya sekolah (SDM dan Non-SDM)i

3. Tuntutan stakeholder (siswa, orang tua, Pemda, Perguruan Tinggi)

4. Dan lain-lain.

TUNTUTAN LINGKUNGAN EKSTERNAL SEKOLAH IPELUANG DAN ANCAMAN) 1. Peraturan perundang-undangan terkait

dengan penyelenggaraan sekolah (UUSPN No. 20/2003, PP SNP No. 19/2005, UU GD No. 14/2005, PP, no. 63 tahun 2009 ttg SPM Pendidikan.

2. Sosial, budaya, politik, ekonomi, dll. 3. Competitor

UPAYA PEMENUHAN TUNTUTAN INTERNAL DAN EKSTERNAL OLEH

SEKOLAH

Kepala sekolah,Guru, Siswa, TU,Komite sekolah 1.Mental Model 2.Shared Vision 3.Personal Mastery 4.Team Learning 5.System Thingking SEKOLAH EFEKTIF 1.Optimalisasi capaian Tujuan dan Target. 2.Capabilitas Pimpinan. 3.Tercapai harapan guru. 4.Tercapai PAKEM. 5.Meningkatnya

kepedulian, mutu guru dan kepala sekolah. 6.Prestasi Akademik meningkat. •Kepala Sekolah sebagai Desainer •Kepala sekolah sebagai Guru •Kepala sekolah sebagai Pelayan KARAKTERISTIK KONSEP ORGANISASI PEMBELAJAR KONDISI AKTUAL

•Kelulusan UN SMA Kab. Indramayu Tahun 2008/2009 99,94 %

•Nilai tertinggi UN SMA contoh : IPA Kab.Indramayu 8,60 sedangkan tertinggi di Jawa Barat 9,40 •Kinerja Kepsek SMA, A=8, B=12,

dan C=0 .

•Sekolah belum dijadikan sebagai Organisasi Pembelajar (OP)

GAP PERFORMANCE

KONDISI IDEAL

• Kelulusan UN SMA Kab.Indramayu 100 %

• Nilai UN SMA Kab. Indramayu tertinggi tk nasional,minimal Jabar • Nilai kinerja kepsek SMA Kab.

Indramayu rata-rata A

• Sekolah harus dijadikan sebagai Organisasi Pembelajar (OP)


(26)

23

Kerangka di atas menunjukkan bahwa sekolah efektif, yakni sekolah yang memfokuskan perbaikan layanan KBM, merupakan tuntutan yang nyata bagi sekolah-sekolah saat ini. Upaya pencapaian sejumlah karakteristik sekolah efektif akan selalu dihadapkan pada keterbatasan potensi dan kemampuan SDM sekolah yang dipenuhi melalui tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Sekolah juga memiliki berbagai keterbatasan lainnya selain keterbatasan SDM, seperti: fasilitas, hubungan dengan masyarakat, sistem informasi sekolah, dan sebagainya. Di sisi lain sekolah dituntut untuk memenuhi standar nasional pendidikan (SNP) sebagaimana diundangkan melalui PP 19/2005.

Upaya untuk memecahkan berbagai permasalahan dengan segala sumber daya dan keterbatasan organisasi sekolah secara strategis tiada lain harus mengembangkan Organisasi Pembelajar di sekolah. OP akan memunculkan kesanggupan SDM sekolah untuk memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing SDM. Ujungnya adalah memberikan kepuasan kepada pelanggan sekolah, sehingga sekolah dapat menjadi sekolah yang lebih bermutu. Intinya semua SDM sekolah harus berkontribusi terhadap perwujudan sekolah efektif. Dalam hal ini, Rosenholtz (1989:73) mengemukakan:

In effective schools, collaboration is linked with norms and opportunities for continuous improvement and career-long


(27)

24

learning: “It is assumed that improvement in teaching is a collective rather than individual enterprise, and that analysis, evaluation, and experimentation in concert with colleagues are conditions under which teachers improve”

G. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan beberapa asumsi penelitian yang telah dikemukakan terdahulu maka rumusan hipotesis yang merupakan dugaan sementara peneliti terhadap masalah penelitian dan selanjutnya dibuktikan melalui penelitian adalah “Sekolah Efektif pada SMA di Kabupaten Indramayu dapat diwujudkan melalui Organisasi Pembelajar”

Berikut adalah hipotesis secara rinci dari variable bebas peran kepala sekolah dalam Organisasi Pembelajar yang dilihat melalui 3 (tiga) komponen, yaitu : Kepala Sekolah sebagai Desainer dalam Organisasi Pembelajar, Kepala Sekolah sebagai Guru dalam Organisasi Pembelajar, dan Kepala Sekolah sebagai Pelayan dalam Organisasi Pembelajar. Sedangkan variabel terikat adalah mutu sekolah yang dilihat dari indikator mutu proses dan mutu hasil, yaitu Sekolah Efektif.


(28)

25

Gambaran paradigma penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut:

R X123Y

Gambar 1.2. Hubungan antara variable penelitian

Merujuk pada paradigma di atas, hipotesis penelitian dapat dinyatakan sebagai berikut:

1. H0: Variabel Kepala Sekolah sebagai Desainer Organisasi Pembelajar (X1) tidak berkontribusi signifikan terhadap perwujudan sekolah efektif (Y) di Kabupaten Indramayu.

H1: Variabel Kepala Sekolah sebagai Desainer dalam Organisasi Pembelajar (X1) berkontribusi signifikan terhadap perwujudan sekolah

Kepala Sekolah sebagai Desainer

OP (X1)

Kepala sekolah sebagai guru OP

(X2)

Kepala sekolah sebagai Pelayan OP

(X3)

Sekolah Efektif (Y) r2 X1Y

r2 X2Y

r2 X3Y

R2X123Y r X1X2

rX2X3

r X

1X

3

ε

r X1Y

rX2Y


(29)

26

efektif (Y) di Kabupaten Indramayu.

2. H0: Variabel Kepala Sekolah sebagai Guru dalam Organisasi Pembelajar (X2) tidak berkontribusi signifikan terhadap perwujudan sekolah efektif (Y) di Kabupaten Indramayu.

H1: Variabel Kepala sekolah sebagai Guru dalam Organisasi Pembelajar (X2) berkontribusi signifikan terhadap perwujudan sekolah efektif (Y) di Kabupaten Indramayu.

3. H0: Variabel Kepala sekolah sebagai Pelayan dalam Organisasi Pembelajar (X3) tidak berkontribusi signifikan terhadap perwujudan sekolah efektif (Y) di Kabupaten Indramayu.

H1: Variabel Kepala sekolah sebagai Pelayan dalam Organisasi Pembelajar (X3) berkontribusi signifikan terhadap perwujudan sekolah efektif (Y) di Kabupaten Indramayu.

4. H0 : Variabel Kepala sekolah sebagai Desainer (X1), Guru (X2), dan

Pelayan (X3) dalam Organisasi Pembelajar tidak berkontribusi

signifikan terhadap perwujudan sekolah efektif di Kabupaten Indramayu

H1: Variabel Kepala sekolah sebagai Desainer (X1), Guru (X2), dan

Pelayan (X3) dalam Organisasi Pembelajar secara bersama sama

berkontribusi signifikan terhadap perwujudan sekolah efektif (Y) di Kabupaten Indramayu.


(30)

106

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian mengenai sekolah efektif dan peran pemimpin organisasi dalam Organisasi Pembelajar (OP) adalah penelitian yang mencoba mengungkapkan bagaimana peran-peran yang harus dilakukan oleh Kepala SMA melalui OP untuk mewujudkan sejumlah kriteria sekolah efektif. Untuk memperoleh hasil penelitian yang baik, perlu dipikirkan mengenai metode penelitian yang paling tepat dilakukan dalam memecahkan masalah penelitian ini. Lebih jauh, penelitian ini mencoba memecahkan masalah optimalisasi peran kepala sekolah dalam mewujudkan sejumlah Standar Nasional Pendidikan di Kabupaten Indramayu.

A. Metode Penelitian

Dalam arti kata yang sesungguhnya metode (Yunani : methodos) adalah cara atau jalan. Sehubungan dengan upaya ilmiah, metode menyangkut masalah cara kerja yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran penelitian. Metode penelitian sering dikacaukan dengan prosedur penelitian atau teknik penelitian. Hal ini disebabkan karena ketiga hal tersebut saling berhubungan dan sulit untuk dibedakan. Prosedur penelitian menggambarkan tentang urutan pekerjaan yang harus dilakukan dalam suatu penelitian. Teknik penelitian mengatakan alat-alat ukur yang diperlukan, sedangkan metode penelitian memandu peneliti tentang


(31)

urut-107

urutan bagaimana penelitian dilakukan (Moh. Nazir, 1983:51). Dengan kata lain metode penelitian membicarakan mengenai tata cara pelaksanaan penelitian. Dengan demikian metode penelitian ini melingkupi prosedur dan teknik penelitian.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Dengan metode ini, hubungan antara variable akan diteliti dan dijelaskan, mengingat penelitian ini ditujukan untuk mengetahui adanya kontribusi antara masing-masing variabel Organisasi Pembelajar terhadap mutu sekolah. Melalui metode ini, berbagai fakta dideskripsikan agar jelas keadaan atau kondisinya. Sebagaimana dikemukakan oleh Nawawi (1998 : 63) bahwa metode deskriptif diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subyek/obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan statistik deskriptif dan korelasional. Pendekatan kuantitatif ditujukan untuk mencari dan membuktikan kontribusi peran kepala sekolah dalam Organisasi Pembelajar untuk mewujudkan sekolah efektif di Kabupaten Indramayu. Sugiyono (2005:21) mengemukakan bahwa :

Statistik deskriptif adalah statistik yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap obyek yang diteliti melalui data sampel atau populasi sebagaimana adanya, tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum.


(32)

108

Adapun metoda pengumpulan data kuantitatif menurut Millan dan Schumacher (1998 : 180) meliputi kuesioner, wawancara terstruktur, tes-tes, observasi terstruktur, inventaris-inventaris, skala rating dan ukuran biasa. Jujun Suriasumantri (Sugiyono, 2001: 12-13), mengemukakan bahwa penelitian kuantitatif didasarkan pada paradigma positivisme berdasarkan asumsi mengenai objek empiris, asumsi tersebut adalah :

1. Objek/fenomena dapat diklasifikasikan menurut sifat, jenis, struktur, bentuk, warna dan sebagainya. Berdasarkan asumsi tersebut, maka penelitian dapat memilih variabel tertentu sebagai objek penelitian

2. Determinisme (hubungan sebab akibat), asumsi ini menyatakan bahwa setiap gejala ada penyebabnya, berdasarkan asumsi pertama dan kedua, maka penelitian dapat memilih variabel yang diteliti dan menghubungkan variabel satu dengan yang lainnya

3. Suatu gejala tidak mengalami perubahan dalam waktu tertentu. Kalau gejala yang diteliti tersebut berubah terus maka akan sulit dipelajari

B. Definisi Operasional Penelitian

Agartidak terdapat salah pengertian atau kekeliruan terhadap istilah-istilah yang terdapat dalam penelitian ini, dipandang perlu untuk menjabarkan maksud dari istilah-istilah tersebut. Moh. Nazir (2005: 126) menyatakan :

Definisi operasional adalah suatu definisi yang diberikan kepada suatu variabel atau konstrak dengan cara memberikan arti, atau menspesifikasikan kegiatan, ataupun memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur konstrak atau variabel tersebut.


(33)

109

Berdasarkan pendapat di atas, definisi operasional merupakan definisi yang dibuat oleh peneliti terhadap varibel yang akan diteliti yang bertujuan untuk memberikan batasan yang tegas dan menjadi panduan atau kriteria untuk mengukur variabel tersebut.

Dalam penelitian ini terdapat empat istilah yang perlu dijabarkan yakni (1) Kepala Kekolah sebagai Desainer dalam Organisasi Pembelajar, (2) Kepala Sekolah sebagai Guru dalam Organisasi Pembelajar, (3) Kepala Sekolah sebagai Pelayan dalam Organisasi Pembelajar, dan (4) Sekolah efektif.

1. Kepala Sekolah sebagai Desainer dalam Organisasi Pembelajar

Kepala sekolah sebagai Desainer dalam Organisasi Pembelajar, merujuk pada peran pemimpin organisasi yang dikemukakan oleh Senge (1990). Dalam konteks Organisasi Pembelajar, peran pemimpin sebagai Desainer menurut Senge (1990:274) adalah :

The essence of the new role, I believe, will be what we might call manager as researcher and designer. What does she or he research? Understanding the organization as a system and understanding the internal and external forces driving change. What does she or he design? The learning processes whereby managers throughout the organization come to understand these trends and forces.

Pandangan Senge di atas dapat dipahami bahwa esensi peran baru (Designer) yang diyakini Senge adalah apa yang disebut manajer sebagai peneliti dan desainer. Apa yang manajer teliti? Memahami organisasi sebagai suatu system dan memahami pendorong perubahan baik internal maupun eksternal. Apa yang manajer desain? Proses belajar melalui organisasi, dimana manajer menjadi paham terhadap trend-trend dan kekuatan-kekuatan organisasi.


(34)

110

Dalam penelitian ini, peran kepala sekolah sebagai designer/ desainer organisasi pembelajar adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh kepala SMA untuk memahami sekolah sebagai suatu sistem dan berbagai faktor yang mempengaruhinya serta proses-proses Kepala SMA memahami trend-trend dan kekuatan-kekuatan sekolah.

2. Kepala Sekolah sebagai Guru dalam Organisasi Pembelajar

Pemimpin sebagai Guru dalam Organisasi Pembelajar diungkapkan oleh Senge (1990:330) adalah orang yang tanggungjawabnya adalah mendefinisikan realitas atau kenyataan dan secara terus-menerus memupuk belajar dan berkomitmen untuk terus menjadi pembelajar sejati. Realitas dimaknai sebagai kondisi-kondisi berikut: tekanan yang muncul dalam organisasi baik karena persaingan internal maupun eksternal, krisis yang harus direspon, dan keterbatasan-keterbatasan individu dan organisasi yang harus diterima.

Pemimpin seperti membantu orang di semua lini organisasi mengembangkan pemahaman sistemik. Senge (1990:331) menekankan: “But leaders of learning organizations must do more than just formulate strategies to exploit emerging trends. They must be able to help people understand the systemic forces that shape change.”

Dalam penelitian ini, kepala sekolah sebagai Guru dalam Organisasi Pembelajar adalah upaya Kepala SMA dalam memberikan pemahaman mengenai berbagai tuntutan internal dan eksternal terhadap sekolah, krisis


(35)

111

yang harus direspon oleh sekolah, dan keterbatasan-keterbatasan nyata individu-individu sekolah dan sekolah itu sendiri kemudian mengembangkan strategi untuk memecahkan masalah yang dihadapi tersebut.

3. Kepala Sekolah sebagai Pelayan dalam Organisasi Pembelajar

Kepala Sekolah sebagai Pelayanan dalam Organisasi Pembelajar menurut Senge (1990:321) : “The best way to appreciate the ‘leader as steward’ in the context of building learning organizations is to see the way individuals committed to such work describe their own sense of purpose.” Pandangan Senge ini dapat dipahami bahwa cara terbaik untuk mengapresiasi ‘pemimpin sebagai pelayan’ dalam konteks membangun organisasi pembelajar adalah dengan melihat cara individu-individu berkomitmen terhadap pekerjaannya yang menggambarkan tujuan mereka sendiri. Dalam konteks ini maka teori Getzel dan Guba merupakan teori yang paling dasar untuk melihat komitmen seseorang terhadap tujuan dirinya dengan tujuan organisasinya. Seorang pelayan dari visi adalah seseorang yang terus-menerus memberitahukan dan menceritakan kembali "cerita tujuan" organisasi. Pemimpin ini memastikan bahwa lingkungan tetap "berbasis nilai dan didorong oleh visi."

Dalam penelitian ini, Kepala Sekolah sebagai Pelayan dalam Organisasi Pembelajar adalah upaya kepala sekolah dalam menceritakan secara terus menerus mengenai tujuan organisasi yang harus dicapai bersama, baik untuk menghidupi pikiran dan motivasi dirinya sendiri maupun untuk


(36)

112

menghidupi para guru, staf, tenaga TU, para orang tua, dan pengurus komite sekolah.

4. Sekolah Efektif

Sekolah efektif menurut Ronald Edmonds and Lawrence Lezotte (1985,1) An effective school as one which demonstrates the following criteria: (1) 95 (or greater) percent of all students at each grade level demonstrate minimum academic mastery and are prepared to succeed in the next grade anywhere in the United States; (2) there shall be no significant difference in the proportion of students demonstrating minimum academic mastery as a function of socioeconomic class; and (3) the above two conditions have been obtained for a minimum of three consecutive years.

Definisi sekolah efektif dari Edmons dan Lezotte dapat dimaknai bahwa sekolah efektif itu adalah sekolah yang mampu memiliki tiga kriteria, yaitu: (1) 95% atau lebih siswa mampu menguasai akademik dan memiliki kesiapan untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya. (2) tidak ada beda antara siswa yang kaya maupun yang miskin dilihat dari penguasaan akademiknya. (3) dua kondisi di atas telah dicapai oleh sekolah minimal selama tiga tahun berturut-turut.

Dalam penelitian ini, sekolah efektif adalah SMA-SMA yang mampu memiliki kriteria (a) Instructional Leadership (kepemimpinan pengajaran), (b) Clear and Focused Mission (misi yang jelas dan fokus), (c) Safe and Orderly Environment (lingkungan yang aman dan tertib), (d) Climate of High Expectations (iklim yang menunjukkan ekspektasi tinggi), (e) Frequent Monitoring of Student Progress (monitoring kemajuan siswa secara rutin), (f) Positive Home-School Relations (hubungan sekolah dan rumah yang positif),


(37)

113

(g) Opportunity to Learn and Student Time on Task (kesempatan untuk belajar dan waktu siswa pada tugas sekolah).

C. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi berasal dari kata bahasa Inggris Population yang berarti jumlah penduduk. Dalam metode penelitian populasi digunakan untuk menyebutkan serumpun atau sekelompok objek yang menjadi sasaran penelitian. Oleh karenanya populasi penelitian merupakan keseluruhan dari objek penelitian yang dapat berupa manusia, hewan, tumbuhan, udara, gejala, nilai, peristiwa, sikap hidup, dan sebagainya, sehingga objek-objek tersebut bisa menjadi sumber data (Burhan Bungin, 2005:141)

Data yang digunakan dalam penelitian dapat berupa populasi (universe) atau sampel. Iqbal Hasan (2002:58) menjelaskan perbedaan antara populasi dan sampel. Populasi adalah totalitas dari semua objek atau individu yang memiliki karakteristik tertentu, jelas dan lengkap yang akan diteliti, sedangkan sampel adalah bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu yang juga memiliki karakteristik tertentu, jelas dan lengkap yang dianggap bisa mewakili populasi. Objek atau nilai yang diteliti dalam sampel merupakan unit sampel.

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh SMA di Kabupaten Indramayu. Untuk kepentingan penggalian data, akan digunakan teknik sampling cluster stratified random sampling. Cluster akan dilakukan pada sekolah-sekolah yang telah memiliki lulusan. Stratified dilakukan pada masing-masing unsur responden. Random akan dilakukan pada pemilikan responden yang ada di sekolah.


(38)

114

Jumlah SMA Negeri yang ada di Kabupaten Indramayu sebanyak 52 sekolah. Rincian sekolah adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1

SMA Negeri dan Swasta yang dijadikan populasi penelitian

!""#$!""% !""%$!""& !""&$!""'

Sampel Sampel

! " " # $% Bukan

sampel & # "

' Sampel

( %)* * + Sampel

, &-* & Sampel

,* - ) * *. # Bukan

sampel ' ! " ) & / "0 1 Sampel

1 - & + & ! * Sampel

# *& ,

, Sampel

- 2 * # 3 1 ' Sampel

( & * %

4 - Sampel

* ' Sampel

, &% 5 " Sampel

, 3 - 1 Sampel

&* # - %

Sampel

6 " + Bukan

sampel

' " 7 " Sampel

1 # 3 %

% ' 1 Sampel

8 . Sampel

% 9 * 1 Bukan

sampel

6 & : " Bukan

sampel

6 & , + Sampel

; " % ## % ( %)* * " Sampel

< 3 ( %)* * Sampel

( && " % ( "3 93* Sampel

% , & .*# -% '1 '' Sampel

' 6 , & .*# 9 7 " Sampel


(39)

115

!""#$!""% !""%$!""& !""&$!""'

8 ,* - ) * - + ' Sampel

8 - % " 1 Sampel

5 8" , Bukan

sampel 8 ! " " 5 %

Sampel

% ! " ) & * Sampel

8 ! " ) & 1 Bukan

sampel 4 ..

,* " *

, " 9- "

1 1 Sampel

,6

,* " * ## % ! # # 1 Sampel

' * & +

7 ) # = &

Bukan sampel 1 #> %# % 5 &

$% #

% 5

-Sampel

% # *& 5 $ Bukan

sampel

8 7 8 , # . Sampel

8 && # <

5 % Bukan

sampel 6 : -* & * +

-1 Sampel

# 5 3" % #

8# # - 1 Sampel

4 : - ' Bukan sampel "> ?+ , &% - " 1 Sampel # , &% 5 % Sampel

' 6 6 ) +*" , # Bukan

sampel

1 % &* # % Sampel

# ; - 5 & 9 ' Sampel

6 " # # & ' 1 ' Bukan

sampel

8 - . & 1 Sampel

Tidak semua SMA secara otomatis menjadi sampel penelitian, tetapi sekolah tersebut harus memenuhi dua kriteria berikut: (1) kepala sekolah yang memimpin sekolah adalah mereka yang tidak dipindahkan dalam kurun dua tahun, (2) sekolah yang dijadikan sampel harus sekolah baru tetapi sekolah yang sudah


(40)

116

menghasilkan lulusan. Berdasarkan kondisi yang ada, sampel sekolah sebanyak 39 SMA sebagai berikut:

Tabel 3.2

Sampel SMA yang memenuhi kriteria penelitian

!""#$!""% !""%$!""& !""&$!""'

Sampel Sampel

& # " '

Sampel

( %)* * + Sampel

, &-* & Sampel

! " ) & / "0 1 Sampel

- & + & ! * Sampel

' # *&

,

, Sampel

1 - 2 * # 3 1 ' Sampel

( & * %

4 - Sampel

* ' Sampel

, &% 5 " Sampel

, 3 - 1 Sampel

&* # - %

Sampel

" 7 " Sampel

# 3 %

% ' 1

Sampel

8 . Sampel

' 6 & , + Sampel

1 ; " % ## % ( %)* * " Sampel

< 3 ( %)* * Sampel

( && " % ( "3 93* Sampel

% , & .*# -% '1 '' Sampel

6 , & .*# 9 7 " Sampel

8 , .# & % # % 1 ' Sampel

8 ,* - ) * - + ' Sampel

8 - % " 1 Sampel

8 ! " " 5 %

Sampel

' % ! " ) & * Sampel


(41)

117

!""#$!""% !""%$!""& !""&$!""'

,* " * ,6

,* " * ## % ! # # 1 Sampel

#> %# % 5 & $% #

% 5

-Sampel

8 7 8 , # . Sampel

6 : -* & * + - 1

Sampel # 5 3" % #

8# # - 1 Sampel

"> ?+ , &%

- "

1

Sampel #

, &%

5 %

Sampel

% &* # % Sampel

' # ; - 5 & 9 ' Sampel

1 8 - . & 1 Sampel

Setelah dilakukan cluster, langkah selanjutnya adalah membuat strata. Berdasarkan strata responden penelitian dapat dikategorikan sebagai berikut: (1) guru (2) kepala sekolah, (3) komite sekolah, (4) tenaga administrasi sekolah, dan (5) peserta didik. Dengan mempertimbangkan jumlah responden yang menjadi populasi dan keabsahan dalam pengisian instrumen, maka tidak semua orang yang berada pada strata tersebut menjadi responden penelitian, tetapi harus memenuhi syarat minimal sudah 2 sampai 5 tahun di sekolah yang bersangkutan. Khusus untuk siswa sudah 3 tahun di sekolah yang bersangkutan. Kriteria ini ditujukan untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, dapat diketahui responden penelitian berdasarkan strata sebagai berikut:


(42)

118

Tabel 3.3

Strata Sampel Penelitian

No Kelompok Strata Kriteria Keterangan

1.

Kepala Sekolah Sudah 2 tahun menjadi kepala sekolah pada sekolah terakhir

39 SMA (negeri dan swasta)

2. Guru Guru yang sudah bertugas

pada sekolah yang bersangkutan minimal 5 tahun

Mewakili guru senior dan yunior

3.

Tenaga Administrasi Sekolah

Minimal sudah bekerja 5 tahun pada sekolah yang dijadikan sampel

Mewakili TAS senior dan yunior 4.

Komite Sekolah Ketua komite sekolah 39 SMA (negeri dan swasta) 5.

Siswa Kelas 3 39 SMA (negeri

dan swasta)

Penentuan sampel lebih lanjut akan menggunakan rumus sebagaimana yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (2002:92) sebagai berikut :

1

Keterangan :

n : Jumlah Sampel yang dicari N : Jumlah Populasi

d : Penyimpangan terhadap populasi

Dengan menggunakan rumus dari Notoadmodjo di atas, hasil penghitungan sampel penelitian adalah sebagai berikut :


(43)

119

N : 39 KS + 780 Guru + 328 TU + 39 komite sekolah + 1560 siswa = 2746 d : 0,5

Berdasarkan data tersebut dengan menggunakan rumus sebagaimana dikemukakan oleh Notoatmodjo, didapat populasi sebesar 378 responden. Sedangkan apabila menggunakan table Krejcie dengan tingkat kesalahan 5 % didapat populasi sebesar 367 responden. Selanjutnya penghitungan populasi akan menggunakan hasil penghitungan dengan rumus dari Notoatmodjo. Dari jumlah 367 responden tersebut kemudian dibagi kepada strata, sehingga didapat sejumlah responden sebagai berikut :

Kepala Sekolah 367 5

Guru 367 104

Tenaga Administrasi Sekolah 367 44

Komite Sekolah 367 5

Siswa 367 209

D. Teknik Pengumpulan Data

Data merupakan keterangan-keterangan tentang suatu hal yang dapat berupa sesuatu yang dapat diketahui atau yang dianggap atau anggapan (Iqbal Hasan, 2002:82). Data yang digunakan dalam penelitian ini umumnya adalah data primer dan data sekunder sebagai pelengkap. Karena penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, maka data yang dikumpulkan adalah data kuantitatif. Untuk memperoleh data penelitian, teknik pengumpulan data yang digunakan


(44)

120

dalam penelitian ini adalah angket (kuesioner) dan Studi dokumentasi yang menunjukkan kemampuan profesional guru dan motivasi berprestasi.

Angket yaitu merupakan serangkaian atau daftar pertanyaan yang disusun secara sistematis kemudian dikirim untuk diisi oleh responden, bentuk umum : pendahuluan berisi petunjuk mengisi angket, bagian identitas responden dan bagian isi angket. Angket terbagi menjadi angket langsung tertutup dan terbuka. Dalam penelitian ini cenderung menggunakan angket langsung tertutup yang dirancang sedemikian rupa untuk merekam data tentang keadaan yang dialami oleh responden sendiri dengan alternative jawaban telah tertera dalam angket. Angket (kuesioner) digunakan dalam penelitian ini berdasarkan alasan bahwa responden memiliki waktu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh penulis, setiap responden menghadapi susunan dan cara pengisian yang sama atas pertanyaan yang diajukan, responden memiliki kebebasan dalam memberikan jawaban serta angket (kuesioner) ini dapat digunakan untuk mengumpulkan data atau keterangan dari banyak responden dalam waktu yang tepat. Selain itu digunakan juga metode dokumenter yaitu metode yang digunakan untuk menelusuri data histories seperti: capaian hasil UN, hasil UAS, prestasi non akademik, dan lain sebagainya.

Melalui teknik ini akan dikumpulkan data berdasarkan jawaban tertulis dari responden atas sejumlah pertanyaan yang diajukan dalam angket tersebut. Indikator-indikator merupakan penjabaran dari variabel kemampuan profesional guru, motivasi berprestasi dan kinerja guru merupakan materi pokok yang diramu menjadi sejumlah pertanyaan di dalam angket.


(45)

121

E. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan suatu proses dalam memperoleh data ringkasan atau angka ringkasan dengan menggunakan cara-cara atau rumus-rumus tertentu. Pengolahan data pada penelitian ini meliputi berbagai kegiatan antara lain :

1. Editing, adalah pengecekan atau pengoreksian data yang telah dikumpulkan, karena kemungkinan data yang masuk (raw data) atau data terkumpul itu tidak logis dan meragukan. Tujuannya untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan yang terdapat pada pencatatan di lapangan dan bersifat koreksi. Kekurangan data atau kesalahan data dapat dilengkapi atau diperbaiki baik dengan pengumpulan data ulang ataupun dengan interpolasi (penyisipan).

2. Coding, adalah pemberian / pembuatan kode-kode pada tiap-tiap data yang termasuk dalam kategori yang sama. Kode adalah syarat yang dibuat dalam bentuk angka-angka / huruf-huruf yang memberikan petunjuk atau identitas pada suatu informasi atau data yang akan dianalisis.

3. Tabulasi adalah membuat tabel-tabel yang berisikan data yang telah diberi kode, sesuai dengan analisis yang dibutuhkan. Untuk melakukan tabulasi ini diperlukan ketelitian dan kehati-hatian agar tidak terjadi kesalahan, khususnya dalam tabulasi silang.

F. Instrumen Penelitian

Pada prinsipnya meneliti adalah melakukan pengukuran, oleh karena itu harus ada alat ukur yang baik yang biasa dinamakan instrumen penelitian.


(46)

122

Sugiyono (2002: 84) mengemukakan bahwa instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati. Secara spesifik semua fenomena ini disebut variabel penelitian. Instrument yang akan digunakan dalam pengukuran fenomena nyata adalah instrument tidak langsung berupa angket. Hal ini terkait dengan data yang diharapkan didapat dari lapangan berupa kondisi keseharian yang dilakukan oleh masing-masing responden.

1. Uji Validitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat keabsahan dan kevalidan suatu alat ukur atau instrumen penelitian. Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur mampu mengukur apa yang akan diukur dalam suatu penelitian (Singaribun, 1995 :124).

Uji validitas yang dipilih dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan rumus korelasi product moment dari Pearson untuk menentukan dan mengetahui berapa besar koefisien korelasi dan kekuatan pengaruh antara variabel independen terhadap variabel dependen. Adapun rumus Pearson yang digunakan sebagai berikut :

( )( )

( )

{

2 2

}

{

2

( )

2

}

xy N N N r Υ ∑ − Υ ∑ Χ ∑ − Χ ∑ Υ ∑ Χ ∑ − ΧΥ ∑ = Keterangan :


(47)

123

r = Koefisien Korelasi

∑X = Jumlah skor item

∑Y = Jumlah skor total/seluruh item n = Jumlah responden

Di mana X dan Y merupakan variabel-variabel yang akan dikorelasikan, rxy merupakan koefisien korelasi. Setelah nilai korelasi (rxy) diperoleh, kemudian nilai rxy dibandingkan dengan nilai r tabel dengan derajat kesalahan 5% atau 1%. Adapun kaidah keputusannya adalah sebagai berikut ; Bila rxy > dari r tabel, maka alat ukur atau instrumen penelitian yang digunakan adalah valid.

Rumus tersebut di atas, baik pengolahan, pengujian maupun analisis data untuk membuktikan tingkat validitas, dilakukan dengan menggunakan alat bantu Program SPSS.

2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana alat ukur atau instrumen penelitian dapat dipercaya atau diandalkan dalam kegiatan pengumpulan data (Singarimbun, 1995:140). Pengujian reliabilitas pada instrumen penelitian ini didasarkan atas pendapat Sugiyono (2001: 109) yaitu dilakukan dengan internal consistency melalui Teknik Belah Dua (Spit half). Butir-butir pada masing-masing variabel data intrumen dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ganjil dan kelompok genap, selanjutnya disusun skor data tiap kelompok.


(48)

124

Masing-masing kelompok skornya dijumlahkan sehingga diperoleh skor total dari tiap-tiap variabel. Skor total ini dicari korelasinya, setelah didapat nilai koefisien korelasi dimasukkan ke dalam rumus Spearman Brown sebagai berikut :

2. 1

Keterangan :

ri = reliabilitas internal seluruh instrumen

rb = korelasi product moment antara kelompok ganjil dan kelompok genap

Setelah diperoleh nilai ri selanjutnya dibandingkan dengan harga tabel rho, apabilailai ri lebih besar dari tabel rho maka intrumen dinyatakan reliabel. Rumus tersebut di atas, baik pengolahan, pengujian maupun analisis data untuk membuktikan tingkat reliabilitas, dilakukan dengan menggunakan alat bantu Program SPSS.

Hasil uji validitas dan realibilitas secara keseluruhan dapat dilihat dengan memperhatikan angka pada corrected item-total correlation, yang merupakan korelasi antara skor item dengan skor total item. misalnya korelasi item no1 terhadap skor totalnya adalah sebesar 0,7637. interpretasinya yaitu dengan cara mengkonsultasikan dengan r tabel. Sebuah item dikatakan valid apabila r hitung lebih besar dari nilai r tabel. Perhitungan keseluruhan hasil uji validitas semua variabel dapat dilihat pada lampiran disertasi ini.


(49)

125

3. Uji Normalitas Data

Untuk menguji apakah data hasil penelitian normal atau tidak, terlebih dahulu data mentah yang sudah dijadikan skor dikonversi ke dalam data baku. Proses ini dilakukan dengan menghitung skor mentah melalui rumus

Keterangan :

Ti = Skor simpangan baku

Xi = Data skor dari masing-masing responden X = Rata-rata

S = Simpangan baku

Hasil pengujian normalitas dapat diketahui berdasarkan nilai Asymp. Siq. (2tailed). Bila nilai yang diperoleh lebih besar dari 0,05 berarti variabel yang diuji dapat dikatakan berdistribusi normal. (Test distribution is Normal), dan sebaliknya.

G. Prosedur Pengolahan dan Analisis Data

Kegiatan yang cukup penting dalam keseluruhan proses penelitian adalah pengolahan data. Dengan pengolahan data akan dapat diketahui tentang makna dari data yang berhasil dikumpulkan, sehingga hasil penelitianpun akan segera diketahui. Dalam pelaksanaannya, pengolahan data dilakukan melalui bantuan komputer dengan program SPSS (Statistical Pacakage for Social Science).

Langkah-langkah atau prosedur pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

S

X

Xi

Ti

=

50

+

10

(

)


(50)

126

1. Menyeleksi data agar dapat diolah lebih lanjut, yaitu dengan memeriksa jawaban responden sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan

2. Menentukan bobot nilai untuk setiap kemungkinan jawaban pada setiap item variabel penelitian dengan menggunakan skala penilaian yang telah ditentukan, kemudian menentukan skornya

3. Melakukan analisis secara deskriptif untuk mengetahui kecenderungan data. Dari analisis ini dapat diketahui rata-rata, median, standar deviasi dan varians dari data masing-masing variabel. Untuk mengetahui kecenderungan umum jawaban responden terhadap variabel penelitian digunakan formula sebagai berikut :

! ""#

$% 100%

Keterangan :

P = Prosentase skor rata-rata yang dicari X = Skor rata-rata setiap variabel

Xid = skor ideal setiap variabel

Setelah hasilnya diperoleh, kemudian dikonsultasikan dengan kriteria yang telah ditetapkan sebagaimana dikemukakan oleh Nugraha (1999:69), yaitu:

90% - 100 % = Sangat Tinggi 80% - 89% = Tinggi

70% - 79% = Cukup Tinggi 60% - 69% = Sedang 50% - 59% = Rendah

49% kebawah = Sangat Rendah

4. Untuk mengetahui hubungan antara X1 dengan Y, X2 dengan Y, X3 dengan Y digunakan teknik korelasi. Teknik korelasi yang digunakan adalah Korelasi Pearson Product Moment, dengan rumus sebagai berikut:


(51)

127

{ }{ }

2 2 xy

r

Υ

Χ

ΧΥ

=

5. Untuk mengetahui hubungan antara variabel X1, X2, dan X3, secara bersama-sama terhadap variabel Y digunakan rumus korelasi ganda (multiple correlation)

'" ( ) *" *" *" + 2. *"1 + " " " *" *" . "

6. Uji Regresi, digunakan untuk mencari hubungan fungsional antara variabel. Dalam uji ini digunakan regresi linier sederhana dan regresi linier ganda.

Regresi linier sederhana berguna untuk menguji hipotesis 1 dan 2. Pengujian ini bertujuan untuk mencari pola hubungan fungsional antara variabel X1 dengan Y dan variabel X2 dengan Y. Persamaan regresi linier sederhana dinyatakan dengan rumus

Y = a + bX Keterangan :

Y = Subyek dalam variabel dependen yang diprediksikan a = Harga Y bila X = 0 (harga konstan)

b =Angka arah atau koefisien regresi yang menunjukkan angka peningkatan ataupun penurunan variabel dependen. Bila b (+) maka naik, bila b (-) maka terjadi penurunan.


(52)

128

(Sugiyono, 2000:244)

Sedangkan regresi linier ganda digunakan untuk mencari hubungan fungsional antara variabel X1 dan X2 secara bersama-sama dengan variabel Y. Persamaan regresi ganda yang digunakan adalah regresi ganda dua prediktor, dengan rumus :

Y = a+b1X1 + b2X2+b3X3 +

ε

Keterangan :

Y = Harga variabel Y yang diperkirakan

a = Koefisien intersep (harga konstan apabila X1 dan X2 sama dengan nol)

b = Koefisien regresi untuk X1 , X2, dan X3, harga yang menunjukkan perubahan akan terjadi pada Y


(53)

206 BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Berdasarkan temuan dan pembahasan hasil penelitian pada bab IV, maka didapatkan kesimpulan umum bahwa pengaruh variable X123 (Kepala Sekolah

sebagai Desainer, Guru, dan Pelayan) baik masing-masing variabel (X1, X2, dan

X3) maupun secara bersama-sama, terhadap variable Y (perwujudan sekolah

efektif) menunjukkan hubungan yang positif dan siginfikan. Adapun kesimpulan secara khusus sebagaimana rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut:

1. Hasil uji korelasi variabel X1 (Kepala Sekolah sebagai Desainer dalam Organisasi Pembelajar) terhadap variabel Y (perwujudan sekolah efektif) menunjukkan kondisi kuat dengan koefisien korelasi sebesar 0,710 Hasil perhitungan koefisien determinasi menunjukan besaran kontribusi variabel X1 terhadap Y sebesar 51%. Hal ini mengandung makna bahwa praktik Kepala Sekolah sebagai Desainer dalam Organisasi Pembelajar memiliki pengaruh yang kuat dan siginifikan untuk perwujudan sekolah efektif pada sekolah-sekolah yang diteliti.

2. Hasil uji korelasi variable X2 (Kepala Sekolah sebagai Guru dalam Organisasi Pembelajar) terhadap Y (perwujudan sekolah efektif) menunjukkan hubungan yang kuat diantara dua variabel dengan koefisien korelasi sebesar 0.675. Hasil perhitungan koefisien determinasi menunjukan


(54)

207

variabel X2 berkontribusi 46% terhadap varabel Y. Hal ini dapat disimpulkan bahwa praktik Kepala Sekolah sebagai Guru dalam Organisasi Pembelajar di sekolah yang diteliti berpengaruh kuat dan signifikan terhadap perwujudan sekolah efektif.

3. Hasil uji korelasi antara variabel X3 (Kepala Sekolah sebagai Pelayan dalam Organisasi Pembelajar) terhadap variabel Y (perwujudan Sekolah efektif) menunjukkan hubungan yang kuat dengan koefisien korelasi sebesar 0.694. Hasil perhitungan koefisien determinasi menunjukan varabel X3 berkontribusi 48% terhadap variabel Y. Hal ini dapat disimpulkan bahwa praktik kepala sekolah sebagai Pelayan dalam Organisasi Pembelajar pada sekolah-sekolah yang diteliti memiliki pengaruh yang kuat dan signifikan terhadap perwujudan sekolah efektif.

4. Hasil uji korelasi bersama variabel X1.2.3 (Kepala Sekolah sebagai Desainer, Guru, dan Pelayan) terhadap Y (perwujudan sekolah efektif) menunjukkan kuat dengan koefisien korelasi sebesar 0.773. Hasil perhitungan koefisien determinasi menunjukan variabel X1.2.3 berkontribusi 60% terhadap variabel Y dan 40% lainnya dipengaruhi oleh peran kepala sekolah lainnya, yaitu educator, manager, administrator, supervisor, leader, dan motivator. Ini dapat disimpulkan bahwa secara bersama-sama variabel X1.2.3 (Kepala Sekolah sebagai Desainer, Guru, dan Pelayan) berpengaruh kuat terhadap variabel Y (perwujudan sekolah efektif)


(55)

208

B. Implikasi

Berdasarkan temuan, pembahasan dan kesimpulan penelitian, peneliti memandang sejumlah implikasi penelitian untuk mewujudkan sekolah efektif melalui Organisasi Pembelajar sebagai berikut:

1. Perwujudan sekolah sebagai Organisasi Pembelajar menuntut adanya implementasi peran kepala sekolah sebagai pimpinan sekolah, untuk itu diperlukan penyiapan dan pengembangan kemampuan kepala sekolah dalam mengimplementasikan peran-perannya untuk mewujudakan sekolahnya sebagai organisasi pembelajar bagi warga sekolahnya.

2. Untuk mempercepat waktu dan meningkatkan kualitas perwujudan sekolah efektif, maka diperlukan intensitas perilaku kepala sekolah yang lebih tinggi dalam memerankan berbagai peran dalam Organisasi Pembelajar.

3. Perwujudan sekolah efektif melalui pencapaian berbagai indikator sekolah efektif perlu ditunjang oleh pemahaman dan penyadaran warga sekolah, khususnya kepala sekolah sebagai pemimpin sekolah, terhadap berbagai indikator sekolah efektif.

4. Efektifitas peran kepala sekolah sebagai desainer dalam Organisasi Pembelajar dalam mewujudkan sekolah efektif harus diimbangi dengan pembekalan dan pengembangan kemampuan kepala sekolah dalam menyusun rencana strategis sekolah.

5. Keberfungsian peran kepala sekolah sebagai Guru dalam Organisasi Pembelajar untuk mewujudkan sekolah efektif harus dibarengi dengan


(56)

209

penguatan kapasitas kepala sekolah dalam memahami dan mengarifi semua realitas yang dihadapi oleh sekolah, baik itu realitas yang menunjukkan kondisi menghambat maupun kondisi yang mendukung perwujudan sekolah efektif.

6. Perwujudan sekolah efektif melalui implementasi sekolah sebagai Organisasi Pembelajar mengharuskan perilaku kepala sekolah mampu melaksanakan perannya sebagai pelayan bagi warga sekolah. Untuk itu, maka perilaku kepala sekolah harus menjadi orang yang mampu mendengar visi dari warga sekolahnya dan mampu mengkondisikan visi individu warga sekolah tersebut untuk menjadi visi sekolah.

C. Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan dan implikasi di atas, peneliti mengajukan rekomendasi berupa (1) sebuah kerangka penguatan peran kepala sekolah dalam Organisasi Pembelajar untuk mewujudkan sekolah efektif dan (2) saran bagi Dinas Pendidikan Kab./Kota, Dinas Pendidikan Provinsi, dan Kementerian Pendidikan Nasional bahwa urusan birokrasi kepala sekolah perlu dipetakan secara menyeluruh sehingga dapat diambil suatu ide/solusi untuk lebih menyibukkan kepala sekolah dalam urusan professional sebagai pemimpin sekolah yang berperan sebagai desainer, guru, dan pelayan dalam organisasi pembelajar. (3) saran bagi peneliti lainnya untuk melakukan penelitian pada peran kepala sekolah yang belum diteliti.


(1)

214 efektif, perlu adanya tindakan penguatan peran kepala sekolah dalam hal (1) Perilaku kepala sekolah yang teladan, (2) Penciptaan iklim sekolah yang terbuka, (3) Promosi pengambilan resiko dalam mengelola sekolah, dan (4) Penghindaran rasa takut gagal untuk melakukan suatu hal yang baru dalam merespon tupoksi sebagai warga sekolah. hal ini menjadi perlu bagi kepala sekolah untuk mewujudkan sekolah efektif melalui program penguatan kapasitas peran kepala sekolah dalam Organisasi Pembelajar.


(2)

215

DAFTAR PUSTAKA

Aadne, J.H., von Krogh, G., and Roos, J., ‘Representationism: the traditional approach to cooperative strategies”, Chapter 1 in von Krogh, G., and Roos, J., (eds), Managing knowledge. Perspectives on cooperation and competition, (London, Sage, 1996).

Ary, Donald. 1982. Alih bahasa oleh Arif Furchan. Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.

Athik Illa Qurroti. 2009. Upaya Kepemimpinan Transformasional Menuju Sekolah Efektif; Studi Kasus di MTs Surya Buana Malang. (Tesis PPS Universitas Negeri Malang). Tersedia online: http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view/1534 05 Januari 2010 Bennett, N., Crawford, M., and Riches, C. 1992. Managing Change in Education

and Organizational Perspective. London: The Open University – Paul Chapman Publishing Ltd.

Brennen, Annick M. 2001. A Comprehensive Paper on Staff Development. Online: http://www.soencouragement.org/comprehensive-paper-on-staff-developmemt.htm. 15 Januari 2010.

Burhan Bungin. 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Prenada Media.

Davenport & Prusak, 1998; Rosset, 1999; yang dikutif oleh Noe, Colquitt, Simmering, and Alvarez, 2003, Knowledge Management Developing Intellectual and Social Capital. Dalam Buku: Managing Knowledge for Sustained competitive Advantage: Designing Strategies for Effective Human Resources Management. Jossey Bass: John Wiley & Sons, Inc Direktorat Mandikdasmen Depdiknas RI. 2006. Arah Pengembangan

Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas. Dessler, Garry. 1978. Organizational and Management: A Contingency

Approach. Englewood Cliffs New York: Prentice Hall.

Dierkes, Meinolf., Antal, Ariane, Berthoin., and Nonaka, Ikujiro. 2002. Handbook of Organizational Learning and Knowledge. Great Britain: Oxford University Press.


(3)

216

Domingo, R.T. 1997. Quality Means Survival: Caveat Vendidor, Let The Seller Beware. Singapore: Simon and Schuster (Asia) Pte. Ltd.

Esmahan Agaoglu. The Reflection of the Learning Organization Concept to School of Education. (Turkish Online Journal of Distance Education-TOJDE January 2006 ISSN 1302-6488 Volume: 7 Number: 1 Article: 12.) Fasli Jalal, Makalah Seminar Pendidikan Kejuruan di Universitas Negeri

Gorontalo (27 Februari 2006: 4).

Gourlay, Stephen., 2002, Tacit Knowledge, tacit knowing or behaving. UK. [online]:

http://www.alba.edu.gr/OKLC2002/Proceedings/pdf_files/ID269.pdf. Halia Silins, Silja Zarins, & Bill Mulford. What characteristics and processes

define a school as a learning organisation? Is this a useful concept to apply to schools? (International Education Journal Vol 3, No 1, (2002). http://iej.cjb.net.)

Hallinger, Philip., dan Murphy, Joseph F. 1986. The Social Context of Effective Schools. The University of Chicago Press: American Journal of Education, Vol. 94, No. 3, (May, 1986), pp. 328-355.

Hersey, Paul., and Blanchard, Kenneth H. 1992. Management Organizational Behavior. Utilizing Home Recources, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.

Hoy, Wayne and Miskel, Cecil G. 1978. Educational Administration: Theory, research and Practice. New York: Ramdone House.

Infed. (2001). Peter Senge and The Learning Organization. Tersedia online: http://www.infed.org/thinkers/senge.htm. [Maret 2010].

Iqbal Hasan M. 2002, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Jakarta: Ghalia Indonesia

Jackson, Susan E., Hitt, Michael A., Denisi, Angelo S. (2003). Managing Knowledge for Sustained Competitive Advantage: Designing Strategies for Effective Human Resources Management. San Fransisco: Jossey-Bass.

Jaedun, Amat. 2009. Pengembangan Model Indikator Kinerja Sekolah Efektif Jenjang SMP (Disertasi pada Program Pasca Sarjana UNY). http://pps.uny.ac.id/index.php?pilih=pustaka&mod=yes&aksi=lihat&id=9 5. 22 Desember 2009.


(4)

Jansen., Jonathan D., 1995. School Effective?. Tersedia online: www.jstor.org/stable/3099646. 22 Desember 2009.

Kast, Fremont E. and Rosenzweig. 1982. Organization and Management. Alih bahasa Yasin, Jakarta: Bina Aksara.

Komariah. Aan. Pengaruh Visionary Leadership dan Budaya Sekolah Terhadap Efektifitas Sekolah di Era Desentralisasi Pada SMAN di Lingkungan Dinas Pendidikan Kota Propinsi Jawa Barat. (Disertasi – SPS UPI. 2005)

Leksana TH. 2004. Learning organization. Jakarta: Strategic Solution Center. Mark K. Smith. The Learning Organization. (Tersedia online:http://www.infed.o

rg/biblio/learning-organization.htm, 10 May 2008).

Nasihin, Sukarti., Rosmiaty, Tatty., dan Mulyati, Yati Siti. 2008. Mewujudkan Budaya Sekolah Melalui Visionary Leadership Untuk Mencapai Sekolah Efektif (Suatu Studi tentang Pengaruh Visioary Leadership Kepala Sekolah Wanita dan Budaya Sekolah Efektif di Era Desentralisasi Pada Sekolah Menengah Pertama Negeri di Lingkungan

Dinas Pendidikan Kota

Bandung). Tesedia online: www.lppm.upi.edu/penelitian/.../Sukarti%20N asihin%20(FIP)%20SKW.doc

Nasution, M.N. 2005. Manajemen Mutu Terpadu. Jakarta: Ghalia Indonesia. Natawijaya, R. 2002. Struktur Profesi Kependidikan. Bandung: UPI.

Nimran, Umar. 1999. Perilaku Organisasi. Surabaya: Citra Media.

Nonaka, I., Toyama, R., Byosiere, P. A theory of organization knowledge creation: understanding the dynamic process of creating knowledge, in Dierkes, M., Antal, A.B., Child, J., Nonaka, I. (Eds), Handbook of Organizational Learning and Knowledge, (Oxford University Press, Oxford, 2003).

Office of School Education Department of Education & Training. 2005. Professional Learning in Effective Schools: The Seven Principles of Highly Effective Professional Learning. Melbourne: Department of Education & Training.

Puspendik. 2009. Laporan Hasil Wilayah 2008/2009. Tersedia online: http://puspendik.info/un09/laphasil/index.html. [22 Desember 2009].


(5)

218

Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005-2009

Ridwan. 2008. Sekolah Efektif. Tersedia online: http://ridwan202.wordpress.com/2008/10/16/sekolah-efektif/ 22 Desember 2009

Rosenholtz. 1989. Teacher’s Workplace: The Social Organization of Schools. New York: Longman.

Sallis, Edgar. 1993. Total Quality Management in Education. Philadelphia – London: Kogan Page Limited.

Sammons, P., Hillman, J. and Mortimore, P. (1995a) Key Characteristics of Effective Schools: A review of school effectiveness research A report by the Institute of Education for the Office for Standards in Education.

Senge Peter M. Disiplin Kelima. Seni dan Praktek Dari Organisasi Pembelajar. Alih Bahasa: Nunuk Adiarni. (Bina Rupa Aksara, Jakarta Barat,1996 Terjemahan dari: Fifth Discipline.)

Sergiovanni, T.J. dan R.J. Starrat. 1979. Supervision: Human Perspective. New York: McGraw-Hill Book Company

Slamento Margono. 1996. Filsafat dan Prinsip-prinsip Manajemen Mutu terpadu di Perguruan Tinggi. Jakarta: Heds Project.

Smith, P.C., Kendall, L.M., and Huli, C.L. 1969. Measurement of Satisfaction in Work and Retirement: A Strategy for Study of Attitude. Chicago, Illionis: Rud Mertally & Company.

Taylor, Barbara M., Pearson, P. David., Peterson, Debra., dan Rodriguez, Michael C. The CIERA School Change Project: Supporting Schools as They Implement Home-Grown Reading Reform. Tersedia Online: http://www.ciera.org/library/reports/inquiry-2/2-016/2-016h.html. 05 Januari 2010.

Timpe A.D. 1993. Kinerja. Jakarta: Gramedia

Ukat, Joni. 2008. Konsep Sekolah Efektif. Tersedia online: http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=25689 22 Desember 2009.


(6)

Wahyuningsih, Indra. 2008. Pengertian Sekolah Efektif. Tersedia online: http://manajemensekolah.teknodik.net/?p=76 22 Desember 2009

Wexley, K.N and Yukl, G.A. 1977. Organizational Behavior and Personal Psychology. Homewood – Illionis: Richard D Irwin Inc.

Wilson, G. Kenneth and Davis, Bennet. 1994. Redesigning Education. New York: Henry Holt and Company.

Woodring, P. 1975. The Development of Teacher education in K. Ryan (ed). Teacher Education: The Seventy Fourth yearbook of The National Society for A Study of Education. Chicago: The University of Chicago Press.