analisis yuridis mekanisme pengelolaan k

LAPORAN HASIL PENELITIAN DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS HUKUM UGM MELALUI UNIT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA (PPM-FH UGM) JUDUL:

ANALISIS YURIDIS MEKANISME PENGELOLAAN KEUANGAN DESA

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA GUNA TERWUJUDNYA PEMBANGUNAN DESA OLEH:

PENGUSUL I : WAFIA SILVI DHESINTA, S. H

(14/371954/PHK/8259)

PENGUSUL II : ANNISHA PUTRI ANDINI, S.H

(14/372033/PHK/8275)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA 2015

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, demikian sesuai bunyi Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. 1 Berdasarkan keadaan empiris

Indonesia, secara historis terdapat desa yang merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat dan pemerintahan di Indonesia. Jauh sebelum bangsa-negara modern terbentuk, kelompok sosial sejenis desa atau masyarakat adat dan lain sebagainya, telah menjadi bagian yang penting dalam suatu tatanan negara. 2

Antara desa, kerajaan, ataupun negara sama-sama merupakan bentuk organisasi yang berbeda kawasannya, namun sama obyek dan subyek pelakunya, yaitu rakyat. 3

Keberadaan desa di tengah Negara Kesatuan Republik Indonesia kemudian secara yuridis normatif juga telah diatur, di mana desa telah diberikan atau lebih tepatnya diakui kewenangan-kewenangan tradisionalnya menurut Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menegaskan:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang- undang”.

1 Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2 Ni’matul Huda, 2014, Perkembangan Hukum Tata Negara (Perdebatan dan Gagasan

Penyempurnaan) , FH UII Press, Yogyakarta, hlm 361. 3 Francis Wahono, Bersekongkol atau Saling Kontrol, dalam Duto Sosialismanto, Ibid, hal. xxi.

Dalam: Didik Sukriono, 2013, Hukum, Konstitusi, dan Konsep Otonomi: Kajian Politik Hukum tentang Konstitusi, Otonomi Daerah dan Desa Pasca Perubahan Konstitusi, Setara Press Malang, hlm 188.

Jadi, menururt UUD 1945 pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat termasuk di dalamnya adalah desa berserta hak-hak tradisionalnya harus

didasarkan pada prinsip “tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia”. 4

Negara kesatuan merupakan landasan batas dari isi pegertian otonomi, di mana berdasarkan hal itu, dikembangkan berbagai peraturan yang mengatur mekanisme yang akan menjelmakan keseimbangan antara tuntutan kesatuan dan tuntutan otonomi secara alami dan tidak perlu dihilangkan. 5 Hal inilah yang

menyebabkan bahwa konsekuensi logis dari konsep atau gagasan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan saja hanya desentralisasi kewenangan kepada daerah otonom yang melahirkan otonomi daerah, melainkan lebih dari itu, yakni pengakuan-ataupun perlindungan terhadap adanya otonomi desa sebagai otonomi asli bangsa Indonesia sejak sebelum datangnya kolonial

Belanda. 6 Perjalanan politik hukum (legal policy) pemerintahan desa dalam berbagai

peraturan perundang-undangan mengalami ketidakteraturan (inkonsistensi) atau berubah-ubah sejak zaman kolonial hingga saat ini yang disebakan beberapa hal seperti kelemahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum dan sesudah perubahan amandemen, dinamika perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, konfigurasi politik pelaksanaan

pemerintahan. 7 Sebelum adanya UU No. 6 Tahun 2014, diketahui bahwa hubungan antara pusat dan daerah, termasuk di dalamnya hubungannya dengan

desa terdapat pada UU No. 5 Tahun 1979 yang sifatnya cenderung sentralistik- otokratis-korporatis, UU No. 22 Tahun 1999 yang bersifat devolutif-liberal, dan UU No. 32 Tahun 2004 yang cenderung gagal menjembatani perbedaan

4 Ateng Syafrudin dan Suprin Na’a, 2010, Republik Desa: Pergulatan Hukum Tradisional dan Hukum Modern dalam Desai Otonomi Desa, Penerbit PT. Alumni, Bandung, hlm. 43.

5 Ni’matul Huda, 2007, Pengawasan Pusat terhadap Daerah dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah , FH UII Press, Yogyakarta, hlm 7.

6 Ibid .,hlm 11. 7 Didik Sukriono, Op. Cit., hlm 180-182.

pandangan yang justru membuahan kemenangan bagi kekuatan nasionalis kolot

dan pemerintah pusat terhadap daerah dan desa. 8

Guna mempercepat pembangunan di segala bidang, maka upaya peningkatan dan pemerataan kemampuan Pemerintah Desa di seluruh Indonesia mutlak diperlukan. Salah satu strateginya oleh Talizudhu Ndaraha disebutkan bahwa desentralisasi pembangunan sampai ke desa, di mana bermakna bahwa konsep “bhinneka” dalam lambang negara menjadi jelas serta asas desentralisasi mengisi

konsep rumah tangga desa. 9 Tuntutan dibentuknya Undang-Undang Desa tersendiri yang terpisah dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah mencuat

seiring berbagai konfigurasi politik yang menunjukkan sering berubahnya peraturan perundang-undangan berdasarkan kepentingan pemerintah pusat maupun daerah yang membingungkan perangkat desa. Padahal kejelasan peraturan akan membawa dampak positif pada pembangunan desa yang masih terkesan sangat banyak ketertinggalan di beberapa daerah.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menjadi bahan kajian menarik yang diharapkan memperkuat otonomi desa serta percepatan pembangunan. Pimpinan Pansus UU Desa, Budiman Sudjatmiko menggambarkan implikasi asas pengakuan, subsidiaritas dan pemberdayaan dengan alur yakni kesatuan kewenangan skala lokal desa digunakan untuk melakukan perencanaan Keuangan guna melangsungkan Pelaksanaan Pembangunan Desa. 10

Untuk mendukung hal tersebut, di bidang anggaran setiap desa di seluruh Indonesia akan mendapatkan dana yang penghitungan anggarannya didasarkan pada jumlah desa dengan pertimbangan diantaranya adalah jumlah penduduk,

8 Sutoro Eko, Masa Lalu, Masa Kini, dan masa Depan Otonomi Desa , dalam Soetandyo Wignosubrto dkk (tim penulis), Pasang Surut Otonomi Daerah, Skettsa Perjalanan 100 Tahun , Institute for Local

Development dan Yayasan Tifa, Jakarta, 2005, hlm. 513, d alam Ni’matul Huda, Perkembangan Hukum Tata Negara ..., Op.Cit, hlm. 370.

9 Taliziduhu Ndraha, 1991, Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa, Bumi Aksara, Jakarta, hlm 188. 10 Budiman Sudjamiko, tanpa tahun, Isu-isu Strategis UU Desa, kkn.bunghatta.ac.id/download-

Isu%20Strategis%20UU%20 Desa.pdf.html (online), (15 April 2015).

angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa.

Terkait hal tersebut, suatu gebrakan baru yang hingga kini hangat diperbincangkan adalah adanya Pasal 72 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa terkait dengan Keuangan Desa di mana salah satu sumber dana desa berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Praktis, hal ini menimbulkan banyak pro maupun kontra, karena pada dasarnya niat pemerintah untuk mengakui eksistensi desa dan memberikan kesempatan kepada desa untuk melakukan percepatan pembangunan direalisasikan melalui hukum positif. Namun, di sisi lain, kesiapan desa untuk melakukan pengelolaan keuangan desa yang begitu banyak juga tidak dapat diabaikan begitu saja mengingat kondisi dan potensi desa di Indonesia yang pluralistik.

Mengenai pengelolaan keuangan desa, lebih lanjut lagi dijelasakan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, di mana disebutkan bahwa pengelolaan keuangan desa adalah serangkaian kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban. Lebih lanjut, adanya suatu penguatan pengelolaan dan pengawasan keuangan desa yang baik mutlak diperlukan untuk mencegah atau setidaknya mengurangi kemungkinan penyimpangan serta terwujudnya tujuan pembangunan desa. Pengawasan dilakukan untuk mengetahui terjadi atau tidaknya suatu penyimpangan dan bila terjadi, perlu diketahui sebab-sebab penyimpangan tersebut agar tidak ada kecenderungan destruktif yang menjadi-

jadi. 11 Senada dengan hal di atas, terdapat berbagai sorotan dari beberapa pihak,

salah satunya adalah Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Adnan Pandu Praja. Ia menyatakan bahwa pihaknya akan menyurati seluruh aparat desa di Indonesia untuk mengingatkan agar alokasi Dana Desa

11 Sujamto, 1987, Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 66.

dimanfaatkan dengan benar dan tidak melanggar hukum, apalagi korupsi. 12 Kekhawatiran beberapa pihak mengenai penggunaan keuangan desa cukup

beralasan mengingat dari 72.944 desa yang ada di Indonesia, belum ada basis data yang dimiliki Pemerintah Pusat terkait kualitas sumber daya manusia perangkat desa, terlebih di beberapa wilayah di Indonesia pemilihan perangkat desa diduga masih menggunakan money politic dalam proses pemilihan langsungnya.

Sukasmanto, Peneliti Ahli dari Institute for Research and Empowerment (IRE) dalam forum Anti Korupsi Indonesia memaparkan bahwa:

“Potensi penyalahgunaan Dana Desa dipengaruhi oleh 4 hal yakni bagaimana peraturan turunan dari UU Nomor 6 tahun 2014 termasuk peraturan Dana Desa, tinggi/rendahnya tingkat diskresi pengelolaan keuangan desa, tinggi/rendahnya kualitas sumber daya manusia dan

pembinaan/p 13 engawasan penggunaan Dana Desa”.

Kekhawatiran dan ketidaksiapan desa dalam hal pengelolaan keuangan desa juga dirasakan salah satunya oleh Staf Ahli Bupati Bengkulu Selatan Bidang Ekonomi dan Keuangan terkait dengan kemampuandan jumlah aparatur desa

yang masih kurang dalam pengelolaan keuangan desa. 14 Dari latar belakang singkat di atas, penulis merasa perlu mengkaji dan

menganalisis lebih jauh terkait berbagai mekanisme penguatan pengelolaan keuangan desa mengingat potensi dan kesiapan desa di seluruh Indonesia tidak dapat dipukul sama rata. Pembahasan mengenai penguatan mekanisme pengelolaan keuangan desa dirasa sangat penting bagi penulis dalam upaya menilai apakah suatu mekanisme yang diciptakan mampu mewujudkan pembangunan desa serta mencegah atau setidaknya mengurangi kemungkinan terjadinya penyimpangan.

12 Hukumonline.com, KPK Siap Antisipasi Potensi Korupsi Dana Bantuan Desa , Edisi tanggal 11 Desember 2014 (online), (03 Mei 2015)

13 Sukasmanto-IRE, Potensi Penyalahgunaan Dana Desa dan Rekomendasi, 4thIndonesia Anti Corruption Forum10-12 Juni 2014, http://ire.org.id/ (online), (03 Mei 2015)

14 https://nandusti.files.wordpress.com/2014/04/telaahan-staf-tentang-kesiapan-pengelolaan-keuangan- desa.pdf(online),(03 Mei 2015)

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang singkat di atas, maka penulis membatasi masalah pada:

1. Bagaimana mekanisme pengeloaan keuangan desa berdasarkan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa guna mewujudkan pembangunan desa?

2. Apakah mekanisme pengelolaan keuangan desa yang telah diatur telah sesuai dengan sistem pengelolaan keuangan negara kesatuan Republik Indonesia sebagai subsistem di bawahnya?

3. Apa saja potensi permasalahan terkait pengelolaan keuangan desa?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mendeskripsikan, mengkaji, dan menganalisis pengelolaan keuangan desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa guna mewujudkan pembangunan desa.

2. Untuk mengkaji dan menganalisis apakah mekanisme pengelolaan keuangan desa yang telah diatur telah sesuai dengan sistem pengelolaan keuangan negara kesatuan Republik Indonesia.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis potensi permasalahan terkait pengelolaan keuangan desa

D. Keaslian Penelitian

Penelitian berjudul “Analisis Yuridis Pengelolaan Keuangan Desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Guna

terwujudnya Pembangunan Desa” sepanjang sepengetahuan peneliti belum pernah dilakukan oleh pihak lain. Sejauh ini dari beberapa artikel jurnal dan hasil penelitian memang hangat dibahas isu krusial dari lahirnya UU Desa tersebut dan membahas pentingnya pengelolaan dana desa yang tidak sedikit serta kekhawatiran-kekhawatiran akan adanya kebocoran dana desa. Berangkat dari kekhawatiran tersebut, maka peneliti bermaksud menganalisis dan mengkaji dengan pendekatan tertentu terkait judul di atas.Dengan demikian orisinalitas terwujudnya Pembangunan Desa” sepanjang sepengetahuan peneliti belum pernah dilakukan oleh pihak lain. Sejauh ini dari beberapa artikel jurnal dan hasil penelitian memang hangat dibahas isu krusial dari lahirnya UU Desa tersebut dan membahas pentingnya pengelolaan dana desa yang tidak sedikit serta kekhawatiran-kekhawatiran akan adanya kebocoran dana desa. Berangkat dari kekhawatiran tersebut, maka peneliti bermaksud menganalisis dan mengkaji dengan pendekatan tertentu terkait judul di atas.Dengan demikian orisinalitas

1.) Jurnal Penelitian oleh Taufane Taufik dengan judul “Pengelolaan Keuangan Desa dalam Sistem Keuangan Republik Indonesia” 15

2.) Buku Laporan Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan judul “Laporan Hasil Kajian Pengelolaan Keuangan Desa:

Alokasi Dana Desa dan Dana Desa” 16

E. Manfaat Penelitian

a. Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan ilmu hukum dan menjadi referensi ilmiah bagi kalangan akademik, khususnya di bidang Ilmu Hukum Tata Negara terkait mekanisme pengelolaan keuangan desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Guna Terwujudnya Pembangunan Desa serta permasalahannya.

b. Bagi Masyarakat Luas Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang obyektif dan jelas kepada masyarakat dan pihak terkait mekanisme pengelolaan keuangan desa berdasarkan UU terbarunya serta penguatan mekanisme pengeloaan dana desa dalam menghadapi keberagaman potensi dan kesiapan desa. Dengan dijadikannya penelitian ini sebagai referensi, maka akan memudahkan kita untuk mengawal pelaksanaan UU Desa tersebut.

15 Taufane Taufik, Pengelolaan Keuangan Desa dalam Sistem Keuangan Republik Indonesia , http://academia.edu/taufanetaufik.html, tanggal 27 Agustus 2015.

16 Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan judul “Laporan Hasil Kajian Pengelolaan Keuangan Desa: Alokasi Dana Desa dan Dana Desa .

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teoritik Mengenai Hubungan Pusat dan Daerah

1. Beberapa Aspek Hubungan Pusat, Daerah dan Desa

Pemerintahan desa merupakan bagian yang terintegrasi dengan pemerintahan daerah. Bagaimana tidak, daerah baik kabupaten/kota dan juga provinsi terdiri dari kumpulan desa-desa hingga membentukpemerintahan yang lebih tinggi di atasnya. Pemerintah Desa merupakan sumber formil daripada kesatuan masyarakat desa. Pemerintah Desa sebagai badan kekuasaan terendah memiliki wewenang asli untuk mengatur rumah tangga sendiri juga memiliki wewenang dan kekuasaan sebagai pelimpahan secara bertahap dari pemerintahan di atasnya

yakni pemerintah daerah dan pemerintah pusat. 17 Hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dijalankan dengan beberapa asas yang

dijalankan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yakni:

1.) Asas Desentralisasi, yaitu penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi; 2.) Asas dekonsentrasi, yaitu pelimpahan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/walikota sebagai penanggungjawab urusan pemerintahan umum;

3.) Asas tugas pembantuan,yaitu penugasan daripemerintah pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah provinsi kepada daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi.

17 Sumber Saparin, 1979, Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan Desa ,Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 30

Konsep penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah yang lebih rendah tingkatannya adalah menggunakan prinsip m oney follow function, yang artinya setiap kegiatan yang diserahkan atau ditugaskan atau dilimpahkan kepada permerintah di bawahnya harus disertai dengan pembiayaan- pembiyaan untuk menjalankan wewenang tersebut. 18

Dalam tataran teoritis dikenal adanya pembagian kekuasaaan secara horisontal dan vertikal. Pembagian kekuasaan secara horisontal adalah suatu pembagian kekuasaan yang kekuasaan dalam suatu negara dibagi dan diserahkan kepada tiga badan yang mempunyai kedudukan yang sejajar yakni kekuasaan eksekutif yang diserahkan kepada pemerintah, kekuasaan legislatif kepada

parlemen dan kekuasaan yudikatif kepada peradilan. 19 Sedangkan pembagian kekuasaan secara vertikal yaitu suatu pembagian kekuasaan antara pemerintah

nasional atau pusat dengan satuan pemerintah lainnya yang lebih rendah. Pembagian kekuasaan secara vertikal tersebut akan lebih jelas apabila dilakukan

perbandingan antara negara kesatuan, federasi dan konfederasi. 20 Indonesia yang merupakan negara dengan bentuk negara kesatuan sebagaimana disebutkan

dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 mengindikasikan bahwa wewenang legislatif tertinggi dipusatkan pada badan legislatif nasional/pusat. Kekuasaan legislatif tidak terletak pada pemerintahan daerah. Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagaian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi, tetapi pada tahap terakhir tetap pada pemerintah pusat. Jadi, kedaulatannya baik ke luar maupun kedalamsepenuhnya terletak pada

pemerintah pusat. 21 Dalam suatu negara kesatuan, pemerintah nasional biasanya memang melimpahkan banyak tugas kepada kota-kota, kabupaten-kabupaten,

atau satuan pemerintahan lokal atau regional. Namun, otoritas tersebut dilimpahkan oleh undang-undang yang disusun oleh DPR. Pada hakikatnya

18 Abdul Halim dalam Seminar Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permasalahannya (Transparasi dan Akuntabilitas) di FakultasHukumUniversitas Gadjah Mada, pada tanggal 21 Mei 2015

19 Muhammad Fauzan, Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah , PKHKD UNDOED dengan UII Press, Yogyakarta, 2006, hlm. 35-36

20 Ibid, hlm. 36 21 CF Strong, Modern Political Constitution dalam M. Fauzan, Op.cit, hlm. 37 20 Ibid, hlm. 36 21 CF Strong, Modern Political Constitution dalam M. Fauzan, Op.cit, hlm. 37

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Pemerintah berpedoman pada beberapa asas, yaitu: 22

a) Asas keahlian, asas keahlian dilihat pada susunan Pemerintahan Pusat yang artinya bahwa semua soal diolah oleh ahli-ahli antara lain dalam susunan kementerian-kementerian yang memegang pimpinan pada kementerian-kementerian itu seharusnya ahli-ahli urusan yang menjadi kompetensinya

b) Asas kedaerahan, dengan bertambah banyaknua kepentingan- kepentingan yang harus diselenggarakan oleh pemerintah pusat karena bertambah majunya masyarakat, pemerintah tidak dapat mengurus semua kepentingan-kepentingan itu dengan baik tanpa berpegang pada asas kedaerahan dalam melakukan pemerintahan

Berdasarkan asas keahlian maka setiap urusan pemerintahan harus secara benar dan selektif diserahkan kepada mereka yang mempunyai keahlian atau profesionalisme di bidangnya. Adapun asas kedaerahan memberikan peluang kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan-urusan pemerintahan tertentu.

Hubungan antara pusat dan daerah merupakan sesuatu yang banyak diperbincangkan, karena masalah tersebut dalam praktiknya sering menimbulkan upaya tarik menarik kepentingan (spanning of interest) antara kedua satuan pemerintahan. Terlebih dalam negara kesatuan, upaya pemerintah pusat untuk

selalu memegang kendali atas berbagai urusan pemerintahan sangat jelas sekali. 23 Hubungan antara pusat dan daerah terjadi sebagai akibat adanya pemencaran

penyelenggaraan negara dan pemerintahan atau pemencaran kekuasaan

22 Amrah Muslimin, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah dalam M.Fauzan, Op.cit, hlm. 38 23 Muhammad Fauzan, 2006, Hubungan keuangan Antara Pusat dan Daerah, UII Press, Yogyakarta,

hlm. 76

(spreading van macht) ke dalam satuan-satuan pemerintahan yang lebih kecil yang dalam praktiknya dapat diwujudkan dalam berbagai macam bentuk seprti dekonsentrasi tertitorial, satuan otonomi tertitorial, atau federal. Bagir Manan menyatakan bahwa dalam hubungan pusat dan daerah menurut dasar dekonsentrasi teritorial,buknalah merupakan hubungan antara dua subjek hukum yang masing-masing mandiri. Satuan pemerintahan teritorial dekonsentrasi tidak mempunyai wewenang mandiri. Satuan teritorial dekonsentrasi merupakan satu kesatuan wewenang dengan departemen atau kementerian yang bersangkutan dan sifat wewenang satuan pemerintahann teritorial dekonsentrasi adalah delegasi

atau mandat, tidak ada wewenang berdasarkan atribusi. 24 Sedangkan dalam hubungan pusat dan daerah menurut dasar otonomi

teritorial, satuan otonomi teritorial merupakan satu satuan mandiri dalam lingkungan negara kesatuan yang berhak melakukan tindakan hukum sebagai subyek hukum untuk mengatur dan mengurus fungsi pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangganya. Dalam otonomi teritorial, pada dasarnya seluruh fungsi kenegaraan dan pemerintahan adadalam lingkungan pemerintah pusat yang kemudian diprncarkan kepada satuan-satuan otonomi dan hubungan pusat dan

daerah di bidang otonomi bersifat administrasi. 25 Berdasarkan uraian tersebut di atas, diketahui bahwa prinsip hubungan

antara pusat dan daerah menurut konsep dekonsentrasi teritorial dengan otonomi teritorial memiliki persamaan yakni keduanya sama-sama sekedar menyelenggarakan pemerintahan di bidang administrasi belaka, bukan bersifat

kenegaraan. 26 Dalam hal pemencaran fungsi kenegaraan dan pemerintahan kepada satuan

pemerintahan otonomi menurut Bagir Manan dapat dilakukan dengan berbbagai cara yakni: (1) Undang-undang menetapkan secara tegas berbagai fungsi pemerintahan sebagai urusan rumah tangga daerah; (2) Pemerintah Pusat dari

24 Bagir Manan, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, PSH Fakultas Hukum UII,Yogyakarta,hlm. 32

25 Ibid. 26 Muhammad Fauzan, Op,cit, hlm.77 25 Ibid. 26 Muhammad Fauzan, Op,cit, hlm.77

pemerintahan yang diatur dan diurus satuan otonomi. 27 Oleh karena itu, secara umum hubngan antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah adalah

terkait dengan (1) hubungan kewenangan; (2) hubungan pengawasan; (3) hubungan keuangan; (4) hubungan Pusat dan Daerah dalam organisasi pemerintahan daerah.

1.1. Hubungan Kewenangan

Kewenangan berasal dari kata wewenang yang memiliki pengertian hak dan kewajiban. Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (selfregelen) dan mengelola sendiri (selfbesturen) sedangkan kewajiban mempunyai dua pengertian yakni horoizontal yang berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya dan secara vertikal yang berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu tertib ikatan pemerintah negara

secara keseluruhan. 28 Dalam negara kesatuan, pemilik kewenangan adalah pemerintah pusat yang kemudian didistribusikan kepada satuan-satuan

pemerintahan di bawahnya. Oleh karena itu, posisi pemerintah daerah tidak kuat jika dihadapkan kepada pemerintah pusat, daerah lebih mudah untuk diarahkan sesuai dengan keinginan pemerintah pusat. Wolhof menyatakan bahwa karena seluuh kekuasaan beradad di pusat maka peraturan-peraturan pemerintah pusatlah yang menentukan bentuk dan susunan pemerintahan daerah otonom,termasuk macam dan luasnya otonomi menurut inisiatifnya

27 Bagir Manan, Wewenang Provinsi, Kabupaten dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah, Makalah Seminar nasional”Pengembangan Wilayah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Kawasan Pesisir dalam Rangka Penataan Ruang,UNPAD, Bandung,13 Mei 2000 dalam Muhammad Fauzan, Op.cit,

hlm.79 28 Abu Daud Busroh, 1985, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia,Jakarta, hlm.125 hlm.79 28 Abu Daud Busroh, 1985, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia,Jakarta, hlm.125

kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah seperti daerah provinsi, kabupaten/kota dalam rangka otonomi sebenarnya membicarakan mengenaiisi rumah tangga daerah yang dalam perspektif hukum pemerintahan daerah disbut dengan urusan rumah tangga daerah (huishounding). Cara menentukan urusan rumah tangga daerah karena dengan hal tersebut mampu menunjukkan adanya kemandirian dan keleluasaan daerah mengatur dan mengurus kepentingan daerahnya.

Pembagian urusan pemerintahan berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dibagi menjadi:

(1) Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. (2) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

(3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.

(4) Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. (5) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.

Dalam rangka menciptakan distribusi kewenangan urusan pemerintahan yang bersifat concurrent secara proporsional antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dipergunakan bebrapa kriteria meliputi eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan kseserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antara tingkatan satuan pemerintahan.

29 Wolhof dalam Zein Zanibar, 2003, Otonomi Desa dengan Acuan Khusus pada Desa di Provinsi Sumatera Selatan , Disertasi UI, Jakarta, hlm. 107

Sedangkan berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, kewenangan desa meliputi beberapa hal, diantaranya adalah: 30

a. Kewenangan berdasarkan hak asal-usul;

b. Kewenangan lokal berskala desa;

c. Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;dan

d. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Perbedaan dari kewenangan-kewenangan di atas adalah, apabila kewenangan yang berkaitan dengan hak asal-usul dan kewenangan yang berskala desa diatur serta diurus sendiri oleh desa. Diatur dalam hal ini dapat dipahami bahwa Desa mempunyai kewenangan untuk melakukan pengaturan sendiri terkait dengan urusan atas kewenangan yang berkaitan dengan hal tersebut. Sedangkan untuk kewenangan lain yang ditugaskan dan pelaksanaan kewenangan tugas lain dari Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Desa sebatas mengurus pelaksanaan tugas, tidak ikut serta mengatur. Penugasan dari satuan pemerintahan di atas Desa meliputi penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembiayaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Penugasan-penugasan tersebut sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya menggunakan prinsip money follow function yang mana setiaptugas yang didelegasikan disertai dengan pembiayanaan guna terlaksananya tujuan-tujuannya.

1.2. Hubungan Pengawasan

Pengawasan adalah usaha sadar yang dilakukan dalam kerangka menjamin terselenggaranya program-programyang telah ditentukan dengan pengawasan pula usaha perbaikan atas kekuransempurnaan program dapat dilakukan.ditinjau dari hubungan antara pusat dan daerah, pengawasan merupakan “pengikat” kesatuan agar bandul kebebasab berotonomi tidak

30 Lihat Pasal 19 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa 30 Lihat Pasal 19 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna. 31 Kemandirian suatu daerah dalam negara kesatuan sangat dipengaruhi

oleh sistem pengawasan yang dianut sehingga sistem pengawasan akan menentukan kemandirian satuan otonomi daerah. Hal yang perlu diperhatikan adalah dalam suatu sistem otonomi di negara kesatuan, pengawasan tetap merupakan satu aspek yang harus ada. Berarti bahwa, tidak diperkenankan

adanya sistem otonomi yang sama sekali meniadakan pengawasan. 32 Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 juga menyebutkan bahwa

“Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh Daerah”.

Tidak terlepas juga dengan apa yang ada di Desa, Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi, dan pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan penagwasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Pengawasan yang dilakukan terhadap pemerintah Desa dapat didelegasikan kepada perangkat daerah. Hal ini disebabkan oleh jumlah desa di Indonesia yang tidak sedikit dan tidak memungkinkan bagi pemerintah pusat untuk melakukan pengawasan tanpa dibantu atau tanpa memerlukan bantuan dari pemerintah daerah.

1.3. Hubungan Keuangan

Persoalan yang sering muncul terkait dengan hubungan keuangan antara pusat dan daerah adalah terbatasnya jumah dana yang dimiliki oleh oleh daerah dan di sisi lain pemerintah pusat memiliki dana yang berlimpah.

31 Soehino, 1983, Perkembangan Pemerintahan di Daerah, Liberty, Yogyakarta, hlm. 147 32 Bagir Manan, Menyongsong...., Op.cit, hlm. 39

Dengan demikian, substansi substansi dari hubungan keuangan tersebut tidak lain adalah perimbangan keuangan yakni memperbesar atau memperbanyak pendapatan asli daerah sehingga mempunyai kemampuan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan.

Terdapat tiga skema dalam rangka hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Pertama, Dana Perimbangan,yakni penerianaan negara yang dibagi antara pusat dan daerah. Sesuai dengan pengelompokannya, dana perimbangan bukan Pendapatan Asli Daerah, melainkan penerimaan negara. Jadi merupakan “sumber pendapatan asli pusat” yang dibagi dengan daerah. Kedua , disebut dengan dana alokasi umum yang sekurang-kurangnya daerah menerima 25% dari seluruh penerimaan APBN dan setiap provinidan kabupaten/kota menerima masing-masing 10% dan 90% berasal dari dana alokasi umum, daerah bebas menentukan peruntukan sesuai dengan rencana program daerah. Ketiga, disebut Dana Alokasi Khusus yaitu dana yang ditetapkan dalam APBN untuk daerah tertentu dan untuk kebutuhan khusus

atu dapat dikatakan sebagai subsidi khusus. 33 Terkait dengan keuangan desa, Pasal 71 Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa. Hak dan kewajiban ini yang akan menimbulkan adanya pendapatan, belanja, pembiayaan dan pengelolaan Keuangan Desa.

1.4. Hubungan Dalam Susunan Organisasi Pemerintahan

Susunan organisasi pemerintahan daerah mengandung dua segi yaitu susunan luar (external structur) dan susunan dalam (internal structure). Susunan luar mentangkut badan-badan pemerintahan tingkat daerah seperti provinsi dan kabupaten/kota sedangkan susunan dalam mengenai alat-alat

33 Ibid 33 Ibid

dengan pembentukan susunan organisasi pemerintahan luar (external structure) yaitu: Petunjuk Pertama , Indonesia terbagi atas daerah besar dan daerah kecil. Hal ini berati bahwa tidak akan terdapat hanya satu ssusunan pemerintahan tingkat daerah. Petunjuk Kedua, mengenai hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.

Berdasarkan ketentuan ini pembentuk undang-undang tidak boleh mengabaikan prinsip-prinsip yang terdapat dalam susunan pemerintahan asli, seperti desa dan swapraja. Desa mempunyai lingkungan wilayah yang lebih kecil dari Swapraja. Petunjuk Ketiga, yakni petunjuk lain di luar UUD 1945 yang dapat dipergunakan adalah susunan pemerintahan tingkat daerah yang ada atau pernah ada sebelum proklamasi, yakni pada masa penjajahan Belanda dan Jepang. 35

2. Pengelolaan Keuangan Negara

Berbicara mengenai pengelolaan keuangan desa, maka harus dimulai dengan pemahaman terlebih dahulu tentang konsep keuangan negara dengan segala aspeknya. Secara normatif, menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor

17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pengertian keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Keuangan Negara sebagaimana dimaksud, meliputi :

a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;

34 Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat dan daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 191

35 The Liang Gie, 1994, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia , Liberty, Yogyakarta,hlm. 119 35 The Liang Gie, 1994, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia , Liberty, Yogyakarta,hlm. 119

c. Penerimaan Negara;

d. Pengeluaran Negara;

e. Penerimaan Daerah;

f. Pengeluaran Daerah;

g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;

h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;

i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Pengertian dan ruang lingkup keuangan negara dapat ditinjau dari pendekatan lain, di mana pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan, sebagai berikut: 36

a) Dari sisi obyek: Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

b) Dari sisi subyek Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat,

36 W. Riawan Tjandra, 2006, Hukum Keuangan Negara, Grasindo, Jakarta, hlm3-4.

Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.

c) Dari sisi proses Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban.

d) Dari sisi tujuan Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara . Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.

Definisi keuangan negara yang dianut dalam UU Keuangan Negara menggunakan pendekatan luas, dengan tujuan: 37

a) Terdapat perumusan definisi keuangan negara secara cermat dan teliti untuk mencegah terjadinya multi interpretasi dalam segi pelaksanaan anggaran

b) Agar tidak terjadi kerugian negaea akibat kelemahan dalam perumusan Undang-Undang

c) Memperjelas proses penegakan hukum apabila terjadi mal administrasi dalam pengelolaan keuangan negara. Pengelolaan keuangan negara didasarkan atas legal framework di pusat dan daerah. Landasan hukum pengelolaan keuangan negara di pusat,

meliputi: 38

1. UUD Negara RI 1945

37 .Ibid. 38 W. Riawan Tjandra, Op. Cit., hlm 35.

2. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

3. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

4. UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara

5. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

6. Propernas

7. UU APBN

8. PP No. 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah

9. PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga

10. Perpres Pelaksanaan APBN

11. Perpres Rencana Pembangunan Tahunan.

UU Keuangan dan Perbendaharaan Negara merupakan cara melakukan transformasi pengaturan dalam menajemen keuangan negara yang sebelumtahun 2003, keuangan negara dilegitimasi berdasarkan Indonesische Comptabilitiet Wet (ICW) yang merupakan produk kolonial Belanda. Dalam UU Keuangan Negara tersebut mengakomodir prinsip-prinsip manajemen keuangan diantaranya adalah: 39

a) Best pratices pengelolaan keuangan negara;

b) Pemisahan segi keuangan negara dengan perbendaharaan negara guna memperjelas pengelolaan dana pertanggungjawaban keuangan negara;

c) Anggaran berbasis prestasi kerja dengan kriteria pengendalian dan evaluasi kinerja;

d) Hubungan antara pemerintah pusat dan bank sentral secara jelas;

e) Transparasi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara;

f) Saling uji (check and balances) dalam pelaksanaan anggaran;

39 M. Riawan Tjandra, Op.Cit, hlm. 31 39 M. Riawan Tjandra, Op.Cit, hlm. 31

h) Adanya komite standar akuntasi pemerintahan sehingga pengelolaan keuangan negara didasarkan atas standar akuntansi pemerintahan secara internasional.

Terdapat transformasi manajemen keuangan negara yang melalui konsep new financial management reform yang menggeser fungsi financial control of input menjadi accountability, management of ongoing activities dan total of economic policy. Implikasinya antara lain berupa perubahan sistem penganggaran berdasarkan line-item budgetiing menjadi performance based on budgeting . Pembaharuan sistem dan konsep tersebut disebabkan karena dengan

menggunakan anggaran berbasis keinerja akan dapat dilakukan: 40

a) Pengaitan antara anggaran dan outcomes program/kegiatan pemerintah

b) Pengawasan terhadap realisasi anggaran tidak hanya ditujukan untuk segi pengendalian keuangan saja, tetapi digunakan untuk mengukur efisiensi dan efektivitas kebijakan

c) Program/kegiatan pemerintahan menjadi lebih measurable

d) Akuntabilitas kinerja kelembagaan pemerintahan dapat mendukung terwujudnya pemerintahan partisipatif dan akuntabel

e) Realisasi

pendanaan terhadap program/kegiatan pemerintahan sungguh-sungguh didasarkan atas manajemen strategik

Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam pengelolaan keuangan negara tersebut di atas, APBN sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan negara dibuat berdasarkan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro yang dibahas antara pemerintah dan DPR. Penyusunan APBN dilaksanakan berdasarkan analisis kebutuhan penyelenggaraan negara dan kemampuan negara dalam menghimpun pendapatan negara. Hal tersebut

40 M. Riawan Tjandra, Op.Cit, hlm. 27-28 40 M. Riawan Tjandra, Op.Cit, hlm. 27-28

3. Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah

Sehubungan dengan pengelolaan keuangan di daerah, Presiden menyerahkan kekuasaan pengelolaan daerah kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah diantaranya adalah 41 (1) dilaksanakan

oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat pengelola APBD dan (2) dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran barang/daerah. Sedangkan unsur-unsur utama dalam pengelolaan keuangan daerah dapat digolongkan ke dalam 2 kelompok yakni pertama adalah unsur berkala dan unusr hukum dan yang kedua dalah unsur-unsur

luar dan dalam. 42

a) Unsur Berkala dan Unsur Hukum Unsur berkala mencakup unsur-unsur yang menjadi bagian dari kegiatan-kegiatan berkala dalam setahun yakni menyusun program anggaran, pengeluaran dan penerimaan anggaran, urusan uang keluar dan uang masuk, menctata dan melaporkan transaksi keuangan. Unsurhukum mencakup unsur-unsur pengaturan dan pemantuan kegiatan berkala yakni undang-undang dan pertauran keuangan, transaksi dan pemeriksaan keuangan dari dalam.

b) Unsur-unsur Luar dan Dalam Unsur luar meliputi pengawasan yang dikenakan terhadap pemerintah daerah oleh pejabat-pejabat pengawas yang lebih tinggi berdasarkan huku, peraturan dan pedoman, ratifikasi mengenai anggaran dan peraturan keuangan, laporan kebutuhan dan pemeriksaan keuangan dari luar. Adapaun unsur dalam adalah unsur pengawasan dan

41 Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara 42 Ibid.

pelaporan yang diadakan dan dilakukan oleh pemerintah daerah bagi pedoman para pejabat keuangan pemerintah di daerah. Unsur-unsur tersebut yang terpenting adalah prosedur berkala beserta peraturan- peraturan keuangan yang dirumuskan sendiri oleh pemeriksa keuangan dari dalam.

Pemerintahan yang didesentralisasi juga mengharuskan adanya legal framework keuangan daerah yang menjabarkan kewenangan-kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan daerah. Hal itu disebabkan terdapat korelasi yang erat antara keuangan negara dan keuangan daerah. Pasal 283 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa pengelolaan keuangan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagai akibat dari penyerahan urusan pemerintahan.

Selanjutnya, melalui Pasal 280 ayat (2) UU Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa kewajiban penyelenggara pemerintahan daerah dalam pengelolaan keuangan daerah dalam halpusat melakukan pendanaan terhadap sebagian urusan pemerintaan yang diserahkan dan/atau ditugaskan kepada pemerintahan daerah meliputi:

a) Mengelola dana secara efektif,efisien, transparandan ekuntabel

b) Menyinkronkan pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan program pemerintah pusat dan

c) Melaporkan realisasi pendanaan urusan pemerintahan yang ditugaskan sebagai pelaksanaan dari tugas pembantuan Dengan demikian, pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah melekat dan menjadi satu dengan pengaturann pemerintahan daerah yaitu dalam undang-undang mengenai pemerintahan daerah. Dengan demikian dasar hukum pengelolaan keuangan daerah antara lain adalah (1) UU

Pemerintahan Daerah (2) UU Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat

dan daerah dan (3) Perda APBD. 43

B. Pengertian Desa

1. Pengertian Desa Berdasarkan Hukum Adat

Negara Republik Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil yang terletak di atara dua benua dan dua samudra. Di atas tebaran beribu-ribu pulau tersebut sejak berabad-abad lamanya hidup dan berkehidupan sejumlah besar kelompok-kelompok masyarakat dengan beragam bahasa daerahm adat dan kebiasaan, seni budaya, corak kesatuan masyarakat hukum berdasarkan keturunan dan persamaan tempat tinggal, agama yang dianut, domisili berdasarkan topografis,dan lain sebagainya. Kesatuan masyarakat hukum adat yang sedemikan banyaknya tersebut

secara garis besar dibagimenjadi tiga tipe, yaitu: 44 1.) Tipe kesatuan masyarakat hukum berdasarkan kepada teritorial atau

wilayah; 2.) Tipe kesatuan masayarakat hukum berdasarkan kesamaan keturunan sebagai dasar utama untuk dapat bertempat tinggal bersama dalam suatu wilayah tertentu;

3.) Tipe kesatuan masyarakat hukum berdasarkan azas campuran, yakni teritorial dan keturuan.

Istilah desa 45 dimaksudkan sebagai penganti istilah Inlandsche Gementee (IG) dalam perundang-undangan hindia belanda terdahulu yang tidak hanya meliputi desa-desa di Jawa melainkan juga mencakup satuan-satuan seperti

itu di luar jawa yang nama aslinya disebut kampung, negeri, marga, dll. 46

43 M. Riawan Tjandra, Op.Cit, hlm. 36 44 Unang Sunardjo, 1984, Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Penerbit Tarsito, Bandung, hlm. 9-10

45 Desa dengan kampung, kapunduhan, kamandoran, ampian, cantilan, dukuh, banjar, adalah sebutan nama untuk menyebut desa di wilayah Jawa Barat,Jawa Timur,Jawa Tengah serta Bali yang

kemudian diterima baik dan lazim digunakan di Indonesia 46 Talaziduhu Ndraha, Op.Cit,hlm. 6

Meskipun bermacam-macam nama dan sebutan desa serta asal mula terbentuknya satuan-satuan organisasi kewilayahan kesatuan masyarakat hukum tersebut, namun azasnya atau landasan hukumnya hampir sama untuk seluruh Indonesia yaitu berlandasakan kepada adat, kebiasaan dan hukum adat. berdasarkan hal tersebut, secara umum pengertian dan batsan tentang

konsepsidesa adalah sebagai berikut: 47 Desa adalah suatu kesatuan hukum masyarakat berdasarkan adat dan

hukum adat yang menetap dalam sutau wilayah tertentu dengan batas- batas: memiliki ikatan batin yang sangat kuat, baik karena keturunan maupun sama-sama memiliki kepentingan politik, ekonomi, sosial, dan keamanan, memiliki susunan pengurus yang dipilih bersama, memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu dan berjak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.

Pengertian di atas, mengenai perumusan dan batasan tentang pengertian desa juga tidak luput dari kelemahan dan kekurangan.Namun yang dapat dipahami bahwa desa-desa asli yang telah ada sejak dahulu, memiliki hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus atau menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Hak untuk menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri tersebut yang lazim disebut dengan hak otonomi. Dalam hal desa, desa yang memiliki hak tersebut disebut dengan desa otonom.

2. Pengertian Desa Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan

a. Masa Pemerintahan Kolonial Belanda

Ketika Belanda masuk ke nusantara, sesungguhnya telah ada lembaga lembaga pengaturan masyarakat dan pemerintah seperti kesatuan perkampungan

bonden), kerajaaan-kerajaan (vonstenrijken)

(dorpen

dan malah ada republik-republik. 48 Republik dalam hal ini yang dimaksudkan adalah suatu pemerintahan demokratis yang bersifat

asli dan otonom berdasarkan adat istiadat dan sistem nilai budaya masyarakat sehingga konsep otonomi desa bukanlah suatu konsep yang

47 Unang Sunadrdjo, Op.Cit, hlm. 11 48 Ateng Syafrudin dan Suprin Na’a, Op.Cit, PT. Alumni, Bandung, hlm.6 47 Unang Sunadrdjo, Op.Cit, hlm. 11 48 Ateng Syafrudin dan Suprin Na’a, Op.Cit, PT. Alumni, Bandung, hlm.6