STABILITAS DAN ADAPTABILITAS HASIL DAN K

STABILITAS DAN ADAPTABILITAS HASIL DAN KOMPONEN HASIL GENOTIP POTENSIAL KEDELAI HITAM DI PULAU JAWA

Oleh Chindy Ulima Zanetta 150320120002 TESIS

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian Guna memperoleh gelar Magister Pertanian Program Pendidikan Magister Program Studi Agronomi

Konsentrasi Pemuliaan Tanaman

PROGRAM MAGISTER AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2014

ABSTRACT

Stability and Adaptability on Yield and Yield Components of Potential Genotypes Black Soybean in Java

Black soybean is a strategic and potential commodity. Trough a selection of the representative environments, explore the potential of high yield, and observe the effect of genotype x environment interactions is expected to obtained a high yielding genotype of black soybean. The objectives of this study were to obtain information about the effect of genotype x environment interaction on the performances of black soybean genotypes and to obtain black soybean genotypes are stable and widely adapted or adapt to specific region. The experiment were conducted at 10 locations across Java, i.e. Bogor, Cianjur, Jatinangor 1 and 2, Majalengka, Cirebon, Yogyakarta, Madiun, Ngawi, and Banyuwangi, from March 2012 until October 2013. A randomized complete block design with four replicates at each environment was employed with seven genotypes as treatment. Joint regression analysis, AMMI biplot, and YSi were applied to analyze stability and adaptability. The result showed that the whole trait of yield and yield components of black soybean genotypes affected by genotype x environment interactions. Genotypes CK 6 and KA 2 regarded as the most stable and widely adapted for traits of seed weight per plant, 100 seed weight, and yield. Genotypes CK 5, CK 12, KA 6, Cikuray, and Detam 1 showed adaptability in specific region.

Key Words: Adaptability; black soybean; genotype x environment interaction; stability.

iii

ABSTRAK

Stabilitas dan Adaptabilitas Hasil dan Komponen Hasil Genotip Potensial Kedelai Hitam di Pulau Jawa

Kedelai hitam merupakan komoditas yang strategis dan potensial. Melalui seleksi pada lingkungan yang representatif, menggali potensi hasil tinggi, dan memperhatikan besarnya pengaruh interaksi genotip x lingkungan diharapkan diperoleh genotip unggul kedelai hitam. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang pengaruh interaksi genotip x lingkungan terhadap penampilan hasil dan komponen hasil genotip kedelai hitam dan mendapatkan genotip kedelai hitam yang stabil dan beradaptasi luas atau beradaptasi spesifik wilayah. Percobaan dilaksanakan di 10 lokasi yang tersebar di pulau Jawa, yaitu Bogor, Cianjur, Jatinangor 1 dan 2, Majalengka, Cirebon, Yogyakarta, Madiun, Ngawi, dan Banyuwangi, mulai dari Maret 2012 sampai dengan Oktober 2013. Percobaan di setiap lokasi menggunakan metode eksperimen berdasarkan rancangan acak kelompok yang diulang sebanyak empat kali dengan tujuh genotip potensial sebagai perlakuan. Analisis stabilitas dan adaptabilitas hasil menggunakan tiga metode, yaitu regresi linier Eberhart Russell, AMMI biplot, dan YSi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh karakter hasil dan komponen hasil genotip kedelai hitam dipengaruhi oleh interaksi genotip x lingkungan. Genotip yang memiliki bobot biji per tanaman, bobot 100 biji, dan hasil paling stabil dan beradaptasi luas adalah CK 6 dan KA 2. Genotip CK 5, CK

12, KA 6, Cikuray, dan Detam 1 beradaptasi spesifik wilayah. Kata kunci: Adaptabilitas; kedelai hitam; interaksi genotip x lingkungan; stabilitas.

iv

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Stabilitas dan Adaptabilitas Hasil dan Komponen Hasil Genotip Potensial Kedelai Hitam di Pulau Jawa”. Selama penelitian dan penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik berupa saran, bimbingan, dan masukan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Dr.Sc.Agr. Agung Karuniawan, Ir., M.Sc.Agr., selaku ketua tim pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, dan dukungan hingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

2. Dr. Meddy Rachmadi, Ir., MS., selaku anggota tim pembimbing yang telah mengarahkan, membimbing, dan memberi saran selama penyusunan hingga selesainya tesis ini.

3. Dedi Ruswandi, Ir., M.Sc., Ph.D., selaku penelaah pertama, Noladhi Wicaksana, SP., MP., Ph.D., selaku penelaah kedua dan Dr. Neni Rostini, Ir., MS., selaku penelaah ketiga yang telah memberikan saran dan masukan hingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

4. Budi Waluyo, SP., MP., yang telah membantu penulis selama penelitian hingga selesainya tesis ini dengan memberikan bimbingan, saran, motivasi, dukungan dan perhatian yang sangat besar.

5. Konsorsium kedelai melalui Balitkabi Malang T.A. 2012/2013 yang telah mendanai penelitian.

6. Seluruh peneliti tim underutilized crops yang telah membantu selama penelitian hingga selesainya tesis ini.

7. Seluruh rekan-rekan mahasiswa pascasarjana khususnya bidang kajian pemuliaan tanaman angkatan 2012, yaitu Anna Aina Roosda, SP., dan Heri Syahrian Khomaeni, SP.

8. Kedua orang tuaku dan adik tercinta yang selalu memberikan do’a, kasih sayang, perhatian, dukungan, dan bantuan hingga penulis mampu menyelesaikan studi magister.

Akhir kata semoga Allah SWT memberikan imbalan yang setimpal kepada semua pihak yang telah membantu. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu pertanian khususnya kajian pemuliaan tanaman dan bagi pembaca.

Bandung, 21 Juli 2014

Penulis

vi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kedelai hitam (Glycine max (L.) Merr.) merupakan salah satu komoditas tanaman yang penting dan strategis. Di beberapa negara, kedelai hitam telah digunakan sebagai sumber pangan yang sangat baik untuk mencegah penyakit (Xu dan Chang, 2008). Studi saat ini menunjukkan bahwa kedelai hitam kaya akan sumber -tokoferol dan fenol (isoflavon, flavonol, proantosianidin, dan antosianin), besarnya kandungan tersebut tergantung varietasnya (Correa et al., 2010). Di Indonesia kedelai hitam banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan kecap. Kedelai hitam lebih disukai karena dapat memberikan warna hitam alami pada kecap yang dihasilkan. Kecap yang dibuat dari kedelai hitam memiliki kandungan protein dan nutrisi yang lebih baik dibanding dengan kecap yang dihasilkan dari kedelai kuning (Adie et al., 2009).

Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan, bertambahnya jumlah penduduk, dan bertambahnya industri yang menggunakan bahan baku kedelai hitam akan meningkatkan kebutuhan kedelai hitam di Indonesia. Untuk menunjang kebutuhan tersebut, maka diperlukan adanya varietas unggul kedelai hitam. Sejak 1918 – 2012 pemerintah Indonesia telah melepas 74 varietas unggul kedelai dan tujuh di antaranya adalah varietas kedelai hitam (Balitbangtan, 2012). Tujuh varietas unggul tersebut masih sangat sedikit Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan, bertambahnya jumlah penduduk, dan bertambahnya industri yang menggunakan bahan baku kedelai hitam akan meningkatkan kebutuhan kedelai hitam di Indonesia. Untuk menunjang kebutuhan tersebut, maka diperlukan adanya varietas unggul kedelai hitam. Sejak 1918 – 2012 pemerintah Indonesia telah melepas 74 varietas unggul kedelai dan tujuh di antaranya adalah varietas kedelai hitam (Balitbangtan, 2012). Tujuh varietas unggul tersebut masih sangat sedikit

Upaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas kedelai hitam adalah dengan perakitan varietas unggul kedelai hitam baru. Perakitan varietas unggul kedelai hitam dilakukan melalui program pemuliaan tanaman. Kegiatan pemuliaan tanaman diharapkan dapat mendapatkan genotip yang terbaik melalui seleksi pada lingkungan yang representatif, menggali potensi hasil tinggi, dan memperhatikan besarnya pengaruh interaksi genotip dan lingkungan.

Interaksi genotip x lingkungan menjadi hal penting dan mendasar dalam perakitan varietas unggul. Interaksi genotip x lingkungan menghasilkan perbedaan ekspresi genotip pada suatu rentang lingkungan (Basford dan Cooper, 1998). Perbedaan respons karakter genotip tersebut, menyebabkan peringkat genotip dapat sangat berubah pada beberapa lingkungan.

Evaluasi terhadap stabilitas dan daya adaptasi dapat dipenuhi dengan pengulangan plot pengujian, evaluasi karakter, dan seleksi genotip-genotip yang mempunyai peringkat teratas pada setiap pengujian pada rentang lingkungan atau musim tertentu (Waluyo et al., 2006). Stabilitas berkaitan dengan konsistensi penampilan hasil suatu genotip pada beberapa lingkungan yang berbeda. Kemampuan adaptasi suatu genotip berkaitan dengan wilayah atau lingkungan tumbuh yang direspons secara optimal yang dikonversi menjadi hasil tinggi.

Pengujian multilokasi yang cukup representatif bagi semua lingkungan tumbuh penting dilakukan untuk mengetahui adaptabilitas, potensi hasil, dan stabilitas hasil agar dapat ditentukan genotip yang berdaya adaptasi luas dan

spesifik wilayah. Adaptasi luas memberikan stabilitas terhadap keragaman ekosistem, tetapi adaptasi spesifik dapat memberikan keuntungan hasil yang signifikan pada lingkungan tertentu (Wade et al., 1999). Pengujian multilokasi memungkinkan untuk identifikasi genotip yang mempunyai penampilan konsisten dari tahun ke tahun (stabilitas temporal) dan yang konsisten dari lokasi ke lokasi (stabilitas spasial) (Kang, 2002). Stabilitas temporal adalah yang diinginkan oleh petani, sedangkan stabilitas spasial bermanfaat bagi pemulia. Identifikasi stabilitas dan adaptabilitas dapat ditentukan melalui pendekatan metode statistik (Lin et al., 1986).

Beberapa metode telah dikembangkan untuk menganalisis interaksi genotip x lingkungan, untuk memilih genotip yang memiliki penampilan konsisten di beberapa lingkungan, dan untuk mengetahui daya adaptasi (Lin et al., 1986; Becker dan Leon, 1988). Pendekatan statistik yang pertama kali digunakan adalah regresi linier (Yates and Cochran, 1938). Finlay dan Wilkinson (1963), Eberhart dan Russell (1966), dan Perkins dan Jinks (1968) memodifikasi pendekatan regresi, diharapankan hasil memberikan respons yang linier terhadap lingkungan.

Metode statistik lain yang banyak mendapatkan perhatian adalah model additive main effect and multiplicative interactions (AMMI) (Gauch dan Zobel, 1996). Model ini menggabungkan analisis varians dengan analisis komponen utama. Untuk menggambarkan hubungan antara pengaruh genotip dan pengaruh interaksi genotip x lingkungan dengan memplotkan dua komponen AMMI pertama yang divisualisasikan dalam bentuk biplot (Yan et al., 2000). Tampilan biplot memperlihatkan genotip stabil, pengelompokan berdasarkan kesamaan Metode statistik lain yang banyak mendapatkan perhatian adalah model additive main effect and multiplicative interactions (AMMI) (Gauch dan Zobel, 1996). Model ini menggabungkan analisis varians dengan analisis komponen utama. Untuk menggambarkan hubungan antara pengaruh genotip dan pengaruh interaksi genotip x lingkungan dengan memplotkan dua komponen AMMI pertama yang divisualisasikan dalam bentuk biplot (Yan et al., 2000). Tampilan biplot memperlihatkan genotip stabil, pengelompokan berdasarkan kesamaan

Varietas unggul yang diharapkan adalah mampu merespons lingkungan tumbuh secara optimal yang ditandai dengan hasil panen tinggi dan stabil. Untuk memperoleh varietas atau genotip tersebut, maka diperlukan seleksi secara simultan pada rentang lingkungan yang luas. Kang (1993) mengembangkan metode untuk seleksi terhadap genotip hasil tinggi dan stabil. Metode ini mengintegrasikan hasil dan stabilitas menjadi satu pendekatan statistik yang dapat digunakan sebagai kriteria seleksi.

Laboratorium pemuliaan tanaman Unpad memiliki koleksi plasma nutfah kedelai kedelai hitam yang terdiri dari varietas lokal, hasil seleksi galur murni, dan aksesi-aksesi yang dikelola oleh lembaga penelitian. Koleksi plasma nutfah tersebut dikelola di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Unpad. Pada penelitian ini digunakan tujuh genotip kedelai hitam, terdiri dari lima galur harapan Unpad dan dua varietas unggul nasional.

Galur-galur harapan tersebut potensial untuk dikembangkan dan dilepas sebagai varietas unggul. Untuk itu diperlukan pengujian di beberapa lokasi untuk mengetahui interaksi genotip x lingkungan, stabilitas hasil, dan daya adaptasi. Pengujian dilakukan pada 10 lokasi yang tersebar di pulau Jawa. Lokasi tersebut merepresentasikan lingkungan yang beragam dan sebagian merupakan sentra produksi kedelai. Pengujian pada 10 lokasi tersebut bekerjasama dengan Konsorsium Kedelai, yang terdiri dari Balitbangtan (Balitkabi dan BB Biogen) dan Unpad.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian di atas dapat diidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut:

1) Apakah penampilan hasil dan komponen hasil genotip kedelai hitam dipengaruhi oleh interaksi genotip x lingkungan?

2) Apakah ada genotip kedelai hitam yang memiliki stabilitas hasil tinggi dan beradaptasi luas atau beradaptasi spesifik wilayah?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Untuk memperoleh informasi tentang pengaruh interaksi genotip x lingkungan terhadap penampilan hasil dan komponen hasil genotip kedelai hitam.

2) Untuk mendapatkan genotip kedelai hitam yang memiliki stabilitas hasil tinggi dan beradaptasi luas atau beradaptasi spesifik wilayah.

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Genotip-genotip berdaya hasil tinggi, stabil, beradaptasi luas atau beradaptasi spesifik wilayah dapat dijadikan calon varietas unggul untuk pelepasan varietas tanaman sebagai jaminan kontinyuitas produksi dan penyediaan bahan baku industri khususnya industri kecap.

2. Informasi interaksi genotip x lingkungan, stabilitas hasil, serta daya adaptasi dapat dijadikan dasar pemilihan genotip unggul berdasarkan daya dukung 2. Informasi interaksi genotip x lingkungan, stabilitas hasil, serta daya adaptasi dapat dijadikan dasar pemilihan genotip unggul berdasarkan daya dukung

3. Informasi stabilitas dan adaptabilitas kedelai hitam pada wilayah yang beragam dapat memperkaya khasanah ilmu dan pengetahuan pemuliaan

tanaman.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Lingkungan Tumbuh dan Wilayah Produksi Tanaman Kedelai di Indonesia

Iklim tropis seperti di Indonesia cocok untuk pertumbuhan kedelai, dan penanamannya bisa dilakukan sepanjang musim. Lingkungan tumbuh berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai. Komponen lingkungan yang menentukan produksi kedelai menurut Sumarno dan Manshuri (2007) adalah faktor iklim (suhu, lama penyinaran, hujan, dan distribusi hujan) dan kesuburan tanah dan biologi (tekstur, pH, dan bahan organik).

Tanaman kedelai sensitif terhadap panjang hari. Lama penyinaran adalah faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan vegetatif sebelum tanaman mulai berbunga (Martin, 1998). Kedelai diklasifikasikan sebagai tanaman berhari pendek, maka tidak dapat berbunga jika panjang hari melebihi 16 jam dan akan lebih cepat berbunga ketika lama penyinaran kurang dari 12 jam (Adie dan Krisnawati, 2014). Untuk pertumbuhan yang cepat, suhu udara yang diperlukan antara 25 - 30 C (Beversdorf, 1993).

Berdasarkan data Kementan (2014), wilayah produksi kedelai yang tinggi di Indonesia pada tahun 2012 adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Aceh, Jawa Barat, dan DI Yogyakarta. Produksi masing-masing provinsi sebesar 361,986 ton, 152,416 ton, 74,156 ton, 51,439 ton, 47,426 ton, dan 36,033 Berdasarkan data Kementan (2014), wilayah produksi kedelai yang tinggi di Indonesia pada tahun 2012 adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Aceh, Jawa Barat, dan DI Yogyakarta. Produksi masing-masing provinsi sebesar 361,986 ton, 152,416 ton, 74,156 ton, 51,439 ton, 47,426 ton, dan 36,033

Percobaan ini dilakukan pada lahan, elevasi, dan jenis tanah yang bervariasi. Lahan yang digunakan berupa lahan sawah dan lahan tegalan. Untuk wilayah Jawa bagian Barat, percobaan dilakukan di lokasi Bogor, Cianjur, Jatinangor, Majalengka, dan Cirebon, dengan elevasi rendah sampai dengan tinggi. Lokasi yang menggunakan lahan sawah untuk penanaman adalah Cianjur dan Majalengka dengan jenis tanah regosol.

Cianjur termasuk dataran tinggi (750 m dpl) dan Majalengka termasuk dataran rendah (56 m dpl). Penanaman di lokasi Bogor, Jatinangor, dan Cirebon pada lahan tegalan dengan jenis tanah berturut-turut latosol, inceptisol, dan entisol. Bogor dan Cirebon termasuk dataran rendah dengan elevasi 100 m dpl (Bogor) dan 15 m dpl (Cirebon), sedangkan Jatinangor termasuk dataran tinggi dengan elevasi 780 m dpl.

Untuk wilayah Jawa bagian Tengah diwakili oleh Yogyakarta, lahan yang digunakan adalah lahan tegalan dengan jenis tanah latosol. Elevasi lokasi Yogyakarta 200 m dpl, yaitu termasuk dataran rendah. Wilayah Jawa bagian Timur, percobaan dilakukan di lokasi Madiun, Ngawi, dan Banyuwangi. Lahan yang digunakan adalah lahan sawah dengan jenis tanah vertisol untuk lokasi Madiun, regosol kelabu untuk Ngawi, dan asosiasi latosol untuk lokasi Banyuwangi. Ketiga lokasi di Jawa Timur ini termasuk dataran rendah dengan elevasi dari 36 – 75 m dpl.

2.1.3 Interaksi Genotip x Lingkungan

Penampilan individu tanaman adalah hasil dari konstitusi genetik, lingkungan tumbuh, dan interaksi keduanya. Interaksi genotip x lingkungan diartikan sebagai kegagalan suatu genotip untuk mempertahankan penampilannya pada lingkungan yang berbeda (Baker, 1988). Adanya interaksi genotip x lingkungan mengakibatkan penampilan genotip tidak stabil. Interaksi genotip x lingkungan menjadi tantangan dan konsekuensi bagi pemulia dalam mengembangkan varietas unggul.

Penting untuk memahami genotip dan lingkungan yang menyebabkan interaksi genotip x lingkungan, termasuk rancangan idiotipe, seleksi tetua berdasarkan karakter, dan seleksi berdasarkan hasil (Jackson et al., 1996; Yan dan Hunt, 1998). Pengetahuan mengenai penyebab interaksi genotip x lingkungan digunakan untuk memilih lokasi pengujian, untuk seleksi adaptasi luas atau adaptasi spesifik wilayah, dan menentukan pengujian multilokasi untuk jumlah genotip yang banyak atau sedikit (Yan et al., 2007). Oleh karena itu, biaya untuk pengujian akan lebih berkurang dengan mengurangi lokasi uji yang tidak sesuai.

Interaksi genotip x lingkungan merupakan komponen yang penting dan mendasar pada program pemuliaan tanaman dalam perakitan suatu genotip atau varietas unggul. Genotip dan interaksi genotip x lingkungan harus dipertimbangkan secara serempak ketika membuat keputusan pemilihan genotip terbaik atau varietas (Yan, 2002). Hal tersebut dilakukan untuk menghindari kehilangan genotip-genotip unggul karena pertumbuhan dan hasil tanaman Interaksi genotip x lingkungan merupakan komponen yang penting dan mendasar pada program pemuliaan tanaman dalam perakitan suatu genotip atau varietas unggul. Genotip dan interaksi genotip x lingkungan harus dipertimbangkan secara serempak ketika membuat keputusan pemilihan genotip terbaik atau varietas (Yan, 2002). Hal tersebut dilakukan untuk menghindari kehilangan genotip-genotip unggul karena pertumbuhan dan hasil tanaman

Bilbro dan Ray (1976) mengemukakan bahwa interaksi genotip x lingkungan akan menjadi optimal dan potensial jika (i) tingkat hasil genotip yang mempunyai hasil di atas rata-rata, (ii) adaptasi, yaitu bentuk lingkungan yang dapat memunculkan genotip-genotip terbaik, dan (iii) stabilitas, yaitu konsistensi hasil suatu genotip dibandingkan dengan genotip lain. Semua aspek ini akan terintegrasi dalam satu pengukuran suatu karakter pada suatu genotip.

Lingkungan juga harus diperhatikan dalam proses seleksi genotip untuk perakitan varietas unggul. Lingkungan yang sesuai akan mendukung keberhasilan seleksi genotip-genotip terbaik. Wilayah penanaman dibagi ke dalam beberapa area kecil pada suatu mega-lingkungan yang dapat mendukung nilai heritabilitas lebih tinggi, kemajuan pemulia untuk mencapai tujuan lebih cepat, potensi daya saing produsen benih lebih kuat, dan hasil yang tinggi di tingkat pengguna (Gauch dan Zobel, 1997). Penerapan metode statistik untuk klasifikasi lingkungan menjadi wilayah - wilayah kecil dapat ditentukan dengan cara analisis klaster,

yaitu mengkategorikan lingkungan menggunakan analisis komponen utama (principal component analysis) (Carver et al., 1987; Geng et al., 1990; Kearsey dan Pooni, 1996) dan model additive main effect and multiplicative interactions (AMMI) yang menggabungkan analisis varians dengan analisis komponen utama

(Gauch dan Zobel, 1996).

2.1.4 Stabilitas dan Adaptabilitas

Keberhasilan suatu genotip atau varietas adalah yang memiliki hasil dan karakter agronomi baik. Selain itu, penampilannya stabil pada lingkungan yang luas atau spesifik lingkungan tertentu. Stabilitas hasil adalah hal penting bagi pemulia, dan berkaitan dengan kemampuan adaptasi tanaman. Beberapa pengertian dan konsep stabilitas telah dijelaskan selama bertahun-tahun (Lin et al ., 1986; Becker dan Leon, 1988).

Pengertian stabilitas bersifat relatif, tergantung tujuan akhir dan karakter yang menjadi pertimbangan pemulia. Dua konsep stabilitas dikemukakan Becker dan Leon (1988), yaitu konsep statis dan konsep dinamis. Stabilitas statis adalah penampilan hasil suatu genotip cenderung konstan pada semua lingkungan. Stabilitas dinamis menunjukkan bahwa penampilan genotip stabil, tetapi untuk beberapa lingkungan saja. Stabilitas statis sejalan dengan konsep biologis, dan stabilitas dinamis sejalan dengan konsep agronomis yang dikemukakan oleh Becker (1981).

Lin et al. (1986) mengkategorikan tiga konsep stabilitas, yaitu:

1. Tipe 1. Jika varians genotip di antara lingkungan kecil, maka genotip dianggap stabil. Berdasarkan tipe ini, genotip memiliki penampilan yang sama pada lingkungan yang berbeda. Tipe 1 termasuk dalam konsep stabilitas statis atau konsep biologi menurut Becker dan Leon (1988). Parameter yang digunakan pada tipe stabilitas ini adalah koefisien variabilitas (CV i ) (Francis

dan Kannenberg, 1978) dan varians genotip seluruh lingkungan (S 2

i ).

2. Tipe 2. Genotip dianggap stabil jika respons terhadap lingkungan sejajar dengan respons rata-rata semua genotip. Menurut Becker dan Leon (1988) tipe ini termasuk dalam stabilitas dinamis atau konsep agronomis. Parameter untuk mengukur stabilitas yang sesuai dengan tipe ini adalah koefisien regresi (b i )

(Finlay dan Wilkinson, 1963) dan Shukla (1972) varians stabilitas ( ) serta ecovalence (Wricke, 1962) yang memberikan hasil sama untuk peringkat genotip (Becker dan Leon, 1988).

3. Tipe 3. Genotip dianggap stabil jika kuadrat tengah galat dari model regresi pada indeks lingkungan kecil. Indeks lingkungan adalah rata-rata hasil seluruh genotip di setiap lokasi dikurangi rata-rata umum seluruh genotip di seluruh lokasi. Tipe 3 merupakan bagian dari konsep stabilitas dinamis atau agronomis menurut Becker dan Leon (1988). Untuk mengukur stabilitas tipe 3 dapat digunakan model regresi linier Eberhart dan Russell (1966) dan metode Perkins dan Jinks (1968).

Konsep stabilitas Tipe 4 dikemukakan Lin dan Binns (1991) yang sangat terkait dengan konsep statis. Stabilitas Tipe 4 lebih ditekankan pada konsistensi hasil secara waktu, yaitu selama siklus tanaman dalam lokasi yang sama. Sedangkan Tipe 1 berkaitan dengan konsistensi hasil pada kedua hal yaitu waktu dan lokasi, baik pada lokasi yang berbeda ataupun sama.

Stabilitas hasil suatu genotip berkaitan dengan kemampuan adaptasi genotip tersebut pada kondisi lingkungan tumbuh. Adaptasi dalam konteks biologi diartikan sebagai suatu proses, beradaptasi adalah tingkat adaptasi tanaman terhadap lingkungan tumbuh, adaptabilitas adalah kemampuan untuk Stabilitas hasil suatu genotip berkaitan dengan kemampuan adaptasi genotip tersebut pada kondisi lingkungan tumbuh. Adaptasi dalam konteks biologi diartikan sebagai suatu proses, beradaptasi adalah tingkat adaptasi tanaman terhadap lingkungan tumbuh, adaptabilitas adalah kemampuan untuk

Menurut Simmonds (1962) adaptasi memiliki empat aspek, sebagai berikut:

1. Genotip beradaptasi spesifik, yaitu genotip yang mampu beradaptasi pada lingkungan yang terbatas.

2. Genotip beradaptasi umum, yaitu kemampuan genotip beradaptasi pada berbagai lingkungan.

3. Populasi beradaptasi spesifik, merupakan aspek adaptasi spesifik pada populasi heterogen yang disebabkan oleh interaksi antar komponen bukan berasal dari komponen sendiri.

4. Populasi beradaptasi umum adalah kapasitas populasi heterogen untuk beradaptasi pada berbagai lingkungan.

2.1.5 Metode Statistik untuk Identifikasi Stabilitas dan Adaptabilitas

Ketika ragam interaksi genotip x lingkungan menunjukkan signifikan, satu atau lebih metode analisis stabilitas dapat digunakan untuk identifikasi genotip yang stabil dan mengetahui daya adaptasinya. Metode statistik untuk mengidentifikasi stabilitas dan adaptabilitas dapat dikategorikan menjadi, Ketika ragam interaksi genotip x lingkungan menunjukkan signifikan, satu atau lebih metode analisis stabilitas dapat digunakan untuk identifikasi genotip yang stabil dan mengetahui daya adaptasinya. Metode statistik untuk mengidentifikasi stabilitas dan adaptabilitas dapat dikategorikan menjadi,

2.1.5.1 Metode Regresi Linier

Finlay dan Wilkinson (1963) menentukan koefisien regresi dengan meregresikan rata-rata genotip pada rata-rata lingkungan, dan memplotkan koefisien regresi genotip terhadap rata-rata hasil genotip. Gambaran secara umum pola genotip yang diperoleh ketika koefisien regresi genotip diplotkan terhadap rata-rata hasil genotip dapat dilihat pada Gambar 1. Jika koefisien regresi sama dengan 1 mengindikasikan stabilitas. Ketika genotip stabil dan memiliki hasil tinggi, maka genotip tersebut adaptabilitasnya baik. Ketika genotip stabil namun memiliki hasil yang rendah, maka genotip tersebut adaptabilitasnya buruk pada semua lingkungan. Jika koefisien regresi > 1, genotip sensitif terhadap perubahan lingkungan dan beradaptasi spesifik pada lingkungan yang produktif. Nilai koefisien regresi < 1, genotip tahan terhadap perubahan lingkungan dan beradaptasi spesifik pada lingkungan marjinal.

Gambar 1. Gambaran umum pola genotip yang diperoleh ketika koefisien regresi genotip diplotkan terhadap rata-rata hasil genotip, diadaptasi dari Finlay dan Wilkinson (1963).

Menurut Finlay dan Wilkinson (1963), genotip yang memiliki nilai b i = 0 adalah stabil (konsep statis), sedangkan menurut Eberhart dan Russell (1966) genotip yang stabil adalah memiliki nilai b i = 1 (konsep dinamis). Koefisien

regresi (b i ) dianggap sebagai parameter respons dan sebagai parameter stabilitas, b i digunakan sebagai informasi tambahan untuk mengetahui kemampuan adaptasi genotip. Skema parameter regresi tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Interpretasi parameter regresi b 2

i dan Sd (Becker dan Leon, 1988)

Metode regresi linier telah banyak digunakan oleh pemulia tanaman dalam menghitung stabilitas dan adaptabilitas. Metode ini termasuk dalam metode stabilitas parametrik. Kelemahan dari metode regresi linier, rata-rata genotip (variabel x) dan rata-rata lingkungan (variabel y) tidak independen terhadap hubungan variabel x dan variabel y yang lainnya. Metode ini mengasumsikan hubungan linier antara interaksi dan lingkungan, yang tidak selalu terjadi dan hasilnya mungkin kurang akurat (Westcott, 1986).

2.1.5.2 Metode Additive main effects and multiplicative interaction method (AMMI) dan Biplot

Penggunaan metode AMMI memiliki beberapa kegunaan, pertama AMMI lebih tepat digunakan untuk analisis statistik daya hasil, karena menyediakan alat Penggunaan metode AMMI memiliki beberapa kegunaan, pertama AMMI lebih tepat digunakan untuk analisis statistik daya hasil, karena menyediakan alat

Model AMMI menggabungkan analisis ragam genotip dan efek utama lingkungan dengan analisis komponen utama dari interaksi genotip x lingkungan. Bermanfaat untuk memahami interaksi genotip x lingkungan yang kompleks. Hasil dari analisis AMMI dapat digambarkan dalam bentuk biplot yang memperlihatkan efek utama dan interaksi terhadap genotip dan lingkungan.

Analisis komponen utama (PCA) dari AMMI membagi interaksi genotip x lingkungan menjadi beberapa sumbu ortogonal, yaitu analisis interaksi komponen utama (IPCA). Gauch dan Zobel (1996) menunjukkan bahwa model AMMI 1 dengan IPCA 1 dan AMMI 2 dengan IPCA 1 dan IPCA 2 biasa digunakan dan model tersebut representasi grafis dari sumbu. Jika model AMMI 3 atau lebih tinggi lagi digunakan untuk data pertanian, sumbu IPCA akan didominasi noise dan tidak memiliki nilai prediktif (Van Eeuwijk, 1995).

Pada biplot hasil AMMI, genotip dan lingkungan diplotkan pada diagram yang sama, interaksi spesifik genotip dan lingkungan menggunakan besarnya skor IPCA 1. Genotip dengan skor IPCA 1 mendekati nol menunjukkan bahwa genotip tersebut adaptasinya luas. Genotip yang memiliki skor IPCA 1 besar, Pada biplot hasil AMMI, genotip dan lingkungan diplotkan pada diagram yang sama, interaksi spesifik genotip dan lingkungan menggunakan besarnya skor IPCA 1. Genotip dengan skor IPCA 1 mendekati nol menunjukkan bahwa genotip tersebut adaptasinya luas. Genotip yang memiliki skor IPCA 1 besar,

2.1.5.3 Metode Yield Stability Statistic (YSi)

Varietas berdaya hasil tinggi akan lebih dipilih oleh petani jika ada jaminan sampai batas tertentu, bahwa varietas tersebut konsisten dari tahun ke tahun pada beberapa lokasi (Kang dan Pham, 1991). Kang dan Pham (1991) membahas beberapa metode seleksi secara simultan hasil dan stabilitas dan hubungan keduanya. Untuk itu Kang (1993) membahas mengenai alasan untuk memasukkan stabilitas dalam proses seleksi.

Pengembangan dan penggunaan YSi telah memungkinkan penggabungan stabilitas dalam proses seleksi (Kang, 1993). Metode YSi yang dijelaskan oleh Kang (1993) dan diaplikasikan untuk seleksi genotip yang stabil dan berdaya hasil tinggi. Komponen stabilitas YSi adalah berdasarkan Shukla (1972) varians

stabilitas ( ). Lin et al. (1986) mengklasifikasikan sebagai tipe-2, yaitu konsep stabilitas dinamis, dimana genotip dianggap stabil jika responsnya terhadap lingkungan sejalan dengan respons rata-rata seluruh genotip dalam perlakuan.

Aplikasi metode YSi telah dilakukan Pazdernik et al. (1997) untuk analisis daya hasil, protein dan konsentrasi minyak, dan stabilitas. Disimpulkan bahwa rangking Huhn’s berdasarkan

dan dan YSi Kang dapat digunakan oleh dan dan YSi Kang dapat digunakan oleh

2.2 Kerangka Pemikiran

Penampilan hasil tanaman kedelai hitam pada dasarnya merupakan potensi genetik yang dipengaruhi oleh faktor genotip, lingkungan, dan interaksi genotip x lingkungan yang diformulasikan sebagai : P = G + E + GE. Allard (1960) mengemukakan bahwa suatu karakter dapat berekspresi optimal pada suatu lingkungan yang mendukung jika gen atau gen-gen yang mengendalikan karakter tersebut ada pada tanaman dan merespons lingkungan secara optimal. Perubahan lingkungan direspons secara beragam oleh genotip dan bervariasi antar genotip yang berbeda.

Respons genotip terhadap perubahan lingkungan yang diekspresikan pada suatu karakter melibatkan aspek genetik, biokimia, dan proses fisiologis tanaman. Respons tanaman terhadap lingkungan biotik dan abiotik dikendalikan oleh faktor inti mekanisme respons cekaman (common core of stress response mechanism) (Geiger dan Servaites, 1991). Faktor ini melibatkan gen-gen dan jalur biokimia yang berhubungan dengan pemberian isyarat dan tanggapan terhadap cekaman sebagai alur modifikasi redistribusi fotosintat antar organ dan jalur biokimia yang memungkinkan tanaman tetap merespons potensi lingkungan secara optimal.

Mekanisme tanggapan dan isyarat secara genetik sangat kompleks, bervariasi pada tingkatan efisiensi dalam merespons lingkungan, dan mekanisme tersebut berbeda pada setiap genotip.

Hasil penelitian Lawn dan James (2011), penanaman kedelai pada wilayah yang berbeda dan waktu yang berbeda menunjukkan adanya respons fenologi yang beragam. Respons genotip ini dijadikan dasar sebagai pengelolaan praktis agronomis untuk memilih genotip yang sesuai, dan memilih wilayah pengembangan kedelai yang sesuai. Menurut Boote et al. (2001), model pertumbuhan tanaman secara parsial dapat digunakan ulang untuk mengkaji interaksi genotip x lingkungan jika penelitian dilakukan pada rentang lokasi dan cuaca yang sangat beragam, dan model tanaman dapat digunakan untuk membantu pemulia tanaman menargetkan perbaikan kultivar untuk lingkungan yang spesifik.

Tanggapan karakter suatu genotip terhadap perubahan lingkungan dapat bersifat stabil atau secara relatif berubah. Stabilitas atau perubahan ekspresi karakter adalah upaya tanaman untuk memanfaatkan kemampuan lingkungan secara optimal. Heinrich et al. (1983) mengungkapkan mekanisme stabilitas muncul melalui heterogenitas genetik, kompensasi komponen hasil, toleransi terhadap cekaman lingkungan, dan daya pemulihan yang cepat terhadap tekanan lingkungan. Kemampuan genotip untuk mempertahankan penampilan menurut Allard dan Bradshaw (1964) didasarkan pada fenomena homeostatis, yaitu berdasarkan pada daya penyangga individu dan penyangga populasi. Dengan demikian, diharapkan ada kedelai hitam yang merespons lingkungan secara positif Tanggapan karakter suatu genotip terhadap perubahan lingkungan dapat bersifat stabil atau secara relatif berubah. Stabilitas atau perubahan ekspresi karakter adalah upaya tanaman untuk memanfaatkan kemampuan lingkungan secara optimal. Heinrich et al. (1983) mengungkapkan mekanisme stabilitas muncul melalui heterogenitas genetik, kompensasi komponen hasil, toleransi terhadap cekaman lingkungan, dan daya pemulihan yang cepat terhadap tekanan lingkungan. Kemampuan genotip untuk mempertahankan penampilan menurut Allard dan Bradshaw (1964) didasarkan pada fenomena homeostatis, yaitu berdasarkan pada daya penyangga individu dan penyangga populasi. Dengan demikian, diharapkan ada kedelai hitam yang merespons lingkungan secara positif

Lingkungan yang berpengaruh terhadap penampilan karakter dan genotip tanaman secara garis besar ada dua, yaitu lingkungan yang dapat diprediksi dan lingkungan yang tidak dapat diprediksi (Allard dan Bradshaw, 1964). Lingkungan yang dapat diprediksi misalnya jenis iklim dan tanah, pemupukan, panjang hari, waktu tanam, metode panen, dan praktek agronomi lainnya. Lingkungan yang tidak dapat diprediksi meliputi fluktuasi cuaca, seperti jumlah dan distribusi hujan, temperatur, dan faktor lainnya yang tidak dapat diduga. Perbedaan dalam plastisitas untuk karakter yang sama di lingkungan beragam ditentukan oleh cekaman yang diterima oleh karakter (Couso dan Fernández, 2012).

Perubahan secara relatif karakter tanaman pada lingkungan yang beragam dapat diukur dan ditentukan tanggap responsnya. Interaksi genotip x lingkungan sering menyebabkan suatu genotip yang menampilkan hasil tertinggi di suatu lokasi sering tidak konsisten di lokasi lain. Pengujian suatu genotip di beberapa lingkungan yang berbeda perlu dilakukan untuk memperoleh informasi yang lebih komprehensif terutama tentang keragaman yang muncul di bawah pengaruh kondisi eksternal yang berbeda. Suatu pengukuran pengaruh lingkungan terhadap hasil adalah merupakan pengukuran untuk mengetahui daya adaptasi (Nor dan

Cady, 1979). Penelitian Azizah et al. (2011) pada kedelai hitam yang ditanam pada lingkungan yang beragam, menunjukkan adanya interaksi genotip x lingkungan dan mengidentifikasi genotip-genotip yang stabil dan beradaptasi luas.

Pada pemuliaan tanaman, interaksi antara genotip x lingkungan ini memberikan peluang bagi pemulia tanaman untuk merakit varietas tanaman yang dapat beradaptasi luas atau beradaptasi pada lingkungan tertentu. Perubahan lingkungan yang tidak dapat diprediksi menyebabkan perubahan hasil yang tidak bisa diprediksi pada tanaman, oleh karena itu perlu dilakukan perakitan varietas yang beradaptasi luas dan mampu merespons perubahan lingkungan secara optimal dengan mengkonversi menjadi hasil.

Pada program pemuliaan tanaman, genotip yang berdaya hasil tinggi, beradaptasi luas, atau beradaptasi spesifik wilayah sangat diperlukan untuk menjaga kontinyuitas produksi. Indentifikasi genotip-genotip yang mampu merespons lingkungan menjadi hasil tinggi telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan bantuan statistik, dengan interpretasi beragam berkenaan dengan genotip dan respons genotip terhadap lingkungan.

Identifikasi stabilitas dan adaptabilitas telah dikelompokkan berdasarkan pendekatan metode statistik oleh Lin et al. (1986). Walaupun demikian, kepentingan penentuan penampilan hasil pada suatu genotip yang diinginkan adalah rata-rata hasil tinggi, daya adaptasi luas atau beradaptasi pada lingkungan spesifik, serta mengidentifikasi lingkungan yang potensial dan dapat mendukung hasil yang lebih baik (Annicchiarico, 2002). Oleh karena itu, pemilihan metode Identifikasi stabilitas dan adaptabilitas telah dikelompokkan berdasarkan pendekatan metode statistik oleh Lin et al. (1986). Walaupun demikian, kepentingan penentuan penampilan hasil pada suatu genotip yang diinginkan adalah rata-rata hasil tinggi, daya adaptasi luas atau beradaptasi pada lingkungan spesifik, serta mengidentifikasi lingkungan yang potensial dan dapat mendukung hasil yang lebih baik (Annicchiarico, 2002). Oleh karena itu, pemilihan metode

Eberhart dan Russell (1966) menggunakan pendekatan regresi linier untuk menduga respons genotip terhadap lingkungan dengan interpretasi adanya genotip yang stabil, genotip beradaptasi spesifik pada lingkungan produktif, genotip beradaptasi spesifik pada lingkungan marjinal, dan genotip tidak stabil. Gauch dan Zobel (1999) menggunakan pendekatan model aditif dan multifikatif, interpretasi yang diperoleh ditujukan pada genotip beradaptasi luas dan genotip beradaptasi spesifik wilayah. Pendekatan stabilitas hasil yang dikemukakan oleh Kang (1993), menjelaskan genotip yang stabil dan memiliki daya hasil tinggi. Penggunaan metode-metode pendugaan tersebut diharapkan mampu mengidentifikasi genotip- genotip yang berdaya hasil tinggi, beradaptasi luas maupun beradaptasi spesifik wilayah, serta mengidentifikasi wilayah-wilayah pengembangan kedelai hitam di Pulau Jawa.

2.3 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran, dapat diambil hipotesis sebagai berikut:

1) Penampilan hasil dan komponen hasil genotip kedelai hitam dipengaruhi oleh interaksi genotip x lingkungan.

2) Terdapat genotip kedelai hitam yang stabil dan beradaptasi luas atau yang beradaptasi spesifik wilayah.

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Percobaan

Percobaan dilaksanakan di 10 lingkungan yang tersebar di Pulau Jawa. Tujuh lokasi, yaitu Kab. Cianjur, Kab. Bogor, Kab. Majalengka, Kab. Gunung Kidul, Kab. Ngawi, Kab. Madiun, dan Kab. Banyuwangi dilakukan oleh Konsorsium Kedelai. Tiga lokasi lain, yaitu Kab. Sumedang di dua lokasi dan Kab. Cirebon dilakukan oleh laboratorium pemuliaan tanaman Unpad. Deskripsi lokasi percobaan dapat dilihat pada Lampiran 1. Percobaan dilakukan mulai dari Maret 2012 sampai dengan Oktober 2013. Keseluruhan analisis dan interpretasi data dilakukan oleh laboratorium pemuliaan tanaman Unpad.

3.2 Bahan dan Alat Percobaan

Bahan yang digunakan adalah tujuh genotip potensial kedelai hitam. Lima genotip dari genotip-genotip tersebut merupakan galur-galur harapan hasil seleksi galur murni dari populasi varietas nasional dan varietas lokal, yang telah dilakukan uji daya hasil pendahuluan dan uji daya hasil lanjutan. Sedangkan, dua varietas yang digunakan adalah varietas unggul nasional yang telah dilepas. Adapun tujuh genotip yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.

Bahan lain yang digunakan antara lain pupuk dan insektisida. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat peralatan budidaya kedelai, alat ukur, alat tulis, kamera, dan alat pengolah data.

Tabel 1. Daftar genotip kedelai hitam yang digunakan No.

Genotip

Asal

1 CK 5 Unpad yang diperoleh dari hasil seleksi galur murni dari populasi varietas Cikuray

2 CK 6 Unpad yang diperoleh dari hasil seleksi galur murni dari populasi varietas Cikuray

3 CK 12 Unpad yang diperoleh dari hasil seleksi galur murni dari populasi varietas Cikuray

4 KA 2 Varietas lokal Karang Ampel, Indramayu

5 KA 6 Varietas lokal Karang Ampel, Indramayu

6 Cikuray Balitkabi yang diperoleh dari hasil seleksi keturunan persilangan kedelai No. 630 dan No. 1343 (Orba)

7 Detam 1 Balitkabi yang diperoleh dari hasil seleksi persilangan galur introduksi 9837 dengan Kawi

3.3 Metode Penelitian

Percobaan pada masing-masing lokasi menggunakan metode eksperimen berdasarkan Rancangan Acak Kelompok dengan tujuh genotip potensial sebagai perlakuan yang diulang sebanyak empat kali.

3.4 Pelaksanaan Percobaan

3.4.1 Persiapan Lahan

Persiapan lahan yang dilakukan pertama kali adalah mengolah tanah dengan mencangkul lahan. Lahan dibersihkan dari gulma dan sisa-sisa tanaman sebelumnya. Pupuk kandang sebanyak 5 t/ha diberikan pada saat pengolahan tanah. Kemudian dibuat bedengan sebagai plot dengan luas 2,8 m x 4,5 m, jarak tanam 40 cm x 15 cm.

3.4.2 Penanaman

Sebelum ditanami, lubang tanam diberi insektisida karbofuran. Setiap plot terdapat tujuh baris tanaman dan dalam satu baris terdiri dari 30 lubang tanam. Tiap lubang tanam ditanami 2 biji kedelai dengan kedalaman  3 cm, sehingga jumlah tanaman dalam satu plot 420.

3.4.3 Pemeliharaan

Pemeliharaan tanaman meliputi penyulaman, pemupukan, penyiangan gulma, penyiraman, dan pengendalian hama penyakit. Penyulaman dilakukan apabila terdapat tanaman yang tidak tumbuh atau mati, dilakukan paling lambat 7 hst (hari setelah tanam). Pemupukan anorganik setara dengan 250 kg Ponska/ha dan 100 kg SP 36 seluruhnya diberikan 1 minggu setelah tanam.

Penyiangan dilakukan secara intensif agar tanaman terbebas dari gulma. Penyiraman dilakukan intensif jika hari tidak hujan, terutama pada periode kritis yaitu fase perkecambahan, menjelang tanaman berbunga, dan periode pengisian polong. Tindakan preventif terhadap hama utama (pengendalian hama lalat bibit, ulat grayak, ulat penggerek polong, ulat perusak daun, dan Thrips sp.) maupun penyakit dilakukan secara intensif dengan menggunakan insektisida atau fungisida anjuran.

3.4.4 Panen dan Pascapanen

Panen tepat waktu menentukan mutu/benih kedelai. Panen dilakukan setelah 90% polong sudah berubah warna menjadi kuning kecoklatan dan daun Panen tepat waktu menentukan mutu/benih kedelai. Panen dilakukan setelah 90% polong sudah berubah warna menjadi kuning kecoklatan dan daun

3.5 Variabel Pengamatan

Pengamatan yang dilakukan meliputi pengamatan penunjang dan pengamatan utama.

3.5.1 Pengamatan Penunjang

Pada percobaan ini dilakukan pengamatan penunjang untuk mendukung pengamatan utama dan untuk mengetahui keragaan lingkungan pengujian. Pengamatan penunjang yang dilakukan meliputi komponen sebagai berikut:

1. Pengamatan curah hujan (mm) Pengamatan ini dilakukan selama percobaan berlangsung, dengan mencatat curah hujan harian di masing-masing lokasi.

2. Suhu (C) Pengamatan dilakukan selama percobaan berlangsung, dengan mencatat suhu udara minimum dan maksimum di masing-masing lokasi.

3. Kelembaban (%) Pengamatan dilakukan selama percobaan berlangsung, dengan mencatat rata- rata kelembaban udara harian di masing-masing lokasi.

Seluruh data pengamatan penunjang diperoleh dari World Weather Online, 2014.

3.5.2 Pengamatan Utama

Pengamatan utama pada percobaan ini dilakukan terhadap karakter hasil dan komponen hasil. Karakter-karakter yang diamati dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakter hasil dan komponen hasil yang diamati No. Karakter yang

Metode Pengamatan/Pengambilan Sampel Diamati

1 Umur berbunga Pengamatan dilakukan saat 50% dari populasi tanaman (hst) pada setiap aksesi telah berbunga.

2 Umur panen (hst) Pengamatan dilakukan saat polong telah memasuki fase matang fisiologis dengan ditandai perubahan warna polong dari hijau muda atau hijau tua menjadi kecoklatan dan mengering.

3 Tinggi tanaman Diukur tinggi tanaman setiap genotip saat fase R-7.

(cm)

4 Jumlah polong Dihitung jumlah polong yang menghasilkan biji dari per tanaman tiap aksesi. Pengamatan dilakukan setelah panen.

5 Jumlah biji per Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah biji tanaman pada tiap tanaman untuk masing-masing aksesi.

6 Bobot biji per Dilakukan dengan menimbang semua biji bernas kering tanaman (g) per tanaman.

7 Bobot 100 biji (g) Ditimbang bobot 100 biji bernas kering per tanaman.

8 Bobot biji per plot Dilakukan dengan menimbang bobot biji yang

(kg) dihasilkan dalam satu plot.

Tabel 2 (Lanjutan). Karakter komponen hasil dan hasil yang diamati No. Karakter yang

Metode Pengamatan/Pengambilan Sampel Diamati

9 Potensi hasil Dihitung berdasarkan bobot total biji kering pada (ton/ha) 2 ukuran plot 12.6 m , dan dikonversi menggunakan

rumus:

Hasil biji kering (ton/ha)

3.6 Analisis Data

Analisis ragam dilakukan di setiap lokasi untuk mengetahui perbedaan respons masing-masing genotip terhadap lingkungan (Tabel 3) .

Tabel 3. Analisis ragam rancangan acak kelompok untuk masing-masing lokasi

Sumber Ragam db KT KTH

Ulangan r-1 KT ulangan

2 Genotip 2 g-1 KT genotip  e + r  g Galat 2 (r-1)(g-1) KT

galat  e

Total rt-1 KT total

Sumber: Annicchiarico (2002)

Sebelum dilakukan analisis ragam gabungan, terlebih dahulu dilakukan uji homogenitas ragam galat semua lingkungan menggunakan metode Bartlett dengan prinsip uji kecocokan Chi-Square (Petersen, 1994) sebagai berikut :

, dimana

Keterangan : = derajat bebas galat

= kuadrat tengah galat pada lokasi ke-i

a = jumlah lokasi Jika nilai ragam galat semua lingkungan homogen maka dilakukan analisis varians gabungan seluruh lokasi untuk mengetahui interaksi genotip x lingkungan. Analisis ragam gabungan diintegrasikan dengan model a) analisis regresi linier dan b) analisis AMMI, komponen uji diperlihatkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Analisis ragam gabungan dengan mengintegrasikan model 1) analisis regresi gabungan dan 2) analisis AMMI

Sumber Ragam db KT Lingkungan y-1 KT lingkungan Ulangan (lingkungan) y(r-1) KT ulangan(lingkungan) Genotip g-1 KT genotip Genotip x lingkungan (g-1)(y-1) KT genotip x lingkungan

1. RG : - Regresi

g-1

KT regresi

- Simpangan

Reminder

2. AMMI : - IPCn

g+y-1-2n

Galat y(r-1)(t-1) KT galat Total yrt-1 KT total

Sumber: Annicchiarico, 2002

Jika berdasarkan analisis ragam gabungan untuk seluruh lingkungan terdapat pengaruh interaksi genotip x lingkungan, maka selanjutnya harus dilakukan analisis daya adaptasi dan stabilitas hasil untuk menentukan populasi- populasi yang mempunyai daya adaptasi luas atau beradaptasi pada lingkungan spesifik dan stabil.

3.6.1 Analisis Stabilitas dan Adaptabilitas