Karakteristik komunitas parasitoid telur dan potensinya sebagai agens pengendalian hayati hama penggerek batang padi kuning.

(1)

i

Nopember 2015

Bidang Unggulan : Ketahanan Pangan, Kode/Nama Bidang Ilmu :153 Ilmu Hama dan

Penyakit Tanaman LAPORAN AKHIR

HIBAH PENELITIAN UNGGULAN UDAYANA

KARAKTERISTIK KOMUNITAS PARASITOID TELUR

DAN POTENSINYA SEBAGAI AGENS PENGENDALIAN

HAYATI HAMA PENGGEREK BATANG PADI KUNING,

Schirpophaga incertulas

WALKER (LEPIDOPTERA:

PYRALIDAE) PADA PERTANAMAN PADI

SAWAH DI BALI

TIM PENELITI

Prof. Dr. Ir. I Wayan Supartha MS (0030035703)

Prof. Ir. I Wayan Susila, MS (0029015408)

Ir. I Ketut Sumiartha, M.Agr (0013125602)

Dibiayai oleh:

DIPA PNBP Universitas Udayana

Sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Penelitian Nomor: 246-316/UN14.2/PNL.01.03.00/2015, Tanggal 21 April 2015

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN


(2)

ii

Halaman Pengesahan

1. Judul Penelitian : Karakteristik Komunitas Parasitoid Telur dan Potensinya sebagai Agens Pengendalian Hayati Penggerek Batang Padi Kuning, Schirpophaga Incertulas Walker (Lepidoptera: Pyralidae) pada Pertanaman Padi Sawah di Bali

2. Ketua Peneliti

a. Nama Lengkap : Prof. Dr. Ir. I Wayan Supartha, MS b. Jenis Kelamin : Laki-laki

c. NIP/NIDN : 19570330 198601 1 001/0030035703 d. Pangkat/Gol : Pembina Utama/IVe

e. Jabatan Fungsional : Guru Besar.

f. PS/Fakultas : Agroekoteknologi/Pertanian g. Alamat : PS. Agroekoteknologi, Fakultas

Pertanian,Universitas

Udayana Jl. PB Sudirman Denpasar h. Telepon/E-mail : 082147407777 (yansupartha@yahoo.com) 3. Jumlah anggota peneliti : 3 orang

4. Jumlah mahasiswa : 2 orang 5. Jumlah biaya yang diajukan: Rp 40.000.000,00

Denpasar, 10 Agustus 2015 Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian UNUD

Ketua Peneliti,

Prof. Dr.Ir. I Nyoman Rai, MS) Prof. Dr.Ir. I Wayan Supartha, MS) NIP 19630515 198803 1 001 NIP 19570330 198601 1 001

Mengetahui

Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Udayana

Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M.Eng. NIP 19640807 199203 1 002


(3)

iii RINGKASAN

Penggerek batang padi merupakan salah satu hama utama tanaman padi yang selalu muncul setiap musim tanam padi di Indonesia dengan resiko kerugian yang diakibatkan mencapai 125.000 ton per musim tanam (Soejitno, 1984). Penggerek batang padi kuning adalah spesies yang paling dominan dan menyebabkan kerusakan paling berat di lapang (Hattori dan Siwi ,1986; Supartha, 2001). Spesies hama tersebut dapat menyerang tanaman padi pada fase vegetatif dengan gejala sundep dan pada fase generatif dengan gejala beluk. Faktor musuh alami seperti parasitoid, predator dan pathogen serangga sangat berpengaruh terhadap perkembangannya di alam. Di antara musuh alami tersebut golongan parasitoid mempunyai peranan yang paling penting di lapang, karena dapat memarasit inangnya mulai dari stadia telur, larva dan pupa di lapang (Supartha et al., 1993). Penggerek batang padi kuning, Schipophaga incertulas Walker adalah satu diantara 6 jenis penggerek batang padi yang paling berbahaya dalam budidaya tanaman padi di Bali (Indonesia). Ada tiga jenis parasitoid telur yang sangat berperan dalam pengaturan populasi hama tersebut di alam yaitu Tetrastichus schoenobii, Telenomus rowani, dan Trichogramma japonicum.

Penelitian ini dirancang dalam tiga tahun yaitu tahun pertama ditujukan untuk menganalisis karakteristik komunitas berdasarkan indeks keragaman, kesamaan, dominansi dan kelimpahan populasi parasitoid telur penggerek batang padi kuning di lapang. Selain itu penelitian juga ditujukan untuk mengganalisis hubungan populasi parasitoid telur penggerek batang padi kuning dengan populasi inangnya. Pada tahun yang sama penelitian juga ditujukan untuk mendeskripsikan pola suksesi dan tingkat parasitisasi parasitoid telur penggerek batang padi kuning dalam pemanfaatan inang di lapang. Untuk mendudukung hasil penelitian lapang tersebut juga dilakukan penelitian laboratorium untuk menganalisis respon parasitoid telur penggerek batang padi kuning terhadap kerapatan populasi inangnya.

Penelitian ini dilakukan di tiga kabupaten di Bali untuk mengetahui keragaman, kelimpahan populasi dan respons parastoid terhadap kerapatan populasi inangnya. Penelitian ini menggunakan metode survei yang dilakukan sejak bulan Mei sampai dengan Juli 2015. Sementara peneitian tanggap parasitoid terhadap kerapatan inang dilakukan di Laboratorium Pengelolaan Hama Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana, sejak bulan Juli-Agustus 2015, dengan rancangan acak kelompok yang terdiri dari 5 perlakuan kerapatan inang dan 10 kali ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks keragaman parasitoid telur itu tergolong sangat rendah di semua lokasi penelitian yang didominasi oleh populasi T. schoenobii. Berbeda dengan indeks kesamaan dan dominansi yang tergolong sangat tinggi di semua lokasi penelitian. Populasi parasitoid telur penggerek batang padi kuning didominasi oleh T. schoenobii sejak tanaman berumur 2 mst sampai tanaman berumur 6 sampai 7 mst. Setelah itu dominansi populasi itu digantikan oleh T. rowani dan T. japonicum. Hubungan antara populasi kelompok telur dengan tingkat parasitisasi sangat positif, semakin tinggi populasi kelompok telur semakin tinggi tingkat parasitisasinya.

Sementara tanggap parasitoid telur terhadap kerapatan populasi inangnya berbeda nyata antar perlakuan kerapatan populasi inang (P<0.5). Ketiga jenis parasitoid tersebut menunjukkan tanggap fungsional tipe-2 yaitu laju parasitisasinya semakin meningkat sampai batas tertentu, kemudian semakin mengendur. T. schoenobii adalah spesies yang


(4)

iv

paling berperan dalam pengaturan populasi inang di alam. Dapat disimpulkan bahwa parasitoid telur itu mempunyai potensi kuat sebagai agen pengendalian hayati penggerek batang padi kuning di Bali. Namun demikian, T. rowani dan T japonicum mempunyai peranan kuat setelah tanaman berumur 7 minggu setelah tanam untuk menekan populasi telur pada saat tanaman memasuki fase generatif.


(5)

v PRAKATA

Dengan manjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Waca, Tuhan Yang Maha Esa karena berkat RahmatNya laporan ini dapat diselesaikan sesuai dengan yang direncanakan. Laporan dengan judul “Karakteristik Komunitas Parasitoid Telur dan Potensinya sebagai Agens Pengendalian Hayati Penggerek Batang Padi Kuning, Schirpophaga incertulas Walker (Lepidoptera: Pyralidae) pada Pertanaman Padi Sawah di Bali” disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di tiga sentra tanaman padi (endemis penggerek batang padi kuning) yaitu Jemberana, Tabanan dan Badung berlangsung dari bulan Mei sampai dengan Juli 2015 untuk memetakan keragaman, kesamaan, dominansi dan kelimpahan populasi parasitoid telur di lapang termasuk pola suksesinya sejak tanaman berumur 2 mst sampai fase generatif. Sementara penelitian labratorium dilakukan di Laboratorium pengelolaan Hama dan Penyakit Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Udayana untuk mendalami tanggap parasitoid telur terhadap kerapatan populasi telur inang penggerek batang padi kuning yang dilakukan selama 2 bualn sampai Agustus 2015. Selama pelaksanaan dan penyelesaian laporan penelitian ini banyak pihak yang ikut membantu terutama Ni Made Delly Resiani (mahasiswa Doktoral, Prodi Doktor Ilmu pertanian Unud) dan Latizio Beni da Costa Cruz (mahasiswa Jurusan Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Unud) dan juga beberapa petugas penyuluh pertanian lapang (PPL) di setiap lokasi. Untuk itu, kepada yang bersangkutan penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya semoga kerjasamanya dapat memberi manfaat untuk pengembangan karirnya ke depan.

Penulis juga mengucapakn terimakasih dan penghargaan kepada Ketua Jurusan Agroekoteknologi, Dekan Fakultas Pertanian dan Rektor Universitas Udayana atas dukungannya dalam pencarian dan pencaiaran dana penelitian ini. Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pengembangan dan keamjuan ilmu pengetahuan dan teknologi Tanah air.

Denpasar, Nopember 2015 Penulis.


(6)

vi DAFTAR ISI

Halaman SAMPUL DALAM. ... I

HALAMAN PENGESAHAN. ... ii

RINGKASAN ... iii

PRAKATA ... v

DAFTAR ISI. ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN……… ... 1

1.1Latar Belakang. ... 1

1.2Tujuan Penelitian……… ... 3

1.2.1 Tujuan Umum ... 3

1.2.2 Tujuan Khusus Tahun Pertama ... 3

1.3Luaran Penelitian ... 3

1.3.1 Luaran Umum ... 3

1.3.2 Luaran Khusus ... 3

1.4Manfaat Penelitian………. ... 4

II. KAJIAN PUSATAKA……… ... …5

2.1Penggerek Batang Padi Kuning, Scirpophaga incertulas ... 5

2.1.1Klasifikasi ... 5

2.1.2Morfologi ... 6

2.1.3Biologi ... 6

2.1.4Ekologi ... 8

2.1.5Gejala Serangan ... 8

2.1.6Pengendalian ... 9

2.2Parasitoid Telur ... 9

2.2.1Trichogramma japonicum Ashm ... 9

2.2.2Telenomus rowani Gahan ... 11

2.2.3Tetrastichus schoenobii Ferr ... 12

2.3Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan ... 13

2.4Hubungan Antara Parasitoid dan Inang ... 13

2.5Respon Parasitoid Terhadap Kepadatan Inang ... 14

III. METODE PENILITIAN ... 18

3.1Tempat dan Waktu Penelitian ... 18

3.2Bahan Penelitian... 18

3.3Instrumen Penelitian... 18

3.4Prosedur Penelitian... 18

3.4.1Perbanyakan Serangga Inang ... 18

3.4.2Perbanyakan Parasitoid ... 19

3.4.3Pelaksanaan Penelitian ... 20

3.4.3.1 Penelitian Karakteristik Komunitas ... 20

3.4.3.2 Pola Suksesi dan tingkat Parasitisasi Parasitoid Telur ... 22

3.4.3.3 Penelitian Respon Parasitoid Telur terhadap Kerapatan Populasi Inang ... 23


(7)

vii

3.5Analisis Data ... 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

4.1Karateristik Komunitas Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning ... 25

4.1.1Persentase kelompok telur terparasit ... 26

4.1.2Tingkat Parasitisasi ... 26

4.2Pola suksesi Populasi antar Spesies Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning ... 29

4.3Respon Parasitoid Telur Terhadap Kepadatan Populasi Inang ... 32

V. KESIMPULAN ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36

DAFTAR TABEL Halaman 4.1Jumlah kelompok telur yang dikoleksi dari setiap lokasi sesuai dengan umur Tanaman ... 25

4.2Rerata tingkat parasitisasi parasitoid telur penggerek batang padi kuning (%) di tiga kabupaten di Bali ... 26

4.3Karakteristik Komunitas Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning ... 27

4.4Indeks kesamaan jenis parasitoid telur penggerek batang padi kuning di tiga kabupaten di Bali ... 28

4.5Rerata kelimpahan populasi parasitoid telur penggerek batang padi kuning (%) di tiga kabupaten di Bali ... 28

4.6Nilai koefisien determinasi (R2) dan standar deviasi (sd) parasitoid telur penggerek batang padi kuning untuk menentukan tipe model tanggap fungsional ... 32


(8)

viii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1Penggerek Batang Padi Kuning (Scirpophaga incertulas Walker)... 5

2.2Kelompok telur penggerek yang belum dan sudah terparasit ... 7

2.2.1 T. Japonicum ... 10

2.2.2 T. Rowani ... 11

2.2.3 T. Schoenobii ... 12

2.5.1 Tanggap Fungsional Tipe I ... 15

2.5.2 Tanggap Fungsional Tipe II ... 15

2.5.3 Tanggap Fungsional Tipe III ... 16

3.4.1 Bagan Perbanyakan Inang ... 19

3.4.2 Bagan Perbanyakan Parasitoid ... 20

4.1Persentase Kelompok telur Penggerek Batang padi Kuning Terparasit oleh Parasitoif Telur ... 26

4.2Indeks dominansi jenis parasitoid ... 29

4.3Pola suksesi populasi parasitoid telurpenggerek batang padi di kabupaten Badung ... 31

4.4Pola suksesi populasi parasitoid telur penggerek batang padi kuning di Kabupaten Tabanan... 31

4.5Pola Suksesi populasi parasitoid telur penggerek batang padi kuning di Kabupaten Jemberana ... 32


(9)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Karakteristik Habitat Pada Masing-Masing Wilayah Penelitian. ... 39 2. Dokumen Mengikuti Seminar Nasional Sain dan Teknologi 2015

Hari/ Tanggal: Kamis-Jumat, 29-30 Oktober 2015 di Patrab jasa Bali Resort & Villas Kuta Bali dengan Tema Inovasi Humaniora, Sains,

dan teknologi untuk Pembangunan Berkelanjutan ... 41 3. Dokumen Mengikuti Kongres dan General Meating ISSAAS 2015 &

118th JSTA International Joint Conference di Tokyo Univercity of Agriculture November 7-9 2015 dengan Tema Agriculture Sciences

For Sustaineble Development ... 46 4. Personil Tenaga Penelitian Beserta Kualifikasinya ... 52


(10)

1

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penggerek batang padi merupakan salah satu hama endemis yang menjadi hama utama tanaman padi di Indonesia. Akibat serangan hama tersebut petani menderita kerugian hasil panennya sekitar 125.000 ton per musim tanam (Soejitno, 1984). Sejak tahun 2001-2011 luas serangan hama tersebut semakin meningkat dan berflukstuasi di Bali dari tahun ke tahun yaitu berturut-turut 1.105; 1.672,2; 1.689,5; 1.872; 1.724,5; 2.673,5; 1.265,15; 823,55; 1.223,25 dan 763,55 ha dengan intensitas serangan ringan sampai berat (BPTPH Bali, 2011). Kondisi tersebut berpotensi menjadi ancaman serius terhadap usaha peningkatan produksi beras dan program swansembada beras nasional yang sedang digalakkan oleh pemerintah dewasa ini.

Ada enam spesies penggerek batang padi yang dilaporkan menyerang tanaman padi di Indonesia (Suharto dan Sembiring, 2007) yaitu penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas Walker (Lepidoptera: Pyralidae), penggerek batang padi putih Scirpophaga innotata Walker (Lepidoptera: Pyralidae), penggerek batang padi bergaris Chilo suppressalis Walker (Lepidoptera: Pyralidae), penggerek batang padi kepala hitam Chilo polychrysus Meyrick (Lepidoptera: Pyralidae), penggerek batang padi berkilat Chilo auricillius

Dudgeon (Lepidoptera: Pyralidae) dan penggerek batang padi merah jambu

Sesamia inferens Walker (Lepidoptera: Noctuidae). Sementara di Bali hanya empat spesies yang ditemukan menyerang tanaman padi di lapang yaitu S. incertulas,C. suppressalis, C. polychrysusdan S. inferens (Supartha et al, 1993). Di antara keenam spesies tersebut hanya S. incertulas yang paling dominan dan menyebabkan kerusakan paling berat di lapang (Hattori dan Siwi ,1986; Supartha, 2001).

Untuk menangani masalah hama tersebut pemerintah telah menetapkan konsep dan teknologi pengendalian yang ramah lingkungan yaitu pengelolaan hama terpadu dengan pendekatan ekologis dalam pengelolaan ekosistem tanaman tersebut. Di dalam sistem pengelolaan hama terpadu tersebut pemanfaatan musuh-musuh alami seperti parasitoid, predator dan entomopatogen adalah prioritas utama (Laba, 1998). Pemanfaatan parasitoid dalam usaha pengendalian hama terpadu di berbagai negara di dunia banyak yang melaporkan berhasil baik.


(11)

2

Menurut Supartha et al. (1993) golongan parasitoid mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengaturan populasi hama tanaman terutama padi di lapang. Parasitoid tersebut dapat memarasit inangnya mulai dari stadia telur, larva dan pupa di lapang. Menurut Kim et al. (1986) dan Supartha (2001) jenis parasitoid telur yang umum ditemukan meyerang telur penggerek batang padi di lapang adalah Trichogramma japonicum Ashm (Hymenoptera: Trichogrammatidae),

Telenomus rowani Gahan (Hymenoptera: Scelionidae) dan Tetrastichus schoenobii Ferr (Hymenoptera: Eulophidae). Agus (1991) menemukan ketiga spesies parasitoid tersebut memarasit telur penggerek batang padi kuning di lapang sejak tanaman berumur 4 mst. Islam (1991) menemukan bahwa sekitar 41% telur penggerek batang padi kuning tersebut diparasit oleh T. rowani dan 93% oleh T. schoenobii. Berbeda dengan laporan Nurbaeti et al. (1994) bahwa lebih dari 50%telur penggerek batang padi kuning diparasit oleh T. schoenobii, hanya 15 - 18% oleh T. rowani dan 2-8% oleh T. Japonicum. Hasil penelitian Laba (1998) juga menunjukkan kecenderungan proporsi parasitisasi yang sama antara T. schoenobii, T. rowani dan T. Japonicum yaitu 71, 40 - 98 dan 20% Kejadian sejenis juga ditemukan pada penggerek batang padi putih yang telurnya di parasitisasi oleh parasitoid Trichogramma sp dan Tetrastichus sp. antara 7,5 - 38,0%.

Perkembangan populasi parasitoid di alam sering mengalami hambatan biologis maupun ekologis berkaitan dengan kemampuan adaptasinya terhadap lingkungan. Kondisi tersebut sering berdampak terhadap pola suksesi dan kemampuannya melakukan adapasi dan parasitisasi terhadap kelompok telur inangnya, sehingga berpengaruh juga terhadap karakteristik komunitas dan peranannya dalam pengaturan populasi inangnya di lapang. Masing-masing parasitoid mempunyai cara dan kemampuan adaptasi untuk melakukan parasitisasi terhadap telur-telur inangnya (Supartha, 2001). Untuk itu, perlu dilakukan penelitian khusus berkaitan dengan karakteristik komonitas parasitoid yang ditunjukkan oleh indeks keragaman, kesaamaan dan dominnansi spesiesnya, serta kelimpahan populasinya di masing-masing lokasi, dan pola suksesinya di lapang. Untuk mendalami karakteristik masing-masing parasitoid tersebut perlu dilakukan penelitian laboratorium untuk menilai responsnya terhadap kepadatan populasi telur-telur inangnya yang akan digunakan untuk mengukur kemampuan masing-masing individu parasitoid dalam pengaturan populasi inang di lapang.


(12)

3

Rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah keragaman, kesamaan, dominansi dan kelimpahan parasitoid telur penggerek batang padi kuning? (2) Bagaimanakah hubungan perkembangan populasi parasitoid telur penggerek batang padi kuning dengan inangnya? (3) Bagaimanakah pola suksesi dan tingkat parasitisasi parasitoid telur penggerek batang padi kuning dalam pemanfaatan inang di lapang? (4) Bagaimanakah respons parasitoid telur penggerek batang padi kuning terhadap kerapatan populasi inang?

1.2 Tujuan Penelitian 1.2.1 Tujuan Umum

Mengetahui keberadaan parasitoid telur penggerek batang padi kuning sebagai komponen utama pengengendalian hama penggerek batang padi kuning di alam.

1.2.2 Tujuan Khusus tahun pertama

1. Untuk menganalisis keragaman, kesamaan, dominansi dan kelimpahan populasi parasitoid telur penggerek batang padi kuning 2. Untuk mengganalisis hubungan perkembangan populasi parasitoid

telur penggerek batang padi kuning dengan populasi inangnya

3. Untuk mendeskripsikan pola suksesi dan tingkat parasitisasi parasitoid telur penggerek batang padi kuning dalam pemanfaatan inang di lapang?

4. Untuk menganalisis respon parasitoid telur penggerek batang padi kuning terhadap kerapatan populasi inang

1.3 Luaran Penelitian 1.3.1 Luaran Umum

Dapat diiidentifikasi dan dideskripsikan keberadaan jenis parasitoid telur yang berperan mengatur populasi penggerek batang padi kuning di lapang.

1.3.2 Luaran Khusus

1. Karakteristik komonitas dan pola suksesi parasitoid telur penggerek batang padi kuning sebagai agens pengendalian hayati hama penggerek batang padi kuning di lapang sesuai dengan fenologi tanaman inang.


(13)

4

2. Diskripsi hubungan antara dinamika populasi parasitoid telur dengan populasi penggerek batang padi kuning di lapang sebagai dasar penetapan parasitotid telur sebagai agens pengendalian alami hama penggerek batang padi kuning antar ruang dan waktu

3. Deskripsi respon parasitoid telur terhadap kepadatan popualsi penggerek batang padi kuning sebagai parasitoid potensial dalam pengaturan populasi penggerek batang padi kuning di lapang.

4. Manuscript untuk dipresentasikan pada pertemuan ilmiah nasional atau internasional

5. Manuscript untuk dipublikasikan di Jurnal nasional terakreditasi atau jurnal internasional.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat dipakai dasar untuk pengembangan taktik dan strategi pengendalian hayati hama penggerek batang padi kuning.


(14)

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penggerek Batang Padi Kuning S. incertulas

2.1.1 Klasifikasi

Dhuyo (2009) mengklasifikasikan penggerek batang padi kuning sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Klas : Insecta Ordo : Lepidoptera Familia : Pyralidae Genus : Scirpophaga

Spesies : S. incertulas Walker (Gambar 2.1)

Gambar 2.1.

Penggerek Batang Padi Kuning (Scirpophaga incertulas Walker)

Penggerek batang padi kuning disebut dengan berbagai nama. Kapur (1964) menyatakan bahwa pada tahun 1863 penggerek batang padi kuning dikenal dengan nama Chilo incertulas Walker, Scirpophaga punctellus Zeller,

Scirpophaga minutellus Zeller dan Tipanaea bipunctifera Walker, kemudian tahun 1864 dikenal dengan nama Chilo gratiosellus Walker dan tahun 1880 bernama Apurima gratiosella Butler. Pada tahun 1895 - 1896 dikenal dengan nama Scirpophaga Walker dan digunakan sampai tahun 1958. Tahun 1960 dikenal dengan nama Tryporyza incertulas Walker dan tahun 1963 diberi nama

Schoenobius incertulas Walker. Tahun 1977 penggerek batang padi dikenal dengan nama yellow rice borer atau yellow stem borer (Pathak, 1977). Tahun


(15)

6

1991 dikenal kembali dengan nama Scirpophaga incertulas Walker sampai saat ini (Dhuyo, 2009).

2.1.2. Morfologi

Kelompok telur penggerek batang padi kuning berbentuk oval berwarna putih kekuningan dan tertutup oleh bulu halus berwarna kecoklatan (Gambar 2.1). Telur berukuran panjang 0,6±0,03dan lebarnya 0,43±0,02mm sedangkan kelompok telurnya berukuran panjang 5,6±1,36dan lebar 3,37±0,7mm (Hugar et al., 2009).

Larva yang baru menetas berwarna hijau kekuningan dan kepalanya berwarna gelap. Larva instar kedua, ketiga dan keempat berwarna putih krim dan kepalanya berwarna hitam. Larva terdiri dari lima instar. Larva instar akhir berwarna putih kotor dengan panjang tubuh 19,9±0,30mm.Pupa berwarna coklat gelap. Panjang tubuhnya 12.61 ±1,30mm (Hugar et al., 2009).

Imago penggerek batang padi kuning mempunyai ukuran panjang tubuh berkisar antara 13-16 mm. Imago jantan berukuran lebih kecil dari betina dengan sayap berwarna kuning jerami. Pada imago betina, sayap depannya memiliki bintik hitam (Gambar 2.1), sedangkan pada imago jantan bintik tersebut berwarna kecoklatan atau tampak samar-samar (Reissig et al., 1986; Hugar et al., 2009).Panjang sayap jantan saat membuka berukuran 21 mm dan yang betina berukuran 30 mm (Kalshoven, 1981)

2.1.3. Biologi

Imago penggerek batang padi kuning aktif pada malam hari antara pukul 19.00-22.00 dan siang hari bersembunyi di bawah daun tanaman padi. Imago tertarik cahaya dan mempunyai daya terbang yang kuat berkisar antara 6-10 km. Aktivitas imago penggerek mencapai puncaknya pada suhu 21,6 - 30,60 C, pada kelembapan nisbi 82,7% di daerah tropis (Kalshoven, 1981). Perkembangan hama tersebut dapat terus terjadi apabila terdapat pertanaman padi pada tiap musim tanam. Agus (1991) menyatakan bahwa sesaat setelah imago muncul, segera berkopulasi dan siap meletakkantelur. Kopulasi hanya terjadi sekali tetapi peletakan telur dapat berlangsung tiga sampai lima hari. Peletakan telur berlangsung berkisar antara 10-35 menit dalam bentuk kelompok-kelompok. Kelompok telur diletakkan pada bagian ujung daun bendera, pada permukaan atas


(16)

7

daun dekat pucuk atau pada permukaan bawah daun. Agus (1991) juga menyatakan bahwa banyaknya telur per kelompok bervariasi tergantung dari daerahnya (Gambar 2.2). Di Indonesia banyaknya telur per kelompok berkisar antara 50-150 butir, sedangkan di Filipina antara 36-95 butir. Kalshoven (1981) melaporkan bahwa seekor imago betina mampu bertelur sebanyak 200-300 butir, sementara Pathak (1977) hanya 100-200 butir dan Hugar et al. (2009) adalah159,3±39,8 butir .

Telur-telur sebelum menetas berubah warna menjadi gelap dengan bintik hitam (Agus,1991). Kalshoven (1981) menyatakan bahwa stadium telur berkisar antara 4-5 hari dengan suhu optimum untuk penetasan telur antara 25 -320 C pada kelembapan nisbi 85%, sedangkan Hugar et al. (2009) menemukan bahwa lama stadium telur 6,5 hari.

Larva yang baru menetas membuat dua sampai tiga lubang pada bulu sisik kelompok telur atau dari dasar kelompok telur dengan melubangi daun padi. Larva tersebut akan menggerek jaringan daun atau seludang daun sebelum masuk ke arah titik tumbuh. Perkembangan larva berlangsung antara 22-43 hari pada suhu optimum sekitar 17-350 C (Wijaya, 1992), sedangkan menurut Hugar et al. (2009) periode larva berlangsung selama 28,7± 1.10hari. Sesaat sebelum membentuk pupa, larva instar akhir membuat lubang keluar pada ruas pangkal batang dekat permukaan tanah atau air. Lubang tersebut kemudian ditutupi dengan benang sutera. Stadium pupa beragam, berkisar antara 8-14 hari (Soehardjan, 1976) dan 8,6± 0,49hari (Hugar et al., 2009).

Gambar 2.2

Kelompok telur penggerek yang belum (a) dan sudah terparasit (b) Sumber : Chakraborty, 2012


(17)

8

Imago muncul dari bagian tanaman padi setinggi 12,5 cm dari permukaan air. Kemampuan hidupnya berkisar antara 5-7 hari (Kalshoven, 1981). Hugar et al. (2009) menyatakan bahwa rata-rata kemampuan hidup imago betina adalah 68,3± 3,07 jam dan 59,0± 0,71 jam untuk imago jantan. Total siklus hidupnya adalah 42,8± 1,73 hari.

2.1.4 Ekologi

Populasi penggerek batang padi sangat dipengaruhi oleh keadaan musim. Pada curah hujan tinggi serangga hama banyak yang mati. Demikian juga pada suhu dan kelembaban tinggi penggerek batang padi tidak dapat bertahan hidup.Meningkatnya populasi penggerek batang padi di suatu daerah dapat disebabkan oleh tersedianya tanaman padi secara terus-menerus.Umur tanaman juga mempengaruhi tingkat populasi hama penggerek batang padi. Larva penggerek batang padi lebih menyukai tanaman padi muda dibandingkan dengan tanaman padi tua. Menurut Israel (dalam Supartha et al., 1991), kondisi tanaman pada fase generatif secara anatomis mempunyai jaringan sklerenkim lebih tebal, ikatan vaskuler lebih rapat dan batang lebih keras sehingga larva penggerek batang padi sering mengalami kegagalan dalam menggerek. Kandungan nutrisi tanaman pada fase generatif juga menurun sehingga cenderung kurang disukai oleh larva.

Perubahan beberapa cara bercocok tanam padi juga berpengaruh terhadap populasi hama. Perubahan tersebut seperti jarak tanam, penggunaan varietas baru dan pemupukanmempengaruhi perkembangan populasi hama dan tingkat kerusakan dari waktu ke waktu (Wijaya, 1992).

2.1.5 Gejala Serangan

Gejala serangan yang ditimbulkan oleh penggerek batang padi dikenal dengan sundep dan beluk. Penyebabnya dapat di identifikasi setelah mencabut dan membuka bagian tanaman yang terserang. Larva yang baru menetas membuat lubang pada sisik bulu yang menutupi kelompok telur. Larva menggerek dan memakan bagian dalam batang sambil memotong titik tumbuhnya.

Gejala sundep terjadi apabila hama menyerang padi fase vegetatif. Pangkal daun muda terpotong,daun akan layu kemudian mengering dan mudah sekali untuk dicabut. Sedangkan gejala beluk terjadi pada fase generatif yakni waktu tanaman padi mulai bunting atau berbunga sehingga malai akan terpotong. Malai


(18)

9

menjadi hampa dan berwarna putih serta berdiri tegak akibat terhambatnya mineral dari dalam tanah yang akan digunakan untuk proses fotosintesis (Dhuyo, 2009).

2.1.6 Pengendalian

Pengendalian penggerek batang padi dilakukan dengan berbagai cara. Cara terbaik untuk memenuhi harapan tersebut adalah dengan PHT yaknicara pengendalian secara terintegrasi dan ramah lingkungan. Pengendalian hayati merupakan satu komponennya (Untung, 2002). Pengendalian hayati merupakan fenomena alamiah yakni pengaturan kelimpahan serangga hama oleh musuh alami (Kartosuwondo, 1995). DeBach (1971) menyatakan bahwa pengendalian hayati adalah aktivitas parasitoid, predator dan patogen dalam mengendalikan kepadatan populasi hama.

Kartosuwondo (1995) menyatakan bahwa pengendalian hayati mempunyai beberapa kelebihan antara lain mempunyai selektivitas yang tinggi, organisme yang digunakan sudah ada di alam, tidak menimbulkan hama baru, hama tidak menjadi resisten dan tidak menghasilkan pengaruh samping yang buruk seperti halnya penggunaan insektisida. Namun demikian, pengendalian hayati mempunyai beberapa kekurangan antara lain kemampuan agen hayati menekan populasi hama terbatas, pencarian agen hayati yang tepat cukup rumit, tidak semua agen biotik dapat dibiakkan di laboratorium, pengendalian hayati memerlukan waktu yang lama dan penerapan cara pengendalian hayati membutuhkan tenaga yang terampil.

2.2 Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi

Menurut Supartha (2001), musuh alami yang sering dijumpai berasosiasi dengan hama penggerek batang padi adalah dari golongan parasitoid telur yaitu,

Trichogrammajaponicum Ashm (Hymenoptera: Trichogrammatidae), Telenomus rowaniGahan (Hymenoptera: Scelionidae) dan Tetrastichus schoenobii Ferr (Hymenoptera: Eulophidae).

2.2.1.Trichogrammajaponicum Ashm

Daerah sebarannya mencakup Madagaskar, Indonesia, Malaysia, India Filipina, Thailand, Cina, Jepang dan beberapa daerah di Amerika (Kalshoven, 1981).

Menurut Kalshoven (1981), parasitoid telur T. japonicum(Gambar 2.2.1) diklasifikasikan sebagai berikut:


(19)

10 Kingdom : Animalia

Philum : Arthropoda Klas : Insecta Ordo : Hymenoptera Familia : Trichogrammatidae Genus : Trichogramma

Spesies : T. japonicum Ashm.

Gambar 2.2.1

T. japonicum (Foto: Sumiartha)

Parasitoid T. japonicum mengalami metamorfosis sempurna dan merupakan parasitoid dengan ukuran imago terkecil dari ketiga spesies parasitoid telur penggerek batang padi. Panjang badannya kurang lebih satu mm. Panjang sayap 0,8 mm dengan rambut pada sisinya. Imago jantan pada bagian ujung antena memiliki rambut seperti sisir, sedangkan imago betina tidak. Imago T. japonicum mampu mendeteksi peletakan telur penggerek dengan radius 10 meter (Trichoplus, 2000)

Telur diletakkan kira-kira 24-48 jam setelah imago parasitoid muncul (Agus, 1991). Budana (1996) menyatakan bahwa satu hari setelah telur diletakkan, telur akan menetas menjadi larva. Masa peneluran memerlukan waktu singkat yakni 1,53 hari. Stadium larva berlangsung selama 4 hari. Larva

T.japonicum terdiri dari tiga instar (Agus, 1991). Memasuki fase pupa, larva terlebih dahulu mengalami fase prapupa.Fase prapupa T. japonicum terdiri atas fase eonimfa dan pronimfa yang memerlukan waktu 1 -2 hari. Pupa berwarna putih kekuningan dengan bentuk agak memanjang, terdapat penyempitan pada


(20)

11

bagian toraks. Pupa berukuran antara 0,44 - 0,62 mm. Siklus hidup parasitoid T. japonicum berkisar antara 7 - 9 hari (Agus, 1991).

2.2.2.Telenomus rowaniGahan

Penyebarannya meliputi negara Cina, Indonesia, India, Jepang, Malaysia, Thailand, Filipina, Pakistan dan Kamboja (Agus, 1991).Kalshoven (1981) mengklasifikasi T.rowaniadalah sebagai berikut (Gambar 2.2.2) :

Kerajaan : Animal Philum : Arthropoda Klas : Insecta Ordo : Hymenoptera Familia : Scelionidae Genus : Telenomus

Spesies : Telenomus rowani Gahan.

Gambar 2.2.2

T. rowani(Foto: Sumiartha)

T. rowani berwarna hitam kecoklatan dengan panjang tubuh kurang lebih 2 (dua) mm. Sayap datar sepanjang 0,28 mm terletak pada toraks. Antena berbentuk menyiku, pada ujung antena betina membesar sedangkan pada imago jantan ujungnya simetris. Parasitoid ini tergolong dalam parasitoid solitaria yaitu parasitoid yang hanya meletakkan satu telur pada inang dan berkembang sampai dewasa(Kalshoven, 1981).

Seekor imago betina memproduksi telur sekitar 143-275 butir (Clausen, 1940). Stadium telur kurang lebih 9 jam (Budana, 1996).Telur T. rowani


(21)

12

berukuran panjang antara 0,69-0,76 mm. Stadium larva berlangsung selama 6-7 hari.Pupa berwarna kehitaman, berukuran 0,65 - 0,76 mm dengan caput, toraks, abdomen dan tungkai yang sudah tampak. Stadium pupa berlangsung selama 3-4 hari, kemudian dilanjutkan dengan stadium imago.Imago jantan muncul terlebih dahulu daripada betina. Umur imago jantan berkisar antara 1-3 hari dan betina 3 - 5 hari (Agus, 1991).

2.2.3 Tetrastichus schoenobiiFerr

Kalshoven (1981) mengklasifikasi T. schoenobiisebagai berikut (Gambar 2.2.3):

Kerajaan : Animal Filum : Arthropoda

Klas : Insecta

Ordo : Hymenoptera

Familia : Eulophidae Genus : Tetrastichus Spesies : T. schoenobii Ferr.

Gambar 2.2.3

T. schoenobii(Foto: Sumiartha)

Parasitoid telur T. schoenobii berwarna biru, hijau metalik atau hijau terang. Caput pendek tumpul dengan rambut halus dan occeli oval. Antena berwarna coklat kehitaman memiliki delapan segmen. Mulut bagian bawah


(22)

13

berwarna coklat mengkilat. Thorak berwarna cerah dan lembut, terdapat sayap depan dan sayap belakang berbentuk pedang dengan pinggir melengkung. Abdomen bulat silindris dengan delapan ruas. Ovipositor berwarna coklat kekuningan, sangat pendek dan tebal. Tungkainya berwarna kuning dengan tarsus bersegmen empat. Daur hidupnya berlangsung selama kurang lebih 14 hari (Kalshoven, 1981).

Seekor imago betina T. schoenobii mampu memproduksi 10-60 butir telur. Telur–telur tersebut akan menetas setelah berumur 1-2 hari. Larva berbentuk silindris memanjang. Perkembangan larva T. schoenobii terjadi di dalam telur inang. Seekor larva parasitoid T. schoenobii dalam menyelesaikan satu siklus hidupnya membutuhkan tiga telur inang. Stadium larva berlangsung selama 7 hari, kemudian larva dewasa membentuk pupa. Stadium pupa berlangsung selama 6 hari, selanjutnyamuncul imago 1 - 2 hari berikutnya (IRRI, 1998).

2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Parasitoid dan Inang

Parasitoid dan inang dapat hidup dan berkembang biak dengan baik jika faktor-faktor yang mendukung perkembangannya memenuhi syarat. Menurut Berryman (1981), faktor-faktor tersebut meliputi faktor dalam (instrinsik) dan faktor luar (ekstrinsik). Faktor dalam (instrinsik) terdiri dari (a) ketahanan genetik yakni keadaan dimana serangga mampu menciptakan ketahanan secara alami sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan fisiologis inang atau makanannya, yang akhirnya mampu mempertahankan hidupnya, (b) kemampuan beradaptasi yaitu sejauh mana serangga tersebut mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan iklim pada lingkungan sekitarnya. Faktor luar (ekstrinsik) terdiri dari faktor makanan, faktor iklim dan faktor manusia yakni sejauh mana tindakan atau campur tangan manusia yang dilakukan seperti manipulasi tanaman inang, pergiliran varietas yang berkaitan dengan inang parasitoid ataupun pengendalian menggunakan pestisida.

2.4 Hubungan antara Parasitoid dan Inang

Keefektifan musuh alami dalam mengendalikan populasi hama dapat diukur dari daya predatisme atau parasitismenya. Berdasarkan daya predatisme atau parasitisme tersebut dapat dinilai kemampuan musuh alami dalam mengatur keseimbangan populasi mangsa dan inangnya. Musuh alami yang efektif dicirikan


(23)

14

oleh (a) daya mencari yang tinggi, terutama pada saat populasi inang rendah; (b) kekhususan terhadap inang atau mangsa (sifat monofag bermakna lebih efektif); (c) potensi berkembangbiak tinggi (potensi berkembangbiak dicirikan oleh keperidian dan fertilitas yang tinggi serta siklus hidup yang pendek); (d) kisaran toleransi terhadap lingkungan lebar serta kemampuan memangsa terhadap berbagai instar inang (DeBach, 1971).

2.5 Respon Parasitoid Terhadap Kepadatan Inang

Hubungan kemampuan memarasit parasitoid dengan kepadatan populasi inang merupakan aspek penting dalam usaha pengendalian hayati.Hubungan tersebut sangat bertalian dengan keefektifan parasitoid dalam mengatur keseimbangan populasi inang. Hassel dan Waage (1984) mengemukakan bahwa keefektifan parasitoid dicerminkan oleh tanggapnya terhadap kepadatan inang. Demikian juga Doutt (1973) yang menyatakan bahwa salah satu ukuran untuk menentukan keefektifan suatu parasitoid dalam pengendalian hayati adalah tanggapnya terhadap kepadatan inang yang dikenal dengan tanggap fungsional. Istilah tanggap fungsional pertama kali diperkenalkan oleh Solomon untuk menyatakan perubahan jumlah mangsa yang diserang oleh predator pada kerapatan populasi mangsa per satuan waktu pada tahun1949 (Sharov, 1996). Hassell (1986) mengemukakan bahwa tanggap fungsional adalah laju parasitisme per individu parasitoid meningkat terhadap peningkatan kepadatan inang.Hassel (1986) juga mengemukakan bahwa tanggap fungsional merupakan komponen yang sangat esensial dalam dinamika interaksi antara parasitoid dan inang, karena dapat memberikan gambaran mengenai potensi parasitoid tersebut dalam mengendalikan populasi inangnya.

Menurut Holling (1959) tanggap fungsional dibedakan atas tiga tipe umum. Tipe I yaitu jumlah inang terparasit meningkat secara linear sampai batas maksimum inang terparasit kemudian mendatar sejalan dengan peningkatan kepadatan inang (Gambar 2.5.1).

Tipe I biasanya ditemukan pada predator yang bersifat pasif seperti laba-laba. Jumlah lalat yang terperangkap pada jaring laba-laba sebanding dengan kerapatan populasi lalat.Pada tipe II atau tanggap fungsional hiperbolik yaitu jumlah inang terparasit meningkat sejalan dengan tingkat kepadatan inang (Gambar 2.5.2).


(24)

15

Gambar 2.5.1

Tanggap Fungsional Tipe I (Holling,1959)

Tanggap tipe III atau tanggap fungsional sigmoid yaitu jumlah inang terparasit sedikit pada kepadatan populasi rendah kemudian meningkat sejalan dengan tingkat kepadatan inang sampai batas maksimum yang mampu diparasit dan akhirnya konstan pada tingkat kepadatan selanjutnya (Gambar 2.5.3).

Gambar 2.5.2

Tanggap Fungsional Tipe II (Holling,1959)

Penelitian tanggap fungsional parasitoid Trichogramma sp terhadap bakteri Wolbachia telah dilakukan oleh Farrokhi et al. (2010). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa parasitoid Trichogramma sp mempunyai respon fungsional tipe II terhadap kerapatan bakteri Wolbachia. Penelitian tanggap fungsional parasitoid telur Trichogramma sp juga dilakukan oleh Kafil et al. (2008) terhadap Trichogrammabrassicae pada inang tiruannya, telur ngengat gabah Sitotroga cerealella (Olivier) pada temperatur dan kelembaban yang berbeda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa respon fungsional parasitoid T. brassicae adalah tipe II pada suhu 25°C dan tipe-3 pada suhu 20 dan 30°C. Hasil

Jumla

h I

na

ng T

er

p

ar

asit

Tanggap Tipe I

Kepadatan Inang

Juml

ah Ina

ng Te

rp

ara

sit

Kepadatan Inang


(25)

16

penelitian Novri et al. (2004) menunjukkan bahwa tanggap fungsionalparasitoid

Eriborus argenteopilosus (Cameron) terhadap hama Crocidolomia pavonana (Fabricius)pada suhu 25 dan 30°Cmenunjukkan tanggap fungsional tipe III.

Gambar 2.5.3

Tanggap Fungsional Tipe III (Holling,1959)

Hidrayani et al. (2009) menemukan bahwa parasitoid Hemiptarsenus varicornis (Girault) menunjukkan tanggap fungsional tipe II terhadap Liriomyza

huidobrensis (Blanchard). Penelitian tanggap fungsional Menochilus

sexmaculatus terhadap Aphis gossypii pada beberapa umur tanaman cabai dilakukan oleh Novri et al. (2012). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada tanaman cabai umur 2 minggu M. sexmaculatus mempunyaitanggap fungsional tipe I terhadap A. gossypii, sedangkan umur 4, 6 dan 8 minggu adalah tanggap tipe III. Wang dan Ferro (1998) menemukan bahwa Trichogramma ostriniae

mempunyai tanggap fungsional tipe II terhadap Ostrinia nubilalis (Hubner) pada suhu 20°C dan tanggap tipe III pada suhu 27 °C.Hasil penelitian Jones (2003)

pada parasitoid Aphidius colemani (Viereck) terhadap perbedaan suhu

menunjukkan bahwa parasitoid A. colemani (Viereck) mempunyaitanggap

fungsional tipe II pada suhu 14 - 26°C.

Juml

ah Ina

ng Te

rp

ara

sit

Kepadatan Inang


(26)

17

III METODE PENELITIAN

3.1Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di 2 (dua) lokasi, yakni di lapang dan laboratorium. Penelitian di lapang dilaksanakan di 3 (tiga) kabupaten/kotadi Bali yakni Badung (Lampiran 1), Tabanan dan Jembrana, masing-masing 3 (tiga) subak per kabupaten). Lokasi tersebut dipilih karena merupakan daerah sentra padi yang endemik penggerek batang padi dengan luas serangan lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lain di Bali untuk tujuan melihat karateristik komonitas dan pola suksesi parasitoid tersebut di lapang.

Penelitian laboratorium dilakukan di Laboratorium Pengendalian Hama Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Udayana, untuk melihat hubungan antara populasi parasitoid dengan inangnya dan respon parasitoid telur penggerek batang padi kuning terhadap kepadatan inangnya. Penelitian dilakukan selama satu musim tanam mulai dari bulan Mei sampai dengan Agustusr 2015.

3.2 Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi imago penggerek batang padi kuning, kelompok telur penggerek batang padi kuning, parasitoid telur penggerek batang padi kuning, benih padi Varietas Ciherang, KOH 10%, pupuk organik padat, cair, pupuk kimia urea dan NPK Phonska serta alkohol.

3.3Instrumen Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tabung reaksi, tabung gelas, kurungan kasa millar, gunting, ember plastik, cangkul, penangkap ngengat, sprayer, tabung gelas, counter, preparat, jarum serangga, spait, kantong plastik, thermohigrometer, altimeter, mikroskop binokuler, pinset, kapas, kain kasa, tissue, petridish, meteran, kamera, loup, penggaris, ajir, kertas hvs, kamera dan pulpen.

3.4Prosedur Penelitian

3.4.1 Perbanyakan Serangga Inang

Serangga inang (kelompok telur penggerek batang padi kuning) untuk penelitian laboratorium diperoleh dengan cara mengumpulkan imago betina penggerek batang padi kuning dari lapang, kemudian dibiakkan di rumah kasa menggunakan ember plastik ukuran tinggi 30 cm dan diameter 60 cm yang berisi


(27)

18

tanaman padi segar untuk peletakkan telur-telurnya. Tanaman padi yang digunakan adalah tanaman padi Varietas Ciherang. Untuk menghindari imago keluar, setiap tanaman di sungkup dengan sungkup milar berbentuk silinder dengan ukuran tinggi 130 cm dan diameter 60 cm yang terbuat dari kain kasa disangga bambu. Pada dinding sungkup dipasang resleting sepanjang 20 cm (untuk inokulasi imago). Kelompok telur yang dihasilkan selanjutnya diambil dengan cara memotong daun padi tersebut dengan panjang kurang lebih 3 cm dan digunakan untuk keperluan penelitian. Kegiatan seperti di atas dilakukan berulang-ulang sampai semua bahan kegiatan penelitian terpenuhi (Gambar 4.1).

Gambar 3.4.1

Bagan Perbanyakan Serangga Inang 3.4.2 Perbanyakan Parasitoid

Parasitoid telur yang digunakan dalam penelitian laboratorium diperoleh dari hasil perbanyakan. Asal parasitoid tersebut diperoleh dari kelompok-kelompok telur penggerek terparasit yang didapat dari pertanaman padi di lapangan. Telur-telur tersebut dimasukkan ke dalam tabung gelas (panjang 10 cm diameter 1,5 cm) lalu ditutup dengan kapas yang terbungkus kain kasa halus. Selanjutnya dibiarkan beberapa hari hingga muncul parasitoid dewasa (Gambar 4.2).Parasitoid tersebut diidentifikasi dan diambil beberapa pasang dan ditempatkan pada tabung gelas lainnya yang sudah berisi kelompok telur penggerek batang padi (inang) hasil biakan sebelumnya untuk perbanyakan selanjutnya. Parasitoid tersebut diberi pakan berupa larutan madu 10% (madu:air = 1:9) yang diserapkan pada segumpal kapas dan dimasukkan ke dalam tabung gelas. Hasil perbanyakan inilah yang digunakan dalam penelitian laboratorium.


(28)

19

Telur PBPK

dari lapang Telur dalam t abung gelas

I mago Parasit oid

Telur PBPK I mago parasit oid

Telur PBPK terparasit

Gambar 3.4.2

Bagan Perbanyakan Parasitoid 3.4.3. Pelaksanaan Penelitian

3.4.3.1 Penelitian Karateristik Komonitas

Metode Pengambilan Sampel. Penelitian karakteristik komonitas dan pola suksesi populasi parasitoid dilakukan dengan metode survey dengan mengambil kelompok telur penggerek batang padi kuning per minggu secara purposive random sampling dalam luasan 2.5 hektar yang terbagi dalam lima tempek/munduk/wilayah di masing-masing subak. Sampel diambil pada tanaman umur 2 – 8 mgg dengan cara memotong daun padi yang berisi telur penggerek batang padi kuning sepanjang 3 (tiga) cm, kemudian dimasukkan ke dalam tabung plastik, diberi label lokasi serta tanggal pengambilannya dan di bawa ke laboratorium untuk dipelihara dan identifikasi lebih lanjut.

Metode Pengamatan. Pengamatan dimulai sehari setelah pengambilan sampel sampai tidak ada lagi parasitoid yang muncul. Pengamatan meliputi banyaknya kelompok telur yang terparasit, jenis parasitoid yang muncul, banyaknya larva penggerek dan imago parasitoid yang muncul.Kelompok telur yang tidak menetas terlebih dahulu dihilangkan rambut-rambutnya, kemudian direndam dengan KOH 10% sebanyak 3 cc selama 24 jam untuk kemudian


(29)

20

dilakukan diseksi di bawah mikroskop.Larva penggerek dan imago parasitoid yang masih tertinggal dalam telur dicatat.

Identifikasi Parasitoid. Identifikasi parasitoid dilakukan dengan menggunakan kunci determinasi serangga. Identifikasi parasitoid juga dilakukan dengan cara membandingkan dengan spesimen kunci yang telah ada di laboratorium. Identifikasi parasitoid dilakukan dengan menggunakan mikroskop binokuler secara bertahap sesuai dengan sampel kelompok telur yang diambil dari lapangan.

Peubah yang Diamati. Peubah yang diamati dalam penelitian ini meliputi persentase kelompok telur yang terparasit, keragaman, kesamaan, dominansi, kelimpahan, tingkat parasitasi parasitoid dan nisbah betina parasitoid. Keragaman jenis parasitoid dianalisis dengan menggunakan indeks Shannon-Wiener, kesamaan jenis dengan indeks Sorensen (Southwood, 1980), dominansi dengan indeks dominansi dan tingkat parasitisasi dengan model Rauf (Rauf, 2000) dengan rumus sebagai berikut:

Indeks keragaman Shannon-Wiener : H’ = -  (ni/N) log (ni/N) Keterangan :

H’ = Indeks keragaman Shannon-Wiener ni = Jumlah individu jenis ke-i

N = Jumlah total individu Nilai indeks

:< 1,5 : Keragaman Rendah 1,5 – 3,5 : Keragaman Sedang >3,5 : Keragaman Tinggi Indeks kesamaan Sorensen :

IS =

Keterangan:

IS = Indeks Sorensen a = Jumlah jenis di lokasi a b = Jumlah jenis di lokasi b


(30)

21 Indeks dominansi :

s

D = ∑ [ ni/N ]2

i=1 Keterangan:

D = Indeks dominansi simpson ni = Jumlah individu genus ke-i N = Jumlah total individu S = Jumlah jenis

Kelimpahan populasi parasitoid:

Kelimpahan (K): populasi semua spesies ang ditemukan di lokasi populasi spesies a di lokasi X 100%

Tingkat parasitisasi parasitoid

A. B.

Keterangan

P = Tingkat parasitasi

A = Banyaknya imago T. japonicum yang muncul B = Banyaknya imago T. japonicum yang tidak muncul C = Banyaknya imago T. rowani yang muncul

D = Banyaknya imago T. rowani yang tidak muncul E = Banyaknya imago T. schoenobii yang muncul F = Banyaknya imago T. schoenobii yang tidak muncul G = Banyaknya larva penggerek yang muncul

H = Banyaknya larva penggerekyang tidak muncul 3.4.3.2. Pola suksesi Populasi Antar Spesies

Pola suksesi populasi antar spesies dihitung berdasarkan data perkembangan populasi setiap spesies parasitoid menurut fenologi tanaman inang . Perkembangan populassi itu dilukiskan dalam grafik perkembangan populasi masing-masing parasitoid sesuai dengan fenologi tanaman.

0.5(A+B)

P(T.japonicum) = x 100%

(G+H)+0.5(A+B)+(C+D)+3(E+F)

(C+D)

P(T.rowani ) = x 100%

(G+H)+0.5(A+B)+(C+D)+3(E+F)

3(E+F)

P(T.schoenobii) = x 100%


(31)

22

3.4.3.3. Penelitian Respon Parasitoid Telur Terhadap Kepadatan Populasi Inang

Penelitian bertujuan untuk mengetahui respon parasitoid telur penggerek batang padi kuning terhadap peningkatan jumlah populasi inang. Perlakuan berupa kerapatan jumlah inang (K) = kelompok telur penggerek batang padi kuning yang belum terparasit dan jenis parasitoid (P). Kerapatan jumlah inang (K) terdiri dari 3 (tiga) level yakni K1= 1 kelompok telur , K2= 2 kelompok telur dan K3= 3 kelompok telur, masing-masing diulang sebanyak 10 (sepuluh) kali.

Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan menginokulasikan sepasang parasitoid ke masing-masing kerapatan kelompok telur inang yang diuji Setelah 24 jam parasitoid dikeluarkan dan masing-masing kelompok telur tersebut diambil, dimasukkan ke dalam tabung gelas lain dan diletakkan secara terpisah untuk mengetahui responnya.

Data respon parasitod didasarkan pada jumlah parasitoid yang muncul pada masing-masing perlakuan. Model yang digunakan adalah :

TtaX Y=

1 + a ThX

Nilai a dan Th di hitung berdasarkan transformasi model sebagai berikut:

Y/X= -aThY + aTh

Keterangan:

Y = Jumlah Inang Terparasit X = Kepadatan Populasi Inang Tt = Jumlah Waktu yang Tersedia a = Laju (koefisien) pencarian inang

Th = Waktu yang diperlukan untuk memarasit satu inang (Sumber: Varley

et al., 1973 dalam Supartha 1991)

Peubah yang diamati adalah (1) laju parasitisasi terhadap peningkatan populasi inang.


(32)

23 3.5 Analisis Data

Data-data yang diperoleh dianalisis sesuai dengan penelitian yang dilaksanan. Penelitian pola suksesi dianalisis dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Penelitian karakteristik komonitas dan respon parasitoid terhadap kepadatan inang dianalisis sesuai dengan rumus yang telah ditentukan (rumus indeks keragaman, kesamaan, dominasi, kelimpahan dan tanggap fungsional).Apabila komponen yang di uji menunjukkan perbedaan nyata maka dilanjutkan dengan uji BNT taraf 5%.Hubungan kelimpahan populasi dengan tingkat parasitasi parasitoid dianalisis dengan analisa korelasi (Gomez dan Gomez, 1995). Hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel, gambar maupun grafik,


(33)

24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karateristik Komunitas Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning Hasil survey untuk memetakan karakteristik komunitas parasitoid telur tesebut disajikan dalam Tabel 4.1. Ada 15 subak yang disurvei yang terdiri dari lima subak di setiap kabupaten. Di setiap lokasi itu dilakukan pengambilan kelompok telur setiap minggu secara periodik kemudian dibawa ke laboratorium untuk dibiakkan. Berdasarkan hasil biakan itu diketahui jenis dan jumlah parasitoid yang muncul dari telur penggerek batang padi kuning yang selanjutnya dijadikan dasar untuk menghitung persentase kelompok telur terparasit, tingkat parasitisasi, indeks keragaman jenis, indek kesamaan jenis, indeks dominansi dan kelimpahan populasi di setiap lokasi.

Tabel 4.1.

Jumlah kelompok telur yang dikoleksi dari setiap lokasi sesuai dengan umur tanaman

Lokasi Penelitian

Jumlah kelompok telur yang diperoleh sesuai umur tanaman padi (minggu/kelompk)

II III IV V VI VII VIIi IX KAB. BADUNG

Subak Ayung (Mengwi) 123 110 98 94 80 89 73 73 Subak Munggu

(Mengwi) 102 102 94 87 81 84 74 71

Subak Lip-lip (Kuta

Utara) 102 98 90 83 81 83 75 75

Subak Umedesa (Kuta 93 91 89 82 82 76 74 74 Subak Cemagi

(Mengwi) 87 93 86 81 72 74 71 71

KAB. TABANAN

Subak Seronggo (Krbt) 111 98 98 95 89 89 82 73 Subak Sakeh (Tabanan) 113 100 97 92 86 89 72 72 Subak Nyitdah

(Tabanan) 97 101 92 83 83 87 77 71

Subak Gadon (Kediri) 106 99 99 89 82 81 77 70

Subak Kediri 101 98 89 83 80 84 72 72

KAB. JEMBERANA

Subak Yeh Buah (Mdy) 97 98 86 84 80 83 80 78

Subak Yeh Embang 93 90 83 80 81 74 79 75

Subak Tegal Wani

(Ngr) 88 85 82 78 71 79 71 71

Subak Tegal Jati (Ngr) 85 85 80 78 75 78 74 74 Subak Berawan Tangi


(34)

25 4.1.1. Persentase kelompok telur terparasit,

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keberadaan parasitoid di lapangan telah mampu memarasit kelompok telur inang sebesar 90.14% di Tabanan, 83.06% di Badung dan 78.04% di Jemberana.. Gambar 4.1. menunjukkan bahwa rataan kelompok telur terparasit paling tinggi terjadi di kabupaten Tabanan dan disusul Badung dan Jemberana. Karakteristik Komunitas parasitoid telur yang berasosiasi dengan penggerek padi kuning terdiri atas tiga spesies yaitu

Tetratichus schonobii, Telenomus rowani dan Trichogramma japonicum, dengan indeks keragaman rendah, dan indeks kesamaan sama dengan 100, dan kelimpahan tinggi yang didominasi oleh salah satu spesies yaitu T. Schunobii

(Tabel 4.3; 4.4.; 4.5; Gambar 4.1.)

Gambar 4.1.

Persentase Kelompok telur Penggerek Batang padi Kuning Terparasit oleh Parasitoif Telur

4.1.2 Tingkat Parasitisasi

Kehadiran ketiga jenis parasitoid telur penggerek batang padi kuning di lokasi penelitian (Badung, Tabanan, dan Jembrana) menunjukkan variasi yang tercermin dari beberapa variabel yang diamati. Kehadiran patasitoid telur di setiap lokasi yang bervariasi di setiap lokasi dan setiap waktu sesuai dengn umur tanaman (Gambar 4.1). Jumlah telur terparasit teringgi terjadi di Kabupaten Tabanan kemudian disusul oleh Badung dan Jemberana (Tabel 4,2).

Tabel 4.2.

Rerata tingkat parasitisasi parasitoid telur penggerek batang padi kuning (%) di tiga kabupaten di Bali

Lokasi Tingkat parasitisasi parasitoid (%)

T. japonicum T. rowani T. schoenobii

Kabupaten Badung 8,31 a 23,69 b 59,28 B

Kabupaten Tabanan 4,94 b 16,46 c 69,11 A

Kabupaten Jembrana 6,01 a 27,77 a 45,10 C

70 75 80 85 90 95

Kabupaten. Badung Kabupaten Tabanan Kabupaten Jembrana

P er sent a se k elo m po k t elur ter pa ra sit ( %) Lokasi Penelitian


(35)

26

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom sama menunjukkan perbedaan tidak nyata pada uji BNT taraf 5%

Kejadian itu berdampak pula terhadap kelimpahan populasi dan tingkat parasitisasi parasitoid telur terhadap inangnya. Diduga kuat bahwa kejadian itu mempunyai hubungan erat dengan factor lingkungan (factor ekstriksik parasitoid) selain sifat genetis (factor intriksik) setiap individu parasitoid yang berinteraksi dengan lingkungannya. Banyak faktor lingkungan yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap kejadian itu seperti suhu, kelembaban, curah hujan termasuk juga perilaku petani dalam system budidaya mereka. Kisaran suhu dan kelembaban di lapang berkisar antara 22-30°C dan 78-88%, sementara suhu dan kelembaban optimal yang diperlukan oleh parasitoid adalah 25°C dan 85% (Widyarti, 2003). Perilaku petani setempat berkenaan dengan implementasi teknologi pergiliran tanaman dan penggunaan insektisida juga mempunyai pengaruh langsng maupun tidak langsung terhadap kehidupan parasitoid di lapang. Ada hubungan yang erat antara pergiliran tanamann dengan kelimpahan populasi parasitoid di lapangan (r = -0,938**) dan pestisida (r =-0,923** ) serta suhu (r = 0,974**) dan kelembaban (0,997**).

Tabel 4.3.

Karakteristik Komunitas Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning Karakteristik Komunitas Umur Tanaman Minggu Setelah tanam (MST)

2 3 4 5 6 7 8

KABUPATEN BADUNG

Jumlah specimen 70 70 70 70 70 70 70

Jumlah spesies (jenis) 3 3 3 3 3 3 3

Indeks Keragaman (H') 0.38 0.366 0.412 0.412 0.443 0.33 0.336 Indeks Kesamaan (S) 100 100 100 100 100 100 100 KAB. TABANAN

Jumlah spesimen 70 70 70 70 70 70 70

Jumlah spesies (jenis) 3 3 3 3 3 3 3

Indeks Keragaman (H') 0.204 0.259 0.263 0.316 0.331 0.377 0.356

Indeks Kesamaan (S) 100 100 100 100 100 100 100

KAB. JEMBERANA

Jumlah specimen 70 70 70 70 70 70 70

Jumlah spesies (jenis) 3 3 3 3 3 3 3

Indeks Keragaman (H') 0.387 0.392 0.372 0.405 0.433 0.345 0.358

Indeks Kesamaan (S) 100 100 100 100 100 100 100

Hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian Supartha et al. (2003) sebelumnya bahwa kelimpahan populasi parasitoid sangat ditentukan oleh kemampuan adaptasi individu masing-masing parasitoid terhadap inang dan dukungan lingkungannya selama berinteraksi dengan inangnya seperti kualitas


(36)

27

nutrisi inang dan hambatan biofisik dari tanaman inang yang mempengaruhi perilaku pencarian dan peneluran parasitoid pada inang. Selain itu praktek bercocok tanam seperti intensitas penyemprotan dan penggunaan jenis pestisida yang berspektrum luas oleh petani juga memberi pengaruh yang besar terhadap kehidupan parasitoid di lapang.

Tabel 4.4.

Indeks kesamaan jenis parasitoid telur penggerek batang padi kuning di tiga kabupaten di Bali

Lokasi Kabupaten

Badung

Kabupaten Tabanan

Kabupaten Jembrana

Kabupaten Badung - 100% 100%

Kabupaten Tabanan 100% - 100%

Kabupaten Jembrana 100% 100% -_

Hasil analisis kesamaan jenis (Tabel 4.3.; 4.4) di ketiga lokasi menunjukkan tidak ada perbedaan. Jumlah jenis parasitoid yang ditemukan di ketiga lokasi sama persis dengan lokasi lainnya. Peristiwa itu diduga kuat karena adanya kesamaan habitat antar lokasi (Table 4.3). Namun demikian ada perbedaan yang nyata antara jenis dan kelimpahan parasitoid yang dominan di masing-masing lokasi (kabupaten). T. schoenobii mendominasi di Kabupaten Tabanan dan Badung, sementara di Kabupaten Jemberana didominansi oleh T. rowani.

(Tabel 4.3; 4.5). Diduga kuat peristiwa tersebut disebabkan oleh sifat biologi parasitoid (faktor intrnksik), faktor lingkungan, dan teknologi budidaya yang diterapkan di masing-masing lokasi penelitian (factor ekstrinksik). Dugaan itu diperkuat oleh hasil analisis korelasi yang dilakukan terhadap hubungan antara dominansi dengan faktor-faktor yang berpengaruh. Faktor pergiliran tanaman dan intensitas perlakuan insektisida berkorelasi negatif (r = -0,818*;-0,985**) sementara suhu dan kelembaban nisbi udara sekitar berkorelasi positif (r = 0,883*; dan 0,947**) terhadap perkembangan populasi T. schoenobii. Sementara itu faktor intensitas perlakuan insektisida berkorelasi negatif (r = **;- 0,936**) sementara factor pergiliran tanaman, suhu dan kelembaban nisbi udara sekitar berkorelasi positif (r = 0,949; 0,981**; 0,999**) terhadap perkembangan populasi

T. rowani.

Tabel 4.5.

Rerata kelimpahan populasi parasitoid telur penggerek batang padi kuning (%) di tiga kabupaten di Bali

Lokasi Kelimpahan populasi parasitoid (%)

T. japonicum T. rowani T. schoenobii

Kabupaten Badung 23,86 A 32,65 B 43,49 B

Kabupaten Tabanan 14,53 C 27,61 B 57,86 A


(37)

28

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom sama menunjukkan perbedaan tidak nyata pada uji BNT taraf 5%

Gambar 4.2.

Indeks dominansi jenis parasitoid

4.2. Pola suksesi Populasi antar Spesies Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning

Ketiga jenis parasitoid telur itu sudah berada pada ekosistem tanaman padi sejak pengamatan pertaman pada saat tanaman berumur 2 minggu stelah tanamm (MST), yang populasinya dinominasi oleh T. Schonobii pada fase vegetatif dan sejak tanaman berumur 6 mst (menjelang fase generatif) digantikan oleh populasi

T. Rowani (Gambar 4.3; 4.4).Pola suksesi parasitoid telur penggerek batang padi kuning di ketiga kabupaten secara umum didominansi oleh T. schoenobii pada fase vegetatif dan T. rowani pada fase generatif pertumbuhan tanaman padi. Supartha (2001) menyatakan bahwa dominansi T. schoenobii pada fase vegetatif pertanaman padi tersebut disebabkan oleh tingginya daya pemencaran parasitoid tersebut dalam pencarian dan penemuan pertanaman baru. Selain itu kemampuan parasitoid T. Schoenobii yang membutuhkan lebih dari dua inang untuk menyelesaikan fase larvanya berpengaruh terhadap tingkat parasitisasinya terhadap telur inang. T. schoenobii menunjukkan tingkat parasitisasi paling tinggi pada fase awal atau fase vegetatif pertumbuhan tanaman padi dibandingkan fase generatif, sehingga menyebabkan banyaknya telur inang yang terparasit oleh parasitoid tersebut. T. schoenobii cenderung lebih memilih untuk mencari

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45

Kab. Badung Kab. Tabanan Kab. Jembrana

In d e ks D o m in a n s i


(38)

29

tanaman baru yang populasi telur inang yang lebih tinggi dibandingkan dengan tua yang kondisi telur inangnya sudah mulai menurun. Kondisi itu biasanya dimanfaatkan oleh parasitoid T. rowani sehingga parasitoid itu menunjukkan dominansi di ketiga kabupaten tersebut mulai pengamatan ke- 6 hingga ke-8 atau umur tanaman 7 dan 8 MST. Pada pengamatan tersebut umur tanaman telah memasuki fase generatif. Menurut Israel, 1976 (yang dikutip oleh Supartha,1991), kondisi tanaman padi pada fase generatif secara anatomis mempunyai jaringan sklerenkim lebih tebal, vaskuler lebih rapat, batang lebih keras, dan kandungan nutrisi rendah. Pada kondisi tersebut daun tanaman lebih kaku dan tajam sehingga imago penggerek batang padi akan lebih susah dalam melakukan peletakkan telurnya. Akibatnya akan berdampak terhadap rendahnya populasi inang. Tingkat parasitisasi parasitoid T. rowani pada pengamatan tersebut cenderung stabil meskipun jumlah inang sudah menurun. Kondisi itu masih dapat dimanfaatkan oleh ke du jenis parasitoid terakhir karena pola pemanfaatan inangnya lebih efisien yaitu satu ekor keturunan T. rowani hanya membutuhkan satu telur inang di bandingkan dengan T. schoenobii. Walaupun demikian dominansi awal parasitoid di suatu lokasi pertanaman padi juga ditentukan oleh sumber invasi awal, jarak invasi dan waktu invasi parasitoid ke loksi baru tersebut (Supartha, 2001).

Gambar 4.3.

Pola suksesi populasi parasitoid telurpenggerek batang padi di Kabupaten Badung

Rendahnya dominansi parasitoid T. japonicum dalam penelitian ini diduga kuat karena pengaruh factor lingkungan antara lain curah hujan dan angina kencang. Supartha (2001) menyatakan tingginya curah hujan dan angin kencang dapat menjadi penyebab menurunnya peran parasitoid terutama untuk parasitoid berukuran tubuh kecil seperti T. japonicum, namun kondisi tersebut masih dapat ditoleransi oleh T. schoenobii dan T. rowani yang memiliki ukuran tubuh lebih

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

1 2 3 4 5 6 7 8

Kel im p a h a n Po p u la si Pa ra si to id ( % ) Pengamatan ke-


(39)

30

besar. Factor penting yang berpengaruhn adalah kemampuannya untuk bertahan hidup. Agus (1991) menyatakan bahwa kemampuan hidup T. japonicum jauh lebih pendek yakni 1-2 hari dibandingkan T. rowani dan T. schoenobii dengan lama hidup masing–masing 3-6 hari dan 3-11 hari. Hal tersebut berarti apabila dalam jangka waktu paling lama 2 hari T. japonicum tidak menemukan inang akibat tekanan fisik tersebut maka parasitoid ini tidak dapat melangsungkan hidupnya.

Gambar 4.4.

Pola suksesi populasi parasitoid telur penggerek batang padi kuning di Kabupaten Tabanan

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

1 2 3 4 5 6 7 8

Kelim

p

ah

an

P

o

p

u

lasi

(

%)

Pengamatan ke -


(40)

31 Gambar 4.5.

Pola Suksesi populasi parasitoid telur penggerek batang padi kuning di Kabupaten Jembrana

4.3. Respon Parasitoid Telur Terhadap Kepadatan Populasi Inang

Berdasarkan Tabel 4.6. ketiga paratoid telur penggerek batang padi kuning mempunyai respon fungsionnal (tipe-2) terhadap peningkatan populassi inang. Ketiga parasitoid telur itu secara individu tingkat parasitisainya meningkat seirama dengaan peningkatan kerapatan populasi inang.

Tabel 4.6.

Nilai koefisien determinasi (R2) dan standar deviasi (sd) parasitoid telur penggerek batang padi kuning untuk menentukan tipe model tanggap fungsional

Persamaan T. japonicum T. rowani T. schoenobii

koefisien determinas

i (R2)

Standa r deviasi (sd) koefisien determinas

i (R2)

Standa r deviasi (sd) koefisien determinas

i (R2)

Standa r deviasi

(sd)

Linier 0,867 0,029 0,894 0,021 0,863 0,028

Logaritmik 0,979 0,011 0,990 0,006 0.987 0,011

Eksponensia l

0,840 0,207 0,895 0,103 0,925 0,032

0 10 20 30 40 50 60 70 80

1 2 3 4 5 6 7 8

Keli m p ah an P o p u las i ( % )

Pengamatan ke-


(41)

32

Hasil analisis menunjukkan bahwa semakin tinggi kerapatan populasi inang semakin banyak telur yang terparasit sampai pada batas maksimum inang yang mampu diparasit kemudian mendatar sejalan dengan kerapatan populasi inang. Kejadian tersebut menunjukkan bahwa ketiga parasitoid telur penggerek batang padi kuning secara fungsional tanggap terhadap peningkatan kerapatan inang. Nilai koefisien determinasi (R2) tertinggi dan standar deviasi (sd) terendah diperoleh pada persamaan logaritma yakni masing-masing R2= 0,979; 0,990 dan 0,978 dan sd= 0,011; 0,006; 0,011 untuk T. japonicum, T. rowani, dan T. schoenobii (Tabel 4.6). Berdasarkan hasil tersebut, tipe tanggap fungsional mengikuti tipe tanggap II. Hal itu juga terlihat pada Gambar 4.5.

Gambar 4.6

Tanggap fungsional parasitoid telur penggerek batang padi kuning

Kurva tampak meningkat dengan laju peningkatan yang semakin mengendur terhadap peningkatan kerapatan inang. Hasil analisis terhadap nilai laju pencarian inang (a) dan lama penanganan inang (Th), mendapatkan T. japonicum, T. rowani, dan T. schoenobii mempunyai nilai laju pencarian inang (a) dan lama penanganan inang (Th) masing-masing sebesar 0,307; 0,292 dan 0,251 serta 0,716; 0,364 dan 0,254.

Tanggap fungsional ketiga jenis parasitoid tersebut menunjukkan tanggap fungsional tipe II, yakni kurva meningkat dengan laju peningkatan yang semakin mengendur terhadap peningkatan kerapatan inang. Poole (1974) menyatakan

y = 7.377ln(x) - 17.184 R² = 0.9796

y = 6.0457ln(x) - 8.7541 R² = 0.9903

y = 7.0181ln(x) - 6.096 R² = 0.9781

0 5 10 15 20 25 30 35 40

0 50 100 150 200 250 300 350 400

Ju m lah telu r ter p ar as it ( b u ti r)


(42)

33

bahwa parasitoid yang mempunyai tanggap fungsional tipe II disebut bertautan padat negatif dan tidak dapat memberikan pengaruh untuk menstabilkan populasi inang. Pada kerapatan inang rendah parasitoid tidak segera menemukan inang. Waktu yang tersedia tidak dapat digunakan secara efektif untuk menemukan inang. Pada kerapatan inang tinggi parasitoid lebih mudah menemukan inang karena interval penemuan inang lebih singkat. Waktu yang dibutuhkan pada kerapatan inang tinggi jauh lebih singkat dibandingkan dengan kerapatan inang rendah. Supartha (1991) menyatakan bahwa peletakkan telur yang lebih banyak pada kerapatan populasi inang tinggi disebabkan jumlah kairomon yang dihasilkan lebih tinggi sehingga dapat merangsang gerakan ovipositor dan aktivitas parasitisasi. Dengan demikian parasitoid dapat melakukan peletakkan telur yang lebih banyak dibanding pada kerapatan populasi inang rendah.

Dikaitkan dengan nilai pendugaan parameter laju pencarian (a) dan lama penanganan inang (Th), T. schoenobii lebih singkat memarasit telur penggerek batang padi kuning dibanding T. japonicum dan T. rowani masing-masing 0,254; 0,716 dan 0,364. Kecilnya lama penanganan inang (Th) T. schoenobii

menunjukkan bahwa parasitoid ini memiliki kesempatan atau waktu yang lebih banyak untuk memarasit inang. Nilai laju pencarian (a) T. japonicum lebih tinggi dibanding T. schoenobii dan T. rowani yakni 0,307; 0,292 dan 0,251. Nilai laju pencarian (a) bernilai 0,307 berarti percepatan laju pencarian meningkat sebesar 0,307 butir/jam pada setiap peningkatan jumlah inang. Tingginya nilai laju parasitisasi (a) T. japonicum pada telur penggerek batang padi kuning disebabkan oleh ukuran tubuh dan panjang ovipositor yang dimiliki T. japonicum. T. japonicum merupakan parasitod yang memiliki ukuran tubuh terkecil dan ovipositor terpendek. Kondisi ini memungkinkan T. japonicum lebih gampang memasukkan dan menusukkan ovipositornya. Kartohardjono (1995) menyatakan bahwa nilai a terkait dengan nilai Th. Walaupun nilai a lebih kecil tetapi nilai Th

besar, maka jumlah telur yang terparasit akan lebih banyak. Berdasarkan data tersebut di atas T. schoenobii lebih tanggap memarasit dibanding T. japonicum.


(43)

34

V. KESIMPULAN

1. Karakteristik Komunitas parasitoid telur yang berasosiasi dengan penggerek padi kuning terdiri atas tiga spesies yaitu Tetratichus schonobii, Telenomus rowani dan Trichogramma japonicum, dengan indeks keragaman rendah, dan indeks kesamaan sama dengan 1, dan kelimpahan tinggi yang didominasi oleh salah satu spesies yaitu T. schunobii,

2. Ketiga jenis parasitoid telur itu sudah berada pada ekosistem tanaman padi sejak tanaman berumur 2 minggu stelah tanam, yang populasinya dinominasi oleh T. Schonobii pada fase vegetatif dan sejak tanaman berumur 6 mst (menjelang fase generatif) digantikan oleh populasi T. rowani. Keberadaan parasitoid di lapang telah mampu memarasit kelompok telur inang sebesar 90.14% di Tabanan, 83.06% di Badung dan 78.04% di Jemberana. Tingkat parasitisasi tertinggi ditunjukkan oleh T. schoenobii diusul olek T. rowani dan T. japonicum

3. Ketiga paratoid telur penggerek batang padi kuning mempunyai respon fungsionnal (tipe-2) terhadap peningkatan populassi inang. Ketiga parasitoid telur itu secara individu tingkat parasitisainya meningkat seirama dengaan peningkatan kerapatan populasi inang

4. Ketiga paratoid telur penggerek batang padi kuning mempunyai respon fungsional (tipe-2) terhadap peningkatan populassi inang. Ketiga parasitoid telur itu secara individu tingkat parasitisainya meningkat seirama dengan peningkatan kerapatan populasi inang

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan teriakasih kepada rector melalui Ketua LPPM Unud atas bantuan dana yang diberikan untuk terlaksanakan penelitian ini melalui dana DIPA PNBP Universitas Udayana Sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Penelitian Nomor: 246-31/UN14.2/PNL.01.03.00/2015, Tanggal 21 April 2015.


(44)

35

DAFTAR PUSTAKA

Agus, N. 1991. Biologi Parasitoid Telur Trichogramma sp. (Hymenoptera: Trichogrammatidaedan Telenomus sp. (Hymenoptera: Scelonidae) pada Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas Walker (Lepidoptera: Pyralidae). (Tesis). Bogor: IPB.88 h.

Berryman, A.A. 1981. Population System. New York: A General Press.

BPTPH Bali.2011. Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Provinsi Bali, 2012. LaporanPelaksanaan Kegiatan Balai Proteksi Tanaman Pangan Tahun Anggaran 2011/2012.

Budana, IG. 1996. Pengaruh Lama Simpan Telur Nezara viridula L. (Hemiptera: Pentatomidae) Terhadap Aspek Biologi Parasitoid Telenomus sp. (Hymenoptera: Scelonidae). (Skripsi).Denpasar: Universitas Udayana. 72 h.

Chakraborty, K. 2012.Relative composition of egg parasitoid species of yellow stem borer, Scirpophaga incertulas Walker in paddy field at Uttar Dinajpur, West Bengal, India.Current Biotica.1: 42-52.

Clausen, C.P. 1940. Enthomophagous Insects.New York-London.McGraw-Hill, Book Company, Inc. 688 p.

DeBach, P. 1971. The Scope of Biological Control. In:DeBach P., editor. Biological Control of Insect Pests and Weed. London: Chapman and Hall. Dhuyo, A.R. 2009. Integrated Control Of Yellow Rice Stem borer

Scirpophagaincertulas (Walker) (Lepidoptera:Pyralidae). (Dissertation).Department of Zoology University of Sindh, Jamshoro, Pakistan.123 p.

Doutt, R.L. 1973. Biological Characteristic of Entomophagous Adults.Biological Control of Insect Pest and Weeds. London. Chapman and Hall LTD. Farrokhi, S.,A. Ashouri, J. Shirazi,H. Allahvari,M.E. Huigens. 2010.

AComparative Study on the Functional Response of Wolbachia- Infected and Uninfected Forms of the Parasitoid Wasp Trichogramma brassicae .J. Insect Sci.10: 167.

Gomez, K.A., A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik Untuk Penelitian. (Syamsudin, E., Baharsyah, J.S., Pentj.). Jakarta: Universitas Indonesia Press. 698 h.

Hattori, I dan S.S. Siwi. 1986. Rice stem borers in Indonesia. J. Agric. Sci. l: 20 :25-26.

Hassel, M.P., J.K. Waage. 1984. Host-parasitoid population interactions. Ann. Rev. Entomol. 29: 89-114.

Hassell, M.P. 1986. Parasitoid And Population Regulation. Insect Parasitoids.Edited by J. Wage and D. Greathead.Academic Press.

Hidrayani., A. Rauf, S. Sosromarsono, U. Kartosuwondo. 2009. Preferensi dan Tanggap Fungsional Parasitoid Hemiptarsenus varicornis


(45)

36

(Girault)(Hymenoptera: Eulophidae) Pada Larva Lalat Penggorok Daun Kentang. J. HPT Tropika. 9: 15-21.

Holling, C.S. 1959. Some characteristic of simple types of predations and parasitism.Can. Entomol. 91: 385-398.

Hugar, S. V. M., I. Naik, M. Manjunatha.2009. Comparative Biology of Yellow Stem Borer, Scirpophaga incertulas Walker in Aerobic and Transplanted Rice.Mysore. J. Agric. Sci.43: 439-443.

IRRI (International Rice Research Institute). 1998. “Tetrastichus schoenobii

Ferriere”. http://www.knowledgebank.irri.org. disitir tanggal 16 Juni 2008.

Islam, Z. 1991. Parasitic efficiencies of two egg parasitoids of the rice yellow stem borer Scirpophaga incertulas (Lepidoptera: Pyralidae) in Bangladesh. Bangladesh J. Entomol. 1: 51-57.

Jones, D.B. 2003. Fuctional response of an introduction parasitoid and indigenous parasitoid on greenbug at four temperature. Envir. Entomol 32:425-432 Kafil, M., M. Moezipour, H. Allahyari. 2008. Functional response of

Trichogramma brassicae at different temperatures and relative humidities.

Bulletin of Insectology. 61: 245-250

Kalshoven, L. G. E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Jakarta. PT. Ichtiar Baru-van Hoene Press. 701 p.

Kapur, A.P. 1964. Taxonomy of the rice stemborer. The Major Insect Pest of the Rice Plants.IRRI. Baltimore, Maryland . John Hopkins Press.

Kartohardjono, A. 1995. Beberapa Aspek Biologi Tetrastichus Schoenobii Ferr. (Hymenoptera; Pyralidae) Parasitoid Penggerek Batang Padi, Scircophaga spp. (Lepidotera; Pyralidae). (Disertasi). Bogor. Instetut Pertanian Bogor. 68 H

Kartosuwondo, U. 1995. Prinsip-prinsip Pengendalian Hayati.Pelatihan Pemanfaatan dan Pengelolaan Agansia Hayati. Kerjasama antara

Direktorat Bina Perlindungan Tanaman dengan Fakultas Pertanian IPB. Kim H.S,. E.A. Heinrichs, P. Mylvaganam. 1986. Egg parasitism of Scirpophaga

incertulas Walker (Lepidoptera: Pyralidae) by hymenopterous parasitoids in IRRI rice fields. Korean J. of Plant Protection.25: 37-40.

Laba, IW. 1998. Prospect of egg parasitoids as natural enemies of rice stem borer.Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 17: 14-22.

Novri, N. T., Habazar, R. Syahni, B. Sahari, D. Buchori . 2004.Functional Response of the Parasitoid Eriborus argenteopilosus (Cameron) to

Crocidolomia pavonana (Fabricius) under Different Temperature.J.

Hayati. 12: 17-22.

Novri, N.T., Q. Syuhadah.2012. Tanggap fungsional Menochilus sexmaculatu

Fabricius (Coleoptera: Coccinellidae) terhadap Aphis gossypii (Glover) (Homoptera: Aphididae) pada umur tanaman cabai berbeda.J. EntomolInd. 9: 23-31.


(46)

37

Nurbaeti, B., E. Soenaryo, Waluyo. 1994. Parasitism of Egg Parasitoid of Yellow Rice Stem (YRSB) Scirpophaga Icertulas Walker (Lepidoptera; Pyralidae). Balai Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. Pen.Tan. 4: 270-276.

Pathak. 1977. Insect Pests of Rice. International Rice Research Institute (IRRI). Poole, R. W. 1974. An Introduction to Quaatitative Ecology. International Student

Edition. McGrawHill Kogakusha, Ltd. Tokyo. 532p.

Rauf, A. 2000. Parasitisasi Telur Prnggerek Batang Padi Putih Scirpophaga innotata (Walker)(Lepidoptera: Pyralidae), Saat Terjadi Ledakan Di Kerawang Pada Awal 1990-an. Buletin HPT. 12: 1-10

Reissig, W.H., E.A. Heinrichs, J. A. Listinger, K. Moody, L. Fiedler, T.W. Mew, A.T. Barrion. 1986. Ilustrated Guide to Integrated Pest Management in Rice in Tropical Asia. Los Banos, Laguna, Philipines. International Rice Research Institute (IRRI). 411 p.

Sharov A. 1996. Functional and numerical response. http://www.ento.

vt.edu/~sharovPopEcol/lec10/funcreso.html. disitir tanggal 28 Okt 2002. Soehardjan, M. 1976. Dinamika Populasi Penggerek Batang Padi Kuning

Tryporiza incertulas Walker. (Disertasi). Bandung. Institut Teknologi Bandung. 62 h.

Soejitno, J. 1984. Hubungan Tingkat Infestasi Larva Penggerek Batang Padi Kuning Tryporyza incertulas Walker (Lepidoptera : Pyralidae) dengan Tunas Terserang dan Kehilangan Hasil Padi. (disertasi). Bogor. Institut Pertanian Bogor. 164 h.

Southwood TRE. 1980. Ecological Methods with Particular Referense to study of insect Population. Champman and Hill. London.

Suharto, H. danH. Sembiring. 2007. Status Hama Penggerek Batang Padi diIndonesia. Apresisai Hasil Penelitian Padi. Balai Besar PenelitianTanaman Padi. 10 h.

Supartha, IW. 1991. Perilaku dan Parasitisme Lysiphlebus testaceipes (Cresson) (Hymenoptera: Aphididae) Terhadap Kutu Daun, Aphis craccivora Koch (Homomptera: Aphididae) Pada Empat Jenis Tanaman Kacang-kacangan. (Tesis). Bogor. Institut Pertanian Bogor. 70 h.

Supartha, IW., IN. Wijaya, K. Sumiartha, IG. A. Gunadi., W. Adiartayasa, C. Rai, IG. N. Ngurah Bagus, IM. M. Adnyana. 1993. Faktor – Faktor yang Berpengaruh terhadap Perkembangan Hama Penggerek Batang Padi pada Pertanaman Padi di Daerah Bali. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tingggi I. Fakultas Pertanian Universitas Udayana. 70 h.

Supartha, IW. 2001. Kelimpahan Populasi dan Peranan Parasitoid Telur dalam Pengaturan Populasi Penggerek Padi Kuning pada Pertanaman Padi Sawah di Bali. Agritop. (J. Agric. Sci). 20: 75-79.

Trichoplus. 2000. Trichogramma Wasps. http//www.trichoplus.com. disitir tanggal 16 Juni 2008.

Untung, K. 2002. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Edisi ke-2 Yogyakarta: Gajah Mada University Perss. 266 hal.


(47)

38

Wang, B., D.X. Ferro. 1998. Functional responses of Trichogramma ostriniae

(Hymenoptera: Trichogrammatidae) to Ostrinia nubilalis (Lepidoptera: Pyralidae) under laboratory and field conditions. Environ Entomol.: 752-758.

Widyarti, N.A.P. 2003. Tanggap Fungsional Telonomus remus (Hymenoptera: Scelionidae) Pada Suhu yang Berbeda. (Tesis). Bogor. Imstetut Pertanian Bogor. 73 h.

Wijaya, IN. 1992. Serangan dan Musuh Alami Penggerek Batang Padi pada Persawahan Tanam Serentak dan Tidak Serentak di Kabupaten Badung Provinsi Bali.(Tesis).Bogor. Institut Pertanian Bogor. 53 h.


(48)

39 LAMPIRAN

Lampiran 1. Karakteristik Habitat Pada Masing-Masing Wilayah Penelitian. A. BADUNG

Secara geografis Kabupaten Badung terletak antara 8o14’20”- 8o50’52” Lintang Selatan dan 115o05’03”- 115o26’51” Bujur Timur dengan luas wila ah 418,52 km2 atau sekitar 7,43% dari daratan Pulau Bali, terbagi atas 6 kecamatan yakni Petang, Abiansemal, Mengwi, Kuta Utara, Kuta dan Kuta Selatan. Kabupaten Badung mengalami 2 musim yakni musim hujan dan musim kemarau, kisaran suhu udara antara 23,4 oC-31,5 oC dengan kelembaban berkisar antara 77%-84%. Ketinggian tempat di Kabupaten Badung dimulai dari 0-2.075 mdpl (Badung Dalam Angka, 2014).

Dilihat dari penggunaan lahan, luas wilayah Kabupaten Badung tersebut di bagi menjadi 2 yakni lahan pertanian dan bukan pertanian masing-masing seluas 28.465 dan 13,387 km2. Lahan pertanian dibedakan lagi menjadi lahan sawah ( irigasi) dan lahan bukan sawah (Tegal/kebun,tambak dan hutan rakyat) dengan Jenis tanah latosol (Badung Dalam Angka, 2014).

Pembangunan pertanian di Kabupaten Badung diupayakan untuk peningkatan produktivitas melalui diversifikasi tanaman meliputi padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, sayur-sayuran dan buah, kelapa, kopi arabika dan robusta, cengkeh, jambu mete, kapok dan coklat (Badung Dalam Angka, 2014).. Lebih lanjut pola tanam yang diterapkan khususnya pada lahan sawah dominan padi-padi-palawija dengan dosis pemupukan urea 2 ton/ha, melakukan pergiliran varietas, pengairan basah kering dan pemakaian pestisida dalam usaha taninya

B. TABANAN

Kabupaten Tabanan terletak di bagian selatan pulau Bali pada posisi 8o14’30”- 8o30’07” Lintang Selatan dan 114o54’52”- 115o12’57” Bujur Timur dengan luas wilayah 839,33 km2 atau sekitar 14.90% dari luas Provinsi Bali dan terbagi dalam 10 kecamatan yakni Selemadeg, Kerambitan, Tabanan, Kediri, Marga, baturiti, Penebel, Pupuan, Selemadeg Barat dan Selemadeg Timur. Keadaan topografi Kabupaten Tabanan digambarkan dengan dataran tinggi di bagian utara yang merupakan wilayah pegunungan dan dataran rendah di bagian selatan yang berupa daerah pantai dengan ketinggian antara 0-2.276 mdpl. (Tabanan Dalam Angka, 2014).

Bila dilihat dari penggunaan lahan, sekitar 221,84 km2 Kabupaten Tabanan merupakan lahan persawahan dan 671,49 km2 bukan lahan sawah., dengan jenis tanah latosol. Kabupaten Tabanan merupakan salah satu sentra produksi tanaman pangan di Bali dengan jenis komoditas padi, palawija (jagung,


(49)

40

kacang hijau, ketela pohon, ubi jalar, kacang tanah dan kedelai), sayur dan buah-buahan (Tabanan Dalam Angka, 2014). Rincian lebih lanjut pola tanam yang diterapkan khususnya pada lahan sawah dominan padi-padi-palawija dengan dosis pemupukan urea 2 ton/ha, melakukan pergiliran varietas, pengairan basah kering dan pemakaian pestisida dalam usaha taninya.

C. JEMBRANA

Secara geografis, Kabupaten Jembrana terletak pada posisi i8o09’30”- 8o28’02” Lintang Selatan dan 114o25’53”- 114o56’38” Bujur Timur dengan luas wilayah 839,33 km2 atau sekitar 14.90% dari luas Provinsi Bali dan terbagi dalam 5 kecamatan yakni Melaya, Negara. Jembrana. Mendoyo dan Pekutatan.Topografi daerah Jembrana digambarkan dengan membentangnya pegunungan disebelah utara yang memanjang dari barat ke timur.dengan ketinggian antara 0-700 mdpl (Jembrana Dalam Angka, 2014).

Dilihat dari penggunaan lahan, lahan di Kabupaten jembrana dibagi dalam 2 kategori yakni lahan pertanian dan lahan bukan pertanian masing-masing seluas 6.811 dan 51.537 km2. Lahan sawah dibedakan lagi menjadi lahan sawah irigasi dan lahan sawah tadah hujan. Sebagian besar petani di Jembrana mempunyai kegiatan pokok di sub sektor pertanian tanaman pangan yakni padi, palawija (jagung, ubj kayu, ubi jalar, kacang tanah, kedelai dan kacang hijau), hortikultura (kacang panjang, cabai, mentimun, semangka, alpukat, mangga, rambutan, duku/langsat, jeruk,durian, jambu air, jambu biji, pisang,nenas, sirsak, sawo, papaya, salak) dan tanaman perkebunan seperti kelapa, kopi, cengkeh, kakao dan panili (Jembrana Dalam Angka, 2014).


(50)

41

Lampiran 2. Dokumen Mengikuti Seminar Nasional Sain dan Teknologi 2015 Hari/ Tanggal: Kamis-Jumat, 29-30 Oktober 2015 di Patrab jasa Bali Resort & Villas Kuta Bali dengan Tema Inovasi Humaniora, Sains, dan teknologi untuk Pembangunan Berkelanjutan


(51)

(52)

(53)

(54)

(55)

46

Lampiran 3. Dokumen Mengikuti Kongres dan General Meating ISSAAS 2015 & 118th JSTA International Joint Conference di Tokyo Univercity of Agriculture November 7-9 2015 dengan Tema Agriculture Sciences For Sustaineble Development


(56)

(57)

(58)

49 Lampiran 5.


(1)

49 Lampiran 5.


(2)

(3)

(4)

52 Lampiran 4. Personalia Penelitian

1. Nama Lengkap : Prof. Dr. Ir. I Wayan Supartha, MS

NIP/NIDN : 195703301986011001/0030035703

Fakultas/P.S : Pertanian/Agroekoteknologi Status dalam Penelitian/Pengabdian*) : Ketua

2. Nama Lengkap : Prof. Ir. I Wayan Susila, MS

NIP/NIDN : 195401291986011001/0029015408

Fakultas/P.S : Pertanian/Agroekoteknologi

Status dalam Penelitian/Pengabdian*) : Anggota

3. Nama Lengkap : Ir. Ketut Sumiartha, M.Agr

NIP/NIDN : 195612131983031002/0013125602

Fakultas/P.S : Pertanian/Agroekoteknologi

Status dalam Penelitian/Pengabdian*) : Anggota

Bukit Jimbaran, 5 Nopember 2015

(Prof. Dr. Ir. I Wayan Supartha, MS)


(5)

53 Lampiran 7. Catatan Harian Kegiatan Penelitian


(6)

54