Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Parasitoid dan Hubungan antara Parasitoid dan Inang Respon Parasitoid Terhadap Kepadatan Inang

13 berwarna coklat mengkilat. Thorak berwarna cerah dan lembut, terdapat sayap depan dan sayap belakang berbentuk pedang dengan pinggir melengkung. Abdomen bulat silindris dengan delapan ruas. Ovipositor berwarna coklat kekuningan, sangat pendek dan tebal. Tungkainya berwarna kuning dengan tarsus bersegmen empat. Daur hidupnya berlangsung selama kurang lebih 14 hari Kalshoven, 1981. Seekor imago betina

T. schoenobii

mampu memproduksi 10-60 butir telur. Telur –telur tersebut akan menetas setelah berumur 1-2 hari. Larva berbentuk silindris memanjang. Perkembangan larva

T. schoenobii

terjadi di dalam telur inang. Seekor larva parasitoid

T. schoenobii

dalam menyelesaikan satu siklus hidupnya membutuhkan tiga telur inang. Stadium larva berlangsung selama 7 hari, kemudian larva dewasa membentuk pupa. Stadium pupa berlangsung selama 6 hari, selanjutnyamuncul imago 1 - 2 hari berikutnya IRRI, 1998.

2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Parasitoid dan

Inang Parasitoid dan inang dapat hidup dan berkembang biak dengan baik jika faktor-faktor yang mendukung perkembangannya memenuhi syarat. Menurut Berryman 1981, faktor-faktor tersebut meliputi faktor dalam instrinsik dan faktor luar ekstrinsik. Faktor dalam instrinsik terdiri dari a ketahanan genetik yakni keadaan dimana serangga mampu menciptakan ketahanan secara alami sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan fisiologis inang atau makanannya, yang akhirnya mampu mempertahankan hidupnya, b kemampuan beradaptasi yaitu sejauh mana serangga tersebut mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan iklim pada lingkungan sekitarnya. Faktor luar ekstrinsik terdiri dari faktor makanan, faktor iklim dan faktor manusia yakni sejauh mana tindakan atau campur tangan manusia yang dilakukan seperti manipulasi tanaman inang, pergiliran varietas yang berkaitan dengan inang parasitoid ataupun pengendalian menggunakan pestisida.

2.4 Hubungan antara Parasitoid dan Inang

Keefektifan musuh alami dalam mengendalikan populasi hama dapat diukur dari daya predatisme atau parasitismenya. Berdasarkan daya predatisme atau parasitisme tersebut dapat dinilai kemampuan musuh alami dalam mengatur keseimbangan populasi mangsa dan inangnya. Musuh alami yang efektif dicirikan 14 oleh a daya mencari yang tinggi, terutama pada saat populasi inang rendah; b kekhususan terhadap inang atau mangsa sifat monofag bermakna lebih efektif; c potensi berkembangbiak tinggi potensi berkembangbiak dicirikan oleh keperidian dan fertilitas yang tinggi serta siklus hidup yang pendek; d kisaran toleransi terhadap lingkungan lebar serta kemampuan memangsa terhadap berbagai instar inang DeBach, 1971.

2.5 Respon Parasitoid Terhadap Kepadatan Inang

Hubungan kemampuan memarasit parasitoid dengan kepadatan populasi inang merupakan aspek penting dalam usaha pengendalian hayati.Hubungan tersebut sangat bertalian dengan keefektifan parasitoid dalam mengatur keseimbangan populasi inang. Hassel dan Waage 1984 mengemukakan bahwa keefektifan parasitoid dicerminkan oleh tanggapnya terhadap kepadatan inang. Demikian juga Doutt 1973 yang menyatakan bahwa salah satu ukuran untuk menentukan keefektifan suatu parasitoid dalam pengendalian hayati adalah tanggapnya terhadap kepadatan inang yang dikenal dengan tanggap fungsional. Istilah tanggap fungsional pertama kali diperkenalkan oleh Solomon untuk menyatakan perubahan jumlah mangsa yang diserang oleh predator pada kerapatan populasi mangsa per satuan waktu pada tahun1949 Sharov, 1996. Hassell 1986 mengemukakan bahwa tanggap fungsional adalah laju parasitisme per individu parasitoid meningkat terhadap peningkatan kepadatan inang.Hassel 1986 juga mengemukakan bahwa tanggap fungsional merupakan komponen yang sangat esensial dalam dinamika interaksi antara parasitoid dan inang, karena dapat memberikan gambaran mengenai potensi parasitoid tersebut dalam mengendalikan populasi inangnya. Menurut Holling 1959 tanggap fungsional dibedakan atas tiga tipe umum. Tipe I yaitu jumlah inang terparasit meningkat secara linear sampai batas maksimum inang terparasit kemudian mendatar sejalan dengan peningkatan kepadatan inang Gambar 2.5.1. Tipe I biasanya ditemukan pada predator yang bersifat pasif seperti laba- laba. Jumlah lalat yang terperangkap pada jaring laba-laba sebanding dengan kerapatan populasi lalat.Pada tipe II atau tanggap fungsional hiperbolik yaitu jumlah inang terparasit meningkat sejalan dengan tingkat kepadatan inang Gambar 2.5.2. 15 Gambar 2.5.1 Tanggap Fungsional Tipe I Holling,1959 Tanggap tipe III atau tanggap fungsional sigmoid yaitu jumlah inang terparasit sedikit pada kepadatan populasi rendah kemudian meningkat sejalan dengan tingkat kepadatan inang sampai batas maksimum yang mampu diparasit dan akhirnya konstan pada tingkat kepadatan selanjutnya Gambar 2.5.3. Gambar 2.5.2 Tanggap Fungsional Tipe II Holling,1959 Penelitian tanggap fungsional parasitoid Trichogramma sp terhadap bakteri Wolbachia telah dilakukan oleh Farrokhi et al . 2010 . Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa parasitoid Trichogramma sp mempunyai respon fungsional tipe II terhadap kerapatan bakteri Wolbachia . Penelitian tanggap fungsional parasitoid telur Trichogramma sp juga dilakukan oleh Kafil et al . 2008 terhadap Trichogrammabrassicae pada inang tiruannya, telur ngengat gabah Sitotroga cerealella Olivier pada temperatur dan kelembaban yang berbeda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa respon fungsional parasitoid T. brassicae adalah tipe II pada suhu 25°C dan tipe-3 pada suhu 20 dan 30°C. Hasil Jumla h I na ng T er p ar asit Tanggap Tipe I Kepadatan Inang Juml ah Ina ng Te rp ara sit Kepadatan Inang Tanggap Tipe II 16 penelitian Novri et al . 2004 menunjukkan bahwa tanggap fungsionalparasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron terhadap hama Crocidolomia pavonana Fabricius pada suhu 25 dan 30 °C menunjukkan tanggap fungsional tipe III. Gambar 2.5.3 Tanggap Fungsional Tipe III Holling,1959 Hidrayani et al . 2009 menemukan bahwa parasitoid Hemiptarsenus varicornis Girault menunjukkan tanggap fungsional tipe II terhadap Liriomyza huidobrensis Blanchard. Penelitian t anggap fungsional Menochilus sexmaculatus terhadap Aphis gossypii pada beberapa umur tanaman cabai dilakukan oleh Novri et al . 2012. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada tanaman cabai umur 2 minggu M. sexmaculatus mempunyaitanggap fungsional tipe I terhadap A. gossypii , sedangkan umur 4, 6 dan 8 minggu adalah tanggap tipe III. Wang dan Ferro 1998 menemukan bahwa Trichogramma ostriniae mempunyai tanggap fungsional tipe II terhadap Ostrinia nubilalis Hubner pada suhu 20 °C dan tanggap tipe III pada suhu 27 °C. Hasil penelitian Jones 2003 pada parasitoid Aphidius colemani Viereck terhadap perbedaan suhu menunjukkan bahwa parasitoid A. colemani Viereck mempunyaitanggap fungsional tipe II pada suhu 14 - 26 °C. Juml ah Ina ng Te rp ara sit Kepadatan Inang Tanggap Tipe III 17 III METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian