Analisis Pengaruh Kualitas Sumber Daya Manusia, Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Tingkat Kemiskinan di Sumatera Utara

(1)

(2)

LAMPIRAN I 1. Variabel Penelitian

Tahun

Tingkat Kemiskinan

(Y)

Angka Melek Huruf

(X1)

Inflasi (X2)

Pertumbuhan Ekonomi

(X3)

1996 10,92 95,62 7,24 8,80

1997 16,01 95,71 17,05 8,20

1998 30,80 95,03 83,56 -10,90

1999 16,70 96,23 1,37 2,59

2000 18,41 96,52 5,73 4,83

2001 18,20 95,80 14,79 3,72

2002 15,84 95,90 9,59 4,07

2003 15,89 96,80 4,23 4,81

2004 14,93 96,60 6,80 5,74

2005 14,68 97,00 22,41 5,48

2006 15,66 97,00 6,11 6,20

2007 13,90 97,03 6,60 6,90

2008 12,55 97,36 10,72 6,39

2009 11,51 97,15 2,61 5,07

2010 11,31 97,60 8,00 6,42

2011 11,33 97,46 3,67 6,63

2012 10,41 97,51 3,86 6,22


(3)

LAMPIRAN II

2. Hasil Uji Regresi Linier Berganda Coefficientsa

Model Unstandardized

Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1

(Constant) 219,969 62,955 3,494 ,004

ANGKA MELEK HURUF

-2,087 ,650 -,352 -3,211 ,006

INFLASI ,021 ,051 ,081 ,410 ,688

PERTUMBUHAN EKONOMI

-,718 ,216 -,636 -3,321 ,005

a. Dependent Variable: TINGKAT KEMISKINAN

ANOVAa

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1

Regression 337,777 3 112,592 34,944 ,000b

Residual 45,109 14 3,222

Total 382,886 17

a. Dependent Variable: TINGKAT KEMISKINAN

b. Predictors: (Constant), PERTUMBUHAN EKONOMI, ANGKA MELEK HURUF, INFLASI

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 ,939a ,882 ,857 1,79501

a. Predictors: (Constant), PERTUMBUHAN EKONOMI, ANGKA MELEK HURUF, INFLASI


(4)

LAMPIRAN III 3. Hasil Uji Asumsi Klasik

a. Uji Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

TINGKAT KEMISKINA

N

ANGKA MELEK HURUF

INFLASI PERTUMBU HAN EKONOMI

N 18 18 18 18

Normal Parametersa,b

Mean 14,9689 96,6756 12,4733 4,8433

Std. Deviation

4,74581 ,80140 18,52703 4,20344

Most Extreme Differences

Absolute ,191 ,157 ,315 ,284

Positive ,191 ,111 ,315 ,201

Negative -,167 -,157 -,274 -,284

Kolmogorov-Smirnov Z ,810 ,667 1,338 1,203

Asymp. Sig. (2-tailed) ,528 ,765 ,056 ,111

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.

b. Uji Multikolineritas

Coefficientsa

Model Collinearity Statistics

Tolerance VIF

1

ANGKA MELEK HURUF ,698 1,432

INFLASI ,216 4,624

PERTUMBUHAN EKONOMI ,230 4,352


(5)

c. Hasil Uji Heteroskedastisitas

Coefficientsa

Model Unstandardized

Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1

(Constant) 44,533 32,780 1,359 ,196

ANGKA MELEK HURUF

-,449 ,338 -,378 -1,325 ,206

INFLASI -,014 ,026 -,273 -,533 ,602

PERTUMBUHAN EKONOMI

,062 ,113 ,272 ,548 ,593

a. Dependent Variable: abresid

d. Uji Autokorelasi

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Durbin-Watson

1 ,939a ,882 ,857 1,79501 1,596

a. Predictors: (Constant), PERTUMBUHAN EKONOMI, ANGKA MELEK HURUF, INFLASI


(6)

DAFTAR PUSTAKA BUKU:

Badan Pusat Statistik. 2005. Perhitungan Indeks Pembangunan Manusia dan

Faktor Penyebab Perubahannya Serta Penduduk Miskin Sumatera Utara 2004 dan Analisis Dampak APBD Terhadap IPM, BPS, Medan.

_______. 2012. Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Sumatera Utara Tahun

2011, BPS, Medan.

_______. 2013. Analisis Perkembangan Indikator Utama Tingkat Kesejahteraan

Rakyat Sumatera Utara Tahun 2013, BPS, Medan.

_______. 2014. Analisis Pembangunan Manusia Sumatera Utara 2013, BPS, Medan.

_______. 2015. Sumatera Utara dalam Angka 1994-2014, BPS, Medan.

Barclay, George W, 1984. Teknik Analisa Kependudukan, Edisi Bahasa Indonesia. PT. Bina Aksara, Jakarta.

Boediono, 1999. Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi Makr, Edisi 4, BPFE-Yogyakarta.

Jhingan, M. L, 2007. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, PT. Raja Grafindo, Jakarta.

Kamaluddin, Rustian, 1999. Pengantar Ekonomi Pembangunan, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Mantra, Ida Bagoes, 2000. Demografi Umum, Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI), Yogyakarta.

S, Mulyadi, 2003. Ekonomi Sumber Daya Manusia: Dalam Persfektif

Pembangunan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Siagian, Matias, 2012. Kemiskinan dan Solusi, PT. Grasindo Monoratama, Medan.

Solihin, Dadang, 2014. Implementasi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan, Yayasan Empat Sembilan Indonesia, Jakarta.

Sukirno, Sadono, 2006. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan Dasar


(7)

_______, 2004, Makroekonomi Teori Pengantar, Edisi Ketiga, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Todaro, Michael P, 2003. Ekonomi Pembangunan, Edisi Bahasa Indonesia, Erlangga, Jakarta.

_______, 2006. Ekonomi Pembangunan, Edisi Bahasa Indonesia, Erlangga, Jakarta.

ARTIKEL DAN JURNAL:

Fitri, Reni Mustika, 2012. “Pengaruh Kualitas Sumber Daya Manusia, Pertumbuhan Ekonomi, dan Rasio Gender terhadap Tingkat Kemiskinan di Provinsi Sumatera Barat”, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang. Jonaidi, Arius, 2012. “Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan di

Indonesia”, Jurnal Kajian Ekonomi, Volume 1 Nomor 1, hal 140-164

Kumalasari, Merna, 2011. “Analisis Pertumbuhan Ekonomi, Angka Harapan Hidup, Angka Melek Huruf, Rata-rata Lama Sekolah, Pengeluaran Perkapita, dan Jumlah Penduduk terhadap Tingkat Kemiskinan di Jwa Tengah”, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro, Semarang.

Napitupulu, Apriliyah S, 2007. “Pengaruh Indikator Komposit Indeks Pembangunan Manusia Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin di Sumatera Utara”, Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Nugroho, Widiatma, 2012. “Analisis Pengaruh PDRB, Agrishare, Rata-rata Lama Sekolah, dan Angka Melek Huruf terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia”, Fakultas Ekonomika dan Bisinis Universitas Diponegoro. Prastyo, Adit Agus, 2010. “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat

Kemiskinan (Studi Kasus 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2003-2007), Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang.

Saleh, Samsubar, 2002. “Faktor –faktor Penentu Tingkat Kemiskinan Regional di Indonesia”, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Volume 7 Nomor 2, hal


(8)

Wijayanto, Ravi Dwi, 2010. “Analisis Pengaruh PDRB, Pendidikan, dan Pengangguran Terhadap Kemiskinan di Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2005-2008”, Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang.

Widyasworo, Radhitya, 2014. “ Analisis Pengaruh Pendidikan, Kesehatan, dan Angkatan Kerja Wanita Terhadap Kemiskinan di Kabupaten Gresik (Studi Kasus Tahun 2008-2012), Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Malang.


(9)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode Penelitian berasal dari Bahasa Yunani “Methodosyang berarti cara atau jalan yang ditempuh. Metode berhubungan dengan cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran atau tujuan penelitian.

Fungsi penelitian pada dasarnya adalah untuk memberikan penjelasan dan jawaban atas suatu permasalahan, serta mencari alternatif lain dalam pemecahan masalah. Untuk melakukan pemecahan masalah harus menggunakan cara ilmiah yang rasional, empiris, dan sistematis (Sugiyono, 2009).

3.1 Jenis Penelitian

Berdasarkan sifatnya, jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang bersifat angka atau bilangan. Data-data yang diambil akan membantu dalam penyajian hasil penelitian nantinya. Penulis juga menggunakan metode penelitian deskriptif yang mendeskripsikan fenomena beberapa variabel yang digunakan dalam penelitian.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Sesuai dengan judul yang diberikan, maka lokasi penelitian dilakukan di Provinsi Sumatera Utara. Dimana waktu penelitian untuk mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan judul dilakukan pada bulan Desember 2015 – Januari 2016.

3.3 Batasan Operasional

Dalam melakukan analisis yang pertama, penulis menggunakan variabel Tingkat Kemiskinan sebagai variabel dependen (Y). Dan variabel Angka Melek Huruf (AMH), Inflasi, serta Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Utara sebagai


(10)

variabel independen (X). Selanjutnya analisis kedua untuk melihat adakah pengaruh Angka Melek Huruf (AMH), Inflasi, serta Pertumbuhan Ekonomi terhadap Tingkat Kemiskinan di Sumatera Utara. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tahunan dari tahun 1996 - 2013.

3.4 Defenisi Operasional

1. Tingkat kemiskinan adalah persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara tahun 1996 - 2013 (dalam satuan persen).

2. Angka melek huruf didefenisikan sebagai persentase penduduk provinsi Sumatera Utara tahun 1996 - 2013 berusia 15 tahun ke atas yang mampu membaca dan menulis huruf latin atau huruf lainnya (selain huruf latin) yang diajarkan saat jenjang pendidikan dasar.

3. Tingkat inflasi adalah persentase perubahan kenaikan atau penurunan indeks harga konsumen yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara periode 1996 - 2013 (dalam satuan persen).

4. Pertumbuhan Ekonomi dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), yaitu nilai produksi barang-barang dan jasa-jasa menurut sektor kegiatan ekonomi di Sumatera Utara berdasarkan harga konstan dari tahun 1996 - 2013 (dalam satuan persen).

3.5 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat kuantitatif, yaitu data yang berbentuk angka-angka. Sedangkan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat


(11)

Statistik (BPS) Sumatera Utara. Selain itu data-data lainnya yang mendukung penelitian ini diperoleh dari jurnal-jurnal, buku-buku bacaan, dan situs-situs yang berkaitan dengan penelitian ini. Berdasarkan kurun waktunya, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah times series (tahunan), dengan kurun waktu 1996 - 2013 (sampel data 18 tahun).

3.6 Metode Pengumpulan Data

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu teknik penulisan yang dilakukan melalui bahan-bahan kepustakaan, seperti tulisan ilmiah, jurnal dan laporan penelitian ilmiah terdahulu yang berkaitan dengan topik penelitian dalam skripsi ini.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan pencatatan data Tingkat Kemiskinan, Angka Melek Huruf, Inflasi, dan Pertumbuhan Ekonomi mulai tahun 1996 - 2013 di Sumatera Utara.

3.7 Teknik Analisis Data 3.7.1 Analisis Regresi Berganda

Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah metode regresi linier berganda, dimana data yang dikumpulkan kemudian dianalisis menggunakan indikator yang digunakan. Bentuk umum regresi linier berganda, yaitu:

Y = α + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + e Keterangan,

Y : Tingkat Kemiskinan

α : Konstanta

β 1, β 2, β 3 : Koefisien regresi variabel independen X1 : Angka Melek Huruf


(12)

X3 : Pertumbuhan Ekonomi

3.7.2 Pengujian Penyimpangan Asumsi Klasik

Model regresi linier berganda (multiple regression) dapat disebut sebagai model yang baik jika model tersebut memenuhi Kriteria BLUE (Best Linear

Unbiased Estimator). BLUE dapat dicapai bila memenuhi Asumsi Klasik.

Uji asumsi klasik digunakan untuk mengetahui apakah hasil analisis regresi linier berganda yang digunakan untuk menganalisis dalam penelitian ini terbebas dari penyimpangan asumsi klasik yang meliputi uji normalitas, multikolinieritas, heteroskedastisitas dan autokorelasi. Adapun masing-masing pengujian tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

3.7.2.1Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi linier variabel terikat dan variabel bebas keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak (Ghozali, 2005:111). Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau mendekati normal. Dalam penelitian ini, untuk mendeteksi normalitas data dilakukan dengan pengujian Kolmogrov Smirnov.

Dalam uji ini, pedoman yang digunakan dalam pengambilan keputusan adalah:

a. Jika nilai signifikan > 0.05 maka distribusi normal, dan b. Jika nilai signifikan < 0.05 maka distribusi tidak normal.


(13)

3.7.2.2Uji Multikolinieritas

Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi mempunyai korelasi antar variabel bebas. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel independen. Multikolinieritas adalah situasi adanya korelasi variabel-variabel independen antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini disebut variabel-variabel bebas ini tidak ortogonal. Variabel-variabel bebas yang bersifat ortogonal adalah variabel bebas yang memiliki nilai korelasi diantara sesamanya sama dengan nol. Jika terjadi korelasi sempurna diantara sesama variabel bebas, maka konsekuensinya adalah:

a. Koefisien-koefisien regresi menjadi tidak dapat ditaksir,

b. Nilai standar error setiap koefisien regresi menjadi tak terhingga.

Multikolinieritas dapat dilihat dari nilai tolerance dan lawannya serta

variance inflation factor (VIF). Kedua ukuran ini menunjukan setiap variabel

independen manakah yang dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Dalam pengertian sederhana, setiap variabel independen menjadi variabel dependen (terikat) dan diregres terhadap variabel independen lainnya. Tolerance mengukur variabilitas variabel independen yang terpilih yang tidak dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Jadi nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF tinggi (karena VIF=1/Tolerance). Nilai yang umum dipakai untuk menunjukan adanya multikolinieritas adalah nilai tolerance < 0.10 atau sama dengan nilai VIF > 10. 3.7.2.3Uji Heteroskesdastisitas

Menurut Imam Ghozali (2005:105), uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terdapat ketidaksamaan variance dari


(14)

residual satu pengamatan ke pengamatan lain. Konsekuensinya adanya heteroskedastisitas dalam model regresi adalah penaksir yang diperoleh tidak efisien, baik dalam sampel kecil maupun besar.

Untuk mengetahui ada tidaknya heteroskedastisitas juga dapat diketahui dengan melakukan uji glejser. Jika variabel bebas signifikan secara statistik mempengaruhi variabel terikat, maka ada indikasi terjadi heteroskedastisitas (Ghozali, 2005:69).

3.7.2.4Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi linier ada korelasi antara kesalahan pada periode t dengan periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada problem autokorelasi (Ghozali, 2005:95). Untuk menguji ada tidaknya gejala autokorelasi maka dapat dideteksi dengan uji Durbin-Waston. Pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi adalah sebagai berikut:

a. angka D-W dibawah -2 berarti ada autokorelasi positif,

b. angka D-W diantara -2 sampai +2 berarti tidak ada autokorelasi, c. angka D-W di atas +2 berarti ada autokorelasi negatif.

3.7.3 Uji Kesesuaian (Test of Goodness of Fit)

Uji statistik yang dilakukan adalah sebagai uji signifikasi hasil estimasi yang diperoleh terhadap hubungan antara variabel independen dan variabel dependen. Maka uji hipotesis yang digunakan adalah:


(15)

3.7.3.1Uji F (Uji Simultan)

Uji Simultan (Uji Statistik F) merupakan uji yang menunjukkan pengaruh variabel secara simultan, yaitu variabel independen mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen.

Pengujian ini dilakukan untuk membandingkan nilai hitung dengan F-tabel. Jika F-hitung > F-tabel, maka Ho ditolak, artinya variabel independen secara bersama–sama mempengaruhi variabel dependen.

3.7.3.2Uji T (Uji Parsial)

Uji Parsial (Uji Statistik t) dimaksudkan untuk menguji hubungan masing-masing variabel independen secara terpisah (sendiri) terhadap variabel dependen. Bila nilai t-hitung > t-tabel, maka pada tingkat kepercayaan tertentu Ho ditolak. Hal ini berarti bahwa variabel independen yang diuji dapat berpengaruh nyata terhadap variabel dependen. Bila t-hitung < t-tabel maka pada tingkat kepercayaan tertentu Ho diterima. Ho diterima artinya bahwa variabel independen yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.

3.7.3.3Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien yang mengukur seberapa jauh pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel terikatnya. Atau dapat pula dikatakan sebagai proporsi pengaruh seluruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Semakin tinggi nilai R2 maka semakin baik pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.

Ciri-ciri dari R2:

1. Jumlah nilai R2 tidak pernah negatif.


(16)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum

4.1.1 Lokasi dan Keadaan Geografis

Provinsi Sumatera Utara berada di bagian barat Indonesia, terletak pada garis 10-40 Lintang Utara dan 980-1000 Bujur Timur. Sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Aceh, sebelah timur dengan Negara Malaysia di Selat Malaka, sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Riau dan Sumatera Barat, dan di sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia.

Luas daratan Provinsi Sumatera Utara adalah 71.680,68 km2, sebagian besar berada di daratan Pulau Sumatera dan sebagian kecil berada di Pulau Nias, pulau-pulau Batu, serta beberapa pulau kecil, baik di bagian barat maupun bagian timur pantai Pulau Sumatera.

Berdasarkan luas daerah menurut kabupaten/kota di Sumatera Utara, daerah terluas adalah Kabupaten Mandailing Natal dengan luas 6.620,70 km2 atau sekitar 9,23 persen dari total luas Sumatera Utara, diikuti Kabupaten Langkat dengan luas 6.263,29 km2 atau 8,47 persen, kemudian Kabupaten Simalungun dengan luas 4.386,60 km2 atau sekitar 6,12 persen. Sedangkan luas daerah terkecil adalah kota Sibolga dengan luas 10,77 km2 atau sekitar 0,02 persen dari total luas wilayah Sumatera Utara.

Provinsi Sumatera Utara tergolong ke dalam daerah beriklim tropis, kisaran suhu antara 13,40C–33,90C, mempunyai musim kemarau (Juni s/d


(17)

September) dan musim hujan (Nopember s/d Maret), diantara kedua musim itu diselingi oleh musim pancaroba.

Sampai dengan tahun 2013 Provinsi Sumatera Utara secara administratif terbagi dalam 33 Kabupaten/Kota, dimana terdapat 25 Kabupaten dan 8 Kota, yang terdiri dari 440 Kecamatan meliputi 6.008 Desa/Kelurahan.

4.1.2 Kependudukan

Jumlah penduduk di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2013 adalah sebesar 13.326.307 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk mencapai 1,22 persen. Jika dibandingkan dengan hasil Sensus Penduduk tahun 2000 yang memperlihatkan laju pertumbuhan penduduk sedikit lebih tinggi sebesar 1,20 persen. Rata-rata kepadatan penduduk Provinsi Sumatera Utara tercatat 186 jiwa per km2.

Tingkat kepadatan penduduk yang tinggi didominasi oleh daerah perkotaan. Kota yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi adalah Kota Medan sebesar 8.009 jiwa per km2, disusul dengan Kota Sibolga dengan kepadatan penduduk, yaitu 7.983 jiwa per km2 dan Kota Tebing Tinggi dengan kepadatan penduduk, yaitu 3.877 jiwa per km2. Daerah dengan kepadatan penduduk terendah yaitu, kabupaten Pakphak Barat yaitu 34 jiwa per km2, disusul dengan Kabupaten Samosir yaitu 50 jiwa per km2 dan disusul Kabupaten Padang Lawas Utara, yaitu 59 jiwa per km2.

Jumlah penduduk laki-laki di Sumatera Utara lebih sedikit dibandingkan dengan penduduk perempuan. Jumlah penduduk perempuan sebanyak 6.678.117 jiwa dan laki-laki 6.648.190 jiwa, dengan sex ratio sebesar 99,55%. Bila dilihat


(18)

berdasarkan rata-rata banyaknya anggota keluarga di Sumatera Utara pada tahun 2013 adalah sebesar 4,21 (yang berarti rata-rata pada setiap keluarga terdiri dari 4 - 5 anggota keluarga). Kabupaten yang rata-rata jumlah anggota keluarganya paling banyak adalah Kabupaten Nias Barat, yaitu 5,00 dan yang paling sedikit adalah Kabupaten Karo, yaitu 3,64 orang.

Komposisi penduduk Sumatera Utara menurut kelompok umur, menunjukkan bahwa penduduk yang berusia muda (0-14 tahun) sebesar 32,35%, yang berusia produktif (15-64 tahun) sebesar 63,78% dan yang berusia tua (>65 tahun) sebesar 3,86%. Dengan demikian maka angka beban tanggungan

(dependency ratio) penduduk Sumatera Utara tahun 2013 sebesar 56,78%. Angka

ini mengalami penurunan sebesar 0,01% bila dibandingkan dengan tahun 2012 sebesar 56,77%.

Sumber: BPS Provinsi Sumatera Utara

Gambar 4.1

Piramida Penduduk Provinsi Sumatera Utara 2013

Sejak terjadinya krisis moneter jumlah penduduk miskin meningkat secara drastis mencapai 30,77% tahun 1998. Walaupun angka ini sudah dapat diturunkan


(19)

secara signifikan sejak tahun 1999, namun data terakhir menunjukkan, bahwa jumlah penduduk miskin tahun 2012 mengalami penurunan dari tahun 2011, yaitu 1.490.900 jiwa atau 11,31% menjadi 1.378.400 jiwa (10,41%) sedangkan pada tahun 2013 jumlah penduduk miskin sebesar 1.416.400 (10,39%), secara jumlah meningkat sedikit dari tahun 2012, namun secara persentase mengalami penurunan, yaitu sebesar 0,02%. Persentase penduduk miskin tertinggi berada di Kabupaten Kota di Kepulauan Nias dengan range dari 17,28-30,94%, dan terendah di Kabupaten Deli Serdang yaitu 4,71%.

Jika dibandingkan dengan penduduk yang tinggal di kota dan desa, diketahui bahwa persentase penduduk miskin di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan pedesaan, yaitu 10,45% untuk perkotaan dan 10,33% untuk perdesaan.

Sumber: BPS Sumatera Utara 2013

Gambar 4.2


(20)

Tabel 4.1

Indikator Kependudukan Sumatera Utara

Uraian 2011 2012 2013

Penduduk (000 jiwa) 13 014 13 215 13 326

Pertumbuhan Penduduk (%) 1,22 1,22 1,22

Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) 183 184 186

Rasio Jenis Kelamin 99,77 99,52 99,55

Rumah Tangga (000) 3 083 3 132 3 168

Rata-rata ART (jiwa/ruta) 4,25 4,22 4,21

Sumber: BPS Provinsi Sumatera Utara, diolah

4.1.3 Sosial Budaya 4.1.3.1 Pendidikan

Kondisi pendidikan merupakan salah satu indikator yang sering ditelaah dalam mengukur tingkat pembangunan manusia suatu negara. Melalui pengetahuan, pendidikan berkontribusi terhadap perubahan prilaku kesehatan. Pengetahuan yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor pencetus (predisposing) yang berperan dalam mempengaruhi keputusan seseorang untuk berperilaku sehat.

Peningkatan kualitas dan partisipasi sekolah penduduk tentunya harus diimbangi dengan penyediaan sarana fisik pendidikan maupun tenaga guru yang memadai. Di tingkat pendidikan dasar, jumlah sekolah dasar (SD)/Madrasah Ibtidiyah pada tahun 2013 ada sebanyak 9.432 unit, dengan jumlah guru 122.128 orang, murid sebanyak 1.518.184 orang sehingga rasio murid SD terhadap sekolah sebesar 161 murid/sekolah. Jumlah sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP)/Madrasah Tsanawiyah ada sebanyak 2.357 sekolah dengan jumlah guru 57.563 orang dan jumlah murid ada sebanyak 552.761 orang, dan rasio murid SLTP terhadap sekolah sebesar 235 per sekolah. Pada tahun yang sama jumlah


(21)

sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA)/Madrasah Aliyah ada sebanyak 868 sekolah dengan jumlah guru 17.509 orang dan jumlah murid 233.916 dengan rasio murid terhadap sekolah sebesar 269 murid persekolah. Jumlah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) ada sebanyak 828 unit dengan jumlah guru 14.178 orang dan jumlah murid 228.809 orang, dengan rasio murid terhadap sekolah sebesar 276 murid/sekolah. Sedangkan jumlah perguruan tinggi swasta pada tahun 2013 adalah sebanyak 253 PTS, yang terdiri dari 31 universitas, 86 sekolah tinggi, 4 institut, 118 akademi dan 14 politeknik (SUDA 2014) dengan jumlah dosen 6.340 orang (dosen tetap dan tidak tetap) dengan jumlah mahasiswa sebanyak 244.947 orang. Rasio mahasiswa terhadap dosen sebesar 38,58.

Kemampuan membaca dan menulis tercermin dari Angka Melek Huruf, yaitu penduduk usia 10 tahun keatas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan huruf lainnya. Pada tahun 2013, persentase penduduk Sumatera Utara yang melek huruf 97,84 %, dimana persentase laki-laki lebih tinggi dari perempuan, yaitu 98,31% dan 95,93%. Persentase penduduk berumur 10 tahun keatas yang melek huruf per Kabupaten/Kota tahun 2013 terendah di Kabupaten Nias Barat yaitu 84,48% disusul Kabupaten Nias Selatan, yaitu 85,38% sedangkan yang tertinggi adalah Kabupaten Tapanuli Selatan sebesar 99,88%.

4.1.3.2Kesehatan

Ketersediaan sarana kesehatan berupa rumah sakit merupakan faktor utama dalam menunjang perbaikan kualitas hidup. Rumah sakit yang ada di Sumatera Utara tahun 2013 terdiri dari 59 unit rumah sakit pemerintah dan 144 unit rumah sakit swasta.


(22)

Jumlah sarana kesehatan tingkat kecamatan dan perdesaan cukup banyak di Sumatera Utara. Puskesmas di Sumatera Utara tahun 2013 berjumlah 570 unit dan Puskesmas Pembantu (PUSTU) sebanyak 1.917 unit. Sedangkan Balai Pengobatan Umum (BPU) terdapat sebanyak 1.148 unit dan Posyandu ada sekitar 14.644 unit.

Tenaga medis di Sumatera Utara jumlahnya terus meningkat setiap tahunnya. Jumlah dokter umum di Sumatera Utara tahun 2013 terdapat sebanyak 2.593 orang, dokter gigi 933 orang dan dokter spesialis sebanyak 1.024 orang. Sedangkan tenaga medis bidan tersedia sebanyak 11.739 orang dan perawat sebanyak 10.342.

4.1.3.3 Agama

Sesuai dengan falsafah negara pelayanan kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa senantiasa dikembangkan dan ditingkatkan untuk membina kehidupan masyarakat dan mengatasi berbagai masalah sosial budaya yang mungkin menghambat kemajuan bangsa. Berdasarkan data BPS Sumatera Utara, sarana ibadah umat beragama juga mengalami kenaikan setiap tahun. Pada tahun 2013, jumlah Mesjid di Sumatera Utara terdapat sebanyak 10.300 unit, Langgar/Musollah 10.572 unit, Gereja Protestan 12.235 unit, Gereja Katolik 2.289 unit, Kuil 78 unit dan Wihara 337 unit.

4.1.3.4 Ketenagakerjaan

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) penduduk umur 15 tahun ke atas mengalami fluktuatif dari tahun 2008 s/d 2013 sedangkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mengalami penurunan dari tahun 2008 s/d 2013.


(23)

Sumber: BPS Provinsi Sumatera Utara

Gambar 4.3

Persentase TPAK Umur > 15 tahun dan TPT Provinsi Sumatera Utara Sampai pada tahun 2013 TPAK sebesar 70,67% sedangkan TPT sebesar 6,53% (SUDA 2014). Bila dirinci berdasarkan tingkat pendidikan pada tahun 2013, persentase angkatan kerja berumur 15 tahun keatas sebagian besar adalah tamatan SMP & SMA (58,65%).

Sumber: BPS Provinsi Sumatera Utara

Gambar 4.4

Persentase AK Umur > 15 tahun berdasarkan Pendidikan yang ditamatkan Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa pada tahun 2013 tingkat pendidikan angkatan kerja SMP, SMA dan Diploma mengalami peningkatan dari tahun 2012. Jika dilihat dari status pekerjaan utama, sebesar 36,45% penduduk


(24)

berusia 15 tahun ke atas yang bekerja sebagai buruh atau karyawan, sebesar 21,28% adalah penduduk yang bekerja sebagai pekerja keluarga, penduduk yang berusaha sendiri yaitu 15,76%, penduduk yang bekerja dibantu anggota keluarga mencapai 15,46%. Hanya 3,44% penduduk Sumatera Utara yang berusaha dengan mempekerjakan buruh tetap/karyawan.

Berdasarkan lapangan usaha, penduduk Sumatera Utara yang terbanyak adalah di sektor pertanian (perkebunan, perikanan dan peternakan), yaitu 43,45%, kemudian diikuti di sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 18,94%, jasa kemasyarakatan yaitu 16,16%, bekerja di sektor industri hanya sekitar 7,11%, selebihnya bekerja disektor penggalian dan pertambangan, sektor listrik, gas dan air minum, bangunan, angkutan dan komunikasi dan sektor keuangan.

4.2 Analisis dan Pembahasan

4.2.1 Perkembangan Tingkat Kemiskinan Sumatera Utara

Kemiskinan merupakan masalah yang menyangkut banyak aspek karena berkaitan dengan pendapatan yang rendah, buta huruf, derajat kesehatan yang rendah dan ketidaksamaan derajat antar jenis kelamin, serta buruknya lingkungan hidup (Word Bank, 2004). Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Oleh karena itu, pemerintah sangat berupaya keras untuk mengatasi permasalahan kemiskinan tersebut, sehingga pembangunan dilakukan secara terus-menerus termasuk dalam menentukan batas ukur untuk


(25)

mengenali siapa si miskin tersebut. Berikut disajikan data tingkat kemiskinan yang terjadi di Propinsi Sumatera Utara tahun 1996-2013.

Tabel 4.2

Tingkat Kemiskinan Sumatera Utara Tahun 1996-2013

Tahun Tingkat Kemiskinan (%)

1996 10,92

1997 16,01

1998 30,80

1999 16,70

2000 18,41

2001 18,20

2002 15,84

2003 15,89

2004 14,93

2005 14,68

2006 15,66

2007 13,90

2008 12,55

2009 11,51

2010 11,31

2011 11,33

2012 10,41

2013 10,39

Sumber : BPS Provinsi Sumatera Utara

Dari tabel 4.2. tingkat kemiskinan di Sumatera Utara menunjukan adanya fluktasi pertambahan tingkat kemiskinan di Sumatera Utara dari Tahun 1996 – 2013. Kenaikan secara drastis jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara terjadi pada tahun 1998, yang pada saat itu terjadi awal krisis ekonomi di Indonesia. Pada tahun 1998 jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara sebanyak 3.550 jiwa atau sebesar 30,80%, angka ini meningkat drastis dibandingkan tahun 1997 dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 1.836 jiwa atau sebesar 16,01. Namun setelah


(26)

terjadinya perbaikan ekonomi pada tahun-tahun berikutnya dapat kita lihat bahwa tingkat kemiskinan di Sumatera Utara sudah kembali mengalami penurunan di tahun 2007 sampai tahun 2013.

4.2.2 Perkembangan Angka Melek Huruf Sumatera Utara

Salah satu indikator yang dapat dijadikan sebagai ukuran dari sumber daya manusia adalah angka melek huruf. Angka melek huruf atau sebaliknya angka buta huruf dapat dijadikan sebagai ukuran kemajuan suatu bangsa. Adapun kemampuan membaca dan menulis yang dimiliki akan dapat mendorong penduduk untuk berperan aktif dalam proses pembangunan.

Tabel 4.3

Angka Melek Huruf Sumatera Utara Tahun 1996-2013

Tahun Angka Melek Huruf (%)

1996 95,62

1997 95,71

1998 95,03

1999 96,23

2000 96,52

2001 95,80

2002 95,90

2003 96,80

2004 96,60

2005 97,00

2006 97,00

2007 97,03

2008 97,36

2009 97,15

2010 97,60

2011 97,46

2012 97,51

2013 97,84


(27)

Tabel 4.3 menunjukkan persentase penduduk Sumatera Utara yang melek huruf tahun 1996 sebesar 95,62% berarti ada 4,38% yang buta huruf. Pada tahun 1998 angka melek huruf mengalami penurunan menjadi 95,03%. Pada tahun 2013 angka melek huruf mengalami peningkatan sebesar 97,84%, ini berarti hanya 2,16% penduduk Sumatera Utara yang buta huruf.

4.2.3 Perkembangan Laju Inflasi Sumatera Utara

Laju inflasi di Sumatera Utara selama tahun 1996-2013 menunjukkan adanya fluktuasi yang bervariasi dari waktu ke waktu yang disebabkan oleh faktor yang berbeda. Pada tahun 1998, tingkat inflasi tertinggi, yaitu sebesar 83,56%, ini terjadi karena dampak krisis moneter. Inflasi tahun 2000 jika dibandingkan dengan inflasi tahun 1999 meningkat secara tajam, yaitu dari 1,37% menjadi 5,73%. Peningkatan laju inflasi ini diantaranya disebabkan adanya kenaikan tarif angkutan per 1 September 2000, kenaikan BBM per Oktober 2000, Bulan Puasa/Ramadhan (November 2000), Natal dan Lebaran (Desember 2000). Secara umum pada tahun 2000-2005, inflasi terus terjadi dengan nilai yang terbilang tinggi, yaitu dengan rata-rata mencapai 10%.

Pada tahun 2005 laju inflasi kembali naik mencapai 22,41 persen. Ini adalah inflasi tertinggi pasca krisis moneter Indonesia (1997/1998). Penyesuaian terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) diperkirakan menjadi faktor utama tingginya inflasi tahun 2005. Tingginya harga minyak di pasar internasional menyebabkan pemerintah berusaha untuk menghapuskan subsidi BBM. Inflasi tahun 2008 mencapai 10,72 persen naik sebesar 4,12 persen bila dibandingkan dengan tahun 2007. Inflasi pada tahun 2008 selain dipengaruhi oleh


(28)

krisis keuangan global, juga dipengaruhi oleh inflasi harga yang diatur pemerintah dan bahan makanan yang bergejolak. Inflasi tahun 2013 mencapai 10,18% dipengaruhi oleh naiknya harga bahan bakar minyak pada akhir juni 2013 dan bawang merah.

Tabel 4.4

Laju Inflasi Sumatera Utara Tahun 1996 - 2013

Tahun Inflasi (%)

1996 7,24

1997 17,05

1998 83,56

1999 1,37

2000 5,73

2001 14,79

2002 9,59

2003 4,23

2004 6,80

2005 22,41

2006 6,11

2007 6,60

2008 10,72

2009 2,61

2010 8,00

2011 3,67

2012 3,86

2013 10,18

Sumber : BPS Provinsi Sumatera Utara

4.2.4 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara

Laju pertumbuhan ekonomi provinsi Sumatera Utara mengalami peningkatan yang berfluktuatif mulai tahun 1996 sampai dengan tahun 2013. Pada tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara juga mengalami penurunan menjadi -10,9%,


(29)

sedang pada tahun sebelumnya pertumbuhan tercatat positif sebesar 8,2%. Hal ini terjadi karena adanya krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997 - 1998. Tetapi pada tahun berikutnya pertumbuhan ekonomi kembali menjadi angka positif dan mengalami perbaikan, walupun perbaikan yang tidak begitu besar. Selanjutnya pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara memiliki trend yang baik, hal ini terlihat dimulai tahun 2006 mengalami peningkatan sebesar 6,20% dibandingkan daripada tahun 2005, yang hanya sebesar 5,48%.

Tabel 4.5

Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara Tahun 1996-2013

Tahun Pertumbuhan

Ekonomi (%)

1996 8,80

1997 8,20

1998 -10,90

1999 2,59

2000 4,83

2001 3,72

2002 4,07

2003 4,81

2004 5,74

2005 5,48

2006 6,20

2007 6,90

2008 6,39

2009 5,07

2010 6,42

2011 6,63

2012 6,22

2013 6,01

Sumber : BPS Provinsi Sumatera Utara

Pada tahun 2009 pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara mengalami penurunan menjadi 5,07%, hal ini dipengaruhi oleh krisis keuangan global, juga


(30)

dipengaruhi oleh inflasi harga yang diatur pemerintah dan bahan makanan yang bergejolak. Tahun 2013 Sumatera Utara mempunyai pertumbuhan ekonomi sebesar 6,01%, angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan angka pertumbuhan ekonomi nasional, yaitu sebesar 5,78%.

4.3 Hasil Penelitian

4.3.1 Analisis Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif ini memberikan gambaran mengenai nilai minimum, nilai maksimum, nilai rata-rata, dan standart deviasi untuk data yang digunakan dalam penelitian:

Tabel 4.6 Statistik Deskriptif

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

TINGKAT KEMISKINAN 18 10,39 30,80 14,9689 4,74581

ANGKA MELEK HURUF 18 95,03 97,84 96,6756 ,80140

INFLASI 18 1,37 83,56 12,4733 18,52703

PERTUMBUHAN EKONOMI

18 -10,90 8,80 4,8433 4,20344

Valid N (listwise) 18

a. Variabel Tingkat Kemiskinan memiliki nilai minimum (terkecil) 10,39, nilai maksimum (terbesar) 30,80, mean (nilai rata-rata) 14,9689 dan Standart

Deviation (simpangan baku) variabel ini adalah 4,74581.

b. Variabel Angka Melek Huruf (AMH) memiliki nilai minimum (terkecil) 95,03, nilai maksimum (terbesar) 97,84, mean (nilai rata-rata) 96,6756 dan


(31)

c. Variabel Inflasi memiliki nilai minimum (terkecil) 1,37, nilai maksimum (terbesar) 83,56, mean (nilai rata-rata) 12,4733 dan Standart Deviation (simpangan baku) variabel ini adalah 18,52703.

d. Variabel Pertumbuhan Ekonomi memiliki nilai minimum (terkecil) -10,90, nilai maksimum (terbesar) 8,80, mean (nilai rata-rata) 4,8433 dan Standart

Deviation (simpangan baku) variabel ini adalah 4,20344.

4.3.2 Hasil Uji Regresi Linier Berganda

Analisis regresi berganda digunakan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel terikat. Adapun hasil estimasi yang dilakukan sebagai berikut:

Tabel 4.7

Hasil Regresi Linier Berganda

Coefficientsa

Model Unstandardized

Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1

(Constant) 219,969 62,955 3,494 ,004

ANGKA MELEK HURUF

-2,087 ,650 -,352 -3,211 ,006

INFLASI ,021 ,051 ,081 ,410 ,688

PERTUMBUHAN EKONOMI

-,718 ,216 -,636 -3,321 ,005

Berdasarkan tabel diatas diperoleh hasil regresi sebagai berikut: Y= 219,969 – 2,087 X1 + 0,21 X2 – 0,718 X3

Berdasarkan model regresi diatas maka dapat dilihat bahwa nilai variabel Angka Melek Huruf (AMH) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Tingkat


(32)

Kemiskinan, variabel Inflasi berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap Tingkat Kemiskinan, serta variabel Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh negatif dan siginifikan terhadap Tingkat Kemiskinan.

Setiap kenaikan Angka Melek Huruf 1 persen akan menurunkan angka tingkat kemiskinan sebesar 2,09 % ceteris paribus. Setiap kenaikan Inflasi 1 persen akan menaikkan angka tingkat kemiskinan sebesar 0,021 % ceteris

paribus. Setiap kenaikan Pertumbuhan Ekonomi 1 persen akan menurunkan angka

kemiskinan sebesar 0,718 % ceteris paribus. 4.3.3 Hasil Uji Penyimpangan Asumsi Klasik 4.3.3.1 Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal atau tidak.

Tabel 4.8

Hasil Uji Kolmogorov-Sminorv

TINGKAT KEMISKINA

N

ANGKA MELEK HURUF

INFLASI PERTUMBU HAN EKONOMI

N 18 18 18 18

Normal Parametersa,b

Mean 14,9689 96,6756 12,4733 4,8433

Std. Deviation

4,74581 ,80140 18,52703 4,20344

Most Extreme Differences

Absolute ,191 ,157 ,315 ,284

Positive ,191 ,111 ,315 ,201

Negative -,167 -,157 -,274 -,284

Kolmogorov-Smirnov Z ,810 ,667 1,338 1,203


(33)

Untuk probabilitas berdasarkan tabel di atas, bahwa untuk variabel Tingkat Kemiskinan dengan nilai signifikan 0,528, Angka Melek Huruf (AMH) dengan nilai signifikan 0,765, Inflasi dengan nilai signifikan 0,056 dan Pertumbuhan

Ekonomi dengan nilai signifikan 0,111 memiliki nilai di atas α= 0,05, yang

artinya bahwa variabel-variabel tersebut terdistribusi dengan normal.

4.3.3.2 Uji Multikolinieritas

Menurut Ghozali (2005:91), “Uji multikolinearitas dilakukan untuk

menguji apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen)”. Adanya gejala multikolinearitas dapat dilihat dari tolerance value atau nilai Variance Inflation Factor (VIF). Batas tolerance value adalah 0,1

dan batas VIF adalah 10. Apabila tolerance value < 0,1 atau VIF > 10 = terjadi multikolinearitas. Apabila tolerance value > 0,1 atau VIF < 10 = tidak terjadi multikolinearitas.

Tabel 4.9

Hasil Uji Multikolinieritas

Coefficientsa

Model Collinearity Statistics

Tolerance VIF

1

ANGKA MELEK HURUF ,698 1,432

INFLASI ,216 4,624

PERTUMBUHAN EKONOMI

,230 4,352

a. Dependent Variable: TINGKAT KEMISKINAN

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat, bahwa tidak ada satupun variabel bebas yang memiliki nilai VIF lebih dari 10 dan tidak ada yang memiliki


(34)

tolerance value lebih kecil dari 0,1. Jadi dapat disimpulkan, bahwa penelitian ini

bebas dari adanya multikolinearitas. Dari hasil analisis, didapat nilai VIF untuk variabel Angka Melek Huruf adalah 1,432 (<10) dan nilai tolerance sebesar 0,698 (>0,1), Nilai VIF untuk variabel Inflasi adalah 4,624 (<10) dan nilai tolerance sebesar 0,216 (>0.1). Nilai VIF untuk variabel Pertumbuhan Ekonomi adalah 4,352 (<10) dan nilai tolerance sebesar 0.230 (>0,1). Maka hasil uji ini dapat disimpulkan, bahwa semua variabel bebas yang dipakai dalam penelitian ini lolos uji gejala multikolinearitas.

4.3.3.3 Uji Heteroskedastisitas

Menurut Ghozali (2005:105), “Uji Heteroskedastisitas bertujuan menguji

apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu

pengamatan ke pengamatan yang lain”. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut Homoskedastisitas dan jika berbeda disebut Heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang Homoskedastisitas atau tidak terjadi Heteroskedastisitas.

Pengujian heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan cara meregres seluruh variabel independen dengan nilai absolut residual (abresid) sebagai variabel dependennya. Jika signifikan < 0,05 maka Ha diterima (ada heteroskedastisitas) dan jika signifikan > 0,05 maka Ho diterima (tidak ada heteroskedastisitas).

Dari tabel 4.8 kita dapat melihat, bahwa nilai signifikansi untuk variabel Angka Melek Huruf adalah 0,206 (>0.05), nilai signifikansi untuk variabel Inflasi adalah 0,602 (>0.05), dan nilai signifikan untuk variabel Pertumbuhan Ekonomi


(35)

adalah 0,593 (>0.05). Dari hasil ini maka Ho diterima karena dapat disimpulkan, bahwa tidak terdapat masalah heteroskedastisitas karena variabel independennya memiliki signifikan lebih besar dari 0,05.

Tabel 4.10

Hasil Uji Heteroskedastisitas

Model Unstandardized

Coefficients

Standardized Coefficients

T Sig.

B Std. Error Beta

1

(Constant) 44,533 32,780 1,359 ,196

ANGKA MELEK HURUF

-,449 ,338 -,378 -1,325 ,206

INFLASI -,014 ,026 -,273 -,533 ,602

PERTUMBUHAN EKONOMI

,062 ,113 ,272 ,548 ,593

4.3.3.4 Uji Autokorelasi

Uji ini bertujuan untuk melihat apakah dalam suatu model linear ada korelasi antar kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan periode t-1 (sebelumnya). Model regresi yang baik adalah yang bebas dari autokorelasi. Masalah autokorelasi umumnya terjadi pada regresi yang datanya time series. Untuk mendeteksi masalah autokorelasi dapat dilakukan dengan menggunakan uji

Durbin Watson. secara umum panduan mengenai angka Durbin-Watson dapat

diambil patokan sebagai berikut:

a. angka D-W dibawah -2 berarti ada autokorelasi positif

b. angka D-W di antara -2 sampai +2, berarti tidak ada autokorelasi c. angka D-W di atas +2 berarti ada autokorelasi negatif.


(36)

Tabel 4.11 Hasil Uji Autokorelasi

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Durbin-Watson

1 ,939a ,882 ,857 1,79501 1,596

Tabel diatas memperlihatkan nilai statistik D-W sebesar 1,596, angka ini terletak diantara -2 dan +2, dari pengamatan ini dapat disimpulkan, bahwa tidak terjadi autokorelasi positif maupun autokorelasi negatif dalam penelitian ini. 4.3.4 Hasil Uji Kesesuaian (Test of Goodness of Fit)

4.3.4.1 Uji T (Uji Parsial)

Tabel 4.12 Hasil Uji T (Parsial)

Variabel Koefisien t-hitung t-tabel prob Keterangan X1 (Angka Melek

Huruf) -2,087 -3,211 2,16037 0,006 Signifikan X2 (Inflasi) 0,021 0,410 2,16037 0,688 Tidak Signifikan X3 (Pertumbuhan

Ekonomi) -0,718 -3,321 2,16037 0,005 Signifikan

Berdasarkan hasil estimasi yang dilakukan maka diperoleh hasil sebagai berikut:

a. Variabel angka melek huruf berpengaruh negatif secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan, dengan nilai t-hitung < t-table, yaitu -3,211 < 2,16037 dengan nilai signifikan sebesar 0,006 < 0,05 pada tingkat kepercayaan 95%. Dimana, setiap kenaikan 1 persen angka melek huruf akan menurunkan 3,211 angka tingkat kemiskinan atau begitu pula sebaliknya jika terjadi penurunan 1 persen angka melek huruf akan meningkatkan 3,211 tingkat


(37)

kemisikinan. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa apabila semakin menurunnya persentase penduduk 15 tahun keatas yang mampu membaca dan menulis maka hal itu akan meningkatkan angka tingkat kemiskinan.

b. Variabel inflasi berpengaruh positif secara tidak signifikan terhadap tingkat kemiskinan, dengan nilai t-hitung < t-table yaitu 0,410 < 2,16037 dengan nilai signifikansi sebesar 0,688 > 0,05 pada tingkat kepercayaan 95%. Dimana setiap kenaikan 1 persen inflasi akan menaikkan 0,410 tingkat kemiskinan atau begitu pula sebaliknya jika penurunan 1 persen inflasi akan menurunkan 0,410 tingkat kemisikinan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, apabila semakin menurunnya persentase inflasi maka hal itu akan menurunkan tingkat kemisikinan.

c. Variabel pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan secara negatif terhadap tingkat kemiskinan, dengan nilai t-hitung < t-table yaitu -3,321 < 2,16037 dengan nilai signifikansi sebesar 0,005 < 0,05 pada tingkat kepercayaan 95%. Dimana setiap kenaikan 1 persen pertumbuhan ekonomi akan menurunkan 3,321 angka tingkat kemiskinan atau begitu pula sebaliknya jika penurunan 1 persen pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan 3,321 angka tingkat kemiskinan. Maka dapat disimpulkan, bahwa apabila semakin meningkat persentase pertumbuhan ekonomi maka hal itu akan mengurangi tingkat kemiskinan.


(38)

4.3.4.2 Uji F (Uji Simultan)

Tabel 4.13 Hasil Uji F (Simultan)

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1

Regression 337,777 3 112,592 34,944 ,000b

Residual 45,109 14 3,222

Total 382,886 17

Dari hasil regresi diketahui bahwa F-hitung adalah sebesar 34,944. Dengan

α=0,05: df1= k-1= 4–1=3; df2= n–k= 17–4=13; (dimana k merupakan seluruh variabel (bebas dan terikat) dan n merupakan jumlah observasi. Sehingga diketahui F-tabel pada tingkat signifikansi 5% adalah 3,20. Berdasarkan penghitungan tersebut maka diperoleh F-hitung lebih besar dari F-tabel (34,944 > 3,20). Dengan demikian disimpulkan bahwa Ho ditolak karena variabel F Angka Melek Huruf , Inflasi, Pertumbuhan Ekonomi mampu mempengaruhi Tingkat Kemiskinan di Sumatera Utara secara bersamaan.

4.3.4.3 Koefisien Determinasi (R2)

Tabel 4.14

Hasil Koefisien Determinasi

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 ,939a ,882 ,857 1,79501

Hasil estimasi diatas menunjukkan nilai R2 = 0,882 yang menyatakan peningkatan Tingkat Kemiskinan dapat dijelaskan secara bersamaan oleh ketiga


(39)

variabel independen (Angka Melek Huruf , Inflasi, Pertumbuhan Ekonomi) sebesar 88,2% dan 11,8% lainnya dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak disebutkan dalam model ini.


(40)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan dari hasil estimasi yang didapatkan, yaitu:

1. Angka Melek Huruf mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap peningkatan angka Tingkat Kemiskinan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat di Provinsi Sumatera Utara.

2. Inflasi memberikan pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap peningkatan Tingkat Kemiskinan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat di Provinsi Sumatera Utara.

3. Pertumbuhan Ekonomi mempunyai pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap peningkatan angka Tingkat Kemiskinan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat di Provinsi Sumatera Utara.

5.2 Saran

Melihat hasil dan pembahasan yang sudah dilakukan, maka penulis mencoba memberikan saran yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dalam mengurangi Tingkat Kemiskinan guna mensejahterakan masyarakat.

1. Angka melek huruf memiliki pengaruh yang negatif terhadap tingkat kemiskinan. Kebijakan wajib belajar 9 tahun hendaknya ditingkatkan menjadi 12 tahun, sehingga semua mendapat pendidikan yang lebih tinggi dari pada pendidikan dasar, sehingga tingkat kemiskinan dapat diturunkan. serta meningkatkan kualitas pendidikan dengan menyusun kurikulum sekolah yang lebih baik. Memberikan jaminan pendidikan bagi orang miskin serta


(41)

meningkatkan fasilitas-fasilitas pendidikan secara merata tidak hanya terpusat di suatu daerah tetapi merata ke seluruh daerah.

2. Pemerintah maupun pihak-pihak terkait diharapkan dapat menjaga stabilitas tingkat inflasi dengan kebijakan fiskal berupa pengeluaran pemerintah yang ditujukan untuk mengembangkan sektor yang mampu menyerap tenaga kerja, seperti sektor pertanian dan perdagangan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi inflasi tetapi tetap melakukan pengembangan pada sektor-sektor riil sebagai upaya meningkatkan lapangan pekerjaan untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan.

3. Hendaknya pemerintah ke depan dapat melaksanakan pembangunan yang berorientasi pada pemerataan pendapatan, serta pemerataan hasil-hasil ekonomi keseluruh golongan masyarakat, kebijakan yang dibuat dapat lebih kongkret dan nyata dalam memperbaiki kesejahteraan masyarakat Indonesia baik secara kuantitatif maupun kualitatif, serta dilakukan upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi di masing-masing wilayah dengan mengandalkan potensi-potensi yang dimiliki, sehingga tingkat kemiskinan dapat berkurang. 4. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pembaca dan untuk

penelitian selanjutnya terkait kemiskinan, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, yang mana peneliti selanjutnya dapat menambah jumlah observasi ataupun variabel lebih banyak guna mendapatkan hasil yang lebih valid.


(42)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Kemiskinan

Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dihadapi oleh seluruh pemerintahan yang ada di dunia ini. Kemiskinan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Faktor tersebut antara lain tingkat pendapatan, pendidikan, kesehatan, lokasi goegrafis dan kondisi lingkungan.

Dalam arti proper, kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Dalam arti luas. Chambers (dalam Chriswardani Suryawati, 2005) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu intergrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation), baik secara geografis maupun sosiologis.

Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti tingkat kesehatan dan pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri (Chriswardani Suryawati, 2005).

Secara ekonomi, kemiskinan dapat dilihat dari tingkat kekurangan sumber daya yang dapat digunakan memenuhi kebutuhan hidup, serta meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Secara politik, kemiskinan dapat dilihat dari


(43)

tingkat akses terhadap kekuasaan yang mempunyai pengertian tentang sistem politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan sumber daya. Secara sosial psikologi, kemiskinan dapat dilihat dari tingkat kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan peningkatan produktivitas.

World Bank (2010) mendefinisikan kemiskinan sebagai kekurangan dalam

kesejahteraan, dan terdiri dari banyak dimensi. Ini termasuk berpenghasilan rendah dan ketidakmampuan untuk mendapatkan barang dasar dan layanan yang diperlukan untuk bertahan hidup dengan martabat. Kemiskinan juga meliputi rendahnya tingkat kesehatan dan pendidikan, akses masyarakat miskin terhadap air bersih dan sanitasi, keamanan fisik yang tidak memadai, kurangnya suara, dan kapasitas memadai dan kesempatan untuk hidup yang lebih baik itu.

Castells (1998) mengemukakan kemiskinan adalah suatu tingkat kehidupan yang berada di bawah standard kebutuhan hidup, minimum agar manusia dapat bertahan hidup. Adapun standard kebutuhan minimum dimaksud pada umumnya ditetapkan berdasarkan kebutuhan pokok pangan.

United Nations Development Programme (UNDP) mendefinisikan

kemiskinan sebagai kelaparan, ketiadaan tempat berlindung, ketidakmampuan berobat ke dokter jika sakit, tidak mempunyai akses ke sekolah dan buta huruf, tidak mempunyai pekerjaan, takut akan masa depan, hidup dalam hitungan harian, ketidakmampuan mendapatkan air bersih, ketidakberdayaan, tidak ada keterwakilan dan kebebasan.


(44)

Kemiskinan terkait dengan masalah kekurangan pangan dan gizi, keterbelakangan pendidikan, kriminalisme, pengangguran, prostitusi, dan maslah-masalah lain yang bersumber dari rendahnya tingkat pendapatan perkapita penduduk. Kemiskinan merupakan masalah yang amat kompleks dan tidak sederhana penangananya. Menurut Mulyono (2006), kemiskinan berarti ketiadaan kemampuan dalam seluruh dimensinya (BAPPENAS, 2010).

Dengan demikian, kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan.

Matias Siagian dalam bukunya yang berjudul “Kemiskinan dan Solusi”

membagi kemiskinan menjadi sepuluh jenis. Jenis-jenis kemiskinan tersebut yakni:

1. Kemiskinan Absolut

Kemiskinan absolut adalah suatu kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga orang tersebut memiliki taraf kehidupan yang rendah, dianggap tidak layak serta tidak sesuai dengan harkat martabat sebagai manusia.

2. Kemiskinan Relatif

Kemiskinan relatif didasarkan pada eksisitensi manusia sebagai makhluk sosial yang dibatasi oleh wilayah atau lingkungan.


(45)

Kemiskinan massa dapat diartikan sebagai kemiskinan yang dialami secara massal penduduk dalam suatu lingkungan wilayah.

4. Kemiskinan Non Massa

Kemiskinan non massa adalah kemiskinan yang dihadapi oleh segelintir atau sebagian kecil dari penduduk di suatu wilayah.

4. Kemiskinan Alamiah

Kemiskinan alamiah diidentifikasikan sebagai kemiskinan yang terjadi sebagai konsekuensi dari kondisi alam, dimana seseorang atau sekelompok orang tersebut bermukim.

5. Kemiskinan Kultural

Kemiskinan kultural muncul karena faktor budaya atau mental masyarakat yang mendorong orang hidup miskin, seperti perilaku malas bekerja, rendahnya kreativitas dan tidak ada keinginan hidup lebih maju.

6. Kemiskinan Terinvolusi

Kemiskinan terinvolusi merupakan bentuk dan kondisi khusus dari kemiskinan kultural. Ciri khusus kemiskinan ini adalah telah terinternalisasinya nilai-nilai negatif dalam diri seseorang atau sekelompok orang dalam memandang diri dan kehidupannya, sehingga mereka menganggap kehidupan dengan segala kondisinya sebagai sesuatu yang tidak dapat berubah.

7. Kemiskinan Struktural

Kemiskinan struktural disebabkan oleh kondisi struktur perekonomian yang timpang dalam masyarakat, baik karena kebijalan ekonomi pemerintah,


(46)

penguasaan faktor-faktor produksi oleh segelintir orang, monopoli, kolusi antara pengusaha dan penjabat dan lain-lain.

8. Kemiskinan Situasional

Kemiskinan situasioanl adalah kondisi kehidupan masyarakat yang tidak layak yang disebabkan oleh situasi yang ada.

9. Kemiskinan Buatan

Kemiskinan buatan terjadi karena kelembagaan-kelembagaan yang ada melibatkan anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata.

Menurut Todaro dan Smith (2006), tinggi rendahnya tingkat kemiskinan di suatu negara tergantung pada dua faktor utama, yakni: tingkat pendapatan nasional rata-rata, dan lebar sempitnya kesenjangan distribusi pendapatan. Setinggi apapun tingkat pendapatan nasional perkapita yang dicapai oleh suatu negara, selama distribusi pendapatannya tidak merata, maka tingkat kemiskinan di negara tersebut pasti akan tetap parah. Demikian pula sebaliknya, semerata apapun distribusi pendapatan di suatu negara, jika tingkat pendapatan nasional rata-ratanya rendah, maka kemiskinan juga akan semakin luas.

Menurut Sharp (dalam mudrajat Kuncoro, 2006), terdapat tiga faktor penyebab kemiskinan jika dipandang dari sisi ekonomi. Pertama, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya yang terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas


(47)

sumberdaya manusia yang rendah berarti produktifitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi atau keturunan ketiga kemiskinan muncul karena perbedaan akses dalam modal.

Banyak ukuran yang menentukan angka kemiskinan, salah satunya adalah garis kemiskinan. Garis kemiskinan adalah suatu ukuran yang menyatakan besarnya pengeluaran (dalam rupiah), untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan kebutuhan non makanan, atau standar yang menyatakan batas seseorang dikatakan miskin, bila dipandang dari sudut konsumsi. Garis kemiskinan digunakan untuk mengetahui batas seseorang dikatakan miskin atau tidak, sehingga garis kemiskinan dapat digunakan untuk mengukur dan menentukan jumlah kemiskinan. Untuk provinsi Sumatera Utara, menurut laporan Badan Pusat Statistik pada September 2013 garis kemiskinan Sumatera Utara secara total sebesar Rp 311.063,- per kapita per bulan.

Menurut Todaro dan Smith (2006), kemiskinan yang terjadi di negara-negara berkembang akibat dari interaksi antara 6 karakteristik berikut:

1. Tingkat pendapatan nasional negara-negara berkembang terbilang rendah, dan laju pertumbuhan ekonominya tergolong lambat.

2. Pendapatan perkapita negara-negara Dunia Ketiga juga masih rendah dan pertumbuhannya amat sangat lambat, bahkan ada beberapa yang mengalami stagnasi.


(48)

4. Mayoritas penduduk di negara-negara Dunia Ketiga harus hidup dibawah tekanan kemiskinan absolut.

5. Fasilitas dan pelayanan kesehatan buruk dan sangat terbatas, kekurangan gizi dan banyaknya wabah penyakit, sehingga tingkat kematian bayi di negara-negara Dunia Ketiga sepuluh kali lebih tinggi dibanding dengan yang ada di negara maju.

6. Fasilitas pendidikan di kebanyakan negara-negara berkembang maupun isi kurikulumnya relatif masih kurang relevan, maupun kurang memadai.

2.1.1 Ukuran Kemiskinan

Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), tingkat kemiskinan didasarkan pada jumlah rupiah konsumsi berupa makanan, yaitu 2100 kalori per orang per hari (dari 52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk yang berada dilapisan bawah), dan konsumsi nonmakanan (dari 45 jenis komoditi makanan sesuai kesepakatan nasional dan tidak dibedakan antara wilayah pedesaan dan perkotaan). Patokan kecukupan 2100 kalori ini berlaku untuk semua umur, jenis kelamin, dan perkiraan tingkat kegiatan fisik, berat badan, serta perkiraan status fisiologis penduduk, ukuran ini sering disebut dengan garis kemiskinan. Penduduk yang memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan dikatakan dalam kondisi miskin.

Ukuran kemiskinan yang sering digunakan untuk melihat fenomena kemiskinan disuatu daerah adalah insiden kemiskinan. Insiden kemiskinan dapat diartikan sebagai persentase penduduk yang memiliki pendapatan (atau proksi pendapatan) kurang dari jumlah yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan


(49)

dasar hidup. Walaupun demikian, kemiskinan memiliki banyak dimensi selain dimensi pendapatan. Dimensi lain kemiskinan dapat dilihat dari peluang memperoleh kesehatan dan umur panjang, peluang memiliki pengetahuan dan keterampilan, dan lain-lain. Intinya adalah kemiskinan sangat terkait dengan sempitnya kesempatan seseorang dalam menentukan pilihan-pilihannya dalam hidup.

Jika kemiskinan berkaitan dengan semakin sempitnya kesempatan yang dimiliki, maka pembangunan manusia adalah sebaliknya. Konsep pembangunan manusia adalah memperluas pilihan manusia (enlarging choice), terutama untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan kemampuan daya beli. Dengan hubungan yang berkebalikan tersebut, suatu daerah dengan kualitas pembangunan manusia yang baik idealnya memiliki persentase penduduk miskin yang rendah (IPM, 2007).

Menurut Samuelson dan Nordhaus (1997), penyebab dan terjadinya penduduk miskin di negara yang berpenghasilan rendah adalah karena dua hal pokok, yaitu rendahnya tingkat kesehatan dan gizi, dan lambatnya perbaikan mutu pendidikan. Oleh karena itu, upaya pertama yang dilakukan pemerintah adalah melakukan pemberantasan penyakit, perbaikan kesehatan dan gizi, perbaikan mutu pendidikan, pemberantasan buta huruf, dan peningkatan keterampilan penduduknya. Kelima hal itu adalah upaya untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia (SDM).


(50)

2.2 Angka Melek Huruf

Salah satu indikator yang dapat dijadikan ukuran kesejahteraan sosial yang merata adalah dengan melihat tinggi rendahnya persentase penduduk yang melek huruf. Tingkat melek huruf dapat dijadikan ukuran kemajuan suatu bangsa. Menurut UNESCO definisi dari melek huruf adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, mengkomunikasikan, membuat, dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan yang berkaitan dengan berbagai situasi. Kemampuan baca tulis dianggap penting karena melibatkan pembelajaran berkelanjutan oleh seseorang, sehingga orang tersebut dapat mencapai tujuannya. Kemampuan baca tulis ini juga berkaitan langsung dengan cara seseorang untuk memperoleh pengetahuan, menggali potensi, dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat yang luas.

Angka Melek Huruf (AMH) adalah perbandingan antara jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis, dengan jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas. Batas maksimum untuk angka melek huruf, adalah 100 sedangkan batas minimum 0 (standar UNDP). Hal ini menggambarkan kondisi 100 persen atau semua masyarakat mampu membaca dan menulis, dan nilai nol mencerminkan sebaliknya.

Salah satu indikator terlaksananya dengan baik pendidikan untuk masyarakat dapat diketahui dengan meningkatnya angka melek huruf atau kemampuan baca tulis dalam masyarakat tersebut. Indikator ini juga dapat menggambarkan mutu dari SDM yang ada di suatu wilayah yang diukur dalam


(51)

aspek pendidikan, karena semakin tinggi angka kecakapan baca tulis maka semakin tinggi pula mutu dan kualitas SDM (BPS, 2011).

Menurut Meier dan Baldwin (dalam Jhingan, 1992), negara terbelakang umumnya terjerat ke dalam apa yang disebut “lingkaran setan kemiskinan”. Di dalam Gambar 2.1 dijelaskan bahwa lingkaran setan ini disebabkan karena keterbelakangan manusia dan sumber daya alam. Pengembangan sumber daya alam pada suatu negara tergantung pada kemampuan produktif manusianya. Jika penduduk negara tersebut terbelakang dan buta huruf, langka akan keterampilan teknik, pengetahuan dan aktivitas kewiraswastaan, maka sumber daya alam yang ada akan tetap terbengkalai, kurang atau bahkan salah guna. Di lain pihak, keterbelakangan sumber daya alam ini menyebabkan keterbelakangan manusia. Keterbelakangan sumber daya alam merupakan sebab sekaligus akibat keterbelakangan manusia.

Ketidaksempurnaan Pasar

Keterbelakangan Sumber Daya Alam

Keterbelakangan Manusia

Sumber : Jhingan (1992)

Gambar 2.1

Lingkaran Setan Keterbelakangan Manusia

Menurut Simmons (dikutip dari Todaro dan Smith, 2006), pendidikan merupakan cara untuk menyelamatkan diri dari kemiskinan. Selanjutnya Todaro dan Smith (2006) menyatakan, bahwa pendidikan merupakan tujuan


(52)

pembangunan yang mendasar. Yang mana pendidikan memainkan peranan kunci dalam membentuk kemampuan sebuah negara dalam menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan. Dalam penelitian Hermanto dan Dwi (2007), diketahui bahwa pendidikan mempunyai pengaruh paling tinggi terhadap kemiskinan dibandingkan variabel pembangunan lain seperti jumlah penduduk, PDRB, dan tingkat inflasi.

2.3 Inflasi

Boediono (1996), mendefinisikan inflasi sebagai kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus-menerus. Inflasi juga diartikan sebagai suatu keadaan yang mengindikasikan semakin melemahnya daya beli yang diikuti dengan semakin merosotnya nilai riil (intrinsik) mata uang suatu negara (Khalwaty, 2000). Inflasi dalam perekonomian disatu sisi selalu menjadi hal yang relatif menakutkan, karena inflasi dapat melemahkan daya beli dan dapat melumpuhkan kemampuan produksi yang mengarah pada krisis produksi dan konsumsi. Akan tetapi, disisi lain ketiadaan inflasi menandakan tidak adanya pergerakan positif dalam perekonomian karena relatif harga-harga tidak berubah dan kondisi ini dapat melemahkan sektor industri.

Boediono (1998) mengelompokkan teori mengenai inflasi menjadi beberapa kelompok:

1. Teori Kuantitas, teori ini menyoroti masalah dalam proses inflasi dari (a) jumlah uang yang beredar, dan (b) psikologi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga (expectations).


(53)

2. Teori Keynes, teori ini didasarkan atas teori makronya dan menyoroti aspek lain dari inflasi, yaitu karena suatu masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonominya. Keadaan permintaan masyarakat akan barang-barang selalu melibihi jumlah barang-barang-barang-barang yang tersedia.

3. Teori Struturalis, teori ini mengenai tekanan pada ketegaran dari struktur perekonomian negara-negara sedang berkembang, karena yang dapat menyebab inflasi:

a) Ketidakelastisan dari penerimaan ekspor, yaitu nilai ekspor yang tumbuh secara lamban dibanding dengan pertumbuhan sektor-sektor lain.

b) Ketidakelastisan dari supply atau produksi bahan makanan tidak tumbuh secepat pertumbuhan penduduk dan penghasilan perkapita, sehingga harga bahan makanan di dalam negeri cendrung untuk naik melebihi kenaikan harga-harga barang lain.

Inflasi dapat digolongkan menjadi beberapa golongan sebagai berikut:

1. Inflasi berdasarkan parahnya atau tidak, inflasi ini melihat dari kondisi keseluruhan inflasi yang terjadi yang melihat dari persentase perubahan harga-harga. Inflasi ini dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu:

a) Inflasi ringan (≤ 10% setahun)

b) Inflasi sedang (antara 10% - 30% setahun) c) Inflasi berat (antara 30% - 100% setahun) d) Hiperinflasi (≥ 100% setahun)

2. Inflasi berdasarkan asalnya, inflasi ini melihat kenaikan harga barang-barang yang disebabkan oleh suatu wilayah/tempat karena alasan tertentu. Menurut


(54)

Sinungan (1995), berdasarkan asalnya inflasi dapat dibagi menjadi beberapa bagian seperti:

a) Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation)

Inflasi yang yang berasal dari dalam negeri timbul, misalnya karena adanya defisit anggaran belanja yang di biayai dengan pencetakan uang baru, panen yang gagal dan sebagainya.

b) Inflasi yang berasal dari luar negeri (inported inflation)

Inflasi yang berasal dari luar negri adalah inflasi yang timbul karena kenaikan harga-harga diluar negeri atau di negara-negara langganan kita berdagang.

Berdasarkan sebabnya inflasi dapat dibagi menjadi beberapa bagian: a) Demand full Inflation

Inflasi ini disebabkan karena kenaikan permintaan masyarakat akan berbagai barang dan jasa terlalu besar (kenaikan permintaan). Hal ini terjadi apabila dalam perekonomian terjadi peningkatan pengeluaran agregat melebihi barang yang diproduksi dan tersedia di pasar. Kelebihan permintaan ini akan mengakibatkan kenaikan tingkat harga. Kenaikan harga ini akan semakin bertambah cepat bila perekonomian sudah mencapai full employment.

b) Cost Push Inflation

Inflasi ini disebabkan oleh kenaikan biaya produksi untuk menghasilkan barang dan jasa. Kenaikan ongkos produksi tersebut bisa terjadi karena upah buruh, kenaikan bahan bakar, tarif listrik, ongkos pengangkutan atau


(55)

kenaikan harga barang impor yang masih akan digunakan dalam proses produksi dalam negeri.

Inflasi yang terjadi dalam suatu perekonomian memiliki beberapa dampak atau akibat sebagai berikut :

1. Inflasi dapat mendorong terjadinya redistribusi pendapatan diantara anggota masyarakat, dan inilah yang dinamakan efek redistribusi dari inflasi (redistribution effect of inflation). Hal ini akan mempengaruhi kesejahteraan ekonomi dari anggota masyarakat, sebab redistribusi pendapatan yang terjadi akan menyebabkan pendapatan riil satu orang meningkat tapi pendapatan riil orang lain akan jatuh. Namun parah atau tidaknya dampak inflasi terhadap retribusi pendapatan dan kekayaan tersebut adalah sangat tergantung pada apakah inflasi itu bersifat dapat diantisipasi atau tidak dapat diantisipasi. Inflasi yang tidak dapat diantisipasi akan mempunyai dampak yang jauh lebih serius terhadap redistribusi pendapatan dan kekayaan, dibandingkan dengan inflasi yang dapat diantisipasi.

2. Inflasi dapat menyebabkan penurunan dalam efisiensi ekonomi (economic

efficiency). Hal ini dapat terjadi karena inflasi dapat mengalahkan sumberdaya

dari investasi yang produktif (productive investment) ke investasi yang tidak produktiv (unproductive investment) sehingga mengurangi kapasitas ekonomi produktif. Ini disebut sebagai efficiency effect of inflation.

3. Inflasi dapat menyebabkan perubahan-perubahan dalam output dan kesempatan kerja, dengan cara lebih langsung dengan memotivasi perusahaan


(56)

untuk memproduksi lebih atau kurang dari yang telah dilakukan selama ini. Ini disebut “output and employment effect of inflation”.

2.4 Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur prestasi ekonomi suatu negara. Dalam kegiatan ekonomi sebenarnya, pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan ekonomi fisik. Beberapa perkembangan ekonomi fisik yang terjadi di suatu negara adalah pertambahan produksi barang dan jasa, dan perkembangan infrastruktur. Semua hal tersebut biasanya diukur dari perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai suatu negara dalam periode tertentu.

Robert Solow (dikutip oleh Todaro dan Smith, 2006), mengembangkan model pertumbuhan ekonomi yang disebut sebagai Model Pertumbuhan Solow. Model tersebut berangkat dari fungsi produksi agregat sebagai berikut:

� = � −�

dimana Y adalah pendapatan domestik bruto, K adalah stok modal fisik dan modal manusia (akumulasi pendidikan dan pelatihan), L adalah tenaga kerja, dan A merupakan produktivitas tenaga kerja, yang pertumbuhannya ditentukan secara eksogen. Faktor penting yang mempengaruhi modal fisik adalah investasi. Adapun simbol α melambangkan elastisitas output terhadap modal (atau persentase kenaikan GDP yang bersumber dari 1 persen penambahan modal fisik dan modal manusia).

Menurut Mankiw (2004), suatu negara yang memberikan perhatian lebih kepada pendidikan terhadap masyarakatnya ceteris paribus akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik daripada tidak melakukannya. Dengan kata lain, investasi terhadap sumberdaya manusia melalui kemajuan pendidikan akan


(57)

menghasilkan pendapatan nasional atau pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Apabila investasi tersebut dilaksanakan secara relatif merata, termasuk terhadap golongan berpendapatan rendah, maka kemiskinan akan berkurang.

Menurut Simon Kuznets (dikutip dari Boediono,1999), pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan), dan ideologi terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada. Hal tersebut menjadikan pertumbuhan ekonomi dicirikan dengan 3 hal pokok, antara lain:

1. laju pertumbuhan perkapita dalam arti nyata (riil).

2. persebaran atau distribusi angkatan kerja menurut sektor kegiatan produksi yang menjadi sumber nafkahnya.

3. Pola persebaran penduduk.

Boediono (1999) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah salah satu proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang dimana penekanannya pada 3 aspek, antara lain:

1. proses, yaitu pertumbuhan ekonomi bukan merupakan suatu gambaran dari suatu perekonomian yang melihat, bagaimana suatu perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu.

2. output per kapita, yaitu pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan adanya kenaikan output per kapita dalam hal ini ada dua unsur yang penting, seperti output total dan jumlah penduduk.


(58)

3. jangka waktu, yaitu kenaikan output per kapita selama 1 – 2 tahun lalu diikuti penurunan output per kapita, bukan merupakan pertumbuhan ekonomi. Dikatakan tumbuh bila dalam jangka waktu yang lama (5 tahun atau lebih) mengalami kenaikan output per kapita.

Menurut Todaro dan Smith (2006), ada tiga faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi, yaitu :

1. Akumulasi modal termasuk semua investasi baru yang berwujud tanah (lahan), peralatan fiskal, dan sumber daya manusia (human resources). Akumulasi modal akan terjadi jika ada sebagian dari pendapatan sekarang di tabung yang kemudian diinvestasikan kembali dengan tujuan untuk memperbesar output di masa-masa mendatang. Investasi juga harus disertai dengan investasi infrastruktur, yakni berupa jalan, listrik, air bersih, fasilitas sanitasi, fasilitas komunikasi, demi menunjang aktivitas ekonomi produktif. Investasi dalam pembinaan sumber daya manusia dapat meningkatkan kualitas modal manusia, sehingga pada akhirnya akan membawa dampak positif yang sama terhadap angka produksi, bahkan akan lebih besar lagi mengingat terus bertambahnya jumlah manusia. Pendidikan formal, program pendidikan dan pelatihan kerja perlu lebih diefektifkan untuk mencetak tenaga-tenaga terdidik dan sumber daya manusia yang terampil.

2. Pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja. Pertumbuhan penduduk dan hal-hal yang berhubungan dengan kenaikan jumlah angka kerja (labor force) secara tradisional telah dianggap sebagai faktor yang positif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Artinya, semakin banyak angkatan kerja


(59)

semakin produktif tenaga kerja, sedangkan semakin banyak penduduk akan meningkatkan potensi pasar domestiknya.

3. Kemajuan Teknologi. Kemajuan teknologi disebabkan oleh teknologi cara-cara baru dan cara-cara-cara-cara lama yang diperbaiki dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tradisional. Ada 3 klasifikasi kemajuan teknologi, yakni:

a. Kemajuan teknologi yang bersifat netral, terjadi jika tingkat output yang dicapai lebih tinggi pada kuantitas dan kombinasi-kombinasi input yang sama.

b. Kemajuan teknologi yang bersifat hemat tenaga kerja (labor saving) atau hemat modal (capital saving), yaitu tingkat output yang lebih tinggi bisa dicapai dengan jumlah tenaga kerja atau input modal yang sama.

c. Kemajuan teknologi yang meningkatkan modal, terjadi jika penggunaan teknologi tersebut memungkinkan kita memanfaatkan barang modal yang ada secara lebih produktif.

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut Badan Pusat Statistik (BPS) didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah, atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah. Untuk lebih jelas dalam menghitung angka-angka Produk Domestik Regional Bruto, ada tiga pendekatan yang cukup sering digunakan dalam melakukan suatu penelitian: 1. Menurut Pendekatan Produksi

Dalam pendekatan produksi, Produk Domestik Regional Bruto adalah menghitung nilai tambah dari barang dan jasa yang diproduksikan oleh suatu


(1)

ABSTRACT

ANALYSIS OF QUALITY OF HUMAN RESOURCES, INFLATION, AND ECONOMIC GROWTH ON THE LEVEL OF POVERTY IN NORTH

SUMATRA

The purpose of this study was to determine the level of poverty in the province of North Sumatra . This study uses secondary data obtained directly from the Central Bureau of Statistics and the department or agency concerned.

The analysis used descriptive quantitative analysis of multiple linear models . Variables used is The Level of Poverty , literacy rate (AMH) , Inflation , and Economic Growth . In this study using SPSS 21 as an estimation tool .

The regression showed that the literacy rate is significantly negative effect on the level of poverty , inflation is not significant positive effect on the level of Poverty and Economic Growth significantly negative effect on the level of poverty . Then the relationship between the literacy rate , Inflation , and Economic Growth with Poverty rate of 88.2 % and 11.8 % is explained by other factors not mentioned in this model .


(2)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Kemiskinan ... 9

2.1.1 Ukuran Kemiskinan ... 15

2.2 Angka Melek Huruf ... 17

2.3 Inflasi ... 19

2.4 Pertumbuhan Ekonomi ... 23

2.5 Penelitian Terdahulu ... 29

2.6 Kerangka Konseptual... 32

2.7 Hipotesis ... 34

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 35

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 35

3.3 Batasan Operasional ... 35

3.4 Defenisi Operasional ... 36

3.5 Jenis dan Sumber Data... 36

3.6 Metode Pengumpulan Data... 37

3.7 Teknik Analisis Data ... 37

3.7.1 Analisis Regresi Berganda ... 37

3.7.2 Pengujian Penyimpangan Asumsi Klasik 38 3.7.2.1Uji Normalitas ... 38


(3)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum... 42

4.1.1 Lokasi dan Keadaan Geografis ... 42

4.1.2 Kependudukan ... 43

4.1.3 Sosial Budaya ... 46

4.1.3.1 Pendidikan ... 46

4.1.3.2 Kesehatan ... 47

4.1.3.3 Agama ... 48

4.1.3.4 Ketenagakerjaan ... 48

4.2 Analisis dan Pembahasan ... 50

4.2.1 Perkembangan Tingkat Kemiskinan Sumatera Utara ... 50

4.2.2 Perkembangan Angka Melek Huruf Sumatera Utara ... 52

4.2.3 Perkembangan Laju Inflasi Sumatera Utara ... 53

4.2.4 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara ... 54

4.3 Hasil Penelitian ... 56

4.3.1 Analisis Statistik Deskriptif ... 56

4.3.2 Hasil Uji Regresi Linier Berganda ... 57

4.3.3 Uji Hasil Penyimpangan Asumsi Klasik . 58 4.3.3.1 Uji Normalitas ... 58

4.3.3.2 Uji Multikolineritas ... 59

4.3.3.3 Uji Heterokedastisitas ... 60

4.3.3.4 Uji Autokorelasi ... 61

4.3.4 Hasil Uji Kesesuaian... 62

4.3.4.1 Uji T (Uji Parsial) ... 62

4.3.4.2 Uji F(Uji Simultan) ... 64

4.3.4.3 Koefisien Determinasi (R2) ... 64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 66

5.2 Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 68


(4)

DAFTAR TABEL

No Tabel Judul Halaman

2.1 Penelitian Terdahulu ... 29

4.1 Indikator Kependudukan Sumatera Utara ... 46

4.2 Tingkat Kemiskinan Sumatera Utara Tahun 1996-2013 51

4.3 Angka Melek Huruf Sumatera Utara Tahun 1996-2013 52

4.4 Laju Inflasi Sumatera Utara 1996-2013 ... 54

4.5 Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara 1996-2013 ... 55

4.6 Statistik Deskriptif ... 56

4.7 Hasil Regresi Linear Berganda ... 57

4.8 Hasil Uji Kolmogorov-Sminorv ... 58

4.9 Hasil Uji Multikolinieritas ... 59

4.10 Hasil Uji Heteroskedastisitas ... 61

4.11 Hasil Uji Autokorelasi ... 62

4.12 Hasil Uji T (Parsial) ... 62

4.13 Hasil Uji F (Simultan) ... 64


(5)

DAFTAR GAMBAR

No Gambar Judul Halaman

1.1 Tingkat Kemiskinan di Sumatera Utara, Tahun 2008-2012 .

... 5

1.2 Angka Melek Huruf Nasional dan Sumatera Utara, Tahun 2004-2013. ... 6

2.1 Lingkaran Setan Keterbelakangan Manusia ... 18

2.2 Kerangka Konseptual ... 33

4.1 Piramida Penduduk Provinsi Sumatera Utara 2013 ... 44

4.2 Persentase Penduduk Miskin Provinsi Sumatera Utara ... 45

4.3 Persentase TPAK Umur > 15 Tahun dan TPT Sumatera Utara ... 49

4.4 Persentase TPAK Umur > 15 Tahun berdasarkan Pendidikan yang ditamatkan ... 49


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

No Gambar Judul Halaman

1 Data Variabel ... 72 2 Hasil Uji Regresi Linier Berganda ... 73 3 Hasil Uji Asumsi Klasik ... 74