yang “dipaksa” harus berbagi dengan kekuatan lain, khususnya parlemen, inilah yang mengakibatkan persaingan di antara keduanya tidak terelakkan.
Tentu saja hal ini membawa dampak negatif berupa ketidakjelasan pertanggungjawaban dan pola kerja lembaga-lembaga ekstra tersebut, karena
pembentukannya sering kali tidak dilandasi kebutuhan rasional dan landasan yuridis yang cukup. Sebagai lembaga independen yang terlepas dari
hubungan struktural dengan pemerintah, pemerintah tentu tidak berada dalam kapasitas untuk bisa mengontrol secara khusus terhadap lembaga-lembaga
ekstra tersebut. Ketidakjelasan mekanisme pertanggungjawaban ini, dikarenakan ketentuan yang mengatur lembaga-lembaga ekstra itu kadang-
kadang menciptakan mekanisme tersendiri yang berbeda satu sama lain tanpa ada perangkat konstitusional yang logis.
Tetapi, keberadaan KPK harus dilihat secara lebih luas lagi, komisi ini tidak sekedar lembaga yang menjalankan fungsi penegakan hukum yang
bersifat represif, tetapi juga bersama masyarakat melaksanakan fungsi-fungsi preventif dan edukatif. Dengan demikian, kehadiran KPK tidak dimaksudkan
menggantikan fungsi dan peran yang dijalankan polisi dan jaksa, tetapi justru melengkapi, memperkuat, dan menyempurnakannya.
35
Disamping hal tersebut diatas, Komisi Pemberantasan Korupsi KPK diklasifikasikan sebagai komisi negara. Kemudian yang disebut dengan
komisi negara independen adalah organ negara state organs yang diidealkan
35
Menurut Yusril Ihza Mahendra 2002:32 Keberadaan KPK di tengah-tengah lembaga penegakan hukum yang sudah ada selama ini dan di tengah-tengah krisis
kepercayaan masyarakat internasional, merupakan lembaga terakhir dan satu-satunya harapan bangsa Indonesia. Eggi Sudjana, Republik Tanpa KPK: Koruptor Harus Mati, h.202.
independen dan karena berada diluar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif; namun justru mempunyai fungsi “campursari” ketiganya.
Status Komisi Pemberantasan Korupsi KPK adalah lembaga negara yang bersifat independen dan berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tetapi tidak
berada di bawah kekuasaan kehakiman. Dalam hal ini juga di tegaskan terkait status keberadaan sebuah lembaga negara, Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, instilah “lembaga negara” tidak selalu dimasukkan sebagai lembaga negara yang hanya disebutkan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 saja, atau yang dibentuk berdasarkan perintah konstitusi, tetapi juga ada lembaga
negara lain yang dibentuk dengan dasar perintah dari peraturan di bawah konstitusi, seperti Undang-Undang dan bahkan Keputusan Presiden
Keppres. Jika ada yang berpendapat bahwa keberadaan Komisi Pemberantasan
Korupsi adalah ekstra konstitusional itu adalah keliru. Karena, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK secara tegas diatur dalam Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi KPK sebagai bentuk politik hukum pemberantasan korupsi di tanah air.
Sejalan dengan putusan MK dalam menguji Undang-Undang Komisi Penyiaran Indonesia eksistensi lembaga negara adalah sah sepanjang telah
diatur di dalam peraturan perundang-undangan termasuk bila diatur dalam Undang-Undang.
Maka Komisi Pemberantasan Korupsi KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan,
tetapi justru ditempatkan secara yuridis di dalam sistem ketatanegaraan yang rangka dasarnya sudah ada di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Urgensi keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi lebih penting jika dilihat dari sisi sosiologis pemberantasan korupsi. Komisi
Pemberantasan Korupsi KPK dibutuhkan sebagai trigger mechanism untuk mendorong lembaga-lembaga penegak hukum yang selam ini belum
berfungsi secara efektif, dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.
44
BAB IV ANALISIS IMPLEMENTASI PENETAPAN TERSANGKA
MIRANDA S. GOELTOM
A. Implementasi Penetapan Tersangka Miranda S. Goeltom menurut Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP
Adanya proses penetapan tersangka yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Miranda S. Goeltom berjalan sesuai dengan
hukum yang berlaku yaitu menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku di Indonesia sampai saat ini.
Semua hal terkait kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan Miranda S. Gultom dikumpulkan dan ditetapkan sebagai sekumpulan bukti
permulaan dalam penetapan tersangka Miranda S. Goeltom. Berawal dari pengakuan politisi PDIP Agus Condro Prayitno pada 4
Juni 2008 yanag menjadi bukti permulaan pertama penetapan Miranda S. Goeltom sebagai tersangka. Ia mengaku menerima suap dalam bentuk cek
perjalanan. Ia juga menyatakan ada anggota Komisi IX DPR periode 1999- 2004 yang juga menerima suap
36
. Menindaklanjuti itu, pada 9 September 2008, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK
melaporkan adanya aliran 480 lembar cek pelawat ke 41 dari 56 anggota Komisi XI DPR Periode 2004-2009 dari Arie Malangjudo, seorang asisten
36
http:nasional.kompas.comread200911051101534Thahjo.Kumolo.Dijadwalkan.J alani.Pemeriksaan.KPK, diunduh tanggal 16 Juni 2015 hari selasa, pukul 15.12
sekaligus Direktur PT. Wahana Esa Sejati milik Nunun Nurbaeti, istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun.
Kasus ini kemudian diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi KPK dan pada 9 Juni 2009, KPK mengumumkan empat anggota
Komisi XI DPR sebagai tersangka perdana. Mereka adalah Dudhie Makmun Murod PDIP, Endin AJ. Soefihara PPP, Hamka Yandhu PBR, dan Udju
Djuhaeri TNIPolri. Dudhie, Hamka, Endin, dan Udju kemudian divonis bersalah hampir setelah berstatus tersangka, pada 17 Mei 2010. Dari
pengakuan mereka, KPK mengembangkan kasus tersebut dan pada 1 September 2010 menetapkan 26 anggota Komisi XI DPR RI sebagai
tersangka baru lainnya dan tersangka yang telah diproses hukum, di antaranya Paskah Suzetta dan Panda Nababan
37
. Dari keterangan yang diberikan oleh Agus Condro didapatkan lah
nama Nunun Nurbaeti yang turut serta dalam kasus ini, iya berperan sebagai fasilitator penerimaan suap oleh anggota Komisi XI DPR RI. Kemudian KPK
lanjut menetapkan Nunun Nurbaeti sebagai tersangka atas kasus suap cek pelawat tersebut. Ditetapkannya Nunun Nurbaeti sebagai tersangka oleh KPK
dianggap sebagai titik terang untuk menjerat oknum-oknum lainnya yang turut serta melakukan kasus suap ini. Dalam persidangan kasus Nunun
Nurbaeti ini Nunun akhirnya ditetapkan sebagai terdakwa kasus suap cek pelawat dan kemudia Miranda S. Goeltom dihadirkan menjadi saksi.
37
Lihat, h. 36-39 dari 136 h, Putusan Nomor :
14PID.BTPK2011PN.JKT.PST
Dalam persidangan, Nunun Nurbaeti mengaku memfasilitasi pertemuan antara Miranda S. Goeltom dan beberapa anggota Komisi IX DPR
RI dan pernyataan Nunun Nurbaeti ini pun sebagai bukti permulaan kedua yang membuktikan keterlibatan Miranda S. Goeltom dalam kasus Traveller
Cheque. Dalam proses penetapan tersangka, yang sebelumnya Miranda S.
Goeltom adalah sebagai saksi dalam sidang terdakwa Nunun Nurbaeti bukan lah hal yang tidak diperbolehkan atau melanggar hukum, adanya
penetapan tersangka Miranda S. Goeltom karena terbuktinya Miranda S. Goeltom melakukan tindak pidana korupsi. Dan ini merupakan
kewenangan hakim untuk secara langsung menetapkan saksi menjadi tersangka juga terdapat di dalam KUHAP, tetapi ketentuan ini untuk
tindak pidana memberikan keterangan palsu. Terucap lagi oleh publik bahwa tidak adilnya hakim dalam menaikan
status Miranda S.Goeltom yang tadinya sebagai saksi peradilan Nunun Nurbaeti pada saat itu pula berubah statusnya menjadi tersangka. Dimulai dari
keterangan saksi yang dimana adalah alat bukti pertama seperti yang tertera di Pasal 184 ayat 1 UU No.8 Tahun 1981
. Hakim juga diminta „bersungguh- sungguh memperhatikan‟ keterangan saksi demi kepentingan penilaian
kebenaran keterangan tersebut. Hal ini menunjukkan begitu pentingnya keterangan saksi. Ada empat hal yang perlu sungguh-sungguh diperhatikan
hakim, yaitu: a Persesuaian keterangan satu saksi dengan saksi lain.
b Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain.
c Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan tertentu; dan
d cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
dipercaya. Pada dasarnya status tersangka bisa diterapkan kepada orang yang
diduga melakukan tindak pidana. Bisa jadi, sebelumnya yang bersangkutan berstatus sebagai saksi. Namun, di dalam ruang sidang, hakimlah yang paling
berkuasa, termasuk memilah-milah siapa saksi yang harus dimintai keterangan untuk menguatkan terlaksananya perubahan status itu. Jika dalam
persidangan ditemukan bukti keterlibatan saksi dalam suatu perkara, hakim dapat meminta aparat penegak hukum lain untuk menindaklanjuti dugaan
keterlibatan saksi tersebut. Jika ditemukan bukti yang cukup dalam perkara yang sama, maka bisa saja saksi dapat langsung dikenakan status tersangka.
Tetapi Hakim biasanya menyarankan dan tidak langsung menetapkan status tersangka.
Kewenangan hakim untuk secara langsung menetapkan saksi menjadi tersangka dikenal KUHAP, tetapi untuk tindak pidana memberikan
keterangan palsu. Sebelum status tersangka ditetapkan, hakim lebih dahulu memperingatkan saksi berupa ancaman sanksi memberikan keterangan palsu.
Jika tetap memberikan keterangan yang diduga hakim palsu, maka hakim langsung memerintahkan saksi ditahan dan dituntut oleh penuntut umum
karena sumpah palsu. Jika hakim menetapkan demikian, maka Panitera