Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Tanaman Perkebunan Teh Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Di Kabupaten Simalungun
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
ALIH FUNGSI LAHAN TANAMAN PERKEBUNAN TEH
MENJADI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
DI KABUPATEN SIMALUNGUN
T E S I S
Oleh
JAN ERICSON CHANDRA PURBA
077018010/EP
S
EK O L A H
P A
S C
A S A R JA
NA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
(2)
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
ALIH FUNGSI LAHAN TANAMAN PERKEBUNAN TEH
MENJADI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
DI KABUPATEN SIMALUNGUN
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ilmu Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
JAN ERICSON CHANDRA PURBA
077018010/EP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
(3)
Judul Tesis : ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN TANAMAN
PERKEBUNAN TEH MENJADI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN SIMALUNGUN
Nama Mahasiswa : Jan Ericson Chandra Purba Nomor Pokok : 077018010
Program Studi : Ekonomi Pembangunan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Dr. Rahmanta, M.Si) (Drs. Tuana Simamora, MS) Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Direktur,
(Dr. Murni Daulay, M.Si) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
(4)
Telah diuji pada Tanggal : 25 Juli 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Rahmanta, M.Si
Anggota : 1. Drs. Tuana Simamora, MS 2. Dr. Murni Daulay, M.Si 3. Drs.Rujiman, M.A
(5)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan tanaman perkebunan Teh menjadi perkebunan Kelapa Sawit di PTPN IV Kabupaten Simalungun.
Penelitian ini menggunakan data primer dengan media kuesioner dan data sekunder kurun waktu (time series) 6 tahun. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ordinary Least Square (OLS) pada =1%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas perkebunan teh menurun rata-rata 61,55 Ton/ Ha/Tahun, penyerapan tenaga kerja perkebunan teh menurun rata-rata 725,67 HOK/Tahun dan produktivitas tenaga kerja perkebunan teh menurun rata-rata 1,09 Ton/Ha/Tahun. Harga teh dan jumlah tenaga kerja berpengaruh negatif dan signifikan sedangkan harga TBS berpengaruh positif dan signifikan terhadap alih fungsi (konversi) tanaman Perkebunan Teh menjadi Perkebunan Kelapa Sawit. Harga Teh, harga TBS dan jumlah tenaga kerja secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap alih fungsi Tanaman Perkebunan Teh menjadi Perkebunan Kelapa Sawit di PTPN IV Kabupaten Simalungun.
(6)
ABSTRACT
The purpose of this study is to analyze the factors plant conversion of Tea Plantation into Palm Oil Plantation at PTPN IV Plantation Region of Simalungun North Sumatera Province.
The data for this study were obtained through questionnaire-based interviews and time series data with 6 years. The data obtained were analyzed through Ordinary
Least Square (OLS) at g = 1%.
The result of this study showed productivity of Tea plantation had decreased by average of 61,55 ton/ha/year, work force it’s accommodate had decreased by average 725.67 day-person/year, and it’s worker productivity had decreased by average 1.09 ton/ha/year. The Tea price and number of worker had a significantly negative effect, where as price of Full Fruit Bunch (FFB) had a significantly positive effect, on plant conversion of Tea Plantation into Palm Oil Plantation. The Tea and Full Fruit Bunch (FFB) prices, and number of worker alltogether had significantly effect on plant conversion of Tea Plantation into Palm Oil Plantation at PTPN IV Plantation Region of Simalungun.
(7)
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis dipanjatkan kepada Tuhan Yesus atas berkat dan rahmat serta pertolonganNya, sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan mulai dari perkuliahan pada Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, sampai dengan penyusunan tesis ini dengan judul: ”Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Tanaman Perkebunan Teh menjadi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun”.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan berbagai pihak tidak mungkin tesis ini dapat terselesaikan.
Untuk itu perkenankan penulis memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan mengucapkan terima kasih yang tulus kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Ir.T.Chairun Nisa B, M.Sc, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si, Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, serta selaku Dosen Pembanding yang telah memberikan banyak masukan dan saran bagi kesempurnaan tesis ini.
3. Bapak Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, SE, MEc, selaku Sekretaris Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 4. Bapak Dr. Rahmanta, M.Si , selaku Ketua Komisi Pembimbing dengan penuh
kearifan, kesabaran dan perhatian telah berkenan memberikan bimbingan kepada penulis, sehingga selesainya tesis ini.
(8)
5. Bapak Drs. Tuana Simamora, MS, selaku anggota pembimbing yang telah memberikan tuntunan dan pengarahan dalam menyesaikan tesis ini
6. Bapak Drs.Rujiman, M.A, Bapak Drs. Rahmad Sumanjaya, M.Si, selaku Dosen Penguji yang telah memberikan banyak masukan dan saran bagi kesempurnaan tesis ini.
7. Bapak dan Ibu Dosen serta Pegawai Administrasi Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
8. Bapak Walikota Pematangsiantar yang telah memberikan izin melanjutkan pendidikan.
9. Bapak Sekretaris Daerah Kota Pematangsiantar yang telah memberikan izin melanjutkan pendidikan.
10. Bapak Camat Siantar Marimbun beserta seluruh rekan-rekan Pegawai di Kecamatan Siantar Marimbun yang selalu tetap memberikan motivasi dukungan dan doa didalam menjalankan perkuliahan.
11. Bapak Direksi PTPN IV beserta seluruh staf yang telah banyak memberikan bantuan informasi dan data dalam penyusunan tesis ini.
12. Terima kasih yang tak terhingga secara khusus penulis sampaikan kepada Ayahanda St. Darwin Purba, S.Pd beserta Ibunda Helna Rosmia Saragih yang senantiasa memberikan teladan, nasehat, doa, semangat dan bantuan moril dan materil kepada penulis. Dan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada Ibu mertua Rehngenana Tarigan atas doa dan perhatian serta bantuan moril maupun materil mulai dari masa studi hingga penulisan tesis ini.
(9)
13. Teristimewa kepada Istriku tercinta Line Rista Saragih, SE serta buah hatiku tersayang Leader Immanuel Purba yang dengan setia dan penuh pengertian memberikan motivasi, dukungan doa mulai dari masa studi sampai penulisan tesis ini.
14. Tak lupa penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kakanda Asni M.Purba, Am.Keb, serta Adinda Rita A.Purba, Resti F. Purba atas doa dan dorongan hingga selesainya tesis ini.
15. Teman-teman mahasiswa, khususnya angkatan XII Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Tak lupa penulis menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan kepada penulis baik moril maupun materil.
Sebagai manusia yang tidak terlepas dari kekurangan dan keterbatasan, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan dan banyak kekurangan. Dalam rangka penyempurnaan tesis ini penulis mengharapkan masukan dan kritik yang membangun dan dapat dikembangkan dalam penelitian lebih lanjut. Kiranya Tuhan memberikan AnugerahNya kedapa semua pihak dan
memberkatinya.
Medan, Agustus 2009
(10)
RIWAYAT HIDUP
1. Nama : Jan Ericson Chandra Purba
2. Tempat/Tanggal Lahir : Pematangsiantar, 25 Januari 1984
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Status : Kawin
5. Agama : Kristen Protestan
6. Pekerjaan : PNS (Pegawai Negeri Sipil)
7. Alamat : Jalan Handayani Gg. Bersama Kiri No. 05 Pematangsiantar
No. HP. 085361184884
8. PENDIDIKAN
a. SD : SD Swasta RK No. 3 Pematangsiantar (1990-1996)
b. SLTP : SLTP Negeri 7 Pematangsiantar (1996-1999)
c. SMU : SLTA Negeri 4 Pematangsiantar (1999-2002)
d. Strata.1 : Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri
(2002-2006)
e. Strata.2 : Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan (2007-2009)
(11)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 14
1.3. Tujuan Penelitian ... 14
1.4. Manfaat Penelitian ... 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 16
2.1 Sejarah Tanaman Teh ... 16
2.2. Manfaat Teh bagi Kesehatan ... 17
2.3. Sejarah Tanaman Kelapa Sawit ... 18
2.3.1.Keunggulan Kelapa Sawit... 19
2.3.2. Peranan Kelapa Sawit Dalam Perekonomian Indonesia ... 20
2.3.3. Perkembangan Industri Kelapa Sawit ... 21
2.3.4. Industri Minyak Kelapa Sawit ... 22
2.3.5. Standar Mutu Minyak Kelapa Sawit ... 22
2.4. Harga ... 24
2.4.1.Pengertian harga... 24
2.4.2.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Harga ... 25
2.4.3. Tujuan Penentuan Harga ... 27
2.5. Produktivitas ... 29
2.6. Landasan Teori dan Konsep Ekonomi ... 30
2.6.1.Teori Permintaan... 30
2.6.2. Fungsi Permintaan Pasar. ... 32
2.7. Tenaga kerja ... 35
2.8. Konversi Tanaman ... 37
2.9. Penelitian Sebelumnya ... 39
2.10. Kerangka Pikir ... 47
(12)
BAB III METODE PENELITIAN ... 49
3.1. Lokasi penelitian ... 49
3.2. Metode Pengumpulan Data ... 49
3.3. Metode Analisa Data... 49
3.4. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 50
3.5. Definisi Operasional ... 53
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 54
4.1. Deskripsi Umum PTPN IV ... 54
4.2. Faktor yang Mempengaruhi Konversi Tanaman Teh Menjadi Kelapa Sawit PTPN IV Divisi Bah Birong Ulu dan Marjandi Kabupaten Simalungun ... 57
4.3. Identifikasi Konversi Lahan Tanaman Teh Menjadi Tanaman Kelapa Sawit Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan Produktivitas Teh dan Tenaga Kerja Divisi Bah Birong Ulu dan Marjandi di PTPN IV Kabupaten Simalungun ... 62
4.3.1. Luas Areal Perkebunan Teh Alih Fungsi ... 62
4.3.2. Tenaga Kerja dalam Rangka Alih Fungsi Tanaman Perkebunan Teh menjadi Kelapa Sawit ... 64
4.3.3. Produktivitas Tenaga Kerja Perkebunan Teh yang dialih fungsikan menjadi Kelapa Sawit... 66
4.3.4. Produktivitas Tanaman Perkebunan Teh yang dialih fungsikan menjadi Kelapa Sawit... 68
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 70
5.1. Kesimpulan ... 70
5.2. Saran... 70
(13)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1.1. Perkembangan produksi Teh di Indonesia Tahun 2003-2007 ... 4 1.2. Perkembangan luas areal Teh di Indonesia Tahun 2003-2007 ... 5 1.3. Perkembangan hasil penjualan ekspor Teh Indonesia Tahun
2003-2007 (Ton) ... 6 1.4. Perkembangan produksi Kelapa Sawit di Indonesia Tahun 2003-2007 ... 8 1.5 Perkembangan luas areal Kelapa Sawit di Indonesia Tahun 2003-2007 ... 8 1.6. Perkembangan produksi Teh di Kabupaten Simalungun Tahun
2003-2007 ... 11 1.7 Perkembangan luas areal Teh di PTPN IV Kabupaten Simalungun
1999-2005... 12 1.8. Perkembangan produksi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun Tahun
2003-2007 ... 12 1.9. Perkembangan luas areal Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun
2003-2007... 13 4.1. Hasil analisis regresi faktor yang mempengaruhi Alih Fungsi lahan
tanaman perkebunan Teh menjadi perkebunan Kelapa Sawit PTPN IV divisi Bah Birong Ulu dan Marjandi Kabupaten Simalungun, Tahun 2000 – 2005... 58 4.2. Luas areal alih fungsi lahan tanaman perkebunan Teh menjadi Kelapa
Sawit di PTPN IV ... 62 4.3 Jumlah tenaga kerja akibat alih fungsi tanaman perkebunan Teh menjadi
Kelapa Sawit ... 64 4.4. Produktivitas tenaga kerja perkebunan Teh yang dialihfungsikan menjadi
Kelapa Sawit ... 66 4.5. Produktivitas tanaman perkebunan Teh yang dialihfungsikan menjadi
(14)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Tujuan Penetapan Harga ... 28 2.2. Kerangka Pikir Penelitian ... 47 4.1. Struktur Organisasi PTPN IV ... 57 4.2 Luas Areal Alih Fungsi Tanaman Perkebunan Teh Menjadi Kelapa
Sawit di PTPN IV Tahun 2000-2005 (Ha/Tahun) ... 63 4.3. Jumlah Tenaga Kerja Alih Fungsi Tanaman Perkebunan Teh Menjadi
Kelapa Sawit Tahun 2000-2005 (HOK/Tahun) ... 66 4.4. Produktivitas Tenaga Kerja Alih Fungsi Tanaman Perkebunan Teh
menjadi Kelapa Sawit Tahun 2000-2005 (Ton/Ha/Tahun)... 67 4.5. Produktivitas Tanaman Perkebunan Teh Yang Dialih Fungsikan
(15)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Kuesioner penelitian ... 77
2. Uji regresi harga Teh,TBS dan tenaga kerja ... 80
3. Uji multikolinieritas ... 81
4. Uji heterokedasitas ... 82
5. Uji normalitas ... 85
6. Uji autokorelasi ... 88
7. Master data ... 91
(16)
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Teh (Camellia sinensis) merupakan salah satu komoditi andalan Indonesia yang dikenal masyarakat sejak zaman Hindia Belanda (tahun 1860). Melalui sejarah yang panjang, perkebunan teh dibudidayakan dan dikelola oleh perusahaan negara, perusahaan swasta, maupun perkebunan rakyat.
Industri teh saat ini sedang menghadapi berbagai masalah, antara lain terjadinya over production nasional maupun dunia dan di sisi lain tingkat konsumsi teh masyarakat masih tergolong rendah. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk mentransformasi keunggulan komparatif (comparative advantages) menjadi keunggulan kompetitif (competitive advantages), dengan mengembangkan subsistem agribisnis hulu secara sinergi dengan pengembangan subsistem agribisnis hilir dan membangun jaringan pemasaran domestik maupun internasional, yang digerakkan oleh kekuatan inovasi (innovation driven) (Tampubolon, 2002).
Teh merupakan salah satu komoditi yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian Indonesia. Industri teh mampu memberikan kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar Rp 1,2 triliun (0,3% dari total PDB nonmigas). Komoditi ini juga menyumbang devisa sebesar 110 juta dollar AS setiap tahunnya (ATI, 2000).
(17)
Selain untuk menjaga fungsi hidrolis dan pengembangan agroindustri, perkebunan teh juga menjadi sektor usaha unggulan yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Rasio perbandingan tenaga kerja dengan luas lahannya 0,75. Karena itu perkebunan teh digolongkan sebagai industri padat karya (www.pkps.org). Tahun 1999 industri ini mampu menyerap 300.000 pekerja dan menghidupi sekitar 1,2 juta jiwa (Suprihatini, 2000).
Potensi pengembangan komoditi teh Indonesia sangat besar. Produksi teh yang tinggi menempatkan Indonesia pada urutan kelima sebagai negara produsen teh curah, setelah India, Cina, Sri Lanka dan Kenya. Indonesia juga menduduki posisi kelima sebagai negara eksportir teh curah terbesar dari segi volume setelah Sri Lanka, Kenya, Cina dan India (Suprihatini, 2000).
Meskipun potensi yang dimiliki cukup besar, sama halnya dengan ekspor produk pertanian Indonesia lainnya ke pasar internasional, komoditi teh juga menghadapi persoalan klasik yang selalu berulang. Setumpuk permasalahan seperti penurunan volume, nilai, pangsa pasar ekspor dan rendahnya harga teh Indonesia memberikan dampak buruk pada perkembangan industri teh. Kondisi ini membuat usaha perkebunan teh rakyat semakin terpuruk. Para petani harus menjual teh dengan harga Rp 400 – Rp 500 per kilogram sementara biaya perawatan teh mencapai Rp 700 per kg. Petani merugi dari tahun ke tahun (Kompas, 20 Desember 2004).
Di satu sisi komoditi teh mampu menjadi sumber pendapatan bagi negara dan masyarakat Indonesia, namun di sisi lain dengan permasalahan-permasalahan yang semakin berlarut-larut, komoditi teh dapat membunuh kehidupan petani/buruh dan
(18)
industri ini secara pelan-pelan. Diperlukan penelitian yang lebih mendalam untuk membantu para petani/buruh teh menemukan jalan keluar dari keterpurukan ini.
Berikut ini dijelaskan secara lebih mendetail bagaimana profil bisnis komoditi teh di Indonesia. Pangsa pasar teh Indonesia terus mengalami penurunan. Bahkan beberapa pasar utama teh yang dikuasai Indonesia telah diambil alih oleh negara produsen teh lainnya. Pasar-pasar yang kurang dapat dipertahankan Indonesia adalah Pakistan, Inggris, Belanda, Jerman, Irlandia, Rusia, Amerika Serikat, Singapura, Malaysia, Siria, Taiwan, Mesir, Maroko, dan Australia (Suprihatini, 2000).
Indonesia mengalami penurunan pangsa pasar dari 5,4% di tahun 1997 menjadi 3,9 % pada tahun 2001. Dari data penguasaan pangsa nilai ekspor seluruh jenis teh, pada tahun 2001 Indonesia merupakan negara pengekspor teh terbesar pada urutan ketujuh di dunia setelah India (18,9%), Cina (17,1%), Sri Lanka (15,2%), Kenya (7,9%), Inggris (7,9%) dan Uni Emirat Arab (4%). (Business Outlook, Komoditi Teh Indonesia, 15 Januari 2008).
Penjualan komoditi teh Indonesia sangat bergantung pada ekspor. Enam puluh lima persen (65%) produksi teh Indonesia ditujukan pada pasar ekspor. Kondisi ini tidak lepas dari peran dan kebijakan pemerintah yang ingin menggalakkan penerimaan devisa dengan mendorong produsen untuk berorientasi pada ekspor (Bisnis Indonesia, 3 Desember 2004).
Ketergantungan ini menimbulkan implikasi yang buruk pada perkembangan teh di Indonesia. Harga teh di Indonesia sangat dipengaruhi oleh jumlah permintaan dan ketersediaan komoditi teh di tingkat dunia. Apabila pasokan dunia berlimpah
(19)
maka, harga teh Indonesia akan merosot drastis. Akibatnya, banyak petani yang mengalami kerugian karena menjual teh dengan harga di bawah biaya perawatan akhirnya menjual tanah perkebunan tehnya atau mengkonversi menjadi perkebunan kelapa sawit, sayuran dan lain-lain karena mengalami kerugian besar dalam pembudidayaannya. Harga teh yang terus merosot setiap tahun menyebabkan para petani harus menanggung biaya perawatan dan budidaya tanaman tehnya.
Pembangunan agribisnis perkebunan yang telah berganti arah dari penekanan produksi kepada permintaan pasar atau konsumen yang merupakan konsekuensi logis dari terjadinya globalisasi perdagangan yang menimbulkan dampak hyper
competition di antara negara-negara produsen teh.
Pembangunan perkebunan dengan pendekatan sistem agribisnis yang berorientasi pasar pada dasarnya bertitik tolak pada pasar sebagai penggerak utama pengembangannya yaitu mempertemukan kebutuhan pelanggan atau permintaan pasar dengan pasokan yang tersedia, baik pasar lokal (domestik) maupun ekspor. Untuk melihat perkembangan produksi disajikan pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1. Perkembangan Produksi Teh di Indonesia Tahun 2003-2007
Tahun Produksi (Ton) % (Naik/Turun)
2003 143.604 -
2004 142.548 -0,74
2005 139.121 -2,40
2006 135.590 -2,54
2007 132.533 -2,25
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2008
Tabel 1.1. menunjukkan, perkembangan produksi mengalami fluktuasi penurunan selama kurun waktu 5 tahun terakhir dari tahun 2003 sampai dengan
(20)
tahun 2007. Dari total produksi teh Indonesia tersebut, kontribusi terbesar (66,99 persen) berasal dari Provinsi Jawa Barat dan sisanya dari Sumatera.
Selanjutnya Perkembangan Luas areal Teh di Indonesia, seperti disajikan pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2. Perkembangan Luas Areal Teh di Indonesia Tahun 2003-2007
Tahun Luas (ha) % (Naik/Turun)
2003 169.821 -
2004 165.951 -2,28
2005 166.091 0,80
2006 146.858 -11,58
2007 137.248 6,54
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2008
Tabel 1.2. menunjukkan, perkembangan luas lahan mengalami fluktuasi penurunan selama kurun waktu 5 tahun terakhir dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 kecuali pada tahun 2005.
Hasil produksi yang dicapai, selain untuk kebutuhan dalam negeri juga diekspor ke berbagai negara. Kondisi pasar ekspor yang selama ini menjadi target pasar utama sangat sulit ditingkatkan, karena posisi Indonesia hanya sebagai pengikut pasar (market follower) dengan pangsa pasar hanya 6 persen. Hasil ekspor terbesar diraih oleh Sri Lanka 21 persen, disusul oleh Kenya 19 persen, China 19 persen, India 12 persen, dan sisanya negara lainnya seperti Afrika 5 persen, Argentina 4 persen, Vietnam 4 persen, Malawi 3 persen, serta Uganda 2 persen (ITC, 2004).
(21)
Untuk melihat perkembangan hasil penjualan ekspor teh Indonesia disajikan pada Tabel 1.3.
Tabel 1.3. Perkembangan Hasil Penjualan Ekspor Teh Indonesia Tahun 2003-2007 (Ton)
Tahun Volume Ekspor % (Naik/Turun)
2003 97.847 -
2004 105.581 7,90
2005 99.721 -5,55
2006 100.185 0,47
2007 88.175 -11,99
Sumber ITC (International Tea Committee), Tahun 2008
Tabel 1.3. menunjukkan, perkembangan volume ekspor mengalami fluktuasi penurunan selama kurun waktu 5 tahun terakhir dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 kecuali pada tahun 2004 dan 2006.
Sesuai dengan informasi dari Asosiasi Teh Indonesia (ATI) bahwa penurunan volume ekspor teh Indonesia setiap tahun sekitar lima persen penurunan tersebut disebabkan penurunan mutu teh dalam negeri, salah satu penyebabnya adalah harga teh yang rendah menyebabkan petani tidak bisa membeli pupuk sehingga mutu teh terus menurun. Dampak dari penurunan ekspor tersebut posisi Indonesia melorot dari posisi lima ke enam untuk eksportir the. Produsen teh terbesar dunia saat ini adalah India, Cina, Srilangka, Kenya dan Indonesia. Indonesia hanya menguasai enam persen pangsa pasar teh dunia. Posisi pertama ditempati Srilangka dan Kenya dengan pangsa masing-masing pasar 20 persen, Cina 18 persen, India 13 persen dan Vietnam enam persen. Pangsa teh terbesar Indonesia adalah Rusia sebesar 17 persen dan Eropa 30 persen. Sesuai dengan ATI, selama enam tahun terakhir industri teh dalam negeri
(22)
mengalami kerugian. Akibatnya PT Perkebunan Nusantara IV di Medan, Sumatera Utara, membongkar 4.000 hektar kebun teh dan menggantinya dengan kelapa sawit. Dampaknya produksi teh tidak mengalami peningkatan. (Tempo, 18 Agustus 2008).
Berkaitan dengan data diatas maka dalam penelitian ini perlu diketahui penyebab pembongkaran tanaman teh PT Perkebunan Nusantara IV dengan notabene PT Perkebunan Nusantara IV merupakan salah satu pengelola perkebunan teh di Sumatera Utara dengan lokasi perkebunan di Kabupaten Simalungun. Selanjutnya dalam hal ini informasi tentang perkembangan tanaman kelapa sawit perlu diuraikan.
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) adalah tumbuhan tropis berasal dari Afrika Barat, tergolong kedalam famili Palmae, sub famili Cocoideae, dibawa oleh Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Stanford Raffles sebagai koleksi sekaligus tanaman hias pada kebun raya Bogor, tahun 1848 Kelapa sawit untuk pertama sekali ditanam secara komersial didalam ukuran perkebunan di Propinsi Sumatera Utara, yaitu pada tahun 1911. Sebelumnya telah dilakukan beberapa percobaan penanaman di Muara Enim - 1869, Musi Hulu - 1870, dan Bitung - 1880. Pada tahun 1939 Indonesia telah menjadi produsen sekaligus eksportir minyak sawit terbesar didunia (Lubis, 1992).
Adapun perkembangan produksi kelapa sawit Indonesia dapat disajikan pada Tabel 1.4.
(23)
Tabel 1.4. Perkembangan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Tahun 2003-2007
Tahun Produksi (Ton) % (Naik/Turun)
2003 9.622.344 -
2004 10.440.834 8,51
2005 10.830.389 3,73
2006 11.861.615 9,52
2007 13.390.807 12,89
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2008
Tabel 1.4. menunjukkan, perkembangan Produksi Kelapa Sawit Indonesia terus mengalami fluktuasi kenaikan selama kurun waktu 5 tahun terakhir dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 dimana tahun 2007 megalami kenaikan produksi sebesar 12,89%.
Perkembangan luas areal juga mengalami kenaikan, adapun data luas areal kelapa sawit Indonesia disajikan pada Tabel 1.5.
Tabel 1.5. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit di Indonesia Tahun 2003-2007
Tahun Luas (ha) % (Naik/Turun)
2003 5.067.058 -
2004 5.283.557 4,27
2005 5.284.723 0,02
2006 5.453.817 3,20
2007 6.074.926 11,39
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2008
Tabel 1.5. menunjukkan, perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia terus mengalami fluktuasi kenaikan selama kurun waktu 5 tahun terakhir dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 dimana tahun 2007 mengalami kenaikan luas areal sebesar 11,39%.
Di bandingkan dengan komoditi lainnya pada sub-sektor perkebunan, kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang pertumbuhannya paling pesat pada dua
(24)
dekade terakhir. Pada era tahun 1980 an sampai dengan pertengahan tahun 1990an, industri kelapa sawit berkembang sangat pesat. Pada periode tersebut, areal meningkat dengan laju sekitar 11% per tahun. Sejalan dengan perluasan areal, produksi juga meningkat dengan laju 9.4% per tahun. Konsumsi domestik dan ekspor juga meningkat pesat dengan laju masing-masing 10% dan 13% per tahun (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004). Laju yang demikian pesat menandai era di mana kelapa sawit merupakan salah satu primadona pada sub-sektor perkebunan. Pada lima tahun terakhir, ketika Indonesia mengalami krisis multidimensional, laju pertumbuhan industri CPO mulai melambat. Di samping karena kesulitan sumber pembiayaan/pendanaan, isu lingkungan dan konflik lahan, juga menghambat perkembangan investasi di bisnis kelapa sawit. Bahkan ada pandangan yang menyebutkan bahwa pasar minyak kelapa sawit (CPO) sudah mulai jenuh. Akibat semua hal itu, banyak investor yang mulai ragu-ragu untuk melakukan investasi pada bisnis kelapa sawit.
Ada beberapa faktor yang melandasi pemikiran bahwa prospek CPO cukup cerah dalam persaingan dengan minyak nabati lainnya. Faktor pertama yang mendukung daya saing minyak sawit yang tinggi adalah tingkat efisiensi yang tinggi dari minyak tersebut. Pasquali (1993) dan Basiron (2002) menyebutkan bahwa CPO merupakan sumber minyak nabati termurah. Rendahnya harga CPO relatif terhadap minyak lain berkaitan dengan tingginya tingkat efisiensi produksi CPO (Simeh 2004; Susila 1998). Ong (1992) menyebutkan bahwa produktivitas lahan untuk pengusahaan CPO, minyak kedele, rapeseed, dan kopra adalah masing-masing 3.200, 332, 521, dan 395 kg/ha setara minyak. Faktor lain adalah bahwa sekitar 80% dari
(25)
penduduk dunia, khususnya di negara berkembang masih berpeluang meningkatkan konsumsi per kapita untuk minyak dan lemak, terutama untuk minyak yang harganya murah (FAO, 2001). Di samping faktor penduduk, peningkatan konsumsi juga disebabkan oleh efek substitusi dan efek pendapatan (Pasquali, 1993). Efek substitusi berpangkal dari daya saing CPO yang tinggi sehingga penduduk di negara berkembang cenderung mensubstitusi minyak yang dikonsumsi dengan minyak yang lebih murah. Efek pendapatan cukup signifikan karena pertumbuhan ekonomi yang pesat justru terjadi di negara-negara yang sedang berkembang yang tingkat konsumsi minyak dan lemak yang relatif masih rendah yaitu 10.3 kg per kapita (FAO, 2001).
Faktor berikutnya yang juga akan memperbesar peluang minyak sawit adalah terjadinya pergeseran dalam industri yang menggunakan bahan baku minyak bumi kebahan yang lebih bersahabat dengan lingkungan yaitu oleokimia yang bahan bakunya adalah CPO (The World Bank, 1992 dan Pasquali, 1993). Kecenderungan tersebut sudah tampak di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Jepang. Keberhasilan Putaran Uruguay juga akan memperkokoh daya saing CPO. Hal ini disebabkan minyak pesaing seperti minyak kedele dan sunflower oil selama ini mendapat proteksi yang cukup kuat dari negara-negara produsennya, khususnya Amerika Serikat dan negara kelompok Uni Eropa. Negara-negara tersebut menganggap pasar internasional sebagai pasar untuk ‘membuang’ kelebihan produksi sehingga pasar minyak menjadi tertekan (Pasquali, 1995). Negara berkembang yang umumnya memproduksi CPO diperkirakan akan lebih dapat memanfaatkan perdagangan minyak nabati yang semakin bebas (Barton, 1993). Dalam hal peningkatan produksi, 82% dari dampak Putaran Uruguay akan dinikmati oleh negara
(26)
berkembang, sedangkan negara maju hanya sekitar 12% (Pasquali, 1995). Seperti kebanyakan harga produk primer pertanian, harga CPO relatif sulit untuk diprediksi dengan akurasi yang tinggi. Harga cenderung fluktuatif dengan dinamika yang perubahan yang relatif sangat cepat. Dengan kesulitan tersebut, maka proyeksi harga yang dilakukan lebih pada menduga kisaran. Dengan argumen tersebut, harga CPO sampai dengan 2005-2025 sebagian besar diperkirakan akan berfluktuasi sekitar US$ 350-450/ton (FAO, 2003; Susila 2004).
Menurut data Statistik Indonesia tahun 2008, terdapat 143 perusahaan perkebunan di Indonesia pada tahun 2007 baik yang dikelola oleh swasta maupun BUMN, salah satu diantaranya adalah PTPN IV di Kabupaten Simalungun meliputi perkebunan teh Divisi Bah Birong Ulu dan Divisi Marjandi. Berdasarkan survey pendahuluan data luas lahan dan produksi teh dan Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun dapat dilihat pada Tabel 1.6. berikut:
Tabel 1.6. Perkembangan Produksi Teh di Kabupaten Simalungun Tahun 2003-2007
Tahun Produksi (Ton) % (Naik/Turun)
2003 17.132 -
2004 18.158 5,99
2005 17.799 -1,98
2006 16.952 -4,76
2007 16.467 -2,86
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2008
Tabel 1.6. menunjukkan, perkembangan produksi teh di Kabupaten Simalungun terus mengalami fluktuasi penurunan selama kurun waktu 5 tahun terakhir dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 dimana tahun 2006 mengalami penurunan produksi terbesar 4,76%.
(27)
Perkembangan luas areal juga mengalami penurunan, adapun data luas areal Teh di Kabupaten Simalungun disajikan pada Tabel 1.7.
Tabel 1.7. Perkembangan Luas Areal Teh di PTPN IV Kabupaten Simalungun 1999-2005
Tahun Luas (ha) % (Naik/Turun)
1999 10.226 -
2000 9.780 -4,36
2001 9.529 -2,6
2002 9.009 -5,46
2003 8.430 -6,43
2004 7.910 -6,17
2005 7.204 -8,93
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2008
Tabel 1.7. menunjukkan, perkembangan luas areal perkebunan teh di PTPN IV Kabupaten Simalungun terus mengalami fluktuasi penurunan selama kurun waktu 6 tahun terakhir dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2005, dimana tahun 2005 mengalami penurunan luas areal yang terbesar -8,93%.
Tabel 1.8. Perkembangan Produksi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun Tahun 2003-2007
Tahun Produksi (Ton) % (Naik/Turun)
2003 1.458.949 -
2004 1.511.053 3,57
2005 1.554.347 2,87
2006 1.618.866 4,15
2007 1.693.385 4,60
Sumber : Data Statistik Dinas Perkebunan Kabupaten Simalungun 2008
Tabel 1.8. menunjukkan, perkembangan produksi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun terus mengalami fluktuasi kenaikan selama kurun waktu 5 tahun terakhir
(28)
dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 dimana tahun 2007 mengalami kenaikan produksi terbesar 4,60%.
Perkembangan luas areal juga mengalami kenaikan, adapun data luas areal Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun disajikan pada Tabel 1.9.
Tabel 1.9. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun 2003-2007
Tahun Luas (ha) % (Naik/Turun)
2003 91.161 -
2004 94.866 4,06
2005 98.576 3,91
2006 99.291 0,73
2007 101.006 1,73
Sumber : Data Statistik Dinas Perkebunan Kabupaten Simalungun 2008
Tabel 1.9. menunjukkan, perkembangan luas areal perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun terus mengalami fluktuasi kenaikan selama kurun waktu 5 tahun terakhir dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 dimana tahun 2004 mengalami kenaikan luas areal yang terbesar 4,06%.
Dilatar belakangi oleh permasalahan yang tergambar pada penjelasan diatas dan perlunya mengetahui penyebab utama dalam alih fungsi (konbersi) tanaman Perkebunan Teh menjadi Perkebunan Kelapa Sawit penulis merasa tertarik untuk menganalisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Alih fungsi Lahan Tanaman Perkebunan Teh menjadi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun.
(29)
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka sebagai perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pengaruh harga Teh terhadap alih fungsi (konversi) tanaman Teh menjadi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun.
2. Bagaimana pengaruh harga TBS terhadap alih fungsi (konversi) tanaman Teh menjadi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun.
3. Bagaimana pengaruh jumlah tenaga kerja terhadap alih fungsi (konversi) tanaman Teh menjadi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun.
4. Bagaimana dampak alih fungsi (konversi) tanaman Teh menjadi Kelapa Sawit meliputi penyerapan tenaga kerja dan produktivitas teh.
1.3.Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas maka sebagai tujuan penelitian adalah:
1. Untuk mengetahui pengaruh harga teh terhadap Alih fungsi (konversi) Tanaman Perkebunan Teh menjadi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun.
2. Untuk mengetahui pengaruh harga TBS terhadap Alih fungsi (konversi) Tanaman Perkebunan Teh menjadi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun.
3. Untuk mengetahui pengaruh jumlah tenaga kerja terhadap Alih fungsi (konversi) Tanaman Perkebunan Teh menjadi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun.
(30)
4. Untuk mengetahui dampak alih fungsi (konversi) tanaman Teh menjadi tanaman Kelapa Sawit terhadap penyerapan tenaga kerja dan produktivitas teh di Kabupaten Simalungun.
1.4.Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian diatas, penelitian ini diharapkan bermanfaat : 1. Sebagai informasi dasar bagi para peneliti dan pengambil kebijakan untuk
melakukan penelaahan lebih jauh atau sebagai dasar penetapan kebijakan lanjutan dari kebijakan-kebijakan yang sudah ada.
2. Sebagai masukan bagi pihak PTPN IV Kabupaten Simalungun dalam mengambil keputusan mengenai alih fungsi Lahan Tanaman Perkebunan.
3. Sebagai bahan acuan atau referensi untuk penelitian selanjutnya terutama yang berminat meneliti tentang Alih fungsi Lahan Tanaman Perkebunan Teh menjadi Perkebunan Kelapa Sawit khususnya dari segi sosial dan ekonomi.
(31)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Tanaman Teh
Tanaman teh termasuk genus Camellia yang memiliki sekitar 82 species, terutama tersebar di kawasan Asia Tenggara pada garis lintang 30° sebelah utara maupun selatan khatulistiwa. Selain tanaman teh (Camellia sinensis (L.) O. Kuntze) yang dikonsumsi sebagai minuman penyegar, genus Cammelia ini juga mencakup banyak jenis tanaman hias. Kebiasaan minum teh diduga berasal dari China yang kemudian berkembang ke Jepang dan juga Eropa.
Tanaman teh berasal dari wilayah perbatasan negara-negara China selatan (Yunan), Laos Barat Laut, Muangthai Utara, Burma Timur dan India Timur Laut, yang merupakan vegetasi hutan daerah peralihan tropis dan subtropis. Tanaman teh pertama kali masuk ke Indonesia tahun 1684, berupa biji teh dari jepang yang dibawa oleh seorang Jerman bernama Andreas Cleyer, dan ditanam sebagai tanaman hias di Jakarta. Pada tahun 1694, seorang pendeta bernama F. Valentijn melaporkan melihat perdu teh muda berasal dari China tumbuh di Taman Istana Gubernur Jendral Champhuys di Jakarta. Pada tahun 1826 tanaman teh berhasil ditanam melengkapi Kebun Raya Bogor, dan pada tahun 1827 di Kebun Percobaan Cisurupan, Garut, Jawa Barat.
Berhasilnya penanaman percobaan skala besar di Wanayasa (Purwakarta) dan di Raung (Banyuwangi) membuka jalan bagi Jacobus Isidorus Loudewijk Levian Jacobson, seorang ahli teh menaruh landasan bagi usaha perkebunan teh di Jawa. Teh
(32)
dari Jawa tercatat pertama kali diterima di Amsterdam tahun 1835. Teh jenis Assam mulai masuk ke Indonesia (Jawa) dari Sri Lanka (Ceylon) pada tahun 1877, dan ditanam oleh R.E. Kerkhoven di kebun Gambung, Jawa Barat.
Dengan masuknya teh Assam tersebut ke Indonesia, secara berangsur tanaman teh China diganti dengan teh Assam, dan sejak itu pula perkebunan teh di Indonesia berkembang semakin luas. Pada tahun 1910 mulai dibangun perkebunan teh di daerah Simalungun, Sumatera Utara (http://www.pn8.co.id).
2.2 Manfaat Teh bagi Kesehatan
Minum teh ternyata tak hanya menyegarkan. Para ahli terus melakukan penelitian tentang manfaat teh, khususnya terhadap kesehatan.
Teh hijau, misalnya diketahui memiliki antioksidan alami yang disebut polyphenol, yang dapat membantu menghalangi pertumbuhan sel kanker kulit. Selain itu, pengaruh antioksidan tersebut membantu liver berfungsi lebih efektif, sehingga teh hijau juga dapat membantu mempercepat tingkat metabalisme.
Manfaat lain yang terus diteliti adalah kaitannya dengan mencegah penyakit jantung. Seperti diketahui, pengaruh ontioksidan juga dapat membantu mencegah oksidasi kolesterol LDL dalam arteri sehingga membantu menurunkan kadar kolesterol LDL.
Bagi penderita diabetes, kandungan polyphenol juga bermanfat untuk membantu menurunkan tingkat gula darah. Seperti diketahui, tingginya glukosa dan insulin dalam darah memungkinkan orang terkena diabetes.
(33)
Bahkan teh hijau juga diduga memiliki manfaat terhadap kanker. Sebuah percobaan sekitar 20 tahun yang lalu membuka wacana tentang hal ini dan meski masih banyak perdebatan namun konsumsi teh hijau kerap diasosiasikan dengan pengurangan risiko berbagai penyakit kanker (http://www.depkes.go.id).
2.3 Sejarah Tanaman Kelapa Sawit
Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tahun 1848, saat itu ada 4 batang bibit kelapa sawit yang dibawa dari Mauritius dan Amsterdam lalu ditanam di kebun Raya Bogor.
Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial. Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet (orang Belgia). Budidaya yang dilakukannya diikuti oleh K.Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai berkembang. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 Ha.
Pada tahun 1919 mengekspor minyak sawit sebesar 576 ton dan pada tahun 1923 mengekspor minyak inti sawit sebesar 850 ton. Pada masa pendudukan Belanda, perkebunan kelapa sawit maju pesat sampai bisa menggeser dominasi ekspor Negara Afrika waktu itu. Memasuki masa pendudukan Jepang, perkembangan kelapa sawit mengalami kemunduran. Lahan perkebunan mengalami penyusutan sebesar 16% dari total luas lahan yang ada sehingga produksi minyak sawitpun di
(34)
Indonesia hanya mencapai 56.000 ton pada tahun 1948 / 1949, pada hal pada tahun 1940 Indonesia mengekspor 250.000 ton minyak sawit.
Pada tahun 1957, setelah Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia, pemerintah mengambil alih perkebunan (dengan alasan politik dan keamanan). Untuk mengamankan jalannya produksi, pemerintah meletakkan perwira militer di setiap jenjang manejemen perkebunan. Pemerintah juga membentuk BUMIL (Buruh Militer) yang merupakan kerja sama antara buruh perkebunan dan militer. Perubahan manejemen dalam perkebunan dan kondisi sosial politik serta keamanan dalam negeri yang tidak kondusif, menyebabkan produksi kelapa sawit menurun dan posisi Indonesia sebagai pemasok minyak sawit dunia terbesar tergeser oleh Malaysia.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, pembangunan perkebunan diarahkan dalam rangka menciptakan kesempatan keja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sektor penghasil devisa Negara. Pemerintah terus mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Sampai pada tahun 1980, luas lahan mencapai 294.560 Ha dengan produksi CPO (Crude Palm Oil) sebesar 721.172 ton. Sejak itu lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat terutama perkebunan rakyat. Hal ini didukung oleh kebijakan Pemerintah yang melaksanakan program Perusahaan. (http://id.wikipedia.org).
2.3.1 Keunggulan Kelapa Sawit
Kelapa sawit mempunyai produktivitas lebih tinggi dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya (seperti kacang kedele, kacang tanah dan lain-lain), sehingga harga produksi menjadi lebih ringan.
(35)
Masa produksi kelapa sawit yang cukup panjang (25 tahun) juga akan turut mempengaruhi ringannya biaya produksi yang dikeluarkan oleh pengusaha kelapa sawit. Kelapa sawit juga merupakan tanaman yang paling tahan hama dan penyakit dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Jika dilihat dari konsumsi per kapita minyak nabati dunia mencapai angka rata-rata 25 kg/tahun setiap orangnya, kebutuhan ini akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan meningkatnya konsumsi per kapita.
Supply sawit di dunia saat ini sangat terbatas, karena kelapa sawit hanya dapat dibudidayakan di daerah katuilistiwa dan diperkirakan hanya 2% dari belahan lahan di dunia. Daerah ideal bagi perkebunan kelapa sawit adalah Malaysia dan Indonesia, akibatnya, proses produksi kelapa sawit belum mencukupi konsumsi dunia. (http://www.depperin.go.id).
2.3.2 Peranan Kelapa Sawit Dalam Perekonomian Indonesia
Dalam perekonomian Indonesia, kelapa sawit (dalam hal ini minyaknya) mempunyai peran yang cukup strategis, karena :
1. Minyak sawit merupakan bahan baku utama minyak goreng, sehingga pasokan yang kontiniu ikut menjaga kestabilan harga dari minyak goreng tersebut. Ini penting sebab minyak goreng merupakan salah satu dari 9 bahan pokok kebutuhan masyarakat sehinga harganya harus terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
(36)
2. Sebagai salah satu komoditas pertanian andalan ekspor non migas, komoditi ini mempunyai prospek yang baik sebagai sumber dalam perolehan devisa maupun pajak.
3. Dalam proses produksi maupun pengolahan juga mampu menciptakan kesempatan kerja dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sampai pertengahan tahun 1970 an minyak kelapa merupakan pemasok utama dalam kebutuhan minyak nabati dalam negeri. Baik minyak goreng maupun industri pangan lainnya lebih banyak menggunakan minyak kelapa dari pada minyak sawit. Produksi kelapa yang cenderung menurun selam 20 tahun terakhir ini menyebabkan pasokannya tidak terjamin, sehingga timbul krisis minyak kelapa pada awal tahun 1970. Di sisi lain, produksi minyak kelapa sawit cenderung meningkat sehingga kedudukan minyak kelapa digantikan oleh kelapa sawit, terutama dalam industri minyak goreng. Dari segi perolehan devisa, selama beberapa tahun terkhir ini kondisinya kurang baik. Volume ekspor selama dekade terakhir ini memang selalu meningkat, akan tetapi peningkatannya tidak selalu diikuti oleh peningkatan dalam nilainya. Hal ini terjdi karena adanya fluktuasi harga di pasaran Internasional.
(http://www.depperin.go.id).
2.3.3 Perkembangan Industri Kelapa Sawit
Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak sawit dan inti sawit merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber penghasil devisa non migas bagi Indonesia. Cerahnya prospek komoditi minyak
(37)
kelapa sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa sawit. Berkembangnya subsektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak lepas dari adanya kebijakan pemerintah yang memberikan berbagai insentif, terutama kemudahan dalam hal perijinan dan bantuan subsidi investasi untuk pembangunan perkebunan rakyat dengan pola PIRBun dan dalam pembukaan wilayah baru untuk areal perkebunan besar swasta. (http://www.depperin.go.id).
2.3.4 Industri Minyak Kelapa Sawit
Produk minyak kelapa sawit sebagai bahan makanan mempunyai dua aspek kualitas. Aspek pertama berhubungan dengan kadar dan kualitas asam lemak, kelembaban dan kadar kotoran. Aspek kedua berhubungan dengan rasa, aroma dan kejernihan serta kemurnian produk. Kelapa sawit bermutu prima (SQ, Special
Quality) mengandung asam lemak (FFA, Free Fatty Acid) tidak lebih dari 2 % pada
saat pengapalan. Kualitas standar minyak kelapa sawit mengandung tidak lebih dari 5 % FFA. Setelah pengolahan, kelapa sawit bermutu akan menghasilkan rendemen minyak 22,1 % - 22,2 % (tertinggi) dan kadar asam lemak bebas 1,7 % - 2,1 % (terendah). (http://www.depperin.go.id).
2.3.5 Standar Mutu Minyak Kelapa Sawit
Mutu minyak kelapa sawit dapat dibedakan menjadi dua arti: pertama, benar-benar murni dan tidak bercampur dengan minyak nabati lain. Mutu minyak kelapa sawit tersebut dapat ditentukan dengan menilai sifat-sifat fisiknya,
(38)
yaitu dengan mengukur titik lebur angka penyabunan dan bilangan yodium. Kedua, pengertian mutu sawit berdasarkan ukuran. Dalam hal ini syarat mutu diukur berdasarkan spesifikasi standar mutu internasional yang meliputi kadar ALB, air, kotoran, logam besi, logam tembaga, peroksida, dan ukuran pemucatan. Kebutuhan mutu minyak kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan baku industri pangan dan non pangan masing-masing berbeda. Oleh karena itu keaslian, kemurnian, kesegaran, maupun aspek higienisnya harus lebih Diperhatikan. Rendahnya mutu minyak kelapa sawit sangat ditentukan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut dapat langsung dari sifat induk pohonnya, penanganan pascapanen, atau kesalahan selama pemprosesan dan pengangkutan. Dari beberapa faktor yang berkaitan dengan standar mutu minyak sawit tersebut, didapat hasil dari pengolahan kelapa sawit, seperti di bawah ini :
a) Crude Palm Oil b) Crude Palm Stearin c) RBD Palm Oil d) RBD Olein e) RBD Stearin f) Palm Kernel Oil
g) Palm Kernel Fatty Acid h) Palm Kernel
i) Palm Kernel Expeller (PKE) j) Palm Cooking Oil
(39)
k) Refined Palm Oil (RPO)
l) Refined Bleached Deodorised Olein (ROL) m) Refined Bleached Deodorised Stearin (RPS) n) Palm Kernel Pellet
o) Palm Kernel Shell Charcoal (http://www.depperin.go.id).
2.4 Harga
2.4.1 Pengertian harga
Harga merupakan salah satu bagian yang sangat penting dalam pemasaran suatu produk Dalam menjalankan suatu perusahaan, pimpinan perusahaan harus jeli untuk membuat kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berkaitan dengan jalannya kegiatan operasional perusahaan. Kesalahan dalam peengambilan keputusan dalam suatu perusahaan akan sangat berpengaruh terhadap perusahaan itu sendiri.
Mengenai istilah harga banyak sekali pendapat para ahli yang saling berbeda, diantaranya pengertian harga menurut :
1. Swastha. B dan Irawan (2000) : “Harga adalah jumlah uang ditambah (beberapa produk kalau mungkin) yang dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah kombinasi dari produk dan pelayanannya”.
2. Lamb, Hair, Mc. Daniel (2001) : “Harga merupakan sesuatu yang diserahkan dalam pertukaran untuk mendapatkan suatu barang maupun jasa”.
(40)
3. Kotler dan Amstrong (1997) : harga adalah jumlah uang yang ditagihkan untuk suatu produk atau jasa, jumlah nilai yang ditukarkan konsumen untuk mamfaat memiliki atau menggunakan produk atau jasa”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa harga adalah suatu jumlah uang yang oleh konsumen dijadikan alat untuk memperoleh produk yang dijual perusahaan dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. Harga juga menyatakan ukuran uang dalam jumlah tertentu yang dibayar oleh konsumen atau pelanggan dalam rangka mendapatkan produk tertentu yang mereka inginkan. Harga ditetapkan oleh suatu perusahaan setelah produk dihasilkan dan memiliki nilai untuk dijual kepada konsumen. Dengan adanya harga maka konsumen dapat memberikan sejumlah nilai dari uang agar mereka dapat memperoleh produk yang dihasilkan perusahaan untuk kemudian dikonsumsi oleh mereka.
2.4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Harga
Kebijakasanan harga tidak dapat didasarkan hanya oleh adanya faktor didalam perusahaan atau kebijaksanaan pimpinan semata, tetapi banyak dipengaruhi berbagai factor untuk menetapkan tingkat harga jual kepada pasar.
Faktor-faktor yang mempengaruhi harga antara lain seperti Kotler dan Amstrong (2000), menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi harga didasarkan pada faktor intern perusahaan dan faktor eksternal perusahaan. Adapun faktor-faktor diatas yaitu : 1. Faktor internal perusahaan :
(41)
a) Sasaran pemasaran b) Strategi bauran pemasaran c) Biaya
d) Pertimbangan organisasi 2. Faktor eksternal
a) Elastisitas permintaan b) Kondisi perekonomian c) Persaingan
d) Permintaan dan Penawaran e) Pengawasan pemerintah
Dengan melihat faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan harga jual maka dapat disimpulkan secara singkat mengenai situasi yang mempengaruhi harga jual. Situasi tersebut terdiri dari tiga (3) faktor yang merupakan ringkasan dari faktor-faktor yang mempengaruhi kebijaksanaan harga (Mas ud , 1998), yaitu :
1. Laba dan tujuan-tujuan lain
Faktor-faktor lain selain pasar dan biaya bisa dimasukkan dalam faktor ketiga ini. 2. Situasi pasar
Disini meliputi konsumen. sifat produk, sifat pasar dan sebagainya. 3. Biaya produksi dan operasi
Yaitu biaya yang dikeluarkan untuk membuat barang atau produk dan biaya produk bisa sampai ketangan konsumen.
(42)
2.4.3 Tujuan Penentuan Harga
Untuk memudahkan suatu perusahaan dalam memasarkan produk yang dihasilkan maka terlebih dahulu harus ditetapkan harga jual dari produk tersebut. Ada beberapa tujuan dilakukannya penetapan harga jual terhadap suatu produk.
Hal ini seperti dikemukan oleh lamb, Hair, Mc. Daniel (2001) menyatakan tujuan-tujuan dari penetapan harga jual terhadap suatu produk :
1. Penetapan harga mark-up
Menurut Basu Swasta dan Irawan (2000) mendefenisikan penetapan harga mark-up sebagai berikut :
“ Mark-Up merupakan jumlah rupiah yang ditambahkan pada biaya dari suatu produk untuk menghasilkan harga jual”.
Keuntungan terbesar dari harga mark-up ini adalah kesederhanaannya. Kelemahan utamanya adalah mengakibatkan permintaan dan mungkin menghasilkan harga barang dagangan yang terlalu tinggi atau terlalu rendah.
2. Profit Maximization
Metode profit maximization ini dilakukan ketika pendapatan marjinal sama dengan biaya marjinal. Lamb, Hair, Mc. Daniel (2001) mendefenisikan pendapatan marjinal yaitu:
“Pendapatan ekstra yang berhubungan dengan penjualan suatu unit ekstra dari out
(43)
3. Penetapan harga titik impas
Perusahaan akan berusaha menetapkan harga yang mencapai titik impas menghasilkan laba sasaran yang dicarinya. Metode penetapan ini biasanya digunakan oleh penggelola sarana umum, yang tidak boleh melakukan pengembalian yang wajar atas investasi mereka.
Mc Carthy dan Perreault (1995) menjelaskan tujuan penetapan harga dalam gambar berikut :
Berorientasi laba Target laba
Memaksimumkan laba
Pertumbuhan penjualan
Pertumbuhan pangsa pasar
Menghadapi persaingan Berorientasi
penjualan
Status Quo
Persaingan bukan harga
Tujuan Penjualan
Target laba
Gambar 2.1. Tujuan Penetapan Harga
(44)
Berdasarkan kutipan diatas maka dapat dikemukan bahwa ada tiga tujuan penetapan haga jual yaitu :
1. Tujuan berorientasi laba 2. Tujuan berorientasi penjualan 3. Tujuan penetapan harga status quo
2.5 Produktivitas
Produktivitas merupakan rasio dari output yang diproduksi per unit sumberdaya (input) yang digunakan. Tingkat produktivitas berarti sejumlah output dari sumberdaya yang digunakan, dengan pilihan sejumah tenaga kerja, material dan beberapa kombinasi sumberdaya yang mungkin. Produktivitas mengukur kemungkinan variasi yang menyangkut kedua aspek baik output maupun input yang digunakan, sehingga dimungkinkan adanya produktivitas tenaga kerja, produktivitas kapital dan lain-lain (Sudarsono, 1995).
Menurut Nicholson (1994), produktivitas dinyatakan sebagai sebuah ukuran efisiensi, yakni konsep teknis yang mengacu pada perbandingan output terhadap input. Semakin besar nilai perbandingan tersebut menunjukkan semakin tingginya tingkat produktivitas, misalnya produktivitas lahan. Produktivitas mengacu pada kemampuan satu unit input untuk menghasilkan tingkat output tertentu pada periode waktu tertentu.
(45)
2.6 Landasan Teori dan Konsep Ekonomi 2.6.1 Teori Permintaan
Menurut Pappas dan Hirschey (1995) “Permintaan adalah sejumlah barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen selama periode tertentu berdasarkan situasi dan kondisi tertentu” sedangkan permintaan terhadap suatu produk merupakan faktor penting pertama didalam menentukan profitabilitas usaha. Seefisien apapun manajemen dalam sebuah perusahaan serta seterampil apapun pengelola perusahaan tersebut, tidak akan memperoleh keuntungan kecuali produk yang dihasilkannya memiliki permintaan yang baik (pangsa pasar).
Menurut Pappas dan Hirschey (1995) terdapat dua model dasar untuk permintaan yaitu permintaan langsung dikenal sebagai teori perilaku konsumen terkait dengan permintaan langsung untuk produk barang dan jasa sebagai konsumsi pribadi. Kemudian permintaan turunan yaitu permintaan atas bahan baku sebagai input didalam pembuatan barang dan jasa diminta atau distribusi dari produk lainnya. Sedangkan fungsi permintaan adalah hubungan diantara jumlah barang diminta (Q) dan variabel yang mempengaruhinya dimana kurva permintaan adalah hubungan yang menunjukkan diantara jumlah barang dan harga barang diminta hal ini dapat dijelaskan dalam model matematis dibawah ini :
Qx = f (Px) ………. (1) atau... Qx = a – Px …….. (2)
Jikalau diberikan asumsi variabel lain dianggap tetap (ceteris paribus) maka permintaan terhadap suatu barang hanya dipengaruhi oleh harga barang tersebut.
(46)
Variabel-variabel yang berpengaruh terhadap permintaan suatu barang, adalah :
1. Harga barang yang diminta (the price of goods. X = Px). Permintaan merupakan fungsi dari harga suatu barang ditawarkan. Dimana jika harga dari barang tersebut naik, maka permintaan terhadap barang tersebut menjadi turun.
2. Harga barang lain ( the price of related goods or services = Pr ). Dengan kondisi di syaratkan :
a. Hubungan barang substitusi, yaitu pengaruh harga substitusi terhadap barang tersebut. Dimana jika terjadi kenaikan harga barang pokok maka permintaan terhadap barang substitusi akan naik, hal ini disebabkan
harga barang substitusi lebih mahal dari barang pokok.
b Hubungan barang komplementer. Apabila harga barang komplementer turun maka jumlah permintaan terhadap barang komplementer akan naik sehingga berakibat permintaan terhadap barang pokok juga naik.
3. Faktor lain, yang terkait dengan permintaan terhadap suatu barang antara lain, kebijakan Pemerintah, iklim / cuaca, tingkat pendapatan, selera dan lainnya. Dari faktor diatas maka permintaan atas suatu barang dan jasa oleh Pappas dan
Hirschey (1995) dirumuskan dengan model permintaan linier sebagai berikut : Qdx = F ( Px - Pr + O) ………. ( 3 ) dimana notasinya adalah,
Qdx = kuantitas permintaan atas suatu barang. Pr = harga barang produk turunan.
(47)
Px = harga barang tersebut.
O = faktor spesifik lainnya.
Selanjutnya dapat diberikan penjelasan bahwa permintaan terhadap suatu barang sangat dipengaruhi oleh banyak variabel. Masing-masing variabel akan memberi pengaruh yang berbeda-beda terhadap permintaan suatu barang atau jasa. Variabel harga produk turunan memiliki pengaruh negatip terhadap permintaan konsumen sedang harga barang lainnya (substitusi) memberi pengaruh yang positip.
2.6.2 Fungsi Permintaan Pasar
Arsyad (2000) menyampaikan tentang, fungsi permintaan pasar atas suatu produk, yaitu hubungan yang menjelaskan diantara jumlah produk yang diminta dengan semua faktor-faktor yang dapat mempengaruhi permintaan tersebut, atau hubungan dari berbagai variabel penentu atas permintaan itu. Arsyad (2000), kemudian memisah variabel tertentu menjadi berbagai jenis atas sifat variabel yaitu :
Variabel strategis : Harga dari barang bersangkutan.
Variabel pesaing : Harga barang substitusi, harga barang komplementer
dan saluran distribusi serta iklan.
Variabel konsumen : Selera konsumen, tingkat pendapatan, harapan
konsumen, kualitas serta rancang bangun barang.
Variabel pelengkap : Kebijakan pemerintah, jumlah penduduk dan cuaca. Secara keseluruhan variabel-variabel tersebut dapat menjelaskan perubahan
(48)
jumlah permintaan atas suatu barang dipasar sehingga atas komponen tersebut dapat dibentuk menjadi fungsi permintaan linear yaitu sebagai berikut :
Qx = a + Px + Py + dm + ...… dimana, Qx = jumlah atas barang x yang diminta.
Px = harga barang x sendiri. Py = harga barang lain. dm = tingkat pendapatan.
a = konstanta
= error term.
Sedangkan kurva permintaan akan suatu produk biasanya dilukiskan dengan menggunakan sebuah grafik dan semua variabel independent didalam fungsi permintaan tersebut (kecuali harga produk tersebut) dianggap tetap sehingga kurva permintaan berbentuk lekuk negatip dari kiri atas menuju kanan bawah, sedangkan perubahan atas jumlah permintaan akibat perubahan harga (kombinasi permintaan) dinotasikan kedalam titik-titik yang kemudian membentuk garis permintaan.
Arsyad (2000) menjelaskan perihal elastisitas permintaan yaitu menunjukkan tanggapan dari variabel tidak bebas (jumlah barang yang diminta) oleh karena adanya perubahan pada variabel bebas tertentu (variabel strategis, variabel pesaing, variabel konsumen dan variabel lainnya). Besarnya koefisien elastisitas ditunjukkan dari prosentase perubahan jumlah permintaan suatu barang dibagikan prosentase perubahan harga suatu barang maka terlihat elastisitas permintaannya. Dimana nilai
(49)
koefisien elastisitas dari variabel harga dapat menjelaskan jenis elatisitas barang tersebut, apakah barang elastis, unitary elastis atau in elastis didefinisikan :
1. Elastis (Ed > 1) yaitu sedikit saja turunnya harga telah menyebabkan banyak peningkatan permintaan dan sebaliknya (kurva landai).
2. Unitary elastis (Ed = 1). Dimana perubahan harga memberi pengaruh yang sebanding kepada jumlah permintaan (kurva normal ).
3. In elastis (Ed < 1) yaitu , jikalau banyak terjadi penurunan harga, tetapi permintaan hanya terpengaruh naik sedikit saja dan sebaliknya (kurva curam).
Kemudian elastisitas pendapatan maksudnya adalah prosentase perubahan dalam jumlah barang yang diminta dibagi dengan prosentase perubahan dalam penghasilan. Maka dengan mengetahui besarnya koefisien elasitisitas dari pendapatan telah dapat dikelompokan atas jenis barang tersebut apakah barang inferior, barang pokok atau barang mewah. Dimana didefinisikan sebagai berikut:
1. Barang inferior (Ey < 0) bermakna jika pendapatan naik mengakibatkan jumlah barang yang diminta akan turun dan berlaku sebaliknya.
2. Barang pokok (0 < Ey < 1) berarti jika penghasilan meningkat menyebabkan jumlah barang yang diminta naik dalam prosentase yang kecil.
3. Barang mewah (1 < Ey) berarti jika penghasilan meningkat menyebabkan jumlah barang yang diminta naik dalam prosentase yang besar.
(50)
2.7 Tenaga kerja
Tenaga kerja merupakan resources, tepatnya human resources atau sumber daya manusia yang berperan dalam kegiatan pembangunan masyarakat. Peranan tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi sangat besar terhadap perkembangan ekonomi, demikian pula pada sektor industri yang banyak berorientasi kepada sektor padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja.
Suryana (2000) penduduk dapat berperan sebagai sumber tenaga kerja, tenaga ahli, pimpinan perusahaan, dan tenaga usahawan yang diperlukan untuk memimpin dan menciptakan kegiatan pembangunan ekonomi. Dengan demikian penduduk bukan merupakan salah satu faktor produksi saja, tetapi juga yang paling penting merupakan sumber daya yang menciptakan dan mengembangkan teknologi serta yang mengorganisir penggunaan berbagai faktor produksi.
Selanjutnya Simanjuntak (1998) menyatakan tenaga kerja dan bukan tenaga kerja dibedakan hanya oleh batas umur. Tiap-tiap negara memberikan batasan umur berbeda. Misalnya, India menggunakan batasan umur 14 sampai 60 tahun. Jadi tenaga kerja adalah penduduk yang berumur antara 14 sampai 60 tahun. Sedangkan orang yang berumur dibawah 14 tahun atau diatas 60 tahun digolongkan sebagai bukan tenaga kerja.
Sukirno (2000), bahwa golongan penduduk yang tergolong sebagai angkatan kerja adalah penduduk yang berumur di antara 15-64 tahun, kecuali : (i) ibu rumah
(51)
tangga yang lebih suka menjaga keluarganya daripada bekerja, (ii) penduduk muda dalam lingkungan umur tersebut yang masih meneruskan pelajarannya di sekolah atau universitas, (iii) orang yang belum mencapai umur 65 tetapi sudah pensiun dan tidak mau bekerja lagi, (iv) pengangguran sukarela-yaitu golongan penduduk dalam lingkungan umur tersebut yang tidak secara aktif mencari pekerjaan.
Pengertian tenaga kerja dalam (www.nakertrans.go.id) adalah: Setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (UU Pokok Ketenagakerjaan No, 14 Tahun 1969). Dalam hubungan ini maka pembinaan tenaga kerja merupakan peningkatan kemampuan efektivitas tenaga kerja untuk melakukan pekerjaan.
BPS (2001) membagi tenaga kerja (employed) atas 3 (tiga) macam, yaitu: a) Tenaga kerja penuh (full employed), adalah tenaga kerja yang mempunyai jumlah
jam kerja ≥ 35 jam dalam seminggu dengan hasil kerja tertentu sesuai dengan uraian tugas.
b) Tenaga kerja tidak penuh atau setengah pengangguran (under employed), adalah tenaga kerja dengan jam kerja < 35 jam dalam seminggu.
c) Tenaga kerja yang belum bekerja atau sementara tidak bekerja (unemployed), adalah tenaga kerja dengan jam kerja ≤ 1 jam per minggu.
(52)
2.8 Konversi Tanaman
Pengertian konversi secara umum berarti adanya perubahan, pengubahan, penukaran penggunaan lahan. Wahyunto et al, (2001) perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Para ahli berpendapat bahwa perubahan penggunaan lahan lebih disebabkan oleh adanya kebutuhan dan keinginan manusia. Menurut Mc Neill et al., (1998) faktor-faktor yang mendorong perubahan penggunaan lahan adalah politik, ekonomi, demografi dan budaya. Selanjutnya pertumbuhan ekonomi, perubahan pendapatan dan konsumsi juga merupakan faktor penyebab perubahan penggunaan lahan. Sebagai contoh, meningkatnya kebutuhan akan ruang tempat hidup, transportasi dan tempat rekreasi akan mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan. Teknologi juga berperan dalam menggeser fungsi lahan.
Perkembangan suatu wilayah akan sangat terkait dengan perubahan yang terjadi pada komponen utama dari suatu wilayah. Perubahan salah satu komponen dari wilayah akan mempengaruhi komponen lainnya, dan perubahan itu dapat menunjukkan adanya suatu proses pertumbuhan, stagnasi atau kemunduran wilayah. Pemahaman terhadap perubahan di suatu wilayah akan berarti sama halnya dengan
(53)
pemahaman mengenai faktor yang mempengaruhi perubahan suatu wilayah sebagai suatu proses yang melibatkan suatu interaksi yang kompleks antara aktivitas-aktivitas yang ada di suatu wilayah (Winoto, 1996). Hal lain yang perlu dilihat dalam menilai perubahan suatu wilayah adalah transformasi struktural yang terjadi di wilayah tersebut, baik yang berkaitan dengan transformasi ekonomi, ketenagakerjaan, demografi, sosial dan budaya masyarakat (Winoto, 1996).
Ketersediaan lahan secara total bersifat tetap di suatu wilayah, sedangkan permintaan terus bertambah dengan cepat terutama di sekitar kawasan perkotaan. Hal ini didorong oleh pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan, kegiatan ekonomi dan migrasi dari wilayah lain maupun wilayah hitterland kota di wilayah yang bersangkutan (urbanisasi) (Nasoetion dan Wagner, 1985).
Pada era tahun 80-an komoditi teh adalah andalan atau primadona PTPN VIII yang kini dilebur menjadi PTPN IV (Persero) Medan bersama PTPN VI dan PTPN VII, tapi sekarang tidak demikian lagi. Ini karena harga teh dipasaran internasional terus menerus menurun dan tidak dapat diandalkan lagi untuk meningkatkan pendapatan perusahaan. Sebelum Perang Teluk meletus beberapa tahun lalu, pasar teh PTPN VIII (PTPN IV) paling besar adalah Irak. Teh yang diproduksi adalah teh hitam dengan pasar terbesar Irak. Karena embargo ekonomi dari Amerika Serikat (AS) volume ekspor teh hitam ke Irak di batasi dan kalah bersaing dengan pruduk sejenis dari Sri Langka. Apalagi setelah Irak diekspansi AS, maka pasar teh hitam ke
(54)
negara itu semakin suram. Akibatnya komoditi teh ini tidak memberi profit lagi bagi perusahaan, maka pemerintah meleburnya menjadi PTPN IV pada tahun 1996. Begitu juga kakao yang dikelola PTPN VI Pabatu dulu tidak menguntungkan lagi. Harganya dari tahun ke tahun terus menerus menurun dan tidak ekonomis lagi untuk diusahai, apalagi untuk sebuah perusahaan besar seperti PTPN. Melihat hal ini, pimpinan PTPN IV sejak 2003 lalu mengkonversi tanaman ini menjadi lahan sawit (Suara Karya, 2005).
Desakan peningkatan kebutuhan akan lahan tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan karena di satu sisi kondisi kegiatan usaha yang tengah mengalami kelesuan karena berbagai penyebab, di sisi lain persoalan ekonomi yang terus menekan perusahaan untuk kepentingan intern. Salah satu lahan perkebunan yang mendapatkan tekanan terhadap konversi tanaman adalah lahan perkebunan teh.
2.9 Penelitian Sebelumnya
Beberapa penelitian sejenis yang telah dilakukan oleh peneliti lain dan dianggap dapat mendukung dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Afifuddin (1989) didalam penelitian yang berjudul “Kajian Ekonometrika Industri Minyak Kelapa Sawit Indonesia“. Dengan menggunakan model estimasi permintaan linear kepada produksi CPO, melihat bahwa ada beberapa faktor yang
(55)
memberikan pengaruh atas penawaran dalam produksi minyak kelapa sawit diantaranya luas kawasan produktif, upah pekerja, teknologi dan pupuk sedangkan dari sisi lain, ada beberapa variabel yang memberikan pengaruh terhadap permintaan atau konsumsi minyak kelapa sawit diantaranya variabel harga minyak kelapa sawit dipasar lokal, pendapatan perkapita, harga barang turunan minyak sawit dipasar lokal seperti sabun. Input utama yang memberikan pengaruh signifikan terhadap perluasan lahan produktif kelapa sawit adalah, nilai investasi, dan tingkat upah buruh serta tingkat teknologi yang digunakan memperoleh hasil bahwa harga barang produk turunan (harga sabun) memberi kesan positif kepada permintaan CPO akhirnya hal tersebut berdampak kepada perluasan lahan produktif sawit.
Larson (1996) dalam penelitiannya yang berjudul “Sub Sektor Minyak Sawit Indonesia”. Dengan menggunakan model analisis quantitative untuk mengujinya menemukan beberapa hal dalam perkebunan kelapa sawit di Indonesia, yaitu, dalam 20 tahun terakhir perkebunan sawit di Indonesia telah berkembang dengan sangat cepat dimana dominasi hasil produksi dari perkebunan milik pemerintah telah beralih dikuasai oleh perkebunan swasta hal ini tidak terlepas dari struktur permodalan yang mendukung investasi dibidang agribisnis akhirnya menciptakan pertumbuhan hasil produksi pertanian yang dramastis. Perkembangan lainnya yang justru mencemaskan, adalah pajak ekspor CPO. Dimana akibat dari kebijakan Pemerintah yang memasukan minyak goreng sebagai produk turunan CPO pada daftar kategori barang konsumsi
(56)
dilindungi pemerintah dalam hal ini adalah BULOG. Sehingga mekanisme pajak ekspor merupakan dalih untuk menjaga stok persediaan minyak goreng dalam negeri. Padahal minyak goreng sawit yang diproteksi oleh pemerintah hanya digunakan oleh 20% rumah tangga dalam kategori menengah keatas sementara jumlah mayoritas rumah tangga miskin umumnya tidak menggunakan minyak goreng CPO tetapi minyak goreng kelapa sebab adanya perbedaan harga dan tingkat pendapatan. Dipasar lokal harga barang substitusi dari CPO yaitu harga minyak kelapa memberi kesan positip, selain itu hasil dari pajak ekspor CPO diperoleh sebesar US$ 99 juta pertahun telah menimbulkan masalah lain yaitu, kepemilikan perkebunan swasta umumnya adalah modal investasi pengusaha dari Jakarta yang mana keuntungan hasil produksi akan kembali seluruhnya ke Jakarta berikut seluruh nilai pajak ekspor sehingga masalahnya disini telah mengecilkan arti dari masyarakat perkebunan sawit didaerah. Struktur pajak ekspor juga telah membebani biaya produksi CPO dari Indonesia sehingga akan membebaninya dalam bersaing dipasar internasional.
Purba (2001) meneliti mengenai “Model Ekonometrika Kelapa Sawit Indonesia. Analisis Simulasi Kebijakan Internal dan Eksternal”. Dengan menggunakan berbagai model estimasi linear terhadap permintaaan dan penawaran, mendapatkan fakta-fakta yaitu : pengembangan areal sawit rakyat dan swasta di Sumatera bagian Utara cenderung mendekati batas jenuh. peubah harga tidak lagi berdampak positip terhadap perluasan areal kebun sawit. Selanjutnya harga pasar
(57)
CPO dunia dan harga pasar CPO domestik berdampak positip terhadap produktivitas perkebunan rakyat, sedangkan perkebunan besar swasta dan perkebunan negara lebih responsif terhadap perubahan harga CPO dunia. Hal tersebut menunjukkan adanya orentasi ekspor pada perkebunan besar swasta dan perkebunan negara, dimana peningkatan produksi CPO Indonesia memberi pengaruh positip terhadap peningkatan volume ekspor CPO Indonesia. Fakta lainnya didalam mekanisme pasar regional untuk pengamanan kebutuhan CPO domestik, dimana kenaikan produksi akan diikuti pula oleh kenaikan harga pasar domestik dan ini sekaligus menahan laju ekspor. Ekspor CPO Indonesia dipengaruhi oleh harga CPO dunia serta nilai tukar kurs sementara peningkatan permintaan CPO dunia tidak diresponsif oleh ekspor CPO Indonesia. Tetapi harga CPO dunia lebih responsif terhadap perubahan ekspor CPO dari Malaysia. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan Malaysia sebagai produsen adalah sangat penting. Selanjutnya meskipun berpengaruh tidak besar terlihat ekspor CPO Indonesia masih mampu memberikan pengaruhnya terhadap harga CPO dunia.
Kebijakan peningkatan suku bunga 5 % akan menyebabkan turunnya minat investasi pengembangan areal baru kelapa sawit. Namun demikian kebijakan tersebut tidak berdampak negatif terhadap produktivitas atau produksi yang telah ada sehingga kebijakan peningkatan suku bunga sebesar 5 % masih memberi dampak positip terhadap surplus produsen domestik dan penerimaan domestik, namun berdampak
(58)
negatif terhadap penerimaan devisa negara. Sehingga kebijakan penurunan tingkat suku bunga perlu direalisasikan untuk meningkatkan aktivitas produksi dan investasi baru. Jika hal tersebut ditambah lagi dengan kebijakan peningkatan upah 20 %, maka dampaknya adalah pengurangan surplus produsen domestik sebesar Rp 33,7 trilyun dan penerimaan domestik sebesar Rp 18,8 trilyun namun kebijakan ini menambah penerimaan devisa sebesar US $ 549.620.67.
Kebijakan devaluasi 15 % nilai tukar akan meningkatkan surplus devisa negara yang sangat besar sebaliknya surplus produsen domestik dan penerimaan domestik, adalah negatif. Penurunan produksi CPO Malaysia sebenarnya sangat menguntungkan posisi Indonesia, dan ini memungkinkan untuk menghasilkan surplus devisa negara yang sangat besar.
Kebijakan devaluasi sangat menguntungkan perolehan devisa negara namun merugikan kepentingan domestik. Oleh sebab itu kebijakan pengaturan nilai tukar valuta asing lebih baik diserahkan pada mekanisme pasar.
Purba (2001) menyimpulkan Indonesia memiliki tingkat pertumbuhan areal produksi maupun kapasitas ekspor yang jauh lebih tinggi dibandingkan Malaysia dimana selanjutnya beberapa tahun kedepan Indonesia akan mampu untuk mengungguli Malaysia sebagai produsen minyak sawit (CPO) utama dunia.
Afifuddin (2002) melanjutkan penelitiannya terdahulu dengan judul “Pengaruh Faktor Permintaan Dalam Negeri dan Luar Negeri Minyak Kelapa Sawit
(59)
Terhadap Luas Lahan Kelapa Sawit di Sumatera Utara” dengan memakai model penelitian koeffisien regresi dari jalur signifikan, mendapatkan fakta-fakta baru didalam hasil penelitian diantaranya, produksi minyak goreng sawit didalam negeri berpengaruh positip terhadap permintaan dalam negeri. Hal ini menunjukkan adanya sinyal pasar dalam negeri terhadap minyak sawit, yakni industri minyak goreng yang berarti pula membawa kecerahan bagi industri minyak sawit dimasa mendatang.
Harga ekspor minyak sawit melalui variabel antara berpengaruh negatip terhadap luas lahan kelapa sawit, harga ekspor minyak kelapa sawit memberi pengaruh kuat melalui variabel antara daripada secara langsung terhadap luas lahan. Harga ekspor tidak langsung dirasakan oleh petani / pekebun sebab hanya sebahagian kecil dari mereka yang memiliki izin ekspor.
Produksi minyak goreng sawit dalam negeri secara langsung berpengaruh positip dan signifikan kepada penambahan luas lahan kelapa sawit. Kuota ekspor minyak sawit secara langsung berpengaruh terhadap perluasan lahan kelapa sawit. Dalam hal mana, pelaksanaan kuota ekspor akan menstimulasi penawaran minyak sawit didalam negeri yang meningkat kemudian, hal ini akan berpengaruh langsung kepada penurunan tingkat harga dipasar yang akhirnya menyebabkan pertambahan permintaan pasar dalam negeri dan mempengaruhi terhadap perluasan lahan sawit
Kuota ekspor minyak sawit berpengaruh langsung positip dan signifikan atas permintaan dalam negeri minyak sawit. Kebijakan kuota ekspor menjamin
(60)
tersedianya minyak sawit didalam negeri, sekaligus menjaga kestabilan harga produk turunan minyak sawit didalam negeri.
Harga ekspor minyak sawit akan memberi pengaruh negatif dan signifikan terhadap permintaan luar negeri minyak sawit. Selain itu harga ekspor minyak sawit juga memberikan respon terhadap harga pasar internasional. Tetapi kualitas minyak dihasilkan yang bertaraf rendah serta strategi pemasaran yang belum solid juga akan memberikan pengaruh negatip pada tingkat harga minyak sawit pasar internasional.
Kurs atau nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika mempunyai pengaruh positip dan signifikan terhadap permintaan pasar luar negeri minyak sawit. Dimana perubahan dalam tingkat harga, kurs akan memberi pengaruh tingkat permintaan minyak sawit dari luar negeri terutama sekali kepada eksportir minyak sawit. Dimana setiap perubahan nilai kurs yang berfluktuasi akan memberi pengaruh kepada volume ekspor minyak sawit. Harga minyak kacang kedelai dunia dimana minyak kedelai adalah pesaing utama dari minyak sawit mempunyai pengaruh positip dan signifikan terhadap permintaan luar negeri minyak sawit.
Minyak kelapa sawit merupakan komoditi ekspor perubahan pada nilai kurs Rupiah memberikan pengaruh sensitif terhadap luas lahan dan ini adalah satu-satunya faktor yang memiliki pengaruh dua jalur dominan terhadap perluasan lahan kelapa sawit. Namun demikian permintaan dari dalam negeri untuk minyak sawit tidak berpengaruh dominan terhadap perluasan lahan kelapa sawit dimana produsen
(61)
minyak sawit cenderung untuk menjual hasil produksinya kepasar internasional dengan target dan alasan tersendiri sehingga pasar internasional juga memberikan kontribusi terhadap perluasan lahan sawit.
Permintaan dalam negeri minyak sawit tidak berpengaruh secara dominan terhadap luas lahan kelapa sawit, oleh sebab kebijakan diberlakukan Pemerintah, dan hal ini berbeda dengan permintaan luar negeri minyak sawit yang memiliki pengaruh dominan dan berpengaruh terhadap perluasan lahan kelapa sawit.
Arisman (2002) Didalam penelitiannya yang berjudul “ Analisis Kebijakan Daya Saing CPO Indonesia”. Dimana Arisman (2002) memakai model Cost and
Benefit Analysis dan memperoleh hasil dari penelitiannya sebagai berikut : komoditi
minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia memiliki daya saing positip. Namun daya saing tersebut berupa murahnya biaya produksi dibandingkan dengan negara produsen CPO lainnya. Hal ini disebabkan rendahnya upah buruh di Indonesia dan kebijakan subsidi pupuk oleh Pemerintah, serta Endowment factor yang dimiliki oleh Indonesia. Nilai RCA (Revealed Comperative Advantage) yang diperoleh merupakan bukti gambaran dari kinerja ekspor dari suatu komoditi. Komoditi dengan nilai RCA lebih dari satu tersebut dapat dikatakan memiliki keunggulan komparatif sehingga disarankan untuk terus dikembangkan dengan melakukan spesialisasi pada komoditi tersebut dalam hal ini adalah CPO.
(62)
2.10 Kerangka Pikir
Faktor-faktor yang mempengaruhi di dalam alih fungsi Lahan Tanaman perkebunan teh menjadi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Simalungun mencakup : Harga Teh, harga TBS dan Jumlah Tenaga kerja meningkat atau menurun sebelum dan sesudah konversi. Alur pikir penelitian dapat digambarkan pada kerangka konsep penelitian sebagai berikut :
Harga Teh
Harga TBS
Jumlah Tenaga Kerja
Alih Fungsi Lahan Tanaman Perkebunan Teh menjadi Kelapa Sawit
1. Tenaga Kerja Perkebunan Teh 2. Produktivitas Teh
Gambar 2.2 Kerangka Pikir Penelitian
2.11 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan pada model penelitian yang dapat disebut sebagai model hipotesis maka, peneliti mengusulkan hipotesis kerja sebagai berikut :
1. Terdapat pengaruh negatif variabel harga teh terhadap alih fungsi (konversi) tanaman Perkebunan Teh menjadi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun, ceteris paribus.
(63)
2. Terdapat pengaruh positif variabel harga TBS terhadap alih fungsi (konversi) tanaman Perkebunan Teh menjadi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun, ceteris paribus.
3. Terdapat pengaruh negatif variabel jumlah tenaga kerja terhadap alih fungsi (konversi) tanaman Perkebunan Teh menjadi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun, ceteris paribus.
(64)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan di PTPN IV Kabupaten Simalungun. Dipilihnya PTPN IV Kabupaten Simalungun sebagai sasaran penelitian dengan alasan PTPN IV ini merupakan salah satu perkebunan Teh yang telah melaksanakan konversi Alih Fungsi Lahan Tanaman Teh menjadi Tanaman Kelapa Sawit di Propinsi Sumatera Utara.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer, diperoleh dengan wawancara langsung dan data sekunder diperoleh dari kantor PTPN IV Kabupaten Simalungun, BPS Propinsi Sumatera Utara dan Instansi terkait. Data sekunder yang diambil adalah data runtut waktu (time series) kurun waktu 6 tahun atau diambil secara bulanan sehingga diperoleh data selama 72 bulan.
3.3 Metode Analisa Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode
Ordinary Least Square (OLS). Hal ini digunakan untuk melihat pengaruh variabel
(65)
Analisis untuk mengukur faktor yang mempengaruhi alih fungsi (konversi) Lahan Tanaman Perkebunan Teh menjadi Kelapa Sawit PTPN IV Divisi Bah Birong Ulu dan Marjandi di Kabupaten Simalungun menggunakan persamaan :
Lt = βo + β1 HTeht + β2 HTBSt + β3 JTkt +
Selanjutnya persamaan ditransformasi kedalam bentuk logaritma sehingga model menjadi :
LogLt = 0 + 1Log HTeht + 2Log HTBSt + 3Log JTkt +
Dimana :
Lt = Luas lahan alih fungsi tanaman (Ha/bln)
HTeht = Harga Teh (Rp/kg/bln)
HTBSt = Harga TBS (Rp/kg/bln).
JTkt = Jumlah tenaga kerja (Hok/Ha/bln).
= Error term
βo = Intercept
β1-β3 = Koefisien Regresi
3.4 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik
Ada beberapa permasalahan yang bisa terjadi dalam model regresi linier, yang secara statistik permasalahan tersebut dapat mengganggu model yang telah dilakukan, bahkan dapat menyesatkan kesimpulan yang diambil dari persamaan yang terbentuk. Untuk itu maka perlu dilakukan uji penyimpangan asumsi klasik, yang terdiri dari:
(66)
a. Uji Multikolinieritas
Interprestasi persamaan regresi linier secara implisit bergantung pada asumsi bahwa variabel-variabel bebas dalam persamaan tersebut tidak saling berkorelasi. Jika dalam sebuah persamaan terdapat multikolinieritas akan menimbulkan beberapa akibat, untuk itu perlu pendeteksian multikolinieritas dengan besaran-besaran regresi yang di dapat, yakni :
1. Variasi besar (dari taksiran OLS)
2. Interval kepercayaan lebar (karena variasi besar maka standar error besar sehingga interval kepercayaan lebar).
3. Uji t (t-rasio) tidak signifikan, suatu variabel bebas yang signifikan baik secara substansi maupun secara statistik jika dibuat regresi sederhana, bisa tidak signifikan karena variasi besar akibat kolinieritas. Bila standar error terlalu besar maka besar pula kemungkinan taksiran koefesien regresi (a1 – a4) tidak signifikan.
4. R2 tinggi tetapi tidak banyak variabel yang signifikan dari Uji t
5. Terkadang nilai taksiran koefesien yang didapat akan mempunyai nilai yang tidak sesuai dengan substansi, sehingga dapat menyesatkan interprestasi
Dengan menggunakan program SPSS versi 15,0, ada atau tidaknya gejala multikolinearitas dapat diketahui dengan beberapa cara berdasarkan output yang dihasilkan nilai tolerance adalah besarnya tingkat kesalahan yang dibenarkan secara statistik. Besaran nilai VIF (variance inflaton factor) adalah :
(67)
1. Mempunyai nilai VIF disekitar angka 1
2. Mempunyai angka Tolerance mendekati 1 (tolerance= 1/VIF) atau VIF= 1/Tolerance
b. Uji Heterokedasitas
Uji Heterokedasitas apakah ditemukan ketidaksamaan varians dari residual dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain.
c. Uji Normalitas
Uji Normalitas apakah variabel dependent, variabel independent atau keduanya berdistribusi normal atau tidak.
d. Uji Autokorelasi
Persamaan regresi yang baik adalah yang tidak memiliki masalah autokorelasi, jika terjadi autokorelasi maka persamaan tersebut menjadi tidak baik/tidak layak dipakai prediksi. Masalah autokorelasi timbul jika ada korelasi secara linier antara kesalahan pengganggu periode t (berada) dengan kesalahan pengganggu periode t-1 (sebelumnya). Salah satu ukuran dalam menentukan ada tidaknya gejala autokorelasi pada persamaan regresi adalah dengan melihat hasil pengujian Durbin-Watson (D-W Test).
(1)
Lampiran 6 (Lanjutan)
NPar Tests
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
72
72
72
72
3.6286
9.0114
6.5211
4.0667
.5025
.2175
.4267
.2635
.129
.104
.113
.114
.076
.104
.080
.114
-.129
-.077
-.113
-.068
1.091
.884
.958
.971
.185
.415
.317
.302
N
Mean
Std. Deviation
Normal Parameters
a,bAbsolute
Positive
Negative
Most Extreme
Differences
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Luas
Harga Teh
Harga TBS
Jumlah
tenaga Kerja
Test distribution is Normal.
a.
Calculated from data.
b.
(2)
Lampiran 7: Master Data Bulan Luas Konversi Perkebunan Teh (Ha/Bln) Harga Teh (Rp/Kg/Bln) Harga TBS (Rp/Kg/Bln)
Jumlah Tenaga Kerja Perkebunan Teh
(HOK/Ha/Bln)
Produktivitas Tenaga Kerja Perkebunan Teh
(Ton/Ha/Bln)
1 22.31 7500 720 67 0.14
2 20.22 7991 510 50 0.14
3 11.16 7964 364 49 0.14
4 12.09 7260 353 50 0.14
5 12.09 8093 310 65 0.14
6 24.18 5516 410 77 0.14
7 27.20 5400 460 80 0.14
8 30.45 5550 1030 89 0.13
9 56.49 5700 1130 91 0.13
10 69.52 6149 1180 79 0.13
11 82.99 6582 1260 49 0.08
12 77.20 7035 460 66 0.14
13 33.25 6000 500 75 0.12
14 18.13 6491 330 65 0.12
15 11.16 6964 380 79 0.12
16 12.09 7260 270 70 0.13
17 18.13 7593 330 78 0.12
18 21.16 8016 380 61 0.12
19 24.18 7400 440 79 0.14
20 27.20 7550 490 60 0.12
21 21.16 7700 380 62 0.13
22 18.13 7649 330 63 0.13
23 19.07 9982 460 64 0.13
24 27.20 7035 490 68 0.13
25 29.92 7598 580 52 0.13
26 30.53 7578 600 54 0.12
27 57.43 5775 310 43 0.14
28 50.45 5103 570 33 0.12
29 33.55 8896 600 52 0.12
30 37.63 7084 340 49 0.12
31 50.45 7782 600 52 0.13
32 54.40 5655 540 49 0.12
33 50.35 9939 980 50 0.13
(3)
Lampiran 7: Lanjutan Master Data
35 51.38 9526 990 54 0.13
36 33.55 9908 850 65 0.13
37 45.34 11598 950 43 0.13
38 34.67 9978 730 54 0.13
39 40.29 8650 850 62 0.12
40 47.00 8103 990 52 0.12
41 57.06 7896 870 43 0.12
42 50.37 8084 700 42 0.13
43 53.77 7782 640 40 0.13
44 56.72 7655 670 40 0.12
45 56.08 7939 760 41 0.13
46 53.72 8649 640 42 0.14
47 36.94 8526 780 45 0.14
48 47.09 9908 1100 51 0.12
49 39.92 11219 680 61 0.14
50 30.53 10866 775 53 0.14
51 47.43 10372 1069 61 0.14
52 50.45 9309 1055 52 0.14
53 33.55 8598 640 50 0.11
54 37.63 8398 830 49 0.12
55 50.45 7670 800 42 0.13
56 54.40 7085 640 37 0.12
57 50.35 7964 700 38 0.13
58 40.67 9456 710 49 0.14
59 51.38 7721 825 53 0.13
60 33.55 11120 940 64 0.14
61 45.03 13608 950 47 0.10
62 33.25 13007 976 79 0.10
63 42.31 12437 995 59 0.10
64 48.36 10695 1025 62 0.10
65 54.40 9363 1140 76 0.10
66 67.45 8724 1000 84 0.11
67 74.68 9781 1150 69 0.12
68 68.06 7247 1010 93 0.10
69 57.43 7990 1210 98 0.11
70 72.89 10338 1310 96 0.11
71 64.73 8920 1010 109 0.10
72 77.43 12481 1330 79 0.10
(4)
(5)
(6)