negara itu semakin suram. Akibatnya komoditi teh ini tidak memberi profit lagi bagi perusahaan, maka pemerintah meleburnya menjadi PTPN IV pada tahun 1996. Begitu
juga kakao yang dikelola PTPN VI Pabatu dulu tidak menguntungkan lagi. Harganya dari tahun ke tahun terus menerus menurun dan tidak ekonomis lagi untuk diusahai,
apalagi untuk sebuah perusahaan besar seperti PTPN. Melihat hal ini, pimpinan PTPN IV sejak 2003 lalu mengkonversi tanaman ini menjadi lahan sawit Suara
Karya, 2005. Desakan peningkatan kebutuhan akan lahan tersebut dapat menjadi salah satu
faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan karena di satu sisi kondisi kegiatan usaha yang tengah mengalami kelesuan karena berbagai penyebab, di sisi lain
persoalan ekonomi yang terus menekan perusahaan untuk kepentingan intern. Salah satu lahan perkebunan yang mendapatkan tekanan terhadap konversi tanaman adalah
lahan perkebunan teh.
2.9 Penelitian Sebelumnya
Beberapa penelitian sejenis yang telah dilakukan oleh peneliti lain dan dianggap dapat mendukung dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Afifuddin 1989 didalam penelitian yang berjudul “Kajian Ekonometrika Industri Minyak Kelapa Sawit Indonesia“. Dengan menggunakan model estimasi
permintaan linear kepada produksi CPO, melihat bahwa ada beberapa faktor yang
Jan Ericson Chandra Purba : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Tanaman Perkebunan Teh Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Di Kabupaten Simalungun, 2009
memberikan pengaruh atas penawaran dalam produksi minyak kelapa sawit diantaranya luas kawasan produktif, upah pekerja, teknologi dan pupuk sedangkan
dari sisi lain, ada beberapa variabel yang memberikan pengaruh terhadap permintaan atau konsumsi minyak kelapa sawit diantaranya variabel harga minyak kelapa sawit
dipasar lokal, pendapatan perkapita, harga barang turunan minyak sawit dipasar lokal seperti sabun. Input utama yang memberikan pengaruh signifikan terhadap perluasan
lahan produktif kelapa sawit adalah, nilai investasi, dan tingkat upah buruh serta tingkat teknologi yang digunakan memperoleh hasil bahwa harga barang produk
turunan harga sabun memberi kesan positif kepada permintaan CPO akhirnya hal tersebut berdampak kepada perluasan lahan produktif sawit.
Larson 1996 dalam penelitiannya yang berjudul “Sub Sektor Minyak Sawit Indonesia”. Dengan menggunakan model analisis quantitative untuk mengujinya
menemukan beberapa hal dalam perkebunan kelapa sawit di Indonesia, yaitu, dalam 20 tahun terakhir perkebunan sawit di Indonesia telah berkembang dengan sangat
cepat dimana dominasi hasil produksi dari perkebunan milik pemerintah telah beralih dikuasai oleh perkebunan swasta hal ini tidak terlepas dari struktur permodalan yang
mendukung investasi dibidang agribisnis akhirnya menciptakan pertumbuhan hasil produksi pertanian yang dramastis. Perkembangan lainnya yang justru mencemaskan,
adalah pajak ekspor CPO. Dimana akibat dari kebijakan Pemerintah yang memasukan minyak goreng sebagai produk turunan CPO pada daftar kategori barang konsumsi
Jan Ericson Chandra Purba : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Tanaman Perkebunan Teh Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Di Kabupaten Simalungun, 2009
dilindungi pemerintah dalam hal ini adalah BULOG. Sehingga mekanisme pajak ekspor merupakan dalih untuk menjaga stok persediaan minyak goreng dalam negeri.
Padahal minyak goreng sawit yang diproteksi oleh pemerintah hanya digunakan oleh 20 rumah tangga dalam kategori menengah keatas sementara jumlah mayoritas
rumah tangga miskin umumnya tidak menggunakan minyak goreng CPO tetapi minyak goreng kelapa sebab adanya perbedaan harga dan tingkat pendapatan. Dipasar
lokal harga barang substitusi dari CPO yaitu harga minyak kelapa memberi kesan positip, selain itu hasil dari pajak ekspor CPO diperoleh sebesar US 99 juta pertahun
telah menimbulkan masalah lain yaitu, kepemilikan perkebunan swasta umumnya adalah modal investasi pengusaha dari Jakarta yang mana keuntungan hasil produksi
akan kembali seluruhnya ke Jakarta berikut seluruh nilai pajak ekspor sehingga masalahnya disini telah mengecilkan arti dari masyarakat perkebunan sawit didaerah.
Struktur pajak ekspor juga telah membebani biaya produksi CPO dari Indonesia sehingga akan membebaninya dalam bersaing dipasar internasional.
Purba 2001 meneliti mengenai “Model Ekonometrika Kelapa Sawit Indonesia. Analisis Simulasi Kebijakan Internal dan Eksternal”. Dengan
menggunakan berbagai model estimasi linear terhadap permintaaan dan penawaran, mendapatkan fakta-fakta yaitu : pengembangan areal sawit rakyat dan swasta di
Sumatera bagian Utara cenderung mendekati batas jenuh. peubah harga tidak lagi berdampak positip terhadap perluasan areal kebun sawit. Selanjutnya harga pasar
Jan Ericson Chandra Purba : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Tanaman Perkebunan Teh Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Di Kabupaten Simalungun, 2009
CPO dunia dan harga pasar CPO domestik berdampak positip terhadap produktivitas perkebunan rakyat, sedangkan perkebunan besar swasta dan perkebunan negara lebih
responsif terhadap perubahan harga CPO dunia. Hal tersebut menunjukkan adanya orentasi ekspor pada perkebunan besar swasta dan perkebunan negara, dimana
peningkatan produksi CPO Indonesia memberi pengaruh positip terhadap peningkatan volume ekspor CPO Indonesia. Fakta lainnya didalam mekanisme pasar
regional untuk pengamanan kebutuhan CPO domestik, dimana kenaikan produksi akan diikuti pula oleh kenaikan harga pasar domestik dan ini sekaligus menahan laju
ekspor. Ekspor CPO Indonesia dipengaruhi oleh harga CPO dunia serta nilai tukar kurs sementara peningkatan permintaan CPO dunia tidak diresponsif oleh ekspor
CPO Indonesia. Tetapi harga CPO dunia lebih responsif terhadap perubahan ekspor CPO dari Malaysia. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan Malaysia sebagai
produsen adalah sangat penting. Selanjutnya meskipun berpengaruh tidak besar terlihat ekspor CPO Indonesia masih mampu memberikan pengaruhnya terhadap
harga CPO dunia. Kebijakan peningkatan suku bunga 5 akan menyebabkan turunnya minat
investasi pengembangan areal baru kelapa sawit. Namun demikian kebijakan tersebut tidak berdampak negatif terhadap produktivitas atau produksi yang telah ada sehingga
kebijakan peningkatan suku bunga sebesar 5 masih memberi dampak positip terhadap surplus produsen domestik dan penerimaan domestik, namun berdampak
Jan Ericson Chandra Purba : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Tanaman Perkebunan Teh Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Di Kabupaten Simalungun, 2009
negatif terhadap penerimaan devisa negara. Sehingga kebijakan penurunan tingkat suku bunga perlu direalisasikan untuk meningkatkan aktivitas produksi dan investasi
baru. Jika hal tersebut ditambah lagi dengan kebijakan peningkatan upah 20 , maka dampaknya adalah pengurangan surplus produsen domestik sebesar Rp 33,7 trilyun
dan penerimaan domestik sebesar Rp 18,8 trilyun namun kebijakan ini menambah penerimaan devisa sebesar US 549.620.67.
Kebijakan devaluasi 15 nilai tukar akan meningkatkan surplus devisa negara yang sangat besar sebaliknya surplus produsen domestik dan penerimaan
domestik, adalah negatif. Penurunan produksi CPO Malaysia sebenarnya sangat menguntungkan posisi Indonesia, dan ini memungkinkan untuk menghasilkan surplus
devisa negara yang sangat besar. Kebijakan devaluasi sangat menguntungkan perolehan devisa negara namun
merugikan kepentingan domestik. Oleh sebab itu kebijakan pengaturan nilai tukar valuta asing lebih baik diserahkan pada mekanisme pasar.
Purba 2001 menyimpulkan Indonesia memiliki tingkat pertumbuhan areal produksi maupun kapasitas ekspor yang jauh lebih tinggi dibandingkan Malaysia
dimana selanjutnya beberapa tahun kedepan Indonesia akan mampu untuk mengungguli Malaysia sebagai produsen minyak sawit CPO utama dunia.
Afifuddin 2002 melanjutkan penelitiannya terdahulu dengan judul “Pengaruh Faktor Permintaan Dalam Negeri dan Luar Negeri Minyak Kelapa Sawit
Jan Ericson Chandra Purba : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Tanaman Perkebunan Teh Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Di Kabupaten Simalungun, 2009
Terhadap Luas Lahan Kelapa Sawit di Sumatera Utara” dengan memakai model penelitian koeffisien regresi dari jalur signifikan, mendapatkan fakta-fakta baru
didalam hasil penelitian diantaranya, produksi minyak goreng sawit didalam negeri berpengaruh positip terhadap permintaan dalam negeri. Hal ini menunjukkan adanya
sinyal pasar dalam negeri terhadap minyak sawit, yakni industri minyak goreng yang berarti pula membawa kecerahan bagi industri minyak sawit dimasa mendatang.
Harga ekspor minyak sawit melalui variabel antara berpengaruh negatip terhadap luas lahan kelapa sawit, harga ekspor minyak kelapa sawit memberi
pengaruh kuat melalui variabel antara daripada secara langsung terhadap luas lahan. Harga ekspor tidak langsung dirasakan oleh petani pekebun sebab hanya sebahagian
kecil dari mereka yang memiliki izin ekspor. Produksi minyak goreng sawit dalam negeri secara langsung berpengaruh
positip dan signifikan kepada penambahan luas lahan kelapa sawit. Kuota ekspor minyak sawit secara langsung berpengaruh terhadap perluasan lahan kelapa sawit.
Dalam hal mana, pelaksanaan kuota ekspor akan menstimulasi penawaran minyak sawit didalam negeri yang meningkat kemudian, hal ini akan berpengaruh langsung
kepada penurunan tingkat harga dipasar yang akhirnya menyebabkan pertambahan permintaan pasar dalam negeri dan mempengaruhi terhadap perluasan lahan sawit
Kuota ekspor minyak sawit berpengaruh langsung positip dan signifikan atas permintaan dalam negeri minyak sawit. Kebijakan kuota ekspor menjamin
Jan Ericson Chandra Purba : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Tanaman Perkebunan Teh Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Di Kabupaten Simalungun, 2009
tersedianya minyak sawit didalam negeri, sekaligus menjaga kestabilan harga produk turunan minyak sawit didalam negeri.
Harga ekspor minyak sawit akan memberi pengaruh negatif dan signifikan terhadap permintaan luar negeri minyak sawit. Selain itu harga ekspor minyak sawit
juga memberikan respon terhadap harga pasar internasional. Tetapi kualitas minyak dihasilkan yang bertaraf rendah serta strategi pemasaran yang belum solid juga akan
memberikan pengaruh negatip pada tingkat harga minyak sawit pasar internasional. Kurs atau nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika mempunyai pengaruh
positip dan signifikan terhadap permintaan pasar luar negeri minyak sawit. Dimana perubahan dalam tingkat harga, kurs akan memberi pengaruh tingkat permintaan
minyak sawit dari luar negeri terutama sekali kepada eksportir minyak sawit. Dimana setiap perubahan nilai kurs yang berfluktuasi akan memberi pengaruh kepada volume
ekspor minyak sawit. Harga minyak kacang kedelai dunia dimana minyak kedelai adalah pesaing utama dari minyak sawit mempunyai pengaruh positip dan signifikan
terhadap permintaan luar negeri minyak sawit. Minyak kelapa sawit merupakan komoditi ekspor perubahan pada nilai kurs
Rupiah memberikan pengaruh sensitif terhadap luas lahan dan ini adalah satu-satunya faktor yang memiliki pengaruh dua jalur dominan terhadap perluasan lahan kelapa
sawit. Namun demikian permintaan dari dalam negeri untuk minyak sawit tidak berpengaruh dominan terhadap perluasan lahan kelapa sawit dimana produsen
Jan Ericson Chandra Purba : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Tanaman Perkebunan Teh Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Di Kabupaten Simalungun, 2009
minyak sawit cenderung untuk menjual hasil produksinya kepasar internasional dengan target dan alasan tersendiri sehingga pasar internasional juga memberikan
kontribusi terhadap perluasan lahan sawit. Permintaan dalam negeri minyak sawit tidak berpengaruh secara dominan
terhadap luas lahan kelapa sawit, oleh sebab kebijakan diberlakukan Pemerintah, dan hal ini berbeda dengan permintaan luar negeri minyak sawit yang memiliki pengaruh
dominan dan berpengaruh terhadap perluasan lahan kelapa sawit. Arisman 2002 Didalam penelitiannya yang berjudul “ Analisis Kebijakan
Daya Saing CPO Indonesia”. Dimana Arisman 2002 memakai model Cost and Benefit Analysis dan memperoleh hasil dari penelitiannya sebagai berikut : komoditi
minyak kelapa sawit CPO Indonesia memiliki daya saing positip. Namun daya saing tersebut berupa murahnya biaya produksi dibandingkan dengan negara produsen CPO
lainnya. Hal ini disebabkan rendahnya upah buruh di Indonesia dan kebijakan subsidi pupuk oleh Pemerintah, serta Endowment factor yang dimiliki oleh Indonesia. Nilai
RCA Revealed Comperative Advantage yang diperoleh merupakan bukti gambaran dari kinerja ekspor dari suatu komoditi. Komoditi dengan nilai RCA lebih dari satu
tersebut dapat dikatakan memiliki keunggulan komparatif sehingga disarankan untuk terus dikembangkan dengan melakukan spesialisasi pada komoditi tersebut dalam hal
ini adalah CPO.
Jan Ericson Chandra Purba : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Tanaman Perkebunan Teh Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Di Kabupaten Simalungun, 2009
2.10 Kerangka Pikir