Pola Sitologi Lesi Mukosa Penyirih Yang Dihubungkan Dengan Frekuensi Menyirih Dan Durasi Menyirih Pada Wanita 40-60 Tahun Yang Mempunyai Kebiasaan Menyirih Di Desa Durin Simbelang Kecamatan Pancur Batu

(1)

POLA SITOLOGI LESI MUKOSA PENYIRIH YANG

DIHUBUNGKAN DENGAN FREKUENSI MENYIRIH

DAN DURASI MENYIRIH PADA WANITA 40-60

TAHUN YANG MEMPUNYAI KEBIASAAN

MENYIRIH DI DESA DURIN

SIMBELANG KECAMATAN

PANCUR BATU

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh :

DAISY SUSILO NIM : 060600012

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MULUT

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

Fakultas Kedokteran Gigi

Bagian Penyakit Mulut

Tahun 2010 Daisy Susilo

Pola sitologi lesi mukosa penyirih yang dihubungkan dengan frekuensi menyirih dan durasi menyirih pada wanita 40-60 tahun yang mempunyai kebiasaan menyirih di Desa Durin Simbelang Kecamatan Pancur Batu.

x+ 45 halaman

Kebiasaan menyirih masih dilakukan suku Karo di Desa Durin Simbelang dan banyak dilakukan oleh wanita terutama yang telah berumah tangga dan telah ada laporan penelitian bahwa lesi mukosa penyirih di Tanah Karo sebesar 47,9 % serta adanya kesimpulan Hasibuan S. untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai perubahan-perubahan patologis secara mikorskopik dan telah ada penelitian yang dilakukan pada 102 wanita suku Kamboja di 3 desa, frekuensi menyirih (P<0.001) dan durasi menyirih (P<0,01) menimbulkan lesi mukosa penyirih. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah durasi menyirih dan frekuensi menyirih dapat menyebabkan perubahan patologis pada lesi mukosa penyirih.

Jenis penelitian adalah survei deskriptif analitik dengan pendekatan cross

sectional yang melibatkan 35 wanita suku Karo dengan usia 40-60 tahun.

Pengumpulan data dilakukan dengan 2 macam, yakni pertama memberikan pertanyaan kepada subyek dan data dicatat pada kuesioner yang telah disediakan. Data selanjutnya diperoleh dengan pengkerokan pada lesi mukosa penyirih dan dihapuskan di kaca objek dan sediaan dikirim ke Lab PA untuk mendapatkan


(3)

gambaran mikroskopik, kemudian melalui data ini dilihat apakah ada hubungan antara frekuensi menyirih dengan pola sitologi lesi mukosa penyirih dan durasi menyirih dengan pola sitologi lesi mukosa penyirih dengan menggunakan uji Chi

Square.

Hasil penelitian yang diperoleh berupa perubahan sitologi pada 11 sampel mengalami karyorrhexis dan 24 sampel memiliki sel yang normal. Hubungan yang bermakna terhadap perubahan pola sitologi adalah lamanya kebiasaan menyirih dilakukan, di mana nilai p pada uji statistik dengan menggunakan uji chi square pada p<0,05 adalah 0,000 dan waktu yang diperlukan untuk melakukan kegiatan satu kali menyirih di mana nilai p pada uji statistik dengan uji chi square pada p<0,05 adalah 0,004. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin lama subyek melakukan kebiasaan menyirih dan lama waktu yang dibutuhkan untuk satu kali menyirih maka semakin tinggi resiko mukosa rongga mulut mengalami peruba han pola sitologi.

Manfaat dari penelitian ini yakni untuk menambah informasi bagi tenaga kesehatan bahwa mukosa penyirih dapat mengalami perubahan yang disebabkan oleh pengunyahan sirih dan sebagai masukan pada penyusunan program kesehatan penyuluhan baik di masyarakat maupun pasien di klinik tentang akibat menyirih. Daftar Rujukan : 31 ( 1978-2006)


(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 29 Januari 2010

Pembimbing: Tanda Tangan

Wilda Hafni Lubis, drg., MSi ... NIP. 19510611 198303 2001


(5)

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 29 Januari 2010

TIM PENGUJI

KETUA : Wilda Hafni Lubis, drg., MSi ANGGOTA : 1. Syuaibah Lubis, drg.

2. Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM


(6)

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan kasih dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pola Sitologi Lesi Mukosa Penyirih Yang Dihubungkan Dengan Frekuensi Menyirih Dan Durasi Menyirih Pada Wanita 40-60 Tahun Yang Mempunyai Kebiasaan Menyirih Di Desa Durin Simbelang Kecamatan Pancur Batu” yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Rasa hormat dan terima kasih yang tiada terhingga buat oma Mariah Yio dan orang tua penulis, ayahanda dr. Hardi Paslo dan ibunda Suwarni, B.A. atas doa, perhatian dan dukungan moril dan materil sebagai bentuk kasih sayang kepada penulis, serta abang Agus dan adik Andi atas dorongan dan semangatnya.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bimbingan, pengarahan, saran dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Wilda Hafni Lubis, drg., MSi selaku dosen pembimbing skripsi dan Ketua Departemen Ilmu Penyakit Mulut yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam membimbing dan mengarahkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, juga kepada Prof. H. Ismet D. Nasution, drg., Ph.D, Sp.Pros (K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, dr. Soekimin, Sp.PA, dr. Antonius Harkingto, Sp.PA(K) atas bantuannya dalam pemeriksaan sitologi dan seluruh staf-staf di laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dr. Surya Dharma, MPH yang telah membantu penulis dalam mengerjakan metode penelitian dan uji statistik, serta


(7)

seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, Siti Chadidjah Az, drg., selaku dosen pembimbing akademik serta seluruh staf pengajar dan pegawai di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing, mendidik dan membantu penulis selama menuntut ilmu di masa pendidikan.

Selanjutnya terimakasih juga penulis sampaikan atas segala semangat, dukungan dan perhatian yang telah diberikan dr.Raymond Christian, drg.Emerson, drg.Christian, drg. Dennis, Helly, Nini, Pocut, Steven, Antony, Ellysa Gan, Trisna, Bert, Tere dan teman-teman stambuk 2006 lainnya atas bantuan, semangat, motivasi dan kebersamaan di FKG USU.

Penulis mengharapkan skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu dan masyarakat.

Medan, 25 Januari 2010 Penulis,

(Daisy Susilo) NIM : 060600012

DAFTAR ISI


(8)

HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Menyirih ... 5

2.1.1 Sirih ( Piper Betle )... 6

2.1.2Gambir ( Uncaria Gambir )... 7

2.1.3 Pinang... 9

2.1.4 Tembakau ( Nicotiana )... 10

2.1.5 Kapur... 10

2.2 Lesi – Lesi pada Kebiasaan Menyirih ... 11

2.2.1 Preleukoplakia ... 11

2.2.2 Leukoplakia ... 12

2.2.3 Lesi Submukosa Oral/OSF ... 12

2.2.4 Lesi Mukosa Penyirih ... 13

2.2.5 Kanker Rongga Mulut ... 14

2.3 Pemeriksaan Sitologi Mulut ... 15

2.3.1 Pola Sitologi ... 16

2.3.2 Indikasi dan Kontra Indikasi ... 18

KERANGKA TEORI ... 19

KERANGKA KONSEP ... 20 BAB 3 METODE PENELITIAN


(9)

3.1 Jenis Penelitian ... 21

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 21

3.3 Populasi Penelitian dan Pengambilan Sampel ... 22

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 22

3.4.1 Kriteria Inklusi ... 22

3.4.2 Kriteria Eksklusi ... 23

3.5 Identifikasi Variabel Penelitian ... 23

3.5.1 Variabel Dependen ... 23

3.5.2 Variabel Independen ... 23

3.5.3 Variabel Independen yang Dikendalikan ... 23

3.5.4 Variabel Pengaruh ... 23

3.5.5 Variabel Tidak Terkendali ... 23

3.6 Definisi Operasional ... 24

3.7 Besar Sampel... 24

3.8 Cara Pengumpulan Data ... 25

3.9 Alur Penelitian ... 26

3.10 Pengolahan Data ... 27

3.11 Analisis Data ... 27

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 28

BAB 5 PEMBAHASAN ... 35

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 42 LAMPIRAN


(10)

Gambar Halaman

1. Sirih 7

2. Gambir 8

3. Pinang 9

4. Tembakau 10

5. Kapur 11

6. Preleukoplakia 11

7. Leukoplakia 12

8. Lesi submukus oral 13

9. Lesi mukosa penyirih 14

10.Kanker rongga mulut 15

11.Karyolisis 17

12.Pyknosis 17

13.Karyorreksis 18

14.Sel normal 28

15.Karyorreksis 28


(11)

Tabel Halaman

16.Lama menyirih berdasarkan tahun 29

17.Frekuensi menyirih 30

18.Waktu yang diperlukan untuk melakukan kegiatan menyirih satu kali 31

19.Komposisi menyirih 32

20.Kebiasaan memakan buah 33


(12)

Lampiran 21.Lembar informed consent

22.Lembar kuesioner

23.Lembar perhitungan statistik

BAB 1 PENDAHULUAN


(13)

Fakultas Kedokteran Gigi

Bagian Penyakit Mulut

Tahun 2010 Daisy Susilo

Pola sitologi lesi mukosa penyirih yang dihubungkan dengan frekuensi menyirih dan durasi menyirih pada wanita 40-60 tahun yang mempunyai kebiasaan menyirih di Desa Durin Simbelang Kecamatan Pancur Batu.

x+ 45 halaman

Kebiasaan menyirih masih dilakukan suku Karo di Desa Durin Simbelang dan banyak dilakukan oleh wanita terutama yang telah berumah tangga dan telah ada laporan penelitian bahwa lesi mukosa penyirih di Tanah Karo sebesar 47,9 % serta adanya kesimpulan Hasibuan S. untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai perubahan-perubahan patologis secara mikorskopik dan telah ada penelitian yang dilakukan pada 102 wanita suku Kamboja di 3 desa, frekuensi menyirih (P<0.001) dan durasi menyirih (P<0,01) menimbulkan lesi mukosa penyirih. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah durasi menyirih dan frekuensi menyirih dapat menyebabkan perubahan patologis pada lesi mukosa penyirih.

Jenis penelitian adalah survei deskriptif analitik dengan pendekatan cross

sectional yang melibatkan 35 wanita suku Karo dengan usia 40-60 tahun.

Pengumpulan data dilakukan dengan 2 macam, yakni pertama memberikan pertanyaan kepada subyek dan data dicatat pada kuesioner yang telah disediakan. Data selanjutnya diperoleh dengan pengkerokan pada lesi mukosa penyirih dan dihapuskan di kaca objek dan sediaan dikirim ke Lab PA untuk mendapatkan


(14)

gambaran mikroskopik, kemudian melalui data ini dilihat apakah ada hubungan antara frekuensi menyirih dengan pola sitologi lesi mukosa penyirih dan durasi menyirih dengan pola sitologi lesi mukosa penyirih dengan menggunakan uji Chi

Square.

Hasil penelitian yang diperoleh berupa perubahan sitologi pada 11 sampel mengalami karyorrhexis dan 24 sampel memiliki sel yang normal. Hubungan yang bermakna terhadap perubahan pola sitologi adalah lamanya kebiasaan menyirih dilakukan, di mana nilai p pada uji statistik dengan menggunakan uji chi square pada p<0,05 adalah 0,000 dan waktu yang diperlukan untuk melakukan kegiatan satu kali menyirih di mana nilai p pada uji statistik dengan uji chi square pada p<0,05 adalah 0,004. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin lama subyek melakukan kebiasaan menyirih dan lama waktu yang dibutuhkan untuk satu kali menyirih maka semakin tinggi resiko mukosa rongga mulut mengalami peruba han pola sitologi.

Manfaat dari penelitian ini yakni untuk menambah informasi bagi tenaga kesehatan bahwa mukosa penyirih dapat mengalami perubahan yang disebabkan oleh pengunyahan sirih dan sebagai masukan pada penyusunan program kesehatan penyuluhan baik di masyarakat maupun pasien di klinik tentang akibat menyirih. Daftar Rujukan : 31 ( 1978-2006)


(15)

1.1 Latar Belakang

Menyirih merupakan suatu kebiasaan yang populer di Asia, terutama di India, Sri Lanka, Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik dan China.1 Menurut catatan sejarah, nenek moyang di Asia Pasifik, Asia Selatan, dan Asia Tenggara menyirih secara sosial diterima di seluruh lapisan masyarakat termasuk wanita dan sebagian anak-anak. Kebiasaan menyirih ini telah diketahui dan dilaporkan dari beberapa negara seperti Bangladesh, Thailand, Kamboja, Sri Lanka, Pakistan, Malaysia, Indonesia, Cina, Papua Nugini, beberapa pulau di Pasifik, dan populasi yang bermigrasi ke tempat-tempat seperti Afrika Selatan, Afrika Timur, Eropa, Amerika Utara dan Australia.2

Pada beberapa negara, tembakau umumnya digunakan bersamaan dengan campuran sirih. Literatur mengenai kebiasaan menyirih sudah ada di India sekitar 2000 tahun yang lalu dan diperkirakan lebih kurang 200-600 juta orang mempunyai kebiasaan ini.1 Sedangkan tembakau baru dikenal pada tahun 16 Masehi. Di Indonesia, campuran sirih dikunyah terlebih dahulu dan kemudian potongan tembakau yang besar digunakan untuk membersihkan gigi, kemudian dibiarkan di dalam mulut.2,3

Kebiasaan menyirih juga terdapat di Indonesia dan telah lama diketahui serta telah dilakukan beberapa penelitian mengenai kebiasaan menyirih di Indonesia. Kecamatan Pancur Batu, suatu daerah yang terletak di provinsi Sumatera Utara telah lama dikenal dengan penduduk mempunyai kebiasaan menyirih. Pada mulanya


(16)

menyirih digunakan sebagai suguhan kehormatan untuk orang-orang/tamu-tamu yang dihormati, pada suatu acara pertemuan atau pesta perkawinan. Dalam perkembangannya budaya menyirih menjadi kebiasaan untuk dinikmati di saat santai.1 Selain itu terdapat anggapan bahwa menyirih dapat menguatkan gigi geligi serta adanya khasiat di dalam bahan-bahan campuran menyirih yang menyehatkan.4

Dari penelitian yang dilakukan oleh Hasibuan S pada sebagian besar penduduk di Tanah Karo masih melakukan kebiasaan menyirih, tetapi hanya terbatas pada wanita, terutama yang sudah berumah tangga. Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Permana G dkk di Purwakarta, Jawa Barat yang juga menemukan penyirih hanya terbatas pada wanita. Tidak ditemukannya sampel pria dalam penelitian di Kabupaten Tanah Karo disebabkan karena kaum pria lebih cenderung untuk melakukan kebiasaan merokok yang caranya lebih praktis.1

Efek merugikan dari menyirih dapat terjadi disebabkan faktor-faktor yang mendukung timbulnya kelainan-kelainan pada mukosa mulut antara lain komposisi menyirih, iritasi yang terus menerus dari bahan ramuan sirih, kemungkinan tingkat kebersihan rongga mulut dan defisiensi nutrisi, penggunaan sirih sepanjang malam di dalam rongga mulut, frekuensi menyirih yang dikonsumsi per hari dan durasi menyirih.1,5

Perubahan-perubahan pada mukosa mulut yang dihubungkan dengan kebiasaan menyirih telah banyak diteliti dengan hasil yang berbeda-beda.7 Penelitian yang dilakukan di desa Gurukinayan, Payung, Sinaman, dan Semangat di Kabupaten Karo, menunjukkan ada hubungan antara kebiasaan menyirih dengan adanya lesi-lesi di mukosa mulut. Hasil penelitian melaporkan bahwa lesi mukosa penyirih 47,9%,


(17)

preleukoplakia 14,3% , leukoplakia tipe homogen 7,1%,oral submukus fibrosis8,2%. Kanker rongga mulut tidak ditemukan dalam penelitian ini.1

Dijumpainya kebiasaan menyirih di Indonesia khususnya pada suku Karo di Sumatera Utara di mana sebagian besar penduduknya masih melakukan kebiasaan menyirih yang terbanyak dilakukan oleh wanita dengan usia terendah 21 tahun dan usia tertinggi 80 tahun dan melalui laporan penelitian diketahui bahwa lesi mukosa penyirih di Tanah Karo sebesar 47,9 % dan diketahui bahwa frekuensi menyirih dan durasi menyirih menyebabkan perubahan pola sitologi terhadap lesi tersebut, serta adanya kesimpulan pada penelitian yang dilakukan oleh Hasibuan S untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai perubahan-perubahan patologis secara mikorskopis.

1.2 Perumusan Masalah

Dari uraian tersebut diatas timbul permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah perubahan pola sitologi dari lesi muko sa penyirih.

2. Bagaimanakah hubungan pola perubahan sitologi lesi mukosa penyirih pada wanita usia 40-60 tahun dengan kebiasaan menyirih yang dihubungkan degan frekuensi menyirih.

3. Bagaimanakah hubungan pola perubahan sitologi lesi mukosa penyirih pada wanita usia 40-60 tahun dengan kebiasaan menyirih yang dihubungkan degan durasi menyirih.


(18)

1. Ada hubungan antara frekuensi menyirih dengan perubahan pola sitologi lesi mukosa penyirih pada wanita usia 40-60 tahun dengan kebiasaan menyirih. 2. Ada hubungan antara durasi menyirih dengan perubahan patologis lesi

mukosa penyirih pada wanita usia 40-60 tahun dengan kebiasaan menyirih.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui apakah durasi menyirih dan frekuensi menyirih dapat menyebabkan perubahan patologis pada lesi mukosa penyirih.

2. Mengetahui durasi dan frekuensi menyirih yang dapat menyebabkan perubahan patologis pada lesi mukosa penyirih.

1.4Manfaat Penelitian

Menambah informasi mengenai lesi mukosa penyirih, di mana jika dilihat secara mikroskopis dapat mengalami perubahan struktur sel yakni perubahan nucleus.


(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Menyirih mempunyai beberapa manfaat seperti meningkatkan kapasitas bekerja, menimbulkan sensasi panas dalam tubuh dan meningkatkan kewaspadaan. Menyirih juga dilakukan oleh orang-orang kurang mampu untuk menghindari kebosanan dan menekan rasa lapar.Menyirih juga diyakini oleh masyarakat di Asia Selatan baik untuk kesehatan, dan biasanya digunakan sebagai pengobatan ayuverdic, masalah impoten, masalah ginekologi, infeksi parasit di intestinal. Menyirih juga digunakan sebagai penyegar mulut setelah makan.4 Di mana kegiatan menyirih, melalui beberapa penelitian dapat menimbulkan efek negatif terhadap jaringan mukosa oral. Adapun faktor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya efek negatif terhadap jaringan mukosa di rongga mulut akibat kebiasaan menyirih adalah komposisi menyirih, frekuensi menyirih, durasi menyirih dan penggunaan sepanjang malam.

2.1 Komposisi Menyirih

Berdasarkan kandungan utamanya, campuran sirih adalah kombinasi dari daun sirih, biji pinang dan kapur (aqueous calcium hydroxide past ), tembakau dan gambir. Ada beberapa istilah dan jenis campuran dalam mengunyah sirih seperti pan

masala (biji pinang, kapur, catechu, dan campuran lainnya), mainpuri (tembakau,

kapur, biji pinang, camphor dan cengkeh), mawa (biji pinang, tembakau, kapur),


(20)

2.1.1 Sirih (Piper Betle)

Sirih adalah nama sejenis tumbuhan merambat, di mana daun dan buahnya dikunyah bersama gambir, pinang dan kapur. Selain digunakan sebagai (fitofarmaka), sirih juga sangat berperan dalam kehidupan dan berbagai upacara adat.7

Tanaman merambat ini dapat mencapai tinggi 15 m, batang sirih berwarna coklat kehijauan, berbentuk bulat, beruas dan merupakan tempat keluarnya akar. Daunnya yang tunggal berbentuk jantung, berujung runcing, tumbuh berselang-seling, bertangkai, dan mengeluarkan bau yang sedap bila diremas. Panjangnya sekitar 5-8 cm dan lebar 2-5 cm.Bahan-bahan yang terdapat dalam daun sirih ialah kalsium nitrat, sedikit gula dan tannin.7,8

Adanya minyak atsiri dari daun sirih mengandung minyak terbang (betelphenol), pati, diatase, gula, zat samak dan chavicol yang memiliki daya mematikan kuman, antioksidasi dan anti jamur (fungisida). Sirih juga bermanfaat untuk menghilangkan bau badan yang ditimbulkan bakteri dan cendawan. Daun sirih juga bersifat menahan pendarahan, menyembuhkan luka pada kulit, dan gangguan pencernaan.7


(21)

Gambar 2. Sirih9

2.1.2 Gambir (Uncaria Gambir)

Gambir dibudidayakan pada lahan ketinggian 200-800 m diatas permukaan laut. Mulai dari topografi yang agak datar sampai di lereng bukit. Biasanya ditanam sebagai tanaman perkebunan di pekarangan atau kebun di pinggir hutan. Budidaya biasanya semiintensif, jarang diberi pupuk dan hanya dilakukan pembersihan dan pemangkasan saja. Gambir pada umumnya digunakan untuk menyirih. Gambir memiliki daun berbentuk lonjong dan permukaannya licin. Bunganya berwarna kelabu.10

Gambir merupakan ekstrak dari daun dan ranting tanaman gambir, yang disedimentasikan kemudian dicetak dan dikeringkan. Hampir 95% produksi dibuat menjadi produk ini, yang biasanya dinamakan betel bite atau pan masala. Bentuk cetakan biasanya silinder, menyerupai gula merah. Warnanya coklat kehitaman. Bentuk lainnya adalah bubuk atau biskuit. Nama lainnya adalah catechu, gutta

gambir, catechu pallidum (pale catechu).10

Kegunaan utama adalah sebagai komponen menyirih. Manfaat gambir dalam bidang kesehatan sebagai campuran obat seperti obat luka bakar, sakit kepala, diare, disentri, kumur-kumur, sariawan, sakit kulit, dan obat luar untuk merawat kulit (astragensia).10


(22)

Gambar 3. Gambir11,12

2.1.3 Pinang

Pinang umumnya ditanam dipekarangan, di taman-taman atau dibudidayakan. Sebagian tumbuh liar di tepi sungai dan tempat-tempat lain. Pohon berbatang


(23)

langsing, tumbuh tegak, tinggi 10-30 m, diameter 15-20 cm. Buahnya berdiameter 3,5-7 cm, dinding buah berserabut, bila telah masak pinang berwarna orange. 13

Alkaloid dalam pinang adalah arekolin, arekaidin, arekain, guvacin,

arekolidin, guvakolin, isoguvakolin dan kolin. Arekolin yang toksik, bertindak

sebagai nikotin ke dalam sistem saraf. Dapat menyebabkan sawan yang berakhir dengan kelumpuhan. Arekolin digunakan sebagai obat parasit dan cacing serta bertindak seperti asetil kolin. Pinang mengandungi lebih kurang 15% tanin merah dan 14% lemak. Tanin dalam pinang digunakan untuk merawat diare. Manfaat lain pinang, abu pinang digunakan untuk membersihkan gigi, tetapi dapat merusak gigi jika digunakan terlalu belebihan.13

Gambar 4. Pinang13

2.1.4 Tembakau (Nicotiana)

Tembakau adalah tumbuhan herbal semusim yang ditanam untuk mendapatkan daunnya. Daun dari tembakau sering digunakan sebagai bahan baku


(24)

rokok, baik dengan menggunakan pipa maupun digulung dalam bentuk rokok atau cerutu. Daun tembakau dapat pula dikunyah atau dikulum, dan ada pula yang menghisap bubuk tembakau melalui hidung. Tembakau mengandung zat alkaloid nikotin (sejenis neurotoksin) yang berbahaya.14,16

Gambar 5. Tembakau15,16

2.1.5 Kapur

Kapur berwarna putih likat seperti krim yang dihasilkan dari cangkang siput laut yang dibakar. Hasil dari debu cangkang tersebut perlu dicampurkan air supaya memudahkan untuk disapukan ke daun sirih bila diperlukan. Terdapat juga beberapa jenis kapur yang tidak sesuai digunakan untuk makan sirih diantaranya kapur yang digunakan dalam pembangunan sejak zaman dulu untuk bahan pengikat.17


(25)

2.2 Lesi-Lesi pada Kebiasaan Menyirih 2.2.1 Preleukoplakia

Preleukoplakia adalah suatu lesi yang dapat dijumpai pada masyarakat yang mempunyai kebiasaan menyirih di mana gambaran klinisnya yang spesifik berupa lesi berwarna abu-abu ataupun putih keabu-abuan tetapi bukan merupakan lesi putih dan disertai pola lobular yang sedikit di mana pola tersebut memiliki batasan yang tidak jelas dan dikarakteristikkan sebagai reaksi tingkat rendah atau sedang dari suatu lesi.18

Gambar 9. Preleukoplakia18

2.2.2 Leukoplakia

Leukoplakia merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan adanya bercak putih yang tidak normal dan tidak dapat dihapus dan terdapat pada membran mukosa. Untuk menentukan diagnosa yang tepat, perlu dilakukan pemeriksaan yang teliti, baik secara klinis maupun histopatologi.1,6


(26)

Gambar 10. Leukoplakia19

2.2.3 Lesi Submukosa Oral / OSF (Oral Submucous fibrosis)

OSF dapat didiagnosa apabila secara klinis ditemukan adanya bekas yang jelas pada mukosa oral dan akan membatasi pergerakan mulut ataupun lidah. Hal ini dapat terdeteksi dan dapat dirasa dengan menggerakkan sudut tumpul kaca mulut ke depan dan ke belakang sepanjang mukosa pipi. Mukosa bukal akan terlihat atropi dengan adanya stain akibat menyirih. Bagian palatum akan terlihat pucat dan uvula mengalami pengerutan.1,6

OSF didefenisikan bila terdapat satu atau lebih karakteristik, yaitu : 1.) dapat diraba dengan bentuk seperti pita, 2.) tekstur dari lesi terasa kasar dan keras; dan 3.) mukosa oral memucat.6


(27)

Gambar 11. Lesi submukus oral20

2.2.4 Lesi Mukosa Penyirih

Lesi mukosa penyirih adalah suatu kondisi di mana mukosa mulut cenderung mengalami deskuamasi yang dapat disebabkan langsung oleh komposisi bahan-bahan menyirih atau efek traumatik pada saat mengunyah sirih atau kedua-duanya. Lesi mukosa penyirih dapat dilihat dan dirasakan. Mukosa ini merupakan daerah yang kasar dan hal ini dapat juga dikarenakan adanya penggabungan antara bahan-bahan sirih dalam bentuk kerak dengan lapisan mukosa yang berwarna kuning/coklat kemerahan.4

Lesi ini secara umum terlihat pada pengunyahan sirih dan terlokalisir tergantung pada tempat biasanya ramuan sirih diletakkan dan memiliki satu atau lebih karakteristik sebagai berikut : 1.) perubahan warna mukosa, 2.) adanya permukaan yang kasar/keriput, 3.) penebalan mukosa, 4.) permukaan epitel yang scrapable atau

non-scrapable. Lesi ini biasanya terdapat di mukosa bukal baik unilateral ataupun bilateral. Biasanya menunjukkan lesi putih berwarna putih keabuan yang tidak dapat


(28)

dibersihkan. Secara klinis permukaan mukosa kasar dan adanya tekstur seperti Linen dan secara patologis terlihat epitel mengalami parakeratinisasi.5,6

Gambar 12. Lesi mukosa penyirih21

Lesi mukosa penyirih harus dapat dibedakan dengan lesi akibat kebiasaan mengigit, di mana kedua lesi ini mirip baik secara klinis maupun histologi. Sebagai contoh, lesi akibat kebiasaan mengigit adalah kebiasaan yang tidak disengaja. Sedangkan lesi mukosa penyirih adalah lesi yang disengaja.6

2.2.5 Kanker Rongga Mulut

Kanker adalah pertumbuhan sel yang abnormal yang disebabkan oleh perubahan yang multiple pada gen dan menyebabkan kematian sel. Pada akhirnya berubah menjadi populasi sel yang dapat menginvasi jaringan dan bermetastase ke tempat-tempat yang lain dan jauh. Kanker dapat menyebabkan kematian yang signifikan jika tidak dirawat.22


(29)

Gambar 13. Kanker di rongga mulut23

2.3 Pemeriksaan Sitologi Mulut

Pemeriksaan ini mempunyai keterbatasan, sebab yang dievaluasi hanya sel-sel permukaan, sehingga tidak dapat dipakai untuk menggantikan biopsi. Meskipun demikian, pemeriksaan ini sangat bermakna untuk mendeteksi keganasan dalam mulut yang tidak diduga sebelumnya. Pemeriksaan sitologi mulut digunakan sebagai pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosa. Prosedur ini sederhana, tetapi mempunyai hasil yang cukup akurat dalam mendeteksi beberapa lesi-lesi pada rongga mulut.24 Pemeriksaan sitologi mulut merupakan suatu pemeriksaan mikroskopis sel-sel yang dikerok dari permukaan suatu lesi di dalam mulut.

Keuntungan dari pemeriksaan sitologi adalah sangat sederhana, tidak sakit, murah, cepat, dan tidak menimbulkan pendarahan. Di samping keuntungan, pemeriksaan sitologi mulut mempunyai kelemahan karena keterbatasan dalam analisis seperti: 1.) hanya masing-masing individu sel yang dievaluasi, sehingga gambaran patologis hanya tergambar pada atau di dalam sel itu sendiri seperti pembesaran inti, pewarnaan inti dan lain-lain, 2.) hanya perubahan patologi yang


(30)

terjadi pada sel epitel permukaan saja yang dapat dievaluasi, karena yang dikerok hanya sel permukaan epitel saja, 3.) hubungan sel dengan jaringan tidak dapat dievaluasi seperti pada pemeriksaan histopatologi biopsi.24

Ada 3 jenis lesi mukosa yang dapat dilakukan pemeriksaan sitologi, yaitu lesi vesicular, erytroplakia, dan lesi putih yang dapat dikerok. Ketiga lesi ini merefleksikan pola klinis pada tiga penyakit paling umum yaitu kanker atau precancer dyplasia, herpes dan candidiasis.24

2.3.1 Pola Sitologi

Pada pemeriksaan sitologi, sel normal memiliki sitoplasma yang besar, membrane plasma yang baik, satu nucleus, satu nucleolus dan bentuk kromatin yang baik. Tetapi sel normal dapat mengalami perubahan apabila diberi rangsangan-rangsangan terus menerus dan hal ini dapat menyebabkan perubahan struktur sel. Perubahan struktur sel meliputi : 1.) perubahan membran plasma seperti bula; 2.) perubahan mitokondria seperti pembengkakan; 3.) dilatasi reticulum endoplasma; dan 4.) perubahan nucleus.25

Perubahan nucleus memiliki tiga pola yakni : 1.) karyolysis di mana dinding inti sel terputus-putus; 2.) pyknosis di mana ukuran inti sel mengecil dan kromatin mengalami perubahan menjadi massa yang padat dan tidak berbentuk; 3.)

karyorrhexis di mana inti sel pecah dan kromatinnya hancur menjadi granul-granul

yang tidak berbentuk. Ketiga pola ini merupakan pola yang menggambarkan sel nekrosis.25,26


(31)

Gambar 13. Karyolysis27

Gambar 14. Pyknosis28


(32)

2.3.2 Indikasi dan Kontra Indikasi

Pemeriksaan sitologi sebaiknya dilakukan pada : 1.) lesi yang penampilan klinisnya tidak mencurigakan sehingga tidak ada alasan untuk dilakukan biopsi, 2.) lesi yang luas/multipel sehingga tempat yang tepat untuk biopsi tidak dapat ditentukan, 3.) jika terdapat kendala, baik pada penderita ataupun pada dokter untuk tindakan biopsi, 4.) sebagai tindak-lanjut untuk mengevaluasi mukosa mulut bekas lesi ganas yang telah diangkat atau yang telah diradiasi, 5.) lesi yang letaknya pada regio yang sulit untuk dilakukan biopsi seperti pada region posterior laring, 7.) adanya suspect herpes/candida.24

Pemeriksaan sitologi sebaiknya tidak dilakukan pada 1.) lesi yang jelas suatu kanker/dicurigai kanker yang harus dibiopsi, 2.) penderita yang tidak dapat kembali pada kunjungan berikutnya untuk tindak-lanjut pemeriksaan lesi di dalam mulutnya, 3.) lesi submukosa yang ditutupi mukosa normal, 4.) lesi pada bibir yang kering atau tertutup krusta, 5.) lesi putih yang tidak dapat dikerok.24

KERANGKA TEORI

Wanita 40-60 tahun

Kebiasaan menyirih

Lesi - lesi muko sa mulut

preleukoplakia leukoplakia

Oral submukus fibrosis


(33)

KERANGKA KONSEP

Frekuensi dan durasi menyirih

Kebiasaan menyirih

Lesi mukosa penyirih Frekuensi


(34)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah survei deskriptif analitik dengan pendekatan cross

sectional. Cross sectional adalah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika


(35)

untuk melihat perubahan pola sitologi lesi mukosa penyirih yang dihubungkan dengan frekuensi dan durasi menyirih.30

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di desa Durin Simbelang, Kecamatan Pancur Batu. Di mana jarak dari kota Medan ± 15 km dan jarak dari kota Pancur Batu ± 2 km. Di desa ini terdapat beberapa etnis suku dan salah satu dari etnis suku tersebut adalah suku Karo, di mana suku Karo di desa Durin Simbelang memiliki kebiasaan menyirih. Kebiasaan menyirih di desa Durin Simbelang lebih banyak dilakukan oleh wanita, terutama wanita yang telah telah berumah tangga.

Waktu penelitian adalah dari awal November sampai seluruh jumlah sampel selesai diperiksa di laboratorium Patologi Anatomi USU.

3.3 Populasi Penelitian dan Pengambilan Sampel Populasi

Populasi adalah ibu rumah tangga suku Karo yang mempunyai kebiasaan menyirih minimal 2 tahun dengan usia 40-60 tahun di desa Durin Simbelang, Kecamatan Pancur Batu.


(36)

Cara sampling yang digunakan adalah quota sampling. Pengambilan sampel secara quota dilakukan dengan cara menetapkan sejumlah anggota sampel secara

quotum atau jatah. Teknik sampling ini dilakukan dengan cara : pertama-tama

menetapkan besar jumlah sampel yang diperlukan atau menetapkan quotum. Kemudian jumlah atau quotum itulah yang dijadikan dasar untuk mengambil unit sampel yang diperlukan sampai jumlah quotum yang ditetapkan dapat dipenuhi.31

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1 Kriteria inklusi :

1. Wanita Karo umur 40-60 tahun.

2. Wanita yang mempunyai kebiasaan menyirih yang dilakukannya setiap hari. 3. Wanita yang mempunyai kebiasaan menyirih minimal 2 tahun.

4. Wanita yang bersedia untuk diperiksa rongga mulutnya.

5. Wanita yang mempunyai lesi mukosa penyirih di rongga mulutnya. 6. Wanita yang bersedia untuk dikerok lesi mukosa penyirihnya.

7. Lesi mukosa penyirih yang dapat terambil setelah dilakukan pengkerokan. 8. Wanita yang bersedia mengisi inform concern.

3.4.2 Kriteria eksklusi :

1. Wanita Karo yang berumur di bawah 40 dan di atas 60 tahun. 2. Wanita yang tidak mempunyai kebiasaan menyirih.

3. Wanita yang menyirih sesekali.

4. Wanita yang tidak mempunyai kebiasaan menyirih minimal 2 tahun. 5. Wanita yang tidak bersedia untuk diperiksa rongga mulutnya.


(37)

6. Wanita yang tidak mempunyai lesi mukosa penyirih di rongga mulutnya. 7. Wanita yang tidak bersedia untuk dikerok lesi mukosa penyirihnya.

8. Lesi mukosa penyirih yang tidak dapat terambil setelah dilakukan pengkerokan. 9. Wanita yang tidak bersedia mengisi inform concern.

3.5 Identifikasi Variabel Penelitian

3.5.1 Variabel dependen : Lesi mukosa penyirih

3.5.2 Variabel independen : Frekuensi menyirih dan durasi menyirih 3.5.3 Variabel independen yang dikendalikan : 1. Usia 40-60 tahun

2. Kebiasaan menyirih 3. Wanita Karo

3.5.4 Variabel pengaruh : Komposisi menyirih 3.5.6 Variabel tidak terkendali : Pola kehidupan

3.6 Defenisi Operasional

1. Kebiasaan menyirih yaitu proses meramu campuran dari unsur–unsur yang telah dipilih dan yang telah dibungkus dalam daun sirih kemudian dikunyah atau ditumbuk terlebih dahulu kemudian dikunyah.

2. Campuran sirih adalah kombinasi dari daun sirih, biji pinang dan kapur tembakau dan gambir.


(38)

3. Durasi menyirih yaitu lamanya kebiasaan sirih dilakukan seseorang dengan cara mencampurkan bahan-bahan campuran sirih menjadi suatu bentuk sehingga dapat dikunyah oleh si pemakai yang kebiasaan ini telah dilakukan minimal selama 2 tahun.

4. Frekuensi menyirih yaitu jumlah bilangan menyirih yang dilakukan dalam sehari.

5. Lesi mukosa penyirih adalah suatu lesi di mana mukosa berupa warna putih terlepas, dapat dilihat dan dirasakan serta adanya penggabungan antara bahan-bahan sirih dalam bentuk kerak dengan lapisan kulit yang berwarna kuning/coklat

kemerahan.

6. Pola patologi lesi mukosa penyirih yaitu gambaran hasil pemeriksaan patologi Anatomi, dapat berupa karyolysis, pyknosis dan karyorrhexis.

3.7 Besar Sampel

Pada penelitian ini besar sampel adalah 20% dari jumlah seluruh ibu rumah tangga suku Karo yang mempunyai kebiasaan menyirih dengan usia 40-60 tahun di desa Durin Simbelang. Di mana jumlah ibu rumah tangga yang mempunyai kebiasaan menyirih di desa tersebut adalah 153 orang.

Menurut Arikunto S., apabila subyek lebih dari 100, dapat diambil antara 10-15% atau 20-25% dengan pertimbangan : a.) kemampuan peneliti dari waktu, biaya, tenaga dan dana; b.) Sempit luasnya wilayah pengamatan setiap subyek karena ini menyangkut banyak sedikitnya data; c.) besar kecilnya resiko yang ditanggung yang ditanggung oleh peneliti.31


(39)

Besar sampel yang ditentukan adalah 35 orang. Alasan digunakannya 20% dari jumlah seluruh ibu rumah tangga suku Karo yang mempunyai kebiasaan menyirih dengan usia 40-60 tahun di desa Durin Simbelang adalah satu suku dan memiliki kebiasaan menyirih, di mana suku dan kebiasaan menyirih adalah populasi homogen. Menurut Arikunto S., apabila populasi homogen, kita dapat mengambil sampel sebagai perwakilan.31

3.8 Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data mengenai frekuensi menyirih dan durasi menyirih dilakukan dengan wawancara dengan menggunakan kuesioner.

Untuk mendapatkan gambaran mengenai lesi mukosa penyirih yang terdapat pada rongga mulut diperoleh dengan menggunakan pemeriksaan langsung di dalam rongga mulut dibantu dengan menggunakan kaca mulut serta senter sebagai alat penerang. Sebelumnya pasien diberikan air untuk kumur-kumur untuk mempermudah pemeriksaan. Dilakukan penelusuran di daerah pipi dan gusi untuk melihat ada atau tidaknya lesi mukosa penyirih. Apabila ditemukan lesi mukosa penyirih, dilakukan pengkerokan dengan menggunakan spatel kayu. Setelah dilakukan pengkerokkan, bahan kerokan yang diperoleh dihapus pada gelas objek pada sepertiga bagian tengah dan harus dihindarkan terjadinya pergumpalan. Gelas objek segera dimasukkan kedalam cairan fiksasi minimal 30 menit, setelah itu dibiarkan kering dalam udara terbuka atau dibiarkan dalam cairan fiksasi. Kemudian sediaan dikemas dengan hati-hati supaya tidak rusak dan dikirim ke Laboratorium Patologi Anatomi dengan disertai formulir pengiriman yang telah diisi untuk pemeriksaan sitologi.


(40)

3.9 Alur Penelitian

3.10 Pengolahan Data

Data yang diperoleh diproses dan diolah dengan bantuan komputer dengan program SPSS 13.

3.11 Analisis Data

1. Data diolah secara deskriptif yaitu data univariant disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi :

Gelas objek diangkat dan dibiarkan kering dalam udara terbuka/tetap di dalam

cairan fiksasi Gelas objek

dimasukkan ke dalam cairan fiksasi minimal 30

menit Spatel kayu dihapuskan pada gelas objek Dilakukan pengkerokan dengan menggunakan spatel kayu Lesi mukosa penyirih ditemuka n Dilakukan pemeriksaan di rongga mulut untuk melihat ada tidaknya lesi mukosa penyirih Pengambilan data deskriptif dengan mengunakan kuesioner Sediaan dikemas Dikirim ke laboratorium

patologi anatomi USU untuk diperiksa


(41)

- durasi menyirih, - frekuensi menyirih,

- pola patologis lesi mukosa penyirih.

2. Data bivariant diperoleh untuk melihat hubungan antara frekuensi menyirih dengan pola sitologi lesi mukosa penyirih dan durasi menyirih dengan pola sitologi lesi mukosa penyirih, dilakukan dengan uji Chi Square.

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Pada penelitian yang dilakukan di Desa Durin Simbelang, subjek penelitian yang diperiksa berjumlah 35 orang dan semuanya wanita. Dari penelitian tersebut


(42)

didapatkan hasil berupa perubahan sitologi yakni 11 orang mengalami karyorrhexis dan 24 orang memiliki sel yang normal.

Gambar 16. Normal.

Sel normal memiliki sitoplasma yang besar, satu nucleus, satu nucleolus dan bentuk kromatin yang baik.

Gambar 17. Karyorrhexis

Pada sel yang mengalami karyorrhexis , membran inti sel tersebut hilang dan dalam 1-2 hari setelah sel mengalami karyorrhexis ,

inti sel tersebut menghilang.23

4.1 LAMA MENYIRIH BERDASARKAN TAHUN

Lama subyek melakukan kebiasaan menyirih bervariasi, mulai dari 5 tahun sampai 30 tahun. Rata-rata kebiasaan menyirih pada subyek dengan sel yang mengalami karyorrhexis adalah 23,36 tahun dan rata-rata kebiasaan menyirih pada subjek dengan sel yang normal adalah 8,96 tahun.


(43)

PERUBAHAN SEL SITOLOGI

KELOMPOK LAMA MENYIRIH

BERDASARKAN TAHUN TOTAL

1 - 15 16 – 30

KARYORRHEXIS NORMAL

0 11 11

24 0 24

TOTAL 24 11 35

Pada tabel di atas menunjukkan 11 subyek memiliki sel yang mengalami

karyorrhexis setelah kebiasaan menyirih dilakukan antara 16-30 tahun, sedangkan 24

subyek memiliki sel normal setelah kebiasaan menyirih dilakukan antara 1-15 tahun.

4.2 FREKUENSI MENYIRIH

Frekuensi mengunyah sirih berkisar 3 - 20 kali, rata-rata frekuensi menyirih pada subjek dengan sel yang mengalami karyorrhexis adalah 7,81 kali dan rata-rata frekuensi menyirih pada subjek dengan sel yang normal adalah 7,46 kali.

Tabel 2. FREKUENSI MENYIRIH PERUBAHAN

SEL SITOLOGI

FREKUENSI MENYIRIH

TOTAL

1 - 10 11 – 20

KARYORRHEXIS NORMAL

2 9 11

11 13 24


(44)

Pada tabel di atas menunjukkan 2 subyek dengan frekuensi menyirih 1-10 kali per hari dan 9 subyek dengan frekuensi menyirih 11-20 kali per hari memiliki sel yang mengalami karyorrhexis, sedangkan 11 subyek dengan frekuensi menyirih 1-10 kali dan 13 subyek dengan frekuensi menyirih 11-20 kali per hari memiliki sel normal.

4.3 WAKTU YANG DIPERLUKAN UNTUK MELAKUKAN KEGIATAN MENYIRIH SATU KALI

Waktu yang dibutuhkan untuk satu kali menyirih berkisar dari 10-30 menit dengan rata-rata pada subyek dengan sel yang mengalami karyorrhexis adalah 20,45 menit dan rata-rata pada subyek dengan sel normal adalah 14,38 menit.

Tabel 3. WAKTU YANG DIPERLUKAN UNTUK MELAKUKAN KEGIATAN MENYIRIH SATU KALI

PERUBAHAN SEL SITOLOGI

WAKTU MENYIRIH SATU KALI

TOTAL

1 - 15 16 – 30

KARYORRHEXIS NORMAL

4 7 11


(45)

TOTAL 25 10 35

Pada tabel di atas menunjukkan 4 subyek dengan waktu menyirih 1-15 menit per satu kali menyirih dan 9 subyek dengan waktu menyirih 16-30 menit per satu kali menyirih memiliki sel yang mengalami karyorrhexis, sedangkan 21 subyek dengan frekuensi menyirih 1-15 menit per satu kali menyirih dan 3 subyek dengan frekuensi menyirih 16-30 menit per satu kali menyirih memiliki sel normal.

Uji statistik dengan uji chi square pada p<0,05 menujukkan bahwa adanya hubungan antara perubahan pola sitologi dengan lama subjek melakukan kebiasaan menyirih dan waktu yang dibutuhkan untuk satu kali menyirih, tetapi uji tersebut tidak menunjukkan adanya hubungan antara perubahan pola sitologi dengan frekuensi menyirih.

Karakteristik Nilai p

Lama menyirih 0,000

Frekuensi menyirih 0,097

Waktu menyirih 0,004

4.4 KOMPOSISI MENYIRIH

Uji statistik yang dilakukan tidak menunjukkan adanya hubungan antara pola perubahan sitologi dengan komposisi menyirih (p>0,05). Di mana nilai p yang didapatkan sebesar 0,709.


(46)

PERUBAHAN SEL SITOLOGI

KOMPOSISI MENYIRIH

TOTAL Daun sirih +

pinang + kapur

Daun sirih + pinang + kapur +

gambir KARYORRHEXIS

NORMAL

7 4 11

17 7 24

TOTAL 24 11 35

Pada tabel di atas menunjukkan 7 subyek dengan komposisi menyirih berupa daun sirih, pinang dan kapur dan 4 subyek dengan komposisi menyirih berupa daun sirih, pinang, kapur dan gambir memiliki sel yang mengalami karyorrhexis, sedangkan 17 subyek dengan komposisi menyirih berupa daun sirih, pinang dan kapur dan 7 subyek komposisi menyirih berupa daun sirih, pinang, kapur dan gambir memiliki sel normal.

4.5 KEBIASAAN MEMAKAN BUAH

Subyek yang diperiksa memiliki kebiasaan memakan buah, walaupun jarang dilakukan. Buah yang sering dimakan oleh subyek adalah pisang, jambu dan papaya. Uji statistik yang dilakukan tidak menunjukkan adanya hubungan antara pola perubahan sitologi dengan makan buah (p>0,05). Di mana nilai p yang didapatkan sebesar 0,973.


(47)

Tabel 5. KEBIASAAN MEMAKAN BUAH PERUBAHAN

SEL SITOLOGI

BUAH YANG DIMAKAN TOTAL

JAMBU PISANG PEPAYA

KARYORRHEXIS 5 4 2 11

NORMAL 10 9 5 24

TOTAL 15 13 7 35

Pada tabel di atas menunjukkan 5 subyek memakan buah jambu, 4 subyek memakan buah pisang, 2 subyek memakan buah papaya memiliki sel yang mengalami karyorrhexis, sedangkan menunjukkan 10 subyek memakan buah jambu, 9 subyek memakan buah pisang, 5 subyek memakan buah papaya memiliki sel normal.

Seluruh subyek yang diperiksa memiliki cara membuat campuran sirih yang sama, yakni dibungkus menjadi satu dan kemudian dikunyah. Serta seluruh subyek yang diperiksa membersihkan rongga mulutnya dengan cara kumur-kumur dengan air dan tidak ada satu subyek pun yang membersihkan rongga mulutnya dengan tembakau dan seluruh subyek memiliki kebiasaan memakan sayur-sayuran.


(48)

BAB 5 PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kegiatan mengunyah sirih masih dilakukan oleh penduduk pada masyarakat Batak Karo di Desa Durin Simbelang Kecamatan Pancur Batu terutama wanita yang sudah berumah tangga. Kegiatan menyirih di Desa Durin Simbelang dilakukan untuk mengisi waktu santai serta adanya beberapa responden yang masih memiliki kepercayaan kegiatan menyirih dapat menguatkan gigi geligi.

Pada penelitian ini, didapatkan 11 subyek mengalami perubahan nucleus yakni karyorrhexis di mana inti sel pecah dan kromatinnya hancur menjadi granul-granul yang tidak berbentuk dan 24 subyek memiliki sel normal di mana sel normal memiliki sitoplasma yang besar, satu nucleus, satu nucleolus dan bentuk kromatin yang baik.

Temuan lain dalam penelitian ini adalah adanya ciri khas pada subyek yang memiliki kebiasaan menyirih yakni adanya pewarnaan merah hingga kecoklatan pada bibir, lidah dan mukosa pipi, adanya warna kehitaman pada gigi geligi, banyaknya lesi mukosa penyirih yang ditemukan pada satu sisi terutama sisi kanan dan lesi tersebut terbatas pada sisi di mana campuran sirih tersebut dikunyah dan diletakkan. Terjadinya lesi mukosa menyirih pada satu sisi dapat disebabkan karena adanya iritasi terus menurus dari campuran sirih tersebut dengan mukosa.

Umumnya kebiasaan menyirih dilakukan dengan komposisi yang terdiri dari daun sirih, pinang, gambir dan kapur sebagai komposisi utamanya. Tidak ada subyek


(49)

yang menambahkan tembakau ataupun unsur-unsur yang lain ke dalam ramuan tersebut. Hal ini berbeda dengan subyek yang memiliki kebiasaan menyirih di Kamboja, Thailand dan India yang selalu menambahkan tembakau ke dalam ramuannya dan dikunyah bersama-sama.1

Pada penelitian ini, tidak ditemukan subyek yang melakukan kegiatan menyuntil dengan tembakau setelah kegiatan sirih dilakukan. Hal ini berbeda dengan subyek yang memiliki kebiasaan menyirih di Purwakarta yang menggunakan tembakau setelah selesai melakukan kegiatan menyirih.1

Faktor-faktor yang memiliki hubungan yang bermakna dengan perubahan pola sitologi adalah lamanya kebiasaan menyirih dilakukan di mana nilai p pada uji statistik dengan uji chi square pada p<0,05 adalah 0,000. Pada penelitian ini, 11 subyek dengan kebiasaan menyirih yang dilakukannya selama 18 hingga 30 tahun mengalami perubahan pola sitologi yakni karyorrhexis, sedangkan 24 subyek yang memiliki kebiasaannya menyirih dari 5 hingga 13 tahun belum mengalami perubahan pola sitologi atau masih memiliki sel normal. Pada penelitian yang dilakukan terhadap 102 wanita suku Kamboja, ditemukan 64 wanita dengan kebiasaan menyirih yang dilakukan selama 5 hingga 35 tahun mempunyai lesi mukosa penyirih di rongga mulutnya.5

Faktor-faktor lain yang memiliki hubungan yang bermakna dengan perubahan pola sitologi adalah waktu yang diperlukan untuk melakukan kegiatan satu kali menyirih di mana nilai p pada uji statistik dengan uji chi square pada p<0,05 adalah 0,004. Pada penelitian ini, 11 subyek yang memiliki perubahan pola sitologi yakni


(50)

sedangkan pada 24 subyek yang tidak mengalami perubahan pola sitologi atau memiliki sel normal, melakukan kegiatan menyirihnya satu kali dalam waktu 10 – 20 menit.

Faktor-faktor lain seperti frekuensi menyirih tidak menghasilkan hubungan yang bermakna dengan perubahan pola sitologi di mana nilai p pada uji statistik dengan uji chi square pada p<0,05 adalah 0,097. Pada penelitian ini, 2 subyek yang memiliki perubahan pola sitologi yakni karyorrhexis memiliki frekuensi menyirih antara 1 hingga 10 kali, dan 9 subyek yang memiliki perubahan pola sitologi yakni

karyorrhexis memiliki frekuensi menyirih antara 11 hingga 20 kali. Sedangkan pada

11 subyek yang memiliki sel normal memiliki frekuensi menyirih antara 1 hingga 10 kali, dan 13 subyek yang memiliki sel normal memiliki frekuensi menyirih antara 11 hingga 20 kali. Pada penelitian yang dilakukan terhadap 102 wanita suku Kamboja, ditemuka n 64 wanita dengan kebiasaan menyirih yang dilakukan dengan frekuensi menyirih sebanyak 4 hingga 10 kali memiliki lesi mukosa penyirih di rongga mulutnya.5

Komposisi menyirih tidak menghasilkan hubungan yang bermakna dengan perubahan pola sitologi di mana nilai p pada uji statistik dengan uji chi square pada p<0,05 adalah 0,709. Pada penelitian ini, 7 subyek dengan komposisi menyirih berupa daun sirih, pinang dan kapur dan 4 subyek dengan komposisi menyirih berupa daun sirih, pinang, kapur dan gambir memiliki sel yang mengalami karyorrhexis, sedangkan 17 subyek dengan komposisi menyirih berupa daun sirih, pinang dan kapur dan 7 subyek komposisi menyirih berupa daun sirih, pinang, kapur dan gambir memiliki sel normal. Pada penelitian ini juga tidak ditemukan satupun subyek yang


(51)

menambahkan tembakau ataupun unsur-unsur lain ke dalam ramuan sirihnya. Hal ini berbeda dengan subyek yang memiliki kebiasaan menyirih di Kamboja, Thailand dan India yang selalu menambahkan tembakau ke dalam ramuannya dan dikunyah bersama-sama.1

Faktor-faktor lain seperti kebiasaan memakan buah tidak menghasilkan hubungan yang bermakna dengan perubahan pola sitologi di mana nilai p pada uji statistik dengan uji chi square pada p<0,05 adalah 0,973. Pada penelitian ini, 11 subyek yang memiliki sel yang mengalami karyorrhexis memiliki kebiasaan memakan buah jambu, pisang dan papaya. Begitu juga dengan 24 subyek yang memiliki sel normal mempunyai kebiasaan memakan buah jambu, pisang dan papaya. Hal ini mungkin dikarenakan subyek di Desa Durin Simbelang lebih mudah untuk mendapatkan buah-buah tersebut dibandingkan dengan buah yang lain. Dilakukannya pemeriksaan terhadap subyek mengenai kebiasaan memakan buah adalah untuk melihat apakah subyek memiliki kebiasaan mengkonsumsi buah-buahan yang mengandung vitamin A, vitamin C dan vitamin-vitamin lainnya yang dapat membantu pembentukan mukosa.

Pada penelitian ini, seluruh subyek yang diteliti memiliki kebiasaan yang sama yakni membersihkan rongga mulut dengan cara kumur-kumur dengan menggunakan air setelah kegiatan sirih dilakukan dan memiliki cara membuat campuran sirih yang sama, yakni dibungkus menjadi satu dan kemudian dikunyah. Tidak ada satu subyek pun yang menumbuk ramuan sirih terlebih dahulu sebelum dikunyah karena subyek di Desa Durin Simbelang telah terbiasa membungkus


(52)

campuran sirih tersebut menjadi satu dan kemudian dikunyah dan hal ini telah dilakukan oleh subyek sejak lama.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin lama seseorang melakukan kebiasaan menyirih dan waktu seseorang melakukan kegiatan satu kali menyirih maka semakin tinggi resiko mukosa rongga mulut seseorang mengalami perubahan pola sitologi.


(53)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data serta pembahasan yang telah dilakukan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pola sitologi yang didapat dari penelitian ini adalah 11 subyek dengan

karyorrhexis dan 24 subyek denga sel normal.

2. Faktor-faktor yang memiliki hubungan yang bermakna dengan perubahan pola sitologi adalah lamanya kebiasaan menyirih dilakukan di mana nilai p pada uji statistik dengan uji chi square pada p<0,05 adalah 0,000.

3. Faktor-faktor lain yang memiliki hubungan yang bermakna dengan perubahan pola sitologi adalah waktu yang diperlukan untuk melakukan kegiatan satu kali menyirih di mana nilai p pada uji statistik dengan uji chi square pada p<0,05 adalah 0,004.

4. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin lama seseorang melakukan kebiasaan menyirih dan waktu seseorang melakukan kegiatan satu kali menyirih maka semakin tinggi resiko mukosa rongga mulut seseorang mengalami perubahan pola sitologi.

6.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat disarankan hal-hal sebagai berikut :


(54)

1. Kebiasaan menyirih dapat dikurangi dengan mencari alternatif lain seperti mengkonsumsi buah-buahan, meningkatkan kebersihan mulut serta mengurangi waktu menyirih sehingga terjadinya lesi mukosa penyirih ataupun lesi-lesi lainnya yang dapat dipicu oleh kebiasaan menyirih dapat dihindarkan. 2. Diperlukannya penelitian lebih lanjut baik histopatologi terhadap lesi mukosa

penyirih ataupun penelitian secara sitologi ataupun histopatologi terhadap lesi-lesi lainnya yang penyebab timbul lesi-lesi tersebut karena adanya kebiasaan menyirih.


(55)

DAFTAR PUSTAKA

1. Hasibuan S, Permana G, Aliyah S. Lesi-lesi mukosa mulut yang dihubungkan

dengan kebiasaan menyirih di kalangan penduduk Tanah Karo, Sumatera Utara. Dentika Dental Journal 2003; 8(2): 67-74.

2. Gupta PC, Ray CS. Epidemiology of betel quid usage. Ann Acad Med Singapore 2004; 33(suppl):31S-36S.

3. G. Gandhi, R Kaur. Chewing pan masala and or/betel quid-fashionable

attributes and/or cancer manaces. J Hum Ecol 2005;17(3) : 161-6.

4. A Auluck, G Hislop, C Poh, L Zhang, MP Rosin. Areca nut and betel quid

chewing among South Asian immigrants to Western Countries and its implication for oral cancer screening. Rural and Remote Health 9 : 1118

(Online), 2009.

5. P.A. Reichart, W. Schimidtberg, Ch. Scheifele. Betel chewer’s mucosa in

eldery Cambodian women. J Oral Pathol Med 1996; 25 : 367-70.

6. Sylvie LA. Oral mucosal lesion associated with use of quid. J Can Dent Assoc 2004; 70(4): 244-8.

7. Anonymous. Sirih

8. Perpustakaan Negara Malaysia. 1999. Sirih <

9. Anonymous. Gambar sirih


(56)

10.Anonymous. Gambir 2009).

11.Perpustakaan Negara Malaysia. 1999. Gambar gambir <

12.Anonymous. Gambar gambir <

13.Perpustakaan Negara Malaysia. 1999. Pinang <

14.Anonymous. Tembakau <

Agustus 2009).

15.Perpustakaan Negara Malaysia. 1999. Tembakau <

16.Anonymous. Gambar tembakau <

Agustus 2009).

17.Perpustakaan Negara Malaysia. 1999. Kapur <

18.Anonymous.Lesion less likely to become cancers <


(57)

19.Anonymous. Gambar leukoplakia < 2009).

20.Anonymous. Gambar oral submucous fibrosis <

21.Anonymous. Gambar lesi mukosa penyirih

22.Ruddon RW. Cancer biology. Ed ke-4. New York : Oxford University Press, 2007 : 4.

23.Anonymous. Gambar kanker rongga mulut <

Januari 2010 )

24.M. L. Bernstein, R. L. Miller. Oral exfoliative cytology.Journal Am Dent Assoc 1978; 96 : 625-9.

25.Kumar V, Cotran RS, Robbins Sl. Basic pathology. Ed ke-7. Philadephia : Saunders, 2003 : 24-25.

26.Dorland. Kamus kedokteran Dorland. Ed ke-25 Alih bahasa. Tim penerjemah EGC. Jakarta : EGC, 1996 : 577,915.

27.Anonymous. Gambar karyolysis < rjournals.org/cont ent/vol37/issue7/im age s/large/3 98fig1.jpeg> (08 Januari 2010).


(58)

28.Anonymous. Gambar pyknosis <

29.Anonymous. Gambar karyorrhexis <

30.Dr. Soekidjo Notoatmodjo. Metodeologi penelitian Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta, 2005 : 88-9, 145-6.

31.Prof. Dr. Surhasimi Arikunto S. Procedur penelitian suatu pendekatan


(59)

INFORMED CONSENT

Saya _____________________________ diberi tahu bahwa keperluan penelitian ini ialah mengidentifikasi beberapa pola sitologi lesi mukosa penyirih yang dihubungkan dengan frekuensi dan durasi menyirih. Hasil penelitian ini sangat penting dalam upaya untuk mempertinggi dam memperluas pengetahuan mengenai lesi tersebut.

Saya menyadari bila saya mengikuti dalam penelitian ini, saya akan diwawancarai oleh pewawancara yang layak, dan akan ada prosedur medis yang diperlukan.

Saya juga menyadari bahwa keterangan atau informasi yang dikumpulkan dalam penelitian ini akan diperlakukan sebagai rahasia.

Saya juga menyadari bahwa saya tidak akan dibebani biaya apapun untuk penelitian ini.

Saya juga menyadari bahwa saya setiap waktu dapat menghentikan keikutsertaan dalam penelitian ini tanpa adanya paksaan apapun juga.

Saya telah diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan berkenaan dengan tata cara penelitian ini, dan saya menyetujui untuk ikut serta dalam penelitian ini.

Tanda tangan :


(60)

POLA SITOLOGI LESI MUKOSA PENYIRIH YANG DIHUBUNGKAN DENGAN FREKUENSI MENYIRIH DAN DURASI MENYIRIH PADA

WANITA 40-60 TAHUN YANG MEMPUNYAI KEBIASAAN MENYIRIH DI DESA DURIN SIMBELANG

KECAMATAN PANCUR BATU

Pemeriksa : ………. Tanggal : ….……… Nomor : ………..

Data pribadi :

Nama :

Umur :

Pertanyaan :

1. Apakah saudara mempunyai kebiasaan menyirih? a. Ya

b. Tidak

2. Jika ya, sudah berapa lama menyirih? a. 2 tahun

b. 3 tahun c. 4 tahun d. 5 tahun

e. Lebih dari 5 tahun, sebutkan………..

3. Kapan saja menyirih dilakukan? a. Setiap hari


(61)

c. Tidak tentu/ sesekali

d. Lain-lain (sebutkan) ………..

4. Bila setiap hari, rata-rata berapa kali sirih diganti dalam 1 hari? a. 2 kali

b. 3kali c. 4 kali d. 5 kali

e. Lebih dari 5 kali, sebutkan……….

5. Dalam 1 hari, berapa lama saudara melakukan kegiatan menyirih? a. ± 1 jam

b. ± 2 jam c. ± 3 jam d. ± 4 jam e. ± 5 jam

f. Lebih dari 5 jam, sebutkan ……….

6. Campuran sirih apa yang digunakan ketika makan sirih? c. Daun sirih

d. Pinang e. Gambir f. Kapur g. Tembakau

h. Jawaban lebih dari 1, sebutkan………

7. Bagaimanakah cara saudara melakukan kebiasaan menyirih?

a. Dibungkus menjadi satu terlebih dahulu,kemudian ditumbuk dan dikunyah b. Dibungkus menjdai satu terlebih dahulu kemudian dikunyah


(62)

8. Setelah makan sirih, apakah rongga mulut dibersihkan? a. Ya

b. Tidak

9. Kalau ya, bagaimana caranya? a. Kumur-kumur dengan air b. Menggosok dengan tembakau c. Sikat gigi

d. Lain-lain (sebutkan)……….

10.Kalau tidak, kenapa? a. Merasa bersih b. Merasa aman/tenang

c. Lain-lain (sebutkan)……….

11.Apakah saudara memiliki kebiasaan menkonsumsi buah?

12.Jika ya, buah apa yang saudara konsumsi? Sebutkan……….


(63)

Crosstabs pola sitologi*kelompok lama menyirih

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

KARIOREK * KELLM 35 100.0% 0 .0% 35 100.0%

KARIOREK * KELLM Crosstabulation

Count

KELLM

Total

1.00 2.00

KARIOREK positif 0 11 11

normal 24 0 24

Total 24 11 35

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 35.000(b) 1 .000

Continuity

Correction(a) 30.514 1 .000

Likelihood Ratio 43.574 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear

Association 34.000 1 .000

N of Valid Cases 35

a Computed only for a 2x2 table

b 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.46.

Crosstabs

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

KARIOREK * KLSD 34 97.1% 1 2.9% 35 100.0%


(64)

pola sitologi* kelompok sirih diganti

Crosstab Count KLSD Total

1.00 2.00

KARIOREK positif 2 9 11

normal 11 13 24

Total 13 22 35

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 2.769(b) 1 .096

Continuity

Correction(a) 1.656 1 .198

Likelihood Ratio 2.962 1 .085

Fisher's Exact Test .140 .097

Linear-by-Linear

Association 2.688 1 .101

N of Valid Cases 34

a Computed only for a 2x2 table

b 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.21.

pola sitologi * kelompok lama satu kali menyirih

Crosstab

Count

KLSTXMEN

Total

1.00 2.00

KARIOREK positif 4 7 11

normal 21 3 24

Total 25 10 35


(65)

Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 9.665(b) 1 .002

Continuity

Correction(a) 7.321 1 .007

Likelihood Ratio 9.373 1 .002

Fisher's Exact Test .004 .004

Linear-by-Linear

Association 9.389 1 .002

N of Valid Cases 35

a Computed only for a 2x2 table

b 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.14.

Crosstabs pola sitologi*oral hygiene

Warnings

No measures of association are computed for the crosstabulation of KARIOREK * ORALHYGI. At least one variable in each 2-way table upon which measures of association are computed is a constant.

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

KARIOREK * ORALHYGI 35 100.0% 0 .0% 35 100.0%

KARIOREK * ORALHYGI Crosstabulation

Count

ORALHYGI

Total higienis

KARIOREK positif 11 11

normal 24 24

Total 35 35

Chi-Square Tests

Value

Pearson Chi-Square .(a)

N of Valid Cases 35

a No statistics are computed because ORALHYGI is a constant.


(66)

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

KARIOREK * KOMPOSIS 35 100.0% 0 .0% 35 100.0%

KARIOREK * CARAPAKA 35 100.0% 0 .0% 35 100.0%

KARIOREK * MKNBUAH 35 100.0% 0 .0% 35 100.0%

KARIOREK * CRBERSIH 35 100.0% 0 .0% 35 100.0%

KARIOREK * MKNSYR 35 100.0% 0 .0% 35 100.0%

pola sitologi*komposisi menyirih

Crosstab Count KOMPOSIS Total daun sirih+kapur +pinang daun sirih+kapur+pin ang+gambir

KARIOREK positif 7 4 11

normal 17 7 24

Total 24 11 35

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .181(b) 1 .670

Continuity

Correction(a) .001 1 .973

Likelihood Ratio .179 1 .672

Fisher's Exact Test .709 .479

Linear-by-Linear

Association .176 1 .675

N of Valid Cases 35

a Computed only for a 2x2 table

b 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.46.

pola sitologi*cara pakai

Crosstab


(67)

Count CARAPAKA Total dicampur menjadi satu kemudian dikunyah

KARIOREK positif 11 11

normal 24 24

Total 35 35

Chi-Square Tests

Value

Pearson Chi-Square .(a)

N of Valid Cases 35

a No statistics are computed because CARAPAKA is a constant.

pola sitologi*kebiasaan makan buah

Crosstab

Count

MKNBUAH

Total

jambu pisang pepaya

KARIOREK positif 5 4 2 11

normal 10 9 5 24

Total 15 13 7 35

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square .054(a) 2 .973

Likelihood Ratio .055 2 .973

Linear-by-Linear

Association .053 1 .818

N of Valid Cases

35

a 4 cells (66.7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.20.


(68)

Crosstab Count CRBERSIH Total kumur-kumur pakai air

KARIOREK positif 11 11

normal 24 24

Total 35 35

Chi-Square Tests

Value

Pearson Chi-Square .(a)

N of Valid Cases 35

a No statistics are computed because CRBERSIH is a constant.

pola sitologi*makan sayur

Crosstab Count MKNSYR Total ya

KARIOREK positif 11 11

normal 24 24

Total 35 35

Chi-Square Tests

Value

Pearson Chi-Square .(a)

N of Valid Cases 35


(1)

Crosstabs pola sitologi*kelompok lama menyirih

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

KARIOREK * KELLM 35 100.0% 0 .0% 35 100.0%

KARIOREK * KELLM Crosstabulation

Count

KELLM

Total 1.00 2.00

KARIOREK positif 0 11 11

normal 24 0 24

Total 24 11 35

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 35.000(b) 1 .000

Continuity

Correction(a) 30.514 1 .000

Likelihood Ratio 43.574 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear

Association 34.000 1 .000

N of Valid Cases 35

a Computed only for a 2x2 table

b 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.46.

Crosstabs

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

KARIOREK * KLSD 34 97.1% 1 2.9% 35 100.0%


(2)

pola sitologi* kelompok sirih diganti

Crosstab

Count

KLSD

Total 1.00 2.00

KARIOREK positif 2 9 11

normal 11 13 24

Total 13 22 35

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 2.769(b) 1 .096

Continuity

Correction(a) 1.656 1 .198

Likelihood Ratio 2.962 1 .085

Fisher's Exact Test .140 .097

Linear-by-Linear

Association 2.688 1 .101

N of Valid Cases 34

a Computed only for a 2x2 table

b 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.21.

pola sitologi * kelompok lama satu kali menyirih

Crosstab

Count

KLSTXMEN

Total 1.00 2.00

KARIOREK positif 4 7 11

normal 21 3 24

Total 25 10 35


(3)

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 9.665(b) 1 .002

Continuity

Correction(a) 7.321 1 .007

Likelihood Ratio 9.373 1 .002

Fisher's Exact Test .004 .004

Linear-by-Linear

Association 9.389 1 .002

N of Valid Cases 35

a Computed only for a 2x2 table

b 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.14.

Crosstabs pola sitologi*oral hygiene

Warnings

No measures of association are computed for the crosstabulation of KARIOREK * ORALHYGI. At least one variable in each 2-way table upon which measures of association are computed is a constant.

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

KARIOREK * ORALHYGI 35 100.0% 0 .0% 35 100.0%

KARIOREK * ORALHYGI Crosstabulation

Count

ORALHYGI

Total higienis

KARIOREK positif 11 11

normal 24 24

Total 35 35

Chi-Square Tests

Value

Pearson Chi-Square .(a) N of Valid Cases 35

a No statistics are computed because ORALHYGI is a constant.

Crosstabs


(4)

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

KARIOREK * KOMPOSIS 35 100.0% 0 .0% 35 100.0%

KARIOREK * CARAPAKA 35 100.0% 0 .0% 35 100.0%

KARIOREK * MKNBUAH 35 100.0% 0 .0% 35 100.0%

KARIOREK * CRBERSIH 35 100.0% 0 .0% 35 100.0%

KARIOREK * MKNSYR 35 100.0% 0 .0% 35 100.0%

pola sitologi*komposisi menyirih

Crosstab

Count

KOMPOSIS

Total daun

sirih+kapur +pinang

daun sirih+kapur+pin

ang+gambir

KARIOREK positif 7 4 11

normal 17 7 24

Total 24 11 35

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .181(b) 1 .670

Continuity

Correction(a) .001 1 .973

Likelihood Ratio .179 1 .672

Fisher's Exact Test .709 .479

Linear-by-Linear

Association .176 1 .675

N of Valid Cases 35

a Computed only for a 2x2 table

b 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.46.

pola sitologi*cara pakai


(5)

Count

CARAPAKA

Total dicampur

menjadi satu kemudian

dikunyah

KARIOREK positif 11 11

normal 24 24

Total 35 35

Chi-Square Tests

Value

Pearson Chi-Square .(a) N of Valid Cases 35

a No statistics are computed because CARAPAKA is a constant.

pola sitologi*kebiasaan makan buah

Crosstab

Count

MKNBUAH

Total jambu pisang pepaya

KARIOREK positif 5 4 2 11

normal 10 9 5 24

Total 15 13 7 35

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided) Pearson Chi-Square .054(a) 2 .973

Likelihood Ratio .055 2 .973

Linear-by-Linear

Association .053 1 .818

N of Valid Cases

35

a 4 cells (66.7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.20.


(6)

Crosstab

Count

CRBERSIH

Total kumur-kumur

pakai air

KARIOREK positif 11 11

normal 24 24

Total 35 35

Chi-Square Tests

Value

Pearson Chi-Square .(a) N of Valid Cases 35

a No statistics are computed because CRBERSIH is a constant.

pola sitologi*makan sayur

Crosstab

Count

MKNSYR

Total ya

KARIOREK positif 11 11

normal 24 24

Total 35 35

Chi-Square Tests

Value

Pearson Chi-Square .(a) N of Valid Cases 35