Prevalensi Kelainan Mukosa Oral Dan Pengetahuan Risiko Menyirih Pada Penduduk Kecamatan Pancur Batu Deli Serdang

(1)

PREVALENSI KELAINAN MUKOSA ORAL DAN

PENGETAHUAN RISIKO MENYIRIH PADA

PENDUDUK KECAMATAN PANCUR BATU

DELI SERDANG

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran gigi

KIIRTANA SANTHARASAGARAN NIM: 110600200

Dosen Pembimbing: Dr. Wilda Hafny Lubis, drg., Msi.

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Ilmu Penyakit Mulut Tahun 2015

Kiirtana Santharasagaran

Prevalensi Kelainan Mukosa Oral Dan Pengetahuan Risiko Menyirih Pada Penduduk Kecamatan Pancur Batu Deli Serdang.

x + 68 halaman

Kebiasaan menyirih masih dilakukan oleh penduduk Kecamatan Pancur Batu Deli Serdang, khususnya wanita yang telah berumah tangga. Terdapat banyak penelitian melaporkan adanya hubungan terjadinya kelainan mukosa oral dengan kebiasaan mengunyah sirih. Ternyata sebagian besar penyirih masih mempunyai pengetahuan yang kurang tentang dampak negatif dari kebiasaan menyirih. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kelainan mukosa oral apa saja yang terjadi pada penyirih serta pengetahuan penduduk tentang risiko menyirih.

Jenis penelitian adalah survei deskriptif dengan pendekatan cross sectional

yang melibatkan 65 orang penyirih di Kecamatan Pancur Batu. Pengumpulan data dilakukan dengan 2 cara yakni pertama melakukan pemeriksaan rongga mulut terhadap subjek dengan menggunakan kaca mulut serta senter, kelainan yang ditemukan dicatat pada lembar pemeriksaan yang telah disediakan. Data pengetahuan diperoleh dengan mewawancarai subjek sesuai dengan kuesioner yang telah disediakan. Data yang dikumpulkan kemudian ditabulasikan dan analisa data dilakukan dengan cara menghitung persentase penyakit mulut berdasarkan kebiasaan menyirih dan pengetahuan risiko menyirih.

Hasil penelitian menunjukkan dari 65 subjek sebanyak 34 subjek (52,3%) tidak mempunyai kelainan mukosa oral dan 31 subjek (47,7%) ditemukan mempunyai kelainan mukosa oral. Dari 31 subjek ditemukan sebanyak 18 kasus (58,1%) lesi mukosa penyirih, 5 kasus (16,1%) preleukoplakia dan 11 kasus (35,5%) leukoplakia, sedangkan oral submukus fibrosis dan kanker mulut tidak ditemukan.


(3)

Selain itu, ditemukan juga dari 65 penyirih sebanyak 86,2% mempunyai pengetahuan yang kurang tentang risiko menyirih. Sebanyak 7,7% mempunyai pengetahuan yang cukup dan 6,1% mempunyai pengetahuan yang baik.

Dari hasil penelitian ini prevalensi terjadinya kelainan rongga mulut akibat menyirih cukup tinggi dan apabila tidak mendapatkan perawatan kelainan ini dapat berkembang dan membahayakan kesehatan masyarakat. Penyuluhan harus berkesinambungan untuk meningkatkan pengetahuan penduduk tentang dampak negatif dari kebiasaan menyirih terhadap kesehatan rongga mulut.


(4)

PREVALENSI KELAINAN MUKOSA ORAL DAN

PENGETAHUAN RISIKO MENYIRIH PADA

PENDUDUK KECAMATAN PANCUR BATU

DELI SERDANG

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran gigi

KIIRTANA SANTHARASAGARAN NIM: 110600200

Dosen Pembimbing: Dr. Wilda Hafny Lubis, drg., Msi.

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 27 Maret 2015

Pembimbing Tanda tangan

Dr. Wilda Hafny Lubis, drg., M.Si


(6)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 27 Maret 2015

TIM PENGUJI

KETUA : Dr. Wilda Hafny Lubis, drg., M.Si ANGGOTA : 1. Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Sumatera Utara.

Rasa hormat dan terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua yaitu buat ayahanda Santharasagaran Karuppiah dan ibunda Mohanambal Sundaresan atas doa, perhatian dan dukungan moril dan materil sebagai bentuk kasih sayang kepada penulis.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbangan, bantuan dan doa dari berbagai pihak untuk menyelesaikan skripsi. Untuk itu dengan segala kerendahan hati serta penghargaan yang tulus penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing Dr.Wilda Hafny Lubis, drg.,M.Si yang telah dengan sabar, tekun, tulus dan ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran memberikan bimbingan, motivasi, arahan dan saran-saran yang sangat berharga kepada penulis selama menyusun skripsi. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Sayuti Hasibuan selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, koordinator skripsi dan tim penguji skripsi yang telah meluangkan waktu dan memberikan saran yang bermanfaat kepada penulis.

2. Indri Lubis, drg selaku tim penguji skripsi atas waktu yang telah diberikan dan saran yang bermanfaat buat penulis untuk menyelesaikan skripsi dengan baik.

3. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis selama masa pendidikan, dan staf pengajar dan pegawai Departemen Ilmu Penyakit Mulut yang telah membimbing dan memberi arahan selama masa penyusunan skripsi.

4. Siti Salmiah, drg., Sp.KGA, penasehat akademik yang telah banyak membimbing selama masa pendidikan.


(8)

5. Sahabat-sahabat penulis yaitu Dytha Debrina, Neggy, Angeline, Ashvinaa, Pennie, Elsi, Tiurma, Maya, Yuki, Patria Fajar Wibowo, Roni serta teman-teman seangkatan 2011 yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dan memotivasi penulis sepanjang skripsi.

Akhir kata, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat. Akhirnya tiada lagi yang dapat penulis ucapkan selain syukur sedalam-dalamnya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Medan, 20 Maret 2015 Penulis,

(Kiirtana Santharasagaran)


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN………... HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI………..

KATA PENGANTAR……… iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL………... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang……….. 1

1.2Rumusan Masalah ... 3

1.3Tujuan Penelitian ... 3

1.4Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Menyirih ... 5

2.2 Komposisi Menyirih ... 5

2.2.1 Sirih ... 6

2.2.2 Pinang ... 7

2.2.3 Kapur……….. 8

2.2.4 Gambir……… 9

2.2.5 Tembakau……… 10 2.3 Cara Persiapan Sirih………... 11 2.4 Kelainan Mukosa Oral Akibat Menyirih……… 12 2.4.1 Lesi Mukosa Penyirih………. 12

2.4.2 Oral Submukus Fibrosis………. 13 2.4.3 Preleukoplakia dan Leukoplakia……… 13

2.4.4 Liken Planus………... 15


(10)

2.4.5 Kanker Rongga Mulut……… 15

2.5 Pengetahuan………...……… 16

2.6 Kerangka Teori……….. 18 2.7 Kerangka Konsep………... 19 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 20

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 20

3.3 Populasi dan Sampel ... 20

3.3.1 Populasi ... 20

3.3.2 Sampel Penelitian ... 20

3.3.3 Besar Sampel………. 21

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi... 21

3.4.1 Kriteria Inklusi ... 21

3.4.2 Kriteria Eksklusi ... 21

3.5 Variabel Penelitian ... 22

3.6 Definisi Operasional ... 22

3.7 Sarana Penelitian ... 26

3.7.1 Alat ... 26

3.7.2 Bahan ... 26

3.8 Metode Pengumpulan Data ... 26

3.8.1 Data Klinik………. 26

3.9 Pengolahan Data……… 27

3.10 Analisis Data……… 27

3.11 Etika Penelitian……….. 28

BAB 4 HASIL PENELITIAN……… 30 BAB 5 PEMBAHASAN……….

38

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN……….. 45

DAFTAR PUSTAKA………

47 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Kategori nilai pengetahuan menurut Arikanto………... 24

2 Distribusi usia yang mempunyai kebiasaan menyirih……… 30

3 Distribusi durasi mengunyah sirih (tahun) pada penyirih……….. 31

4 Distribusi frekuensi mengunyah sirih dalam satu hari……… 31

5 Distribusi jumlah kelainan mukosa oral terhadap penduduk yang

mempunyai kebiasaan menyirih………. 32

6 Distribusi jenis kelainan mukosa oral pada penduduk yang

mempunyai kebiasaan menyirih………. 34

7 Distribusi pengetahuan risiko menyirih pada penduduk yang

mempunyai kebiasaan menyirih……….. 35

8 Distribusi penduduk yang tidak mempunyai kelainan mukosa

oral berdasarkan tingkat pengetahuan………. 36

9 Distribusi penduduk yang mempunyai kelainan mukosa oral

berdasarkan tingkat pengetahuan……… 36

10 Distribusi penduduk yang pernah atau tidak pernah mendapat

penyuluhan………... 37


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Komposisi menyirih……… 6

2 Pohon sirih dan daun sirih……….. 7

3 Pinang………. 8

4 Kapur…... 9

5 Gambir……….... 10

6 Tembakau... 11

7 Lesi mukosa penyirih………. 12

8 Oral submukus fibrosis……….. 13

9 Leukoplakia……… 14

10 Liken planus………... 15

11 Kanker rongga mulut………....... 16


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lembar penjelasan kepada calon subjek penelitian 2. Lembar persetujuan subjek penelitian

3. Kuesioner

4. Lembar pemeriksaan subjek 5. Data penelitian

6. Gambar lesi mukosa penyirih, preleukoplakia dan leukoplakia 7. Surat persetujuan komisi etik

8. Surat keterangan izin penelitian dari pemerintah Kabupaten Deli Serdang Kecamatan Pancur Batu


(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit yang terjadi pada manusia dapat merupakan konsekuensi dari suatu gaya hidup. Salah satu perilaku yang berkaitan dengan sosial budaya dan berhubungan dengan kesehatan rongga mulut adalah kebiasaan menyirih. Sejak zaman dulu, perilaku ini dijadikan suatu tradisi atau kebiasaan. Menurut Gupta dkk

cit Little, sebanyak 600 milliar orang dilaporkan melakukan aktivitas menyirih di seluruh dunia, terutamanya di Asia Selatan, Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik. Komposisi sirih mengandungi substan psikoaktif dan sering dikonsumsi orang ramai selain alkohol, nikotin dan kafein.1,2

Aktivitas menyirih digemari oleh masyarakat di Asia Selatan karena mempunyai beberapa manfaat kesehatan, antara lain menyegarkan pernafasan, obat pencuci perut, meningkatkan pengecapan, pengobatan ayurvedic, masalah impoten, masalah ginekologi, infeksi parasit di intestinal dan untuk mengatasi masalah pencernaan. Selain itu, menyirih dapat meningkatkan kapasitas bekerja, menimbulkan sensasi panas dalam tubuh, mengurangi rasa cemas dan meningkatkan kewaspadaan. Menyirih sering digunakan oleh orang-orang kurang mampu untuk menghindari kebosanan dan rasalapar.3,4,5 Menurut Acharya cit Flora, daun sirih diletakkan pada dahi untuk mengurangi rasa sakit kepala.3 Manfaatnya pada gigi dan mulut adalah dapat memperkuat gigi, mencegah terjadinya karies dan mengurangi rasa sakit pada gigi.5

Beberapa penelitian melaporkan bahwa kebiasaan menyirih terutama dengan menggunakan tembakau dapat menyebabkan efek negatif terhadap kesehatan. Efek yang merugikan ini terjadi disebabkan oleh faktor-faktor yang mendukung timbulnya kelainan-kelainan pada mukosa oral antara lain komposisi menyirih, durasi dan frekuensi menyirih, dilaporkan penyebab penyakit kanker pada saluran pernafasan atas dan pada saluran pencernaan. Di Asia Tenggara dilaporkan bahwa dampak dari


(15)

menyirih dapat menyebabkan gangguan tekanan darah dan penyakit kardiovaskuler. Selain itu, menyirih dapat menimbulkan efek negatif terhadap jaringan mukosa, trismus, stein dan atrisi pada bagian oklusal gigi.6,7 Berbagai penelitian melaporkan bahwa lesi mukosa oral berhubungan dengan kebiasaan menyirih.8 Hasil yang diperoleh berbeda pada tiap negara.9

Sebagai tanda awal dari terjadinya perubahan mukosa oral akibat menyirih meliputi mukosa penyirih, preleukoplakia, leukoplakia, liken planus, oral submukus fibrosis dan selanjutnya berkembang menjadi karsinoma rongga mulut.7,8,9,10 Pada penelitian yang dilakukan oleh Hasibuan dkk (2002), dilaporkan terdapat lesi mukosa penyirih 47,9%, preleukoplakia 14,3%, leukoplakia tipe homogen 7,1%, dan oral submukus fibrosis 8,2% pada penyirih di Tanah Karo. Kanker rongga mulut tidak ditemukan dalam penelitian ini.9 Menurut World Health Organization (WHO), lesi mukosa oral merupakan salah satu masalah utama kesehatan masyarakat.11 Berdasarkan laporan WHO, kampanye media massa anti tembakau di Indonesia ternyata tidak dilaksanakan pada tahun 2011 hingga 2012. Berhubungan dengan hal tersebut maka pengetahuan masyarakat tentang risiko penggunaan tembakau terutama ketika menyirih sangat kurang.12 Pemeliharaan kesehatan rongga mulut masih diabaikan sebagian orang disebabkan oleh rendahnya pengetahuan mereka tentang risiko kelainan mukosa oral yang dapat terjadi, walaupun proses terjadinya kelainan mukosa oral pada penyirih lambat dan kenyataannya jarang menimbulkan kematian spontan menyebabkan penderita sering tidak memberikan perhatian khusus.

Di Kecamatan Pancur Batu, suatu daerah yang terletak di provinsi Sumatera Utara telah lama dikenal dengan penduduk mempunyai kebiasaan menyirih. Aktivitas menyirih telah dimulai dari remaja yang bertujuan untuk menghilangkan kebosanan atau sebagai pergaulan sosial sehingga frekuensi kegiatan menyirih meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan hal diatas, dan untuk menambah informasi tentang akibat menyirih maka perlu dilakukan penelitian untuk mengidentifikasikan prevalensi terjadinya kelainan mukosa oral pada penyirih dan pengetahuan tentang risiko menyirih pada kalangan penduduk di Kecamatan Pancur Batu Deli Serdang.


(16)

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian tersebut diatas timbul permasalahan sebagai berikut:

1. Apa saja kelainan mukosa oral pada penyirih di Kecamatan Pancur Batu? 2. Berapakah prevalensi kelainan mukosa oral pada penyirih di Kecamatan Pancur Batu?

3. Bagaimana pengetahuan penduduk mengenai risiko menyirih di Kecamatan Pancur Batu?

1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

1. Untuk mengetahui kelainan mukosa oral apa saja yang terjadi pada penyirih di Kecamatan Pancur Batu.

2. Untuk mengetahui pengetahuan penduduk tentang risiko menyirih di Kecamatan Pancur Batu.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui jenis dan jumlah kelainan mukosa oral pada penyirih di Kecamatan Pancur Batu.

2. Mengetahui apakah lama frekuensi menyirih dan durasi dapat menyebabkan kelainan mukosa oral pada penyirih di Kecamatan Pancur Batu.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan kedokteran gigi bahwa menyirih dapat menimbulkan kelainan mukosa oral.

2. Sebagai data untuk penelitian-penelitian lebih lanjut tentang adanya hubungan kebiasaan menyirih dengan kelainan mukosa oral.


(17)

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Informasi ini dapat digunakan dalam membuat rancangan dan pengembangan program kesehatan gigi dan mulut untuk mencegah kebiasaan menyirih sebagai penyebab kelainan yang lebih serius di rongga mulut.

2. Sebagai informasi bagi masyarakat tentang risiko terjadinya kelainan mukosa oral akibat menyirih.

3. Diharapkan dapat menyumbangkan informasi penting untuk memahami prevalensi dan derajat keparahan penyakit mulut pada sesuatu populasi.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Menyirih

Kebiasaan menyirih sudah dikenal sekitar 2000 tahun yang lalu, sedangkan tembakau dikenal sekitar 16 Masehi.13 Menyirih merupakan kebiasaan tradisional yang dihubungkan dengan kegiatan sosial, budaya serta upacara-upacara sehingga dapat diterima di seluruh lapisan masyarakat termasuk wanita dan anak-anak. Kebiasaan menyirih telah dilaporkan di beberapa negara seperti Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh, Thailand, Kamboja, Malaysia, Indonesia, China, Papua Nugini, beberapa pulau di Pasifik dan populasi migran dari Afrika Selatan, Afrika Timur, Inggris, Amerika Utara dan Australia. Kebiasaan menyirih hampir merata dilakukan oleh masyarakat suku-suku bangsa di Indonesia, mulai dari suku-suku bangsa yang bermukim di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua. Setiap suku bangsa mengolah sirih sesuai kebutuhan budaya mereka.14 Di Sumatera Utara, kebiasaan menyirih masih dilakukan terutama pada kalangan suku Karo. Secara umum dilihat dari tinjauan geografis dan budaya, suku Karo adalah salah satu etnis suku-suku bangsa Indonesia yang mendiami daerah Dataran Tinggi Karo. Suku Karo menganut sistem kekerabatan yang disebut disebut dengan “marga” yang terdiri dari lima cabang yaitu Perangin-angin, Ginting, Sembiring, Tarigan, dan Karo-karo.15 Kelima marga ini mempunyai kebiasaan menyirih terutama pada acara adat istiadat. Dalam perkembangannya budaya, menyirih digunakan untuk tujuan kesehatan atau sebagai camilan untuk mengisi masa luang.14


(19)

Menyirih merupakan kegiatan mencampur unsur-unsur yang diletakkan dalam mulut kemudian dihisap atau dikunyah sehingga berkontak dengan mukosa dalam waktu tertentu.16 Pada umumnya bahan yang digunakan ketika menyirih adalah daun sirih (Piper betle), kapur (kalsium hidroksida) dan pinang (Areca catechu) dan pada masa selanjutnya dipadukan dengan gambir (Uncaria Gambir), tembakau (Nicotina tobaccum), cengkeh, kayu manis dan lain-lain.2,16

Gambar 1. Komposisi menyirih17

2.2.1 Sirih (Piper betle)

Nama Latin daun sirih adalah Piper betle L, yang berasal dari keluarga

Piperaceae.Sirih merupakan tanaman menjalar dan merambat pada batang pohon di sekelilingnya.18 Secara makroskopik tanaman ini berwarna hijau kekuningan atau hijau gelap dengan permukaan yang licin. Panjang daun adalah 7-15 cm dan lebarnya adalah 5-14 cm. Daunnya berbentuk jantung, berujung runcing, tumbuh bersilang-seling, bertangkai dan mengeluarkan bau yang menyenangkan bila diremas. Batangnya berwarna cokelat kehijauan, berbentuk bulat dan berkerut. Daun sirih mempunyai aroma disertai dengan berbagai rasa, dari rasa manis hingga berbau tajam karena mengandung minyak atsiri.19

Komponen utama daun sirih adalah pati, diastases, gula dan minyak atsiri. Minyak atsiri (betlephenol) pada daun sirih merupakan suatu cairan yang volatil yang mengandungi beberapa fenol termasuk hydroxychavicol, eugenol, dan chavicol. Eugenol dalam minyak atsiri mempunyai fungsi anti jamur dan Chavicol berperan


(20)

sebagai antiseptik.2,19 Menurut Wang dkk cit International Agency For Research On Cancer, daun sirih mengandungi vitamin C dan carotene.2 Daun sirih memiliki manfaat yang sangat luas sebagai bahan obat. Manfaat dari daun sirih antara lain sebagai antiseptik, stimulan, menghilangkan bau mulut, abses, gatal-gatal, pembengkakan gusi, rematik dan mencegah abrasi. Bahkan, jus daun sirih digunakan untuk mengurangi demam, batuk, kelelahan dan asma.18,19,20

Gambar 2. Pohon sirih dan daun sirih21

2.2.2 Pinang (Areca catechu)

Pinang yang dikenali sebagai Areca catechu merupakan suatu jenis tanaman yang berasal dari keluarga Arecaceae yang tumbuh di Afrika Timur, Asia Selatan dan Pulau Pasifik. Di India pinang dikenali sebagai pan dan di Bali sebagai boa.21 Pinang dapat tumbuh 10-30 meter dan meruncing di bagian pucuk sekitar 3-5 cm. Buah pinang mempunyai bentuk bulat dan berwarna hijau ketika masih muda dan berubah menjadi kuning dan jingga apabila masak. Kandungan dari pinang adalah catechu-tannic acid (25-35%), acacatechin (2-10%), quercetin, catechu red, alkaloid

(arecoline, arecaidine, guvacine dan guvacoline).2,23,24

Pinang adalah suatu jenis unsur yang mempunyai warna merah-cokelat yang sering dioleskan pada sirih dan dibungkus bersamaan dengan unsur lain.2 Kulit buah pinang biasanya dibuang dan bagian inti pinang dikunyah secara menyeluruh atau


(21)

dipotong kecil sebelum dikunyah. Kulit biji pinang dapat digunakan untuk membersihkan gigi. Menurut Wilson dkk cit World health organization Western Pacific Region, dilaporkan bahwa pinang dapat menghasilkan rasa manis dan efek stimulan. Ketika pinang, kapur dan daun sirih dikunyah pada masa bersamaan akan menyebabkan hasil pengunyahan menjadi warna merah.23

Menurut Surendiran dkk cit Cyriac, dilaporkan bahwa pinang dapat menghambat pertumbuhan dan propagasi S.mutans. Selain itu, beberapa laporan menyatakan bahwa tumbuhan ini mempunyai sifat antioksidan.25 Menurut Murti dkk

cit Adhikari pinang merupakan salah satu faktor etiologi utama terjadinya oral submukus fibrosis. Hal ini terbukti mukosa oral menjadi kaku dan terdapat pembentukan fibrous bands, disertakan dengan kehilangan elastisitas mukosa sehingga sulit membuka mulut.24

Gambar 3. Pinang21

2.2.3 Kapur (kalsium hidroksida)

Kapur adalah senyawa atau bahan oksida, hidroksida, dan karbonat dari kalsium (Ca). Kapur atau cunam (kapur mati) berwarna putih likat seperti krim yang dihasilkan dari cangkang siput laut yang telah dibakar. Hasil dari debu cangkang perlu dicampur dengan air untuk mempermudah pengolesan ke atas daun sirih.21

Kapur boleh didapati dengan membakar batu kapur (kalsium karbonat CaCO3). Apabila dibakar dengan suhu tertentu, kalsium karbonat mengeluarkan gas karbon dioksida (CO2) dan senyawa kalsium oksida (CaO). Kalsium oksida dicampur


(22)

dengan air sehingga mengembang dan menghasilkan haba serta mejadi bubuk kapur yang dikenal sebagai kalsium hidroksida (Ca(OH)2).21

Proses ini disebut dengan tindakan air (slaking) dan bubuk kapur adalah kapur terhidrat. Bubuk kapur akan menjadi cair jika campuran air berlebihan. Bubuk kapur yang didiamkan lama akan menyebabkan kandungan airnya hilang dan bereaksi dengan karbon dioksida di udara sehingga kembali menjadi kalsium karbonat.21 Kapur dan komposisi lain pada sirih dipadukan sebelum dikunyah. Kapur melepaskan

alkaloid dari pinang sehingga menghasilkan perasaan euforia.16 Kapur boleh menyebabkan inflamasi pada daerah submukosa.26 Selain itu, kapur juga merupakan faktor pemicu pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) sehingga menyebabkan kerusakan oksidatif pada Deoxyribonucleic Acid (DNA) sel mukosa bukal pada penyirih.24

Gambar 4. Kapur21

2.2.4 Gambir (Uncaria Gambir)

Gambir merupakan suatu jenis tumbuhan yang terdapat di Asia Tenggara, biasanya sering dijumpai di Malaysia dan Indonesia. Gambir termasuk dalam keluarga Rubiaceae. Tinggi tumbuhan ini adalah sekitar 2.4 meter dan panjang daunnya adalah 8-14 cm. Daunnya berbentuk lonjong dan permukaannya licin. Bunganya berwarna kelabu.21,28 Kandungan utama gambir adalah asam katechu tannat (20-50%), katechin (7-33%), dan pyrocatechol (20-30%). Menurut Bachtiar cit


(23)

Dahlimi menyatakan bahwa kandungan kimia gambir yang paling banyak dimanfaatkan adalah katechin dan tanin.28

Pada masyarakat tradisional, gambir merupakan satu bahan yang cukup banyak dibutuhkan. Kegunaan gambir secara tradisional adalah sebagai bahan pelengkap makan sirih dan obat-obatan, seperti di Malaysia gambir digunakan sebagai obat luka bakar, di samping rebusan daun muda dan tunasnya sebagai obat diare dan disentri serta obat kumur-kumur pada sakit tenggorokkan, sedangkan di Singapura gambir digunakan sebagai bahan baku obat sakit perut dan sakit gigi.28

Gambar 5. Gambir 21

2.2.5 Tembakau (Nicotiana tabacum)

Tembakau berasal dari famili Solanaceae. Daun-daunnya digunakan untuk membuat rokok. Tembakau dapat tumbuh dalam keadaan iklim yang berlainan. Ketika musim kemarau tembakau dipanen untuk mendapatkan daun-daun yang bermutu. Daun-daun tembakau yang bermutu hanya boleh dihasilkan di kawasan-kawasan tertentu. Jenis tembakau yang sama jika ditanam di kawasan-kawasan yang mempunyai tanah yang berlainan dapat menghasilkan kualitas daun yang rendah. 21

Pohon tembakau subur dapat tumbuh sehingga 2 meter. Daun tembakau digunakan sebagai pelengkap dalam menyirih. Unsur bioaktif yang terdapat pada tembakau adalah nikotin, sifatnya menimbulkan ketagihan sehingga mendorong otak melepaskan catecholamine. Akibat merugikan adalah tembakau dapat menyebabkan hipertensi, stroke, kanker paru-paru, kanker mulut dan penyakit jantung koroner.29


(24)

Gambar 6. Tembakau 21

2.3 Cara Persiapan Sirih

Pengolahan menyirih adalah berbeda pada beberapa negara tergantung kepada kebiasaan dan sumber bahan yang boleh didapati. Komposisi utama terdiri dari daun sirih, biji buah pinang dan kapur. Terdapat sebagian penyirih menambahkan kelapa parut, tembakau, kunyit, cengkeh dan kayu manis.2,16

Di India, kegiatan menyirih berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Secara umum, menyirih dilakukan dengan biji buah pinang dihancurkan, dipotong kecil atau diparut terlebih dahulu, kemudian dicampurkan dengan kapur dan rempah lalu dibungkus dengan daun sirih.30 Di Lao People’s Democratic Republic, daun sirih dioleskan dengan kapur, biji pinang dan tembakau yang dipotong kecil, kemudian

camphor digunakan untuk menghilangkan stein merah pada gigi setelah mengunyah.2 Sementara di Thailand, menurut Mougne dkk cit International Agency For Research On Cancer, komposisi utama menyirih adalah daun sirih, pinang dan kapur, kemudian ditambahkan dengan bahan adiktif seperti tembakau, sandalwood atau

moonflower bark. Di Myanmar, aktivitas menyirih dikenali sebagai kun-ya atau kun. Komposisi utama adalah sama seperti di Thailand, yaitu daun sirih, pinang, kapur dan tembakau. Menurut Chin dkk cit International Agency For Research On Cancer, di Malaysia, suku India menggunakan daun sirih muda, kapur, tembakau dan pinang yang dikeringkan yang telah dipotong atau dalam bentuk bubuk sedangkan suku Melayu menggunakan daun sirih matang, gambir, kapur dan pinang segar.2


(25)

.

Menurut Moller dkk cit International Agency For Research On Cancer

aktivitas bersirih di Indonesia mengacu pada kebiasaan mengunyah campuran daun sirih (Piper betle Leaves), biji pinang (Areca Catechu), dan kapur (Kalsium hidroksida) yang pada masa selanjutnya dipadukan dengan gambir (Uncaria Gambir) dan tembakau (Nicotina Tobaccum).2,15 Rempah seperti kapulanga atau cengkeh ditambah untuk menambah rasa. Kemudian campuran ini diletakkan dalam mulut dan dihisap, dikunyah atau digosok sehingga berkontak dengan mukosa dalam waktu tertentu.16 Di Indonesia, menyirih dilakukan dengan cara mengunyah gumpalan sirih kemudian ditambah gumpalan tembakau yang bertujuan untuk membersihkan gigi dan seterusnya dibiarkan di dalam mulut selama beberapa menit.31

2.4 Kelainan Mukosa Oral Akibat Menyirih

2.4.1 Lesi Mukosa Penyirih (Betel Chewers Mucosa)

Lesi mukosa penyirih merupakan suatu kondisi di mana mukosa oral cenderung mengalami deskuamasi yang disebabkan komposisi bahan-bahan menyirih atau efek traumatik pada saat mengunyah atau kedua-duanya. Dalam arti lain, iritasi mukosa dapat disebabkan dari sumber kimia atau mekanis ketika mengunyah sirih. Pasien yang menderita lesi mukosa penyirih sering mempunyai atrisi gigi yang berat.32 Lesi ini merupakan predisposisi oral submukus fibrosis dan kanker.33,34

Secara klinis, lesi ini kelihatan cokelat-kemerahan pada sisi yang berkontak dengan mukosa bukal. Diskolorasi disebabkan komposisi sirih yang mengandungi kapur dan polyphenol. Tingkat diskolorasi juga dipengaruhi oleh komposisi sirih dan frekuensi menyirih. Lesi ini mempunyai karakteristik antara lain permukaan yang keriput, irregular, kasar dan permukaan epitel yang sulit dihapus.32


(26)

Gambar 7. Lesi mukosa penyirih35

2.4.2 Oral Submukus Fibrosis

Oral submukus fibrosis merupakan lesi prekanker yang dijumpai pada mukosa mulut, orofaring, nasofaring dan esofagus, sering disebabkan penggunaan pinang ketika menyirih.36,37 Kelainan ini merupakan lesi yang kronik, ireversibel yang sering dijumpai pada mukosa bukal. Simptom awal submukus fibrosis adalah sensasi bakar, mulut kering, mukosa menjadi pucat dan ulserasi. Sensasi bakar terjadi ketika berkontak dengan makanan pedas. Pada tahap yang lebih lanjut mukosa bersangkutan menjadi tebal, keras dan dengan terbentuknya fibrous bands akan menyebabkan kesulitan untuk membuka mulut, bicara, menelan dan membatasi penggerakan lidah.37,38,39 Mukosa menjadi pucat karena terjadinya kerusakan pada vaskular akibat dari peningkatan fibrosis sehingga kelihatan seperti marble.39

Komposisi menyirih yang terdiri dari pinang dapat melepaskan unsur aktif

arecoline yang akan menstimulasi fibroblas untuk meningkatkan produksi kolagen sehingga terjadi fibrosis.36,37 Frekuensi dan durasi mempengaruhi pengembangan dari lesi ini.39 Oral submukus fibrosis dapat didefinisikan bila terdapat satu atau lebih karakteristik, yaitu dapat fibrous bands yang dapat dipalpasi, tekstur dari lesi terasa kasar dan keras dan mukosa oral memucat.37

Gambar 8. Oral submukus fibrosis36,40


(27)

Preleukoplakia dan leukoplakia adalah lesi yang dapat dijumpai pada masyarakat yang mempunyai kebiasaan menyirih dengan penggunaan tembakau. Lesi ini sering dijumpai pada mukosa bukal dan komisura. Tahap awal dari leukoplakia homogen juga dikenali sebagai preleukoplakia.38 Preleukoplakia merupakan derajat rendah atau reaksi ringan dari mukosa. Gambaran klinis menunjukkan mukosa kelihatan putih keabu-abuan, disertai sedikit pola lobular dan tidak mempunyai batas yang nyata dan bercampuran dengan mukosa berhampiran.41 Lesi ini bersifat reversibel tetapi dapat menjadi tebal sehingga kelihatan warna putih yang nyata akibat dari keratin yang menebal.38

Menurut International Conference, leukoplakia didefinisikan sebagai plak atau bercak putih pada mukosa mulut yang tidak dapat dihapus dan tidak dapat diklasifikasikan secara klinis atau patologis sebagai penyakit lain dan tidak dihubungkan dengan berbagai agen kimia atau fisik kecuali tembakau. Salah satu faktor predisposisi terjadinya leukoplakia akibat penggunaan tembakau. Hal ini dapat dibuktikan apabila kebiasaan menggunakan tembakau dihentikan lesi ini tidak kelihatan. Pada pengguna tembakau yang berat, lesi ini mempunyai warna cokelat-kekuningan. Selain itu, penggunaan kapur dan pinang yang berlebihan dapat menyebabkan trauma lokal pada mukosa, apabila kegiatan menyirih dilakukan secara terus menerus Reactive Oxygen Species (ROS) menyebabkan kerusakan pada DNA sehingga sel mengalami proliferasi dan pada masa yang lanjut hiperkeratinasasi epitel terbentuk.42 Pada umumnya, lesi ini tidak mempunyai gejala namun terdapat kasus yang menyatakan bahwa lesi ini dapat menimbulkan sakit, mukosa menjadi tebal dan sensasi terbakar.36


(28)

Gambar 9. Leukoplakia37

2.4.4 Liken Planus

Liken planus sering ditemukan pada penyirih terutama pada bagian mulut yang sering terpapar dengan sirih. Lesi ini dapat hilang apabila frekuensi dan durasi mengunyah sirih dikurangi.8 Lesi ini terdiri atas enam tipe yaitu retikular, papula, plak, erosif, atrofi dan bulla. Tipe atrofi dan erosif sering menunjukkan gambaran eritematus sedangkan tipe plak, papula dan retikular terjadi akibat hipertrofi sel. Tipe retikular sering ditemukan di dalam rongga mulut, tipe ini menunjukkan gambaran garis putih halus dan bergelombang, memiliki Wickham striae yang dikelilingi dengan batas eritematus yang tidak jelas. Di rongga mulut lesi ini sering ditemukan pada posterior mukosa bukal, lidah dan gingiva. Tipe plak mempunyai gambaran seperti leukoplakia dan sering terjadi dalam bentuk bercak putih yang homogen.43

Gambar 10. Liken planus43

2.4.5 Kanker Rongga Mulut

Kanker adalah pertumbuhan sel yang abnormal yang disebabkan oleh perubahan yang multipel pada gen dan menyebabkan hilang keseimbangan antara proliferasi sel dan apoptosis sel. Pada akhirnya berubah menjadi populasi sel yang dapat menginvasi jaringan dan bermetastase ke bagian tubuh yang lain. Kanker dapat menyebabkan kematian yang signifikan jika tidak dirawat.44


(29)

Mengunyah tembakau dengan berbagai komposisi sirih seperti daun sirih, pinang, dan kapur merupakan faktor risiko terjadinya Oral Squamous Cell Carcinoma (OSCC).34 Tembakau yang ditambahkan pada komposisi sirih dapat bertanggung jawab terhadap pembentukan kanker karena tembakau mempunyai sifat karsinogenik. Kanker dapat dilihat pada bagian mulut di mana sirih sering diletakkan, yaitu pada daerah mukosa bukal atau pada bagian lateral lidah.30 Pada squamous cell carcinoma terdapat kadar metastasis yang tinggi.45 OSCC dapat terjadi tanpa atau dengan bergabung dengan oral submukus fibrosis.30

Gambar 11. Kanker rongga mulut43

2.5 Pengetahuan

Pengetahuan (knowledge) adalah hasil dari “tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Dengan sendirinya pada waktu pengindraan sehingga menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.46


(30)

Menurut Notoatmodjo (2010), pengetahuan yang dicakup didalam domain kognitif mempunyai beberapa tingkatan yaitu;46

a. Tahu (know), diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah ada sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima, oleh sebab itu tahu merupakan tingkatan pengetahuan paling rendah.

b. Memahami (Comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar.

c. Analisis (Analysis), adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi yang saling terkait.

d. Sintetis (Syntetis), adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

e. Evaluasi (Evaluation), ini berkaitan dengan kemampuan untuk penilaian terhadap suatu materi atau objek.


(31)

2.6 Kerangka Teori

Kebiasaan menyirih

Komposisi Menyirih

Kelainan mukosa oral akibat menyirih

Pengetahuan tentang risiko menyirih

Sirih

Kapur

Gambir

Tembakau Pinang

Preleukoplakia dan

Leukoplakia Liken planus Lesi

mukosa penyirih

Oral submukus

fibrosis

Kanker rongga mulut


(32)

2.7 Kerangka Konsep

Tingkat pengetahuan

 Tahu

 Memahami

 Analisis

 Sintesis

 Evaluasi

Kelainan mukosa oral akibat menyirih

 Lesi mukosa penyirih

 Oral submukus fibrosis

Kebiasaan menyirih

 Komposisi menyirih

 Frekuensi


(33)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian dilakukan secara survei deskriptif dengan pendekatan potong silang (cross sectional), yaitu mengetahui prevalensi kelainan mukosa oral disebabkan kebiasaan menyirih dan pengetahuan penduduk tentang risiko menyirih. Setiap subjek hanya diperiksa satu kali saja.47

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Pancur Batu, Deli Serdang pada bulan Januari 2015. Di Kecamatan ini terdapat beberapa etnis suku dan salah satu dari etnis suku tersebut adalah suku Karo, di mana suku Karo di Kecamatan Pancur Batu masih mempunyai kebiasaan tradisional yaitu kebiasaan menyirih. Kebiasaan menyirih di Kecamatan Pancur Batu lebih banyak dilakukan oleh wanita.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah penduduk yang bermukim di Kecamatan Pancur Batu yang memiliki kebiasaan menyirih.


(34)

3.3.2 Sampel Penelitian

Teknik pemilihan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik consecutive sampling yaitu semua subjek yang datang secara berurutan dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi.47

3.3.3 Besar Sampel

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan persentase kebiasaan mengunyah sirih pada masyarakat Batak Karo di Kecamatan Pancur Batu dari hasil penelitian Emerson Lim (2007) yaitu 32%,48 diperoleh sampel dengan menggunakan rumus besar sampel untuk data nominal terhadap sampel tunggal untuk estimasi proporsi suatu populasi yaitu sebagai berikut:47

n=

Keterangan : n : Jumlah sampel

Zα : Tingkat Kemaknaan (nilai Zα yang dipakai adalah 10%, maka Zα = 1,64)

P : Proporsi mengunyah sirih penelitian Emerson Lim (2007), 32%) Q : 1 – P ( Q = 0,68)

d : presisi (nilai presisi yang ditentukan peneliti adalah 10 %)

n=

= 58,5

Jumlah sampel minimal yang didapat adalah 58,5. Maka jumlah sampel yang akan diambil pada penelitian ini adalah 65 orang.

3.4Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1 Kriteria Inklusi


(35)

1. Subjek mempunyai kebiasaan menyirih setiap hari sampai pada saat penelitian dilakukan.

2. Subjek yang bersedia untuk menjadi sampel penelitian.

3.4.2 Kriteria Eksklusi:

Subjek yang mempunyai kebiasaan menyirih serta merokok dan mengonsumsi alkohol.

3.5Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah:

a. Variabel bebas : 1. Kebiasaan menyirih

2. Pengetahuan penduduk tentang risiko menyirih b. Variabel terikat : Kelainan mukosa oral:

 Lesi mukosa penyirih

 Oral submukus fibrosis

 Preleukoplakia

 Leukoplakia

 Kanker

c. Variabel terkendali : Umur penduduk (12-80 tahun)

3.6 Definisi Operasional

1. Kebiasaan menyirih

Definisi : Kebiasaan yang dilakukan dengan memadukan bahan-bahan campuran sirih menjadi satu sehingga dapat dikunyah, bahan terdiri dari daun sirih, pinang dan kapur dengan atau tanpa beberapa macam rempah lainnya seperti gambir, tembakau, cengkeh, kayu manis dan lain-lain.2,14,16

Cara ukur : Wawancara Alat ukur : Kuesioner Skala ukur : Kategorik 2. Umur


(36)

Cara ukur : Wawancara Alat ukur : Kuesioner Skala ukur : Kategorik 3. Komposisi menyirih

Definisi : Bahan-bahan yang digunakan ketika menyirih, komposisi utama terdiri dari daun sirih, pinang dan kapur sedangkan komposisi tambahan terdiri atas komposisi utama ditambah dengan tembakau dan gambir.2,14,16

Cara ukur : Wawancara Alat ukur : Kuesioner Skala ukur : Kategorik 4. Frekuensi menyirih

Definisi : Berapa kali seseorang menyirih dalam satu hari. Cara ukur : Wawancara

Alat ukur : Kuesioner Skala ukur : Kategorik 5. Durasi menyirih

Definisi : Lamanya seseorang melakukan kebiasaan menyirih mulai dari waktu pertama kali sampai saat penelitian dilakukan (tahun).

Cara ukur : Wawancara Alat ukur : Kuesioner Skala ukur : Kategorik

6. Pengetahuan penduduk tentang risiko menyirih

Definisi : Pengetahuan responden tentang risiko menyirih dan efek buruk yang dapat ditimbulkan pada rongga mulut. Pengetahuan responden merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah responden melakukan pengindraan terhadap kebiasaan menyirih.50

Cara ukur : Wawancara Alat ukur : Kuesioner Skala ukur : Kategorik


(37)

Hasil ukur : Gambaran tingkat pengetahuan responden terhadap risiko menyirih diukur melalui 10 pertanyaan. Jawaban yang benar diberi nilai 1, jawaban yang salah diberi nilai 0. Total nilai semua pertanyaan dijumlahkan dan dikategorikan. Maka jumlah skor benar untuk seluruh pertanyaan yang diberikan adalah 10. Kemudian jumlah skor setiap responden dihitung dengan rumus:

P = F / N * 100%

P = Persentase

F = Jumlah jawaban yang benar

N = Jumlah soal

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala kategorik, maka hasil persentase skor setiap responden dikategorikan sebagai berikut:50

Tabel 1. Kategori Nilai Pengetahuan Menurut Arikunto (2006) Tingkat

Pengetahuan

Penjelasan

Baik Responden mampu menjawab dengan benar 75-100% dari seluruh pertanyaan.

Cukup Responden mampu menjawab dengan benar 56-74% dari seluruh pertanyaan.

Kurang Responden mampu menjawab dengan benar 0-55% dari seluruh pertanyaan.

7. Lesi mukosa penyirih (Betel Chewer’s Mucosa)

Definisi : Lesi yang mempunyai permukaan yang keriput, irregular, kasar, hiperemi dan permukaan epitel yang sukar dihapus. Cenderung terjadi deskuamasi disebabkan komposisi bahan menyirih atau efek traumatik. Lesi kelihatan merah-kecoklatan pada mukosa bersangkutan.32


(38)

Alat ukur : Kaca mulut Skala ukur : Kategorik 8. Oral submukus fibrosis

Definisi : Lesi yang menyebabkan mukosa menjadi pucat, tebal, keras dan dengan adanya fibrous band dapat menghambat pergerakan mulut.37 Simtom awal adalah rasa terbakar ketika makan makanan pedas. Mukosa memperlihatkan

fibrous band putih yang vertikal sehingga memberikan tekstur yang kasar dan keras ketika dipalpasi dan rasa sakit serta ketidakmampuan membuka mulut. Bila penyakit berkembang trimus akan terjadi akibat kehilangan regangan dan mukosa menjadi lebih pucat dan kaku.36

Cara ukur : Pemeriksaan objektif pada mukosa oral Alat ukur : Kaca mulut

Skala ukur : Kategorik 9. Preleukoplakia

Definisi : Suatu reaksi rendah dari mukosa mulut. Lesi kelihatan putih keabu-abuan, sedikit pola lobular, dan tidak mempunyai batas nyata dengan jaringan dekatnya.9,41

Cara ukur : Pemeriksaan objektif pada mukosa oral Alat ukur : Kaca mulut

Skala ukur : Kategorik 10. Leukoplakia

Definisi : Plak atau bercak putih pada mukosa oral yang tidak dapat dihapus dan tidak dapat diklasifikasikan secara klinis atau patologis sebagai penyakit lain dan tidak dihubungkan dengan berbagai agen kimia atau fisik kecuali tembakau. Permukaan lesi licin atau kasar ketika dipalpasi. Lesi kelihatan tebal, berfisur dan indurasi.36

Cara ukur : Pemeriksaan objektif pada mukosa oral Alat ukur : Kaca mulut

Skala ukur : Kategorik 11. Kanker


(39)

Definisi : Lesi yang mengalami ulserasi dengan indurasi pada tepi ulser, ulser meninggi atau kelihatan sebagai massa yang tumbuh eksofitik dengan permukaan yang licin atau pebbled, dan mudah berdarah apabila ada trauma.51

Cara ukur : Pemeriksaan objektif pada mukosa oral Alat ukur : Kaca mulut

Skala ukur : Kategorik

3.7 Sarana Penelitian 3.7.1 Alat Penelitian

-Sarung tangan -Masker -Kaca mulut -Tisu

-Alat tulis -Senter

3.7.2 Bahan

- Desinfektan (Dettol) - Baskom

3.8 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data ditujukan kepada penduduk yang mempunyai kebiasaan menyirih di Kecamatan Pancur Batu. Penelitian dilakukan mulai pukul 09.00-17.00 di pasar Pancur Batu. Subjek diberikan informasi tentang tujuan penelitian dan setelah subjek setuju menjadi subjek penelitian, subjek dimohon menandatangani lembar persetujuan (Informed consent). Subjek kemudian diwawancarai dan pemeriksaan rongga mulut dilakukan sesuai dengan lembar pemeriksaan disediakan.


(40)

Data klinik diperoleh dengan melakukan pemeriksaan menggunakan kuesioner dan pemeriksaan jaringan rongga mulut terhadap subjek penelitian, prosedurnya antara lain:

1. Peneliti mengajukan pertanyaan sesuai dengan kuesioner kepada subjek penelitian untuk mengetahui pengetahuan responden tentang risiko menyirih.

2. Subjek penelitian didudukkan dalam keadaan rileks pada kursi yang disediakan di lokasi penelitian. Posisi peneliti berdiri di depan subjek penelitian. Pemeriksaan klinis dilakukan peneliti dengan bantuan asisten peneliti.

3. Gambaran mengenai kelainan yang terdapat pada rongga mulut diperoleh dengan melakukan pemeriksaan langsung pada rongga mulut responden dengan menggunakan kaca mulut untuk melihat mukosa labial, mukosa bukal, gingiva, dan palatum serta senter sebagai alat penerangan. Dilakukan penelusuran di daerah mukosa bukal dan gusi untuk melihat ada atau tidak kelainan mukosa oral.

4. Kelainan mukosa oral yang terjadi pada rongga mulut dicatat sesuai dengan lokasinya pada formulir yang telah dibuat. Kriteria diagnosa disesuaikan dengan kriteria pada definisi operasional.

3.9Pengolahan Data

Data yang dikumpulkan dari kuesioner yang telah diisi akan dikategorikan sesuai dengan langkah-langkah berikut:52

1. Editing, yaitu melakukan pemeriksaan kelengkapan data yang dikumpulkan. Jika terjadi kesalahan atau kekurangan dalam pengumpulan data akan diperbaiki sebelum peneliti meninggalkan lapangan penelitiannya dan melakukan pendataan ulang.

2. Coding, yaitu proses memberikan kode pada jawaban-jawaban responden, sistem ini memudahkan pengolahan data, sehingga harus tetap terlebih dahulu diteliti oleh peneliti.

3. Entry data, kegiatan ini memasukkan data dalam program komputer untuk dilakukan analisis dengan uji statistik deskriptif dengan menyajikan data dalam bentuk persentase.


(41)

4. Tabulating, adalah proses menghitung setiap variabel berdasarkan kategori yang telah ditetapkan sebelumnya sesuai dengan tujuan penelitian.

3.10 Analisa Data

Data univariat disajikan dalam bentuk tabel yang meliputi:

1. Distribusi usia penduduk yang mempunyai kebiasaan menyirih. 2. Distribusi durasi mengunyah sirih (tahun) pada penyirih. 3. Distribusi frekuensi mengunyah sirih dalam satu hari.

4. Distribusi komposisi menyirih yang digunakan oleh penduduk di Kecamatan Pancur Batu.

5. Distribusi jumlah kelainan mukosa oral pada penduduk yang mempunyai kebiasaan menyirih di Kecamatan Pancur Batu.

6. Distribusi jenis kelainan mukosa oral yang ditemukan pada penduduk yang mempunyai kebiasaan menyirih di Kecamatan Pancur Batu.

7. Distribusi pengetahuan risiko menyirih pada penduduk yang mempunyai kebiasaan menyirih di Kecamatan Pancur Batu.

8. Distribusi penduduk yang tidak mempunyai kelainan mukosa oral berdasarkan tingkat pengetahuan.

9. Distribusi penduduk yang mempunyai kelainan mukosa oral berdasarkan tingkat pengetahuan.

10.Distribusi penduduk yang pernah atau tidak pernah mendapat penyuluhan tentang dampak penggunaan sirih.

Data yang dikumpulkan kemudian ditabulasikan dan analisa data dilakukan dengan cara menghitung persentase penyakit mulut berdasarkan kebiasaan menyirih dan pengetahuan risiko menyirih. Analisa data dilanjutkan dengan membahas hasil penelitian.

3.11 Etika Penelitian

Etika penelitian dalam penelitian ini mencakup: 1. Lembar persetujuan (Informed Consent)


(42)

Peneliti menjelaskan tujuan penelitian, tindakan yang akan dilakukan serta informasi yang akan diperoleh yang berkaitan dengan penelitian kepada subjek. Jika subjek penelitian mengerti dan bersedia menjadi sampel, subjek penelitian dimohon untuk menandatangani lembar persetujuan dan berpartisipasi dalam kegiatan penelitian.

2. Ethical Clearance

Peneliti mengajukan lembar persetujuan pelaksanaan penelitian kepada komisi etik penelitian kesehatan berdasarkan ketentuan etika yang bersifat internasional maupun nasional.

3. Kerahasiaan ( Confidentiality)

Data yang terkumpul dalam penelitian akan dijamin kerahasiannya oleh peneliti, karena itu data yang ditampilkan dalam bentuk data pribadi subjek.


(43)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Responden

Pada penelitian yang dilakukan di Kecamatan Pancur Batu, Deli Serdang, subjek penelitian yang diperiksa terdiri dari 65 orang penyirih dan semuanya wanita. Usia subjek dibagi menjadi 4 kelompok usia yaitu usia 12-20 tahun (remaja), kelompok usia 21-39 tahun (dewasa muda), kelompok usia 40-65 tahun (dewasa) dan kelompok usia > 65 tahun (lanjut usia).53 Dari penelitian tersebut usia rata-rata subjek adalah 45,7tahun di mana usia terendah adalah 20tahun dan usia tertinggi adalah 80 tahun. Kelompok umur yang mempunyai jumlah penyirih tertinggi adalah diantara subjek yang berusia 40-65 tahun (Tabel 1).

Tabel 1. Distribusi Usia yang Mempunyai Kebiasaan Menyirih

Usia Jumlah (orang) Persentase (%)

12-20 tahun 1 1,5

21-39 tahun 19 29,2

40-65 tahun 41 63,1

>65 tahun 4 6,2


(44)

4.2 Durasi Menyirih Berdasarkan Tahun

Durasi subjek melakukan kebiasaan menyirih bervariasi, mulai dari kurang dari 1 tahun sampai lebih dari 10 tahun. Sebagian besar subjek mempunyai kebiasaan mengunyah sirih lebih dari 10 tahun yaitu sebanyak 50,8%, sebanyak 30,8% mengunyah sirih selama 1-5 tahun, 12,3% mengunyah sirih selama 5-10 tahun dan persentase terendah adalah pada kelompok yang mempunyai kebiasaan menyirih kurang dari 1 tahun adalah sebanyak 6,1% (Tabel 2).

Tabel 2. Distribusi Durasi Mengunyah Sirih (Tahun) pada Penyirih

4.3 Frekuensi Menyirih Dalam Satu Hari

Frekuensi subjek melakukan kebiasaan menyirih bervariasi, mulai dari 1-3 kali dalam satu hari sampai lebih dari 11 kali dalam satu hari. Sebanyak 38,5% subjek mengunyah sirih 4-6 kali sehari, 21,5% mengunyah sirih sebanyak 7-10 kali dan lebih dari 11 kali dalam satu hari. Persentase terendah adalah sebanyak 18,5% dimana subjek mengunyah sirih 1-3 kali sehari (Tabel 3).

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Mengunyah Sirih Dalam Satu Hari

Frekuensi menyirih dalam satu hari

Jumlah (orang) Persentase (%)

1-3 kali 12 18,5

4-6 kali 25 38,5

Durasi Jumlah (orang) Persentase (%)

< 1 tahun 4 6,1

1-5 tahun 20 30,8

5-10 tahun 8 12,3

>10 tahun 33 50,8


(45)

7-10 kali 14 21,5

>11 kali 14 21,5

TOTAL 65 100

4.4 Komposisi Menyirih

Semua subjek pada penelitian ini mengunyah sirih dengan menggunakan bahan-bahan yang terdiri dari daun sirih, pinang dan kapur sedangkan komposisi tambahan adalah tembakau dan gambir. Tembakau hanya digunakan oleh subjek ketika menyirih untuk membersihkan gigi geligi.

4.5 Jumlah Kelainan Mukosa Oral Terhadap Penduduk yang Mempunyai Kebiasaan Menyirih

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada 65 orang penyirih, sebanyak 34 orang (52,3%) tidak ditemukan adanya kelainan pada mukosa oral, 31 orang penyirih (47,7%) menunjukkan adanya kelainan mukosa oral. Dari subjek yang ditemukan kelainan mukosa oral, sebanyak 28 orang (43,1%) mempunyai satu jenis kelainan mukosa oral dan 3 orang (4,6%) mempunyai dua jenis kelainan mukosa oral (Tabel 5).

Tabel 5. Distribusi Jumlah Kelainan Mukosa Oral pada Penduduk yang Mempunyai Kebiasaan Menyirih

Kelainan mukosa oral Jumlah (orang)

Persentase (%)


(46)

4.6 Distribusi Jenis Kelainan Mukosa Oral pada Penduduk yang Mempunyai Kebiasaan Menyirih

Dari 31 orang penyirih yang mempunyai satu jenis kelainan mukosa oral ditemukan lesi mukosa penyirih mempunyai persentase paling tinggi yaitu sebanyak 15 kasus (23,1%) diikuti dengan leukoplakia 10 kasus (15,4%) dan preleukoplakia sebanyak 3 kasus (4,6%). Pada penyirih yang mempunyai 2 jenis kelainan mukosa oral, terdapat 2 kasus (3,1%) lesi mukosa penyirih dan preleukoplakia, dan 1 kasus (1,5%) untuk lesi mukosa penyirih dan leukoplakia. Kanker mulut dan oral submukus fibrosis tidak ditemukan dalam penelitian ini (Tabel 6).

Kelainan mukosa oral (+)

 Satu jenis kelainan mukosa oral

 Dua jenis kelainan mukosa oral

TOTAL 65 100

3

28 43,1

4,6


(47)

Tabel 6. Distribusi Jenis Kelainan Mukosa Oral pada Penduduk yang Mempunyai Kebiasaan Menyirih

Kelainan mukosa oral Jumlah

(orang)

Persentase (%)

Lesi mukosa penyirih 15

23,1

Oral Submukus Fibrosis 0 0

Preleukoplakia 3 4,6

Leukoplakia 10 15,4

Kanker 0 0

Lesi mukosa penyirih+oral

submukus fibrosis 0 0

Lesi mukosa penyirih+

preleukoplakia 2 3,1

Lesi mukosa penyirih+

Leukoplakia 1 1,5

Preleukoplakia+ Oral submukus

fibrosis 0 0

Leukoplakia+ Oral submukus

fibrosis 0 0

Tidak ada kelainan 34 52,3


(48)

4.7 Pengetahuan Risiko Menyirih pada Penduduk yang Mempunyai Kebiasaan Menyirih

Dari 65 penyirih sebanyak 86,2% mempunyai pengetahuan yang kurang tentang risiko menyirih. Sebanyak 7,7% mempunyai pengetahuan yang cukup dan 6,1% mempunyai pengetahuan yang baik (Tabel 7).

Tabel 7. Distribusi Pengetahuan Risiko Menyirih pada Penduduk yang Mempunyai Kebiasaan Menyirih

Pengetahuan Jumlah

(orang)

Persentase (%)

Kurang 56

86,2

Cukup 5 7,7

Baik 4 6,1

TOTAL 65 100

4.8 Penduduk yang Tidak Mempunyai Kelainan Mukosa Oral berdasarkan Tingkat Pengetahuan

Dalam penelitian ini sebanyak 34 subjek tidak mempunyai kelainan mukosa oral. Dari 34 subjek ini sebanyak 26 orang (76,4%) mempunyai pengetahuan yang kurang tentang risiko menyirih. Sedangkan sebanyak 4 orang (11,8%) mempunyai pengetahuan yang cukup dan 4 orang (11,8%) mempunyai pengetahuan yang baik (Tabel 8).


(49)

Tabel 8. Distribusi Penduduk yang Tidak Mempunyai Kelainan Mukosa Oral Berdasarkan Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan Jumlah penduduk yang tidak mempunyai kelainan

mukosa oral (orang)

Persentase penduduk yang tidak mempunyai kelainan

mukosa oral (%)

Kurang 26 76,4

Cukup 4 11,8

Baik 4 11,8

TOTAL 34 100

4.9 Penduduk yang Mempunyai Kelainan Mukosa Oral Berdasarkan Tingkat Pengetahuan

Pada 31 subjek yang mempunyai kelainan mukosa oral, didapatkan 30 orang (96,8%) mempunyai pengetahuan yang kurang tentang risiko menyirih dan 1 orang (3,2%) mempunyai pengetahuan yang cukup. Tidak ada subjek yang memiliki pengetahuan yang baik (Tabel 9).

Tabel 9. Distribusi Penduduk yang Mempunyai Kelainan Mukosa Oral Berdasarkan Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan Jumlah penduduk yang mempunyai kelainan

mukosa oral (orang)

Persentase penduduk yang mempunyai kelainan

mukosa oral (%)

Kurang 30 96,8

Cukup 1 3,2

Baik 0 0


(50)

4.10 Penyuluhan Tentang Dampak Penggunaan sirih

Pada penelitian ini sebesar 61 orang (93,8%) telah menyatakan bahwa tidak pernah mendapat penyuluhan dari pihak kesehatan mengenai risiko mengunyah sirih. Sebanyak 4 orang (6,2%) pernah mendapat penyuluhan (Tabel 10).

Tabel 10. Distribusi Penduduk Pernah Atau Tidak Pernah Mendapat Penyuluhan

Penyuluhan Jumlah (orang) Persentase (%)

Ya 4 6,2

Tidak 61 93,8


(51)

BAB 5 PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kebiasaan menyirih masih dilakukan oleh sebagian besar penduduk di Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang terutama pada kalangan wanita. Hal ini disebabkan wanita mempunyai beban tanggung jawab atas kebutuhan rumah tangga, sehingga wanita lebih banyak mencari sesuatu hal yang mereka anggap dapat memberikan ketenangan maupun kesenangan salah satunya dengan menyirih, sedangkan kaum pria di Kecamatan Pancur Batu lebih cenderung untuk melakukan kebiasaan merokok. Penelitian yang dilakukan di Malaysia oleh Tan dkk cit Flora berbeda dengan penelitian di Kecamatan Pancur Batu dimana kegiatan menyirih dilakukan oleh wanita dan pria. Ditemukan kegiatan menyirih lebih sering dilakukan oleh wanita dibandingkan dengan pria yaitu sebanyak 76,3% wanita adalah penyirih dan 23,7% adalah pria.3 Perilaku menyirih telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat suku Karo, hal ini tampak dalam penggunaan sirih dan kegunaannya dalam beberapa hal di antaranya adalah untuk memperkuat gigi geligi dan untuk menenangkan pikiran.9 Hal ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Croucher dkk di Inggris, dimana salah satu alasan untuk menyirih adalah untuk memperkuat gigi geligi.54

Distribusi usia yang paling banyak mempunyai kebiasaan menyirih di Kecamatan Pancur Batu berada pada kelompok usia 40-65tahun (63,1%), kemudian disusul dengan kelompok usia 21-39 tahun (29,2%). Hasil penelitian hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Moller dkk cit International Agency For Research On Cancer di Indonesia, di mana kegiatan menyirih sering dilakukan oleh wanita berusia 35 tahun ke atas. Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Reichart cit International Agency For Research On Cancer di Thailand, dimana kebanyakan penduduk yang berusia 35 tahun ke atas mempunyai kebiasaan menyirih.2 Ditemukan pada golongan umur tersebut kegiatan menyirih dilakukan


(52)

untuk mengatasi masalah ataupun mencari ketenangan, masing-masing subjek mempunyai alasan lain sesuai dengan pengalaman masing-masing. Rendahnya jumlah subjek yang mempunyai kebiasaan menyirih pada usia muda karena masih bersekolah.

Sebanyak 50,8% dari 65 orang penyirih di Kecamatan Pancur Batu mempunyai kebiasaan mengunyah sirih lebih dari 10 tahun, di India dilaporkan sebanyak 57,6% mempunyai kebiasaan menyirih di atas 10 tahun.5 Di samping itu, sebanyak 38,5% penduduk di Kecamatan Pancur Batu melakukan kegiatan menyirih sebanyak 4-6 kali sehari. Sebaliknya di India ditemukan lebih banyak subjek mengunyah sirih sebanyak 1-3 kali sehari (51,9%).5 Dari hal ini dapat dilihat bahwa menyirih bukan saja suatu aktivitas bagi penduduk di Kecamatan Pancur Batu akan tetapi sudah menjadi kebiasaan yang tidak bisa dipisahkan dalam kegiatan sehari-hari sama halnya dengan makan. Menurut penelitian Solihin (2012), kebanyakan penyirih beranggapan bahwa menyirih secara terus menerus memiliki khasiat utama terhadap kesehatan dan juga sebagai sejenis narkotik ringan yang berfungsi menenangkan saraf utama, sehingga dapat menimbulkan efek menenteramkan hati dan pikiran.14

Ditemukan dalam penelitian ini bahwa penyirih di Kecamatan Pancur Batu pada umumnya menyirih menggunakan komposisi utama yang terdiri dari daun sirih, pinang dan kapur sedangkan komposisi tambahan terdiri atas komposisi utama ditambah dengan gambir dan tembakau. Tidak ada subjek di Kecamatan Pancur Batu menambahkan tembakau atau unsur-unsur lain ke dalam ramuan tersebut untuk dikunyah bersama-sama, penggunaan tembakau hanya digunakan untuk membersihkan gigi ketika menyirih. Perpaduan pinang, daun sirih dan kapur dapat menghasilkan zat kimiawi yang berfungsi menstimulasi sistem saraf pusat sehingga dapat menenangkan pikiran.14 Hal ini berbeda dengan dengan penyirih di Sri Lanka, Thailand, Kamboja dan Lao People’s Democratic Republic yang sering menambahkan tembakau ke dalam ramuannya dan dikunyah bersama-sama.Menurut penelitian Senewiratne dkk cit International Agency For Research On Cancer di Sri Lanka, sebanyak 42,7% wanita menggunakan tembakau sebagai salah satu ramuan menyirih. Di Malaysia, dari 84 penyirih kaum Melayu sebanyak 45 penyirih tidak


(53)

menggunakan tembakau sebagai ramuan sirih dan sebanyak 39 penyirih tidak memadukan gambir dalam ramuan sirih.2 Alasan yang diberikan oleh subjek di India untuk menggunakan tembakau ketika menyirih adalah untuk menghindari kebosanan, mengatasi sakit badan, mengurangi stress dan untuk menambah rasa.55

Pada penelitian ini, didapatkan 34 subjek (52,3%) tidak mempunyai kelainan dan sebanyak 31 subjek (47,7%) mempunyai kelainan mukosa oral yang berupa mukosa penyirih, preleukoplakia dan leukoplakia. Kelainan mukosa oral yang terbanyak ditemukan dalam penelitian ini adalah lesi mukosa penyirih (Betel

Chewer’s Mucosa) yaitu sebanyak 18 kasus (58,1%). Lesi ini terbatas pada sisi di

mana campuran sirih tersebut dikunyah dan diletakkan. Terjadinya lesi mukosa penyirih disebabkan karena adanya iritasi terus menerus dari campuran sirih tersebut dengan mukosa. Hasil ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan di Malaysia terhadap 850 subjek pada tahun 1995, ditemukan prevalensi sebanyak 21,9% mempunyai mukosa penyirih. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Kamboja pada tahun 1996 terhadap 102 penyirih didapati sebanyak 60,8% subjek mempunyai lesi mukosa menyirih.7 Pada penelitian ini prevalensi mukosa penyirih lebih rendah apabila dibandingkan dengan prevalensi di Kamboja. Perbedaan ini mungkin disebabkan frekuensi, durasi dan lama kontak mengunyah sirih.9 Mukosa penyirih tidak dianggap sebagai lesi maglinan, namun kondisi ini biasanya disertai dengan kelainan mukosa seperti leukoplakia dan oral submukus fibrosis, yang berpotensi menjadi malignan.7

Preleukoplakia ditemukan 5 kasus (16,1%) dari 31 subjek yang diteliti, sedangkan leukoplakia didapatkan sebanyak 11 kasus (35,5%). Pada penelitian Chin dkk cit International Agency For Research On Cancer, ditemukan 38 kasus (22,7%) preleukoplakia dan 67 kasus (40,1%) leukoplakia.2 Ditemukan kejadian leukoplakia dan preleukoplakia pada kalangan penyirih di Kecamatan Pancur Batu lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian di Malaysia, hal ini disebabkan adanya perbedaan dalam cara melakukan kegiatan menyirih. Penyirih di Malaysia memadukan tembakau dengan daun sirih, kapur dan pinang kemudian dikunyah bersama.2 Menurut Nair dkk cit Nair, mengunyah sirih yang mengandung tembakau


(54)

menyebabkan penyirih terpapar dengan kadar karsinogen yang tinggi seperti tobacco-specific nitrosamines (TSNAs), hal ini dapat menyebabkan penyirih lebih rentan menderita lesi prekanker dibandingkan dengan penyirih yang hanya menggunakan tembakau untuk membersihkan gigi geligi. Selain itu, lama paparan dan frekuensi menyirih yang tinggi dalam satu hari sangat berpengaruh terhadap pembentukan lesi, komposisi sirih yang bersifat karsinogenik berkontak secara terus menerus dengan mukosa sehingga menyebabkan kerusakan sel pada mukosa yang bersangkutan.2,9,42 Pada penelitian Gupta cit International Agency For Research On Cancer, ditemukan sebanyak 14,6% subjek yang menyirih di atas 10 kali per hari mempunyai leukoplakia sedangkan hanya sebanyak 8,4% subjek yang melakukan kegiatan menyirih kurang dari 10 kali per hari mempunyai leukoplakia.2 Menurut penelitian Lee dkk cit World Health Organization Western Pacific Region terdapat interaksi antara pinang dan tembakau sehingga menyebabkan terjadinya leukoplakia, sedangkan menurut Van der Wall dkk citWorld Health Organization Western Pacific Region kadar transformasi leukoplakia menjadi maglinan adalah sekitar 0,1%-17,5%.23 Walaupun kasus preleukoplakia dan leukoplakia hanya ditemukan dalam jumlah yang kecil, keberadaan lesi tersebut seharusnya mendapatkan perhatian dari pihak kesehatan. Menurut penelitian Downer dan Petti citWorld Health Organization Western Pacific Region, diperkirakan terjadinya kanker mulut disebabkan leukoplakia adalah 6,2-29,1 kasus dari 100 000 orang.23

Dalam penelitian ini tidak ditemukan oral submukus fibrosis dan kanker rongga mulut. Hal ini berbeda dengan penelitian terhadap penyirih di Tanah Karo, di mana terdapat 21 kasus oral submukus fibrosis ditemukan pada orang yang mempunyai kebiasaan menyirih.9 Hal ini mungkin disebabkan pinang yang menjadi faktor etiologi terjadinya oral submukus fibrosis, tidak digunakan dalam jumlah yang banyak ketika dimasukkan ke dalam ramuan. Beberapa orang subjek berpendapat bahwa kelebihan pinang dapat menyebabkan perasaan yang tidak enak seperti jantung berdebar dan pening. Menurut penelitian Reddy dkk, penyirih yang menggunakan pinang dan tembakau sebagai salah satu ramuan menyirih mempunyai risiko yang tinggi terjadinya oral submukus fibrosis. Hal ini didukung apabila pinang digunakan


(55)

dalam jumlah yang banyak. Dari 390 subjek sebanyak 6 orang tidak mempunyai oral submukus fibrosis, hal ini karena daun sirih memiliki sifat antioksidan dan beta-carotene yang tinggi sehingga menghambat radikal bebas. Kebiasaan menyirih lebih dari 10 tahun dan frekuensi menyirih lebih dari 10 kali dalam satu hari meningkatkan risiko terjadinya oral submukus fibrosis yang lebih parah.2,56 Pada subjek yang mengunyah sirih lebih dari 6 menit dan mempunyai kebiasaan menelan sirih ditemukan menderita oral submukus fibrosis.56 Selain itu, sebuah studi di Afrika Selatan menemukan sebanyak 68% kanker pada mukosa bukal dan 84% kanker lidah terjadi pada penyirih yang menggunakan pinang sebagai salah satu komposisi menyirih tanpa adanya tembakau.7 Komposisi sirih yang terdiri dari pinang mengandung arecoline dan bentuk alkaloid yang lain yang kemudian diubah menjadi

N-nitroso yang bersifat karsinogenik.57 Arecoline menghambat sintesis protein dan menstimulasi produksi kolagen dan meningkatkan proliferasi fibroblast, hal ini merangsang perubahan neoplastic sehingga terjadinya kanker.58 Menurut penelitian Gupta cit Gandhi, risiko terjadinya kanker mulut tinggi apabila seorang penyirih mempunyai oral submukus fibrosis, terutamanya menggunakan tembakau sebagai ramuan menyirih. Iritasi yang terus menerus pada mukosa disebabkan penggunaan kapur juga dapat menyebabkan terjadinya kanker rongga mulut.13

Selain dari kelainan mukosa oral yang ditemukan pada penyirih, terdapat beberapa perubahan yang dapat dilihat ketika rongga mulut diperiksa, didapati bahwa adanya warna merah hingga kecoklatan pada bibir, mukosa bukal dan lidah. Selain itu, adanya warna kehitaman pada gigi geligi subjek yang diteliti. Stain pada gigi terjadi disebabkan penggunaan pinang dan kurangnya penjagaan kebersihan rongga mulut seperti menyikat gigi secara teratur.7 Pada beberapa subjek kelihatan terjadinya atrisi pada gigi geligi. Hal ini disebabkan mengunyah sirih secara terus menerus dengan beban yang berlebihan dapat menyebabkan atrisi pada bagian insisal atau oklusal gigi geligi dan tingkat keparahan atrisi tergantung pada frekuensi dan durasi mengunyah sirih.7

Berdasarkan hasil wawancara dengan 65 subjek, didapati sebanyak 56 subjek (86,2%) mempunyai pengetahuan yang kurang tentang risiko menyirih, 5 subjek


(56)

(7,7%) mempunyai pengetahuan yang cukup dan 4 subjek (6,1%) mempunyai pengetahuan yang baik. Dari 34 subjek yang tidak mempunyai kelainan mukosa oral, sebanyak 26 subjek (76,8%) mempunyai pengetahuan yang kurang, masing-masing 4 subjek (11,8%) mempunyai pengetahuan yang cukup dan baik. Dari 31 subjek yang mempunyai kelainan mukosa oral sebanyak 30 subjek (96,8%) mempunyai pengetahuan yang kurang, 1 subjek (3,2%) yang mempunyai pengetahuan yang cukup dan tidak ada orang yang mempunyai pengetahuan yang baik. Pada kenyataannya, sebagian besar penyirih di Kecamatan Pancur Batu beranggapan bahwa menyirih membawa lebih banyak dampak positif terhadap kesehatan daripada dampak negatif sehingga subjek menganggap bahwa adalah aman untuk mengonsumsi sirih secara terus menerus. Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan di Tanah Karo, dimana penyirih yakin bahwa menyirih tidak menimbulkan pengaruh yang merugikan bagi kesehatan rongga mulut.9 Penggunaan bahan menyirih berlangsung hingga saat ini karena bahan-bahan tersebut dinilai sebagai bahan alami dan efek samping dari kebiasaan menyirih jarang terjadi. Kebanyakan subjek yang diwawancarai merupakan ibu-ibu yang bekerja di pasar dan ini mungkin adalah salah satu sebab kurangnya pengetahuan disebabkan kesibukan bekerja dari pagi sampai sore sehingga tidak ada waktu untuk membaca atau mendengar tentang risiko menyirih. Menurut penelitian Ahmed dkk di Bangladesh, sebagian besar penduduk yang mengunyah sirih tidak tahu tentang risiko menyirih. 47 subjek (76%) tidak tahu atau menyatakan bahwa kebiasaan menyirih tidak menyebabkan kanker rongga mulut, sedangkan 30 subjek (41%) tidak tahu atau menyatakan bahwa kebiasaan menyirih tidak akan menyebabkan masalah pada gigi.59 Pengetahuan menyirih didapatkan berdasarkan pengalaman masing-masing subjek disertakan informasi yang didapatkan dari media massa atau dari pihak kesehatan. Penduduk Kecamatan Pancur Batu menganggap efek negatif yang ditimbulkan akibat menyirih adalah pembentukan stain dan iritasi pada mukosa mulut akibat penggunaan kapur secara berlebihan. Padahal efek negatif yang paling membahayakan akibat dari menyirih adalah kanker rongga mulut, sebagai akibat penggunaan pinang atau tembakau yang


(57)

mempunyai komponen yang bersifat karsinogenik atau kelanjutan dari kelainan mukosa oral seperti oral submukus fibrosis dan leukoplakia.13,23

Pada penelitian ini sebesar 61 orang (93,8%) telah menyatakan bahwa tidak pernah mendapat penyuluhan dari pihak mana-mana tentang risiko mengunyah sirih. Sebaliknya sebanyak 4 orang (6,2%) pernah mendapat penyuluhan. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat di Kecamatan Pancur Batu masih belum mendapat penyuluhan tentang risiko menyirih dari pihak kesehatan.


(58)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Kebiasaan menyirih dilakukan oleh sebagian besar wanita di Kecamatan Pancur Batu, Deli Serdang. Kebiasaan ini dilakukan setiap hari dan merupakan kebiasaan yang tidak boleh dipisahkan dalam kegiatan sehari-hari. Penduduk Kecamatan Pancur Batu merasa ketergantungan dalam menyirih dikarenakan atas manfaat menyirih yang mereka rasakan yaitu dapat memberikan ketenangan ketika menghadapi aktivitas seharian dan memperkuat gigi geligi.

Komposisi yang digunakan dalam kegiatan menyirih adalah daun sirih, pinang, kapur dan gambir. Tembakau digunakan ketika menyirih dengan tujuan untuk membersihkan gigi geligi.

Kelainan mukosa oral yang ditemukan adalah lesi mukosa penyirih (58,1%), preleukoplakia (16,1%) dan leukoplakia (35,5%). Kanker rongga mulut dan oral submukus fibrosis tidak ditemukan dalam penelitian ini. Prevalensi terjadinya kelainan rongga mulut akibat menyirih cukup tinggi dan apabila tidak mendapat perawatan kelainan ini dapat berkembang dan membahayakan kesehatan pada subjek yang diteliti.

Pengetahuan penduduk Kecamatan Pancur Batu tentang risiko menyirih masih kurang, hanya 5 subjek yang mempunyai pengetahuan yang cukup dan 4 subjek mempunyai pengetahuan yang baik. Ternyata sebagian besar dari subjek penelitian yaitu 93,8% belum mendapat penyuluhan tentang dampak menyirih dari Dinas Kesehatan, puskesmas atau dokter gigi.


(59)

6.2 Saran

1. Kebiasaan menyirih dapat menyebabkan efek negatif terhadap rongga mulut, sebaiknya penyirih mengurangi frekuensi menyirih untuk menghindari terjadinya kelainan mukosa oral.

2. Sebaiknya penyirih membersihkan rongga mulut secara teratur terutamanya setelah menyirih.

3. Diharapkan petugas kesehatan dapat memberikan penyuluhan tentang dampak menyirih dan tindakan pemeliharaan kesehatan gigi.

4. Pemeriksaan rongga mulut yang berkala yang diadakan oleh Dinas Kesehatan atau puskesmas dapat mengurangi masalah kesehatan rongga mulut pada penyirih.

5. Perlu dilakukan promosi kesehatan secara terus menerus untuk merubah perilaku penduduk Kecamatan Pancur Batu yang masih mempertahankan kebiasaan menyirih.

6. Melakukan penelitian analitik untuk melihat hubungan antara pengetahuan dan kebiasaan menyirih.


(60)

DAFTAR PUSTAKA

1. Little MA, Pokhrel P, Murphy KL, Kawarnoto CT, Suguitan GS, Herzog TA. The reasons for betel-quid chewing scale: assessment of factor structure, reliability, and validity. BMC Oral Health 2014; 14: 1-8.

2. International Agency For Research On Cancer. IARC monographs on the evaluation of carcinogenic risks to humans: betel quid and areca nut chewing and some areca nut derived nitrosamines: summary of data reported and evaluation WHO 2004; 85: 50-71.

3. Flora MS, Mascie-Taylor CGN, Rahman M. Betel quid chewing and its risk factors in Bangladeshi adults. WHO South-East Asia Journal of Public Health 2012; 1(2): 169-81.

4. Ahuja SC, Ahuja U. Betel leaf and betel nut in India: history and uses. Asian Agri-History 2011; 15(1): 13-35.

5. Bhat SJS, Blank MD, Robert L, et al. Areca nut dependence among chewers in a South Indian community who do not also use tobacco. Society for the study of addiction 2010; 105: 1303-10.

6. Lingappa A, Nappali D, Sujatha GP, Shiva PS. Areca Nut: To chew or not to chew? E-Journal of Dentistry 2011; 1(3): 46-50.

7. Trivedy CR, Craig G, Warnakulasuriya S. The oral health consequences of chewing areca nut. Addiction Biology 2002; 7: 115-25.

8. Avon SL. Oral mucosal lesion associated with use of quid. J Can Dent Assoc 2004; 70(4): 244-8.

9. Hasibuan S, Permana G, Aliyah S. Lesi-lesi mukosa mulut yang dihubungkan dengan kebiasaan menyirih di kalangan penduduk Tanah Karo, Sumatera Utara. Dentika Dental Journal 2003; 8(2): 67-74.

10.Stoopler ET, Parisi E, Sollecito TP. Betel quid-induced oral lichen planus: A case report. Thesis: Philadelphia: University of Pennsylvania 2003: 307-11.


(61)

11.Petersen PE, Bourgeois D, Ogawa H, Estupinan-Day S, Ndiaye C. The global burden of oral diseases and risks to oral health. Bulletin of the World Health Organization 2005; 83(9): 661-9.

12.World Health Organization. Report on the Global Tobacco Epidemic. Country Profile: Indonesia; 2013: 1-8.

13.G Gandhi, R Kaur. Chewing pan masala and or/betel quid-fasionable attributes and/ or cancer manaces. J Hum Ecol 2005; 17(3): 161-6.

14.Solihin L. Tradisi ditelan zaman: kebiasaan bersirih pinang dalam kebudayaan Melayu. Jurnal Kebudayaan 2012; 7(1): 75-85.

15.Kushnick G. Bibliography of works on the Karo Batak of North Sumatra, Indonesia: missionary reports, anthropological studies, and other writings from 1826 to the present. April 2010. https://www.academia.edu/2263730/Bibliography_of_works_on_the_Karo_B atak_of_North_Sumatra_Indonesia_Missionary_reports_anthropological_stud ies_and_other_writings_from_1826_to_the_present. (Nopember 15.2014). 16.Sahitha R. Effects of smokeless tobacco, betel quid and areca nut on oral

mucosa. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences 2014; 13: 8-11.

17.Al- Rmalli. Betel quid chewing as a source of manganese exposure: total daily intake of manganese in a Bangladeshi population. BMC Publich Health 2011; 11: 1-10.

18.Guha P. Betel Leaf: The neglected green gold of India. J.Hum.Ecol 2006; 19(2): 87-3.

19.Pradhan D, Suri KA, Pradhan DK, Biswasroy P. Golden Heart of the Nature:

Piper betle L. Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry 2013; 1(6): 147-67.

20.Periyanayagam K, Jagadeesan M, Kavimani S, Vetriselvan T. Pharmacognostical and Phyto-physicochemical profile of the leaves of Piper betle L.var Pachaikodi (Piperaceae)-valuable assessment of its quality. Asia Pacific Journal of Tropical Biomedicine 2012; S505-S510.


(62)

21.Perpustakaan Negeri Malaysia. Sirih Pinang. 2001

http://www.pnm.my/sirihpinang/sp-kapur.htm. (Oktober 28.2014).

22.Staples GW, Bevacqua RF. Areca catechu (betel nut palm). Species Profiles for Pacific Island Agroforestry 2006; 1-17.

23.World Health Organization Western Pacific Region. Review of areca (betel) nut and tobacco use in the Pacific: a technical report. Switzerland: WHO library cataloguing 2012: 19-42.

24.Adhikari A, De M. Toxic effects of betel quid. Int J Hum Genet 2013; 13(1): 7-14.

25.Cyriac MB, Pai V, Varghese I, Shantaram M, Jose M. Antimicrobial properties of Areca catechu (Areca nut) husk extracts against common oral pathogens. IJRAP 2012; 3(1): 81-4.

26.Chiba I. Prevention of betel quid chewers’ oral cancer in the Asian-Pacific area. Asian Pacific J Cancer Prev 2001; 2: 263-9.

27.Kassim MJ, Hussin MH, Achmad A, Dahon NH, Suan TK, Hamdan HS. Determination of total phenol, condensed tannin and flavonoid contents and antioxidant activity of Uncaria gambir extracts. Majalah Farmasi Indonesia 2011; 22(1): 50-9.

28.Dhalimi A. Permasalahan gambir (Uncaria gambir L) di Sumatera Barat dan alternatif pemecahannya. Perspektif 2006; 5(1): 46-59.

29.Dwivedi S, Aggarwal A, Dev M. All in the name of flavor, fragrance & freshness: commonly used smokeless tobacco preparations in & around a tertiary hospital in India. Indian J Med Res 2012; 136: 836-41.

30.Norton SA. Betel: consumption and consequences. Journal of the American Academy of Dermatology 1998; 38(1): 81-8.

31.Gupta PC, Ray CS. Epidemiology of betel quid usage. Ann Acad Med Singapore 2004; 33(suppl): 31-6.

32.Saraf S. Textbook of oral pathology. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd., 2006: 11-2.


(63)

33.Khan S, Chatra L, Shenai KP, Veena KM, Rao PK. A study to analyze the

different patterns of quid usage among subjects with chewer’s mucosa. J

Indian Aca Oral Med Radiol 2012; 24(4): 284-87.

34.Scully C. Oral and maxillofacial medicine the basis of diagnosis and treatment. 2nd ed., Philadelphia: Churchhill Livingstone Elseiver., 2008: 114. 35.Anand R, Dhingra C, Prasad S, Menon I. Betel nut chewing and its

deleterious effects on oral cavity. Journal of Cancer Research and Therapeutics 2014; 10(3): 499-05.

36.Purkait SK. Essentials of oral pathology. 3rd ed., New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd., 2011: 175-91.

37.Greenberg MS, Glick M, Ship JA. Burket’s oral medicine. In: Jontell M, Holmstrup P. Red and white lesions of the oral mucosa, 11th ed., Ontario: BC Decker Inc., 2008: 77-01.

38.Werning JW. Oral cancer diagnosis, management, and rehabilitation. In: Muller S. Oral precancer, New York: Thieme., 2007: 8-16.

39. Auluck A, Rosin MP, Zhang L Sumanth KN. Oral submucous fibrosis, a clinically benign but potentially malignant disease: report 3 cases and review of the literature. JCDA 2008; 74(8): 735-40.

40.Goel S, Ahmed J, Singh MP, Nahar P. Oral submucous fibrosis: a clinic-histopathological comparative study in population of Southern Rajasthan. Journal of Carcinogenesis & Mutagenesis 2010; 1(2): 1-4.

41.Ghom A, Mhaske S. Textbook of oral pathology. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd., 2008: 174-6.

42.Nair U, Bartsch H, Nair J. Alert for an epidemic of oral cancer due to use of the betel quid substitutes gutkha and pan masala: a review of agents and causative mechanisms. Mutagenesis 2004; 19(4): 251-62.

43.Ongole R, Praveen BN. Textbook of oral medicine, oral diagnosis and oral radiology. 2nd ed., Chennai:Elsevier., 2013: 147-387.

44.Ruddon RW. Cancer biology. 4th ed., New York: Oxford University Press., 2007: 4.


(64)

45.Walsh PM, Epstein JB. The oral effects of smokeless tobacco. Journal de I’ Association dentaire canadienne 2000; 6(1): 22-5.

46.Notoatmodjo S. Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta., 2010: 27-9. 47.Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Ed ke-4.

Jakarta: Sagung Seto., 2011: 99, 131,361.

48.Lim E. Kebiasaan menunyah sirih dan lesi yang dijumpai pada mukosa oral masyarakat Batak Karo. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2008: 1-61.

49. Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. http://kbbi.web.id/umur. (Desember 23.2014).

50.Budiman, Riyanto A. Kapita selekta kuesioner pengetahuan dan sikap dalam penelitian kesehatan. Jakarta: Salemba Medika., 2013: 10-1.

51.Feller L, Lemmer J. Oral squamous cell carcinoma: epidemiology, clinical presentation and treatment. Journal of Cancer Theraphy 2012; 3: 263-8. 52.Sibagariang EE, Julianie, Rismalinda, Nurzannah S. Metodologi penelitian

untuk mahasiswa diploma kesehatan. Jakarta: TIM., 2010: 122.

53.Mitchell D, Haroun L. Introduction to health care. 3rd ed., New York: Delmar Cengage Learning., 2012: 187.

54.Croucher R, Islam S. Socio-economic aspects of areca nut use. In: Addiction Biology. Biology, medical and socio-economic aspects of areca nut use: proceedings of a symposium 2002: 139-46.

55.Nagpal R, Nagpal N, Mehendiratta M, Marya CM, Rekhi A. Usage of betel quid, areca nut, tobacco, alcohol and level of awareness towards their adverse effects on health in a North Indian rural population. OHDM 2014; 13(1): 81-6.

56.Reddy V, Wanjari PV, Banda NR, Reddy P. Oral submucous fibrosis: correlation of clinical grading to various habit factors. International Journal of Dental Clinics 2011; 3(1): 21-4.

57.Merchant A, Husain SM, Hosain M, et al. Paan without tobacco: an independent risk factor for oral cancer. Int. J. Cancer 2000; 86: 128-31.


(1)

25 43 40-65 Lesi mukosa penyirih Kurang

26 45 40-65 Tidak ada lesi Cukup

27 45 40-65 Tidak ada lesi Baik

28 45 40-65 Tidak ada lesi kurang

29 46 40-65 Lesi mukosa penyirih Kurang

30 46 40-65 Leukoplakia Kurang

31 46 40-65 Tidak ada lesi Cukup

32 47 40-65 Leukoplakia Kurang

33 47 40-65 Tidak ada lesi Cukup

34 47 40-65 Tidak ada lesi kurang

35 48 40-65 Lesi mukosa penyirih Kurang

36 48 40-65 Lesi mukosa penyirih Kurang

37 48 40-65 Tidak ada lesi kurang

38 50 40-65 Lesi mukosa penyirih+ preleukoplakia Kurang

39 50 40-65 Leukoplakia Kurang

40 50 40-65 Tidak ada lesi kurang

41 50 40-65 Tidak ada lesi kurang

42 50 40-65 Tidak ada lesi kurang

43 50 40-65 Preleukoplakia Cukup

44 51 40-65 Lesi mukosa penyirih Kurang

45 51 40-65 Preleukoplakia Kurang

46 52 40-65 Tidak ada lesi kurang

47 53 40-65 Lesi mukosa penyirih Kurang

48 53 40-65 Tidak ada lesi kurang

49 54 40-65 Lesi mukosa penyirih Kurang

50 55 40-65 Tidak ada lesi kurang

51 56 40-65 Tidak ada lesi kurang

52 57 40-65 Tidak ada lesi kurang

53 58 40-65 Leukoplakia Kurang


(2)

54 58 40-65 Tidak ada lesi kurang

55 58 40-65 Lesi mukosa penyirih Kurang

56 59 40-65 Tidak ada lesi kurang

57 60 40-65 Lesi mukosa penyirih+leukoplakia Kurang

58 61 40-65 Leukoplakia Kurang

59 63 40-65 Leukoplakia Kurang

60 64 40-65 Lesi mukosa penyirih Kurang

61 64 40-65 Tidak ada lesi kurang

62 70 >65 Tidak ada lesi kurang

63 73 >65 Lesi mukosa penyirih Kurang

64 76 >65 Leukoplakia Kurang


(3)

Lampiran VI

Gambaran Kelainan Mukosa Oral

Lesi Mukosa Penyirih yang terdapat pada sebelah kiri mukosa bukal

Preleukoplakia yang terdapat pada sebelah kiri mukosa bukal


(4)

Leukoplakia yang terdapat pada sebelah kanan mukosa bukal


(5)

Lampiran VII


(6)