American, dan Pacific Islanders juga lebih berisiko menderita OSA dibandingkan
orang kulit putih dan orang Asia. Faktor-faktor ini berhubungan dengan meningkatnya IMT yang menjadi faktor risiko dari OSA Downey, 2012.
2.2.7. Faktor Risiko OSA
Faktor risiko OSA terdiri dari faktor struktural, faktor non-struktural, dan faktor genetik. Faktor struktural berhubungan dengan adanya abnormalitas saluran
napas atas, yaitu kelainan anatomi kraniofasial seperti retrognathia dan micrognathia, hipoplasia mandibular, bentuk kepala brachycephalic, penderita Down
syndrome, Pierre Robin syndrome, dan Marfan syndrome; obstruksi nasal seperti polip hidung, deviasi septal hidung, adanya tumor, trauma, dan stenosis di
hidung; obstruksi retropalatal seperti palatum dan uvula yang memanjang dan letaknya lebih ke posterior, hipertropi tonsil dan adenoid; obstruksi retroglossal
seperti makroglossia dan tumor. Faktor-faktor struktural dapat menjadi predisposisi dari OSA karena menyebabkan kolapsnya faring pada saat tidur Downey, 2012.
Sedangkan faktor non-struktural dapat berupa obesitas diperkirakan hampir 30 pasien dengan IMT
≥30 kgm
2
dan 50 pasien dengan IMT ≥40
kgm
2
menderita OSA; jenis kelamin pria lebih sering dibandingkan wanita; pertambahan usia; wanita postmenopause; penggunaan alkohol atau obat tidur;
merokok; posisi tidur supine; riwayat keluarga yang menderita OSA; kelainan endokrin seperti hipotiroid dan akromegali Downey, 2012.
2.2.8. Diagnosis OSA
OSA yang disertai dengan gejala EDS biasanya disebut sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome OSAS atau disebut juga dengan Obstructive Sleep
ApneaHypopnea Syndrome OSAHS. Setiap orang yang mengeluh tentang rasa kantuk dan menganggap bahwa dirinya adalah “good sleepers” karena dapat tidur
kapanpun dan dimanapun Downey, 2012, dapat ditanyai riwayat tidurnya tentang kebiasaan dan prilaku saat tidur tidur tidak nyenyak, terbangun berkali-kali,
insomnia, mendengkur, apnea terbangun karena merasa tercekik, sulit bernapas, daytime sleepiness tidur saat kerja, mengantuk saat mengendarai
kendaraan, kebiasaan sehari-hari mengkonsumsi alkohol, rokok, dan riwayat penyakit yang diderita hipertensi, penyakit kardiopulmonar. Untuk menilai apakah
rasa kantuk seseorang berlebihan, maka dapat digunakan kuesioner Epworth Sleepiness Scale. Jika nilainya 11, maka seseorang dikatakan memiliki rasa kantuk
yang berlebih. Hal ini dapat bermasalah bagi kesehatan dirinya, oleh karena itu pasien perlu dirujuk untuk didiagnosis dan diterapi Douglas, 2008.
Diagnosis pada OSA dapat ditentukan berdasarkan riwayat tidur, manifestasi klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pemeriksaan radiologi dan
pemeriksaan khusus Douglas, 2008. Gejala–gejala OSA pada umumnya tidak disadari tetapi dapat menjadi berats
ecara spontan dan biasanya telah ada selama bertahun-tahun sebelum pasien dirujuk untuk dievaluasi. Gejala-gejala OSA dapat dibagi menjadi dua garis besar, yaitu
gejala yang timbul pada saat tidur Nocturnal Symptoms dan gejala yang timbul pada siang hari Daytime Symptoms. Nocturnal Symptoms terdiri dari: mendengkur,
biasanya suaranya kuat, terjadi sehari-hari, dan mengganggu orang di sekitarnya; apneahypopnea, biasanya pada saat akhir dengkuran; rasa tercekik, gejala
ini yang membuat pasien sering terbangun dari tidur; nokturia; insomnia; tidur tidak nyenyak, oleh karena sering terbangun dari tidur. Sedangkan Daytime Symptoms
terdiri dari: rasa lelah saat bangun tidur; sakit kepala di pagi hari; Excessive Daytime Sleepiness EDS; rasa lelah di siang hari; defisit kognitif; gangguan memori dan
intelektual; penurunan kewaspadaan; perubahan mood dan kepribadian seperti depresi dan ansietas; disfungsi seksual; gastroesophageal reflux; hipertensi Downey,
2012. Pada pemeriksaan fisik, dapat dilakukan evaluasi sistemik, pemeriksaan
kepala dan leher, hidung, rongga mulut, dan hipofaring. Pada evaluasi sistemik, dilakukan pengukuran tekanan darah, IMT, dan lingkar leher. Pengukuran tekanan
darah dilakukan untuk menilai apakah pasien hipertensi karena hipertensi
berhubungan dengan beratnya penyakit OSA. Selain itu pengukuran IMT dan lingkar leher juga dilakukan karena pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada
hubungan positif antara IMT dan lingkar leher dengan OSA. Dipaparkan bahwa ada hubungan antara IMT 27.8 kgm
2
; lingkar leher 17 inches pada pria dan IMT 27.3 kgm
2
; lingkar leher 15 inches pada wanita dengan kejadian OSA. Pemeriksaan kepala dan leher, hidung, rongga mulut, dan hipofaring dilakukan untuk menilai
apakah ada kelainan anatomi kraniofasial, obstruksi nasal, obstruksi retropalatal ataupun obstruksi retroglossal yang bisa menjadi faktor risiko kejadian
OSA. Sedangkan untuk pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan pemeriksaan radiologi seperti cephalometry dan x-rays untuk menunjang pemeriksaan fisik dan
memastikan apakah ada abnormalitas dari anatomi kraniofasial atau CT scanning dan
MRI juga bisa digunakan untuk menunjang diagnosa Welch, 2008. Selain itu, ada juga pemeriksaan khusus untuk diagnosa OSA, yaitu uji
subjektivitas seperti Epworth Sleepiness Scale ESS, Multiple Sleep Latency Testing MSLT, dan polysomnography Welch, 2008.
Gambar 2.5. Epworth Sleepiness Scale Johns, 1991
Gambar 2.6. Gambaran Pemeriksaan Polysomnography CSA dan OSA Plen
Pack, 2010
2.2.9. Pencegahan OSA