DETEKSI POTENSI KEKERINGAN BERBASIS PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN KLATEN

(1)

i

DETEKSI POTENSI KEKERINGAN

BERBASIS PENGINDERAAN JAUH DAN

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

DI KABUPATEN KLATEN

SKRIPSI

Diajukan dalam Rangka Penyelesaian Studi Strata 1 Untuk Meraih Gelar Sarjana Sains

Oleh

Dzulfikar Habibi Jamil 3211409055

JURUSAN GEOGRAFI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2013


(2)

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Unnes pada:

Hari :

Tanggal :

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Heri Tjahjono, M.Si Drs. Satyanta Parman, M.T 19680202 1999031 0 112 NIP.19611202 199002 1 001

Mengesahkan: Ketua Jurusan Geografi

Drs. Apik Budi Santoso, M.Si NIP.19620904 198901 1 001


(3)

iii

PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang dan disahkan pada:

Hari :

Tanggal :

Penguji Utama

Dr. Tjaturrahono Budi Sanjoto, M.Si NIP.196210191988031002

Penguji I Penguji II

Drs. Heri Tjahjono, M.Si. Drs. Satyanta Parman, M.T. 19680202 1999031 0 112 NIP.19611202 199002 1 001

Mengetahui:

Dekan Fakultas Ilmu Sosial

Dr. Subagyo, M.Pd. NIP.19510808 1980031 003


(4)

iv

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis dalam skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulisan orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat di dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, Februari 2013

Dzulfikar Habibi Jamil NIM. 3211409055


(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN Motto:

1. Alloh akan senantiasa memahami kita, jika kita memahami-Nya. 2. Membahagiakan orang yang kita cintai merupakan hal terindah.

3. Jika kita berfikir sukses maka kita akan sukses, sebaliknya jika kita berfikir gagal maka kita akan gagal (pikiran adalah sumber kekuatan).

Persembahan:

Tanpa mengurangi rasa syukur kepada Alloh SWT, kupersembahkan karyaku ini kepada:

Orangtuaku yang saya banggakan, selama ini telah berjuang membesarkan dan mendidikku hingga saat ini.


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Alloh SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan kemudahan, sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi untuk meraih gelar sarjana yang berjudul “Deteksi Potensi Kekeringan Berbasis Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Klaten” pada Jurusan Geografi Universitas Negeri Semarang.

Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan karena adanya bantuan dari pihak-pihak terkait. Oleh sebab itu penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Prof. Dr. Sudijono Sastroatmodjo, M.Si., Rektor Universitas Negeri Semarang. 2. Dr. Subagyo, M.Pd., Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. 3. Drs. Apik Budi Santoso, M.Si., Ketua Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Semarang.

4. Drs. Heri Tjahjono, M.Si., Dosen Pembimbing pertama yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan selama proses penelitian hingga akhir penyusunan skripsi.

5. Drs. Satyanta Parman, M.T., Dosen Pembimbing kedua yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan hingga akhir penyusunan skripsi.

6. Dr. Tjaturrahono Budi Sanjoto, M.Si, Penguji skripsi yang telah banyak memberikan masukan.

7. Bapak dan Ibuku yang selalu memberikan dukungan dari masuk perguruan tinggi hingga akhir penyusunan skripsi.


(7)

vii

8. Seluruh Staf Pengajar dan karyawan Jurusan Geografi, terima kasih untuk ilmu yang telah diberikan selama masa perkuliahan.

9. Istianah yang telah memebriku semangat dalam belajar dan menggapai cita-cita.

10. Mas Husen, Utar dan Rois, lantaran kalian, aku ditunjukan jalan untuk melanjutkan kuliah.

11. Mas Aris faiz, Mas Arif, Mas Anwar, Mas Halim dan Mas Yunianto, kalian kaka angkatan yang baik, ikhlas bertukar pikiran, terimakasih buat pengalaman-pengalaman yang kalian berikan.

12. Teman-teman geografi Unnes angkatan 2009, kalian teman seperjuanganku yang memberiku inspirasi.

13. Teman-teman kos; Afroni, Najib, Wawan dan Roni Fajar. Banyak kenangan bersama kalian, tunjukkan kesuksesan kita.

14. Pemerintah Kabupaten Klaten yang telah memberi izin penelitian sehingga. 15. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terimakasih ats

dukungan dan bantuanya.

Semoga segala kebaikan Bapak/Ibu dan rekan-rekan semua mendapatkan balasan dari Alloh SWT dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca semua.

Semarang, Februari 2013

Dzulfikar Habibi Jamil


(8)

viii SARI

Dzulfikar Habibi Jamil. 2013. Deteksi Potensi Kekeringan Berbasis Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Klaten. Skripsi, Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang. Drs. Heri Tjahjono, M.Si dan Drs. Satyanta Parman, M.T.

Kata Kunci: Deteksi, Potensi kekeringan, Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis.

Kekeringan merupakan bencana alam yang hampir setiap tahun terjadi. Bencana kekeringan di Kabupaten Klaten dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan dengan dibuktikanya pada tahun 2009 Kabupaten Klaten menduduki peringkat 9 bencana kekeringan secara nasional yang dibuat oleh Badan Nasional dan Penanggulangan Bencana. Kurangnya data peta yang menyediakan informasi daerah potensial dilanda kekeringan turut berperan sebagai salah satu faktor yang menghambat penyelesaian masalah kekeringan. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1) bagaimana sebaran daerah berpotensi kekeringan dengan menggunakan teknik analisis penginderaan jauh dan sistem informasi geografis?, 2) bagaimana kemampuan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dalam mendeteksi daerah berpotensi kekeringan?. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Mengetahui sebaran daerah yang berpotensi kekeringan di Kabupaten Klaten berbasis penginderaan jauh dan sistem informasi geografis 2) Mengetahui kemampuan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi geografis dalam mendeteksi daerah rawan terhadap kekeringan di Kabupaten Klaten.

Populasi dalam penelitian ini adalah potensi kekeringan Kabupaten Klaten. Sampel berjumlah 30 lokasi yang didasarkan pada kelas hasil interpretasi NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), indeks kecerahan dan indeks kebasahan. Dalam penelitian potensi kekeringan ini menggunakan enam variabel yaitu: NDVI, Indeks Kecerahan, Indeks Kebasahan, Curah Hujan, Hidrogeologi dan Penggunaan Lahan. Teknik interpretasi citra digital digunakan untuk menganalisis kerapatan vegetasi dan kelembaban permukaan, kerapatan vegetasi dapat diiterpretasi menggunakan transformasi Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), kelembaban permukaan dapat diiterpretasi menggunakan transformasi Indeks Kecerahan (Brightness Index) dan Indeks Kebasahan

(Wetness Index). Sistem Informasi Geografis (SIG) digunakan untuk menggabungkan ke-enam parameter tersebut dan memanipulasinya sehingga mengeluarkan keluaran baru berupa informasi potensi kekeringan.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan sebaran daerah berpotensi kekeringan di Kabupaten Klaten dibagi menjadi 5 kelas potensi. Potensi kekeringan sangat rendah seluas 155,610 ha (0,22%), potensi kekeringan rendah seluas 5348,789 ha (7,63%), potensi kekeringan agak tinggi seluas 34839,348 ha (49,73%), potensi kekeringan tinggi seluas 24724,229 ha (35,29%) dan potensi kekeringan sangat tinggi seluas 4992,734 ha (7,13%). Kemampuan penginderaan jauh dalam menganalisis daerah berpotensi kekeringan mengahasilkan tiga keluaran yang menjadi parameter yaitu; Normalized Difference Vegetation Index


(9)

ix

geografis dalam menganalisis daerah berpotensi kekeringan dengan cara pengharkatan, pembobotan dan penggabungan dari keenam parameter.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebaran daerah berpotensi kekeringan kelas tinggi dan sangat tinggi terdapat pada Kabupaten Klaten bagian selatan yaitu pada Kecamatan Bayat, Cawas dan sekitarnya serta pada Kabupaten Klaten bagian tengah yaitu pada Kecamatan Klaten, Jogonalan dan sekitarnya. Penginderaan Jauh mampu mendeteksi potensi kekeringan dengan nilai akurasi hasil interpretasi NDVI, Indeks Kecerahan dan Indeks Kebasahan lebih dari ketentuan minimum syarat akurat interpretasi. Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat mengkelaskan tingkat potensi kekeringan. Adapun saran dalam penelitian ini yaitu 1) Daerah yang mempunyai potensi tinggi untuk terjadinya kekeringan diharapkan mendapatkan prioritas utama dalam mitigasi bencana kekeringan, 2) Daerah-daerah yang belum mempunyai peta seperti ini diharapkan membuat peta potensi kekeringan, 3) Peneliti berikutnya diharapkan mengetahui dasar-dasar penginderaan jauh digital secara mendalam.


(10)

x DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... PERSETUJUAN PEMBIMBING... PENGESAHAN KELULUSAN... PERNYATAAN... MOTTO DAN PERSEMBAHAN... KATA PENGANTAR... SARI... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... BAB I PENDAHULUAN...

1.1Latar Belakang... 1.2Rumusan Masalah... 1.3Tujuan Penelitian... 1.4Manfaat Penelitian... 1.5Penegasan Istilah... 1.6Sistematika Penulisan Skripsi... BAB II KAJIAN PUSTAKA... 2.1 Kekeringan... 2.2Penginderaan Jauh...

i ii iii iv v vi viii x xiii xiv xv 1 1 4 4 4 5 6 8 8 9


(11)

xi

2.3Citra Landsat... 2.4Sistem Informasi Geografis... 2.5Identifikasi Daerah Berpotensi Kekeringan... 2.6Penelitian Relevan... BAB III METODE PENELITIAN... 3.1 Lokasi dan Obyek Penelitian... 3.2 Populasi dan Sampel... 3.3 Variabel Penelitian... 3.4 Alat dan Bahan Penelitian... 3.5 Teknik Perolehan Data... 3.6 Tahap Penelitian... 3.7 Teknik Analisis Data... 3.8 Uji Ketelitian Interpretasi Citra... BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 4.1 Kondisi Umum daerah Penelitian... 4.1.1 Lokasi Penelitian... 4.1.2 Kondisi Bentuk Lahan... 4.1.3 Kondisi Topografi... 4.1.4 Kondisi Jenis Tanah... 4.1.5 Kondisi Curah Hujan... 4.1.6 Kondisi Hidrologi & Hidrogeologi... 4.1.7 Kondisi Penggunaan Lahan... 4.2 Hasil Penelitian...

13 15 19 28 31 31 31 31 32 33 34 35 37 39 39 39 41 45 48 50 52 54 56


(12)

xii

4.2.1 Sebaran Daerah Berpotensi Kekeringan... 4.2.2 Kemampuan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis

dalam Mendeteksi Daerah Berpotensi Kekeringan... 4.3 Pembahasan...

4.3.1 Sebaran Daerah Berpotensi Kekeringan... 4.3.2 Kemampuan Penginderaan Jauh dan sistem Informasi Geografis

dalam Mengidentifikasi Daerah Berpotensi Kekeringan... BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...

5.1 Kesimpulan... 5.2 Saran... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN...

56

91 97 97

99 102 102 103 104 106


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1.1 Peringkat Bencana Kekeringan Nasional...

Tabel 2.1 Karakteristik Citra Landsat 7ETM+... Tabel 2.2 Klasifikasi dan Pengharkatan NDVI....... Tabel 2.3 Algoritma Transformasi Tasseled Cap Landsat 7ETM+... Tabel 2.4 Klasifikasi dan Pengharkatan Indeks Kebasahan... Tabel 2.5 Klasifikasi dan Pengharkatan Indeks Kecerahan... Tabel 2.6 Klasifikasi Curah Hujan Terhadap Kekeringan... Tabel 2.7 Klasifikasi Hidrogeologi Terhadap Kekeringan... Tabel 2.8 Klasifikasi Penggunaan Lahan Terhadap Kekeringan... Tabel 2.9 Penelitian Sebelumnya... Tabel 3.1 Klasifikasi Kelas Potensi Kekeringan... Tabel 4.1 Luasan Kecamatan di Kabupaten Klaten... Tabel 4.2 Luas Bentuk Lahan Kabupaten Klaten... Tabel 4.3 Luas Ketinggian Tempat Kabupaten Klaten... Tabel 4.4 Luas Penggunaan Lahan Kabupaten Klaten... Tabel 4.5 Luas Kelas NDVI......... Tabel 4.6 Luas Kelas Indeks Kecerahan......... Tabel 4.7 Luas Kelas Indeks Kebasahan... Tabel 4.8 Luas Potensi Kekeringan Kabupaten Klaten berbasis PJ&SIG... Tabel 4.9 Luas Potensi Kekeringan Tiap Kecamatan di Kabupaten Klaten.... Tabel 4.10 Hasil Uji Akurasi Interpretasi...

2 15 22 23 23 24 25 25 26 30 37 41 44 47 54 60 69 78 84 87 93


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Illustrasi Uraian Sub-sistem SIG...

Gambar 4.1 Peta Administrasi Kabupaten Klaten... Gambar 4.2 Peta Bentuk Lahan Kabupaten Klaten... Gambar 4.3 Peta Ketinggian Tempat Kabupaten Klaten... Gambar 4.4 Peta Jenis Tanah Kabupaten Klaten... Gambar 4.5 Peta Curah Hujan Kabupaten Klaten... Gambar 4.6 Peta Hidrogeologi Kabupaten Klaten... Gambar 4.7 Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Klaten... Gambar 4.8 Hasil Transformasi NDVI Kabupaten Klaten... Gambar 4.9 Histogram Transformasi NDVI………... Gambar 4.10 Kondisi Lapangan Kelas NDVI... Gambar 4.11 Hasil Klasifikasi Transformasi NDVI Kabupaten Klaten... Gambar 4.12 Hasil Transformasi Indeks Kecerahan Kabupaten Klaten... Gambar 4.13 Histogram Transformasi Indeks Kecerahan ………... Gambar 4.14 Kondisi Lapangan Kelas Indeks Kecerahan... Gambar 4.15 Hasil Klasifikasi Indeks Kecerahan Kabupaten Klaten... Gambar 4.16 Hasil Transformasi Indeks Kebasahan Kabupaten Klaten... Gambar 4.17 Histogram Transformasi Indeks Kebasahan….………... Gambar 4.18 Kondisi Lapangan Kelas Indeks Kebasahan... Gambar 4.19 Hasil Klasifikasi Indeks Kebasahan Kabupaten Klaten... Gambar 4.20 Peta Potensi Kekeringan Berbasis PJ&SIG... Gambar 4.21 Perbaikan Klasifikasi Sampel Tidak Akurat...

17 40 43 46 49 51 53 55 58 59 64 65 67 68 73 74 76 77 82 83 90 94


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Cara Pengolahan Data Raster atau Citra...

Lampiran 1.1 Layer Stacking (Penggabungan band)... Lampiran 1.2 Koreksi Geometri dan Reproyeksi Citra... Lampiran 1.3 Cloud masking (Pemisahan awan)... Lampiran 1.4 Penggabungan Citra 2002 dan 2012... Lampiran 1.5 Pemotongan Citra (cropping citra)... Lampiran 1.6 Koreksi Radiometri... Lampiran 1.7 Transormasi NDVI... Lampiran 1.8 Klasifikasi Nilai Spektral NDVI... Lampiran 1.9 Transformai Indeks Kecerahan (Brightness Index)... Lampiran 1.10 Klasifikasi Nilai Spektral Indeks Kecerahan......... Lampiran 1.11 Transformai Indeks Kebasahan (Wetness Index)...... Lampiran 1.12 Klasifikasi Nilai Spektral Indeks Kebasahan... Lampiran 2 Cara Pengolahan Data Vector... Lampiran 2.1 Pendugaan Daerah Berpotensi Kekeringan... Lampiran 2.2 Pembuatan Peta Curah Hujan... Lampiran 2.3 cara Penentuan Titik Sampel………..……… Lampiran 3 Tabel Curah Hujan Kabupaten Klaten Tahun 2008 – 2011... Lampiran 4 Peta Pengamatan Lapangan……….……….. Lampiran 5 Peta Validasi Hidrogeologi……….. Lampiran 6 Tabel Cek Lapangan Hasil Interpretasi... Lampiran 7 Tabel Pengharkatan dan Pembobotan Parameter...

106 106 107 109 110 112 114 116 118 121 123 125 126 128 128 130 133 134 136 137 138 142


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bencana alam merupakan fenomena yang dapat mengancam kelangsungan kehidupan. Dampak negatif dari bencana alam berpengaruh secara langsung terhadap aktivitas makhluk hidup. Salah satu bencana alam yang frekuensi kejadianya tinggi (hampir setiap tahun) adalah kekeringan. Kejadian bencana terbesar di Indonesia yang terjadi setelah tahun 1990-an sebagian besar merupakan bencana yang terkait dengan iklim khususnya banjir, kemudian kekeringan, kebakaran hutan, dan ledakan penyakit (Yuwono, 2012).

Kekeringan pada dasarnya diakibatkan oleh kondisi hidrologi suatu daerah dalam kondisi air tidak seimbang. Kekeringan terjadi akibat dari distribusi hujan tidak merata yang merupakan satu-satunya input bagi suatu daerah. Ketidakmerataan hujan ini akan mengakibatkan di beberapa daerah yang curah hujanya kecil akan mengalami ketidakseimbangan antara input dan output air (Shofiyati, 2007).

Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dari tahun 2002 sampai 2009 bencana kekeringan menduduki peringkat kedua intensitas tersering setelah bencana banjir yaitu rata-rata 156 kejadian/tahun. BNPB merilis peringkat bencana kekeringan secara nasional pada tahun 2009. Berdasarkan peringkat tersebut, Kabupaten Klaten yang merupakan daerah lumbung padi Jawa Tengah menduduki peringkat ke-9 nasional untuk bencana


(17)

kekeringan. Adapun sepuluh peringkat tertinggi bencana kekeringan nasional dapat dilihat pada tabel 1.1.

Tabel 1.1 Peringkat Bencana Kekeringan Nasional Kabupaten Kelas Rangking Nasional Lombok Tengah Tinggi 1

Lamongan Tinggi 2

Gresik Tinggi 3

Cilacap Tinggi 4

Banyumas Tinggi 5

Banjarnegara Tinggi 6

Kebumen Tinggi 7

Magelang Tinggi 8

Klaten Tinggi 9

Sukoharjo Tinggi 10

Sumber : Indeks Rawan Bencana BNPB, 2009

Bencana kekeringan di Kabupaten Klaten mengakibatkan kurangnya pasokan air untuk lahan pertanian seehingga tanaman padi yang telah ditanam terancam gagal panen. Pada bulan Juni 2012, sekitar 750 hektar lahan sawah di empat kecamatan penghasil utama beras terncam kekeringan yaitu: Delanggu, Wonosari, Kalikotes dan Juwiring (http:/www.Timlo Net.com, 2012). Menurut Pengurus Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Klaten dengan semakin panjangnya musim kemarau, kekeringan di Kabupaten Klaten pada bulan September 2012 meluas hingga lima kecamatan lain yang mengakibatkan gagal panen tanaman padi. Adapun lima kecamatan tersebut diantaranya: Gantiwarno, Cawas, Trucuk, Klaten Tengah, dan Ceper (http:/www.Joglosemar.com, 2012). Berdasarkan prakiraan cuaca dari BMKG, awal musim penghujan di Kabupaten Klaten akan mulai pada bulan November 2012 (http:/www.Antara Jateng.com,


(18)

2012). Oleh karen itu, masih terdapat kemungkinan bertambahnya daerah rawan kekeringan di Kabupaten Klaten.

Kurangnya data peta berisi informasi daerah potensial dilanda kekeringan turut berperan sebagai salah satu faktor yang menghambat penyelesaian masalah kekeringan, sehingga saat ini sangat diperlukan peta-peta tersebut mengingat kekeringan merupakan suatu masalah berdampak serius pada seluruh sektor kehidupan. Peta yang berkaitan dengan keruangan hendaknya merupakan peta yang bergeoreferensi. Pembuatan peta yang bergeorefensi dapat menggunakan teknik Penginderaan Jauh (Inderaja) dan Sistem Informasi Geografis (SIG).

Dewasa ini teknologi Penginderaan Jauh (inderaja) berkembang pesat. Teknologi ini menghasilkan berbagai data baik foto udara maupun citra satelit yang dapat menggambarkan permukaan bumi. Berbagai penelitian sudah dan terus dilakukan untuk memanfaatkan data inderaja dalam menganalisis masalah-masalah keruangan.

Salah satu penelitian Penginderaan Jauh (Inderaja) dan Sistem Informasi Geografis (SIG) dibidang lingkungan dan mitigasi bencana yaitu mengenai bencana kekeringan baik potensi, kejadian, maupun resiko. Penelitian potensi kekeringan menggunakan citra Landsat dapat dilakukan dengan transformasi NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dan Tranformasi Tasseled Cap. Tranformasi Tasseled Cap menganalisis tiga indikator yaitu: indeks kebasahan, indeks kecerahan, dan indeks kehijauan yang indikator-indikator tersebut dapat digunakan dalam analisis tingkat kekeringan suatu lahan (Shofiyati, 2007).


(19)

Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukanya penelitian potensi kekeringan di Kabupaten Klaten, dalam hal ini disusun dalam sebuah skripsi dengan judul “Deteksi Potensi Kekeringan Berbasis Penginderaan Jauh dan

Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Klaten”.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah:

1. Bagaimana sebaran daerah yang berpotensi kekeringan di Kabupaten Klaten dengan menggunakan teknik analisis Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis.

2. Bagaimana kemampuan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk mendeteksi daerah berpotensi rawan terhadap kekeringan?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui sebaran daerah berpotensi kekeringan di Kabupaten Klaten dengan menggunakan teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis. 2. Mengetahui kemampuan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis

dalam mendeteksi daerah rawan terhadap kekeringan di Kabupaten Klaten.

1.4 Manfaat Penelitian

Beberapa manfaat dari penelitian ini di antaranya adalah:

1. Manfaat praktis, sebagai syarat kelulusan sarjana Geografi S1 serta memberikan informasi distribusi spasial daerah potensi rawan kekeringan


(20)

berbasis Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Klaten kepada pihak-pihak yang membutuhkan.

2. Manfaat teoritis, sebagai sarana pengembangan ilmu dan pengetahuan yang secara teori telah didapatkan di bangku kuliah, khususnya mata kuliah Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis.

1.5 Penegasan Istilah

Penegasan istilah dimaksudkan untuk membatasi ruang lingkup permasalahan yang diteliti, menghindari kesalahan penafsiran dalam penelitian dan memudahkan dalam menangkap isi serta sebagai pedoman dalam pelaksanaan penelitian.

1. Deteksi: Usaha menemukan dan menentukan keberadaan, anggapan ataupun kenyataan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989:202).

2. Potensi: Sesuatu kemungkinan yang dapat menjadi aktual (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989:697).

3. Kekeringan: Kurangnya air bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya pada suatu wilayah yang biasanya tidak kekurangan air (TKPSDA, 2003).

4. Berbasis: Didasarkan pada (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989:83).

5. Penginderaan Jauh: Ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1994 dalam Purwadhi dan Sanjoto, 2008:3).


(21)

6. Sistem Informasi Geografis: Kumpulan yang terorganisasi dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personil yang dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, meng-update, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografis (Esri, 1990 dalam Prahasta, 2009:117).

1.6 Sistematika Penulisan Skripsi

Secara garis besar sistematika penulisan skripsi terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian awal, bagian isi, dan bagian penutup.

1. Bagian awal skripsi

Bagian awal skripsi meliputi: halaman sampul, lembar judul, lembar persetujuan pembimbing, lembar pengesahan penguji, lembar pernyataan, lembar motto dan persembahan, sari, kata pengantar, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar dan daftar lampiran.

2. Bagian isi skripsi

Bagian isi skripsi memuat lima pokok bahasan, yaitu:

a. BAB I. Pendahuluan, memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah dan sistematika penulisan.

b. BAB II. Landasan teori, memuat kajian secara teoritis mengenai masalah yang dibahas dalam penelitian deteksi potensi kekeringan berbasis penginderaan jauh dan sistem informasi geografis.


(22)

c. BAB III. Metode penelitian, memuat tentang metode yang digunakan dalam penelitian, meliputi lokasi dan obyek penelitian, alat dan bahan penelitian, variabel penelitian, metode pengumpulan data dan metode analisis data.

d. BAB IV. Hasil dan Pembahasan e. BAB V. Kesimpulan dan Saran 3. Bagian akhir skripsi

Pada bagian akhir skripsi berisi tentang:

a. Daftar pustaka yang berisi tentang daftar buku dan literatur yang berkaitan dengan penelitian.


(23)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kekeringan

Kekeringan pada dasarnya adalah kondisi kekurangan air pada daerah yang biasanya tidak mengalami kekurangan air, sedangkan daerah yang kering adalah daerah yang mempunyai curah hujan kecil atau jumlah bulan kering dalam setahun lebih besar atau sama dengan delapan bulan. Menurut Kementerian Ristek (2008) kekeringan secara umum bisa didefinisikan sebagai pengurangan pesediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume yang diharapkan untuk jangka waktu tertentu (Raharjo, 2010).

Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) membagi dua kategori kekeringan yaitu kekeringan alamiah dan kekeringan yang diakibatkan perbuatan manusia (TKPSDA, 2003). Adapun kekeringan alamiah terbagi menjadi lima sudut pandang yaitu:

a. Kekeringan meteorologis berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim. Pengukuran kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama adanya kekeringan.

Kekeringan hidrologis berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Ada tenggang waktu mulai berkurangnya hujan sampai menurunnya elevasi muka air sungai, waduk,


(24)

b. danau dan elevasi muka air tanah. Kekeringan hidrologis bukan merupakan indikasi awal adanya kekeringan.

c. Kekeringan pertanian berhubungan dengan kekurangan lengas tanah (Kandungan air dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu dalam wilayah yang luas. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah gejala kekeringan meteorologis.

d. Kekeringan sosial ekonomi berkaitan dengan kekeringan yang memberi dampak terhadap kehidupan sosial ekonomi seperti: rusaknya tanaman, peternakan, perikanan, berkurangnya tenaga listrik dari tenaga air, terganggunya kelancaran transportasi air, menurunnya pasokan air baku untuk industri domestik dan perkotaan.

e. Kekeringan hidrotopografi berkaitan dengan perubahan tinggi muka air sungai antara musim hujan, musim kering dan topografi lahan.

Kekeringan tidak taat aturan atau yang disebabkan manusia terjadi karena:

a. Kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang direncanakan akibat ketidak taatan pengguna terhadap pola tanam/pola penggunaan air.

b. Kerusakan kawasan tangkapan air, sumber-sumber air akibat perbuatan manusia.

2.2 Penginderaan Jauh

2.2.1 Pengertian Penginderaan Jauh

Penginderaan Jauh (remote sensing) sering disingkat inderaja, adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung


(25)

dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan kiefer, 1994 dalam Purwadhi dan Sanjoto, 2008:3).

2.2.2 Sistem Satelit Penginderaan Jauh

Satelit tak berawak sebagai wahana penyadap informasi dari permukaan bumi telah mulai dikembangkan sejak awal tahun „60an. Aplikasi utamanya adalah di bidang kemiliteran. Baru awal pada dekade „70an, satelit tak berawak diluncurkan untuk sumberdaya bumi, yaitu ERT-1. Peluncuran ini diikuti oleh peluncuran satelit sumberdaya lain, dan juga pengembangan sistem pengolahan datanya. Mulai saat itulah teknologi di bidang pengolahan citra dikembangkan secara lebih serius.

Berdasarkan misinya, satelit penginderaan jauh dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu satelit cuaca dan satelit sumberdaya. Selain berdasarkan misinya, satelit penginderaan jauh dikelompokkan berdasarkan cara mengorbitnya yaitu satelit geostasioner dan satelit singkron matahari.

Satelit geostasioner merupakan satelit yang diorbitkan pada ketinggian lebih kurang 36.000 km di atas bumi, pada posisi geostasioner. Pada ketinggian ini, pengaruh gaya gravitasi dan sentrifugal bumi lebih kurang sebanding sehingga satelit yang ditempatkan di sana tidak tertarik ke bumi ataupun terlempar ke luar orbit. Pada umumnya satelit cuaca merupakan satelit geostasioner, misalnya GOES dan GMS. Pada posisi „diam‟ (yang sebenarnya terus bergerak untuk menempati posisi relatif konstan terhadap suatu lokasi di bumi) ini, satelit geostasioner hanya mampu merekam wilayah yang sama terus-menerus sepanjang


(26)

hari, tetapi dengan liputan yang sangat luas. Satelit jenis ini disebut singkron bumi

(geo-synchronus satellite) karena posisi relatif tetap di atas permukaan bumi. Satelit singkron matahari (sun-synchronous satellite) sering pula disebut sebagai satelit berorbit polar karena mengorbit bumi dengan hampir melewati kutub, memotong arah rotasi bumi. Hampir semua satelit sumberdaya termasuk satelit singkron matahari, misalnya Landsat, SPOT, ERS dan JERS, IKONOS, Quickbird, Alos, Terra dan Aqua. Satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) yang sebenarnya merupakan satelit cuaca, juga melakukan orbit singkron matahari.

Sesuai dengan namanya, satelit singkron matahari selalu bergerak memotong arah rotasi bumi dengan melalui atau hampir melalui kutub sehingga dapat meliput hampir seluruh bagian permukaan bumi. Oleh karena itu, satelit ini akan selalu berada di atas wilayah yang sama di permukaan bumi pada waktu lokal yang sama pula. Ketinggian orbit satelit jenis ini berkisar dari 600 km sampai dengan sekitar 1000 km, jauh rendah dibandingkan satelit geostasioner (Danoedoro, 2012:67).

2.2.3 Data Penginderaan Jauh Digital

Data penginderaan jauh digital (Citra digital) direkam dengan menggunakan sensor non-kamera, antara lain scanner, radiometer, spectrometer. Detektor yang digunakan dalam sensor penginderaan jauh adalah detektor elektronik dengan menggunakan tenaga elektromagnetik yang luas, yaitu spektrum tampak, ultraviolet, inframerah dekat, inframerah thermal, dan gelombang mikro. Citra digital dibentuk dari elemen-elemen gambar atau pixel


(27)

(Picture element) yang menyatakan tingkat keabuan pada gambar. Informasi yang terkandung dalam pixel tersebut bersifat diskrit yaitu mempunyai ukuran presisi tertentu (Purwadhi, 2001:48).

Setiap citra digital penginderaan jauh satelit yang dihasilkan oleh setiap sensor mempunyai sifat khas datanya. Sifat khas data tersebut dipengaruhi oleh sifat orbit satelit, sifat dan kepekaan sensor penginderaan jauh terhadap panjang gelombang elektromagnetik, jalur transmisi yang digunakan, sifat sasaran (objek), dan sifat sumber tenaga radiasinya. Sifat orbit satelit dan cara operasi sistem sensornya dapat mempengaruhi resolusi dan ukuran pixel datanya.

Sistem perekaman data penginderaan jauh dengan menggunakan sensor satelit dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu sistem pasif dan sistem aktif. Kedua sistem tersebut sangat berpengaruh terhadap sistem, prosedur, dan metode pengolaan datanya. Komponen dasar pengambilan data penginderaan jauh sistem pasif meliputi sumber tenaga, atmosfer, interaksi tenaga dengan objek permukaan bumi, sensor, sistem pengolahan data, dan berbagai penggunaan data. Sumber tenaga diambil dari matahari atau sumber lain. Salah satu data penginderaan jauh sistem pasif adalah data satelit (Landsat).

2.2.4 Interpretasi Citra Penginderaan Jauh

Interpretasi atau penafsiran citra penginderaan jauh merupakan perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut. Interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara yaitu interpretasi secara manual dan interpretasi secara digital (Purwadhi, 2001:25). Interpretasi secara manual adalah interpretasi


(28)

data penginderaan jauh yang mendasarkan pada pengenalan ciri/karakteristik objek secara keruangan. Karakteristik objek dapat dikenali berdasarkan 9 unsur interpretasi yaitu bentuk, ukuran, pola, bayangan, rona/warna, tekstur, situs, asosiasi dan konvergensi bukti. Interpretasi secara digital adalah evaluasi kuantitatif tentang informasi spektral yang disajikan pada citra.

Dasar interpretasi citra digital berupa klasifikasi citra pixel berdasarkan nilai spektralnya dan dapat dilakukan dengan cara statistik. Dalam pengklasifikasian citra secara digital, mempunyai tujuan khusus untuk mengkategorikan secara otomatis setiap pixel yang mempunyai informasi spektral yang sama dengan mengikutkan pengenalan pola spektral, pengenalan pola spasial dan pengenalan pola temporal yang akhirnya membentuk kelas atau tema keruangan (spasial) tertentu.

2.3 Citra Landsat

Satelit Landsat (Land satellite) merupakan suatu hasil program satelit sumberdaya bumi yang dikembangkan oleh NASA (the National Aeronautical and Space Administration) Amerika Serikat pertama kali diluncurkan pada 1972 dengan nama ERTS-1 ((Earth Resources Technology Satellite). Dengan kesuksesan peluncuran pertama, dilanjutkan dengan peluncuran selanjutnya seri kedua yang dengan nama Landsat-1.

Seri Landsat saat ini telah sampai pada Landsat-7. Mulai dari Landsat-1 hingga Landsat-7 telah terjadi perubahan desain sensor sehingga ketujuh satelit tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 generasi, yaitu generasi pertama (Landsat 1-3), generasi kedua (Landsat 4 dan 5), serta generasi ketiga (Landsat 6


(29)

dan 7). Landsat 1 dan 2 memuat dua macam sensor, yaitu RBV (Return Beam Vidicion) yang terdiri atas 3 saluran dan MSS (multispectral scanner) yang terdiri atas 4 saluran dengan resolusi spasial 79 meter.

Landsat 4 dan 5 memuat dua macam sensor pula, dengan mempertahankan MSS-nya, tetapi menggantikan RBV dengan TM (Thematic Mapper) karena alasan kapabilitas. Dengan demikian, urutan penomeran MSS menjadi MSS1, MSS2, MSS3, dan MSS4. Sensor TM yang mempunyai 7 saluran dinomeri urut dari 1 sampai dengan 7. Pada 1993 Landsat generasi 3 (Landsat 6) diluncurkan, tetapi misi ini gagal karena sesaat peluncuran satelit Landsat 6 hilang.

Pada 1999 Landsat 7 diluncurkan dengan membawa sensor multispektral beresolusi 15 meter untuk citra pankromatik dan 30 meter untuk citra multispektral serta 60 meter untuk citra inframerah termal. Dengan demikian, berbeda dari sensor TM pendahulunya yang hanya membawa tujuh saluran spektral, sensor Landsat 7 yang disebut ETM+ (Enhanced Thematic Mapper Plus, atau TM yang telah diperbaiki kinerjanya) ini memuat 8 saluran, di mana saluran 6 telah dinaikkan resolusi spasialnya dai 120 meter menjadi 60 meter, dan saluran 8 merupakan saluran pankromatik dengan julat panjang gelombang antara 0,58 – 0,90 µm.

Sejak 31 Mei 2003, sistem sensor pada Landsat 7 ETM+ mengalami kerusakan berupa kegagalan pengoreksi garis pemindai (scan line corrector, SLC). Akibat kegagalan ini, data hasil pemindai pun banyak yang hilang. Melalui operasi sistem sensor yang menggunakan moda SLC-off ini, diperoleh citra digital


(30)

yang menampakkan baris-baris pemindai yang melompat-lompat (Danoedoro, 2012:68). Karakteristik citra Landsat 7ETM+ dijelaskan dalam tabel 2.1.

Tabel 2.1 Karakteristik Citra Landsat 7 ETM+ Band Saluran

Spektral (µm)

Gelombang Resolusi spasial (meter)

Kegunaan

1 0.45 – 0.52 Biru 30 X 30 Tembus terhadap tubuh air, dapat untuk pemetaan air, pantai, pemetaan tumbuhan, pemetaan kehutanan, dan mengidentifikasi budidaya manusia. 2 0.52 – 0.60 Hijau 30 X 30 Untuk pengukuran nilai pantul hijau

pucuk tumbuhan dan penafsiran aktifitasnya, juga untuk pengamatan budidaya manusia

3 0.63 – 0.69 Merah 30 X 30 Dibuat untuk melihat daerah yang menyerap klorofil, yang dapat digunakan untuk membantu dalam pemisahan spesies tanaman.

4 0.76 – 0.90 Infra merah dekat

30 X 30 Untuk membedakan jenis tumbuhan, aktifitas dan kandungan biomas untuk membatasi tubuh air dan pemisahan kelembaban tanah.

5 1.55 – 1.75 Infra merah dekat

30 X 30 Menunjukan kandungan kelembaban tumbuhan dan kelembaban tanah, juga untuk membedakan salju dan awan 6 10.4 – 12.5 Infra merah

termal

60 X 60 Untuk menganalisis tingkat tumbuhan, pemisahan kelembaban tanah dan pemetaan panas

7 2.08 – 2.35 Infra merah sedang

30 X 30 Berguna untuk pengenalan terhadap mineral dan jenis batuan, juga sensitive terhadap kelembaban tumbuhan

8 0.50 – 0.90 Pankroma-tik

15 X 15 Untuk peningkatan resolusi spasial.

Sumber: Humaidi 2005 (www.Satelit-inderajablogspot.com). 2.4 Sistem Informasi Geografis

2.4.1 Pengertian SIG (Sistem Informasi Geografis)

Menurut Aronoff (1998), SIG adalah sistem yang berbasiskan komputer (CBIS) yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi


(31)

geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek-objek dan fenomena di mana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis (Prahasta, 2009:116).

Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografis: (a) masukan, (b) manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), (c) analisis dan manipulasi data dan (d) keluaran.

2.4.2 Subsistem SIG (Sistem Informasi Geografis)

Berdasarkan definisi diatas, SIG dapat diuraikan menjadi beberapa subsitem yang dapat diuraikan sebagai berikut (Prahasta, 2009:118):

a. Data Input

Subsistem ini bertugas untuk mengumpulkan, mempersiapkan, dan menyimpan data spasial beserta atributnya dari berbagai sumber. Sub-sistem ini pula yang bertanggungjawab dalam mengonversikan atau mentranformasikan format-format data aslinya ke dalam format (native) yang dapat digunakan oleh perangkat SIG yang bersangkutan.

b. Data Output

Subsistem ini bertugas untuk menampilkan atau menghasilkan keluaran (termasuk mengekspornya ke format yang dikehendaki) seluruh atau sebagian basis data (spasial) baik dalam bentuk softcopy maupun hardcopy seperti halnya tabel, grafik, report, peta dan lain sebagainya.


(32)

c. Data Management

Subsistem ini mengorganisasikan baik data spasial maupun tabel-tabel atribut terkait ke dalam sebuah sistem basis data sedemikian rupa hingga mudah dipanggil kembali atau diretrieve (diload ke memori), diupdate, dan diedit.

d. Data manipulation dan analisyis

Subsistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu, subsistem ini juga melakukan manipulasi (Evaluasi dan penggunaan fungsi-fungsi dan operator matematis&logika) dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan. Subsistem SIG dapat diilustrasikan pada gambar 2.1 dibawah ini dengan memperjelas uraian jenis masukan, proses, dan jenis keluaran yang ada di dalamnya.

Gambar 2.1 Ilustrasi uraian Sub-sistem SIG (Prahasta, 2009:119) 2.4.3 Kemampuan SIG

Salah satu kemampuan SIG adalah kemampuan analisis yang dapat dilakukanya. Secara umum terdapat dua jenis kemampuan analisis SIG, yaitu analisis spasial dan analisis atribut (Basis data atribut).


(33)

a. Kemampuan analisis atribut

Analisis atribut terdiri dari operasi dasar sistem pengelolaan basisdata (DBMS) dan perluasanya. Operasi dasar basisdata mencakup: membuat basis data baru, menghapus basisdata, membuat tabel basisdata, mengisi dan menyisipkan data, membaca dan mencari data, mengedit data yang terdapat di dalam tabel basisdata dan membuat indeks untuk setiap tabel basisdata

Sedangkan perluasan basisdata meliputi: Membaca basisdata dalam sistem basisdata yang lain, dapat berkomunikasi dengan sistem basisdata yang lain, dapat menggunakan bahasa basisdata standar SQL, operasi-operasi atau fungsi analisis lain yang sudah rutin digunakan di dalam sistem basisdata

b. Kemampuan analisis spasial

1. Klasifikasi: Fungsi ini mengklasifikasikan atau mengklasifikasikan kembali suatu data spasial (atau atribut) menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan kriteria tertentu.

2. Jaringan (netWork): Fungsi ini merujuk data spasial titik-titik (point) atau garis-garis (line) sebagai suatu jaringan yang tidak terpisahkan.

3. Overlay: Fungsi ini menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial yang menjadi masukkanya.

4. Buffering: Fungsi ini akan menghasilkan data spasial baru yang berbentuk polygon atau zone dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi masukkanya.


(34)

5. 3D analysis: Fungsi ini terdiri dari sub-sub fungsi yang berhubungan dengan presentasi data spasial dalam ruang 3 dimensi. Fungsi analisis spasial ini banyak menggunakan fungsi interpolasi.

6. Digital image processing (pengolahan citra digital): fungsi ini dimiliki oleh perangkat SIG yang berbasiskan raster.

2.5 Identifikasi Daerah Berpotensi Kekeringan

Penelitian deteksi potensi kekeringan berbasis penginderaan jauh dan sistem informasi geografis ini menggunakan data penginderaan jauh berupa Landsat 7ETM+ serta kondisi fisiografis yang berpengaruh terhadap kekeringan, diantaranya: kondisi curah hujan, kondisi hidrogeologi dan penggunaan lahan.

Citra Landsat sudah banyak digunakan dalam penelitian-penelitian kekeringan, salah satu metode yang sering digunakan pada citra landsat untuk identifikasi kekeringan yaitu dengan menggunakan indeks vegetasi dan Tasseled Cap Tranformation (TCT). Transformasi Tasseled Cap merupakan formula matemtik untuk menghitung tingkat kecerahan (brightness), kehijauan (greenness), dan kelembaban (wetness) dari angka-angka digital disetiap band (Band 1 hingga band 5 dan band 7) pada citra Landsat. Nilai-nilai dalam TCT yaitu Brightness, Greeness, dan Wetness bisa digunakan dalam menganalisis kekeringan (Shofiyati, 2007). Tranformasi Tasseled Cap memanfaatkan feature space pada keenam saluran sekaligus. Prinsip tarnformasi ini ialah penyusunan kembali sumbu-sumbu saluran dalam ruang spektral sehingga sumbu-sumbu tersebut terputar (terotasi) ke arah tertentu, yang satu sama lain ortogonal (Danoedoro, 2012:269).


(35)

2.5.1 Indeks Vegetasi

Indeks Vegetasi merupakan suatu bentuk tranformasi spektral yang diterapkan terhadap citra multisaluran untuk menonjolkan aspek kerapatan vegetasi ataupun aspek lain yang berkaitan dengan kerapatan, misalnya biomassa, Leaf Area Index (LAI), konsentrasi Klorofil dan sebagainya (Danoedoro, 2012:246). Secara praktis, indeks vegetasi merupakan suatu tranformasi matematis yang melibatkan beberapa saluran sekaligus, dan menghasilkan citra baru yang lebih representatif dalam menyajikan fenomena vegetasi.

Tranformasi indeks vegetasi dapat dikelompokkan ke dalam empat golongan besar, yaitu (a) Indeks vegetasi dasar (generik), (b) indeks vegetasi yang meminimalkan pengaruh latar belakang tanah, (c) indeks vegetasi yang meminimalkan pengaruh atmosfer dan (d) indeks vegetasi lainya (Danoedoro, 2012:246). Salah satu tranformasi indeks vegetasi dasar yaitu Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). NDVI merupakan kombinasi antara teknik penisbahan dengan teknik pengurangan citra. Indeks ini sederhana dan mempunyai nilai range yang dinamis dan sensitif yang paling bagus terhadap perubahan tutupan vegetasi. Saluran yang digunakan dalam transformasi ini adalah saluran merah dan inframerah. Kedua saluran ini dipilih karena memiliki kepekaan yang berbeda terhadap vegetasi. Klorofil a dan b yang merupakan pigmen penting dari tanaman menyerap cahaya biru dan merah. Klorofil a pada panjang gelombang 0,43 dan 0,66 µm dan klorofil b pada panjang gelombang 0,45 dan 0,65 µm (Jensen, 2005 dalam Dian, 2010).


(36)

Hal tersebut mengakibatkan pada band merah nilai reflectance vegetasi sangat rendah. Berbeda dengan bend merah, pada band inframerah dekat nilai pantulan vegetasi sehat meningkat tajam. Sepanjang julat inframerah dekat ini (0,7 – 1,2 µm) cahaya matahari yang diterima oleh tanaman mengandung sebagian besar energi matahari. Jika tanaman menyerap energi tersebut seperti pada panjang gelombang tampak maka tanaman akan terlalu panas sehingga protein yang didalamnya akan rusak. Pada panjang gelombang ini terjadi pantulan yang tinggi (40% - 60%), transmisi juga tinggi (40 – 60%), serta penyerapan yang rendah (5-10%). Rouse et al (1974) dalam Dian (2010) mengembangkan formula untuk mendapatkan kerapatan vegetasi:

NDVI = (NIR-Red) / (NIR+Red)

Hasil dari formula tersebut berkisar antara -1 sampai +1. Nilai -1 mengindikasikan bahwa pada saluran merah memiliki nilai pantulan maksimum dan pada saluran inframerah dekat memiliki pantulan minimum. Hal ini menunjukan daerah non vegetasi. Begitupun sebaliknya, nilai +1 menunjukan terjadi pantulan maksimum pada saluran inframerah dekat dan pantulan minimum pada saluran merah, sehingga menunjukka area bervegetasi kerapatan tinggi.

Perhitungan perbandingan sifat respon obyek terhadap pantulan sinar merah dan NIR dapat menghasilkan nilai dengan karakteristik khas yang dapat digunakan untuk memperkirakan kerapatan atau kondisi kanopi/kehijauan tanaman. Tanaman yang sehat berwarna hijau mempunyai nilai indeks vegetasi tinggi. Hal ini disebabkan oleh hubungan terbalik antara intensitas sinar yang dipantulkan vegetasi pada spektral sinar merah dan NIR.


(37)

Hasil transformasi NDVI pada citra menghasilkan nilai yang sngat beragam, maka dilakukan penyederhanaan nilai-nilai tersebut menjadi beberpa kelas. Berikut klasifikasi nilai NDVI dengan pengharkatan yang disesuaikan terhadap potensi kekeringan di Kabupaten Klaten.

Tabel 2.2 Klasifikasi dan pengharkatan NDVI

No Nilai NDVI Keterangan Harkat

1 -1 s/d - 0.005 Lahan tidak bervegatasi 5 2 - 0.005 s/d 0.19 Kehijauan sangat rendah 4 3 0.19 s/d 0.50 Kehijauan rendah 3 4 0.50 s/d 0.63 Kehijauan sedang 2 5 0.63 s/d 1.00 Kehijauan tinggi 1 Sumber:Perhitungan data, tahun 2012.

2.5.2 Indeks Kebasahan dan Indeks Kecerahan

Kelembaban tanah permukaan adalah air yang mengisi pori-pori horizon tanah atau lapisan tanah bagian atas. Setiap permukaan tanah mampunyai kelembaban tanah yang berbeda-beda dan mempunyai karakteristik nilai pantulan pada sensor yang berbeda-beda pula. Dengan hubungan bahwa suatu tanah yang mempunyai kelembaban yang tinggi mengasumsikan bahwa tanah tersebut sering tergenang air, sehingga dari sini didapat hubungan bahwa semakin tinggi kelembaban tanah maka semakin sering tanah tersebut tergenang dan mempunyai kerawanan yang rendah terhadap kekeringan. Demikian pula sebaliknya jika kelembaban tanah semakin rendah maka semakin jarang pula daerah tersebut tergenang air dan kerawanan kekeringan juga semakin tinggi.

Kelembaban tanah diperoleh dengan pendekatan indeks kebasahan

(wetness index) dan indeks kecerahan (brightness index), dengan asumsi bahwa nilai kebasahan adalah yang paling mendekati kelembaban tanah. Nilai kebasahan


(38)

ini selanjutnya digunakan sebagai nilai kelembaban tanah. Mengetahui kebasahan tanah pada suatu tempat dengan menggunakan citra Landsat 7 ETM+ dapat rnenggunakan formula yang merupakan pengalian, penambahan dan pengurangan pada saluran 1, saluran 2, saluran 3, saluran 4, saluran 5 dan saluran 7.

Algoritma Indeks Kecerahan dan Indeks Kebasahan Landsat 7 ETM+ disajikan dalam tabel 2.3.

Tabel 2.3 Algoritma Tranformasi Tasseled Cap Landsat 7ETM+

Saluran Tranformasi

Wetness Brightness

Band 1 0.2626 0.3561

Band 2 0.2141 0.3972

Band 3 0.09266 0.3904

Band 4 0.0656 0.6966

Band 5 -0.7629 0.2286

Band 7 -0.5388 0.1596 Sumber: Liu dan Mason dalam Danoedoro, 2012:271

Nilai wetness yang negatif menunjukkan bahwa tingkat kebasahan tanah yang kecil, sedangkan nilai wetness yang semakin positif menunjukkan tingkat kebasahan yang semakin besar. Nilai spektral dari trnformasi Indeks Kebasahan

(Wetness Index) dalam hubunganya kekeringan di Kabupaten Klaten dapat diklasifikasikan pada tabel 2.4 sebagai berikut:

Tabel 2.4 Klasifikasi dan Pengharkatan Indeks Kebasahan

No Nilai Wetness Index Keterangan Harkat 1 nilai terendah s/d -73.518 sangat kering 5

2 -73.518 s/d -37.753 kering 4

3 -37.753 s/d -21.157 sedang/lembab 3 4 -21.157 s/d 21.152 sangat lembab 2 5 21.152 s/d nilai tertinggi sangat tinggi/ tergenang 1 Sumber:Perhitungan data, 2012.


(39)

Indeks Kecerahan memberikan informasi bahwa permukaan cerah dipantulkan dari permukaan yang kering. Artinya, semakin gelap tanah maka ketersediaan bahan organik lebih tinggi, kelembaban tinggi dan ketersediaan air cukup. Nilai spektral dari trnformasi Indeks Kecerahan (Brightess index) dalam hubunganya kekeringan di Kabupaten Klaten dapat diklasifikasikan pada tabel 2.5.

Tabel 2.5 Klasifikasi dan Pengharkatan Indeks Kecerahan No Nilai Brightness Index Keterangan Harkat

1 >206.641 Sangat cerah 5

2 177.663 – 206.641 Cerah 4

3 147.368 – 177.663 Agak cerah 3

4 113.122 – 147.368 Gelap 2

5 Nilai terendah s/d 113.122 Sangat gelap 1 Sumber: Perhitungan data, 2012.

2.5.3 Curah Hujan

Hujan adalah jatuhnya hydrometeor yang berupa partikel-partikel air dengan diameter 0.5 mm atau lebih. Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap dan tidak mengalir.

Curah hujan menjadi sangat penting dalam penelitian ini karena merupakan salah satu faktor utama dalam menentukan kondisi permukaan dalam sudut pandang sumberdaya air. Hujan merupakan suatu masukan (input) yang akan diproses oleh permukaan lahan untuk menghasilkan suatu keluaran (Raharjo, 2010).

Pengharkatan nilai curah hujan didasarkan dari jumlah curah hujanya. Daerah dengan jumlah curah hujan paling kecil dapat dikatakan bahwa daerah itu akan lebih berpengaruh terhadap kejadian kekeringan. Oleh karena itu, untuk


(40)

daerah yang mempunyai nilai curah hujan rendah akan diberi nilai skor yang lebih tinggi daripada daerah dengan curah hujan tinggi. Adapun pengharkatan tertera pada tabel 2.6.

Tabel 2.6 Klasifikasi curah hujan terhadap kekeringan No Curah hujan rata-rata Harkat

1 <1500 4

2 1500-200 3

3 2001-2500 2

Sumber : Fersely, 2007 2.5.4 Kondisi Hidrogeologi

Hidrogeologi digunakan dalam penelitian ini karena dapat menggambarkan kondisi air bawah tanah. Tipe dan jenis akuifer menentukan dalam kemungkinan terjadinya kekeringan. Kondisi air tanah yang relatif sedikit akan semakin berkurang dengan adanya musim kemarau. Suplai air tanah berkurang dan menjadikan ketersediaan air menjadi kecil (Raharjo, 2010). Pengharkatan jenis akuifer dilakukan dengan melihat tingkat pengaruh jenis akuifer terhadap potensi kekeringan. Pengharkatan kondisi hidrogeologi disajikan pada tabel 2.7.

Tabel 2.7 Klasifikasi kondisi hidrogeologi terhadap kekeringan

No Tipe Akuifer Harkat

1 Air tanah langka 4

2 Produktivitas kecil 3

3 Produktivitas sedang 2

4 Produktivitas tinggi 1

Sumber: Tjahjono 2008, dengan meodifikasi. 2.5.5 Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan berperan dalam menampung air ataupun melimpaskanya. Daerah yang ditumbuhi banyak pepohonan akan membantu


(41)

dalam penyerapan air sehingga air akan mudah ditampung dan limpasan air akan kecil sekali terjadi. Hal ini disebabkan besarnya kapasitas serapan air oleh pepohonan dan lambatnya air limpasan mengalir akibat tertahan oleh akar dan batang pohon.

Kaitanya dalam kekeringan, nilai skor rendah diberikan pada daerah dengan tutupan lahan didominasi oleh pepohonan, sedangkan nilai skor tinggi untuk daerah dengan penutup lahan minim pepohonan atau tanpa pepohonan. Pemberian nilai nol pada tubuh air dikarenakan tubuh air dianggap tidak pernah mengalami kekeringan. Klasifikasi masing-masing penggunaan lahan yang berkaitan dengan potensi kekeringan dapat dilihat pada tabel 2.8.

Tabel 2.8 Klasifikasi penggunaan lahan terhadap kekeringan

No Penggunaan lahan Harkat

1 Tanah terbuka, lahan terbangun(pemukiman) 4 2 Pertanian lahan kering, tegalan, sawah 3

3 Semak 2

4 Hutan, kebun campuran, perkebunan, tambak 1

5 Tubuh air 0


(42)

Keterangan :

Input Hasil antara Proses Output

Gambar 2.3. Diagram Alir Penelitian Citra Landsat 7ETM+

path120 row 65 perekaman

Citra landsat 7ETM+ Klaten terkoreksi & bebas awan

Peta NDVI Peta Indeks Kelembaban Peta Indeks

Kecerahan

Koreksi Radiometri & highlight cloud Pemotongan area Tranformasi NDVI Tranformasi Wetness index Tranformasi Brightness index Klasifikasi Vectorize Koreksi Geometri Batas administrasi Kabupaten Klaten Cek Lapangan Diterima Tidak Diterima

Peta Curah hujan

Peta Hidrogeologi

Peta Penggunaan lahan

Skoring dan overlay

Peta potensi tingkat

Pembobotan Validasi


(43)

2.6 Penelitian Relevan

Penelitian mengenai kekeringan berbasis penginderaan jauh telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian yang dilakukan baik hanya berdasarkan analisis citra satelit maupun gabungan antara analisis citra satelit dengan parameter kondisi fisik lahan. Rahma Winati (2006) telah melakukan penelitian di sebagian Kabupaten Kulon Progo. Penelitian ini mencoba memetakan daerah potensi rawan kekeringan menggunakan citra Landsat 7 ETM+ perekaman bulan Juni 2002. Metode yang digunakan yaitu analisis berbasis Citra Satelit dengan menghitung nilai spektral citra hasil Tranformasi Normalized Difference Vegetation Index dan Wetness Index dan mengkelaskan ke dalam beberapa tingkat klasifikasi. Hasil dari penelitian ini adalah peta potensi rawan kekeringan.

Penelitian dilakukan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (2007) yaitu oleh Rizatus Shofiyati pada lahan sawah DAS Citarum Jawa Barat. Menggunakan citra Landsat TM dengan pemilihan tanggal perekaman yang mewakili musim kemarau, peneliti mencoba mengintegrasikan nilai spektral citra Landsat TM hasil tranformasi NDVI, Wetness Index dan Brightness Temperatur. Adapun penelitian tersebut hanya pada lahan pertanian yaitu sawah. Hasil dari integrasi tranformasi tersebut dikelaskan menjadi empat kelas dengan hasil akhir peta tingkat kekeringan lahan sawah DAS Citarum Jawa Barat.

Puguh Dwi Raharjo (2010) melakukan penelitian di Kabupaten Kebumen mencoba mengkombinasikan analisis citra satelit dengan kondisi fisik lahan.


(44)

Penelitian ini menggunakan data citra Landsat TM 7 perekaman bulan juni 2002. Analisis citra satelit untuk kekeringan yang dilakukan yaitu menggunakan tranformasi Normalized Difference Vegetation Index, Wetness Index dan Brightess Index. Hasil tranformasi tersebut dipisahkan nilai spektral yang berpotrensi dan yang tidak berpotensi kekeringan. Adapun parameter kondisi fisik yang digunakan yaitu Kondisi Hidrogeologi (potensi air tanah), Curah Hujan, dan Penggunaan Lahan. Hasil analisi citra satelit dioverlaykan dengan parameter penunjang dengan memperhitungkan tingkat pengaruh kekeringan dengan hasil akhir peta identifikasi potensi kekeringan.

Dari paparan penelitian tersebut, peneliti bermaksud melakukan penelitian mengenai kekeringan berbasis penginderaan jauh dan sistem informasi geografis. Data yang digunakan dalam analisis ini adalah citra Landsat TM5 tahun 2009 dengan pemilihan tanggal perekaman 29 Juni dan parameter penunjang yang terdiri atas Rata-rata curah hujan, kondisi hidrogeologi dan penggunaan lahan. Adapun metode yang digunakan yaitu interpretasi citra digital dengan teknik tranformasi NDVI, indeks kelembaban dan indeks kecerahan. Tranformasi tersebut merupakan tranformasi yang menduga nilai lengas tanah dengan asumsi tanah dengan nilai lengas rendah maka potensi untuk terjadi kekeringan tinggi. Hasil transformasi tersebut dibuat peta NDVI, indeks kelembaban dan indeks kecerahan Pada penelitian ini tidak terlepas dari analisis Sistem Informasi Geografis dengan metode skoring dan pembobotan yang dilakukan dengan teknik overlay.


(45)

Nama Judul Penelitian Tujuan Peneltian Parameter Data citra Hasil Penelitian Rahma

Winati, 2006

Aplikasi Indeks Vegetasi untuk Penentuan Potensi Rawan Terhadap Kekeringan di sebagian Kabupaten Kulonprogo

 Mengetahui kemampuan Citra landsat 7 ETM+ dalam mengidentifikasi potensi rawan kekeringan  Melakukan pengkelasan

Tingkat kekeringan

berdasarkan Vegetation index dan Wetness index

 NDVI

 RVI

 Wetness Index

Landsat 7 ETM+ tahun 2002

Peta Potensi Rawan

Kekeringan

Riztus Shofiyati, 2007

Inderaja untuk Mengkaji Kekeringan di Lahan Pertanian

mengidentifikasi, mengkaji, memetakan, dan memonitor kekeringan menggunakan pola spektral, TCT, NDVI, dan BT

 NDVI  Brightness

Temperatur  Wetness Index

Landsat TM tanggal

perekaman diseleksi berdasarkan

waktu yg

mewakili musim kemarau

Peta Tingkat Kekeringan Pada Lahan Sawah

Puguh Dwi Raharjo, 2010

Teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk Identifikasi Potensi Kekeringan Kabupaten Kebumen

Mengidentifikasi wilayah yang mempunyai potensi kekeringan di Kabupaten Kebumen berdasarkan parameter-parameter fisiknya secara umum.

 Wetness index  Brightness index  NDVI

 Curah hujan  Hidrogeologi  Penggunaan Lahan

Landsat 7TM tahun 2003

Peta Identifikasi Potensi


(46)

31 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Obyek Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah dengan obyek penelitian yaitu potensi kekeringan.

3.2 Populasi dan Sampel

Penelitian deteksi potensi kekeringan ini yang menjadi populasi adalah potensi kekeringan wilayah Kabupaten Klaten. Sedangkan penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan metode simple random sampling. Penentuan sampel dilakukan pada hasil penggabungan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Indeks Kecerahan dan Indeks Kebasahan. Sampel yang diambil sebanyak 30 titik yang didasarkan pada kelas NDVI, namun tetap mempertimbangkan indeks kecerahan dan indeks kebasahan sehingga hasil dari kelas ke tiga indeks tersebut dapat terwakili (Lampiran 2.3)

3.3 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian deteksi potensi kekeringan ini terdiri dari 2 kelompok yautu variabel yang didapatkan dari interpretasi citra Landsat 7 ETM+ dan variabel kondisi fisiografis berpengaruh terhadap kekeringan.

1. Interpretasi citra Landsat 7 ETM+

a. NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)


(47)

c. Indeks Kecerahan (Brightness Index)

2. Kondisi fisiografis berpengaruh kekeringan a. Curah hujan

b. Kondisi geohidrologi c. Penggunaan lahan

3.4 Alat dan Bahan Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

(1) Laptop Amd 2.0 Ghz, Ram 2 Gb, Hardisk 500 Gb, sebagai alat untuk kegiatan pemetaan dan interpretasi citra satelit.

(2) Aplikasi program Er Mapper 7.0, sebagai aplikasi untuk kegiatan analisis citra satelit.

(3) Aplikasi program ArcGIS 9.3 dan ArcVew 3.3, sebagai aplikasi untuk pemrosesan peta digital.

(4) GPS, untuk menentukan titik koordinat sampel di lapangan. (5) Kamera, untuk kegiatan dokumentasi di lapangan.

Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

(1) Citra Landsat 7 ETM+ Path 120 row 65, perekaman September 2002 dan September 2012

(2) Peta Geohidrologi Kabupaten Klaten

(3) Peta Rata-rata curah hujan tahun 2008 - 2011 Kabupaten Klaten (4) Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Klaten tahun 2011.


(48)

3.5 Teknik Perolehan Data

Pada penelitian ini teknik perolehan data yang digunakan meliputi:

1. Pengumpulan data penginderaan jauh adalah pengumpulan data hasil perekaman obyek dengan menggunakan sensor buatan. Data ini dapat berupa citra foto dan non-foto atau data numerik. Data numerik umumnya direkam pada Computer Compatible Tape (CCT). Data ini bisa dipesan melalui instansi-instansi tertentu, baik dalam maupun luar negeri (Tika, 2005:61). Teknik memperoleh data penginderaan jauh berupa citra Landsat 7ETM+ yaitu dengan cara men-download langsung melalui situs resmi USGS yaitu www.glovis.usgs.gov. Untuk dapat men-download harus mempunyai akun terlebih dahulu yang berisikan informasi data pen- download dan keperluan penggunaan data. Citra satelit Landsat 7ETM+ yang didownload merupakan citra perekaman September 2002 dan September 2012.

2. Pengumpulan data sekunder, merupakan cara dan teknik pengumpulan data tidak secara langsung dari subjek atau obyek yang diteliti, tetapi melalui pihak lain seperti instansi-instansi atau lembaga yang terkait, perpustakaan, arsip perorangan dan sebagainya (Tika, 2005:60). Dalam mengumpulkan data sekunder, peneliti membuat surat ijin mencari data dan penelitian yang ditujukan pada instansi terkait. Setelah mendapatkan persetujuan dari instansi terkait, maka data sekunder yang dibutuhkan dapat diberikan. Data sekunder dalam penelitian ini adalah curah hujan tahun 2008 - 2011 yang diperoleh dari BMKG, peta geohidrologi dan peta penggunaan lahan yang diperoleh dari BAPPEDA Kabupaten Klaten.


(49)

3. Observasi, merupakan cara dan teknik perolehan data dengan melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala atau fenomena yang ada pada obyek penelitian (Tika, 2005:44). Dalam mengumpulkan data menggunakan teknik observasi, peneliti mengamati kondisi lapangan dengan mencocokkan hasil interpretasi yang telah dilakukan sebelumnya. Adapun kondisi lapangan yang diamati meliputi kondisi fisik wilayah di Kabupaten Klaten berdasarkan hasil interpretasi Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Indeks Kecerahan dan Indeks Kebasahan..

3.6 Tahap Penelitian

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan penelitian, meliputi tahap persiapan, tahap penelitian dan tahap akhir yang dijabarkan sebagai berikut: 1. Tahap persiapan

Pada tahap ini dilakukan berbagai persiapan dengan mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam penelitian seperti citra satelit Landsat 7 ETM+, peta curah hujan, peta geohidrologi, peta penggunaan lahan, persiapan peralatan dan studi kepustakaan mengenai literatu-literatur yang terkait dengan obyek penelitian.

2. Tahap penelitian

Tahap penelitian dalam penelitian ini adalah pemrosesan citra digital dengan menganalisis indeks kecerahan, indeks kebasahan, dan indeks kehijauan untuk menegtahui tingkat kelengasan tanah dan kehijauan tanaman. Setelah pemrosesan citra digital selesai kemudian menggabungkan hasil tersebut dengan peta rata-rata curah hujan, peta geohidrologi, dan peta penggunaan lahan. Hasil


(50)

penggabungan tersebut akan dilakukan sekoring hingga didapatkan tingkat potensi kekringan. Pengukuran lapangan diperlukan guna validasi hasil analisis citra maupun hasil peta potensi kekeringan.

3. Tahap akhir

Pada tahap akhir ini, berupa penyusunan hasil penelitian dalam bentuk laporan.

3.7 Teknik Analisis Data

Teknik dalam penelitian ini menggunakan kombinasi antara analisis citra digital dan dilanjutkan dengan teknik sistem informasi geografis.

1. Teknik Interpretasi Citra Digital

Interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut. Interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara yaitu interpretasi secara manual dan interpretasi secara digital.

Pada penelitian ini menggunakan teknik interpretasi citra secara digital. Salah satu metode interpretasi digital adalah transformasi citra. Transformasi citra merupakan upaya untuk menonjolkan salah satu obyek dan menekan aspek yang lain. Citra yang digunakan untuk transformasi ini adalah citra yang telah terkalibrasi radiometri, sehingga nilai yang digunakan adalah nilai surface reflectance.

Transformasi citra yang digunakan dalam mendeteksi daerah berpotensi kekeringan berupa teknik Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Indeks Kecerahan (Brightness index) dan indeks kebasahan (Wetness index).


(51)

Transformasi tersebut digunakan untuk mendapatkan informasi spasial mengenai kerapatan vegetasi dan kelembaban permukaan.

2. Teknik Sistem Informasi Geografis a. Metode Pengharkatan (Scoring)

Metode pengharkatan adalah pemberian skor terhadap masing-masing kelas dalam setiap parameter. Pemberian harkat ini didasarkan pada seberapa besar pengaruh kelas tersebut terhadap kekeringan. Semakin tinggi pengaruhnya terhadap kekeringan maka harkat yang diberikan akan semakin tinggi.

Pemberian harkat terhadap parameter-parameter kekeringan dilakukan secara linear terhadap kelas-kelas dalam suatu parameter kekeringan. Adapun penjelasan dan kriteria pengharkatan untuk masing-masing parameter dapat dilihat pada bab II yang telah dijelaskan sebelumnya.

Menentukan interval kelas potensi kekeringan dalam penelitian ini dengan cara menjumlahkan skor tertinggi dikurangi jumlah skor terendah dibagi dengan jumlah kelas yang diinginkan. Rumus berikut digunakan untuk mempermudah perhitungan:

Skor maksimal – skor minimal Interval Kelas =

Jumlah kelas

Berdasarkan parameter-parameter yang telah disebutkan didapatkan penjumlahan skor maksimum adalah 27 dan jumlah skor minimum adalah 6, jumlah kelas yang dibuat dalam penelitian ini adalah 5 kelas.

27 – 6

Interval Kelas = = 4,2 dibulatkan menjadi 4 5


(52)

Setelah interval kelas didapatkan, maka kelas potensi kekeringan dapat ditetapkan dan disajikan pada tabel 3.1 sebagai berikut:

Tabel 3.1 Klasifikasi kelas potensi kekeringan

No Kelas Interval Kelas Potensi Kekeringan

1 I 6 – <=10 Sangat rendah

2 II >10 – <=14 Rendah

3 III >14 – <=18 Agak tinggi

4 IV >18 – <=22 Tinggi

5 V >22 Sangat tinggi

Sumber: perhitungan data, 2012.

b. Metode Tumpang tindih (overlay)

Tumpang tindih merupakan interaksi atau gabungan dari beberapa peta biofisik pemicu kekeringan. Tumpang tindih beberapa peta menghasilkan suatu informasi baru dalam bentuk luasan atau poligon yang terbentuk dari irisan beberapa poligon dari peta-peta tersebut. Peta yang ditumpang tindih merupakan peta-peta yang sebelumnya telah diberi skor pada setiap kelas dari masing-masing parameter biofisik sehingga menghasilkan peta zonasi kekeringan.

3.8 Uji Ketelitian Interpretasi Citra

Metode uji ketelitian interpretasi citra diperoleh dari survei lapangan dengan menggunakan tabel kesesuaian. Uji ketelitian bertujuan untuk mengetahui keakuratan hasil pengolahan citra dengan nilai ambang akurasi citra 85%, nilai tersebut digunakan sebagai nilai minimum untuk diterimanya suatu interpretasi


(53)

berbasis citra penginderaan jauh. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode simple random sampling karena populasi merupakan Kabupaten Klaten dengan daerah yang luas. Pengambilan sampel didasarkan pada hasil interpretasi digital citra satelit Landsat 7ETM+ yaitu kelas Normalized Difference Index, Indeks Kecerahan (Brightess Index) dan Indeks Kebasahan

(Wetness Index).

Nilai keakuratan dapat diketahui dengan menggunakan rumus di atas, yaitu dengan membandingkan jumlah titik survei yang benar dengan jumlah titik keseluruhan survei (Danoedoro, 2012:330).

∑ Titik benar

Tingkat Kebenaran Interpretasi = X 100% ∑ Titik yang disurvei


(1)

322 Veg. sangat rendah 4 Agak cerah 3 Sangat kering 5 2000-2500 2 Kecil penyebaran luas 3 Kebun 1 18 Agak tinggi 323 Veg. sangat rendah 4 Agak cerah 3 Sangat kering 5 2000-2500 2 Kecil penyebaran luas 3 Pemukiman 4 21 Tinggi 324 Veg. sangat rendah 4 Agak cerah 3 Sangat kering 5 2000-2500 2 Kecil penyebaran luas 3 Sawah 3 20 Tinggi 325 Veg. sangat rendah 4 Agak cerah 3 Sangat kering 5 2000-2500 2 Kecil penyebaran luas 3 Belukar 2 19 Tinggi 326 Veg. sangat rendah 4 Agak cerah 3 Sangat kering 5 2000-2500 2 Kecil penyebaran luas 3 Tegalan 3 20 Tinggi 327 Veg. sangat rendah 4 Agak cerah 3 Sangat kering 5 2000-2500 2 Kecil penyebaran setempat 3 Pemukiman 4 21 Tinggi 328 Veg. sangat rendah 4 Agak cerah 3 Sangat kering 5 2000-2500 2 Kecil penyebaran setempat 3 Belukar 2 19 Tinggi 329 Veg. sangat rendah 4 Agak cerah 3 Sangat kering 5 2000-2500 2 Kecil penyebaran setempat 3 Tegalan 3 20 Tinggi 330 Veg. sangat rendah 4 Agak cerah 3 Sangat kering 5 2000-2500 2 Daerah airtanah langka 4 Pemukiman 4 22 Tinggi 331 Veg. sangat rendah 4 Agak cerah 3 Sangat kering 5 2000-2500 2 Daerah airtanah langka 4 Sawah 3 21 Tinggi 332 Veg. sangat rendah 4 Agak cerah 3 Sangat kering 5 2000-2500 2 Daerah airtanah langka 4 Belukar 2 20 Tinggi 333 Veg. sangat rendah 4 Agak cerah 3 Sangat kering 5 2000-2500 2 Daerah airtanah langka 4 Tegalan 3 21 Tinggi 334 Veg. sangat rendah 4 Agak cerah 3

Sangat

lembab 2 1000-1500 4 Sedang, penyebaran setempat 2 Pemukiman 4 19 Tinggi 335 Veg. sangat rendah 4 Agak cerah 3

Sangat

lembab 2 1000-1500 4 Sedang, penyebaran setempat 2 Sawah 3 18 Agak tinggi

336 Veg. sangat rendah 4 Agak cerah 3

Sangat

lembab 2 1000-1500 4 Kecil penyebaran luas 3 Pemukiman 4 20 Tinggi

337 Veg. sangat rendah 4 Agak cerah 3

Sangat

lembab 2 1000-1500 4 Kecil penyebaran luas 3 Sawah 3 19 Tinggi

338 Veg. sangat rendah 4 Agak cerah 3

Sangat

lembab 2 1500-2000 3 Sedang, penyebaran luas 2 Pemukiman 4 18 Agak tinggi

339 Veg. sangat rendah 4 Agak cerah 3

Sangat

lembab 2 1500-2000 3 Kecil penyebaran luas 3 Sawah 3 18 Agak tinggi

340 Veg. sangat rendah 4 Agak cerah 3

Sangat

lembab 2 2000-2500 2 Tinggi, penyebaran luas 1 Kebun 1 13 Rendah

341 Veg. sangat rendah 4 Agak cerah 3

Sangat

lembab 2 2000-2500 2 Tinggi, penyebaran luas 1 Pemukiman 4 16 Agak tinggi

342 Veg. sangat rendah 4 Agak cerah 3

Sangat

lembab 2 2000-2500 2 Tinggi, penyebaran luas 1 Sawah 3 15 Agak tinggi

343 Veg. sangat rendah 4 Agak cerah 3

Sangat

lembab 2 2000-2500 2 Kecil penyebaran luas 3 Sawah 3 17 Agak tinggi

344 Veg. sangat rendah 4 Agak cerah 3 Tergenang 1 1000-1500 4 Sedang, penyebaran setempat 2 Sawah 3 17 Agak tinggi


(2)

346 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Kering 4 2000-2500 2 Kecil penyebaran luas 3 Sawah 3 18 Agak tinggi

347 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Kering 4 2000-2500 2 Kecil penyebaran luas 3 Belukar 2 17 Agak tinggi

348 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Kering 4 2000-2500 2 Kecil penyebaran luas 3 Tegalan 3 18 Agak tinggi

349 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Kering 4 2000-2500 2 Daerah airtanah langka 4 Sawah 3 19 Tinggi

350 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Kering 4 2000-2500 2 Daerah airtanah langka 4 Belukar 2 18 Agak tinggi

351 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 1000-1500 4 Sedang, penyebaran setempat 2 Pemukiman 4 19 Tinggi 352 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 1000-1500 4 Sedang, penyebaran setempat 2 Sawah 3 18 Agak tinggi 353 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 1000-1500 4 Sedang, penyebaran setempat 2 Belukar 2 17 Agak tinggi 354 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 1000-1500 4 Sedang, penyebaran setempat 2 Tegalan 3 18 Agak tinggi

355 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 1000-1500 4 Kecil penyebaran luas 3 Pemukiman 4 20 Tinggi

356 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 1000-1500 4 Kecil penyebaran luas 3 Sawah 3 19 Tinggi

357 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 1000-1500 4 Kecil penyebaran luas 3 Belukar 2 18 Agak tinggi

358 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 1000-1500 4 Kecil penyebaran luas 3 Tegalan 3 19 Tinggi

359 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 1500-2000 3 Sedang, penyebaran luas 2 Pemukiman 4 18 Agak tinggi

360 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 1500-2000 3 Sedang, penyebaran luas 2 Sawah 3 17 Agak tinggi

361 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 1500-2000 3 Sedang, penyebaran luas 2 Tegalan 3 17 Agak tinggi

362 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 1500-2000 3 Sedang, penyebaran setempat 2 Pemukiman 4 18 Agak tinggi 363 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 1500-2000 3 Sedang, penyebaran setempat 2 Sawah 3 17 Agak tinggi 364 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 1500-2000 3 Sedang, penyebaran setempat 2 Belukar 2 16 Agak tinggi 365 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 1500-2000 3 Sedang, penyebaran setempat 2 Tegalan 3 17 Agak tinggi

366 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 1500-2000 3 Kecil penyebaran luas 3 Sawah 3 18 Agak tinggi

367 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Sedang, penyebaran luas 2 Kebun 1 14 Rendah

368 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Sedang, penyebaran luas 2 Pemukiman 4 17 Agak tinggi

369 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Sedang, penyebaran luas 2 Sawah 3 16 Agak tinggi

370 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Sedang, penyebaran luas 2 Tegalan 3 16 Agak tinggi

371 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Sedang, penyebaran setempat 2 Pemukiman 4 17 Agak tinggi 372 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Sedang, penyebaran setempat 2 Sawah 3 16 Agak tinggi 373 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Sedang, penyebaran setempat 2 Tegalan 3 16 Agak tinggi


(3)

375 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Tinggi, penyebaran luas 1 Pemukiman 4 16 Agak tinggi

376 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Tinggi, penyebaran luas 1 Sawah 3 15 Agak tinggi

377 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Tinggi, penyebaran luas 1 Tegalan 3 15 Agak tinggi

378 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Kecil penyebaran luas 3 Kebun 1 15 Agak tinggi

379 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Kecil penyebaran luas 3 Pemukiman 4 18 Agak tinggi

380 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Kecil penyebaran luas 3 Sawah 3 17 Agak tinggi

381 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Kecil penyebaran luas 3 Tegalan 3 17 Agak tinggi

382 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Sangat kering 5 1000-1500 4 Sedang, penyebaran luas 2 Pemukiman 4 21 Tinggi 383 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Sangat kering 5 1000-1500 4 Sedang, penyebaran luas 2 Sawah 3 20 Tinggi 384 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Sangat kering 5 1000-1500 4 Sedang, penyebaran setempat 2 Pemukiman 4 21 Tinggi 385 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Sangat kering 5 1000-1500 4 Sedang, penyebaran setempat 2 Sawah 3 20 Tinggi 386 Veg. sangat rendah 4 Gelap 2 Sangat kering 5 1000-1500 4 Sedang, penyebaran setempat 2 Belukar 2 19 Tinggi 387 Vegetasi tinggi 1 Agak cerah 3 Kering 4 2000-2500 2 Kecil penyebaran luas 3 Pemukiman 4 17 Agak tinggi

388 Vegetasi tinggi 1 Agak cerah 3 Kering 4 2000-2500 2 Kecil penyebaran luas 3 Sawah 3 16 Agak tinggi

389 Vegetasi tinggi 1 Agak cerah 3 Kering 4 2000-2500 2 Daerah airtanah langka 4 Belukar 2 16 Agak tinggi

390 Vegetasi tinggi 1 Agak cerah 3 Lembab 3 1000-1500 4 Sedang, penyebaran setempat 2 Pemukiman 4 17 Agak tinggi 391 Vegetasi tinggi 1 Agak cerah 3 Lembab 3 1000-1500 4 Sedang, penyebaran setempat 2 Sawah 3 16 Agak tinggi 392 Vegetasi tinggi 1 Agak cerah 3 Lembab 3 1000-1500 4 Sedang, penyebaran setempat 2 Tegalan 3 16 Agak tinggi 393 Vegetasi tinggi 1 Agak cerah 3 Lembab 3 1000-1500 4 Kecil penyebaran luas 3 Pemukiman 4 18 Agak tinggi

394 Vegetasi tinggi 1 Agak cerah 3 Lembab 3 1000-1500 4 Kecil penyebaran luas 3 Sawah 3 17 Agak tinggi

395 Vegetasi tinggi 1 Agak cerah 3 Lembab 3 1500-2000 3 Sedang, penyebaran luas 2 Pemukiman 4 16 Agak tinggi

396 Vegetasi tinggi 1 Agak cerah 3 Lembab 3 1500-2000 3 Kecil penyebaran luas 3 Sawah 3 16 Agak tinggi

397 Vegetasi tinggi 1 Agak cerah 3 Lembab 3 2000-2500 2 Tinggi, penyebaran luas 1 Pemukiman 4 14 Rendah

398 Vegetasi tinggi 1 Agak cerah 3 Lembab 3 2000-2500 2 Kecil penyebaran luas 3 Kebun 1 13 Rendah

399 Vegetasi tinggi 1 Agak cerah 3 Lembab 3 2000-2500 2 Kecil penyebaran luas 3 Pemukiman 4 16 Agak tinggi

400 Vegetasi tinggi 1 Agak cerah 3 Lembab 3 2000-2500 2 Kecil penyebaran luas 3 Sawah 3 15 Agak tinggi

401 Vegetasi tinggi 1 Agak cerah 3 Sangat kering 5 1000-1500 4 Sedang, penyebaran setempat 2 Pemukiman 4 19 Tinggi 402 Vegetasi tinggi 1 Agak cerah 3 Sangat kering 5 1000-1500 4 Sedang, penyebaran setempat 2 Sawah 3 18 Agak tinggi 403 Vegetasi tinggi 1 Agak cerah 3 Sangat kering 5 1000-1500 4 Sedang, penyebaran setempat 2 Tegalan 3 18 Agak tinggi


(4)

404 Vegetasi tinggi 1 Agak cerah 3 Sangat kering 5 1000-1500 4 Kecil penyebaran luas 3 Pemukiman 4 20 Tinggi 405 Vegetasi tinggi 1 Agak cerah 3 Sangat kering 5 1000-1500 4 Kecil penyebaran luas 3 Sawah 3 19 Tinggi

406 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 1000-1500 4 Sedang, penyebaran luas 2 Sawah 3 15 Agak tinggi

407 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 1000-1500 4 Sedang, penyebaran setempat 2 Pemukiman 4 16 Agak tinggi

408 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 1000-1500 4 Sedang, penyebaran setempat 2 Sawah 3 15 Agak tinggi

409 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 1000-1500 4 Sedang, penyebaran setempat 2 Belukar 2 14 Rendah

410 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 1000-1500 4 Sedang, penyebaran setempat 2 Tegalan 3 15 Agak tinggi

411 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 1000-1500 4 Kecil penyebaran luas 3 Pemukiman 4 17 Agak tinggi

412 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 1000-1500 4 Kecil penyebaran luas 3 Sawah 3 16 Agak tinggi

413 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 1000-1500 4 Kecil penyebaran luas 3 Belukar 2 15 Agak tinggi

414 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 1000-1500 4 Kecil penyebaran luas 3 Tegalan 3 16 Agak tinggi

415 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 1500-2000 3 Sedang, penyebaran luas 2 Pemukiman 4 15 Agak tinggi

416 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 1500-2000 3 Sedang, penyebaran luas 2 Sawah 3 14 Rendah

417 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 1500-2000 3 Sedang, penyebaran luas 2 Tegalan 3 14 Rendah

418 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 1500-2000 3 Sedang, penyebaran setempat 2 Pemukiman 4 15 Agak tinggi

419 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 1500-2000 3 Sedang, penyebaran setempat 2 Rawa 0 11 Rendah

420 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 1500-2000 3 Sedang, penyebaran setempat 2 Sawah 3 14 Rendah

421 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 1500-2000 3 Sedang, penyebaran setempat 2 Belukar 2 13 Rendah

422 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 1500-2000 3 Sedang, penyebaran setempat 2 Tegalan 3 14 Rendah

423 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 1500-2000 3 Kecil penyebaran luas 3 Sawah 3 15 Agak tinggi

424 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 1500-2000 3 Kecil penyebaran luas 3 Tegalan 3 15 Agak tinggi

425 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 1500-2000 3 Rawa 0 Rawa 0 9

Sangat rendah

426 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Sedang, penyebaran luas 2 Kebun 1 11 Rendah

427 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Sedang, penyebaran luas 2 Pemukiman 4 14 Rendah

428 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Sedang, penyebaran luas 2 Sawah 3 13 Rendah

429 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Sedang, penyebaran luas 2 Belukar 2 12 Rendah

430 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Sedang, penyebaran luas 2 Tegalan 3 13 Rendah


(5)

432 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Sedang, penyebaran setempat 2 Sawah 3 13 Rendah

433 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Sedang, penyebaran setempat 2 Belukar 2 12 Rendah

434 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Sedang, penyebaran setempat 2 Tegalan 3 13 Rendah

435 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Tinggi, penyebaran luas 1 Kebun 1 10

Sangat rendah

436 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Tinggi, penyebaran luas 1 Pemukiman 4 13 Rendah

437 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Tinggi, penyebaran luas 1 Sawah 3 12 Rendah

438 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Tinggi, penyebaran luas 1 Tegalan 3 12 Rendah

439 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Kecil penyebaran luas 3 Kebun 1 12 Rendah

440 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Kecil penyebaran luas 3 Pemukiman 4 15 Agak tinggi

441 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Kecil penyebaran luas 3 Sawah 3 14 Rendah

442 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Kecil penyebaran luas 3 Belukar 2 13 Rendah

443 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Lembab 3 2000-2500 2 Kecil penyebaran luas 3 Tegalan 3 14 Rendah

444 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1000-1500 4 Sedang, penyebaran luas 2 Pemukiman 4 18 Agak tinggi 445 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1000-1500 4 Sedang, penyebaran luas 2 Sawah 3 17 Agak tinggi 446 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1000-1500 4 Sedang, penyebaran luas 2 Tegalan 3 17 Agak tinggi 447 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1000-1500 4 Sedang, penyebaran setempat 2 Kebun 1 15 Agak tinggi 448 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1000-1500 4 Sedang, penyebaran setempat 2 Pemukiman 4 18 Agak tinggi 449 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1000-1500 4 Sedang, penyebaran setempat 2 Sawah 3 17 Agak tinggi 450 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1000-1500 4 Sedang, penyebaran setempat 2 Belukar 2 16 Agak tinggi 451 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1000-1500 4 Sedang, penyebaran setempat 2 Tegalan 3 17 Agak tinggi

452 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1000-1500 4 Kecil penyebaran luas 3 Kebun 1 16 Agak tinggi

453 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1000-1500 4 Kecil penyebaran luas 3 Pemukiman 4 19 Tinggi

454 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1000-1500 4 Kecil penyebaran luas 3 Sawah 3 18 Agak tinggi

455 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1000-1500 4 Kecil penyebaran luas 3 Belukar 2 17 Agak tinggi 456 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1000-1500 4 Kecil penyebaran luas 3 Tegalan 3 18 Agak tinggi 457 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1000-1500 4 Daerah airtanah langka 4 Pemukiman 4 20 Tinggi

458 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1000-1500 4 Daerah airtanah langka 4 Sawah 3 19 Tinggi


(6)

460 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1500-2000 3 Sedang, penyebaran luas 2 Pemukiman 4 17 Agak tinggi 461 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1500-2000 3 Sedang, penyebaran luas 2 Sawah 3 16 Agak tinggi 462 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1500-2000 3 Sedang, penyebaran luas 2 Belukar 2 15 Agak tinggi 463 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1500-2000 3 Sedang, penyebaran luas 2 Tegalan 3 16 Agak tinggi 464 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1500-2000 3 Sedang, penyebaran setempat 2 Pemukiman 4 17 Agak tinggi 465 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1500-2000 3 Sedang, penyebaran setempat 2 Rawa 0 13 Rendah 466 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1500-2000 3 Sedang, penyebaran setempat 2 Sawah 3 16 Agak tinggi 467 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1500-2000 3 Sedang, penyebaran setempat 2 Belukar 2 15 Agak tinggi 468 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1500-2000 3 Sedang, penyebaran setempat 2 Tegalan 3 16 Agak tinggi 469 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1500-2000 3 Kecil penyebaran luas 3 Pemukiman 4 18 Agak tinggi

470 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1500-2000 3 Kecil penyebaran luas 3 Sawah 3 17 Agak tinggi

471 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1500-2000 3 Kecil penyebaran luas 3 Belukar 2 16 Agak tinggi 472 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1500-2000 3 Kecil penyebaran luas 3 Tegalan 3 17 Agak tinggi 473 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1500-2000 3 Daerah airtanah langka 4 Pemukiman 4 19 Tinggi

474 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1500-2000 3 Daerah airtanah langka 4 Rawa 0 15 Agak tinggi

475 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1500-2000 3 Daerah airtanah langka 4 Sawah 3 18 Agak tinggi

476 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1500-2000 3 Daerah airtanah langka 4 Belukar 2 17 Agak tinggi 477 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Sangat kering 5 1500-2000 3 Daerah airtanah langka 4 Tegalan 3 18 Agak tinggi

478 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Tergenang 1 1500-2000 3 Rawa 0 Rawa 0 7

Sangat rendah

479 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Tergenang 1 1500-2000 3 Rawa 0 Rawa 0 7

Sangat rendah

480 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Tergenang 1 1500-2000 3 Rawa 0 Rawa 0 7

Sangat rendah

481 Vegetasi tinggi 1 Gelap 2 Tergenang 1 1500-2000 3 Rawa 0 Rawa 0 7

Sangat rendah


Dokumen yang terkait

PEMANFAATAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PENDUGAAN POTENSI PERESAPAN AIR DAS WEDI KABUPATEN KLATEN-BOYOLALI

0 2 14

ANALISIS POTENSI KEKERINGAN GEOMORFOLOGI MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Analisis Potensi Kekeringan Geomorfologi Menggunakan Sistem Informasi Geografis Di Kabupaten Purworejo.

0 3 13

ANALISIS POTENSI KEKERINGAN GEOMORFOLOGI MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Analisis Potensi Kekeringan Geomorfologi Menggunakan Sistem Informasi Geografis Di Kabupaten Purworejo.

2 8 14

ESTIMASI POTENSI LIMPASAN PERMUKAANPENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Estimasi Potensi Limpasan Permukaan Menggunakan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis di Daerah Aliran Sungai Serang.

0 6 16

ANALISIS TINGKAT RAWAN KEKERINGAN LAHAN SAWAH DENGAN PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DAN Analisis Tingkat Rawan Kekeringan Lahan Sawah dengan Pemanfaatan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Sragen Tahun 2014.

0 5 20

ANALISIS TINGKAT RAWAN KEKERINGAN LAHAN SAWAH DENGAN PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DAN Analisis Tingkat Rawan Kekeringan Lahan Sawah dengan Pemanfaatan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Sragen Tahun 2014.

2 7 16

PENDAHULUAN Analisis Tingkat Rawan Kekeringan Lahan Sawah dengan Pemanfaatan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Sragen Tahun 2014.

2 9 27

TINGKAT KERENTANAN BANJIR DENGAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Tingkat Kerentanan Banjir Dengan Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi Geografis Daerah Aliran Sungai Juwana Di Kabupaten Pati Jawa Tengah.

0 1 13

ESTIMASI DISTRIBUSI SPASIAL KEKERINGAN LAHAN DI KABUPATEN TUBAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

0 0 6

PENENTUAN LOKASI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH DI KABUPATEN KLATEN MENGGUNAKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

0 2 7