2.5. MortalitasMorbiditas
Diperkirakan sekitar 75 kehamilan dengan trisomi 21 tidak akan bertahan. Sekitar 85 bayi dapat hidup sampai umur satu tahun dan 50
dapat hidup sehingga berusia lebih dari 50 tahun. Penyakit jantung kongenital sering menjadi faktor yang menentukan usia penderita sindrom
Down. Selain itu, penyakit seperti Atresia Esofagus dengan atau tanpa fistula transesofageal, Hirschsprung disease, atresia duodenal dan
leukemia akan meningkatkan mortalitas William, 2002. Selain itu, penderita sindrom Down mempunyai tingkat morbiditas
yang tinggi karena mempunyai respons sistem imun yang lemah. Kondisi seperti tonsil yang membesar dan adenoids, lingual tonsils, choanal
stenosis, atau glossoptosis dapat menimbulkan obstruksi pada saluran nafas atas. Obstruksi saluran nafas dapat menyebabkan Serous Otitis
Media, Alveolar Hypoventilation, Arterial Hypoxemia, Cerebral Hypoxia, dan Hipertensi Arteri Pulmonal yang disertai dengan cor pulmonale dan
gagal jantung Cincinnati Childrens Hospital Medical Center, 2006. Keterlambatan mengidentifikasi atlantoaxial dan atlanto-occipital
yang tidak stabil dapat mengakibatkan kerusakan pada saraf spinal yang irreversibel. Gangguan pendengaran, visus, retardasi mental dan defek
yang lain akan menyebabkan keterbatasan kepada anak – anak dengan sindrom Down dalam meneruskan kelangsungan hidup. Mereka juga akan
menghadapi masalah dalam pembelajaran, proses membangunkan upaya berbahasa, dan kemampuan interpersonal Cincinnati Childrens Hospital
Medical Center, 2006.
2.6. Efek Pada Fisik Dan Sistem Tubuh
2.6.1. Temuan Fisik
Fisikalnya pasien sindrom Down mempunyai rangka tubuh yang pendek. Mereka sering kali gemuk dan tergolong dalam obesitas. Tulang rangka
tubuh penderita sindrom Down mempunyai ciri – ciri yang khas. Tangan
Universitas Sumatera Utara
mereka pendek dan melebar, adanya kondisi clinodactyly pada jari kelima dengan jari kelima yang mempunyai satu lipatan 20, sendi jari yang
hiperekstensi, jarak antara jari ibu kaki dengan jari kedua yang terlalu jauh, dan dislokasi tulang pinggul 6 Brunner, 2007.
Bagi panderita sindrom Down, biasanya pada kulit mereka didapatkan xerosis, lesi hiperkeratosis yang terlokalisir, garis – garis
transversal pada telapak tangan, hanya satu lipatan pada jari kelima, elastosis serpiginosa, alopecia areata, vitiligo, follikulitis, abses dan
infeksi pada kulit yang rekuren Am J., 2009. Retardasi mental yang ringan hingga berat dapat terjadi. Intelegent
quatio IQ mereka sering berada antara 20 – 85 dengan rata-rata 50. Hipotonia yang diderita akan meningkat apabila umur meningkat. Mereka
sering mendapat gangguan artikulasi. Mao R., 2003. Penderita sindrom Down mempunyai sikap atau prilaku yang
spontan, sikap ramah, ceria, cermat, sabar dan bertoleransi. Kadang kala mereka akan menunjukkan perlakuan yang nakal dengan rasa ingin tahu
yang tinggi Nelson, 2003 Infantile spasms adalah yang paling sering dilaporkan terjadi pada
anak – anak sindrom Down sementara kejang tonik klonik lebih sering didapatkan pada yang dewasa.
Tonus kulit yang jelek, rambut yang cepat beruban dan sering gugur, hipogonadism, katarak, kurang pendengaran, hal yang berhubungan
dengan hipothroidism yang disebabkan faktor usia yang meningkat, kejang, neoplasma, penyakit vaskular degeneratif, ketidakmampuan dalam
melakukan sesuatu, pikun, dementia dan Alzheimer dilaporkan sering terjadi pada penderita sindrom Down. Semuanya adalah penyakit yang
sering terjadi pada orang – orang lanjut usia Am J., 2009. Penderita sindrom Down sering menderita Brachycephaly,
microcephaly, dahi yang rata, occipital yang agak lurus, fontanela yang besar dengan perlekatan tulang tengkorak yang lambat, sutura metopik,
Universitas Sumatera Utara
tidak mempunyai sinus frontal dan sphenoid serta hipoplasia pada sinus maksilaris John A. 2000.
Mata pasien sindrom Down bentuknya seperti tertarik ke atas up- slanting karena fissura palpebra yang tidak sempurna, terdapatnya lipatan
epicanthal, titik – titik Brushfield, kesalahan refraksi sehingga 50, strabismus 44, nistagmus 20, blepharitis 33, conjunctivitis,
ruptur kanal nasolacrimal, katarak kongenital, pseudopapil edema, spasma nutans dan keratoconus Schlote, 2006.
Pasien sindrom Down mempunyai hidung yang rata, disebabkan hipoplasi tulang hidung dan jembatan hidung yang rata Schlote, 2006.
Apabila mulut dibuka, lidah mereka cenderung menonjol, lidah yang kecil dan mempunyai lekuk yang dalam, pernafasan yang disertai
dengan air liur, bibir bawah yang merekah, angular cheilitis, anodontia parsial, gigi yang tidak terbentuk dengan sempurna, pertumbuhan gigi
yang lambat, mikrodontia pada gigi primer dan sekunder, maloklusi gigi serta kerusakan periodontal yang jelas Selikowitz, Mark., 1997.
Pasien sindrom Down mempunyai telinga yang kecil dan heliks yang berlipat. Otitis media yang kronis dan kehilangan pendengaran sering
ditemukan. Kira – kira 60–80 anak penderita sindrom Down mengalami kemerosotan 15 – 20 dB pada satu telinga William W. Hay Jr, 2002.
2.6.2. Hematologi
Anak penderita sindrom Down mempunyai risiko tinggi mendapat Leukemia, termasuklah Leukemia Limfoblastik Akut dan Leukemia
Myeloid. Diperkirakan 10 bayi yang lahir dengan sindrom Down akan mendapat klon preleukemic, yang berasal dari progenitor myeloid pada
hati yang mempunyai karekter mutasi pada GATA1, yang terlokalisir pada kromosom X. Mutasi pada faktor transkripsi ini dirujuk sebagai Transient
Leukemia, Transient Myeloproliferative Disease TMD, atau Transient Abnormal Myelopoiesis TAM Lanzkowsky, 2005.2.6.2.
Universitas Sumatera Utara
2.6.3. Penyakit Jantung Kongenital
Penyakit jantung kongenital sering ditemukan pada penderita sindrom Down dengan prevelensi 40-50. Walaubagaimanapun kasus lebih sering
ditemukan pada penderita yang dirawat di RS 62 dan penyebab kematian yang paling sering adalah aneuploidy dalam dua tahun pertama
kehidupan. Antara
penyakit jantung
kongenital yang
ditemukan Atrioventricular Septal Defects AVD atau dikenal juga sebagai
Endocardial Cushion Defect 43, Ventricular Septal Defect 32, Secundum Atrial Septal Defect ASD 10, Tetralogy of Fallot 6,
dan Isolated Patent Ductus Arteriosus 4. Lesi yang paling sering ditemukan adalah Patent Ductus Arteriosus 16 dan Pulmonic Stenosis
9. Kira - kira 70 dari endocardial cushion defects adalah terkait dengan sindrom Down. Dari keseluruhan penderita yang dirawat, kira –
kira 30 mempunyai beberapa defek sekaligus pada jantung mereka Baliff JP, 2003.
Atrioventricular septal defects AVD
Atrioventricular septal defects AVD adalah kondisi dimana terjadinya kelainan anatomis akibat perkembangan endocardial cushions yang tidak
sempurna sewaktu tahap embrio. Kelainan yang sering di hubungkan dengan AVD adalah patent ductus arteriosus, coarctation of the aorta,
atrial septal defects, absent atrial septum, dan anomalous pulmonary venous return. Kelainan pada katup mitral juga sering terjadi.
Penderita AVD selalunya berada dalam kondisi asimtomatik pada dekade pertama kehidupan, dan masalah akan mula timbul pada dekade
kedua dan ketiga kehidupan. Pasien akan mula mengalami pengurangan pulmonary venous return, yang akhirnya akan menjadi left-to-right shunt
pada atrium dan ventrikel. Akhirnya nanti akan terjadi gagal jantung kongestif yang ditandai dengan antara lain takipnu dan penurunan berat
badan William 2002.
Universitas Sumatera Utara
AVD juga boleh melibatkan septum atrial, septum ventrikel, dan pada salah satu, atau kedua dua katup atrioventikuler. Pada penderita
dengan penyakit ini, jaringan jantung pada bagian superior dan inferior tidak menutup dengan sempurna. Akibatnya, terjadi komunikasi intratrial
melalui septum atrial. Kondisi ini kita kenal sebagai defek ostium primum. Akan terjadi letak katup atrioventikuler yang abnormal, yaitu lebih rendah
dari letak katup aorta. Perfusi jaringan endokardial yang tidak sempurna
juga mangakibatkan lemahnya struktur pada leaflet katup mitral.
Pada penderita sering terjadi predominant left-to-right shunting. Apabila penderita mengalami kelainan yang parsial, shunting ini sering
terjadi melalui ostium primum pada septum. Kalau penderita mendapat defek yang komplit, maka dapat terjadi defek pada septum ventrikel dan
juga insufisiensi valvular. Kemudian akan terjadi volume overloading pada ventrikel kiri dan kanan yang akhirnya diikuti dengan gagal jantung
pada awal usia. Sekiranya terjadi overload pulmonari, dapat terjadi penyakit vaskuler pulmonari yang diikuti dengan gagal jantung kongestif
Kallen B.,1996.
Ventricular Septal defect VSD
Ventricular Septal Defect kondisi ini adalah spesifik merujuk kepada kondisi dimana adanya lubang yang menghubungkan dua ventrikel.
Kondisi ini boleh terjadi sebagai anomali primer, dengan atau tanpa defek kardiak yang lain. Kondisi ini dapat terjadi akibat kelainan seperti
Tetralogy of Fallot TOF, complete atrioventricular AV canal defects, transposition of great arteries,dan corrected transpositions Freeman SB,
1998
Secundum Atrial Septal Defect ASD
Pada penderita secundum atrial septal defect, didapatkan lubang atau jalur yang menyebabkan darah mengalir dari atrium kanan ke atrium kiri, atau
sebaliknya, melalui septum interatrial. Apabila tejadinya defek pada
Universitas Sumatera Utara
septum ini, darah arterial dan darah venous akan bercampur, yang bisa atau tidak menimbulkan sebarang gejala klinis. Percampuran darah ini
juga disebut sebagai ‘shunt’. Secara medis, right-to-left-shunt adalah lebih berbahaya Freeman SB, 1998.
Tetralogy of Fallot TOF
Tetralogy of Fallot merupakan jenis penyakit jantung kongenital pada anak yang sering ditemukan. Pada kondisi ini, terjadi campuran darah
yang kaya oksigen dengan darah yang kurang oksigen. Terdapat empat abnormalitas yang sering terkait dengan Tetralogy of fallot. Pertama
adalah hipertrofi ventrikel kanan. Terjadinya pengecilan atau tahanan pada katup pulmonari atau otot katup, yang menyebabkan katup terbuka kearah
luar dari ventrikel kanan. Ini akan menimbulkan restriksi pada aliran darah akan memaksa ventrikel untuk bekerja lebih kuat yang akhirnya akan
menimbulkan hipertrofi pada ventrikel. Kedua adalah ventricular septal defect. Pada kondisi ini, adanya
lubang pada dinding yang memisahkan dua ventrikel, akan menyebabkan darah yang kaya oksigen dan darah yang kurang oksigen bercampur.
Akibatnya akan berkurang jumlah oksigen yang dihantar ke seluruh tubuh dan menimbulkan gejala klinis berupa sianosis.
Ketiga adalah posisi aorta yang abnormal. Keempat adalah pulmonary valve stenosis. Jika stenosis yang terjadi ringan, sianosis yang
minimal terjadi karena darah masih lagi bisa sampai ke paru. Tetapi jika stenosisnya sedang atau berat, darah yang sampai ke paru adalah lebih
sedikit maka sianosis akan menjadi lebih berat Amit K, 2008.
Isolated Patent Ductus Arteriosus PDA
Pada kondisi Patent ductus arteriosus PDA ductus arteriosus si anak gagal menutup dengan sempurna setelah si anak lahir. Akibatnya terjadi
bising jantung. Simptom yang terjadi antara lain adalah nafas yang pendek dan aritmia jantung. Apabila dibiarkan dapat terjadi gagal jantung
Universitas Sumatera Utara
kongestif. Semakin besar PDA, semaki buruk status kesehatan penderita
Amik K, 2008.
2.6.4. Immunodefisiensi
Penderita sindrom Down mempunyai risiko 12 kali lebih tinggi dibandingkan orang normal untuk mendapat infeksi karena mereka
mempunyai respons sistem imun yang rendah. Contohnya mereka sangat rentan mendapat pneumonia William W. Hay Jr. 2002.
2.6.5. Sistem Gastrointestinal
Kelainan pada sistem gastrointestinal pada penderita sindrom Down yang dapat ditemukan adalah atresia atau stenosis, Hirschsprung disease 1,
TE fistula, Meckel divertikulum, anus imperforata dan juga omphalocele. Selain itu, hasil penelitian di Eropa dan Amerika didapatkan
prevalensi mendapat Celiac disease pada pasien sindrom Down adalah sekitar 5-15. Penyakit ini terjadi karena defek genetik, yaitu spesifik
pada human leukocyte antigen HLA heterodimers DQ2 dan juga DQ8. Dilaporkan juga terdapat kaitan yang kuat antara hipersensitivitas dan
spesifikasi yang jelek Livingstone, 2006.
2.6.6. Sistem Endokrin
Tiroiditis Hashimoto yang mengakibatkan hipothyroidism adalah gangguan pada sistem endokrin yang paling sering ditemukan. Onsetnya
sering pada usia awal sekolah, sekitar 8 hingga 10 tahun. Insidens ditemukannya Graves disease juga dilaporkan meningkat. Prevelensi
mendapat penyakit tiroid seperti hipothirodis kongenital, hipertiroid primer, autoimun tiroiditis, dan compensated hypothyroidism atau
hyperthyrotropenemia adalah sekitar 3-54 pada penderita sindrom Down, dengan persentase yang semakin meningkat seiring dengan
bertambahnya umur Merritts, 2000.
Universitas Sumatera Utara
2.6.7. Gangguan Psikologis
Kebanyakan anak penderita sindrom Down tidak memiliki gangguan psikiatri atau prilaku. Diperkirakan sekitar 18-38 anak mempunyai risiko
mendapat gangguan psikis. Beberapa kelainan yang bisa didapat adalah Attention Deficit Hyperactivity Disorder ADHD, Oppositional Defiant
Disorder, gangguan disruptif yang tidak spesifik dan gangguan spektrum Autisme Cincinnati Childrens Hospital Medical Center, 2006.
2.6.8. Trisomi 21 mosaik
Trisomi 21 mosaik biasanya hanya menampilkan gejala – gejala sindrom Down yang sangat minimal. Kondisi ini sering menjadi kriteria diagnosis
awal bagi penyakit Alzheimer. Fenotip individu yang mendapat trisomi 21 mosaik manggambarkan persentase sel – sel trisomik yang terdapat dalam
jaringan yang berbeda di dalam tubuh Andriolo, 2005.
2.7. Perawatan Medis
Walaupun berbagai usaha sudah dijalankan untuk mengatasi retardasi mental pada penderita sindrom Down, masih belum ada yang mampu
mengatasi kondisi ini. Walau demikian usaha pengobatan terhadap kelainan yang didapat oleh penderita sindrom Down akan dapat
memperbaiki kualitas hidup penderita dan dapat memperpanjang usianya.
2.7.1. Pemeriksaan Kesehatan Reguler pada Anak Penderita Sindrom Down
Beberapa pemeriksaan secara reguler dapat dilakukan untuk memantau perkembangan tingkat kesehatan penderita sindrom Down, baik anak
ataupun dewasa. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan audiologi, pemeriksaan optalmologi secara berkala sebagai pencegah
keratokonus, opasitas kornea atau katarak. Untuk kelainan kulit seperti follikulitis, xerosis, dermatitis atopi, dermatitis seboroik, infeksi jamur,
vitiligo dan alopesia perlu dirawat segera. Masalah kegemukan pada
Universitas Sumatera Utara
penderita sindrom Down dapat diatasai dengan pengurangan komsumsi kalori dan meningkatkan aktivitas fisik Breslow, 2002.
Skrining terhadap penyakit Celiac juga harus dilakukan, yang ditandai dengan kondisi seperti konstipasi, diare, bloating, tumbuh
kembang yang lambat dan penurunan berat badan. Selain itu, kesulitan untuk menelan makanan harus juga diperhatikan, dipikirkan kemungkinan
terjadi sumbatan pada jalan nafas. Perhatian khusus harus diberikan terhadap proses operasi
dikarenakan tidak stabilnya atlantoaxial dan masalah yang mungkin terjadi pada sistem respirasi. Selain itu, jangan lupa untuk melakukan skrining
untuk kemungkinan tejadinya penyakit Hipothiroidism dan Diabetes Mellitus. Jangan dilupakan untuk memberi perhatian terhadap kebersihan
yang berkaitan dengan menstrual, seksual, kehamilan dan sindrom premenstruasi Tolmie, 2006.
Kelainan neurologis dapat menyebabkan retardasi mental, hipotonia, kejang dan stroke. Pastikan juga perbaikan kemampuan
berkomunikasi dan terapi bicara diteruskan, dengan memberi perhatian pada aplikasi bahasa nonverbal dan kecerdasan otak Merritts, 2002.
Bagi pasien sindrom Down, baik anak atau dewasa harus sentiasa dipantau dan dievaluasi gangguan prilaku, seperti fobia, ketidakmampuan
mengatasi masalah, prilaku streotipik, autisme, masalah makanan dan lain – lain. Tatalaksana terhadap kondisi mental yang timbul pada penderita
sindrom Down harus dilakukan National Down Syndrome Society, 2007. Selain dari aspek medis, harus diperhatikan juga aspek sosial dan
pergaulan. Yaitu dengan memberi perhatian terhadap fase peralihan dari masa anak ke dewasa. Penting untuk memberi pendidikan dasar juga harus
diberikan perhatian seperti dimana anak itu akan bersekolah dan sebagainya. Hal – hal berkaitan dengan kelangsungan hidup juga perlu
diperhatikan, contohnya bagaimana mereka akan meneruskan kehidupan dalam komunitas National Down Syndrome Society, 2007.
Universitas Sumatera Utara
2.8. Komplikasi Pada Jantung dan Sistem Vaskular
Walapupun lahir secara normal, asimptomatik dan tidak dijumpai murmur, anak penderita sindrom Down tetap mempunyai risiko mendapat defek
pada jantung. Apabila resistensi pada vaskular pulmonari dapat dideteksi,
kemungkinan terjadinya shunt dari kiri ke kanan dapat dikurangi, sehingga dapat mencegah terjadinya gagal jantung awal. Apabila tidak dapat
dideteksi, keadaan ini akan menyebabkan hipertensi pulmonal yang persisten dengan perubahan pada vaskular yang ireversibel Cincinnati
Childrens Hospital Medical Center, 2006. Umumnya tatalaksana operatif untuk memperbaiki defek pada
jantung dilakukan setelah anak cukup besar dan kemampuan bertahan terhadap operasi yang dilakukan lebih baik. Biasanya tindakan operasi
dilakukan apabila anak sudah berusia 6-9 bulan. Saat ini, hasil operasi sudah lebih baik dan anak yang dioperasi mampu hidup lebih lama Kallen
B, 1996. Bagi penderita sindrom Down yang menderita defek septal
atrioventrikuler, simptom biasanya timbul sewaktu usia kecil, ditandai dengan shunting sistemik-pulmonari, aliran darah pulmonari yang tinggi,
disertai dengan peningkatan risiko terjadinya hipertensi arteri pulmonal. Resistensi pulmonal yang meningkat dapat memicu terjadinya kebalikan
dari shunting sistemik-pulmonal yang diikuti dengan sianosis Baliff JP, 2005.
Penderita sindrom Down mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk menderita hipertensi arteri pulmonal dibandingkan dengan orang normal.
Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah alveolus, dinding arteriol pulmonal yang lebih tipis dan fungsi endotelial yang terganggu Galley R,
2005. Tindakan operatif perbaikan jantung pada usia awal dapat
mencegah terjadinya kerusakan vaskuler pulmonal yang permanen pada paru - paru. Apalagi dengan pengobatan yang terkini prostacyclin,
Universitas Sumatera Utara
endothelin, antagonis
reseptor dan
phosphodiesterase-5-inhibitor didapatkan mampu memperbaiki status klinis dan jangka hidup bagi
penderita hipertensi arteri pulmonal Livingstone, 2006. Meskipun demikian penyakit jantung koroner didapatkan rendah
pada penderita sindrom Down. Hal ini dibuktikan melalui pemeriksaan patologi dimana didapatkan rendahnya kemungkinan terjadi aterosklerosis
pada penderita sindrom Down Tyler, 2004.
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitan di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:
3.1.1. Kerangka konsep
Gambar 1 Kerangka Konsep Prevalensi Mendapat Penyakit Jantung Kongenital Pada Anak – anak Sindrom Down
Tipe Penyakit Jantung Kongenital
Jumlah Kasus
Umur
Distribusi PJK Mengikut Kelamin
Penyakit Jantung Kongenital
Anak Penderita Sindrom Down
Universitas Sumatera Utara