Analisis kesempatan kerja dan migrasi penduduk di provinsi Jawa Tengah pada pra dan era otonomi daerah

(1)

ANALISIS KESEMPATAN KERJA DAN MIGRASI

PENDUDUK DI PROVINSI JAWA TENGAH

PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH

OLEH

LINA SULISTIAWATI H14053044

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(2)

RINGKASAN

LINA SULISTIAWATI. Analisis Kesempatan Kerja dan Migrasi Penduduk di Provinsi Jawa Tengah pada Pra dan Era Otonomi Daerah (dibimbing oleh

Manuntun Parulian Hutagaol).

Sistem pemerintahan yang sentralisasi sebelum otonomi daerah telah menyebabkan perekonomian di kota tumbuh lebih pesat dibandingkan desa sehingga berdampak pada kesempatan kerja yang cukup besar di kota. Hal ini tentunya sangat menarik bagi masyarakat desa untuk melakukan migrasi ke kota.

Lokasi Jawa Tengah yang cukup strategis karena letaknya yang dekat dengan daerah pusat industri maju seperti Jakarta-Bogor-Depok-Tanggerang-Bekasi (Jabodetabek) dan Surabaya, memberikan kemudahan bagi masyarakatnya untuk melakukan migrasi ke daerah tersebut. Migrasi keluar yang dilakukan oleh seseorang dengan motif ekonomi tanpa disertai dengan keterampilan dan keahlian yang dimiliki menyebabkan kemiskinan di daerah asal tetap meluas. Selain itu, migrasi yang dilakukan oleh seseorang dengan keahlian dan keterampilan khusus akan menyebabkan daerah asal migran kekurangan SDM yang berkualitas sehingga dapat menghambat pembangunan daerah. Dampak negatif dari migrasi ini harus segera diatasi dengan meningkatkan kesempatan kerja yang sesuai dengan keadaan angkatan kerja terutama dari sisi pendidikan dan keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat Jawa Tengah.

Melalui otonomi daerah, diharapkan pembangunan yang dirancang dan dilaksanakan oleh daerah dapat lebih efektif mendorong perekonomian daerah dengan menggunakan sumberdaya lokal seperti SDM di Jawa Tengah itu sendiri. Namun, seringkali otonomi daerah yang diterapkan tidak menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kadangkala pertumbuhan tersebut tidak diikuti dengan meningkatnya kesempatan kerja terutama pada bidang yang sebenarnya memiliki SDM yang potensial. Sehingga tujuan otonomi daerah yang sesungguhnya yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak sepenuhnya berhasil, bahkan sering kali dianggap gagal.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis apakah kebijakan otonomi daerah dapat meningkatkan kesempatan kerja di Jawa Tengah. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisis sejauh mana otonomi daerah dapat menurunkan migrasi keluar di Provinsi Jawa Tengah berdasarkan kesempatan kerja yang ada.

Penelitian ini menggunakan shift share sebagai alat analisis untuk mengidentifikasikan sumber pertumbuhan ekonomi dari tenaga kerja di Provinsi Jawa tengah dalam dua periode waktu yaitu pra dan era otonomi daerah. Kemudian, berdasarkan hasil perhitungan shift share ini akan dihasilkan bagaimana pertumbuhan kesempatan kerja di Jawa Tengah. Selain itu, berdasarkandata tingkat migrasi keluar dari Jawa Tengah didapatkan sejauh mana otonomi daerah dapat menurunkan tingkat migrasi keluar dengan kesempatan kerja yang ada tersebut. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah


(3)

data sekunder dalam bentuk time series berupa data jumlah penduduk yang bekerja pada sektor-sektor perekonomian di Provinsi Jawa Tengah untuk memproyeksikan kesempatan kerja. Periode data yang digunakan adalah periode pra otonomi daerah (Tahun 1996-2000), dimana periode ini menggambarkan kondisi kesempatan kerja sebelum otonomi daerah yang dipengaruhi oleh krisis ekonomi serta periode era otonomi daerah (Tahun 2001-2003 dan Tahun 2004-2007) yang menggambarkan kondisi awal diterapkannya otonomi daerah dan kondisi setelah pemerintah daerah beradaptasi dengan kebijakan otonomi daerah. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan terjadi peningkatan pertumbuhan kesempatan kerja di Jawa Tengah era otonomi daerah terutama pada tahun 2004-2007 yang menunjukkan pertumbuhan cukup tinggi (5 persen), walaupun peningkatan kesempatan kerja pada awal otonomi daerah (0,38 persen) lebih kecil dibandingkan saat pra otonomi daerah (1,60 persen). Namun, kesempatan kerja yang meningkat ini belum dapat menurunkan angka pengangguran di Jawa Tengah secara signifikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah belum cukup berperan dalam menurunkan angka pengangguran di Jawa Tengah.

Berdasarkan data migrasi keluar, terlihat bahwa Jawa Tengah memiliki jumlah migran keluar terbesar dan selalu mengalami peningkatan khususnya pada data migrasi seumur hidup. Hal ini menunjukkan bahwa otonomi daerah belum cukup berperan dalam menurunkan jumlah migran keluar dari Jawa Tengah. Meningkatnya jumlah migran keluar ini diindikasikan dari kesempatan kerja yang ada di Jawa Tengah, dengan menganggap motif migrasi non ekonomi cenderung konstan. Kesempatan kerja terbesar di Jawa Tengah adalah pada lapangan usaha pertanian. Namun pada era otonomi daerah pertumbuhan kesempatan kerjanya lambat dan daya saingnya kurang baik dalam hal kesempatan kerja. Artinya, sebagian besar angkatan kerja di Jawa Tengah lebih memilih bekerja di luar pertanian dan bermigrasi ke daerah lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kesempatan kerja yang tersedia di Jawa Tengah untuk angkatan kerja yang berpendidikan cenderung rendah, sedangkan rata-rata pencari kerja di Jawa Tengah memiliki latar belakang pendidikan yang cukup tinggi.

Tujuan dari otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah bersama-sama dengan pemerintah pusat dapat bekerja sama untuk meningkatkan nilai tambah pertanian dari pada meningkatkan kesempatan kerja pada lapangan usaha ini. Hal ini dikarenakan jika kesempatan kerja di lapangan usaha ini ditingkatkan secara terus-menerus maka nilai tambah yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya petani tidak akan terwujud, bahkan akan menyebabkan timbulnya kemiskinan yang semakin bertambah di Jawa Tengah.

Untuk mencegah hilangnya SDM potensial di Jawa Tengah akibat migrasi keluar, maka pemerintah sebaiknya di era otonomi daerah ini lebih meningkatkan pembangunan di sektor bangunan maupun industri pengolahan. Hal ini dikarenakan sektor-sektor tersebut tergolong sektor yang progresif pada masa otonomi daerah. Melalui pembangunan sektor-sektor tersebut, tenaga kerja akan mengalir dari sektor pertanian ke sektor bangunan atau industri pengolahan, serta dapat meningkatkan nilai tambah pada sektor pertanian.


(4)

ANALISIS KESEMPATAN KERJA DAN MIGRASI

PENDUDUK DI PROVINSI JAWA TENGAH

PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH

Oleh

LINA SULISTIAWATI H14053044

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(5)

Judul Skripsi : ANALISIS KESEMPATAN KERJA DAN MIGRASI PENDUDUK DI PROVINSI JAWA TENGAH PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH

Nama : Lina Sulistiawati NIM : H14053044

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Manuntun Parulian Hutagaol, Ph.D NIP: 19570904 198303 1 005

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Rina Oktaviani, Ph.D NIP: 19641023 198903 2 002


(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ”ANALISIS KESEMPATAN KERJA DAN MIGRASI PENDUDUK DI PROVINSI JAWA TENGAH PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH” ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Agustus 2009

Lina Sulistiawati H14053044


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 Maret 1987. Penulis merupakan putri kedua dari dua bersaudara pasangan (Alm) Bpk. Ramidi dan Ibu Sri Wardiyati. Pendidikan formal penulis diawali dari TK BPS&K V Jakarta pada tahun 1992-1993. Penulis melanjutkan pendidikannya di SDN Malaka Jaya 01 Pagi, kemudian dilanjutkan di SLTPN 139 Jakarta dan akhirnya dapat menyelesaikan sekolah menengah atas di SMUN 103 Jakarta. Pada Tahun 2005, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan program mayor minor. Selanjutnya, pada tahun 2006 penulis memperoleh mayor di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kegiatan organisasi dan kepanitian di IPB seperti sebagai bendahara divisi Life Academic by Learning and Education pada Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (HIPOTESA) tahun 2007-2008, panitia HIPOTEX-R (2007), panitia pelatihan penulisan karya tulis ilmiah di IPB (2007) serta panitia masa perkenalan fakultas di IPB (2007), panitia diesnatalis FEM IPB (2007).


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

”Analisis Kesempatan Kerja dan Migrasi Penduduk di Provinsi Jawa Tengah pada Pra dan Era Otonomi Daerah”. Kesempatan kerja dan migrasi merupakan topik yang cukup menarik untuk diamati, terlebih jika dihubungkan dengan otonomi daerah. Karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini, khususnya di daerah Jawa Tengah. Selain itu, skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada keluarga besar (Alm) Ramidi dan Sri Wardiyati, Bapak Nozirwan dan Sari Kusumaningrum atas doa dan dukungannya baik secara moral maupun material selama proses belajar dan penyelesaian skripsi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak M. Parulian Hutagaol, Ph.D sebagai pembimbing skripsi yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam proses pembuatan skripsi sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Widyastutik, M.Si sebagai penguji utama dan Bapak Alla Asmara, M.Si sebagai penguji dari komisi pendidikan yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan skripsi ini. Semoga karya ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2009

Lina Sulistiawati H14053044


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 9

2.1. Tinjauan Teori-Teori ... 9

2.1.1. Otonomi Daerah ... 9

2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi ... 12

2.1.3. Tenaga Kerja dan Kesempatan Kerja ... 14

2.1.4. Migrasi ... 18

2.1.5. Analisis Shift Share ... 26

2.2. Kerangka Pemikiran ... 29

III. METODE PENELITIAN ... 33

3.1. Jenis dan Sumber Data ... 33

3.2. Metode Analisis ... 34

3.2.1. Analisis Kesempatan Kerja Jawa Tengah dengan Kesempatan Kerja Nasional ... 34

3.2.2. Rasio Kesempatan Kerja Jawa Tengah dan Kesempatan Kerja Nasional (Nilai ri, Ri, dan Ra) ... 37

3.2.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah ... 39


(10)

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH ... 44

4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan ... 44

4.2. Ketenagakerjaan ... 47

4.3. Kondisi Perekonomian Provinsi Jawa Tengah... 50

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56

5.1. Analisis Pertumbuhan Kesempatan Kerja ... 56

5.1.1. Analisis Kesempatan Kerja Provinsi Jawa Tengah dan Nasional Pra dan Era Otonomi Daerah (1996 dan 2000, 2000 dan 2003, 2004 dan 2008) ... 56

5.1.2. Rasio Kesempatan Kerja Provinsi Jawa Tengah dan Nasional Pra dan Era Otonomi Daerah (1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007) ... 64

5.1.3. Komponen Pertumbuhan Wilayah Provinsi Jawa Tengah Pra dan Era Otonomi Daerah ... 66

5.1.4. Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan Kesempatan Kerja di Provinsi Jawa Tengah Pra dan Era Otonomi Daerah Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007)... 72

5.2. Analisis Migrasi di Provinsi Jawa Tengah ... 81

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 92

6.1. Kesimpulan ... 92

6.2. Saran... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 94

LAMPIRAN ... 96


(11)

ANALISIS KESEMPATAN KERJA DAN MIGRASI

PENDUDUK DI PROVINSI JAWA TENGAH

PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH

OLEH

LINA SULISTIAWATI H14053044

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(12)

RINGKASAN

LINA SULISTIAWATI. Analisis Kesempatan Kerja dan Migrasi Penduduk di Provinsi Jawa Tengah pada Pra dan Era Otonomi Daerah (dibimbing oleh

Manuntun Parulian Hutagaol).

Sistem pemerintahan yang sentralisasi sebelum otonomi daerah telah menyebabkan perekonomian di kota tumbuh lebih pesat dibandingkan desa sehingga berdampak pada kesempatan kerja yang cukup besar di kota. Hal ini tentunya sangat menarik bagi masyarakat desa untuk melakukan migrasi ke kota.

Lokasi Jawa Tengah yang cukup strategis karena letaknya yang dekat dengan daerah pusat industri maju seperti Jakarta-Bogor-Depok-Tanggerang-Bekasi (Jabodetabek) dan Surabaya, memberikan kemudahan bagi masyarakatnya untuk melakukan migrasi ke daerah tersebut. Migrasi keluar yang dilakukan oleh seseorang dengan motif ekonomi tanpa disertai dengan keterampilan dan keahlian yang dimiliki menyebabkan kemiskinan di daerah asal tetap meluas. Selain itu, migrasi yang dilakukan oleh seseorang dengan keahlian dan keterampilan khusus akan menyebabkan daerah asal migran kekurangan SDM yang berkualitas sehingga dapat menghambat pembangunan daerah. Dampak negatif dari migrasi ini harus segera diatasi dengan meningkatkan kesempatan kerja yang sesuai dengan keadaan angkatan kerja terutama dari sisi pendidikan dan keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat Jawa Tengah.

Melalui otonomi daerah, diharapkan pembangunan yang dirancang dan dilaksanakan oleh daerah dapat lebih efektif mendorong perekonomian daerah dengan menggunakan sumberdaya lokal seperti SDM di Jawa Tengah itu sendiri. Namun, seringkali otonomi daerah yang diterapkan tidak menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kadangkala pertumbuhan tersebut tidak diikuti dengan meningkatnya kesempatan kerja terutama pada bidang yang sebenarnya memiliki SDM yang potensial. Sehingga tujuan otonomi daerah yang sesungguhnya yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak sepenuhnya berhasil, bahkan sering kali dianggap gagal.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis apakah kebijakan otonomi daerah dapat meningkatkan kesempatan kerja di Jawa Tengah. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisis sejauh mana otonomi daerah dapat menurunkan migrasi keluar di Provinsi Jawa Tengah berdasarkan kesempatan kerja yang ada.

Penelitian ini menggunakan shift share sebagai alat analisis untuk mengidentifikasikan sumber pertumbuhan ekonomi dari tenaga kerja di Provinsi Jawa tengah dalam dua periode waktu yaitu pra dan era otonomi daerah. Kemudian, berdasarkan hasil perhitungan shift share ini akan dihasilkan bagaimana pertumbuhan kesempatan kerja di Jawa Tengah. Selain itu, berdasarkandata tingkat migrasi keluar dari Jawa Tengah didapatkan sejauh mana otonomi daerah dapat menurunkan tingkat migrasi keluar dengan kesempatan kerja yang ada tersebut. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah


(13)

data sekunder dalam bentuk time series berupa data jumlah penduduk yang bekerja pada sektor-sektor perekonomian di Provinsi Jawa Tengah untuk memproyeksikan kesempatan kerja. Periode data yang digunakan adalah periode pra otonomi daerah (Tahun 1996-2000), dimana periode ini menggambarkan kondisi kesempatan kerja sebelum otonomi daerah yang dipengaruhi oleh krisis ekonomi serta periode era otonomi daerah (Tahun 2001-2003 dan Tahun 2004-2007) yang menggambarkan kondisi awal diterapkannya otonomi daerah dan kondisi setelah pemerintah daerah beradaptasi dengan kebijakan otonomi daerah. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan terjadi peningkatan pertumbuhan kesempatan kerja di Jawa Tengah era otonomi daerah terutama pada tahun 2004-2007 yang menunjukkan pertumbuhan cukup tinggi (5 persen), walaupun peningkatan kesempatan kerja pada awal otonomi daerah (0,38 persen) lebih kecil dibandingkan saat pra otonomi daerah (1,60 persen). Namun, kesempatan kerja yang meningkat ini belum dapat menurunkan angka pengangguran di Jawa Tengah secara signifikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah belum cukup berperan dalam menurunkan angka pengangguran di Jawa Tengah.

Berdasarkan data migrasi keluar, terlihat bahwa Jawa Tengah memiliki jumlah migran keluar terbesar dan selalu mengalami peningkatan khususnya pada data migrasi seumur hidup. Hal ini menunjukkan bahwa otonomi daerah belum cukup berperan dalam menurunkan jumlah migran keluar dari Jawa Tengah. Meningkatnya jumlah migran keluar ini diindikasikan dari kesempatan kerja yang ada di Jawa Tengah, dengan menganggap motif migrasi non ekonomi cenderung konstan. Kesempatan kerja terbesar di Jawa Tengah adalah pada lapangan usaha pertanian. Namun pada era otonomi daerah pertumbuhan kesempatan kerjanya lambat dan daya saingnya kurang baik dalam hal kesempatan kerja. Artinya, sebagian besar angkatan kerja di Jawa Tengah lebih memilih bekerja di luar pertanian dan bermigrasi ke daerah lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kesempatan kerja yang tersedia di Jawa Tengah untuk angkatan kerja yang berpendidikan cenderung rendah, sedangkan rata-rata pencari kerja di Jawa Tengah memiliki latar belakang pendidikan yang cukup tinggi.

Tujuan dari otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah bersama-sama dengan pemerintah pusat dapat bekerja sama untuk meningkatkan nilai tambah pertanian dari pada meningkatkan kesempatan kerja pada lapangan usaha ini. Hal ini dikarenakan jika kesempatan kerja di lapangan usaha ini ditingkatkan secara terus-menerus maka nilai tambah yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya petani tidak akan terwujud, bahkan akan menyebabkan timbulnya kemiskinan yang semakin bertambah di Jawa Tengah.

Untuk mencegah hilangnya SDM potensial di Jawa Tengah akibat migrasi keluar, maka pemerintah sebaiknya di era otonomi daerah ini lebih meningkatkan pembangunan di sektor bangunan maupun industri pengolahan. Hal ini dikarenakan sektor-sektor tersebut tergolong sektor yang progresif pada masa otonomi daerah. Melalui pembangunan sektor-sektor tersebut, tenaga kerja akan mengalir dari sektor pertanian ke sektor bangunan atau industri pengolahan, serta dapat meningkatkan nilai tambah pada sektor pertanian.


(14)

ANALISIS KESEMPATAN KERJA DAN MIGRASI

PENDUDUK DI PROVINSI JAWA TENGAH

PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH

Oleh

LINA SULISTIAWATI H14053044

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(15)

Judul Skripsi : ANALISIS KESEMPATAN KERJA DAN MIGRASI PENDUDUK DI PROVINSI JAWA TENGAH PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH

Nama : Lina Sulistiawati NIM : H14053044

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Manuntun Parulian Hutagaol, Ph.D NIP: 19570904 198303 1 005

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Rina Oktaviani, Ph.D NIP: 19641023 198903 2 002


(16)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ”ANALISIS KESEMPATAN KERJA DAN MIGRASI PENDUDUK DI PROVINSI JAWA TENGAH PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH” ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Agustus 2009

Lina Sulistiawati H14053044


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 Maret 1987. Penulis merupakan putri kedua dari dua bersaudara pasangan (Alm) Bpk. Ramidi dan Ibu Sri Wardiyati. Pendidikan formal penulis diawali dari TK BPS&K V Jakarta pada tahun 1992-1993. Penulis melanjutkan pendidikannya di SDN Malaka Jaya 01 Pagi, kemudian dilanjutkan di SLTPN 139 Jakarta dan akhirnya dapat menyelesaikan sekolah menengah atas di SMUN 103 Jakarta. Pada Tahun 2005, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan program mayor minor. Selanjutnya, pada tahun 2006 penulis memperoleh mayor di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kegiatan organisasi dan kepanitian di IPB seperti sebagai bendahara divisi Life Academic by Learning and Education pada Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (HIPOTESA) tahun 2007-2008, panitia HIPOTEX-R (2007), panitia pelatihan penulisan karya tulis ilmiah di IPB (2007) serta panitia masa perkenalan fakultas di IPB (2007), panitia diesnatalis FEM IPB (2007).


(18)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

”Analisis Kesempatan Kerja dan Migrasi Penduduk di Provinsi Jawa Tengah pada Pra dan Era Otonomi Daerah”. Kesempatan kerja dan migrasi merupakan topik yang cukup menarik untuk diamati, terlebih jika dihubungkan dengan otonomi daerah. Karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini, khususnya di daerah Jawa Tengah. Selain itu, skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada keluarga besar (Alm) Ramidi dan Sri Wardiyati, Bapak Nozirwan dan Sari Kusumaningrum atas doa dan dukungannya baik secara moral maupun material selama proses belajar dan penyelesaian skripsi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak M. Parulian Hutagaol, Ph.D sebagai pembimbing skripsi yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam proses pembuatan skripsi sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Widyastutik, M.Si sebagai penguji utama dan Bapak Alla Asmara, M.Si sebagai penguji dari komisi pendidikan yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan skripsi ini. Semoga karya ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2009

Lina Sulistiawati H14053044


(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 9

2.1. Tinjauan Teori-Teori ... 9

2.1.1. Otonomi Daerah ... 9

2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi ... 12

2.1.3. Tenaga Kerja dan Kesempatan Kerja ... 14

2.1.4. Migrasi ... 18

2.1.5. Analisis Shift Share ... 26

2.2. Kerangka Pemikiran ... 29

III. METODE PENELITIAN ... 33

3.1. Jenis dan Sumber Data ... 33

3.2. Metode Analisis ... 34

3.2.1. Analisis Kesempatan Kerja Jawa Tengah dengan Kesempatan Kerja Nasional ... 34

3.2.2. Rasio Kesempatan Kerja Jawa Tengah dan Kesempatan Kerja Nasional (Nilai ri, Ri, dan Ra) ... 37

3.2.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah ... 39


(20)

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH ... 44

4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan ... 44

4.2. Ketenagakerjaan ... 47

4.3. Kondisi Perekonomian Provinsi Jawa Tengah... 50

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56

5.1. Analisis Pertumbuhan Kesempatan Kerja ... 56

5.1.1. Analisis Kesempatan Kerja Provinsi Jawa Tengah dan Nasional Pra dan Era Otonomi Daerah (1996 dan 2000, 2000 dan 2003, 2004 dan 2008) ... 56

5.1.2. Rasio Kesempatan Kerja Provinsi Jawa Tengah dan Nasional Pra dan Era Otonomi Daerah (1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007) ... 64

5.1.3. Komponen Pertumbuhan Wilayah Provinsi Jawa Tengah Pra dan Era Otonomi Daerah ... 66

5.1.4. Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan Kesempatan Kerja di Provinsi Jawa Tengah Pra dan Era Otonomi Daerah Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007)... 72

5.2. Analisis Migrasi di Provinsi Jawa Tengah ... 81

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 92

6.1. Kesimpulan ... 92

6.2. Saran... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 94

LAMPIRAN ... 96


(21)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

4.1. Kepadatan Penduduk di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 1996-2007 ... 45 4.2. Kepadatan Penduduk Jawa Tengah Menurut Kabupaten/Kota

Tahun 2007 ... 46 4.3. Kelompok Usia Produktif Jawa Tengah Tahun 2003 – 2007 ... 47 4.4. Banyaknya Pencari Kerja Menurut Pendidikan Tertinggi yang

Ditamatkan di Jawa Tengah Tahun 2003-2007 ... 48 4.5. Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas Kegiatan Selama Seminggu

yang Lalu di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1996-2007 ... 50 4.6. PDRB dan Laju PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Provinsi

Jawa Tengah Tahun 2001-2007 ... 52 4.7. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Menurut Lapangan

Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 di Jawa Tengah

Tahun 2000-2003 (Juta Rupiah) ... 53 4.8. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Menurut Lapangan

Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 di Jawa Tengah

Tahun 2004-2007 (Juta Rupiah) ... 55 5.1. Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi

Jawa Tengah Pra dan Era Otonomi Daerah ... 60 5.2. Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Indonesia

Pra dan Era Otonomi Daerah ... 63 5.3. Rasio Kesempatan Kerja Jawa Tengah dan Nasional

(Nilai Ra, Ri, ri) ... 66 5.4. Analisis Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Nasional

Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 ... 68 5.5. Analisis Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Proporsional Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 ... 70 5.6. Analisis Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan Komponen Pangsa Wilayah


(22)

5.7. Pergeseran Bersih Kesempatan Kerja di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 ... 74 5.8. Migrasi Seumur Hidup Tahun 1995, 2000 dan 2005 ... 83 5.9. Migrasi Lima Tahun Yang Lalu Tahun 1995, 2000 dan 2005 ... 84 5.10. Arus Migrasi Seumur Hidup Antar Provinsi (SUPAS 2005)

dengan Tempat Lahir di Jawa Tengah ... 85 5.11. Arus Migrasi Risen Antar Provinsi (SUPAS 2005) dengan

Tempat Tinggal Lima Tahun yang Lalu di Jawa Tengah ... 87

.


(23)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 2.1. Fungsi Permintaan, Penawaran dan Pasar Tenaga Kerja ... 16 2.2. Model Migrasi Harris-Todaro ... 22 2.3. Model Analisis Shift Share ... 27 2.4. Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian ... 28 2.5. Diagram Alir Kerangka Pemikiran ... 32 5.1. Profil Pertumbuhan Lapangan Usaha di Jawa Tengah

Pra Otonomi Daerah (1996-2000)... 78 5.2. Profil Pertumbuhan Kesempatan Kerja di Jawa Tengah

Era Otonomi Daerah (2001-2003 dan 2004-2007) ... 79 5.3. Distribusi Persentase Migran Masuk dari Daerah Pedesaan


(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Selama

Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di

Jawa Tengah Tahun 1996-2007 ... 96 2. Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Selama

Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di

Indonesia Tahun 1996-2007 ... 97 3. Contoh Perhitungan Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah Pra dan Era Otonomi Daerah ... 98 4. Contoh Perhitungan Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Pra dan Era Otonomi Daerah ... 98

5. Contoh Perhitungan Rasio Kesempatan Kerja di Jawa Tengah dan Nasional (Nilai Ra, Ri, ri) ... 98 6. Contoh Perhitungan Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan Komponen Pertumbuhan

Nasional Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 ... 99 7. Contoh Perhitungan Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan Komponen Pertumbuhan

Proporsional Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003,

2004 dan 2007 ... 99 8. Contoh Perhitungan Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di

Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan Komponen Pangsa Wilayah Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 ... 100 9. Contoh Perhitungan Pergeseran Bersih Kesempatan Kerja di

Provinsi Jawa Tengah Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003,


(25)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan harapan bagi semua negara di dunia. Melalui pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dapat terus bertambah sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan masalah pengangguran. Terlebih Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terpadat keempat di dunia sehingga jumlah angkatan kerja yang ada tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia. Namun pada tahun 1997 dan 1998 perekonomian Indonesia mengalami guncangan akibat krisis moneter yang menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran oleh perusahaan kepada para karyawannya. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada masa pra otonomi daerah ini tentunya menambah jumlah pengangguran di Indonesia. Tingkat pengangguran pada bulan Agustus 1997 dan Agustus 1998 adalah sebesar 4,7 persen dan 5,5 persen, artinya tingkat pengangguran meningkat sebesar 0,8 persen (BPS, 1998).

Pada tahun 2000, pemerintah mulai memberlakukan otonomi daerah dengan harapan dapat memulihkan kondisi perekonomian pasca terjadinya krisis ekonomi. Namun baru pada Januari 2001 kebijakan ini mulai diterapkan di berbagai daerah. Ketentuan otonomi daerah diatur berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Selanjutnya, UU tersebut diamandemen menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU


(26)

No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Kebijakan otonomi daerah ini ditujukan untuk menciptakan pemerataan pembangunan dan pendapatan antara desa dan kota sehingga pertumbuhan ekonomi dapat meningkat dengan cepat. Hal ini dikarenakan daerah paling mengetahui apa kebutuhan dan potensi yang dimiliki oleh daerah tersebut.

Pada pra otonomi daerah, Indonesia menganut sistem pemerintahan yang sentralisasi dimana semua keputusan berada di tangan pemerintah pusat. Hal ini menyebabkan keputusan yang diambil oleh pemerintah pusat tidak sesuai dengan kebutuhan daerah. Sistem sentralisasi otoritas dipandang sebagai prasyarat untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada awalnya pandangan tersebut memang terbukti benar. Hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan yang berkelanjutan dan stabilitas politik yang mantap di Indonesia sepanjang tahun 1970 dan 1980. Namun dalam jangka panjang, sentralisasi telah menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan, rendahnya akuntabilitas, lambatnya pembangunan infrastruktur sosial, rendahnya tingkat pengembalian proyek-proyek publik, serta terjadinya perlambatan pengembangan kelembagaan sosial ekonomi di daerah (Mardiasmo, 2002).

Sistem sentralisasi telah menyebabkan perekonomian di kota tumbuh lebih pesat dibandingkan desa. Perekonomian yang tumbuh pesat tersebut memberikan dampak pada kesempatan kerja yang cukup besar di kota. Hal ini tentunya sangat menarik bagi masyarakat desa untuk melakukan migrasi ke kota. Keahlian yang dimiliki oleh migran memungkinkan mereka memperoleh pendapatan dan kehidupan yang lebih layak di kota. Tentunya hal ini akan berdampak buruk bagi


(27)

desa atau daerah asal para migran karena pada umumnya mereka enggan untuk kembali ke desa. Akibatnya pembangunan desa terhambat karena kurangnya sumber daya manusia yang potensial.

Provinsi Jawa Tengah merupakan Provinsi yang cukup strategis karena letaknya yang dekat dengan daerah pusat industri maju seperti Jakarta-Bogor-Depok-Tanggerang-Bekasi (Jabodetabek) dan Surabaya. Lokasi strategis tersebut memberikan dampak positif dan negatif yang terjadi secara bersamaan. Dampak positif yang diperoleh Jawa Tengah adalah adanya pelimpahan kemakmuran dari ketiga Provinsi tersebut. Namun secara bersamaan juga menerima dampak negatif karena mereka meninggalkan desanya dan menjadi pemasok tenaga kerja di daerah lain. Akibatnya kemiskinan tetap meluas dan sumber daya manusia yang dimiliki terdiri atas mereka yang tersisa dan kurang berkualitas. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah berdasarkan standar 1998 yang mencapai 6,53 juta jiwa (20,49 persen) pada tahun 2005 dan meningkat pada tahun 2006 menjadi 7,10 juta jiwa (22,19 persen). Namun pada tahun 2007 terjadi penurunan dalam jumlah yang relatif kecil, yaitu menjadi 6,55 juta jiwa atau sekitar 20,43 persen (BPS Jawa Tengah, 2008).

Faktor pendorong terjadinya migrasi antara lain adalah makin berkurangnya sumber-sumber kehidupan seperti daya dukung lingkungan, menyempitnya lapangan pekerjaan di tempat asal, adanya tekanan-tekanan seperti politik, agama dan suku sehingga mengganggu hak asasi penduduk di daerah asal, alasan pendidikan, pekerjaan atau perkawinan serta bencana alam. Sedangkan faktor penarik migrasi antara lain adalah harapan akan memperoleh kesempatan


(28)

untuk memperbaiki taraf hidup, kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik, keadaan lingkungan yang menyenangkan, serta terdapatnya aktivitas-aktivitas di kota besar yang menarik orang untuk bermukim di kota besar (Prayitno, 2006). Secara umum, motif terbesar seseorang untuk melakukan migrasi dari desa ke kota adalah motif ekonomi untuk memperoleh kehidupan dan penghasilan yang lebih baik (Manning dan Effendi, 1985).

Sistem desentralisasi pada masa otonomi daerah seperti sekarang ini memungkinkan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya secara lebih leluasa, sehingga menghasilkan program-program pembangunan yang lebih efektif dan efisien untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Pembangunan itu sendiri adalah wujud dari pelaksanaan visi dan misi dari pemerintah daerah setempat agar pembangunan lebih terarah dan terencana. Visi dari Jawa Tengah itu sendiri yaitu untuk menciptakan Jawa Tengah yang mandiri, berdaya saing, sejahtera, berkelanjutan dan menjadi pilar pembangunan nasional dilandasi oleh ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemberian otonomi daerah dan desentralisasi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dengan memperkuat basis perekonomian daerah merupakan suatu langkah strategis. Hal ini dikarenakan otonomi daerah dan desentralisasi merupakan jawaban atas permasalahan lokal bangsa Indonesia berupa ancaman disintegrasi bangsa, kemiskinan, ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat, dan masalah pembangunan sumber daya manusia


(29)

(SDM). Selain itu, otonomi daerah dan desentralisasi fiskal merupakan langkah strategis dalam menghadapi era globalisasi (Mardiasmo, 2002).

Namun dalam perjalanannya, otonomi daerah mangalami berbagai hambatan. Hambatan tersebut antara lain adalah munculnya egoisme kedaerahan yang berlebihan, keleluasaan kewenangan pemerintah daerah lebih ditonjolkan dibandingkan kewajiban dalam pelayanan publik, masih rendahnya kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pembangunan dan pemerintahan serta adanya konflik antar daerah dalam penguasaan sumber daya alam dan aset ekonomi daerah. Selain itu, terdapat indikasi penggalian potensi ekonomi daerah secara berlebihan untuk meningkatkan pendapatan daerah dan cenderung mengabaikan masalah kemiskinan dan pengangguran yang ada.

Melalui otonomi daerah dan kebijakan pemerintah daerah yang tepat tanpa mengabaikan masalah kemiskinan dan pengangguran, memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi yang positif di Jawa Tengah sehingga kesempatan kerja dapat meningkat terutama pada lapangan usaha yang sesuai dengan keadaan atau latar belakang pendidikan masyarakat di Jawa Tengah. Keberhasilan otonomi daerah tersebut juga dapat mengurangi arus migrasi keluar Jawa Tengah sehingga tidak kehilangan sumber daya manusia potensial yang sangat diperlukan dalam pembangunan ekonomi daerah.


(30)

1.2. Perumusan Masalah

Lokasi Jawa Tengah yang strategis yaitu diantara daerah pusat industri maju memudahkan masyarakatnya untuk melakukan migrasi ke daerah yang memiliki kondisi perekonomian yang lebih baik. Hal ini terlihat dari tingginya angka migrasi keluar di Jawa Tengah terutama pada migrasi seumur hidup. Berdasarkan hasil SUPAS (Survei Penduduk Antar Sensus) tahun 1995, jumlah migran keluar seumur hidup dari Jawa Tengah mencapai 5.014.822 jiwa, sedangkan pada hasil Sensus Penduduk tahun 2000 terlihat adanya kenaikan jumlah migran keluar yang mencapai 5.354.459 jiwa dan meningkat kembali tahun 2005 menjadi 5.538.952 jiwa (BPS, 2006).

Migrasi keluar yang dilakukan oleh seseorang dengan motif ekonomi tanpa disertai dengan keterampilan dan keahlian yang dimiliki menyebabkan kemiskinan di daerah asal tetap meluas. Selain itu, migrasi yang dilakukan oleh seseorang dengan keahlian dan keterampilan khusus akan menyebabkan daerah asal migran kekurangan SDM yang berkualitas sehingga dapat menghambat pembangunan daerah. Dampak negatif dari migrasi ini harus segera diatasi dengan meningkatkan kesempatan kerja yang sesuai dengan keadaan angkatan kerja terutama dari sisi pendidikan dan keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat Jawa Tengah agar kemiskinan tidak semakin meluas dan pembangunan daerah dapat terus tumbuh dan berkembang.

Melalui otonomi daerah, diharapkan pembangunan yang dirancang dan dilaksanakan oleh daerah dapat lebih efektif mendorong perekonomian daerah dengan menggunakan sumberdaya lokal seperti SDM di Jawa Tengah itu sendiri


(31)

dan dapat meningkatkan kesempatan kerja di Jawa Tengah. Hal ini didasarkan pemahaman yang lebih baik pada pemerintah daerah terhadap kondisi daerah dan masyarakatnya dibandingkan dengan pemerintah pusat. Namun, seringkali otonomi daerah yang diterapkan tidak menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kadangkala pertumbuhan tersebut tidak diikuti dengan meningkatnya kesempatan kerja terutama pada bidang yang sebenarnya memiliki SDM yang potensial. Sehingga tujuan otonomi daerah yang sesungguhnya yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak sepenuhnya berhasil, bahkan sering kali dianggap gagal.

Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

1. Apakah kebijakan otonomi daerah dapat meningkatkan kesempatan kerja di Jawa Tengah?

2. Apakah kebijakan otonomi daerah dapat menurunkan migrasi keluar Jawa Tengah dengan kesempatan kerja yang ada tersebut?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis apakah kebijakan otonomi daerah dapat meningkatkan kesempatan kerja di Jawa Tengah.

2. Menganalisis sejauh mana otonomi daerah dapat menurunkan migrasi keluar di Provinsi Jawa Tengah berdasarkan kesempatan kerja yang ada.


(32)

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua kalangan, baik pemerintah, kalangan akademis maupun masyarakat. Bagi pemerintah, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi dan bahan rujukan dalam melaksanakan kebijakan untuk meningkatkan kesempatan kerja pada lapangan usaha yang sesuai dengan potensi SDM yang dimiliki Jawa Tengah serta dapat mengurangi tingkat migrasi keluar. Bagi kalangan akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi untuk penelitian selanjutnya mengenai kesempatan kerja. Sedangkan bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi mengenai kesempatan kerja dan migrasi penduduk terutama di Provinsi Jawa Tengah.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini berkisar pada pertumbuhan kesempatan kerja di Provinsi Jawa Tengah dengan tahun analisis pra dan era otonomi daerah dan menggunakan analisis shift share. Penelitian mengenai kesempatan kerja dan migrasi penduduk di Jawa Tengah dianalisis berdasarkan data jumlah tenaga kerja yang bekerja menurut lapangan kerja utama di Jawa Tengah serta jumlah migrasi keluar dari Jawa Tengah. Berdasarkan hasil analisis tersebut kemudian dirumuskan kebijakan yang dapat dilakukan PEMDA Jawa Tengah untuk mengefektifkan otonomi daerah dalam meningkatkan pertumbuhan kesempatan kerja yang sesuai dengan potensi SDM yang dimiliki sehingga migrasi keluar dapat diminimalkan.


(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Teori-Teori 2.1.1. Otonomi Daerah

Konsep otonomi daerah berawal dari UU No. 5 tahun 1974 yang merupakan koreksi atas prinsip otonomi yang seluas-luasnya karena dianggap dapat membahayakan keutuhan negara Republik Indonesia. Terdapat tiga esensi dasar otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab menurut UU No. 5 Tahun 1974 yaitu (1) otonomi harus menjamin kestabilan politik dan kesatuan nasional, (2) otonomi harus dapat menjaga hubungan harmonis antara pemerintah pusat dan daerah, (3) otonomi harus dapat menjamin pembangunan daerah (Salam, 2004).

Pada masa itu, otonomi daerah pada tingkat II (kabupaten/kota) belum sepenuhnya terwujud. Hal ini dikarenakan adanya keengganan dari pemerintah pusat untuk mendelegasikan wewenang ke daerah. Kurangnya kewenangan di daerah menyebabkan kelemahan pada kreativitas daerah dalam mengatasi berbagai masalah dan tantangan dalam pembangunan daerah. Sistem pemerintahan yang sentralistik dipandang sebagai konsekuensi dari sistem negara kesatuan. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan perubahan undang-undang yang mengatur pemerintahan sentralistik menjadi pemerintahan yang terdesentralisasi. Perubahan UU tersebut kemudian dilakukan pada masa pemerintahan Habibie dan tertuang pada UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 (Rasyid dalam Haris, 2005).


(34)

Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 ini memaknai otonomi daerah sebagai pemberian kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Otonomi yang luas memiliki arti daerah berwenang dalam menyelenggarakan semua bidang pemerintahan kecuali di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan lainnya yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah. Otonomi nyata diartikan sebagai keleluasaan daerah dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan, tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab berarti perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan daerah untuk mencapai tujuan otonomi daerah (Salam, 2004).

Terdapat tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, yaitu (1) Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, (2) Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat serta (3) Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta dalam proses pembangunan (Mardiasmo, 2002). Penerapan otonomi daerah menyebabkan pemerintah pusat tidak lagi mendominasi pengambilan keputusan. Peran pemerintah pusat pada masa otonomi daerah antara lain adalah sebagai pemantau, pengawas serta pengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah.


(35)

Ketika otonomi daerah baru berjalan seumur jagung, pemerintah mengambil suatu kebijakan untuk mengganti UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Perbedaan makna UU No. 22 tahun 1999 menjadi UU No. 32 tahun 1999 adalah pada kewenangan pemerintah daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dari otonomi seluas-luasnya menjadi otonomi terkontrol karena didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara singkat, isi UU Otonomi dimaksudkan sebagai berikut:

a). Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah.

b). Peningkatan efektivitas fungsi-fungsi pelayanan publik dengan pembenahan organisasi dan institusi yang ada agar sesuai dengan lingkup kewenangannya dan sesuai dengan kondisi daerah, serta lebih responsive terhadap kebutuhan rakyatnya.

c). Peningkatan penataan layanan administrasi keungan daerah, pengaturan secara jelas dan transparan atas sumber-sumber pendapatan pusat dan daerah, pengaturan pembagian pendapatan dari sumber penerimaan yang berkaitan dengan kekayaan seperti pendapatan dari kekayaan alam, pajak dan retribusi untuk keperluan pembangunan.

d). Desentralisasi fiskal melalui alokasi subsidi dari pemerintah pusat, pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah, pemberian keleluasaan kepada


(36)

daerah untuk menetapkan prioritas pembangunan daerahnya, serta mengoptimalkan SDM melalui lembaga-lembaga swadaya pembangunan yang tersedia.

e). Pembinaan dan pemberdayaan terhadap lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan nilai-nilai daerah, sehingga terpelihara secara harmonis serta mengedepankan solidaritas sosial daerahnya (Damanik, 2009).

Pemantapan kemandirian pemerintah daerah yang dinamis dan bertanggung jawab, serta mewujudkan pemberdayaan dan otonomi daerah memerlukan upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, profesionalisme sumber daya manusia dan lembaga-lembaga publik di daerah dalam mengelola sumber daya daerah. Upaya tersebut harus dilaksanakan mulai dari aspek perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi sehingga otonomi yang diberikan kepada daerah akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Otonomi daerah dapat berjalan efektif jika disertai dengan adanya kesiapan dan kemampuan dari daerah itu sendiri dalam menghadapi otonomi daerah. Hal ini dikarenakan pada masa otonomi daerah ini, pemerintah daerah diberikan wewenang untuk mengatur keuangannya baik dalam hal pemasukan maupun pengeluaran.

2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator utama dalam mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi daerah. Indikator pertumbuhan ekonomi yang umumnya digunakan adalah berdasarkan pada data Produk Domestik regional Bruto (PDRB) riil yang terdapat pada masing-masing daerah.


(37)

Sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dapat diidentifikasi berdasarkan pada sisi penawaran dan permintaan. Berdasarkan sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi dapat terlihat dari adanya kenaikan PDRB sektoral, sedangkan dari sisi permintaan dapat diketahui dari pertumbuhan konsumsi (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G) maupun dari selisih bersih ekspor terhadap impor (NX). Pengetahuan akan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi di suatu daerah ini sangat bermanfaat dalam pengambilan keputusan atau penyusunan kebijakan pemerintah daerah, sehingga dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi sesuai dengan yang diharapkan.

Todaro dan Smith (2003) menyatakan bahwa terdapat tiga komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi antara lain adalah:

(1) Akumulasi modal yang mencangkup semua jenis investasi baru. Akumulasi modal ini dapat terjadi apabila pendapatan yang diterima ditabung dan diinvestasikan untuk meningkatkan jumlah output dan pendapatan yang akan diterima di kemudian hari;

(2) Pertumbuhan penduduk yang akan meningkatkan jumlah angkatan kerja. Berdasarkan pemikiran tradisional, pertumbuhan penduduk yang semakin besar dapat meningkatkan jumlah tenaga kerja dan dapat memperbesar pasar domestiknya. Hal tersebut dapat terjadi jika penawaran jumlah tenaga kerja dapat diserap seluruhnya dalam pasar tenaga kerja sehingga tersedianya kesempatan kerja sesuai dengan pertumbuhan jumlah angkatan kerja di daerah tersebut; dan


(38)

(3) Kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi dapat terjadi jika ditemukannya cara baru atau perbaikan cara lama dalam malakukan pekerjaan-pekerjaan secara tradisional sehingga dapat meningkatkan produktivitas. Kemajuan teknologi yang tepat guna yaitu teknologi yang murah, efisien dan padat karya bagi negara berkembang seperti Indonesia sangat diperlukan dalam pembangunan jangka panjang. Hal ini dikarenakan teknologi tersebut dapat meningkatkan kesempatan kerja bagi angkatan kerja yang sangat melimpah di negara ini.

2.1.3. Tenaga Kerja dan Kesempatan Kerja

Tenaga kerja adalah orang yang bekerja dan berumur dalam batas usia kerja. Berdasarkan definisi dari Bank Dunia batas usia kerja yaitu umur 15 hingga 64 tahun. Sedangkan tenaga kerja sendiri dibagi menjadi dua golongan yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja adalah penduduk yang berada dalam usia kerja, sedang bekerja dan sedang mencari kerja. Sedangkan yang termasuk bukan angkatan kerja adalah penduduk yang berada dalam usia kerja tetapi tidak bekerja dan tidak sedang mencari kerja.

Angkatan kerja terdiri dari dua golongan yaitu pekerja dan pengangguran. Pekerja adalah orang yang sedang bekerja atau orang yang memiliki pekerjaan namun tidak sedang bekerja untuk sementara waktu. Sedangkan definisi pengangguran di Indonesia adalah orang-orang yang belum pernah bekerja sebelumnya dan sedang mencari pekerjaan, orang-orang yang tidak bekerja pada waktu sensus, serta orang-orang yang baru berhenti bekerja dan sedang mencari pekerjaan (Manning dan Effendi, 1985).


(39)

Kesempatan kerja terkait dengan adanya pasar tenaga kerja, dimana terjadi keseimbangan antara permintaan dan penawaran tenaga kerja. Permintaan dan penawaran tenaga kerja secara bersama-sama akan menentukan jumlah pekerja yang dipekerjakan dan tingkat upah yang akan diterima oleh pekerja. Permintaan tenaga kerja merupakan hubungan antara tingkat upah dan jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan. Kurva permintaan tenaga kerja menggambarkan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk dipekerjakan pada suatu tingkat upah tertentu. Pada jangka pendek, perusahaan tidak dapat menambah jumlah modal kecuali menambah jumlah tenaga kerja, sehingga permintaan tenaga kerja akan meningkat.

Penawaran tenaga kerja merupakan hubungan antara tingkat upah dengan jumlah tenaga kerja yang disediakan. Kurva penawaran tenaga kerja menggambarkan jumlah maksimum tenaga kerja yang tersedia dengan kemungkinan tingkat upah tertentu. Jumlah tenaga kerja yang tersedia dapat diketahui berdasarkan jumlah penduduk di suatu daerah, persentase jumlah angkatan kerja serta jumlah jam kerja yang ditawarkan oleh angkatan kerja.

Migrasi yang terjadi dari suatu wilayah ke wilayah lainnya karena faktor-faktor tertentu, baik faktor-faktor pendorong dari daerah asal maupun faktor-faktor penarik dari daerah tujuan menyebabkan terjadinya perubahan dalam penawaran tenaga kerja. Selama permintaan tenaga kerja tumbuh lebih besar daripada penawaran tenaga kerja, maka kesempatan kerja akan terbuka bagi para migran tersebut dan akan menyebabkan upah naik. Namun jika terjadi sebaliknya, akan menyebabkan gangguan pada pasar tenaga kerja yaitu menimbulkan pengangguran.


(40)

Sumber: Bellante dan Jackson, 1990.

Gambar 2.1. Fungsi Permintaan, Penawaran dan Pasar Tenaga Kerja

Pada Gambar di atas, fungsi permintaan tenaga kerja (DL) sama dengan

nilai Value Marginal Physical Product Labour (VMPPL) yang merupakan

besarnya nilai hasil marginal tenaga kerja. VMPPL diperoleh dengan mengalikan

MPPL (Marginal Physical Product) yang merupakan tambahan hasil marginal

dengan P (harga barang produksi per unit). Keseimbangan pasar tenaga kerja ditunjukkan dengan titik E pada fungsi pasar tenaga kerja yang merupakan perpotongan antara kurva penawaran tenaga kerja (SL) dengan kurva permintaan

tenaga kerja (DL). Berdasarkan titik keseimbangan tersebut diperoleh tingkat upah

(W*) dan jumlah tenaga kerja (L*) keseimbangan.

Gunawati (2005) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pasar tenaga kerja di Jawa Tengah. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi keadaan penduduk, ekonomi serta pasar tenaga kerja di Jawa Tengah dan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pasar tenaga kerja di Jawa Tengah. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja secara signifikan sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk (dari sisi supply), sedangkan dari sisi demand variabel yang mempengaruhi adalah PDRB

L*

W (Upah) W (upah) W (upah)

L L L

Tenaga kerja Tenaga kerja

VMPPL = DL = MPPL x L

SL

E DL SL

*

Kurva Permintaan TK Kurva Penawaran TK Pasar TK


(41)

dan upah riil. Untuk upah riil, tingkat inflasi dan upah riil tahun sebelumnya memberikan pengaruh terhadap perubahan upah riil. Pada penelitian ini digunakan model persamaan simultan dengan empat persamaan termasuk satu persamaan identitas yaitu persamaan demand tenaga kerja, supply tenaga kerja, upah riil dan pengangguran, dengan persamaan pengangguran sebagai persamaan identitas.

Lestari (2006) dalam penelitiannya mengenai pertumbuhan kesempatan kerja pra dan pasca otonomi daerah di DKI Jakarta menyimpulkan bahwa kebijakan otonomi daerah belum menunjukkan hasil yang signifikan dan setelah dianalisis, ternyata terjadi pertumbuhan kesempatan kerja di DKI Jakarta dengan jumlah yang tidak terlalu besar. Penelitian ini dihubungkan dengan teori perkembangan ekonomi Rostow. Hasil yang diperoleh adalah perekonomian DKI Jakarta berada diantara fase lepas landas dan fase masyarakat menuju kematangan.

Adriani (2000) dalam penelitiannya tentang dampak kebijakan pemerintah terhadap keragaan pasar kerja dan migrasi pada periode krisis ekonomi menyimpulkan bahwa kesempatan kerja lebih responsif terhadap perubahan pendapatan nasional sektoral, program padat karya pedesaaan, dan pembangunan prasarana desa tertinggal di pedesaan daripada terhadap upah. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa angkatan kerja di pedesaan lebih responsif terhadap migrasi desa-kota dibandingkan angkatan kerja perkotaan. Model analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah model persamaan simultan.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulunya adalah pada analisis kesempatan kerja menggunakan analisis shift share yang


(42)

dihubungkan dengan migrasi keluar di Jawa Tengah. Pada penelitian ini akan terlihat apakah otonomi daerah dapat meningkatkan kesempatan kerja di Jawa Tengah serta dapat melihat apakah otonomi daerah dapat menurunkan migrasi keluar Jawa Tengah dengan kesempatan kerja yang ada tersebut.

2.1.4. Migrasi

Definisi migrasi menurut Prayitno (2006) adalah perpindahan penduduk yang relatif permanen dari suatu daerah atau negara ke daerah atau negara lain. Analisis dan perkiraan besaran dan arus perpindahan penduduk (migrasi atau mobilitas) merupakan hal yang penting bagi terlaksananya pembangunan manusia seutuhnya, terutama di era otonomi daerah.

Migrasi penduduk dapat disebabkan oleh adanya perbedaan pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan fasilitas pembangunan antara satu daerah dengan daerah lain. Penduduk dari daerah yang tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah akan berpindah menuju daerah yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

Jenis migrasi dibedakan menjadi dua yaitu (1) menurut dimensi ruang dan (2) menurut dimensi waktu. Migrasi yang didasarkan pada dimensi ruang terdiri

dari (1) migrasi internasional (perpindahan penduduk antar negara) dan (2) migrasi internal (perpindahan penduduk dalam satu negara, seperti

antarprovinsi, antarkota/kabupaten, migrasi dari wilayah perdesaan ke wilayah perkotaan atau satuan administratif lainnya yang lebih rendah daripada tingkat kabupaten/kota, seperti kecamatan dan kelurahan/desa). Sedangkan untuk migrasi yang didasarkan pada dimensi waktu terdiri dari (1) migran sirkuler (migrasi


(43)

musiman) adalah orang yang berpindah tempat tetapi tidak bermaksud menetap di tempat tujuan. (2) migran ulang-alik (commuter) adalah orang yang pergi meninggalkan tempat tinggalnya secara teratur, (misal setiap hari atau setiap minggu untuk bekerja, berdagang, sekolah, atau untuk kegiatan-kegiatan lainnya, dan pulang ke tempat asalnya secara teratur pula.

Terdapat tiga kriteria migran yang biasa digunakan dalam pengumpulan data yaitu (1) migran seumur hidup (life time migrant) adalah orang yang tempat tinggalnya pada saat pengumpulan data berbeda dengan tempat tinggalnya pada waktu lahir. (2) migran risen (recent migrant) adalah orang tempat tinggalnya pada saat pengumpulan data berbeda dengan tempat tinggalnya pada waktu lima tahun sebelumnya. (3) migran total (total migrant) adalah orang yang pernah bertempat tinggal di tempat yang berbeda dengan tempat tinggal pada waktu pengumpulan data.

Beberapa teori yang menganalisis fenomena migrasi antara lain adalah teori ekonomi neoklasik (neoclassical economics) yang lebih menitikberatkan pada perbedaan upah dan kondisi kerja antardaerah atau antarnegara, serta biaya dalam keputusan seseorang untuk melakukan migrasi. Aliran ini berpendapat bahwa perpindahan penduduk merupakan keputusan pribadi yang didasarkan atas keinginan untuk mendapatkan kesejahteraan yang maksimum. Sedangkan aliran ekonomi baru migrasi (new economics of migration) beranggapan bahwa perpindahan penduduk terjadi bukan saja berkaitan dengan pasar kerja, namun juga karena adanya faktor-faktor lain. Faktor-faktor tersebut terkait dengan lingkungan sekitar termasuk juga kondisi politik, agama, dan bencana alam.


(44)

Berdasarkan kedua teori tersebut, migrasi disebabkan oleh faktor pendorong (push factor) suatu wilayah dan faktor penarik (pull factor) wilayah lainnya. Faktor pendorong suatu wilayah menyebabkan orang pindah ke tempat lain, misalnya karena di daerah itu tidak tersedia sumber daya yang memadai. Selain itu juga terkait dengan persoalan kemiskinan dan pengangguran yang terjadi di suatu wilayah. Sedangkan faktor penarik suatu wilayah adalah jika wilayah tersebut mampu menyediakan fasilitas dan sumber-sumber penghidupan bagi penduduk, baik penduduk di wilayah itu sendiri maupun penduduk di sekitarnya dan daerah lain. Penduduk wilayah sekitarnya dan daerah-daerah lain tertarik dengan daerah-daerah tersebut kemudian berpindah untuk meningkatkan taraf hidup (Prayitno, 2006).

Teori Lewis-Fei-Ranis mengenai migrasi dan pembangunan ekonomi menyatakan bahwa perpindahan tenaga kerja di sektor tradisional (pertanian) ke sektor modern (industri) disebabkan oleh permintaan yang cukup banyak terhadap tenaga kerja di sektor modern tersebut dengan asumsi sektor pertanian surplus tenaga kerja. Sedangkan jumlah perpindahan tenaga kerja dan pertumbuhan lapangan kerja berkaitan erat dengan perluasan industri di perkotaan. Asumsi yang menyatakan sektor pertanian surplus tenaga kerja menyebabkan rendahnya produktivitas tenaga kerja, sedangkan produktivitas tenaga kerja di sektor industri tinggi. Hal ini memotivasi tenaga kerja sektor tradisional untuk migrasi ke kota.

Beberapa kritik pada asumsi teori Lewis-Fei-Ranis disampaikan oleh Todaro yang antara lain (1) Asumsi perpindahan tenaga kerja dan penciptaan lapangan kerja di sektor perkotaan sebanding dengan tingkat penanaman modal di


(45)

sektor perkotaan pada teori Lewis kurang tepat karena bila dari kelebihan keuntungan diinvestasikan kembali dalam bentuk peralatan modal, maka kemungkinan upah nyata dalam bentuk uang dan lapangan kerja tidak berubah sama sekali; (2) Adanya kenyataan bahwa kelebihan tenaga kerja di sektor modern perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan sektor tradisional pedesaan serta (3) Adanya kecenderungan kenaikan upah di sektor perkotaan akan terus berlangsung.

Model migrasi Todaro menyatakan bahwa migrasi dari desa ke kota pada dasarnya merupakan suatu fenomena ekonomi. Model ini berlandaskan pada pemikiran bahwa arus migrasi akan terus berlangsung sampai adanya perbedaan pendapatan (penghasilan yang diharapkan) antara desa dan kota. Para migran selalu membandingkan dan mempertimbangkan bermacam-macam pasar tenaga kerja yang tersedia bagi mereka baik di pedesaan maupun di perkotaan, kemudian mereka memilih yang dapat memaksimumkan keuntungan yang diharapkan. Pada dasarnya model Todaro ini beranggapan bahwa semua angkatan kerja akan selalu membandingkan penghasilan yang diharapkan di kota (selisih antara penghasilan dan biaya migrasi) dengan rata-rata tingkat penghasilan yang dapat diperoleh di desa. Keputusan para migran untuk migrasi dilakukan jika penghasilan bersih di kota melebihi penghasilan bersih di desa.

Model migrasi lainnya adalah model migrasi Harris-Todaro yang menjelaskan adanya hubungan paradoks antara lonjakan migrasi dari desa ke kota yang semakin cepat dengan adanya peningkatan jumlah pengangguran di daerah perkotaan. Model Harris-Todaro ini merupakan model migrasi yang mirip dengan


(46)

model migrasi Todaro, dimana pada model ini menyatakan bahwa pencapaian titik keseimbangan pengangguran akan tercapai jika tingkat pendapatan yang diharapkan di kota sama dengan tingkat pendapatan aktual di desa. Kondisi keseimbangan tersebut akan menghentikan arus migrasi. Hal ini berbeda dengan yang dikatakan oleh model pasar bebas neoklasik tradisional yaitu migrasi dapat dihentikan jika terdapat keseimbangan tingkat upah di desa dan di kota.

Sumber: Todaro dan Smith, 2003.

Gambar 2.2. Model Migrasi Harris-Todaro

Pada Gambar 2.2 diasumsikan bahwa dalam suatu perekonomian hanya ada dua sektor ekonomi yaitu sektor pertanian di pedesaan dan sektor industri di perkotaan. Tingkat permintaan tenaga kerja (kurva produk marginal tenaga kerja) pada sektor pertanian dilambangkan dengan garis melengkung ke bawah (AA’). Sedangkan untuk tingkat permintaan tenaga kerja (kurva produk marginal tenaga

Tingkat Upah di Sektor Pertanian

Tingkat Upah di Sektor Industri

LUS

OM

LM

LA* LM*

LA

OA

E Z

q

M’ A’

q’

A M

M W

M

W*

WA**

WA*


(47)

kerja) pada sektor industri dilambangkan dengan garis lengkung MM’. Total angkatan kerja yang tersedia dilambangkan oleh OAOM. Pada pasar neoklasik

dimana upah ditentukan oleh mekanisme pasar dan seluruh tenaga kerja dapat terserap, upah keseimbangan akan terjadi bila W*A=W*M dengan tenaga kerja

untuk sektor pertanian sebanyak OAL*Adan untuk sektor industri sebanyak OML*M.

Kondisi yang terjadi pada pasar neoklasik tersebut akan sangat berbeda dengan kondisi yang terjadi pada model Todaro. Asumsi yang digunakan pada model Todaro adalah tingkat upah tidak ditentukan berdasarkan mekanisme pasar melainkan ditentukan oleh pemerintah (WM) yang terletak diatas W*M. Jika

diasumsikan tidak terjadi pengangguran, maka tenaga kerja sebanyak OMLM akan

bekerja pada sektor industri di perkotaan sedangkan sisanya (OALM) akan bekerja

pada sektor pertanian di pedesaan dengan tingkat upah sebesar OAW**A yang lebih

kecil dari tingkat upah pasar (OAW*A). Hal ini menimbulkan terjadinya selisih

antara tingkat upah di desa dan di kota yaitu sebanyak WM-W**A. Jika semua

pekerja bebas untuk melakukan migrasi, walaupun di desa tersedia lapangan kerja sebanyak OALM, mereka akan tetap pergi ke kota untuk memperoleh tingkat upah

yang lebih tinggi.

Selisih antara tingkat upah di desa dan kota kemudian mendorong terjadinya arus migrasi dari desa ke kota. Titik-titik peluang tersebut digambarkan oleh garis qq’ dan titik ekuilibrium yang baru adalah Z. Sedangkan titik selisih

antara pendapatan aktual di desa dan kota adalah WM-WA. Jumlah tenaga kerja

yang masih ada pada sektor pertanian adalah OALA, dan tenaga kerja di sektor


(48)

yakni LUS (OMLA-OMLM) akan menganggur atau memasuki sektor informal yang

berpendapatan rendah. Hal ini menjelaskan terjadinya pengangguran di kota dan semakin bertambahnya arus migrasi dari desa ke kota. Namun, dalam model ini masih terdapat kelemahan yaitu adanya penyamarataan selera, tingkat pendidikan, keterampilan serta penalaran dari semua angkatan kerja yang tentu saja sangat tidak realistis.

Terdapat empat pemikiran dasar pada model migrasi Todaro, antara lain adalah:

(1) Migrasi desa-kota didorong karena adanya pertimbangan ekonomi yang rasional dan berkaitan langsung dengan keuntungan dan biaya-biaya relatif dari migrasi;

(2) Keputusan untuk melakukan migrasi didasarkan pada selisih antara tingkat pendapatan yang diharapkan di kota dengan tingkat pendapatan aktual di desa;

(3) Kemungkinan memperoleh pendapatan di perkotaan berkaitan dengan tingkat lapangan pekerjaan diperkotaan;

(4) Migrasi desa-kota dapat berlangsung terus menerus dan dalam jumlah yang besar walaupun melebihi laju pertumbuhan kesempatan kerja. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan ekspektasi pendapatan yang sangat besar, dimana para migran berupaya untuk memperoleh upah lebih tinggi yang nyata. Kondisi ini mengakibatkan meningkatnya jumlah pengangguran karena adanya ketidakseimbangan kesempatan ekonomi atau kesempatan kerja yang sangat parah antara desa dan kota.


(49)

Teori lain yang dapat digunakan untuk menganalisis faktor pendorong seseorang untuk melakukan migrasi yaitu teori modal manusia (human capital). Teori ini terkait dengan pendidikan, kesehatan dan kapasitas manusia lainnya yang dapat meningkatkan produktivitas (keahlian, pengetahuan dan pengalaman) jika terjadi peningkatan pada hal-hal tersebut. Pada teori ini menyatakan bahwa setelah investasi awal dilakukan, maka akan dihasilkan tingkat pengembalian (aliran penghasilan) pada masa yang akan datang. Tingkat pengembalian (rate of return) dapat diperoleh dan dibandingkan dengan pengembalian dari investasi lain, yaitu dengan cara memperkirakan nilai diskonto sekarang dari aliran pendapatan yang meningkat yang mungkin dihasilkan dari investasi-investasi tersebut dan membandingkannya dengan biaya langsung dan biaya tidak langsung (Todaro dan Smith, 2003).

Berdasarkan teori human capital ini, maka seseorang akan memutuskan migrasi ke tempat lain untuk memperoleh penghasilan yang lebih besar di daerah tujuan, dan asumsi ini dianalogikan sebagai tindakan melakukan investasi sumber daya manusia. Hal ini dikarenakan jika seseorang telah memutuskan untuk berpindah ke tempat lain, berarti ia telah mengorbankan sejumlah pendapatan yang seharusnya ia terima di tempat asalnya, dan akan menjadi biaya tidak langsung untuk meraih sejumlah pendapatan yang lebih besar di tempat tujuan migrasi. Disamping itu, individu tersebut juga mengeluarkan biaya langsung dalam bentuk biaya migrasi. Seluruh biaya tersebut (biaya langsung dan tidak langsung) dianggap sebagai investasi dari seorang migran. Imbalannya adalah, adanya arus pendapatan yang lebih besar di tempat tujuan. Jika present value dari


(50)

peningkatan pendapatan yang diharapkan melebihi biaya yang diinvestasikan, maka seseorang akan memilih untuk migrasi. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya, maka orang tersebut akan menyimpulkan bahwa tidak ada manfaatnya untuk melakukan migrasi, meskipun pendapatan potensial pada daerah tujuan lebih tinggi daripada pendapatan di daerah mereka tinggal saat ini.

Desiar (2003) dalam penelitiannya mengenai dampak migrasi terhadap pengangguran dan sektor informal di DKI Jakarta menyatakan adanya keterkaitan antara migrasi, pengangguran dan sektor informal. Keterkaitan antara ketiganya adalah migrasi masuk dapat mempengaruhi pengangguran dan kesempatan kerja sektor formal maupun informal. Migran masuk yang tergolong sebagai angkatan kerja dapat meningkatkan pengangguran dan meningkatkan sektor informal. Selain itu, tingkat pengangguran sendiri dipengaruhi oleh angkatan kerja migran dan bukan migran. Pengangguran di daerah tujuan migran inilah yang akhirnya menimbulkan kemiskinan yang semakin meluas di daerah asal migran.

2.1.5. Analisis Shift Share

Analisis Shift Share digunakan untuk mengetahui perkembangan daerah dalam hal pertumbuhan ekonomi dari sisi pendapatan maupun tenaga kerja. Sebelum melakukan analisis shift share, langkah utama yang harus dilakukan antara lain adalah:

(1) Menentukan wilayah yang akan dianalisis,

(2) Menentukan indikator ekonomi dan periode anaslisis, (3) Menentukan sektor ekonomi yang akan dianalisis, (4) Menghitung perubahan indikator kegiatan ekonomi,


(51)

(5) Menghitung rasio indikator kegiatan ekonomi, (6) Menghitung komponen pertumbuhan wilayah.

Keunggulan dari analisis ini adalah dalam hal kemampuannya untuk mengetahui atau melihat perkembangan produksi dan kesempatan kerja pada dua titik waktu di suatu wilayah. Setelah itu, dapat dibandingkan secara relatif perkembangan suatu sektor perekonomian di suatu wilayah dengan sektor-sektor perekonomian lainnya. Pada analisis ini dapat diketahui pula perubahan tenaga kerja atau produksi di suatu wilayah antara tahun dasar dan tahun akhir analisis melalui tiga komponen pertumbuhan yaitu komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen pertumbuhan proporsional (PP) dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW). Sedangkan apabila persentase dari PP dan PPW dijumlahkan, dapat diperoleh pergeseran hasil pembangunan perekonomian daerah tersebut. Apabila PP + PPW 0, menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor ke i di wilayah ke j merupakan kelompok progresif (maju). Sedangkan jika PP + PPW < 0, menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor ke i pada wilayah ke j merupakan pertumbuhan yang lambat.

Sumber : Budiharsono, 2001.

Gambar 2.3. Model Analisis Shift Share

Komponen Pertumbuhan Nasional

Wilayah ke j

(Sektor ke i)

Maju PP + PPW 0

Wilayah ke j

(Sektor ke i)

Lambat PP + PPW < 0 Komponen

Pertumbuhan Proporsional

Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah


(52)

Evaluasi profil pertumbuhan sektor-sektor perekonomian dengan analisis Shift Share dapat dilakukan dengan 4 pendekatan kuadran. Pada kuadran I, Komponen pertumbuhan proporsional (PP) dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW) bernilai positif. Itu berarti sektor di wilayah tersebut memiliki pertumbuhan yang cepat dan daya saing yang lebih baik dibanding wilayah lain. Kuadran II menunjukkan PP bernilai positif dan PPW bernilai negatif. Itu menandakkan bahwa sektor tersebut pertumbuhannya cepat namun daya saingnya kurang baik. Kuadran III menunjukkan PP dan PPW bernilai negatif, artinya sektor tersebut memiliki pertumbuhan yang lambat dan daya saing yang kurang baik. Sedangkan pada kuadran IV menunjukkan sektor tersebut memiliki PP negatif dan PPW positif. Artinya sektor tersebut memiliki pertumbuhan yang lambat namun daya saingnya baik.

Sumber: Budiharsono, 2001.

Gambar 2.4. Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian

Pada Gambar 2.4 diatas, terlihat adanya garis yang memotong kuadran II dan kuadran IV dan membentuk sudut 45°. Garis tersebut menunjukkan nilai pergeseran bersih (PB) dan di sepanjang garis tersebut, nilai PB=0. Jika PB diatas

PP PPW

Kuadran I

Kuadran II Kuadran IV


(1)

(2)

Lampiran 1. Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di Jawa Tengah

Tahun 1996-2007

No.

Lapangan

Usaha 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

1 Pertanian 5.707.969 5.615.330 6.113.843 6.009.557 6.135.828 6.730.367 5.911.998 6.384.700 6.185.850 6.339.024 5.988.914 6.147.989 2

Industri

Pengolahan 245.589 2.224.111 2.129.703 2.580.134 2.276.679 2.447.195 2.725.958 2.804.254 2.435.606 2.551.679 2.703.414 2.765.644 3 Bangunan 632.195 848.809 617.762 676.714 578.584 687.807 842.184 868.920 954.038 902.627 911.843 1.123.838

4

Perdagangan, Hotel dan

Restoran 2.755.629 2.789.653 2.917.844 2.935.487 3.030.564 2.826.300 3.179.356 2.810.632 3.383.520 3.318.128 3.408.887 3.417.680

5

Transportasi dan

Komunikasi 563.211 56.096 635.529 595.236 644.359 592.019 673.970 649.870 732.844 675.111 680.223 738.498

6

Keuangan, Perbankan dan Jasa

Perusahaan 34.014 62.560 69.579 52.835 128.706 120.576 82.436 55.592 116.940 114.426 101.919 147.933 7 Jasa 1.902.550 1.890.946 1.619.601 1.670.944 1.591.617 1.563.961 1.648.720 1.402.340 1.501.110 1.557.398 1.625.151 1.798.720 8 Lainnya 212.574 131.533 82.992 100.242 104.885 98.317 90.234 147.774 218.202 90.226 146.984 163.756 Total 14.262.731 14.128.038 14.186.853 14.621.149 14.491.222 15.066.542 15.154.856 15.124.082 15.528.110 15.548.609 15.576.335 16.304.058 Sumber: BPS, 1996-2008


(3)

Lampiran 2. Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Menururt Lapangan Pekerjaan Utama di Indonesia

Tahun 1996-2007

No.

Lapangan

Usaha 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

1 Pertanian 37.720.251 35.848.631 39.414.765 38.378.133 40.676.713 39.743.908 40.633.627 42.001.437 40.608.019 41.814.197 40.136.242 41206474 2

Industri

Pengolahan 10.773.038 11.214.822 9.933.622 11.515.955 11.641.756 12.086.122 12.109.997 10.927.342 11.070.498 11.652.406 11.890.170 12368729 3 Bangunan 3.796.228 4.200.200 3.521.682 3.415.147 3.497.232 3.837.554 4.273.914 4.106.597 4.540.102 4.417.087 4.697.354 5252581

4

Perdagangan, Hotel dan

Restoran 16.102.552 17.221.184 16.814.233 17.529.099 18.489.005 17.469.129 17.795.030 16.845.995 19.119.156 18.896.902 19.215.660 20554650

5

Transportasi dan

Komunikasi 3.942.799 4.137.653 4.153.707 4.206.067 4.553.855

4.448.279

4.672.584

4.976.928

5.480.527

5.552.525

5.663.956

5958811

6

Keuangan, Perbankan dan Jasa

Perusahaan 689.733 656.724 617.722 633.744 882.600 1.127.823 991.745 1.294.832 1.125.056 1.042.786 1.346.044 1399490 7 Jasa 11.728.495 12.637.533 12.394.273 12.224.654 9.574.009 11.003.482 10.360.188 9.746.381 10.513.093 10.576.572 11.35539 12019984 8 Lainnya 948.717 1.133.009 822.446 9140.06 522.560 1.091.120 810.081 885.405 1.265.585 995.643 1.151.609 1.169.498 Total 85.701.813 87.049.756 87.672.450 88.816.859 89.837.730 90.807.417 91.647.166 90.784.917 93.722.036 94.948.118 95.456.935 99930217 Sumber: BPS, 1996-2008


(4)

Lampiran 3. Contoh Perhitungan Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di

Provinsi Jawa Tengah Pra dan Era Otonomi Daerah

No

Lapangan Usaha

Pra Otonomi Daerah

Kesempatan Kerja (Jiwa)

Perubahan

1996

2000

Absolut

(Jiwa)

Relatif

(Persen)

1 Pertanian

5.707.969

6.135.828

427.859

(1)

7,50

(2)

Total

14.262.731

14.491.222

228.491

(3)

1,60

(4) Keterangan:

(1) 427.859 = 6.135.828 - 5.707.969 (2) 7,50% = 100%

969 . 707 . 5 859 . 427

(3) 228.491 = 14.491.222 - 14.262.731 (4) 1,60% = 100%

731 . 262 . 14 491 . 228

Lampiran 4. Contoh Perhitungan Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di

Indonesia Pra dan Era Otonomi Daerah

No

Lapangan Usaha

Pra Otonomi Daerah

Kesempatan Kerja (Jiwa)

Perubahan

1996

2000

Absolut

(Jiwa)

Relatif

(Persen)

1 Pertanian

37.720.251

40.676.713

2.956.462

(1)

7,84

(2)

Total

85.701.813

89.837.730

4.135.917

(3)

4,83

(4) Keterangan:

(1) 2.956.462 = 40.676.713 - 37.720.251

(2) 7,84% = 100%

251 . 720 . 37 462 . 956 . 2

(3) 4.135.917 = 89.837.730 - 85.701.813 (4) 4,83% = 100%

813 . 701 . 85 917 . 135 . 4

Lampiran 5. Contoh Perhitungan Rasio Kesempatan Kerja di Jawa Tengah dan

Nasional (Nilai

Ra, Ri, ri

)

No

Lapangan

Usaha

Pra Otonomi Daerah

Era Otonomi Daerah

Tahun 1996 dan

2000

Tahun 2001 dan

2003

Tahun 2004 dan

2007

Ra

Ri

ri

Ra

Ri

ri

Ra

Ri

ri

1 Pertanian 0,05

(1)

0,08

(2)

0,07

(3)

-0,00

0,06

-0,05 0,07

0,01

-0,01

Total

0,05

(4)

0,05

(5)

0,02

(6)

-0,00

-0,00

0,00 0,07

0,07

0,05

Keterangan:

(1) 0,05 =

813 . 701 . 85 813 . 701 . 85 730 . 837 . 89 (2) 0,08 =

251 . 720 . 37 251 . 720 . 37 713 . 676 . 40

(3) 0,07 =

969 . 707 . 5 969 . 707 . 5 828 . 135 . 6

(4) 0,05 =

813 . 701 . 85 813 . 701 . 85 730 . 837 . 89 (5) 0,05 =

813 . 701 . 85 813 . 701 . 85 730 . 837 . 89 (6) 0,02 =

731 . 262 . 14 731 . 262 . 14 222 . 491 . 14


(5)

Lampiran 6. Contoh Perhitungan Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di

Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Nasional

Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007

No

Lapangan

Usaha

PNi (Jawa Tengah)

Pra Otonomi Daerah

Tahun 1996 dan

2000

Era Otonomi Daerah

Tahun 2001 dan

2003

Tahun 2004 dan

2007

Perubahan

Perubahan

Perubahan

Absolut

(Jiwa)

Relatif

(Persen)

Absolut

(Jiwa)

Relatif

(Persen)

Absolut

(Jiwa)

Relatif

(Persen)

1 Pertanian 275.463

(1)

4,83

(2)

-1.668

-0,02

409.753

6,62

Total

688.311

(3)

4,83

(4)

-3.733

-0,02 1.028.588

6,62

Keterangan:

(1) 275.463 = 0,05 5.707.969 (2) 4,83% = 100%

969 . 707 . 5

463 . 275

(3) 688.311 = Penjumlahan nilai PNi (Jawa Tengah) pada seluruh lapangan usaha pra otonomi daerah

(4) 4,83% =

731 . 262 . 14

311 .

688 100%

Lampiran 7. Contoh Perhitungan Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di

Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Proporsional

Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007

No

Lapangan

Usaha

PPi (Jawa Tengah)

Pra Otonomi Daerah

Tahun 1996 dan

2000

Era Otonomi Daerah

Tahun 2001 dan

2003

Tahun 2004 dan

2007

Perubahan

Perubahan

Perubahan

Absolut

(Jiwa)

Relatif

(Persen)

Absolut

(Jiwa)

Relatif

(Persen)

Absolut

(Jiwa)

Relatif

(Persen)

1

Pertanian

171.920

(1)

3,01

(2)

383.965

5,70

-318.590

-5,15

Total

-32.574

(3)

-0,23

(4)

-10.193

-0,07

43.029

0,28

Keterangan:

(1) 171.920 = (0,08 – 0,05) 5.707.969 (2) 3,01% = 100%

969 . 707 . 5

920 . 171

(3) -32.574 = Penjumlahan nilai PPi (Jawa Tengah) pada seluruh lapangan usaha pra otonomi daerah

(4) -0,23% = 100% 731 . 262 . 14

574 . 32


(6)

Lampiran 8. Contoh Perhitungan Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di

Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan Komponen Pangsa Wilayah Tahun

1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007

No

Lapangan

Usaha

PPWi (Jawa Tengah)

Pra Otonomi Daerah

Tahun 1996 dan

2000

Era Otonomi Daerah

Tahun 2001 dan

2003

Tahun 2004 dan

2007

Perubahan

Perubahan

Perubahan

Absolut

(Jiwa)

Relatif

(Persen)

Absolut

(Jiwa)

Relatif

(Persen)

Absolut

(Jiwa)

Relatif

(Persen)

1 Pertanian

-19.524

(1)

-0,34

(2)

-727.965

-10,82

-129.024

-2,09

Total

-427.245

(3)

-3,00

(4)

71.467

0,47

-295.669

-1,90

Keterangan:

(1) -19.524 = (0,07 – 0,08) 5.707.969 (2) -0,34% = 100%

969 . 707 . 5

524 . 19

(3) -427.245 = Penjumlahan nilai PNi (Jawa Tengah) pada seluruh lapangan usaha pra otonomi daerah

(4) -3,00% = 100%

731 . 262 . 14

245 . 427

Lampiran 9. Contoh Perhitungan Pergeseran Bersih Kesempatan Kerja di Provinsi Jawa

Tengah Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007

No

Lapangan

Usaha

PBi (Jawa Tengah)

Pra Otonomi Daerah

Tahun 1996 dan

2000

Era Otonomi Daerah

Tahun 2001 dan

2003

Tahun 2004 dan

2007

Perubahan

Perubahan

Perubahan

Absolut

(Jiwa)

Relatif

(Persen)

Absolut

(Jiwa)

Relatif

(Persen)

Absolut

(Jiwa)

Relatif

(Persen)

1 Pertanian

152.396

(1)

2,67

(2)

-343.999

-5,11

-447.614

-7,24

Total

-459.820

(3)

-3,22

(4)

61.273

0,41

-252.640

-1,62

Keterangan:

(1) 152.396 = 171.920 + (-19.524) (2) 2,67% = 100%

969 . 707 . 5

396 . 152

(3) -459.820 = Penjumlahan nilai PBi (Jawa Tengah) pada seluruh lapangan usaha pra otonomi daerah

(4) -3,22% = 100% 731 . 262 . 14

820 . 459