BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tahun 2008 adalah tahun yang berat bagi perekonomian global sebagai dampak terjadinya multikrisis yaitu krisis energi fuel, pangan food dan
akhirnya bermuara pada krisis keuangan financial. Krisis energi ditandai dengan melambungnya harga minyak dunia, tertinggi dalam sejarah hingga menyentuh
harga USD 147,27barel pada bulan Juli 2008 dan mendongkrak laju inflasi. Pasar saham dan pasar modal Indonesia pun mengalami kelesuan. Akibat
terpuruknya harga saham, kerugian yang dialami investor di pasar modal, seperti dilaporkan Infobank, sudah mencapai Rp 457,31 triliun hanya dalam kurun
Oktober 2007-September 2008 karena kapitalisasi pasar anjlok dari Rp 1.464,32 triliun menjadi Rp 1.007,01 triliun. Dalam setahun akhir tahun 2008
dibandingkan dengan akhir tahun 2007, kerugian mencapai Rp 911,83 triliun. Keadaan sektor finansial makin memburuk ketika banyak perbankan
mengalami keketatan likuiditas. Terdapat penurunan kepercayaan kepada perbankan akibat banyak kasus yang menimpa sejumlah bank seperti yang terjadi
pada Bank Century dan Bank IFI. Hal inilah yang menyebabkan perbankan lebih berhati-hati sehingga cenderung memilih yang paling aman dengan menjaga
likuiditas lebih tinggi dari yang dibutuhkan dan memilih menaruh dana di Sertifikat Bank Indonesia SBI ketimbang meminjamkan kepada bank lain yang
kekurangan likuiditas atau melakukan ekspansi kredit ke nasabah.
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 2007 Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 913PBI2007 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dengan
memperhitungkan risiko pasar, sedangkan tahun 2004 Bank Indonesia menentukan persentase GWM Giro Wajib Minimum yang disesuaikan dengan
besarnya DPK Dana Pihak Ketiga yang dihimpun bank. Ketentuan ini untuk mengatasi risiko likuiditas yang dihadapai bank. Ketatnya peraturan Bank
Indonesia dalam mengatur kecukupan modal dan likuiditas mencerminkan pentingnya kedua aspek tersebut dalam operasional bank.
Modal bank merupakan alat pendorong kegiatan operasional bank, sehingga besar kecilnya modal bank akan mempengaruhi kemampuan bank dalam menjalankan
kegiatan operasionalnya. Jumlah modal yang tinggi akan berpengaruh pada perolehan laba bank, sedangkan modal yang sedikit membatasi kapasitas usaha
bank, mengingat modal bank juga berfungsi untuk menutupi risiko usaha yang dihadapi. Modal bank yang terbatas ini menjadi faktor penghambat dalam
meningkatkan profitabilitas bank. Bank Indonesia juga memperhatikan permodalan bank dengan menetapkan
kewajiban penyediaan modal inti minimum bank umum sebesar Rp.80 Milyar pada akhir tahun 2007 dan meningkat menjadi Rp.100 Milyar pada akhir tahun
2010. Bank dengan modal dibawah Rp.100 Milyar mempunyai aset yang tidak begitu besar. Profitabilitas bank tersebut yang diwakili oleh ROA juga jauh lebih
rendah dibandingkan dengan keseluruhan industri perbankan. Likuiditas kerap kali bertolak belakang dengan profitabilitas. Jika bank terlalu mengejar
profitabilitas yang tinggi, maka bank akan mengalami kesulitan likuiditas.
Universitas Sumatera Utara
Sebaliknya, jika bank mencoba untuk menjaga likuiditasnya secara berlebihan maka menimbulkan banyak dana yang tidak produktif idle funds dan
profitabilitas bank rendah. Untuk menjamin likuiditas bank, pada tahun 2004 Bank Indonesia menetapkan persentase GWM yang disesuaikan dengan besarnya
DPK yang dihimpun bank. GWM merupakan sejumlah dana yang harus dipelihara oleh bank dalam bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia.
Besarnya GWM yang ditetapkan Bank Indonesia adalah sebesar 5 dari DPK. Adapun pengertian Bank menurut Undang-Undang No. 7 tahun 1992 yang
disempurnakan menjadi Undang-Undang No. 10 tahun 1998 adalah sebagai berikut: “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak.” Kesehatan atau kondisi keuangan dan nonkeuangan bank merupakan
kepentingan semua pihak yang terkait, baik pemilik, pengelola manajemen bank, masyarakat pengguna jasa bank, Bank Indonesia selaku otoritas pengawas bank
dan pihak lainya.
Defenisi tingkat kesehatan bank menurut peraturan BI No. 610PBI2004 adalah sebagai berikut: “Tingkat kesehatan bank adalah hasil penilaian kualitatis
atas berbagai aspek berpengaruh terhadap kondisi kinerja suatu bank melalui penilaian kuantitatif dan atau penilaian kualitatif terhadap faktor-faktor
permodalan, kualitas asset, manajemen, rentabilitas, likuiditas dan sensitivitas
terhadap risiko pasar.” Penelitian di bidang perbankan sudah sering dilakukan.
Gozali 2007 membuktikan bahwa CAR dan NPL berpengaruh negatif dan
Universitas Sumatera Utara
signifikan terhadap ROA sedangkan FRD dan BOPO berpengaruh positif dan signifikan terhadap ROA. Kamalia 2008 membuktikan bahwa CAR secara
parsial berpengaruh signifikan terhadap ROA, LDR secara parsial tidak berpengaruh signifikan terhadap ROA dan Secara Simultan CAR dan LDR
berpengaruh terhadap ROA sebesar 13.1. Jesica 2010 membuktikan bahwa NPF tidak berpengaruh secara parsial terhadap likuiditas bank umum, CAR
berpengaruh secara parsial dan signifikan terhadap likuiditas bank umum sedangkan secara simultan CAR dan NPL berpengaruh terhadap tingkat likuiditas
bank umum. Berdsarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul : “Pengaruh Capital Adequecy Ratio dan Banking Ratio Terhadap Return On Asset pada Bank Pemerintah dan Bank
Swasta yang Go Publik di BEJ.”
B. Perumusan Masalah