Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

2. Secara Praktis a. Dari segi praktis akan memberikan masukan kepada pemerintah untuk memberikan rambu-rambu tentang tanggung jawab induk perusahaan terhadap anak perusahaannya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengungkap berbagai permasalahan yang timbul tentang perikatan yang dibuat oleh anak perusahaan, dan induk perusahaan diminta pertanggung jawaban atas perikatan tersebut. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang khususnya dilingkungan Universitas Sumatera Utara, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul “TANGGUNG JAWAB INDUK PERUSAHAAN TERHADAP PERIKATAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK PERUSAHAAN” belum ada yang membahasnya, sehingga tesis ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan keasliannya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

“kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperbuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir pendapat, tesis sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui”. 7 7 M. Solly Lubis, Filsafat ilmu dan penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, h. 80 Rita Dyah Widawati : Tanggungjawab Induk Perusahaan Terhadap Perikatan Yang Dilakukan Oleh Anak Perusahaan, 2009 Teori berguna untuk menebak menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya. “Kontinuitas perkembangan ilmu hukum selain tergantung pada metodologi aktifitas penelitian dan imajinasi sosial dengan ditentukan oleh teori”. 8 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati. Dan dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian normatif, maka kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Dalam pembahasan tesis ini, kerangka teori yang digunakan adalah berdasarkan tanggung jawab dan perikatan yang akan melihat sejauh mana induk perusahaan bertanggung jawab terhadap perikatan yang dilakukan anak perusahaannya. Dalam ilmu hukum dikenal “doktrin keterbatasan tanggung jawab” dari suatu badan hukum. Maksudnya secara prinsipil setiap perbuatan yang dilakukan oleh badan hukum, maka badan hukum sendiri yang bertanggung jawab kecuali sebatas nilai saham yang dimasukkannya. Secara hukum tanggung jawab yang normal dari sebuah perusahaan dapat dibedakan sebagai berikut: 9 1. Tanggung jawab hukum dari sutu perusahaan yang tidak berbadan hukum, dan 2. Tanggung jawab suatu perusahaan berbentuk badan hukum Tanggung jawab hukum suatu perusahaan yang tidak berbadan hukum, bila suatu perusahaan tidak berbadan hukum semisal perusahaan dalam bentuk firma, usaha dagang, maka tidak ada harta yang terpisah yang merupakan harta perseroan tersebut yang 8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI- Press, Jakarta, 1986, h. 6 9 Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, h. 2-3 Rita Dyah Widawati : Tanggungjawab Induk Perusahaan Terhadap Perikatan Yang Dilakukan Oleh Anak Perusahaan, 2009 ada hanyalah harta dari pemilik perusahaannya. Karena itu secara hukum tanggung jawab hukumnya juga tidak terpisah antara tanggung jawab perseroan dengan tanggung jawab pribadi pemilik perusahaan. Tanggung jawab hukum dari suatu perusahaan yang berbentuk badan hukum, seperti Perseroan Terbatas, koperasi, secara hukum pada prinsipnya harta bendanya terpisah dari harta benda pendiripemiliknya.Karena itu tanggung jawab secara hukum juga dipisahkan dari harta benda pribadi pemilik perusahaan yang berbentuk badan hukum tersebut. Pasal 40 ayat 2 KUHD menyebutkan bahwa pemegang saham tidak bertanggung jawab lebih dari pada jumlah penuh saham-saham itu. Prinsip yang sama juga diberlakukan oleh undang-undang tentang Perseroan Terbatas, yang menyatakan dengan tegas bahwa “Perseroan Terbatas adalah merupakan suatu badan hukum” Undang- Undang No. 40 Tahun 2007 pasal ayat 1. Dan “tanggung jawabnya sebatas atas saham-saham yang telah diambil oleh pemegang saham Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 pasal 3 ayat 2“. Tapi dengan dianutnya asas piercing the corporate veil dalam undang-undang Perseroan Terbatas no. 40 tahun 2007 yang terdapat dalam pasal 3 ayat 2, yang secara tegas menyatakan bahwa pertanggung jawaban dari pemegang saham tidak berlaku lagi hapus, dalam hal : 1. Persyaratan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; 2. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi; 3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbutan hukum yang dilakukan oleh perseroan, atau Rita Dyah Widawati : Tanggungjawab Induk Perusahaan Terhadap Perikatan Yang Dilakukan Oleh Anak Perusahaan, 2009 4. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, sehingga harta perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan. “Bahkan penerapan teori piercing the corporate veil dalam pengembangannya juga membebankan tanggung jawab kepada organ perusahaan yang lain seperti direksi dan komisaris” 10 Kata perjanjian dan perikatan merupakan dua istilah yang dikenal dalam KUHPerdata. Pengertian tentang perjanjian ditemukan dalam pasal 1313 KUHPerdata, yang berbunyi sebagai berikut: “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Definisi yang lebih jelas dikemukakan oleh subekti, dimana Ia memberikan perumusan bahwa “perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 11 Untuk melengkapi definisi perjanjian yang terdapat dalam pasal 1313 KUHPerdata, Setiawan menyatakan pendapatnya bahwa: a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum. b. Perlu ditambahkan dengan kata-kata “atau saling mengikatkan dirinya” dalam pasal 1313 KUH Perdata. 10 Ibid, h. 17 11 Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1990, h. 1 Rita Dyah Widawati : Tanggungjawab Induk Perusahaan Terhadap Perikatan Yang Dilakukan Oleh Anak Perusahaan, 2009 Sehingga dengan saran tersebut ia memberi definisi perjanjian adalah ”suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih “ 12 Terhadap definisi perjanjian tersebut, para sarjana dan ahli hukum pada umumnya memiliki pendapat yang seragam yaitu bahwa definisi perjanjian tersebut tidak lengkap dan terlalu luas. Kiranya pandapat Sutan Remy Sjahdeini dapat dijadikan barometer karena penjabaran luas lingkup kebebasan berkontrak cukup jelas dan mudah dicerna, seperti dikutip Cornelius Simanjuntak dan Natalie Mulia, yaitu: a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian; b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian; c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kuasa dari perjanjian yang akan dibuatnya; d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian; e. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan Undang-Undang yang bersifat opsional aanvullend, optional. 13 Perjanjian dikatakan wanprestasi apabila salah satu pihak tidak memenuhi prestasi yang telah dibuat. Cornelius Simanjuntak dan Natali Mulia, mendefinisikan wanprestasi: Wanprestasi sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya, dilakukan tidak menurut selayaknya. Bahwa seorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi apabila ia dalam melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehingga terlambat dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut sepatutnya selayaknya. 14 12 Setiawan, Pokok-Pokok Perikatan, Putra A.Bardin, Bandung,1999,h. 49 13 Cornelius Simanjuntak Dan Natalie Mulia, Merger Perusahaan Publik Suatu Kajian Hukum Korporasi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.27. 14 Ibid, h.31 Rita Dyah Widawati : Tanggungjawab Induk Perusahaan Terhadap Perikatan Yang Dilakukan Oleh Anak Perusahaan, 2009 Abdul kadir Muhammad menambahkan bahwa untuk menentukan apakah debitor melakukan wanprestasi perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana seorang debitor dikatakan “sengaja” atau “lalai” tidak memenuhi prestasi, yaitu empat keadaan: 1. Debitor tidak memenuhi prestasi sama sekali; 2. Debitor memenuhi prestasi, tidak baik atau keliru; 3. Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya; atau 4. Melakukan sesuatu yang menurut pejanjian tidak boleh dilakukan. Akibat timbul dari wanprestasi adalah keharusan bagi debitor untuk membayar “ganti rugischadervergoeding” atau “pembatalan perjanjian”. 15 Sebagai salah satu asas yang ada dalam kaedah hukum perjanjian, maka asas kesepakatan dalam mengadakan perjanjian adalah merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Karena dalam setiap perjanjian harus ada kesepakatan atau persetujuan dari kedua belah pihak yang berjanji, kesepakatan dalam mengadakan perjanjian ini di dasarkan pada pasal 1338 ayat I KUHPerdata yang menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu, apabila terjadi suatu sengketa karena salah satu pihak melanggar isi perjanjian, maka pihak lainnya dapat membawanya ke pengadilan dan apabila terbukti memang demikian kejadiannya, hakim dapat menghukum pihak yang salah berdasar perjanjian itu. Perbedaan dengan perundang-undangan adalah dalam hal bahwa perjanjian hanya berlaku bagi pihak yang membuatnya saja, tidak mengikat orang lain atau masyarakat umumnya, sedangkan perundang-undangan berlaku umum kepada semua pihak yang menjadi subjek pengaturannya. Perbedaan lainnya perjanjian diciptakan oleh atas 15 Ibid, h. 32 Rita Dyah Widawati : Tanggungjawab Induk Perusahaan Terhadap Perikatan Yang Dilakukan Oleh Anak Perusahaan, 2009 inisiatif pihak-pihak tersebut “dari bawah”, sedangkan perundang-undangan dipaksakan berlaku “dari atas” meskipun dalam perbuatannya terdapat partisipasi rakyat secara langsung melalui lembaga perwakilannya” 16 Bagi kalangan bisnis, perjajian ini sering dibuat sebagai pedoman atau pegangan dalam pelaksanaan transaksi bisnis atau penyelesaian sengketa apabila terjadi perselisihan. Oleh karena itu perlu di buat secara cermat dan teliti untuk dapat digunakan dalam praktek. Selain itu perlu disimpan baik sebagai dokumen untuk dijadikan bukti apabila terjadi sengketa dikemudian hari. Perjanjian yang baik dapat mengurangi resiko bisnis dan sampai pada tingkat tertentu mencegah ketidakpastian. Ketentuan mengikat bagi para pihak yang mengadakan perjanjian baik terhadap materi perjanjian yang ada disebutkan dalam perjanjian, semakin dipertegas lagi isinya dalam pasal 1339 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi jugauntuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Jadi setiap orang yang membuat perjanjian, dia terikat untuk memenuhi isi dari pada perjanjian tersebut. Karena isi suatu perjanjian mengandung janji-janji yang mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang yang isinya wajib dipatuhi dan harus dilaksanakan. Asas kesepakatan dalam mengadakan perjanjian ini ada pula yang mendasarkan pada pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya perjanjian, dalam pasal 1320 KUHPerdata menetapkan bahwa untuk sahnya perjanjian perlukan empat syarat : 16 Sanusi Bintang dan Dahlan, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h.11 Rita Dyah Widawati : Tanggungjawab Induk Perusahaan Terhadap Perikatan Yang Dilakukan Oleh Anak Perusahaan, 2009 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal. Asas kesepakatan dalam mengadakan perjanjian adalah merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan perjanjian. Hal ini juga tidak terlepas dari sifat buku III KUHPerdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak sering mengenyampingkan kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa. H.F Vollmar di dalam bukunya” Including Tot The Studie Van Het Nederlands Burgerlijk Recht” 1 mengatakan bahwa “ditinjau dari sisinya ternyata bahwa perikatan itu ada selama seseorang itu debitur harus melakukan suatu prestasi yang mungkin dapat dipaksakan terhadap kreditur kalau perlu dengan bantuan hakim” 17 Sedangkan menurut Van Der burght Gr “ perikatan adalah suatu hubungan hukum serta kekayaan antara dua orang atau lebih yang menurut ketentuan seseorang atau lebih berhak atas sesuatu sedangkan yang seorang lagi atau lebih berkewajiban untuk itu”. 18 Ketentuan-ketentuan umum tentang perikatan diatur dalam pasal 1233 dan pasal 1234 KUHPerdata yang beribunyi sebagai berikut: a. Pasal 1233 KUHPerdata menyebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan dan baik karena undang-undang; 17 Subekti, op.cit., h. 1 18 Van Der Burght Gr, Perikatan Dalam Teori Dan Yurisprudensi, Mandar Maju, Bandung, 1999, h. 1 Rita Dyah Widawati : Tanggungjawab Induk Perusahaan Terhadap Perikatan Yang Dilakukan Oleh Anak Perusahaan, 2009 b. Pasal 1234 KUHPerdata menyebutkan bahwa tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Berdasar ketentuan pasal 1233 KUHPerdata tersebut diatas, secara jelas dapat kita ketahui bahwa sumber dari perikatan adalah berasal dari persetujuan dan undang-undang. Dalam ketentuan pasal 1234 KUHPerdata disebutkan mengenai adanya suatu bentuk prestasi yang terdapat dalam suatu perikatan. Dengan demikian keduanya juga berbeda dengan konsekuensi hukumnya. Pada perjanjian oleh karena dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihak maka tidak dipenuhinya prestasi dalam perjanjian akan menimbulkan ingkar janji wanprestasi, sedangkan tidak di penuhinya suatu prestasi dalam perikatan menimbulkan konsekuensi hukum sebagai perbuatan melawan hukum. Wanprestasi ingkar janji berarti tidak melaksanakan isi kontrak pada pihak-pihak sebelumnya telah sepakat melaksanakannya. Untuk mencegah wanprestasi dan memberi keadilan serta kepastian hukum kepada pihak-pihak, hukum menyediakan sanksi berupa ganti rugi, pembatalan perjanjian dan peralihan resiko. 19 Sanksi demikian merupakan sanksi perdata karena masalah kontrak menyangkut kepentingan pribadi, yang berbeda dengan sanksi pidana berupa hukuman fisik pemenjaraan terhadap pelaku kejahatan atau tindak pidana tertentu sebagaimana di atur dalam hukum pidana. 19 Sanusi Bintang dan Dahlan, op. cit. h. 11 Rita Dyah Widawati : Tanggungjawab Induk Perusahaan Terhadap Perikatan Yang Dilakukan Oleh Anak Perusahaan, 2009 Induk perusahaan yang merupakan perusahaan mandiri dan yang mendirikan atau membentuk anak perusahaan yang mandiri pula dalam batas-batas tertentu dalam membuat perjanjian dan perbuatan-perbuatan hukum perusahaan lainnya dengan pihak ke tiga masih turut campur dalam penentuannya. Hal ini tentu berhubungan dengan adanya kepemilikan mayoritas saham yang dimiliki induk perusahaan sehingga induk perusahaan dapat mengendalikan anak perusahaannya. Bila terjadi wanpretasi atas perjanjian yang telah dibuat oleh anak perusahaan, kalau di lihat dari sifat kemandirian anak perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas tentunya induk perusahaan tidak dapat di minta pertanggung jawabannya, karena setiap perusahaan yang melakukan perbuatan hukum tentunya hanya perusahaan tersebutlah yang dapat menikmati dan mempertanggung jawabkan segala akibat yang ditimbulkannya.

2. Konsepsi Pemakaian konsep perlu di jelaskan bahwa konsepsi adalah satu bagian terpenting