Hak Istimewa Dalam Perjanjian Pemberian Garansi Oleh Induk Perusahaan Terhadap Anak Perusahaan Dalam Kepailitan
HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN
GARANSI OLEH INDUK PERUSAHAAN TERHADAP
ANAK PERUSAHAAN DALAM KEPAILITAN
TESIS
Oleh
IRMA ATIKA RANGKUTI 097005058 / HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
dalam Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
IRMA ATIKA RANGKUTI 097005058/HK
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
Judul Tesis : HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI OLEH INDUK PERUSAHAAN TERHADAP ANAK PERUSAHAAN DALAM KEPAILITAN
Nama Mahasiswa : Irma Atika Rangkuti Nomor Pokok : 097005058
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H, M.H) Ketua
(Prof. Dr. Sunarmi, S.H, M.Hum) (Dr. Mahmul Siregar, S.H, M.Hum)
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Dekan
Prof. Dr. Suhaidi, S.H,M.H) (Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum)
(4)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H, M.H
Anggota : 1. Prof. Dr. Sunarmi, S.H, M.Hum
2. Dr. Mahmul Siregar, S.H, M.Hum 3. Dr. Hasim Purba, S.H, M.Hum 4. Dr. Dedi Harianto, S.H, M.Hum
(5)
ABSTRAK
Keberadaan garansi/jaminan berguna memperkecil risiko, yaitu sarana perlindungan bagi keamanan kreditur berupa kepastian hukum akan pelunasan utang debitur. Ketentuan yang mengatur masalah penjaminan utang diatur dalam Bab ketujuh belas mulai dari Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pemberian jaminan, seorang penjamin/guarantor memiliki hak istimewa tetapi biasanya kreditor akan meminta supaya penjamin melepaskan hak-hak istimewanya tersebut, padahal pemberian hak-hak istimewa tersebut adalah wujud perlindungan Undang-Undang terhadap penjamin/guarantor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan hak istimewa dalam perjanjian pemberian garansi/jaminan, mengetahui hubungan hukum antara induk perusahaan dan anak perusahaan, dan untuk mengetahui tanggung jawab induk perusahaan sebagai penjamin/guarantor terhadap kepailitan anak perusahaan dalam perjanjian pemberian garansi/jaminan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif yaitu penelitian terhadap bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier. Teknik Pengumpulan data melalui penelusuran dokumen-dokumen maupun buku-buku ilmiah untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum positif yang sesuai dengan objek yang akan ditelit Alat Pengumpulan data yang dipergunakan berupa dokumen. Teknik analisis data yang dipakai adalah teknik analisis kualitatif.
Dalam perjanjian pemberian garansi/jaminan diatur mengenai hak-hak istimewa yang dimiliki oleh penjamin/guarantor yang pengaturannya sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata. Hak istimewa seorang penjamin/guarantor tersebut memang dapat dihilangkan ketika melakukan perjanjian pemberian garansi/jaminan, namun hal ini merugikan penjamin/guarantor karena seolah-olah yang berutang adalah si penjamin/guarantor, padahal yang berutang adalah debitor. Sebaiknya debitor yang melunasi utangnya tersebut terlebih dahulu, apabila jumlah pembayaran utang tidak mencukupi oleh harta debitor, maka penjamin/guarantor yang harus membayar terhadap sisa utang debitor tersebut.
Kata Kunci: Hak Istimewa, Pemberian Garansi, Induk Perusahaan dan Anak Perusahaan, Kepailitan.
(6)
off his debt. The provision which regulates the case of guarantor is stipulated in Chapter 17, from Article 1820 to Article 1850 of the Civil Code. In giving the guarantee, a guarantor has a privilege, but a creditor usually ask him to release the privilege. The fact is that the guarantor’s privilege is the realization of legal protection to the guarantor. This research was aimed to know the regulation of this privilige in the agreement of giving guarantee, the legal connection between a holding company and its subsidiary, and the holding company’s responsibility as the guarantor for its subsidiary’s bankruptcy in the agreement of giving guarantee.
The method of the research was judicial formative by conducting library research or secondary data which consisted of primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. The data were gathered by using scientific documents or books to obtain theoritical framework, such as positive legal materials. The device of gathering the data was documents. The data were analyzed qualitatively.
The agreement of giving the guarantee regulates the guarantor’s privilige. This is in accordance with the provisions in the Civil Code. In reality, the guarantor’s privilige can be eliminited when the agreement of giving the guarantee is signed, but this will harm the guarantor because it seems that he is the one who owes and not the debtor. It is recommended that the debtor should pay off his debt; if he fails to do it, then the guarantor will pay off the rest of the debtor’s debt.
Keywords: Privilige, Giving the Guarantee, holding Company and Subsidiary, Bankruptcy.
(7)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan rahmat dan hidayatnya, saya sebagai penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul Hak Istimewa Dalam Perjanjian Pemberian Garansi Oleh Induk Perusahaan Terhadap Anak Perusahaan Dalam Kepailitan.
Tesis ini berjudul Hak Istimewa Dalam Perjanjian Pemberian Garansi Oleh Induk Perusahaan Terhadap Anak Perusahaan Dalam Kepailitan yang merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Dengan segala keterbatasan, penulis berharap kiranya penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca sekalian.
Penulis yakin dengan pepatah yang mengatakan “tiada gading yang tak retak” artinya bahwa tiada manusia yang luput dari kesalahan yang diperbuatnya, oleh karena itu penulis akan dengan senang hati menerima saran dan kritikan yang bersifat konstruktif dan edukatif demi kesempurnaan penulisan tesis yang penulis buat ini.
Di dalam hal pembuatan tesis ini penulis yakin tidak akan terselesaikan begitu saja tanpa adanya arahan, bimbingan, dorongan, motivasi dari orang-orang yang ada disekitar penulis, baik yang bersifat moril ataupun materil. Oleh karena itu pada kesempatan yang baik ini, perkenankanlah dengan segala kerendahan hati penulis menghaturkan rasa terima kasih secara khusus kepada yang terhormat:
1. Bapak, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc, (CTM), SP.A(K), selaku Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara atas kesempatan menjadi mahasiswi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.
(8)
Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H, M.H, selaku Komisi Pembimbing Utama
Penulis.
5. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum selaku Komisi Pembimbing Kedua Penulis.
6. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H, M.Hum selaku Komisi Pembimbing Ketiga
penulis.
7. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H, M.Hum selaku Komisi Penguji Penulis. 8. Bapak Dr. Dedi Harianto, S.H, M.Hum selaku Komisi Penguji Penulis.
Yang telah banyak membantu penulis dengan memberikan arahan, bimbingan, petunjuk dan dorongan semangat serta motivasi untuk kesempurnaan penulisan ini hingga bisa terselesaikan. Atas segala bantuan tersebut, penulis berdoa kepada Allah Swt agar para pembimbing dan para penguji penulis senantiasa mendapat lindungan, rahmat, hidayah dan kasihNya dan senantiasa mendapatkan kebahagiaan di dunia dalam menjalani kehidupan serta pengabdian tugasnya sebagai kalangan akademisi dan di akhirat kelak.
Selanjutnya penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Darma Yamin Rangkuti dan Ibunda penulis
Wardah, S.Pd atas doa, kasih sayang, cinta, bimbingan, motivasi dan perhatian yang tiada hentinya, hingga terselesaikannya tesis ini. Oleh karena itu penulis
(9)
berdoa semoga Allah Swt senantiasa memberikan perlindunganNya, memberikan kebahagiaan, kesehatan serta umur yang panjang.
2. Adik Muhammad Ridho Luthfi Rangkuti, S.H dan Muhammad Taufik Akbar
Rangkuti semoga senantiasa dalam lindungan Allah Swt dan senantiasa dimudahkan segala cita-citanya.
3. Briptu Rivai Irwan atas kesabaran dan motivasi yang diberikan.
4. Rekan-rekan mahasiswa seperjuangan pada Program Studi magister Ilmu Hukum
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.
5. Semua Pihak yang tak mampu penulis sebutkan satu persatu.
Demikianlah kata pengantar dari penulis ini. Akhir kata dengan segala
kekurangan dan segala keterbatasan penulis berharap semoga penulisan tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca sekalian.
Medan, Juli 2011
Penulis
(10)
Nama : Irma Atika Rangkuti
Tempat/Tanggal Lahir : Perdagangan, 06 September 1987
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : 1. SD Satrya Budi Perdagangan (1993-1999)
2. SLTP Negeri 1 Bandar Perdagangan (1999-2002) 3. SMU Al-Azhar Medan (2002-2005)
4. S-1 Fakultas Hukum UISU (2005-2009)
(11)
DAFTAR ISI
ABSTRAK... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
BAB I : PENDAHULUAN... 1
A...Latar Belakang ... 1
B...Permasa lahan ... 9
C...Tujuan Penelitian ... 9
D...Manfaat Penelitian ... 10
E...Keaslian Penelitian ... 10
F...Kerangk a Teori dan Konsepsi... 11
1...Kerangk a Teori... 11
(12)
G. Metode Penelitian... 24
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 25
2. Sumber Data... 26
3. Tekhnik Pengumpulan Data... 27
4. Analisis Data ... 28
BAB II: PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI... 29
A...Perjanjia n Pemberian Garansi/jaminan ... 29
B...Pentingn ya Perjanjian Pemberian Garansi/Jaminan... 33
C...Akibat Hukum Perjanjian Pemberian Garansi/Jaminan ... 38
D...Akibat Hukum Penjamin/Guarantor yang Melepaskan Hak Istimewanya ... 73
(13)
E...Pengatur an Hak Istimewa Dalam Perjanjian Pemberian Garansi/Jaminan
... 46
BAB III: HUBUNGAN HUKUM INDUK PERUSAHAAN DENGAN
ANAK PERUSAHAAN ... 50
A...Induk Perusahaan dan Anak Perusahaan ... 50 1... Induk
Perusahaan ... 50 2...Anak
Perusahaan ... 54 B...Hubung
an Hukum Induk Perusahaan Dengan Anak
Perusahaan... 58
BAB IV: TANGGUNG JAWAB INDUK PERUSAHAAN SEBAGAI PENJAMIN/GUARANTOR TERHADAP KEPAILITAN
ANAK PERUSAHAAN DALAM PERJANJIAN
PEMBERIAN GARANSI. ... 70
A...Kedudu kan Guarantor Dalam kepailitan... 70
(14)
Guarantor Terhadap Kepailitan Anak Perusahaan Dalam
Perjanjian Pemberian Garansi ... 75
C.Kasus Induk Perusahaan (PT. Ometraco Corp. Tbk)
Sebagai Penjamin/Guarantor (Corporate Guarantee) Terhadap Kepailitan Anak Perusahaan (PT. Ometraco
Multi Artha). ... 81
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN... 90
A...Kesimp ulan ... 90 B...Saran
... 94
(15)
ABSTRAK
Keberadaan garansi/jaminan berguna memperkecil risiko, yaitu sarana perlindungan bagi keamanan kreditur berupa kepastian hukum akan pelunasan utang debitur. Ketentuan yang mengatur masalah penjaminan utang diatur dalam Bab ketujuh belas mulai dari Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pemberian jaminan, seorang penjamin/guarantor memiliki hak istimewa tetapi biasanya kreditor akan meminta supaya penjamin melepaskan hak-hak istimewanya tersebut, padahal pemberian hak-hak istimewa tersebut adalah wujud perlindungan Undang-Undang terhadap penjamin/guarantor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan hak istimewa dalam perjanjian pemberian garansi/jaminan, mengetahui hubungan hukum antara induk perusahaan dan anak perusahaan, dan untuk mengetahui tanggung jawab induk perusahaan sebagai penjamin/guarantor terhadap kepailitan anak perusahaan dalam perjanjian pemberian garansi/jaminan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif yaitu penelitian terhadap bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier. Teknik Pengumpulan data melalui penelusuran dokumen-dokumen maupun buku-buku ilmiah untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum positif yang sesuai dengan objek yang akan ditelit Alat Pengumpulan data yang dipergunakan berupa dokumen. Teknik analisis data yang dipakai adalah teknik analisis kualitatif.
Dalam perjanjian pemberian garansi/jaminan diatur mengenai hak-hak istimewa yang dimiliki oleh penjamin/guarantor yang pengaturannya sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata. Hak istimewa seorang penjamin/guarantor tersebut memang dapat dihilangkan ketika melakukan perjanjian pemberian garansi/jaminan, namun hal ini merugikan penjamin/guarantor karena seolah-olah yang berutang adalah si penjamin/guarantor, padahal yang berutang adalah debitor. Sebaiknya debitor yang melunasi utangnya tersebut terlebih dahulu, apabila jumlah pembayaran utang tidak mencukupi oleh harta debitor, maka penjamin/guarantor yang harus membayar terhadap sisa utang debitor tersebut.
Kata Kunci: Hak Istimewa, Pemberian Garansi, Induk Perusahaan dan Anak Perusahaan, Kepailitan.
(16)
off his debt. The provision which regulates the case of guarantor is stipulated in Chapter 17, from Article 1820 to Article 1850 of the Civil Code. In giving the guarantee, a guarantor has a privilege, but a creditor usually ask him to release the privilege. The fact is that the guarantor’s privilege is the realization of legal protection to the guarantor. This research was aimed to know the regulation of this privilige in the agreement of giving guarantee, the legal connection between a holding company and its subsidiary, and the holding company’s responsibility as the guarantor for its subsidiary’s bankruptcy in the agreement of giving guarantee.
The method of the research was judicial formative by conducting library research or secondary data which consisted of primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. The data were gathered by using scientific documents or books to obtain theoritical framework, such as positive legal materials. The device of gathering the data was documents. The data were analyzed qualitatively.
The agreement of giving the guarantee regulates the guarantor’s privilige. This is in accordance with the provisions in the Civil Code. In reality, the guarantor’s privilige can be eliminited when the agreement of giving the guarantee is signed, but this will harm the guarantor because it seems that he is the one who owes and not the debtor. It is recommended that the debtor should pay off his debt; if he fails to do it, then the guarantor will pay off the rest of the debtor’s debt.
Keywords: Privilige, Giving the Guarantee, holding Company and Subsidiary, Bankruptcy.
(17)
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Setiap perusahaan pasti terlibat dalam suatu transaksi. Karena hal tersebut sejalan dengan kegiatan perusahaan yang secara terus menerus dan tanpa putus serta sifatnya terbuka. Transaksi dilakukan sebagai tempat untuk menampung bertemunya suatu kesepakatan yang disebut perjanjian.1 Salah satu perjanjian yang dilakukan adalah perjanjian kredit. Perjanjian kredit sering digunakan dalam perusahaan untuk memenuhi kekurangan modal perusahaan tersebut sehingga perusahaan dapat melaksanakan kegiatan usahanya.
Perjanjian kredit adalah “perjanjian pokok atau perjanjian induk yang mengatur hak dan kewajiban antara kreditor dan debitor. Kreditor berkewajiban mencairkan pinjaman sebesar pinjaman yang disetujui dan debitor berkewajiban mengembalikan pinjaman sesuai jadwal waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kredit.”2
Perjanjian kredit dapat berupa pinjaman kredit dari bank ataupun fasilitas pinjaman dari kreditur. Namun bagi para kreditur khususnya Bank, setiap pemberian kredit atau pinjaman memiliki resiko, walaupun telah dilakukan berbagai analisis secara seksama. Resiko tersebut seperti debitor tidak mampu
1
Gatot Supramono, Kedudukan Perusahaan Sebagai Subjek Dalam Gugatan Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hal. 5.
2
(18)
pendapatan usaha debitor atau memang debitor sengaja tidak mau membayar karena karakter debitor yang tidak baik. Oleh karena itu perlu pengamanan dalam pengembaliannya. Bentuk pengamanan ini dalam prakteknya dilakukan dalam pemberian garansi/jaminan.3
Keberadaan garansi/jaminan merupakan upaya guna memperkecil risiko, dimana garansi/jaminan adalah sarana perlindungan bagi keamanan kreditur yaitu kepastian hukum akan pelunasan utang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi
oleh debitur atau oleh penjamin debitur.4 Dalam pemberian garansi/jaminan
sendiri dibagi menjadi dua bagian, yaitu pemberian garansi/jaminan yang dilakukan oleh pribadi (personal guarantee) dan pemberian garansi/jaminan yang dilakukan oleh badan hukum (corporate guarantee). Pada dasarnya keduanya memiliki prinsip yang sama, karena baik hak dan kewajiban yang dimiliki pemberi garansi (penjamin) pada kedua jenis penanggungan tersebut identik, hanya saja subjek pelakunya berbeda.5
Pemberian garansi/jaminan yang dilakukan oleh pribadi (personal
guarantee) dan pemberian garansi/jaminan yang dilakukan oleh perusahaan
(corporate guarantee), berupa pernyataan oleh seorang pihak ketiga (guarantor/penjamin), bahwa debitor dapat dipercaya akan melaksanakan
3
Megarita, Upaya Mencegah Timbulnya Kredit Bermasalah, Jurnal Hukum USU vol 12 No. 1, Februari 2007, hal. 65.
4
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Kebendaan Lain Yang Melekat Pada Tanah dalam Konsep Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 23.
5
(19)
3
kewajiban yang diperjanjikan. Dengan syarat bahwa apabila debitor tidak melaksanakan kewajibannya maka pihak ketiga itu bersedia untuk melaksanakan kewajiban debitor tersebut. Adanya garansi/jaminan ini, pihak kreditor dapat menuntut kepada penjamin untuk membayar utang debitor bila debitor lalai atau tidak mampu untuk membayar utangnya tersebut.
Ketentuan yang mengatur masalah penjaminan utang diatur dalam Bab ketujuh belas mulai dari Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1820 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Penjamin/Guarantee adalah suatu perjanjian/persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang itu sendiri tidak dapat memenuhinya.”
Perjanjian pemberian garansi/jaminan ini bersifat sukarela dan accesoir. Dikatakan sukarela karena pihak ketiga secara sukarela bersedia mengikatkan dirinya untuk memberikan jaminan bahwa ia akan membayar utangnya kepada debitor, bahkan dapat dilakukan tanpa sepengetahuan debitor.6 Bersifat accesoir artinya bahwa perjanjian penjaminan utang tidak akan ada tanpa adanya suatu perjanjian pokok,7 Penjaminan juga tidak dapat dilakukan melebihi kewajiban debitor sebagaimana tercantum dalam perjanjian pokok. Hal ini diatur pada Pasal
1822 KUHPerdata.8 Sebagai perjanjian accesoir, eksistensi perjanjian
6
Pasal 1823 KUHPerdata.
7
Pasal 1821 KUHPerdata.
8
(20)
Pada umumnya perjanjian pendahuluan ini berupa perjanjian utang piutang, perjanjian pinjam meminjam uang, perjanjian kredit, atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang. Kehadiran perjanjian utang piutang tersebut menjadi dasar timbulnya perjanjian garansi/jaminan, atau sebaliknya dengan berakhirnya perjanjian pendahuluan, berakhir pula perjanjian jaminannya. Dalam perjanjian utang piutang, diperjanjikan pula antara debitor dan kreditor bahwa pinjamannya tersebut dibebani pula dengan suatu garansi/jaminan, yang selanjutnya diikuti dengan pengikatan garansi/jaminan, yang dapat berupa pengikatan jaminan kebendaan atau jaminan perseorangan.9
Sebagai perjanjian ikutan, eksistensi perjanjian garansi/jaminan amat tergantung kepada perjanjian pendahuluannya yang menjadi dasar timbulnya pengikatan jaminan. Artinya perjanjian garansi/jaminan dimaksudkan untuk mengubah kedudukan kreditor-kreditornya menjadi kreditor preferent. Akibatnya kreditor akan merasa aman dan memperoleh kepastian atas pelunasan pinjaman yang diberikan olehnya kepada debitor, karena diikuti dengan pemberian garansi/jaminan kepada kreditor. Untuk itulah dikatakan bahwa perjanjian pemberian garansi/jaminan merupakan perjanjian tambahan dari perjanjian
9
(21)
pendahulunya/perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian yang akan lebih memperkuat perjanjian pendahulunya.10
5
Apabila debitor tidak dapat melaksanakan kewajibannya kepada kreditor maka salah satu sarana hukum yang dapat dipergunakan bagi penyelesaian utang piutang adalah peraturan kepailitan. Pada asasnya setiap kreditur yang tidak terpenuhi piutangnya dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan sesuai dengan syarat-syarat yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.11
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur mengenai pemberian garansi (penjaminan). Dalam istilah Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebut penanggungan yang diatur dalam Pasal 141, Pasal 164 dan Pasal 165. Dari bunyi pasal-pasal tersebut tidak tertulis bahwa penjamin/guarantor tidak dapat diajukan pernyataan pailit terhadapnya. Hal ini senada dengan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUHPerdata yang mengatur mengenai pemberian garansi (penjaminan). Pasal 1820 menyatakan bahwa “Penanggungan/penjaminan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan kreditor, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya debitor manakala orang ini sendiri tidak
10
Ibid., hal. 86-87.
11
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan,(Jakarta:PT. Pustaka Utama Grafiti, 2009), hal. 26-28.
(22)
berkewajiban melunasi utang debitor kepada kreditor atau para kreditornya apabila tidak membayar utang yang telah jatuh waktu dan atau dapat ditagih. Oleh karena penjamin/guarantor adalah debitor, maka penjamin/guarantor dapat dinyatakan pailit berdasarkan Undang-Undang Kepailitan.12
Apabila penjamin/guarantor dapat dinyatakan pailit, bagaimana dengan hak istimewa yang dimilikinya berdasarkan ketentuan Pasal 1831 KUHPerdata, yang menyatakan “penjamin tidaklah diwajibkan membayar kepada kreditor, selain jika debitor lalai, sedangkan benda-benda debitor ini harus lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya”. Hak istimewa ini memungkinkan bahwa kekayaan penjamin/guarantor hanya merupakan cadangan untuk menutup sisa utang yang tidak dapat ditutup dengan kekayaan debitor. Selain hak istimewa tersebut, penjamin/guarantor juga memiliki hak-hak istimewa lain, yaitu hak untuk meminta pemecahan utang apabila terdapat lebih dari satu orang penjamin yang dimuat dalam Pasal 1837 KUHPerdata dan hak dibebaskan dari penjaminan bilamana karena salahnya kreditor, si penjamin tidak dapat menggantikan hak-haknya Hipotik/Hak Tanggungan dan hak-hak istimewa yang dimiliki kreditor
sebagaimana dimuat dalam Pasal 1848 dan 1849 KUHPerdata.13
12
Ibid., hal.98.
13
(23)
Tetapi biasanya kreditor akan meminta supaya penjamin melepaskan hak-hak istimewanya tersebut, padahal pemberian hak-hak-hak-hak istimewa tersebut adalah wujud perlindungan Undang-Undang terhadap penjamin/guarantor. Memang dalam hal ini KUHPerdata juga memberikan peluang bagi guarantor/penjamin secara sukarela melepaskan hak istimewanya tersebut, yang memberikan kepada kreditor suatu kedudukan yang lebih menguntungkan. Dalam perkara-perkara kepailitan selama ini, lepasnya hak istimewa dari guarantor/penjamin tersebut kerap menjadi sebab dimohonkannya guarantor/penjamin untuk pailit. Oleh karena itu, masalah dapat atau tidaknya penjamin/guarantor dimintakan pailit harus dikaitkan dengan persoalan, apakah penjamin/guarantor yang bersangkutan sesuai kemungkinan yang diberikan padanya oleh Pasal 1832 KUHPerdata, melepaskan hak istimewa yang dimiliki olehnya sebagai penjamin/guarantor
berdasarkan Pasal 1831 KUHPerdata.14
7
Salah satu contoh pemberian garansi/jaminan yang dilakukan oleh perusahaan (corporate guarantee) adalah pada kasus No. 05/Pailit/1998/PN Niaga, dalam hal ini PT. Ometraco (induk perusahaan) sebagai pemberi garansi (guarantor) atas utang anak perusahaannya yaitu PT. Ometraco Multi Artha, karena PT. Ometraco Multi Artha (anak perusahaannya) tersebut lalai, maka PT. Ometraco selaku guarantor yang dalam hal ini melepaskan hak istimewanya dengan mengikatkan dirinya secara tanggung renteng yang tertuang dalam
14
Sunarmi, Kedudukan Guarantor Dalam Kepailitan, Majalah Hukum USU vol 8 No. 2, Agustus 2003, hal. 125.
(24)
induk perusahaan bertanggung jawab kepada kreditor terhadap pelunasan utang anak perusahaannya tersebut.
Dalam perusahaan grup (holding company) terdapat induk perusahaan dan anak perusahaan, hubungan hukum yang timbul antara induk perusahaan dengan anak perusahaannya merupakan hubungan antara pemegang saham (induk perusahaan) dengan anak perusahaan. Salah satu fungsi kepemilikan saham induk perusahaan pada anak perusahaan adalah kepemilikan saham pada anak perusahaan memberikan hak suara kepada induk perusahaan untuk mengendalikan anak perusahaan melalui berbagai mekanisme pengendalian yang ada, seperti rapat umum pemegang saham untuk mendukung konstruksi perusahaan grup sebagai kesatuan ekonomi.15
Meskipun dari sudut kegiatan ekonomi perusahaan grup tersebut merupakan suatu kesatuan, namun dari segi yuridis masing-masing perusahaan anggota grup tersebut mempunyai karakteristik tersendiri dalam pengertian bahwa masing-masing perusahaan yang bergabung dalam perusahaan grup adalah merupakan badan-badan hukum yang berdiri sendiri. Apabila salah satu anak perusahaan memperoleh kredit dari kreditor, maka keterikatan secara yuridis
15
Sulistiowati, Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2010), hal. 96.
(25)
dari induk perusahaan dapat muncul karena sebagai pemegang saham ia ikut bertanggung jawab terhadap pelunasan utang dari kreditor tersebut.16 9
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan hak istimewa dalam perjanjian pemberian garansi?
2. Bagaimana hubungan hukum antara induk perusahaan dan anak
perusahaan?
3. Bagaimana tanggung jawab induk perusahaan sebagai penjamin/guarantor
terhadap kepailitan anak perusahaan dalam perjanjian pemberian garansi?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaturan hak istimewa dalam perjanjian pemberian
garansi.
2. Untuk mengetahui hubungan hukum antara induk perusahaan dan anak
perusahaan.
3. Untuk mengetahui tanggung jawab induk perusahaan sebagai
penjamin/guarantor terhadap kepailitan anak perusahaan dalam perjanjian pemberian garansi.
16
(26)
D. Manfaat Penelitian
Selain tujuan-tujuan tersebut di atas, penulisan tesis ini juga diharapkan bermanfaat untuk berbagai hal di antaranya:
1. Secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran secara teoritis dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum kepailitan.
2. Secara praktis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
a. Memberikan sumbangan kepada penegak hukum terutama dalam
menyelesaikan masalah hukum yang berkenaan dengan hukum kepailitan.
b. Dengan adanya penelitian ini maka penulis dapat memberikan gambaran
hukum tentang bagaimana hak istimewa dalam perjanjian pemberian garansi oleh induk perusahaan terhadap anak perusahaan dalam kepailitan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran yang telah dilakukan oleh penulis di perpustakaan Universitas Sumatera Utara maka diketahui bahwa belum ada penelitian yang serupa dengan apa yang menjadi bidang dan ruang lingkup penelitian ini, yaitu mengenai “Hak Istimewa Dalam Perjanjian Pemberian Garansi Oleh Induk Perusahaan Terhadap Anak Perusahaan Dalam Kepailitan”.
(27)
11
Akan tetapi ada tesis terdahulu yang menyangkut dengan masalah kepailitan, yaitu:
1. Halida Rahardini, tesis pada tahun 2002 dengan judul “Analisis Hukum
Terhadap Tanggung Jawab Direktur Dalam Hal Terjadi Kepailitan Perseroan.”
2. Atmawati, tesis pada tahun 2003 dengan judul “Penyelesaian Utang
Piutang Melalui Hukum kepailitan Suatu Antisipasi terhadap Kredit Bermasalah.”
Meskipun demikian, permasalahan dan penyajian dari penelitian ini tidaklah sama dengan penelitian tersebut, Oleh karena itu penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif, dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.
F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori
Teori yang dipergunakan dalam membahas permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah teori hukum tentang keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles. Teori keadilan dipergunakan karena relevan dengan filosofi dari kepaillitan itu sendiri yakni menciptakan keadilan bagi debitor dan para kreditor. Keadilan menurut Aristoteles adalah peraturan yang
(28)
mampu memelihara keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi dimana setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya.17 Aristoteles juga mengemukakan dua macam keadilan yaitu:18
a. Keadilan Distributif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap
orang jatah menurut jasanya, ia tidak dibenarkan menuntut bagian yang sama banyaknya.
b. Keadilan Komutatif adalah keadilan yang memberikan pada setiap orang
sama banyaknya tanpa mengingat jasa-jasa perorangan.
Beliau juga mengatakan keadilan adalah perlakuan yang sama bagi mereka yang sederajat di depan hukum.19 Seseorang berlaku tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya, orang yang tidak menghiraukan hukum adalah tidak adil karena semua hal yang didasarkan pada hukum dapat dianggap sebagai adil.20
Senada dengan hal tersebut John Rawls berpendapat keadilan adalah ukuran dari keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan
bersama.21 Keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditawar-tawar karena
hanya dengan keadilan ada jaminan stabilitas hidup manusia. Agar tidak terjadi benturan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama itu perlu aturan-aturan.
17
M. Solly Lubis, Diktat Teori Hukum, (Medan: USU, 2010), hal. 24.
18
Ibid.
19
Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction, Terjemahan Wishnu Bhakti, (Jakarta: PT. Tata Nusa, 2001), hal. 4.
20
Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Filsafat Hukum, (Medan: USU, 2010), hal. 5-12.
21
(29)
13
Disinilah diperlukan hukum sebagai wasitnya. Pada masyarakat yang telah maju, hukum baru akan ditaati apabila ia mampu meletakkan prinsip-prinsip keadilan.22
Menurut W. Friedman suatu Undang-Undang haruslah memberikan keadilan yang sama kepada semua walaupun terdapat perbedaan-perbedaan di antara pribadi-pribadi tersebut.23 Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith (1723-1790), Guru Besar dalam bidang filosofi moral dan sebagai ahli teori
hukum dari Glasgow University pada tahun 1750,24 telah melahirkan ajaran
mengenai keadilan (justice). Smith mengatakan: “tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian” (the gold of justice is to secure from injury).25
Kepailitan menurut merupakan suatu proses dimana seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitor tersebut tidak
dapat membayar utangnya.26 Dalam hal debitor mempunyai banyak kreditor dan
harta kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditor, maka para kreditor akan berlomba dengan segala cara baik yang halal maupun tidak, untuk mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu. Kreditor yang datang belakangan mungkin sudah tidak dapat lagi pembayaran karena harta debitor sudah habis, hal ini
22
Darji Darmodiharjo dan shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum ( Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal. 159.
23
W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum Dalam Buku Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhammad Arifin, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 7.
24
Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato pada pengukuhan sebagai Guru Besar, ( USU-Medan, 17 April 2004), hal. 4-5.
25
Ibid., hal. 9
26
Imran Nating, Hukum Kepailiitan, http// artikelhukumku.blogspot.com//, terakhir diakses tanggal 17 februari 2011.
(30)
sangat tidak adil dan merugikan. Menurut Kartini Muljadi, hal inilah yang menjadi
maksud dan tujuan Undang-Undang Kepailitan.27 Dengan kehadiran
Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diharapkan antara debitor dan kreditor dapat mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajiban mereka masing-masing sehingga terwujudlah keadilan diantara mereka, karena salah satu filosofi hukum kepailitan tersebut adanya nilai keadilan. Menurut Sri Redjeki Hartono, lembaga kepailitan pada dasarnya
mempunyai dua fungsi sekaligus yaitu:28
a. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada krediturnya bahwa
debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab atas semua utang-utangnya kepada semua krediturnya.
b. Juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan
eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya.
Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1132 KUH Perdata. Adapun asas hukum menurut Satjipto Rahardjo adalah” merupakan jantung peraturan hukum, karena selain sebagai landasan yang paling luas bagi
27
Rudhy A. Lontoh, et. al., Penyelesaian Utang Piutamg Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, ( Bandung: Penerbit Alumni, 2001), hal. 75-76.
28
Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 74-75.
(31)
15
olahirnya suatu peraturan hukum, juga sebagai alasan (dasar pemikiran) bagi lahirnya suatu peraturan hukum.”29
Keberadaan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa keberadaan Undang-Undang ini berdasarkan pada sejumlah asas-asas kepailitan yakni:
1. Asas Keseimbangan
Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari keseimbangan, yaitu disatu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oeh kreditur yang tidak beritikad baik.
2. Asas Kelangsungan Usaha
Dalam Undang-Undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsungkan.
3. Asas Keadilan
Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran
29
(32)
atas tagihan masing-masing terhadap debitur, dengan tidak mempedulikan kreditur lainnya.
4. Asas Integrasi
Asas integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum materilnya merupakan suatu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.30
Selain teori keadilan yang dipergunakan dalam membahas permasalahan yang dirumuskan, dalam penelitian ini juga menggunakan teori pemberian garansi/jaminan. Dalam memberikan pinjaman berupa kredit dari bank atau fasilitas pinjaman dari kreditor kepada debitor selalu mengandung resiko,31 oleh karena itu perlu pengamananan dalam pengembaliannya. Bentuk pengamanan ini dalam prakteknya dilakukan dalam pemberian jaminan. Adanya jaminan tersebut dapat memberikan rasa aman bagi bank selaku pihak pemberi kredit, yaitu bila debitor gagal melunasi utangnya, ada jaminan dari seorang penjamin yang akan melunasi utang debitor tersebut.32
Menurut Sutan Remy Sjahdeini untuk memantapkan keyakinan kreditor bahwa debitor akan secara nyata mengembalikan pinjamannya setelah jangka waktu pinjaman berakhir, dalam hukum terdapat beberapa asas menyangkut jaminan. Asas yang pertama menentukan apabila debitor ternyata pada waktunya
30
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang: UMM Press, 2008), hal. 14-17.
31
Muchdarsyah Sinungan, Dasar-Dasar dan Tekhnik Management Kredit, (Jakarta: Bina Aksara, 2000), hal. 4.
32
Abdul Hakim Garuda Nusantara dan Benny K. Harman, Analisa Kritis Putusan-Putusan Peradilan Niaga, (Jakarta: Centre For Information & Law – Economi Studies, 2000), hal. 39.
(33)
17
tidak melunasi utangnya kepada kreditor karena suatu alasan tertentu, maka harta kekayaaan debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari menjadi agunan atau jaminan utangnya yang dapat dijua untuk menjadi sumber pelunasan utang itu. Asas ini di dalam KUHPerdata dituangkan dalam Pasal 1131 yang bunyinya: “Segala harta kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan untuk segala perikatan debitor.”33
Pasal 1131 KUHPerdata tersebut menentukan, harta kekayaan debitor bukan hanya untuk menjamin kewajiban melunasi utang kepada kreditor yang diperoleh dari perjanjian kredit diantara mereka, tetapi untuk menjamin semua kewajiban yang timbul dari perikatan debitor. Oleh karena Pasal 1131 KUHPerdata menentukan, semua harta kekayaan (aset) debitor menjadi agunan bagi pelaksanaan kewajibannya bukan kepada kreditor tertentu saja tetapi juga semua kreditor lainnya, maka perlu ada aturan main tentang cara membagi aset debitor itu kepada para kreditornya apabila aset itu dijual karena tidak dapat membayar utang-utangnya. Aturan main itu ditentukan oleh Pasal 1132 KUHPerdata, yang merupakan asas kedua yang menyangkut jaminan.34
Secara garis besar dikenal 2 (dua) macam bentuk jaminan, yaitu jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Pada jaminan kebendaan, debitor atau pihak
33
Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 4.
34
(34)
yang menerima pinjaman, memberi jaminan benda kepada kreditor atau pihak yang memberi pinjaman sebagai jaminan atas utang yang dipinjam debitor. Jadi apabila debitur tidak membayar utangnya pada saat jatuh tempo maka pihak kreditor dapat menuntut eksekusi atas benda yang telah dijaminkan oleh debitor tersebut untuk melunasi utangnya. Sedangkan dalam jaminan perorangan dalam praktek biasanya yang menjadi penjamin/guarantor adalah orang atau perusahaan yang ada hubungan kepentingan di bidang bisnis antara debitor dengan penjamin/gurantor tersebut. bahwa debitor dapat dipercaya akan melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan, dengan syarat bahwa apabila debitur tidak melaksanakan kewajibannya maka penjamin/guarantor tersebut bersedia untuk melaksanakan kewajiban debitur tersebut. Dengan adanya jaminan tersebut maka pihak kreditor dapat menuntut kepada penjamin untuk membayar utang debitor bila debitor lalai atau tidak mampu untuk membayar utangnya tersebut.35
Berkaitan dengan pemberian garansi/ jaminan dalam perusahaan yang biasanya dilakukan oleh penjamin/guarantor dalam perjanjian pemberian kredit, maka dengan adanya perjanjian pemberian garansi/jaminan, penjamin/guarantor dapat melakukan kewajiban debitor apabila debitor tidak dapat melakukan kewajibannya terhadap kreditor. Dan apabila penjamin tidak dapat melakukan kewajibannya maka penjamin dapat digugat pailit oleh kreditor. Jadi kepailitan perusahaan sebagai debitor utama sangat berpengaruh kepada penjamin/guarantor.
35
http://staff.blog.ui.ac.id/disriani.latifah/2009/06/09/kedudukan-guarantor-dalam-kepailitan, diakses tgl. 7 Maret 2011.
(35)
19
Namun penjamin/guarantor dalam hal ini mempunyai hak istimewa sehingga hak istimewa penjamin/guarantor ini membawa akibat hukum bahwa penjamin/guarantor tidak diwajibkan untuk melunasi kewajiban debitor kepada kreditor sebelum harta kekayaan debitor disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi hutangnya. Apabila hasil penjualan tidak cukup untuk melunasi hutangnya debitor, berarti penjamin/guarantor hanya akan melunasi sisa kewajiban debitor yang belum dipenuhinya kepada kreditor.36 Dengan adanya hak istimewa tersebut kedudukan penjamin/guarantor tidak berubah menjadi debitor, sehingga penjamin merasa terlindungi dan hal ini dirasa adil kepada penjamin/guarantor.
Dalam hal pemberian garansi/jaminan yang dilakukan oleh perusahaan
(corporate guarantee), yang biasanya induk perusahaan bertindak sebagai
penjamin/guarantor terhadap utang anak perusahaannya. Dalam hal ini kepadanya berlaku doktrin piercing the corporate veil yang diatur dalam Pasal 3 Ayat (2) Undang-undang No. 40 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa pertanggung jawaban terbatas pemegang saham dalam Perseroan Terbatas tidak berlaku dalam hal:
1. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
2. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung
dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi;
3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau
4. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung
secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.
36
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Penanggungan Utang dan Perikatan Tanggung Menanggung, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 24.
(36)
Doktrin ini mengartikan bahwa sungguhpun suatu badan hukum bertanggung jawab secara hukum hanya terbatas harta badan hukum tersebut, tetapi dalam hal-hal tertentu batas tanggung jawab tersebut dapat ditembus (piercing).37
Yahya Harahap mengemukakan walaupun secara normal pada perusahaan grup tetap berlaku dasar prinsip tanggung jawab entitas terpisah (separate legal
entity) yang berujung pada prinsip tanggung jawab terbatas (limited liability) induk
perusahaan sebagai pemegang saham anak perusahaan, akan tetapi dalam perseroan yang bersifat grup, dimana perseroan anak:38
a. Dimodali oleh induk perusahaan, sehingga anak perusahaan tersebut benar-benar di bawah permodalan induk perusahaan.
b. Dalam keadaan di bawah permodalan anak perusahaan tersebut, anak
perusahaan berada dalam keadaan tidak independen eksistensi ekonomi dan perusahaanya.
c. Anak perusahaan itu semata-mata berperan dan berfungsi sebagai wakil
(agent) melakukan bisnis perusahaan grup.
Oleh karena itu dalam kasus perseroan grup yang demikian, induk perusahaan bertanggung jawab terhadap utang anak perusahaan. Dalam kasus yang demikian, anak perusahaan didominasi dan dijadikan alat oleh induk perusahaan, maka induk perusahaan patut dan layak bertanggung jawab terhadap utang anak
37
Munir Fuady, Hukum perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 61.
38
Yahya Harahap, Separate Entity, Limited Liability, dan Piercing The Corporate Veil, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 26, No. 3 Tahun 2007, hal. 47.
(37)
21
perusahaan. Penerapan penghapusan tanggung jawab terbatas, sehingga tanggung jawabnya menembus kepada induk perusahaan sesuai asas piercing the corporate
veil, berdasar alasan keadilan dan kepatutan dikarenakan doktrin piercing corporate veil ini bertujuan untuk menghindari hal-hal yang tidak adil terutama
bagi pihak luar perseroan dari tindakan sewenang-sewenang atau tidak layak yang dilakukan atas nama perseroan, baik yang terbit dari suatu transaksi dengan pihak ketiga ataupun yang timbul dari hubungan kontraktual.39
2. Konsepsi
Bagian kerangka konsepsional ini akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan dalam tesis ini, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:
1. Hak istimewa adalah hak yang dimiliki seorang penjamin untuk menuntut
agar harta kekayaan milik si berutang utama (debitor) terlebih dahulu disita dan dijual/dilelang, jika hasil penjualan harta kekayaan debitor tidak cukup untuk melunasi hutangnya, kemudian baru harta kekayaan
penjamin,40 hak untuk meminta pemecahan utang,41dan hak untuk
dibebaskan dari penjaminan bilamana karena salahnya si kreditor.42
39
Ibid.
40
Pasal 1831 KUHPerdata.
41
Pasal 1837 KUHPerdata.
42
(38)
2. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau
Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka umum.43
3. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau
Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka umum.44
4. Kreditor preferen adalah golongan kreditor yang kedudukan hutangnya
mempunyai kedudukan yang istimewa dengan memiliki hak untuk mendapatkan pelunasan lebih dahulu dari hasil penjualan lelang harta pailit.45
5. Kreditor konkuren adalah kreditor-kreditor yang tidak termasuk dalam
golongan khusus/istimewa, pelunasan piutang mereka dicukupkan dengan sisa hasil penjualan /pelelangan harta pailit sesudah diambil bagian golongan khusus dan istimewa.46
6. Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.47defenisi yang lebih jelas dikemukakan oleh subekti, dimana Ia memberikan perumusan bahwa: “perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.48
43
Pasal 1 ayat (2) UUK dan PKPU.
44
Pasal 1 ayat (3) UUK dan PKPU.
45
Dedi Harianto, Bahan Kuliah, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2010), hal. 4.
46
Ibid,.
47
Pasal 1313 KUHPerdata.
48
(39)
23
7. Perjanjian pemberian garansi/Penjaminan adalah suatu persetujuan dimana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala orang itu sendiri tidak memenuhinya.49
8. Induk perusahaan adalah suatu perusahaan yang bertujuan untuk memiliki
saham dalam satu atau lebih perusahaan lain dan/atau mengatur satu atau lebih perusahaan lain tersebut.50
9. Anak perusahaan adalah perseroan yang mempunyai hubungan khusus
dengan perseroan lainnya yang terjadi karena lebih dari lima puluh persen sahamnya dimiliki oleh induk perusahaannya atau lebih dari lima puluh persen suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham dikuasai oleh induk perusahaannya dan atau kontrol atas jalannya perseroan, pengangkatan, dan pemberhentian direksi dan komisaris sangat dipengaruhi oleh induk perusahaannya.51
10.Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam
jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari (kontinjen), yang timbul karena perjanjian atau Undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberikan hak
49
Pasal 1820 KUHPerdata.
50
Munir Fuady, Op. Cit., hal. 83.
51
(40)
kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.52
11.Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) menurut Kartini
Muljadi sebagaimana dikemukakan oleh Rudi A. Lontoh adalah “pemberian kesempatan kepada debitor untuk melakukan restrukturisasi utang-utangnya, yang dapat meliputi pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren dan pada akhirnya jika dapat terlaksana dengan baik debitor akan dapat memenuhi kewajibannya-kewajibannya dan meneruskan usahanya.”53
12.Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah
pengawasan hakim pengawas.54 Suatu keadaan dimana seorang tidak
mampu lagi untuk membayar utang-utangnya berdasarkan putusan hakim, hal ini diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
G. Metode Penelitian
Penelitian merupakan sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun tekhnologi. Hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologi dan konsisten.
52
Pasal 1 angka 6 UUK dan PKPU.
53
Rudhy A. Lontoh, et. al., Op. Cit., hal. 173.
54
(41)
25
Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi data yang telah dikumpulkan.55
Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang
menjadi induknya.56 Dengan demikian metode penelitian adalah merupakan
upaya ilmiah untuk memakai dan memecah suatu permasalahan berdasarkan metode tertentu.
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan
kaedah-kaedah atau norma-norma hukum positif.57 Dengan pertimbangan bahwa
titik tolak penelitian untuk menganalisis hak istimewa dalam perjanjian pemberian garansi dikaitkan dengan kepailitan anak perusahaan sesuai dengan kaedah-kaedah atau norma-norma hukum positif yang mengaturnya.
Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian semacam ini juga disebut dengan istilah penelitian doktrinal (doktrinal research), yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law at it is written in the
55
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI:Press, 2005), hal. 5-6.
56
Soerjono Soekanto dan sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 64.
57
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia, 2008), hal. 282.
(42)
book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it decided by the jungle through judicial process).58
Sifat penelitian dalam tesis ini adalah bersifat deskriptif analitis, penelitian bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menganalisis suatu peraturan hukum.59
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, yaitu:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki60 seperti peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu peraturan perundang-undangan di bidang hukum kepailitan yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
58
Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum,
disampaikan pada dialog interaktif tentang penelitian hukum dan hasil penulisan hukum pada majalah akreditasi, (Fakultas Hukum USU, tgl 18 Februari, 2003), hal. 2.
59
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 6.
60
(43)
27
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil
simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian.61 Dalam
penelitian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah berupa buku-buku rujukan yang relevan, hasil karya tulis ilmiah, dan berbagai makalah yang berkaitan.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder62
berupa kamus umum, kamus bahasa, surat kabar, artikel, internet.
3. Tekhnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi data. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh Pasal-Pasal (di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yang berisi kaedah-kaedah hukum yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dan di
61
Jhony Ibrahim, op.cit, hal. 296. 62
(44)
sistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif-kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dijawab.63
4. Analisis Data
Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang diperoleh dianalisis secara normatif kualitatif, analisis tersebut dilakukan dengan memilih peraturan-peraturan hukum tentang hak istimewa dalam perjanjian pemberian garansi oleh induk perusahaan terhadap anak perusahaan dalam kepailitan. Langkah selanjutnya membuat sistematika kaidah-kaidah hukum dalam peraturan tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi yang relevan dengan objek permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Kemudian analisis dilanjutkan dengan metode deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi sehingga dapat menjadi acuan dan pertimbangan hukum dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi.
63
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 195-196.
(45)
BAB II
PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI
A. Perjanjian Pemberian Garansi/Jaminan
Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang mendahuluinya, yaitu perjanjian utang piutang yang disebut perjanjian pokok karena tidak mungkin ada perjanjian pemberian garansi/jaminan tanpa ada perjanjian pokoknya. Hal ini disebabkan karena tidak mungkin ada perjanjian pemberian garansi/jaminan yang dapat berdiri sendiri, melainkan selalu mengikuti perjanjian pokoknya. Apabila perjanjian pokoknya telah selesai, maka perjanjian garansi/jaminannya juga selesai. Sifat perjanjian seperti ini disebut dengan
accessoir.
Kedudukan perjanjian pemberian garansi/jaminan sebagai perjanjian yang bersifat accessoir (tambahan) mempunyai ciri-ciri:64
a. Lahir dan hapusnya tergantung kepada perjanjian pokok; b. Ikut batal dengan batalnya perjanjian pokok;
c. Ikut beralih dengan berlihnya perjanjian pokok.
Lembaga jaminan mempunyai tugas melancarkan dan mengamankan kredit, jaminan yang ideal (baik) itu adalah:65
64
Edy Putra Tje ‘Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, (Yogyakarta: Liberti, 1985), hal. 41.
65
(46)
1. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang memerlukannya;
2. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si penerima kredit untuk melakukan
(meneruskan) usahanya;
3. Memberikan kepastian kepada kreditur dalam arti bahwa yaitu bila perlu
mudah diuangkan untuk melunasi utangnya si debitur.
Adapun perjanjian pemberian garansi/jaminan ini bersifat accesoir, yang berarti bahwa perjanjian pemberian garansi/jaminan ini dapat terjadi atau terbentuk karena adanya perjanjian pendahuluan atau perjanjian pokok. Dalam hal ini jelas bahwa harus tetap ada perjanjian pendahuluan atau perjanjian pokok yang menjadi landasan atau dasar terbentuknya perjanjian pemberian garansi/jaminan ini. Namun seorang penjamin/guarantor tidak dapat mengikatkan untuk syarat yang lebih berat daripada perjanjian pokok, artinya perjanjian pemberian garansi/jaminan ini hanya dapat dibentuk dan sebagai suatu keseluruhan syarat dalam perjanjian pokok. Namun tidak boleh melebihi dari perjanjian pokok, seperti yang disebutkan bahwa tidak mungkin ada borgtocht untuk kewajiban perikatan yang isinya lain daripada menyerahkan sejumlah uang atau melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Orang hanya menjamin perikatan sekunder yang muncul dari perikatan bersangkutan.66
66
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Pribadi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 5.
(47)
31
Hal ini tidak akan mengakibatkan batal secara langsung terhadap perjanjian pemberian garansi/jaminan atau perjanjian penanggungan itu, melainkan perjanjian pemberian garansi/jaminan itu hanya sah sebatas apa yang diliputi atas syarat dari perjanjian pokok, selain itu tidak sah (dapat dibatalkan).67 Hal ini logis bila dilihat dari sifat perjanjian pemberian garansi/jaminan itu sendiri, juga didukung oleh dasar bahwa suatu perikatan dalam suatu perjanjian yang sifatnya tunduk kepada suatu perjanjian pokok, tidak bisa melebihi perikatan-perikatan yang diterbitkan oleh perjanjian pokok itu. Sesuai dengan sifat accesoir dari perjanjian pemberian garansi/jaminan ini, maka jaminan ini turut beralih apabila pokoknya beralih. Masalah peralihan ini baru berarti apabila disertai dengan diberikan kepada orang lain yang juga mengalihkan perjanjian pokoknya. Dalam hal ini hak kreditor tidak mengalami perubahan yang berarti sepanjang tidak ditentukan lain. Dalam rumusan yang diberikan oleh Pasal 1820 KUH Perdata mengenai penjamin/borgtocht mengandung tiga unsur, yaitu:68
1. Ciri sukarela
Seorang pihak ketiga yang sama sekali tidak mempunyai urusan dan kepentingan apa-apa dalam suatu persetujuan yang dibuat antara debitor dan kreditor, dengan sukarela membuat “pernyataan mengikatkan diri” akan menyanggupi pelaksanaan perjanjian, apabila nanti si debitor tidak melaksanakan pemenuhan kewajiban terhadap kreditor.
67
Megarita, Op. Cit., hal. 66.
68
(48)
2. Ciri subsidair
Yakni dengan adanya pernyataan mengikatkan diri memenuhi perjanjian dari
borg/ penjamin, seolah-olah konstruksi perjanjian dalam hal ini menjadi dua,
tanpa saling bertindih. Yang pertama ialah perjanjian pokok itu sendiri antara kreditor dan debitor. Perjanjian yang kedua, yang kita anggap perjanjian subsidair ialah perjanjian pemberian garansi/ jaminan tersebut antara si penjamin/guarantor dengan pihak kreditor.
3. Ciri accesoir
Sebenarnya dengan memperhatikan ciri subsidair diatas, sudah jelas terlihat
accesoir yang melekat atau menempel pada perjanjian pokok yang dibuat oleh
debitor dan kreditor. Apabila debitor sendiri telah melaksanakan kewajibannya kepada debitor, hapuslah kewajiban penjamin/guarantor.
4. Perjanjian pemberian garansi/jaminan batal, apabila perjanjian pokoknya
batal. Dalam prakteknya untuk mencegah agar perjanjian pemberian garansi/jaminan tidak batal disebabkan batalnya perjanjian pokok, maka perjanjian pemberian garansi/jaminan selalu dikumulasikan dengan pemberian
indemnity ex Pasal 1316 KUHPerdata. Pemberian indemnity ex Pasal 1316
KUHPerdata adalah perjanjian pokokyang berdiri tersendiri di samping perjanjian utang piutangnya, sehingga bila perjanjian utang piutang itu batal, maka pemberian indemnity ini tidak akan ikut menjadi batal.
Lahirnya suatu perjanjian pemberian garansi/penjaminan dapat juga dikatakan sebagai terbentuknya atau telah dilakukan atas dibuatnya suatu penjaminan baik
(49)
33
oleh perseorangan (personal guarantee) maupun suatu badan usaha (corporate
guarantee). Seperti yang telah disebutkan lahirnya perjanjian pemberian
garansi/jaminan ini harus diikuti dengan perjanjian pokok terlebih dahulu, baik itu perjanjian kredit bank maupun perjanjian lainnya. Sesuai dengan sifat dari perjanjian pemberian garansi/jaminan itu sendiri yang senantiasa diikuti dan didahului oleh perjanjian pokok. Jadi jelas bahwa perjanjian pemberian garansi/jaminan timbul sebagai adanya akibat perjanjian pokok yang menyebutkan secara khusus adanya penjaminan tersebut.
B. Pentingnya Perjanjian pemberian Garansi/Jaminan
Setiap kredit yang diberikan oleh Bank atau fasilitas kredit yang diberikan oleh kreditor lainnya kepada debitor diharapkan oleh bank atau kreditor lainnya untuk dibayar kembali oleh debitor tepat pada waktunya, Setelah masa pembayaran kredit tiba, Bank mengharapkan agar debitor membayar kredit dan bunga yang telah disepakati bersama dalam perjanjian kredit. Kredit yang diberikan oleh Bank biasanya disertai dengan adanya pemberian garansi/jaminan. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 8 Ayat (1) Undang-undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan yang berbunyi “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, Bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.”
(50)
Oleh karena itu pada umumnya Bank menggunakan instrumen analisa yang terkenal dengan the fives of credit atau 5C, yaitu:69
1. Character (watak)
Watak dapat diartikan sebagai kepribadian, moral dan kejujuran pemohon kredit. Debitor yang mempunyai watak yang tidak baik seperti tidak jujur, kemungkinan besar akan melakukan penyimpangan dalam menggunakan kredit. Kredit yang digunakan tidak sesuai tujuan yang ditetapkan dalam perjanjian kredit akibatnya proyek yang dibiayai dengan kredit tidak menghasilkan pendapatan sehingga mengakibatkan kredit macet.
2. Capital (modal)
Seseorang atau badan usaha yang akan menjalankan usaha atau bisnis sangat memerlukan modal untuk memperlancar kegiatan bisnisnya. Seorang yang akan mengajukan permohonan kredit baik untuk kepentingan produktif atau konsumtif maka orang itu harus memiliki modal. Pemohon kredit yang berbentuk badan usaha, besarnya modal yang dimiliki pemohon kredit ini dapat dicermati dari laporan keuangannya. Semakin besar jumlah modal yang dimiliki maka menunjukkan perusahaan tersebut memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban membayar utangnya.
69
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung: Alfabeta, 2003), hal. 93-94.
(51)
35
3. Capacity (kemampuan)
Untuk dapat memenuhi kewajiban pembayaran, debitor harus memiliki kemampuan yang memadai yang berasal dari pendapatan pribadi jika debitor perorangan atau pendapatan perusahaan bila debitor berbentuk badan usaha.
4. Collateral (jaminan)
Jaminan berarti harta kekayaan yang dapat diikat sebagai jaminan guna menjamin kepastian pelunasan utang jika di kemudian hari debitor tidak melunasi utangnya dengan jalan menjual jaminan dan mengambil pelunasan dari penjualan harta kekayaan yang menjadi jaminan itu. Jaminan meliputi jaminan yang bersifat materil berupa barang atau benda yang bergerak atau benda yang tidak bergerak misalnya tanah, bangunan, mobil, motor, saham dan jaminan yang bersifat immateril seperti jaminan pribadi.
5. Condition of Economy (kondisi ekonomi)
Selain faktor-faktor di atas, yang perlu mendapat perhatian penuh dari analis adalah kondisi ekonomi negara. Kondisi ekonomi adalah situasi ekonomi pada waktu dan jangka waktu tertentu dimana kredit itu diberikan oleh Bank kepada pemohon. Apakah kondisi ekonomi pada kurun waktu kredit dapat mempengaruhi usaha dan pendapatan pemohon kredit untuk melunasi utangnya. Bermacam-macam kondisi diluar pengetahuan Bank dan diluar pengetahuan pemohon kredit. Kondisi
(52)
ekonomi yang dapat mempengaruhi kemampuan pemohon kredit mengembalikan utangnya sering sulit untuk diprediksi. Kondisi ekonomi negara yang buruk sudah pasti mempengaruhi usaha pemohon kredit dan pendapatan perorangan yang akibatnya berdampak pada kemampuan pemohon kredit untuk melunasi utangnya.
Bank tidak akan memberikan kredit kepada siapapun tanpa disertai dengan garansi/jaminan dengan disyaratkan adanya suatu garansi/jaminan di dalam permohonan kredit. Diharapkan apabila ternyata di kemudian hari debitor lalai yaitu tidak membayar utang beserta bunga, maka garansi/jaminan inilah yang akan dipergunakan oleh pihak kreditor (bank) untuk melunasi utang debitor. Karena sesuai dengan pengertian dari Pasal 1820 KUHPerdata yang menentukan bahwa “pemberian garansi/penjaminan adalah suatu perjanjian/persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala orang itu sendiri tidak memenuhinya.”70
Pemberi garansi/penjamin ini merupakan jaminan berupa orang pribadi/badan hukum dengan tujuan melindungi kepentingan kreditor atau Bank yang bersifat umum artinya dapat mengakibatkan seluruh harta kekayaan pemberi garansi/penjamin menjadi jaminan dari debitor yang bersangkutan. Perjanjian pemberian garansi/jaminan dapat diminta oleh kreditor dengan menunjuk pemberi garansi/penjamin tertentu, atau yang
70
(53)
37
diajukan debitor. Dalam pemberian garansi/jaminan ini bukan berarti setiap orang atau badan hukum bisa menjadi penjamin, melainkan orang atau badan hukum yang betul-betul mampu membayar utangnya debitor. Agar dapat menjadi pemberi garansi/penjamin seseorang atau badan hukum harus memenuhi syarat-syarat yaitu:71
1. Cakap atau mampu untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian
artinya tidak dibawah umur, dibawah pengampuan atau pailit.
2. Mempunyai kemampuan untuk memenuhi kewajibannya sebagai
pemberi garansi/penjamin artinya yang bersangkutan dinilai mampu dan mempunyai harta yang cukup untuk memenuhi kewajibannya. 3. Berdiam di wilayah Indonesia, syarat ini bertujuan untuk memudahkan
bagi kreditor (bank) di dalam menagih utang tersebut. Sebab bila pemberian garansi/penjamin berada di luar negeri tentunnya akan menyulitkan untuk menyelesaikan masalah penjaminan tersebut.
Dengan adanya perjanjian pemberian garansi antara kreditor dengan pemberi garansi/jaminan, maka lahirlah akibat-akibat hukum yang berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus diperhatikan baik oleh pemberi garansi/penjamin maupun oleh kreditor.
Bentuk akta perjanjian pemberian garansi/jaminan dapat dibuat dengan akta di bawah tangan atau dengan akta otentik karena Undang-undang tidak mensyaratkan atau menentukan secara formal mengenai bentuk akta
71
(54)
perjanjian pemberian garansi/jaminan tersebut. Namun pada umumnya dalam praktek perbankan akta perjanjian pemberian garansi/jaminan selalu dibuat dengan akta notaris karena lebih menjamin kebenaran dan kelengkapan isi akta perjanjian pemberian garansi/jaminan tersebut dan dapat menjamin kekuatan pembuktian sebagai akta otentik sekaligus agar para pihak
mengetahui masing-masing yang menjadi hak dan kewajibannya.72
C. Akibat Hukum Perjanjian Pemberian Garansi/jaminan
Suatu perjanjian pemberian garansi/jaminan akan membawa akibat hukum, sebagai berikut:
1. Akibat hukum antara guarantor/penjamin dengan kreditor
Perjanjian pemberian garansi/jaminan merupakan perjanjian antara seorang penjamin/guarantor dengan kreditur yang menjamin pembayaran kembali utang debitor manakala debitor sendiri tidak memenuhinya (cidera janji). Penjamin/guarantor merupakan pihak ketiga yang mengikatkan diri kepada kreditor untuk menjamin pembayaran kembali utang debitor. Penjamin yang mengikatkan diri kepada kreditor dapat dilakukan dengan sepengetahuan debitor atau diluar pengetahuan debitor. Seorang guarantor/penjamin yang telah mengikatkan diri sebagai guarantor/penjamin membawa akibat hukum bagi
72
(55)
39
guarantor/penjamin untuk melunasi utang debitor (si berutang utama) manakala debitor cidera janji.
Kewajiban guarantor/penjamin untuk melunasi utang debitor tersebut baru dilakukan setelah kreditor mengeksekusi harta kekayaan milik debitor yang hasilnya tidak mencukupi untuk melunasi utangnya.73 Selama kreditor belum melakukan eksekusi atau penjualan harta kekayaan debitor, guarantor/penjamin tidak memiliki kewajiban membayar utang debitor yang dijaminnya. Jadi
meskipun guarantor/penjamin telah mengikatkan diri sebagai
guarantor/penjamin tidak serta merta memiliki kewajiban uuntuk membayar
utang debitor. Bisa dikatakan bahwa tanggung jawab guarantor/penjamin hanyalah sebagai cadangan atau subsider, dalam hal penjualan harta kekayaan debitor tidak mencukupi atau sama sekali debitor tidak memiliki harta benda yang dapat dijual. Hal ini sesuai Pasal 1831 KUHPerdata yang mengaskan bahwa guarantor/penjamin tidaklah diwajibkan membayar kepada kreditor, selain jika debitor lalai sedangkan harta benda debitor ini harus lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya. 74
Pasal 1832 KUHPerdata memberikan pengecualian terhadap ketentuan pasal 1831 KUHPerdata sehingga memberikan peluang kepada kreditor untuk dapat menuntut langsung kepada seorang guarantor/penjamin untuk melunasi utang seluruhnya tanpa harus menjual harta benda debitor terlebih dahulu, dalam hal
73
Sutarno, Op. Cit., hal. 250-251.
74
(56)
penjamin/guarantor telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut dilakukan lelang-sita lebih dahulu atas harta benda debitor. Bagi penjamin/guarantor yang telah melepaskan hak istimewanya yang dinyatakan secara tegas dalam akta pemberian garansi atau penjaminan maka kreditor dapat melakukan sita-lelang harta kekayaan guarantor/penjamin tanpa harus menunggu sita-lelang harta kekayaan debitor terlebih dahulu.75
Dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjian pemberian garansi/penjaminan ini membawa akibat hukum bagi guarantor/penjamin dan kreditor yaitu:76
a. Penjamin/guarantor berkewajiban untuk melunasi utang debitor
manakala debitor cidera janji.
b. Sebelum penjamin/guarantor membayar utang debitor,
penjamin/guarantor dapat meminta kepada kreditor untuk menyita dan melelang harta kekayaan debitor terlebih dahulu, baru kemudian harta kekayaan penjamin/guarantor jika hasil lelang harta debitor tidak cukup unruk melunasi utangnya. Permintaan guarantor/penjamin harus disampaikan pertama kali saat memberikan jawaban atas gugatan kreditor di pengadilan.
c. Namun hak istimewa penjamin/guarantor untuk meminta supaya harta
kekayaan debitor disita atau dilelang terlebih dahulu, menjadi hapus
75
Ibid.
76
Ibid.,hal. 252.
(57)
41
manakala guarantor dengan tegas melepaskan hak istimewanya yang dinyatakan dalam perjanjian pemberian garansi/jaminan.
d. Penjamin/guarantor yang meminta kepada kreditor agar menyita dan
melelang harta kekayaan debitor terlebih dahulu mempunyai kewajiban menunjukkan harta kekayaan debitor dan wajib menyediakan biaya sita dan lelang.
2. Akibat hukum antara penjamin/guarantor dan debitor
Jika penjamin/guarantor telah membayar utang debitor ia dapat menuntut kembali pembayaran tersebut dari si debitor, baik pemberian garansi/penjaminan itu terjadi dengan pengetahuan atau tanpa sepengetahuan debitor. Hak menuntut kembali tersebut lazim juga disebut hak regres, timbul karena diberikan oleh Undang-undang. Hak regres demikian tetap ada sekalipun tidak tercantum secara khusus dalam akta perjanjian pemberian garansi/jaminan. Hak regres itu timbul setelah penjamin/guarantor membayar utang debitor, baik pembayaran itu terjadi secara sukarela maupun atas dasar keputusan hakim yang
memutuskan/menghukum penjamin/guarantor untuk membayar utang tersebut.77
Hak regres itu dilakukan baik mengenai utang pokok, bunga maupun biaya-biaya yang timbul. Penjamin/guarantor juga berhak menuntut penggantian kerugian (yang berupa biaya, kerugian dan bunga) jika ada alas an untuk itu.78
77
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberti Offset, 1980). hal. 100.
78
(58)
Dari ketentuan Undang-undang dapat disimpulkan bahwa guarantor/penjamin yang telah membayar itu mempunyai dua macam hak menuntut kembali terhadap si berutang, yaitu:
a. Penjamin/guarantor mempunyai hak menuntut kembali yang merupakan
haknya sendiri terhadap debitor.79
b. Penjamin/guarantor yang telah membayar itu karena hukum bertindak
menggantikan kedudukan kreditor mengenai hak-haknya terhadap debitor, menggantikan hak-hak kreditor karena subrogasi.80
Dari kedua macam penuntutan kembali dari penjamin/guarantor tersebut dapat disimpulkan ada perbedaan mengenai akibat hukumnya. Pada hak regres yang merupakan hak sendiri dari guarantor, disini penjamin/guarantor mempunyai hak untuk menuntut kembali tidak hanya mengenai utang yang telah dibayarnya, melainkan juga berhak untuk menuntut penggantian kerugian yang timbul karena akibat penjualan terhadap barang penjamin/guarantor. Hak menuntut penggantian kerugian demikian tidak ada pada penjamin/guarantor yang menggantikan kedudukan kreditor. Sebaliknya pada penjamin/guarantor yang menggantikan hak-hak kredir yang karena subrogasi, memperoleh hak-hak kreditor terhadap si berutang, termasuk jaminan-jaminan accesoir yang melekat pada hak kreditor yang digantinya. Misalnya jika utang pokok itu dijamin dengan
79
Pasal 1839 KUHPerdata.
80
(59)
43
hipotik maka penjamin/guarantor juga memperoleh hak hipotik yang melekat pada utang tersebut.81
3. Akibat hukum antar penjamin/guarantor
Apabila ada beberapa penjamin/guarantor yang telah mengikatkan diri untuk menjamin debitor yang sama dan untuk utang yang sama, maka bagi guarantor/penjamin yang telah melunasi utang debitor tersebut mempunyai hak menuntut kepada penjamin/guarantor lainnya masing-masing sesuai bagiannya. Beberapa penjamin/guarantor yang menjamin debitor yang sama dan untuk satu utang yang sama diperlakukan seperti orang-orang yang berutang secara jamin menjamin, kecuali mereka menggunakan hak istimewa untuk meminta pemecahan utangnya.82
D. Akibat Hukum Terhadap Penjamin/Guarantor yang Melepaskan Hak Istimewanya.
Penjamin/guarantor memiliki hak istimewa. Hak istimewa penjamin ini membawa akibat hukum bahwa penjamin tidak diwajibkan untuk melunasi kewajiban debitor kepada kreditor sebelum harta kekayaan debitor yang cidera janji tersebut, yang ditunjuk oleh penjamin, telah disita dan dijual, dan hasil penjualan harta kekayaan debitor tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban
81
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit., hal. 100-101.
82
(60)
debitor kepada kreditor. Dalam hal yang demikian berarti penjamin hanya akan melunasi sisa kewajiban debitor yang belum dipenuhinya kepada kreditor.83
Penjamin/guarantor tidak dapat menuntut supaya harta debitor disita terlebih dahulu dan dijual untuk melunasi utangnya jika penjamin telah melepaskan hak istimewanya yang diatur dalam Pasal 1831 KUHPerdata.84 Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1832 KUHPerdata yang menentukan bahwa penjamin tidak dapat menuntut supaya benda-benda debitor lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya:
1. Apabila penjamin telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut
supaya benda-benda debitor lebih dahulu disita dan dijual;
2. Apabila penjamin telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan
debitor utama secara tanggung menanggung; dalam hal mana akibat-akibat perikatannya diatur menurut asas-asas yang ditetapkan untuk utang-utangnya secara tanggung renteng.;
3. Jika debitor dapat memajukan suatu tangkisan yang hanya mengenai
dirinya sendiri secara pribadi; 4. Jika debitor dalam keadaan pailit;
5. Dalam hal penjaminan yang diperintahkan oleh hakim.
Ternyata kreditor juga diberikan hak yang cukup seimbang. Ketentuan tersebut memungkinkan kreditor untuk seketika menagih kepada penjamin untuk melunasi semua kewajiban, prestasi, atau perikatan debitor, tanpa ia perlu terlebih dahulu menyita dan menjual harta kekayaan debitor yang telah cidera janji atau wanprestasi tersebut.85
83
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Op. Cit., hal. 24-25.
84
Sunarmi, Op. Cit., hal. 197.
85
(1)
B. Saran.
1. Hak istimewa seorang penjamin/guarantor memang dapat dihilangkan ketika melakukan perjanjian pemberian garansi/jaminan, namun hal ini merugikan penjamin/guarantor karena seolah-olah yang berutang adalah si penjamin/guarantor, padahal yang berutang adalah debitor. Sebaiknya debitor yang melunasi utangnya tersebut terlebih dahulu, apabila jumlah pembayaran utang tidak mencukupi oleh harta debitor, maka penjamin/guarantor yang harus membayar terhadap sisa utang debitor tersebut.
2. Untuk mengetahui dengan jelas seluk beluk dan tanggung jawab dalam perusahaan grup/kelompok hendaklah masalah perusahaan kelompok diatur secara jelas dalam Undang-undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007.
3. Dalam praktek peradilan masih menunjukkan belum adanya kesepakatan/perbedaan pendapat dalam pertimbangan hukum yang mendasari suatu keputusan hakim terhadap perkara yang berkaitan dengan hak istimewa penjamin/guarantor, oleh karena itu hendaknya majelis hakim dalam mengadili perkara-perkara kepailitan yang melibatkan guarantor senantiasa berpedoman pada ketentuan tentang penjaminan utang sebagaimana diatur dalam Bab Ketujuh belas tentang pemberian garansi/jaminan yang diatur mulai dari Pasal 1820
(2)
sampai dengan Pasal 1850. Hal ini dimaksudkan agar keputusan Hakim tersebut dapat benar-benar menciptakan kepastian hukum khususnya di kalangan para pelaku bisnis.
(3)
DAFTAR PUSTAKA A. BUKU
Darmodiharjo, Darji, Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum ( Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Friedman, M. Lawrence, American Law an Introduction, Terjemahan Wishnu Bhakti, Jakarta: PT. Tata Nusa, 2001.
Friedman, W, Teori dan Filsafat Hukum Dalam Buku Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhammad Fuady, Munir, Hukum perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1996.
Harahap,Yahya, Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Harianto, Dedi, Bahan Kuliah, Medan: Universitas Sumatera Utara, 2010.
Harman, K Benny, Abdul Hakim Garuda Nusantara, Analisa Kritis Putusan-Putusan Peradilan Niaga, Jakarta: Centre For Information & Law – Economi Studies, 2000.
Hartini, Rahayu, Hukum Kepailitan, Malang: UMM Press, 2008.
---, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.
Hasan, Djuhaendah, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Kebendaan Lain Yang Melekat Pada Tanah dalam Konsep Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
Ibrahim, johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya: Bayumedia, 2008.
Lubis, M, Solly, Diktat Teori Hukum, Medan, 2009.
Lontoh, A, Rudy, et. al., Penyelesaian Utang Piutamg Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Penerbit Alumni, 2001. Marzuki,Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2006.
(4)
Mahmudji, Sri, Soerjono, Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Masjchoen Sofwan, Sri Soedewi, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta: Liberti Offset, 1980.
Prasetya, Rudy, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Bandung: Citra Aditya, Bakti, 1996.
Satrio, J, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Pribadi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
Setiawan, Pokok-Pokok Perikatan, Bandung: Putra. A. Bardin, 1999.
Simanjuntak, Emmy Pangaribuan, Perusahaan Kelompok (Group Company/Concern), Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 1994.
Siregar, Mahmul, Bahan Kuliah Filsafat Hukum, Medan: USU, 2010.
Sjahdeini, Sutan, Remy, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Jakarta:PT. Pustaka Utama Grafiti, 2009. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press,1986.
---, Pengantar Penelitian Hukum, UI:Press, 2005 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa, 1990.
---, Aneka Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.
Sulistiowati, Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia, Jakarta: Erlangga, 2010
Sunarmi, Hukum Kepailitan, Jakarta: PT. Sofmedia, 2010.
Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001
Supramono, Gatot, Kedudukan Perusahaan Sebagai Subjek Dalam Gugatan Perdata di Pengadilan, Jakarta: Rineka Cipta, 2007.
(5)
Sutedi, Adrian, Hukum Kepailitan, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009.
Syamsudin, M, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Tje ‘Aman, Edy Putra, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Yogyakarta: Liberti, 1985.
Usman, Rachmadi, Hukum Jaminan Keperdataan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Widjaja, Gunawan, Muljadi, Kartini, Penanggungan Utang dan Perikatan Tanggung
Menanggung, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Widjaja, LG Ray, Pedoman Dasar Perseroan Terbatas (PT), Jakarta: Pradnya Paramita, 1994.
Yahya, M Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Penerbit Alumni, 1986. ---, Segi-segi Hukum Perjanjian, Jakarta: Alumni, 2002.
B. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Undang-Undang Nomor. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang-Undang Nomor. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
C. Makalah, Tesis, Jurnal, Artikel.
Megarita, Upaya Mencegah Timbulnya Kredit Bermasalah, Jurnal Hukum USU, vol 12 No. 1, Februari 2007.
Nasution, Bismar, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato pada pengukuhan sebagai Guru Besar, USU-Medan, 17 April 2004.
(6)
---, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada dialog interaktif tentang penelitian hukum dan hasil penulisan hukum pada majalah akreditasi, Fakultas Hukum USU, tgl 18 Februari, 2003.
Yahya Harahap, Separate Entity, Limited Liability, dan Piercing The Corporate Veil, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 26, No. 3 Tahun 2007.
Permadi, Iwan, Pentingnya Pengendalian Holding Company Terhadap Anak Perusahaan, Jurnal Hukum, No 1, Januari 2008.
Siregar, Samsul Rais, Pelaksanaan Penanggungan Utang Sebagai Jaminan Dalam Pemberian Kredit, Magister Kenotariatan USU: Tesis, 2007.
Sunarmi, Kedudukan Guarantor Dalam Kepailitan, Majalah Hukum USU vol 8 No. 2, Agustus 2003.
D. Internet
Latifah, disriani. kedudukan-guarantor-dalam- kepailitan http://staff.blog.ui.ac.id/ /2009/06/09/, diakses tgl. 7 Maret 2011.
Nating, Imran, Hukum Kepailiitan, http// artikelhukumku.blogspot.com//, terakhir diakses tanggal 17 februari 2011.
Sentosa, P Setyanto, pembentukan Holding Company Peluang dan Tantangan, http://www.pacific. net.id./pakar/setyanto/tulisan, diakses 20 april 2011.