diabetes melitus tipe 2.
31
Dukungan sosial dan kualitas hidup meningkat bersamaan, dan terlihat bahwa skor kualitas hidup yang tinggi terdapat pada
penderita yang mendapatkan dukungan dari keluarga atau lingkungan sosialnya.
32
Lama menderita diabetes melitus tipe 2 dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita. Studi yang dilakukan oleh Wu dkk menunjukkan bahwa
penderita yang telah menderita diabetes melitus tipe 2 11 tahun mempunyai efikasi yang lebih baik daripada penderita diabetes melitus tipe 2 10 tahun
terhadap pengelolaan penyakit.
33
Hal ini disebabkan penderita telah beradapatasi dan mempunyai penerimaan yang baik terhadap penyakitnya. Namun, lama
menderita cenderung berbanding lurus dengan komplikasi. Bila terdapat komplikasi, kualitas hidup cenderung menurun.
33
2.7 Peranan Kontrol Glikemik dalam Mempengaruhi Kualitas Hidup
Hubungan antara kontrol glikemik dan kualitas hidup berupa curvilinear relationship.
29
Kontrol glikemik yang buruk dapat menyebabkan keadaan hiperglikemia yaitu tingginya kadar glukosa dalam darah. Secara akut,
hiperglikemia menyebabkan perubahan dalam metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Perubahan ini menimbulkan manifestasi seperti lemah, letih, dan lesu
yang dapat mempengaruhi fungsi fisik secara langsung sehingga produktivitas kerja pun menurun. Secara kronik, keadaan hiperglikemia persisten menyebabkan
komplikasi baik komplikasi jangka pendek maupun jangka panjang.
34
Jadi, kontrol glikemik mempunyai 2 pengaruh terhadap kualitas hidup baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, kontrol yang buruk
menyebabkan perubahan dalam performance penderita dan secara tidak langsung menyebabkan penyakit lain melalui komplikasi yang terjadi.
29
Gambar 2.5 Komplikasi Akut Diabetes Melitus Tipe 2
Silbernagl, Stefan.,and Florian Lang. Color Atlas of Pathophysiology. New York : Thieme. 2000
Defisiensi insulin secara akut akan menyebabkan berbagai perubahan
dalam tubuh. Pertama adalah aktivasi glukagon yang akan menyebabkan
pemecahan glikogen menjadi glukosa sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa
darah. Kedua adalah peningkatan proteolisis akan menyebabkan peningkatan
asam amino dalam darah yang memicu peningkatan glukoneogenesis di hati yaitu pembentukan glukosa melalui jalur selain karbohidrat, namun asam amino sebagai
bahan bakunya. Hal ini menyebabkan kadar glukosa darah semakin meningkat. Proteolisis juga menyebabkan kelemahan otot dan penurunan berat badan yang
bermanifestasi klinis sebagai lemah, letih dan lesu pada penderita diabetes melitus
tipe 2. Ketiga, perubahan pada metabolisme lemak, yaitu peningkatan lipolisis
yang menyebabkan penurunan berat badan. Lipolisis juga menyebabkan peningkatan asam lemak bebas dengan hasil samping [H]
+
yang dapat memicu terjadinya insiden ketoasidosis diabetikum yang berujung pada koma diabetikum,
jika tidak segera dikoreksi. Hasil samping dari lipolisis lainnya adalah badan keton. Badan keton pada penderita diabetes melitus tipe 2 menyebabkan
manifestasi yang khas, yaitu fruit-lozenge breath.
34
Pada diabetes melitus tipe 2 terdapat resistensi jaringan. Hal ini menyebabkan glukosa darah yang berasal dari asupan makanan tidak mampu
memasuki jaringan karena adanya penurunan sensitifitas insulin. Hasilnya glukosa menumpuk pada ekstraselular. Akumulasi glukosa darah akibat resistensi
jaringan, peningkatan glukoneogenesis dan glikogenolisis tersebut memicu adanya glukosuria. Sifat glukosa yang menarik air akan bermanifestasi sebagai
poliuria pada penderita diabetes melitus tipe 2. Poliuria yang terjadi terus-menerus menurunkan volume plasma sehingga penderita akan mengalami dehidrasi.
Dehidrasi menyebabkan pasien merasa haus sehingga muncul manifestasi polidipsi. Dehidrasi yang terjadi juga memicu aktivasi aldosteron yang akan
meretensi NaCl untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh.
34
Jadi manifestasi klasik berupa 3 P poliuria, polidipsi dan polifagia serta penurunan berat badan tanpa penyebab yang jelas tidak lepas dari dasar perjalanan
penyakit diabetes melitus tipe 2 yaitu hiperglikemia.
Gambar 2.6 Komplikasi Kronik Diabetes Melitus Tipe 2
Silbernagl, Stefan., and Florian Lang. Color Atlas of Pathophysiology. New York : Thieme. 2000
Keadaan hiperglikemia pada penderita diabetes melitus tipe 2 dikoreksi dengan 4 pilar utama yaitu edukasi, diet, aktivitas fisik, dan obat-obatan.
2,5
Apabila intervensi tersebut gagal, terjadi hiperglikemia persisten yang
menyebabkan peningkatan sorbitol, glikosilasi protein, dan hiperosmolaritas. Keempat hal tersebut adalah dasar terjadinya komplikasi diabetes melitus tipe 2,
baik komplikasi mikrovaskular maupun makrovaskular.
34
Peningkatan sorbitol akan memicu terjadinya retensi air intraseluler. Hal ini menyebabkan osmotic swelling pada beberapa jaringan tubuh. Pada lensa mata
akan menyebabkan katarak, sedangkan pada sel Schwan akan memperlambat konduksi implus sehingga terjadi polineuropati. Akibat yang ditimbulkan
polineuropati adalah penurunan refleks, respon sensorik dan respon saraf otonom. Hal ini sering diinterpretasikan sebagai baal oleh penderita diabetes melitus tipe
2.
34
Hiperosmolaritas yang terjadi akibat tingginya kadar glukosa darah, menyebabkan penderita diabetes melitus tipe 2 rentan terhadap infeksi. Jika
infeksi terjadi pada ginjal dapat memicu terjadinya pyelonefritis yang berakhir pada gagal ginjal aku maupun kronik. Risiko gangguan ginjal akan meningkat
seiring dengan lama menderita diabetes melitus tipe 2.
34
Hemoglobin bercampur dengan larutan berkadar glukosa tinggi, rantai beta molekul hemoglobin mengikat satu gugus glukosa secara ireversibel, maka proses
ini dinamakan glikosilasi. Glikosilasi terjadi secara spontan dalam sirkulasi dan tingkat glikosilasi ini meningkat apabila kadar glukosa dalam darah tinggi. Pada
orang normal, sekitar 4 ―6 hemoglobin mengalami glikosilasi menjadi
hemoglobin glikosilat atau HbA1C. Pada hiperglikemia yang berkepanjangan, kadar HbA1C dapat meningkat hingga 18
―20.
18
HbA1C terbentuk dari ikatan glukosa dengan gugus amida pada asam amino valin di ujung rantai beta dari globulin Hb dewasa normal yang terjadi pada
2 tahap. Tahap pertama terjadi ikatan kovalen aldimin berupa basa Schiff yang bersifat stabil dan tahap kedua terjadi penyusunan kembali menjadi bentuk
ketamin yang stabil.
18
Pada keadaan hiperglikemik, terjadi peningkatan pembentukan basa Schiff antara gugus aldehid glukosa dengan residu lisin, arginin, dan histidin. Selain itu,
produk glikosilasi kolagen dan protein lain yang berumur panjang dalam interstisium dan dinding pembuluh darah mengalami serangkaian tata ulang untuk
membentuk irreversible advanced glycosylation end products AGE, yang terus menumpuk di dinding pembuluh. AGE ini memiliki sifat kimiawi dan biologik
mendasari komplikasi diabetes melitus tipe 2.
3,34
AGE yang menumpuk menjadi awal terjadinya komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular. Pada endotel pembuluh darah, penumpukan AGE membuat
pembuluh darah menjadi sempit dan memicu komplikasi makrovaskular yaitu stroke, infark miokard, dan peripheral vascular disease. Bila hal ini terjadi pada
ibu hamil dapat menyebabkan penurunan perfusi pada uteroplasental.
34
Penumpukan AGE menyebabkan penebalan membran basal dan menjadi dasar komplikasi mikrovaskular. Pada mata akan menyebabkan retinopati
diabetikum, sedangkan pada sel Schwan memicu juga terjadinya polineuropati. Peningkatan produksi AGE sebagai hasil samping glikosilasi protein dapat
menyebabkan glomerulosklerosis pada ginjal yang ditandai dengan manifestasi berupa proteinuria. Asam amino yang meningkat akibat adanya proteolisis akan
meningkatkan filtrasi ginjal yang berakhir dengan glomerulosklerosis. Hal ini yang mendasari komplikasi ginjal pada seorang penderita diabetes melitus tipe
2.
34
Glikosilasi protein yang terjadi menjadi pemicu peningkatan faktor pembekuan seperti fibrinogen, haptoglobin, dan faktor V serta VII. Peningkatan
berbagai faktor ini menyebabkan pembekuan darah meningkat serta viskositas darah meningkat. Aliran darah menjadi statis sehingga peningkatan risiko
penyakit arteri perifer dan bekuan darah dapat menyumbat di berbagai pembuluh darah sehingga insiden stroke dan infark semakin meningkat.
3,34
Semua komplikasi yang terjadi bersumber dari 1 hal yaitu hiperglikemia. Oleh sebab itu, pengendalian kadar glukosa darah pada penderita diabetes melitus
tipe 2 memegang peranan yang sangat penting.
2,3,34
Semakin tidak terkontrolnya kadar glukosa darah, maka regimen pengobatan semakin kompleks dan restriksi terhadap diet meningkat sehingga
berpengaruh pada peningkatan insiden depresi dan kecemasan.
35
Selain itu, akibat peningkatan pengelolaan tersebut, terjadi pula peningkatan risiko insiden hipoglikemia yang sangat berpengaruh terhadap fungsi
fisik seorang penderita diabetes melitus tipe 2.
29
Hipoglikemia menyebabkan peningkatan aktivitas saraf simpatis sehingga dapat menimbulkan manifestasi
tremor, takikardia, dan keringat berlebihan. Selain itu, keadaan tersebut menyebabkan penurunan kesadaran yang dapat berakibat fatal yaitu kerusakan
otak yang irreversible.
29
Perubahan fungsi fisik dan mental tersebut, akhirnya berpengaruh pula terhadap kehidupan sosial yang harus dijalani oleh seorang penderita diabetes
melitus tipe 2. Akumulasi dari penurunan fungsi-fungsi tersebut menyebabkan penurunan kualitas hidup secara menyeluruh.
29,35
2.8 Pengukuran Kualitas Hidup Penderita Diabetes Melitus Tipe 2