h. Ikan Tor soro
Morfologi ikan: ikan ini disebut juga ikan batak mempunyai ciri-ciri berupa cuping dengan ukuran sedang pada bagian bibir bawah yang tidak mencapai sudut
mulut dan jari-jari terakhir sirip punggung yang mengeras memiliki panjang yang sama dengan panjang kepala tanpa moncong. Bentuk tubuh pipih memanjang,
dengan warna tubuh keperakan pada ikan muda dan berangsur-angsur berubah menjadi kuning kehijauan pada ikan dewasa. Sirip dubur lebih pendek daripada
sirip punggung. Bentuk tubuh ikan betina lebih gembung, sedangkan jantan langsing.
Warna tubuh ikan jantan lebih gelap daripada ikan betina. Merupakan tipikal ikan penghuni kawasan hulu yang ditandai oleh arus air yang deras, berair jernih, dasar
perairan berbatu, suhu air relatif rendah, kandungan oksigen tinggi, dan lingkungan sekitar berupa hutan. Ikan kecil sampai remaja menyukai bagian
sungai yang berarus dan berbatuan. Sedangkan ikan dewasa menempati lubuk-
lubuk sungai yang dalam Haryono, 2007.
Gambar 11. Ikan Tor soro Jurung i. Ikan Mystus nemurus
Morfologi ikan: ikan ini memiliki sepasang sungut panjang di rahang atas hingga mencapai sirip dubur. Ukuran ikan ini dapat mencapai 40 cm. Tubuh agak pipih
dan memanjang serta licin, Berwarna coklat gelap. Panjang pangkal sirip lemak sama dengan pangkal panjang sirip dubur. Sungut hidung mencapai mata
sedangkan sungut rang atas memanjang hampir mencapai sirip dubur. Pada bagian atas kulit kepala kasar, terdapat juga garis yang berwarna gelap disepanjang
bagian tengah badan dan biasanya terdapat sebuah titik hitam di ujung sirip lemak.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Kottelat et al., 1993, Ikan ini merupakan komoditas di Indonesia yang bernilai ekonomis tinggi dan telah banyak di bududayakan. Ikan
ini bersifat omnivora. Persebaran: mulai dari Thailand hingga paparan sunda.
Gambar 12. Ikan Mystus nemurus Baung 4.1.2. Kepadatan, Kepadatan Relatif, dan Frekuensi Kehadiran Ikan
Bedasarkan penelitian spesies Mystacoleucus marginatus pada stasiun 1 didapatkan nilai K, KR, dan FK tertinggi sedangkan nilai terendah ditempati oleh
spesies Rasbora sumatrana. Hal ini disebabkan karena tidak adanya aktifitas yang
terjadi di stasiun 1 sehingga menyebakan berlimpahnya makanan yaitu detritus dan fitoplankton. Hal ini juga dipengaruhi kecepatan arus yang lebih lambat
sehingga ikan dapat lebih mudah bergerak untuk memcari makanan. Sedangkan K, KR dan FK terendah yaitu spesies Rasbora sumatrana, hal ini disebakan
ukuran ikan yang kecil dan cepat begerak sehingga cukup sulit untuk ditangkap. Spsies ini juga lebih sering atau banyak dijumpai di air yang tenang. Menurut
Nybakken 1988, ikan memiliki pola adaptasi yang tinggi terhadap kondisi
lingkungan, baik faktor fisik maupun faktor kimia lingkungan seperti pH, oksigen terlarut, suhu, dan lain sebagainya. Selain daripada itu, ikan juga ditemukan
dengan keanekaragaman penyesuaian diri yang tak terhingga. Hal ini sangat penting bukan hanya untuk mendapatkan makanan tetapi juga untuk
menyelamatkan diri dari hewan-hewan predator.
Universitas Sumatera Utara
Nilai kepadatan K, kepadatan relatif KR dan frekuensi kehadiran FK ikan yang diperoleh di setiap stasiun
Tabel 6. Data kepadatan indm
2
, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran ikan pada setiap stasiun pengamatan
Keterangan : Stasiun 1
: Daerah bebas aktifitas Stasiun 2
: Daerah perkebunan dan lokasi pembuangan limbah industri Stasiun 3
: Daerah pertanian dan pemukiman penduduk
. Pada stasiun 2, spesies dengan K, KR, dan FK tertinggi adalah
Mystacoleucus marginatus. Hal ini disebabkan oleh faktor fisik kimia perairan pada stasiun ini cukup baik dan sangat mendukung untuk pertumbuhan dan
perkembangan dari spesies Mystacoleucus marginatus. Contonya adalah intensitas cahaya yang cukup tinggi sehingga sangat mempengaruhi pertumbuhan dari
detritus yang merupakan makanan utama dari spesies ini. K, KR dan FK terendah adalah spesies Tor soro. Hal ini disebabkan ikan ini cukup peka dalam perubahan
lingkungannya. Pada stasiun 2 terdapat buangan limbah yang berasal dari aktifitas pertambangan. Hal ini menyebabkan tingginya suhu pada stasiun ini. Ikan ini
dapat hidup pada suhu yang relatif rendah.
Pada stasiun 3 K, KR dan FK tertinggi adalah spesies Osteochilus waandersii. Hal ini disebabkan pada stasiun 3 nilai faktor fisik-kimia perairan
cukup tinggi. Hal ini dipengaruhi banyaknya aktifitas di sekitar stasiun ini, sehingga faktor makanan sangat mendukung dan berlimpah. Ikan ini juga
No Spesies
Stasiun 1 Stasiun 2
Stasiun 3
K KR
FK K
KR FK
K KR
FK 1.
Awous grammepomus
- -
- -
- -
0,009 1,851
6,66
2.
Cyclocheilichthys apogon
- -
- -
- -
0,009 1,851
6,66
3.
Mystacoleucus marginatus
0,127 36,99
90 0,169
92,3 120
0,066 12,94
46,66
4.
Osteochilus spilurus
- -
- -
- -
0,089 17,57
63,33
5.
Osteochilus waandersii
0,103 30,13
73,3 0,009
5,12 6,66
0,142 27,84
100
6.
Puntius binotatus
- -
- -
- -
0,123 24,06
86,66
7.
Rasbora sumatrana
0,014 4,09
10 -
- -
0,056 11,099
40
8.
Tor soro
0,099 28,77
70 0,004
3,38 3,33
- -
-
9.
Mystus nemurus
- -
- -
- 0,014
2,774 10
TOTAL
0,343 99,98
0,182 100,8
0,508 99,985
Universitas Sumatera Utara
merupakan ikan konsumsi bagi masyarakat sekitar. K, KR dan FK terendah adalah spesies Awous grammepomus dan Cyclocheilichthys apogon. Hal ini
disebabkan kedua jenis spesies ini mempunyai kisaran toleransi suhu yang rendah, karena lebih banyak hidup di perairan tenang dan memiliki kisaran suhu yang
relatif rendah. Ikan ini juga sulit ditangkap karena seringkali bersembunyi di bawah bebatuan atau pada akar tanaman air sehingga sulit untuk ditangkap dengan
menggunakan jala. Dapat dilihat FK secara keseluruhan yang paling tinggi adalah spesies
Mystacoleucus marginatus dan Osteochilus waandersii menunjukan nilai 70, yang artinya FK sangat sering. Namun, FK spesies lainnya cenderung jarang,
yang hanya berkisar 20.
4.1.3.Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner dan Indeks Keseragaman
Nilai Indeks Keanekaragaman H’ dan Indeks Keseragaman E ikan dapat
dilihat pada Tabel 7 berikut ini. Tabel 7. Data Indeks Keanekaragaman H’, Indeks Keseragaman E
Keterangan : Stasiun 1
: Daerah bebas aktifitas Stasiun 2
: Daerah perkebunan dan lokasi pembuangan limbah industri Stasiun 3
: Daerah pertanian dan pemukiman penduduk.
Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat nilai keanekaragaman ketiga stasiun berkisar 0,2-1,7. Menurut Krebs 1985, nilai indeks keanekaragaman H’
berkisar antara 0-2,302 menandakan keanekaragamannya rendah. Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 1,78 dan terendah pada
stasiun 2 yaitu 0,219. Hal ini disebabkan berbagai faktor lingkungan di perairan tersebut. Pada stasiun 2 diketahui adanya aktifitas pembuangan limbah cair dari
aktifitas pertambangan. Hal ini tentunya mempengaruhi keanekaragan ikan, karena tidak semua ikan dapat beradaptasi atau bertahan di kondisi lingkungan
yang selalu beubah-ubah. Nilai keanekaragaman di setiap stasiun dipengaruhi oleh jumlah individu, jumlah spesies dan penyebaran individu dari masing-masing
Stasiun H’
E 1
1,147 0,827
2
0,219 0,199
3
1,78 0,856
Universitas Sumatera Utara
spesies. Rendahnya nilai keanekaragaman di lokasi penelitian lebih disebabkan faktor jumlah individu dan jumlah spesies yang sedikit sedangkan penyebaran
spesies relatif merata. Menurut Barus 2004, keanekaragaman spesies merupakan karakteristik yang unik dari tingkat komunitas dalam organisasi biologi yang
diekspresikan melalui struktur komunitas. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan
jumlah individu masing-masing spesies yang relatif merata. Nilai indeks keseragaman E pada setiap stasiun yang ditunjukkan pada
tabel berkisar antara 0,199-0,856, yang mana menurut Krebs 1985, Indeks Keseragaman E berkisar antara 0-1. Nilai keseragaman mendekati 1 dikatakan
pembagian individu sangat seragam merata. Sebaliknya jika nilai mendekati 0 berarti keseragaman rendah karena ada jenis yang mendominasi. Merujuk kepada
pernyataan tersebut, keseragaman diketiga stasiun dapat dikatakan tidak merata karena pada stasiun 2 indeks keseragaman mendekati 0 yaitu 0,199. Menurut
Odum 1996, Nilai keseragaman suatu organisme pada suatu habitat sangat ditentukan oleh jumlah jenis dan jumlah individu dari masing-masing jenis pada
suatu area.
4.1.4. Indeks Similaritas Ikan IS Nilai Indeks Similaritas Ikan IS pada setiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 8
berikut.
Tabel 8. Data Indeks Similaritas ikan IS di setiap stasiun
Keterangan : Stasiun 1
: Daerah bebas aktifitas Stasiun 2
: Daerah perkebunan dan lokasi pembuangan limbah pertambangan Stasiun 3
: Daerah pertanian dan pemukiman penduduk.
Tabel 8 menunjukkan nilai indeks similaritas antar stasiun. Indeks similaritas tertinggi terdapat pada stasiun 1 dan stasiun 2 yaitu sebesar 85,71
yang artinya kedua stasiun memiliki kesamaan spesies yang sangat mirip.
IS Stasiun 1
Stasiun 2 Stasiun 3
Stasiun 1 85,71
50
Stasiun 2 36,36
Stasiun 3
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan indeks similaritas terendah terdapat pada stasiun 2 dan stasiun 3 yaitu sebesar 36,36 yang artinya kedua stasiun tidak mirip. Hal ini disebabkan oleh
berbagai faktor yang mempengaruhi kondisi perairan. Adanya ketidak miripan antara satasiun 2 dan 3 dapat dilihat dari jenis ikan yang ada di stasiun 3 tapi
tidak ada di stasiun 1. Hal ini disebabkan karena faktor fisik-kimia perairan pada stasiun 1 dan 3 berbeda, yaitu Suhu, pH, intensitas cahaya, DO, BOD, kadar
nitrat dan fosphat, serta kandungan organik substrat. Menurut Fachrul 2007, organisme air termasuk ikan, cenderung memilih bagian perairan yang sesuai
dengan kebutuhannya. Menurut Barus 2004, bahwa suatu perairan yang belum tercemar akan
menunjukkan jumlah individu yang seimbang dari hampir semua spesies yang ada. Sebaliknya suatu perairan yang tercemar akan menyebabkan penyebaran
jumlah individu tidak merata dan cenderung ada spesies yang mendominasi.
4.2 Faktor Abiotik Lingkungan