Keanekaragaman Bentik Alga Dan Hubungannya Dengan Kualitas Air Di Perairan Sungai Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan

(1)

KEANEKARAGAMAN BENTIK ALGA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS AIR DI PERAIRAN SUNGAI BATANG TORU KABUPATEN

TAPANULI SELATAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sanis

BOY SANDI 090805018

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

PERSETUJUAN

Judul : Keanekaragaman Bentik Alga Dan

Hubungannya Dengan Kualitas Air Di Perairan Sungai Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan

Ktegori : Skripsi

Nama : Boy Sandi

Nomor Induk Mahasiswa : 090805018

Program Studi : Sarjana (S1) Biologi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Diluluskan di Medan, Oktober 2014 Komisi Pembimbing:

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Mayang Sari Yenny, S.Si, M.Si Prof. Dr. Ing. Ternala A Barus. M.Sc NIP.19721126 199802 2 002 NIP.19581016 198703 1 003

Disetujui Oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc NIP.19630123 199003 2 001


(3)

PERNYATAAN

KEANEKARAGAMAN BENTIK ALGA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS AIR DI PERAIRAN SUNGAI BATANG TORU KABUPATEN

TAPANULI SELATAN

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri, Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Oktober 2014

Boy Sandi


(4)

PENGHARGAAN

Puji syukur penulis panjatkan hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa, dimana atas berkat-Nya saja penulis mampu menyelesaikan Skripsi yang berjudul “ Keanekaragaman Bentik Alga dan Hubungannya Dengan Kualitas Air Di Perairan Sungai Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Prof.Dr.Ing Ternala Alexander Barus, MSc, selaku desen pembimbing 1 dan Ibu Mayang Sari Yenny, S.Si.M.Si selaku dosen pembimbing 2 dan Ibu Dra. Isnaini Nurwahyuni M.Sc selaku pembimbing akademik atas segala arahan dan motivasi yang telah diberikan , serta segala waktu yang disediakan bagi penulis untuk berdiskusi sehingga penyusunan skripsi ini dapat terbentuk dengan baik. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Miswar Budi Mulya M.Si selaku dosesen penguji 1 dan Ibu Dr. Nursahara Pasaribu M.Sc. selaku dosen penguji 2 dan Ketua Departeman Biologi FMIPA USU, atas segala kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Bapak Dr. Sutarman, M.Sc selaku Dekan FMIPA USU, Kak Roslina Ginting dan Bg Ewin selaku Pegawai Administrasi dan seluruh Dosen serta Staff di Departeman Biologi.

Ucapan terimakasih yang tak terhingga sepanjang waktu juga penulis sampaikan kepada orang tua tercinta Bapak S. Lubis dan Ibu D.Sitorus Pane atas segala kasih saying, Doa, dukungan dan materi untuk adek-adek tersayang Cipto, Christina, dan takkas untuk doa dan bantuan moril, Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas kebaikan dan ketulusan semua pihak yang tiada henti diberikan kepada penulis untuk dapat melewati banyak tantangan sehingga masa kuliah dan penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Keluarga besar Oppung Lonngu (Belawan) dan Keluarga besar Tulang Ando Sitorus Pane untuk segala dukungan baik doa, dan motivasi hingga selesainya skripsi dengan baik.

Penulis juga tidak lupa untuk mengucapkan terimakasih kepada kak Tober, Yenny, Silvia, bertua dan Ubasori (Tim lapangan) yang sudah membantu banyak dalam penelitian ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan seperjuangan yang luar biasa tambuk 2009 (09topus), Ubasori, Sahat, Hans,Raymon, Adrian, Anderson, Imam, sepwin, Julie, Frisshy, Mona, Sabeth, Laura, Venny,Jesika, Siska, Nisa Willy, Zulfan, Hema, Icips, Rita, Agus, Febrin,dan seluruh tem,an-teman yang tidak dapat saya sebut satu persatu, Bahagia bersama kalian semua. Adik-adik stambuk 2010 (Posma, Tiur, Doni, Norton Pane (Tulang), Elfrida, Lisbet, Julu, Tonis, Edu), adik asuh (Grace Son), adik-adik stambuk 2011, 2012 serta Keluarga besa PKBKB salah satu keluarga besar dalam memberikan bantuan dan dorongan yang diperlukan. Ucapan terimakasih juga penuliskan kepada keluarga besar BIOPALAS (AB dan ALB), Herpetologer Mania dan MAPALA SU yang telah menjadi tempat berdiskusi dan pengalaman organisasi bagi penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman kos Kamboja 44 (Bang Ateng, kak Lince, kak Triana, kak Tio, Nuel, Rivaldo, Sandian, Fredy, Dedi, Nanda) untuk rasa kekeluargaannya.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua ketulusan dan kebaikan dari semua pihak yang membantu penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Semoga rahmat dan Karunia-Nya senantiasa menyertai kita semua.


(5)

KEANEKARAGAMAN BENTIK ALGA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS AIR DI PERAIRAN SUNGAI BATANG TORU KABUPATEN

TAPANULI SELATAN

ABSTRAK

Sungai Batang Toru adalah salah satu sungai terbesar di Tapanuli Selatan dengan panjang 69,32 Km. Bentik alga merupakan salah satu organisme air yang hidup didalamnya. Penelitian keanekaragaman bentik alga ini telah dilaksanakan pada bulan Agustus 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman bentik alga dan hubungannya dengan faktor fisik kimia perairan di sungai Batang Toru. Metode penelitian yang digunakan adalah Purposive Random Sampling

dimana stasiun pengambilan sampel terdiri dari tiga stasiun pengamatan. Berdasarkan hasil penelitian bentik alga yang diperoleh sebanyak 63 genus terdiri dari 31 famili, dan 4 kelas. Kepadatan bentik alga tertinggi terdapat pada genus

Gomphonema sebesar 498.77 Ind/m2 (stasiun 1) dan terendah pada genus

Coloneis, Dimorphococcus,Coelastraum, Netrium, Chrooccus (stasiun 2) dan

Rhopalopodia, Opephora, Mesotaenium (Stasiun 3) masing-masing sebesar 1,23 Ind/m2. Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 3,17 dan terendah pada stasiun 3 sebesar 2,86. Indeks Keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 0,84 dan terendah pada stsiun 3 sebesar 0,75. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa Suhu, pH, kecepatan arus, DO, BOD, kadar nitrat dan pospat memiliki korelasi yang sangat kuat terhadap keanekaragaman bentik alga.


(6)

DIVERSITY BENTHIC ALGAE AND WATER QUALITY IN CONNECTION WITH WATER BATANG TORU RIVER SOUTH

TAPANULI ABSTRACT

Batang Toru River is one of the largest river in South Tapanuli with length 69,32 Km. Benthic algae is one of the aquatic organisms thet live in it. Diversity of benthic algae research has been carried out in August 2013. Study aimed to determine the diversity of benthic algae and relationship to physical and chemical factors in Batang Toru river waters. The method used was purposive random sampling where sampling station consisted of three observation station. Based on the research result obtained by benthic algae genus consist of 63 family 31, and 4 classes. The highest density of benthic algae was found in the genus

Gomphonema ind/m2 498.77 (Station 1) and the lowest in the genus Coloneis,

Dimorphococcus, Coelastraum, Netrium, Chrooccus, (Station 2) and

Rhopalopodia Opephora, mesotaenium (Station 3), each for 1,23 Ind/m2.

Diversity index was highest at station 3 at 3,17 and lowest at station 3 by 2,86. Uniformity index was highest at station 1 was 0,84 and the lowest 0,75 station 3. The results or correlation analysis showed that temperature, pH, flow rate, Dissolved Oxygen, Biological Oxygen Diamend, nitrate and phosphate levels have a very strong correlation to the diversity of benthic algae.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

PENGHARGAAN i

ABSTRAK ii

ABSTRACT iii

DAFTAR ISI iv

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

Bab 1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 2

1.3 Tujuan 3

1.4 Manfaat 3

Bab 2. Tinjauan Pustaka

2.1 Ekosistem Sungai 4

2.2 Pencemaran Air Sungai 5

2.3 Bentik Alga 6

2.4 Bentik Alga Sebagai Indikator Kualitas Air 7

2.5 Faktor Fisik-Kimia Perairan 9

2.5.1 Suhu 9

2.5.2 Intensitas Cahaya 9

2.5.3 Penetrasi Cahaya 10

2.5.4 Oksigen Terlarut (DO) 10

2.5.5 Ph air 11

2.5.6 Kecepatan Arus 11

2.5.7 Biochemical Oxygen Demand (BOD) 12

2.5.8 Nitrat dan Phosfat 13

2.5.9 Kandungan Organik Substrat 13 Bab 3. Metode Penelitian

3.1 Waktu dan Tempat 14

3.2 Metode Penelitian 14

3.3 Deskripsi Area 14

1 Stasiun 1 14

2 Stasiun 2 15

3 Stasiun 3 16

3.4 Alat dan Bahan 16

3.5 Pengambilan Sampel Bentik Alga 17 3.6 Pengukuran Faktor Fisik-Kimia Perairan 17

3.6.1 Suhu 17


(8)

3.6.3 Penetrasi Cahaya 17

3.6.4 Oksigen Terlarut (DO) 18

3.6.5 pH air 18

3.6.6 Kecepatan Arus 18

3.6.7 Biochemical Oxygen Demand (BOD) 18

3.6.8 Kejenuhan oksigen 18

3.6.9 Nitrat dan Phosfat 18

3.6.10 Kandungan Organik Substrat 18 3.7 Penentuan Status Mutu Air Dengan Metode Storet 19

3.8 Analisis Data 20

Bab 4. Hasil Dan Pembahasan 23

4.1 Faktor Abiotik Lingkungan 23

4.1.1 Faktor Fisik Kimia Air 23

4.2 Faktor Biotik Lingkungan 29

4.2.1 Klasifikasi Bentik Alga 29

4.2.2 Kepadatan Bentik Alga Di Sungai Batang Toru 32 4.3 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) 37

4.4 Indeks Similaritas 38

4.5 Sifat Fisik Kimia Sungai Batang Toru Berdasarkan 39 Metode Storet

4.6 Analisa Korelasi Pearson 41

Bab 5. Kesimpulan Dan Saran 43

5.1 Kesimpulan 43

5.2 Saran 43


(9)

DAFTAR TABEL

Nomor

Tabel Judul Halaman

1 Alat dan satuan yang dipergunakan dalam pengukuran faktor fisik kimia perairan

19 2 Penentuan Sistem Nilai untuk Menentukan Status Mutu

Air

20

3 Indeks Korelasi 22

4 Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan Pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

23 5 Klasifikasi Bentik Alga yang Diperoleh pada Setiap

Stasiun

29 6 Nilai Kepadatan (Ind/m2), Kepadatan Relatif (%) dan

Frekwensi Kehadiran (%) pada Maing-Masing Stasiun Penelitian

32

7 Nilai H’ Indeks Diversitas (Shannon Winner) dan E (Indeks Equitabilitas) yang diperoleh pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

37

8 Nilai IS (Indeks Similaritas) pada maing-masing Stasiun Penelitian

38 9 Kondisi Kualitas Perairan Sungai Batang Toru Menurut

Metode Storet

40 10 Nilai Korelasi Pearson antara Keanekaragaman Bentik

Alga dengan Faktor Fisik Kimia Perairan


(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Gambar Judul Halaman

1 Lokasi Pengambilan Sampel Stasiun 1 15 2 Lokasi Pengambilan Sampel Stasiun 2 15 3 Lokasi Pengambilan Sampel Stasiun 3 16 4 Diagram bentik alga yang diperoleh berdasarkan kelas

pada setiap stasiun penelitian


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Huruf

Lampiran Judul Halaman

A Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur kelarutan oksigen (DO)

48 B Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur BOD5 49 C Bagan Kerja Kandungan Organik Substrat 50

D Foto Kerja 51

E Foto Bentik Alga yang diperoleh 52

F Peta Lokasi 54

G Contoh perhitungan 55


(12)

KEANEKARAGAMAN BENTIK ALGA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS AIR DI PERAIRAN SUNGAI BATANG TORU KABUPATEN

TAPANULI SELATAN

ABSTRAK

Sungai Batang Toru adalah salah satu sungai terbesar di Tapanuli Selatan dengan panjang 69,32 Km. Bentik alga merupakan salah satu organisme air yang hidup didalamnya. Penelitian keanekaragaman bentik alga ini telah dilaksanakan pada bulan Agustus 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman bentik alga dan hubungannya dengan faktor fisik kimia perairan di sungai Batang Toru. Metode penelitian yang digunakan adalah Purposive Random Sampling

dimana stasiun pengambilan sampel terdiri dari tiga stasiun pengamatan. Berdasarkan hasil penelitian bentik alga yang diperoleh sebanyak 63 genus terdiri dari 31 famili, dan 4 kelas. Kepadatan bentik alga tertinggi terdapat pada genus

Gomphonema sebesar 498.77 Ind/m2 (stasiun 1) dan terendah pada genus

Coloneis, Dimorphococcus,Coelastraum, Netrium, Chrooccus (stasiun 2) dan

Rhopalopodia, Opephora, Mesotaenium (Stasiun 3) masing-masing sebesar 1,23 Ind/m2. Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 3,17 dan terendah pada stasiun 3 sebesar 2,86. Indeks Keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 0,84 dan terendah pada stsiun 3 sebesar 0,75. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa Suhu, pH, kecepatan arus, DO, BOD, kadar nitrat dan pospat memiliki korelasi yang sangat kuat terhadap keanekaragaman bentik alga.


(13)

DIVERSITY BENTHIC ALGAE AND WATER QUALITY IN CONNECTION WITH WATER BATANG TORU RIVER SOUTH

TAPANULI ABSTRACT

Batang Toru River is one of the largest river in South Tapanuli with length 69,32 Km. Benthic algae is one of the aquatic organisms thet live in it. Diversity of benthic algae research has been carried out in August 2013. Study aimed to determine the diversity of benthic algae and relationship to physical and chemical factors in Batang Toru river waters. The method used was purposive random sampling where sampling station consisted of three observation station. Based on the research result obtained by benthic algae genus consist of 63 family 31, and 4 classes. The highest density of benthic algae was found in the genus

Gomphonema ind/m2 498.77 (Station 1) and the lowest in the genus Coloneis,

Dimorphococcus, Coelastraum, Netrium, Chrooccus, (Station 2) and

Rhopalopodia Opephora, mesotaenium (Station 3), each for 1,23 Ind/m2.

Diversity index was highest at station 3 at 3,17 and lowest at station 3 by 2,86. Uniformity index was highest at station 1 was 0,84 and the lowest 0,75 station 3. The results or correlation analysis showed that temperature, pH, flow rate, Dissolved Oxygen, Biological Oxygen Diamend, nitrate and phosphate levels have a very strong correlation to the diversity of benthic algae.


(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sungai adalah salah satu perairan yang aktivitasnya dipengaruhi oleh banyak faktor, Ekosistem sungai dipengaruhi oleh aktivitas alam dan aktivitas manusia yang terdapat disepanjang aliran sungai. Pada umumnya aktivitas yang paling bannyak mempengaruhi ekosistem sungai adalah aktivitas manusia yang meliputi kegiatan pertanian, perkebunan, pemukiman dan industri. Secara langsung atau tidak langsung limbah dan sampah pertanian, perkebunan, pemukiman, serta industri yang dapat mempengaruhi kualitas perairan terhadap perubahan fisika kimia maupun sifat biologi sungai (Wargadinata, 1995).

Sungai Batang Toru adalah salah satu sungai terbesar di Tapanuli Selatan dengan panjang 69,32 Km. Ke hilir, arusnya berakhir ke laut di pesisir barat setelah lebih dulu membagi airnya sebagian ke Danau Siais. Sedangkan ke hulu, Batang Toru melintasi Tarutung, Tapanuli Utara. Masyarakat mengenalnya dengan nama Aek Sarulla. Pola aliran sungai di Ekosistem Batang Toru mengikuti pola paralel. artinya, pola aliran sungai bentuknya memanjang ke satu arah dengan cabang-cabang sungai kecil yang datangnya dari arah lereng-lereng bukit terjal kemudian menyatu di sungai utamanya, yaitu Batang Toru yang mengalir di lembahnya. Air dari sungai Batang Toru dan Aek Garoga menjadi penting untuk perkebunan luas yang berada di daerah hilir (YEL, 2007).

Aktifitas manusia disekitar perairan erat kaitannya terhadap perubahan lingkungan baik perubahan fisik maupun kimia air. Kelayakan lingkungan dapat diestimasi melaui pengukuran kuantitatif dan kualitatif terhadap biota yang menghuni perairan tersebut (Soemarwoto, 1990). Menurut Cheremer et al (2007), satu diantaranya biota yang sering digunakan adalah komunitas Alga bentik.

Bentik alga adalah organisme perairan yang hidupnya melekat pada berbagai substrat perairan. Menurut Aykulu in Gurbuz (2004), menyatakan bahwa Bentik alga dipandang sebagai komponen penting bagi ekosistem sungai dan


(15)

danau. Bentik alga membuat suatu konstribusi penting dalam keanekaragaman biologi dan produktifitas suatu ekosistem perairan. Dalam hal ini bentik alga digunakan sebagai indikator dari kualitas perairan khusunya sungai. Dengan melihat keanekaragaman dan kepadatan bentik alga yang hidupnya bergantung pada kondisi lingkungan perairan tersebut. Bentik alga memiliki kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap perubahan lingkungan (Wu et al., 2010).

Sungai Batang Toru merupakan bagian dari daerah aliran sungai Aek pahu yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. tambang emas milik PT. Agincourt Resources (AR) yang berada pada daerah aliran sungai banyak melakukan aktivitas pertambangan pada aliran sungai, seperti pembuangan limbah pada badan sungai. Dengan adanya perubahan tata guna lahan yang menjadi daerah Pertambangan, pertanian, perkebunan dan pemukiman masyarakat menyebabkan masuknya limbah ke badan sungai, sehingga menimbulkan dampak negatif terdadap kualitas perairan. Sejauh ini belum adanya informasi mengenai keanekaragaman Bentik Alga di perairan Sungai Batang Toru. Dengan hal tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian “ Studi Keanekaragaman Bentik Alga dan Hubungannya Dengan Kualitas Air di Sungai Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan”.

1.2 Permasalahan

Sungai Batang Toru yang berada di Kabupaten Tapanuli Selatan banyak digunakan oleh masyarakat untuk berbagai aktivitas seperti, pertanian, pemukiman penduduk dan tambang emas PT. AR. Banyaknya aktifitas yang berlangsung disepanjang aliran sungai Batang Toru dapat mengakibatkan perubahan faktor fisik kimia perairan, khususnya buangan limbah di perairan sungai Batang Toru yang berdampak terhadap keanekaragaman Bentik Alga dan kualitas Sungai tersebut.


(16)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman bentik alga dan hubungannya dengan faktor fisik kimia perairan di sungai Batang Toru Kabupaten Tapanuli Seletan.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Sebagai sumber informasi mengenai keanekaragaman bentik alga di perairan di sungai Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan.

b. Sebagai sumber informasi bagi pihak terkait mengenai kualitas perairan dan kondisi lingkungan di sungai Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan.


(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Sungai

Fungsi utama sungai adalah sebagai pembawa air dan sedimen. Secara garis besar, komponen utama sungai dapat dibagi menjadi dua yaitu daerah aliran sungai (DAS) dan sistem sungainya. Sistem sungai mempunyai karakteristik yang berbeda baik satu sistem dengan yang lainnya maupun dalam sistem sungai itu. Dalam satu sistem sungai ada perbedaan-perbedaan, kemiringan dasar, penampang sungai, dan material sungai (Kodoatie & Sjarief, 2010).

Habitat air tawar menempati daerah yang relatif lebih kecil pada permukaan bumi dibandingkan habitat air laut, tetapi bagi manusia kepentingan jauh lebih berarti dibandingkan dengan luas daerahnya. Hal ini disebabkan karena: 1) habitat air tawar merupakan sumber air yang paling praktis dan murah untuk kepentingan domestik maupun industri. 2) ekosistem air tawar menawarkan sisitem pembuangan yang memadai dan paling murah (Odum, 1994). Barus (2004), menyatakan bahwa perairan lentik umumnya mempunyai arus yang lambat serta terjadi akumulasi massa air dalam periode waktu yang lama. Sementara perairan lotik umumnya mempunyai kecepatan arus yang tinggi disertai pemindahan massa air berlangsung dengan cepat.

Pada perairan sungai biasanya terjadi percampuran massa air secara menyeluruh dan tidak terbentuk stratifikasi vertical kolom air seperti pada perairan lentik. Sungai dicirikan oleh arus yang searah dan relatif kencang, serta sangat dipengaruhi oleh waktu, iklim, dan pola aliran air. Kecepatan arus, erosi, dan sedimentasi merupakan fenomena yang umum terjadi di sungai sehingga kehidupan flora dan fauna pada sungai sangat dipengaruhi oleh ketiga variabel tersebut (Effendi, 2003).

Sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang keberadaannya sangat dipengaruhi oleh berbagai aktivitas manusia disepanjang aliran sungai. Manfaatannya sebagai sumber air sangat penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Menurut Sunaryo et al., (2005) pengelolaan lingkungan sungai


(18)

merupakan bagian dari pengelolaan sumber daya perairan. Namun sayang sekali, asas tersebut sering diabaikan (baik dalam perencanaan dan / pelaksanaan) sehingga pelestarian aspek lingkungan sungai sering kali amat rendah. Pemanfaatan lahan di sempadan sungai untuk keperluan pemukiman, pertanian, dan usaha lain yang mengganggu kelancaran lingkungan sungai dapat menurunkan daya guna sungai akibat dari berbagai aktivitas melebihi daya dukung sungai atau tercemarnya air oleh zat-zat kimia yang akan mematikan kehidupan yang ada di sekitarnya dan merusak lingkungan.

2.2. Pencemaran Air Sungai

Air merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui, tetapi air akan dapat dengan mudah terkontaminasi oleh aktivitas manusia. Berdasarkan keputusan mentri Negara kependudukan dan lingkungan hidup No. 02/MENKLH/1988, yang dimaksud dengan pencemaran adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lai kedalam air/udara, dan atau berubahnya tatanan komposisi) air/udara oleh kegiatan manusia atau proses ala, sehingga kualitas udara/air menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya (Kristanto, 2004).

Hampir setiap hari sungai sungai di dunia menerima sejumlah besar aliran sedimen baik secara alamiah, buangan industri, buangan limbah rumah tangga, aliran air permukaan, pemukiman dan pertanian. Kedalaman dan lebar kurva konsentrasi oksigen dan waktu serta jarak sungai dapat kembali normal tergantung pada volume air sungai, laju aliran sungai, suhu, pH, dan volume limbah yang masuk (Darmono, 2001).

Berbagai macam kegiatan industri dan tehnologi yang ada saat ini apabila tidak disertai dengan program pengelolaan limbah yang baik akan memungkinkan terjadinya pencemaran air sungai secara tidak langsung maupun langsung. Wardhana (2001), menyatakan bahwa komponen pencemar air dikelompokkan sebagai berikut:

1. Bahan buangan padat 2. Bahan buangan organik 3. Bahan buangan anorganik


(19)

4. Bahan buangan cairan berminyak

5. Bahan buangan zat kimia dan buangan berupa panas.

Menurut Sastrawijaya (1991), banyaknya bahan pencemar dapat memberikan dua pengaruh terhadap organisme perairan yaitu membunuh spesis tertentu dan sebaliknya dapat mendukung kehidupan spesies tertentu pula. Penurunan dalam keanekaragaman spesies dapat juga dianggap sebagai suatu pencemaran. Sunaryo et al., (2005), menyatakan bahwa pemerintah Indonesia telah menetapkan limbah industri tidak boleh dilepaskan keperairan bila belum memenuhi suatu standar. Artinya, pihak industri harus membangun dan mengoperasikan instalasi pengelolaan air limbah (IPAL). Namun dalam kenyataanya, hal ini sering dilanggar dan diacuhkan.

Perubahan penggunaan lahan akan mengubah karakteristik aliran air, aliran permukaan, kualitas air, dan sifat hidrologi daerah yang bersangkutan. Aliran air akan dipengaruhi oleh curah hujan dan kemudian dapat mempengaruhi karakteristik DAS. Aliran permukaan akan dipengaruhi oleh perubahan penutupan lahan, seperti kemampuan infiltrasi tanah yang berkaitan dengan fungsi vegetasi sebagai penutup lahan dan sumber bahan organik (seperti silika), serta perubahan penggunaan lahan, seperti sifat dan ciri vegetasi yang dapat meningkatkan atau menurunkan volume aliran sungai di suatu DAS (Wijaya, 2009).

2.3.Bentik Alga

Dalam perairan, alga merupakan penyusun fitoplankton yang biasanya melayang-layang di dalam air, tetapi dapat juga hidup melekat di dasar perairan. Alga yang hidup melayang-layang disebut neustonik dan yang hidup di dasar disebut bentik. Menurut Bold (1985), alga bentik diketegorikan sebagai organisme yang melekat pada berbagai substrat dan dapat diklasifikasikan sebagai epilitik (hidup pada bebatuan), epipelik (melekat pada lumpur atau pasir ), epifit (melekat pada tanaman), dan epizoik (melekat pada hewan). Disamping klasifikasi habitat diatas, alga terus menerus terendam dan tergantung pada kejernihan dan kekeruhan air, pada ekosistem perairan tropis.

Aquatik alga dapat dikategorikan sebagai plankton (fitoplankton) atau menempel dan hidup pada dasar substrat (bentik). Planton tersebut terdiri dari


(20)

flora dan fauna, bersama-sama dengan bakteri jamur dan organisme planktonik lainnya (Suwartimah et al., 2011). Alga planktonik tentunya menggunakan nutrisi yang menguntungkan bagi perkembagan alga tersebut, Diatom, dinoflagelata, ganging hijau, euglena, dan gangang hijau biru adalah yang paling sering muncul

Tubuh alga (gangang) menunjukkan keanekaragaman yang besar, tetapi semua selnya selalu jelas mempunyai inti dan plastid, dalam plastidanya terdapat zat-zat warna klorofil, yaitu klorofil –a atau klorofil-b atau kedua-duanya. Selain derivat-derivat klorofil tardapat pula zat warna lain, dan zat warna lain inilah yang justru kadang-kadang lebih menonjol dan menyebabkan kelompok gangang tertentu diberi nama menurut warna tersebut. Zat-zat warna tersebut berupa fikosianin (berwarna biru), fikosantin (berwarna pirang), fikoeritrin (berwarna merah). Disamping itu juga biasa ditemukan zat warna Xantofil, dan karotin. Dengan adanya derivate klorofil tersebut tumbuhan gangang dapat berasimilasi dengan fotosintesis, jadi gangang tersebut bersifat autotrof (Tjitrosoepomo, 2005).

2.4 Bentik Alga Sebagai Indikator Kualitas Air

Keberadaan organisme perairan dapat digunakan sebagai indikator terhadap pencemaran air selain indikator kimia dan fisika. Menurut Nybakken (1992), organisme perairan dapat digunakan sebagai indikator pencemaran karena habitat, mobilitas dan umurnya yang relatif lama mendiami suatu wilayah perairan tertentu Dampak adanya pencemaran akan mengakibatkan keanekaragaman spesies menurun

Menurut Thornton et al., (1990), produsen primer di sungai, danau, dan waduk terdiri dari fitoplankton, bakteri, alga bentik (perifiton), dan makrofita. Pada kondisi perairan berarus perifiton lebih berperan sebagai produsen primer, sedangkan fitoplankton cenderung lebih dominan peranannya pada sungai yang dalam dan besar.

Sebagai produsen primer yang paling penting dalam sistem ekosistem perairan, alga bentik terdapat dimana-mana dan sensitif untuk berbagai keadaan stres. Alga bentik banyak menjelaskan pola distribusi dari ganggang yang sangat berkorelasi dengan faktor lingkungan. Faktor-faktor ini termasuk karakteristik


(21)

Sungai). Dalam Stream nutrisi seperti N dan P. Selain itu, ada banyak studi menggambarkan komposisi ganggang komunitas bentik dan hubungan dengan kualitas lingkungan di danau, kolam, dan sungai dalam jangka waktu tertentu (Wu

et all. 2009).

Beberapa indikator penting dari beberapa spesies alga menjadi kriteria untuk menentukan pencemaran air. Limbah air berasal dari sumber-sumber domestik dan industri, terdiri dari senyawa organik dan anorganik . Menurut Atici & Obali (2010), diatom sendiri telah digunakan di sejumlah negara sebagai indikator polusi air. Diatom merupakan organisme biologi yang cukup penting cukup penting, karena mereka adalah salah satu sumber oksigen, seperti divisi alga lainnya, dan tingkatan pertama sebagai produsen utama yang dominant dan merupakan sumber daya makanan alami pada ekosistem sungai

Alga dapat berfungsi sebagai indikator tingkat penurunan kualitas air, dan algae sebagai indikator banyak telah digunakan untuk menilai status lingkungan. Kolkwitz & Marsson (1980), adalah perintis yang diklasifikasikan spesies alga berdasarkan toleransinya terhadap berbagai jenis polusi. Mereka menyatakan bahwa kehadiran spesies tertentu ganggang bisa mendefinisikan berbagai zona degradasi di sungai. Palmer (1969) dalam Omar (2010), menerbitkan sebuah peringkat komposit spesies alga yang dapat digunakan untuk menunjukkan air bersih dan tercemar Menurut Curtis & Curd (1971) dalam Wijaya (2009), menambahkan beberapa alga yang hidup pada komunitas perairan tercemar limbah organic

adalah Stigeoclon tenue, Navicula spp., Fragillaria spp., dan Synedra spp, Alga yang berhubungan dengan air bersih adalah Cladophora, Ulothrix, dan

Navicula, sedangkan alga yang berhubungan dengan perairan yang tercemar

adalah Chlorella, Chlamydomonas, Oscillatoria, Phormidium, dan Stigeoclonium. Alga hijau (Chlorophyceae) biasa berkembang pada perairan pertengahan antara perairan tidak tercemar dengan perairan sangat tercemar.


(22)

2.5. Faktor Fisika kimia perairan 2.5.1 Temperatur

Menuurut Kristanto (2004), naiknya suhu air akan menimbulkan akibat sebagai berikut:

• Menurunnya jumlah oksigen terlarut dalam air. • Meningkatkan kecepatan reaksi kimia.

• Mengganggu kehidupan aikan dan biota air lainnya.

• Jika batas suhu yang mematikan terlampaui, ikan dan hewan air lainya akan mati.

Walaupun variasi suhu dalam air tidak sebesar diudara, hal ini merupakan faktor pembatas utama karena organisme aquatik sering kali mempunyai toleransi yang sempit. Perubahan suhu menyebabkan pola sirkulasi yang khas dan strtifikasi mempengaruhi kehidupan kehidupan aquatik (Odum, 1993).

Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang baik bagi pertumbuhannya. Alga dari filum Chlorophyta dan diatom akan tumbuh baik pada kisaran suhu berturut-turut 300 C-350 C dan 200 C-300 C, dan filum Cyanophyta dapat bertoleransi terhadap kisaran suhu yang lebih tinggi (di atas 300 C) dibandingkan kisaran suhu pada filum Chlorophyta atau diatom (Effendi, 2003).

2.5.2. Intensitas Cahaya

Faktor cahaya matahari yang masuk kedalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan keluar dari permukaan air. Kondisi optic dalam air selain dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, juga dipengaruhi oleh berbagai substrat dan benda lain yang terdapat didalam air, misalnya plankton. Vegetasi yang ada di sepanjang aliran air juga dapat mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk kedalam air (Barus, 2004).

Sebaran vertikal ditandai dengan berkumpulnya fitoplankton di zona eufotik yaitu zona dengan intensitas cahaya yang masih memungkinkan terjadinya fotosintesis. Dari hasil berbagai penelitian, ternyata sebaran vertikal plankton


(23)

tergantung dari berbagai faktor, antara lain intensitas cahaya (Arinardi dalam

Wijaya, 2009).

2.5.3. Penetrasi Cahaya

Cahaya matahari tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau zat terlarut tinggi. Menurut Odum (1993), menyatakan bahwa penetrasi cahaya sering kali dihalangi oleh zat yang terlarut dalam air, membatasi zona fotosintesis dimana habitat aquatik dibatasi oleh kedalaman, kekeruhan, terutama bila disebabkan oleh lumpur dan partikel yang dapat mengendap, sering kali penting sebagai faktor pembatas.

Dengan demikian kedalaman penetrasi cahaya akan berbeda pada setiap ekosistem air yang berbeda. Pada batas akhir penetrasi cahaya disebut sebagai titik kompensasi cahaya, yaitu titik pada lapisan air, dimana cahaya matahari mencapai nilai minimum yang menyebabkan proses asimilasi dan respirasi berada pada titik keseimbangan.

Kemampuan penetrasi cahaya yang sampai pada kedalaman tertentu akan mempengaruhi distribusi serta intensitas tumbuhan air pada perairan sungai. Kosbiono (1979), menyatakan bahwa pengaruh utama kekeruhan adalah penurunan penetrasi cahaya secara mencolok. Sehingga menurunkan aktivitas fotosintesis fitoplankton dan alaga, akibatnya akan menurunkan produktifitas perairan

2.5.4. Oksigen Terlarut (DO)

(Disolved Oxygen) DO merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu

perairan. Oksigen terlaurut merupakan faktor yang penting dalam ekosistem perairan, terutama dalam proses respirasi bagi sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi oleh faktor suhu, dimana kelarutan maksimum terdapat pada suhu 00 C, yaitu sebesar 14,16 mg/l O2. Sumber utama oksigen terlarut dalam air berasal dari adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan juga dari proses fotosintesis (Barus, 2004).

Untuk mempertahankan hidupnya, mahluk yang tinggal dalam air, baik tumbuhan maupun hewan, bergantung pada oksigen terlarut ini. Jadi kadar


(24)

oksigen terlaurt dapat dijadikan ukuran untuk menentukan kualitas air. Kehidupan di air dapat betahan jika terdapat oksigen terlaurut minimal sebanyak 5 ppm, selebihnya bergantung kepada ketahanan organisme, derajat keaktifannya, kehadiran bahan pencemar, suhu air dan sebagainya (kristanto, 2004).

Menurut kristanto (2004), untuk mempertahankan hidupnya, mahluk yang tinggal dalam air, baik tumbuhan maupun hewan, bergantung pada oksigen terlarut ini. Jadi kadar oksigen terlarut dapat dijadikan ukuran untuk menentukan kualitas air. Kehidupan di air dapat bertahan jika terdapat oksigen terlarut minimal sebanyak 5 ppm, selebihnya bergantung kepada ketahanan organisme, derajat keaktifannya, kehadiran bahan pencemar, suhu air dan sebagainya. Konsentrasi oksigen terlarut rendah akan mengakibatkan ikan-ikan dan hewan air lain yang membutuhkan oksigen akan mati.

2.5.5. pH air

Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan, disefinisikan sebagai logaritma dari resiprokal aktivitas ion hydrogen dan secara matematis dinyatakan sebagai pH=log 1/H+, dimana H+ adalah banyaknya ion hidrogen dalam mol perliter larutan. Organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5 (Barus, 2004).

Nilai pH sangat menentukan dominansi fitoplankton. Pada umumnya alga biru lebih menyukai pH netral sampai basa dan respon pertumbuhan negatif terhadap asam (pH<6), Chrysophyta umumnya pada kisaran pH 4,5–8,5, dan pada umumnya diatom pada kisaran pH yang netral akan mendukung keanekaragaman jenisnya (Weitzhel dalam Wijaya, 2009).

2.5.6. Kecepatan Arus

Kecepatan arus air dari suatu badan air ikut menentukan penyebaran organisme yang hidup dibadan air tersebut. Penyebaran plankton, baik fitoplankton maupun zooplankton, sangat ditentukan oleh aliran air. Selain itu, aliran air juga ikut berpengaruh terhadap kelarutan udara dalam air, sehingga secara tidak langsung


(25)

akan berpengaruh terhadap kehidupan organisme air. Menuru kecepatan arus air permukaan tidak sama denagan air bagian bawah. Semakin kebawah gerakan air biasanya semakin lambat dibanding dengan permukaan. Karena adanya perbedaan kecepatan arus antar kedalaman, maka tampak bentuk antara organisme air pada kedalaman yang berbeda tidak sama (Suin, 2002).

Menurut Barus (2004), kondisi dengan gerakan air yang sanagat lambat , umumnya terdapat pada batu-batuan didasar perairan. Daerah yang berarus lambat ini merupakan habitat yang ideal bagi organisme air yang tidak mempunyai adaptasi khusus melawan arus yang deras. Welch (1980), menambahkan, sungai dangkal dengan kecepatan arus cepat, biasanya didominasi oleh diatom perifitik. Alga bentik yang mendominasi perairan yang berarus kuat dikarakteristikkan oleh adanya diatom golongan Pennales.

2.5.7. (Biological Oxygen Demand) BOD5

Nilai (Biological Oxygen Demand) BOD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oloeh microorganisme dalam penguraian senyawa organik dalam lingkungan air Barus (2004). Wardhana (2001), menyatakan peristiwa penguraian buangan bahan-bahan organik melalui proses oksidasi oleh microorganisme di dalam air lingkungan adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa setelah Pengukuran dilakuka selama 5 hari jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah mencapai kurang lebih 70%, BOD yang umum dilakukan adalah pengukuran selama 5 hari. Menurut Suin (2002), untuk itu maka perlu diukur kadar oksigen terlarut pada saat pengambilan contoh air (DO0 hari) dan kadar oksigen terlarut dalam sampel air yang telah disimpan selama 5 hari (DO5). Selama dalam penyimpanan itu, harus tidak ada penambahan oksigen melalui proses fotosintesis, dan selama 5 hari tersebut semua organisme yang berada dalam sampel air itu bernafas menggunakan oksigen yang ada didalam sampel tersebut.


(26)

2.5.8. Nitrat dan Phosfat

Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Sumber fosfor lebih sedikit dibandingkan dengan sumber nitrogen di perairan dan keberadaan fosfor di perairan alami biasanya relatif sedikit dengan konsentrasi yang relatif kecil dibandingkan nitrogen. Sumber antropogenik fosfor di perairan adalah limbah industri dan domestik, yaitu fosfor yang berasal dari deterjen. Limpasan dari daerah pertanian yang menggunakan pupuk juga memberikan konstribusi yang cukup besar bagi keberadaan fosfor (Effendi 2003).

Nitrat adalah bentuk utama dari nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil, sedangkan nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan karena bersifat tidak stabil terhadap keberadaan oksigen. Nitrat juga merupakan zat hara penting bagi organisme autotrof dan diketahui sebagai faktor pembatas pertumbuhan Eaton et all. (1995) dalam Wijaya (2009).

2.5.8. Kandungan Organik Substrat

Menurut Odum (1993), substrat pada dasar perairan merupakan campuran dari beberapa ukuran materi dan partikel yang tersusun dari kepingan batu, walaupun ada juga tipe substrat seragam tunggal seperti batuan dan dasar yang dominan.

Kehidupan organisme air ada juga ketergantungannya dengan bahan dan ukuran partikel dasar badan air. Dengan mengetahui bahan dasar dan ukuran partikel dasar perairan akan didapat informasi yang mungkin dapat menunjukkan tipe fauna yang terdapat di substrat badan air tersebut (Suin, 2002).


(27)

BAB 3

BAHAN DAN METODA

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan agustus 2013. Sampel bentik alga dan pengukuran faktor fisik kimia perairan berada pada 3 (tiga) lokasi pengambilan sampel pada aliran Sungai Toru. Sampel bentik alga dan pengukuran faktor fisik kimia perairan lainnya dilakukan di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.

3.2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel bentik alga adalah Purposive Random Sampling . Pengambilan sampel berdasarkan aktifitas yang manusia yang terdiri dari 3 (tiga) stasiun pengamatan. Pada masing-masing stasiun dilakukan 9 (Sembilan) kali ulangan pengambilan sampel.

3.3. Deskripsi Area a. Stasiun 1

Stasiun 1 berada di Desa Sabarongggang dan secara geografis terletak pada 01028’42,9” LU dan 099003’30,2” BT. Lokasi ini merupakan daerah kontrol (tidak terdapat aktifitas). Substrat pada stasiun ini berupa lumpur berpasir dan batu-batuan.


(28)

Gambar 1. Lokasi Pengambilan Sampel Stasiun 1

b. Stasiun 2

Stasiun 2 berada di Desa Sabaronggang dan secara geografis terletak 01028’5,8” LU dan 09900,3’4,1” BT. Stasiun ini merupakan daerah perkebunan karet.


(29)

c. Stasiun 3

Stasiun 3 secara geografis terletak 01027’47,3” LU dan 099002’12,0” BT. Stasiun ini merupakan daerah pertanian dan pemukiman penduduk. Substrat pada stasiun ini berupa pasir dan batu.

Gambar 3. Lokasi Pengambilan Sampel Stasiun 3

3.4 Alat dan Bahan

Adapun alat yang digunakan pada penelitian ini adalah penggaris , Besi petak 30 x 30 cm, sampel cup, mikroskop, pipet tetes, cover glass, kuas, pinset, sikat, botol zat, spidol, termometer, pingpong, stop watch, pH meter, tali, keeping secchi, gelas Erlenmeyer 20 ml,botol winkler, gunting, cutter, camera digital, Edmondson (1963), Bold & Wyne (1985), Krauter & Streble (1988).

Bahan yang digunakan adalah, lugol, aquadest, tissue, aluminium foil, lakban, split 1ml, MnSO4, KOHKI, H2SO4, Na2S2O3, amilum dan kertas label.


(30)

3.5 Pengambilan Sampel Bentik Alga

Pengambilan Sampel bentik alga dengan membuat plot 30×30 cm setiap stasiun dilakukan 9 (Sembilan) kali ulangan . Disortir setiap substrat yang berada di dalam plot dengan cara menyikat dan mengerik substrat dengan menggunakan sikat dan kuas. Sampel bentik alga yang di dapat dimasukkan ke dalam sampel cup yang berisi aquadest kemudian diberi label.

Identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara. Sampel diamati dengan menggunakan mikroskop dan selanjutnya diidentifikasi dengan menggunakan buku identifikasi Bold & Wyne (1985).

3.6 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan Faktor fisik dan kimia perairan yang diukur mencakup:

3.6.1 suhu

Temperatur air diukur dengan menggunakan termometer air raksa yang dimasukkan kedalam sampel air selama lebih kurang 3 menit. Temperatur dibaca pada skala termometer tersebut.

3.6.2 Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya diukur dengan menggunakan Lux meter yang diletakkan menghadap arah cahaya sinar matahari dibiarkan beberapa menit dan di catat nilai intensitas cahaya yang muncul

3.6.3 Penetrasi Cahaya

Penetrasi cahaya diukur dengan menggunakan keping seechi yang dimasukkan ke dalam badan air sampai keping seechi tidak terlihat. Panjang tali yang masuk ke dalam air menunjukkan kedalaman penetrasi cahaya.


(31)

3.6.4 Kandungan Oksigen Terlarut (Disolved Oxygen)

Kandungan oksigen terlarut diukur dengan menggunakan metode winkler. Sampel air yang diperoleh dimasukkan ke dalam botol winkler kemudian dilakukan pengukuran oksigen terlarut. Bagan kerja terlampir.

3.6.5 pH Air (Derajat Keasaman)

Nilai pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH meter ke dalam sampel. Pembacaan dilakukan pada saat angka yang tertera pada pH meter tersebut konstan.

3.6.6 Kecepatan Arus

Kecepatan arus diukur dengan menggunakan pingpong dengan cara memasukkan pingpong ke dalam badan sungai dengan jarak 10 meter dan diukur kecepatannya dengan menggunakan stop watch.

3.6.7 BOD5 (Biological Oxygen Demand)

Pengukuran BOD5 dilakukan dengan menggunakan metode winkler. Sampel air yang diambil dengan menggunakan botol alkohol. Sampel tersebut diinkubasi selama 5 hari kemudian dilakukan pengukuran kadar oksigennya. Bagan kerja terlampir.

3.6.8 Kejenuhan Oksigen

Pengukuran kejenuhan oksigen dilakukan dengan metode winkler dan melihat tabel kejenuhan oksigen yang dihitung dengan melihat konsentrasi oksigen yang diukur.

3.6.9 (Nitrat Dan Phosfat)

Pengukuran Nitrat dan Phosfat diukur dengan menggunakan spektrofotometer. Diambil sampel air sebanyak satu liter dan diukur dilaboratorium, dicatat nilai spektrofotometer yang tertera.


(32)

3.6.10 Kandungan Organik Substrat

Pengukuran kandungan organik substrat dilakukan dengan metode analisa abu, dengan cara substrat diambil, ditimbang sebanyak 100 gr dan dimasukkan ke dalam oven dengan temperatur 450C sampai beratnya konstan (2-3 hari), substrat yang kering digerus dilumpang dan dimasukkan kembali kedalam oven dan dibiarkan selama 1 jam pada temperatur 450C agar substrat benar-benar kering. Kemudian ditimbang 25 gr dan diabukan dalam tanur dengan temperatur 7000C selama 3,5 jam. Kemudian substrat yang tertinggal ditimbang berat akhirnya, dan dihitung kandungan organik subtrat.

Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia berserta satuan dan alat yang digunakan dapat dilihat pada tabel 3.1.

Tabel 1. Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan

No. Parameter

Fisik – Kimia Satuan Alat

Tempat Pengukuran 1 suhu air 0C Termometer Air Raksa In-situ

2 Penetrasi Cahaya Cm Keping Seechi In-situ 3 Intensitas Cahaya Candella Lux Meter In-situ

4 pH air - pH meter In-situ

5 DO mg/l Metoda Winkler In-situ

6 Kecepatan arus m/s Pingpong dan Stop watch In-situ

7 BOD5 mg/l Metode Winkler Laboratorium

8 Kejenuhan Oksigen % Metode winkler Laboratorium 9 NH4 & P mg/l Spektrofotometer Laboratorium 10 Kandungan

Organik Substrat %

Oven Dan Tanur Laboratorium

3.7 Penentuan Status Mutu Air dengan Metode Storet

Prinsip metode Storet adalah membandingkan antara data kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan untuk menentukan status mutu air. Cara menentukan status mutu air adalah dengan menggunakan sistem nilai US-EPA (Environmental Protection Agency) dengan mengklasifikasikan mutu air dalam 4 kelas, yaitu:

1. Kelas A: Baik sekali, skor= 0 → memenuhi baku mutu 2. Kelas B: Baik, skor= -11 s/d -10 → tercemar ringan 3. Kelas C: Sedang, skor= -11 s/d -30 → tercemar sedang


(33)

4. Kelas D: Buruk, skor ≥ -31 → tercemar berat

Prosedur penggunaan:

1. Dilakukan pengumpulan data kualitas air sehingga membentuk data

2. Dibandingkan data hasil pengukuran dan masing-masing parameter air dengan nilai baku mutu yang sesuai dengan kelas air.

3. Jika hasil pengukuran memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran ≤ baku mutu) maka diberi skor 0.

4. Jika hasil pengukuran tidak memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran > baku mutu) maka diberi skor, dapat dilihat pada Tabel 3.2.

5. Jumlah negatif dari seluruh parameter dihitung dan ditentukan status mutunya dari jumlah skor yang didapat dengan menggunakan sistem nilai.

Tabel 2. Penentuan Sistem Nilai untuk Menentukan Status Mutu Air Jumlah

Parameter

Parameter

Nilai Fisika Kimia

< 10 Maksimum -1 -2

Minimum -1 -2

Rata-rata -3 -6

≥ 10 Maksimum -2 -4

Minimum -2 -4

Rata-rata -6 -12

Sumber: Canter (1977)

3.8 Analisis Data

a. Kepadatan Populasi (K)

plot s contoh/Lua unit jumlah spesies suatu individu Jumlah K=

b. Kepadatan Relatif (KR)

X100% jenis seluruh kepadatan Jumlah jenis suatu Kepadatan KR=


(34)

c. Frekuensi Kehadiran (FK)

plot otal Jumlah t

jenis suatu ditempati yang plot Jumlah FK=

Dimana nilai FK : 0-25% : sangat jarang 25%-50% : jarang 50%-75% : banyak 75%-100% : sangat banyak

d. Indeks Diversitas Shannon-Weiner (H’)

= piln pi H

dimana :

H’ = indeks diversitas Shannon-Wiener Pi = proporsi spesies ke-i

Ln = logaritmo Nature

Pi = ∑ ni / N (Perhitungan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis)

e. Indeks Equitabilitas / Indeks Keseragaman (E)

Hmax H' E=

dimana :

H’ = indeks diversitas Shannon-Wienner H max = keanekaragaman spesies maximum

f. Indeks Similaritas (IS)

100% x b a 2c IS + = dimana:

IS = Indeks Similaritas

a = Jumlah spesies pada lokasi A b = Jumlah spesies pada lokasi B


(35)

Bila IS: 75-100% sangat mirip 50-75% mirip

25-50% tidak mirip ≤ 50 sangat tidak mirip

g. Analisis Korelasi

Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui keterkaitan hubungan antara keanekaragaman bentik alga yang terdapat di sungai Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan dengan faktor fisik kimia perairan. Analisis korelasi dihitung menggunakan Analisa Korelasi Pearson dengan metode komputerisasi SPSS Ver.16.00.

Tabel 3. Indeks Korelasi

Internal Koefisien Tingkat Hubungan

0,00 – 0,199 Sangat rendah

0,20 – 0,399 Rendah

0,40 – 0,599 Sedang

0,60 – 0,799 Kuat

0,80 – 1,00 Sangat kuat


(36)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Faktor Abiotik Lingkungan 4.1.1. Faktor Fisik Kimia Air

Hasil pengukuran faktor fisik dan kimia lingkungan yang diperoleh pada stasiun penelitian di Sungai Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan, dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:

Tabel 4. Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan Pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

No Parameter Satuan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

1 Suhu 0C 26,5 28 28,5

2 Penetrasi Cahaya Cm 30 29,5 30,5

3 Intensitas Cahaya Candella 569,5 624 583

4 pH air 6,95 7,3 7,4

5 DO mg/l 7,5 7,25 6,65

6 Kecepatan arus m/s 0,65 0,85 1,15

7 BOD

5 mg/l 0,45 0,9 1,15

8 Kejenuhan Oksigen % 94,7 93,5 86,4

9 kadar nitrat (NO3-N) mg/l 1,024 1,361 1,382 10 Kadar phosfat (PO4) mg/l 0,118 0,142 0,139 11 Kandungan Organik

Substrat % 1,337 0,953 1,248

Keterangan :

Stasiun 1 : Daerah bebas aktifitas Stasiun 2 : Daerah perkebunan

Stasiun 3 : Daerah pertanian dan pemukiman penduduk

Dari Tabel 4. di atas dapat dilihat bahwa setiap nilai faktor fisik kimia perairan yang ada pada setiap stasiun mempengaruhi kehidupan organisme perairan khususnya bentik alga. Dari data di atas terlihat bahwa nilai setiap faktor fisik kimia perairan memiliki perbedaan pada setiap stasiun. Oleh karena itu perbedaan setiap faktor fisik kimia mempengaruhi kehidupan organismenya.


(37)

a. Suhu

Dari Tabel 4 diperoleh nilai rata-rata yang berkisar antara 26,5-28,5 0C, dapat dilihat temperatur tertinggi terdapat pada stasiun 3 dengan nilai 28,50C. Hal ini disebabkan pada stasiun 3 merupakan daerah pertanian dan pemukiman penduduk, hal ini juga disebakan oleh minimnya tutupan vegetasi pada stasiun ini akibatnya paparan cahaya yang masuk lebih besar pada permukaan perairan sehingga mempengaruhi faktor fisik perairan khususnya suhu air. Sedangkan nilai temperatur terendah pada stasiun 1 yaitu 26,50C, hal ini disebabkan tidak adanya aktifitas masyarakat yang terdapat pada stasiun ini, selain itu masih terdapatnya tutupan vegetasi (kanopi) pada pinggiran sungai.

Menurut Barus (2004), pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara disekelilingnya, ketinggian geografis dan faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh ditepi. Di samping itu, pola temperatur perairan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor anthoropogen (faktor yang diakibatkan oleh manusia). Haslam (1995) dalam Effendi (2003), menambahkan bahwa nilai suhu tersebut masih baik untuk pertumbuhan alga terutama jenis diatom (20-30 0C) dan Chlorophyta (30-35 0C), sedangkan jenis

Cyanophyta lebih dapat bertoleransi terhadap kisaran suhu lebih tinggi.

b. Penetrasi Cahaya

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa nilai penetrasi yang didapat tidak memiliki perbedaan yang signifikan dimana berkisar antara 29,5-30,5 cm. Penetrasi cahaya tertinggi didapat pada stasiun 3 yaitu 30,5 cm, sedangkan penetrasi cahaya terendah pada stasiun 2 dengan nilai 29,5. Tinggi rendahnya penetrasi cahaya yang masuk pada perairan dapat disebabkan minim atau tingginya bahan tersuspensi maupun yang terlarut pada badan sungai sehingga mempengaruhi cahaya yang masuk.

Menurut Sastrawijaya (1991), padatan terlarut dalam air umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, kotoran manusia, lumpur, sisa tanaman dan hewan serta limbah industri. Partikel yang tersuspensi akan menurunkan cahaya yang masuk, sehingga akan mempengaruhi ketransparan dan warna air. Dengan


(38)

minimnya penetrasi cahaya yang masuk kedalam air akan mempengaruhi regenerasi oksigen serta fotosintesis tumbuhan air. Selanjutanya Cholik (1988) dalam Aprisanti et al., (2013), menyatakan bahwa kecerahan yang produktif adalah apabila keping secchi mencapai kedalaman 20 – 40 cm dari permukaan.

c. Intensitas Cahaya

Berdasarkan Tabel 4 diperoleh intensitas cahaya berkisar antara 569,5 – 624 candella, dimana nilai intensitas tertinggi terdapat pada stasiun 2 dengan nilai 624 candella dan terendah pada stasiun 1 dengan nilai 569,5 candella. Adanya perbedaan intensitas cayaha ini disebabkan adanya perbedaan tutupan vegetasi (kanopi) yang berbeda setiap stasiunnya.

Menurut barus (2004), menyatakan bahwa faktor cahaya matahari yang masuk kedalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis dari air. Sebagian cahya matahari akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan keluar permukaan air. Romimohtarto (2001), menambahkan banyaknya cahaya yang menembus permukaan perairan dan menerangi lapisan perairan setiap hari dan perubahan intensitas memegang peranan penting dalam pertumbuhan fitoplangkton dan gangang dalam membantu proses fotosintesis sebagai sumber energi.

d. pH air

Dari Tabel 4 diketahui bahwa kisaran pH yang didapat pada setiap stasiun adalah 6,85-7,4, dimana pH tertinggi terdapat distasiun 3 dengan nilai 7,4 sedangkan pH terendah terdapat pada stasiun 1 dengan nilai 6,95. Tinggi rendahnya pH air pada setiap stasiun dapat disebakan oleh adanya berbagai macam aktifitas yang menghasilkan senyawa organik maupun anorganik yang mengalami pengurairan sehingga mempengaruhi pH suatu perairan. Berdasarkan Kriteria Baku Mutu Air kelas II PP No. 82 Tahun 2001 (Tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air), baku mutu untuk air sungai adalah 6-9. Kriteria tersebut menunjukkan bahwa pH air yang terdapat pada ke tiga stasiun penelitian masih dalam batas toleransi.

Cholik et al., (1988) menyatakan bahwa tinggi rendahnya pH perairan dipengaruhi oleh kadar CO2 bebas dan senyawa yang bersifat asam dari proses


(39)

dekomposisi sehingga fitoplankton dan tumbuhan air akan menggunakannya selama proses fotosintesis berlangsung. Selanjutnya Weitzel (1979) dalam Asprianti et al., (2013) menyatakan bahwa, pada umumnya alga biru hidup pada pH netral sampai basa dan respon pertumbuhan negatif terhadap asam (pH<6) dan diatom pada kisaran pH yang netral akan mendukung keanekaragaman jenisnya.

e. Oksigen Terlarut (DO)

Dari Tabel 4 diperoleh rata-rata nilai DO yang didapat adalah 6,65 mg/l -7,5 mg/l, dimana nilai DO tertinggi terdapat pada stasiun 1, dengan nilai 7,5 mg/l, hal ini disebabkan pada stasiun penelitian ini minim aktifitas hal ini diduga karena dipengaruhi oleh pergerakan massa air dengan adanya kontak antara permukaan air dan udara, proses fotosintesis dan respirasi dari organisme sungai termasuk fitoplankton dan algae, sehingga kadar oksigen terlarut lebih tinggi. Sedangkan nilai oksigen terlarut terendah terdapat pada stasiun 3 dengan nilai 6,65 mg/l, hal ini disebabkan pada stasiun 3 merupakan daerah pemukiman dan kawasan pertanian sehingga menyebakan senyawa organik yang tinggi dan suhu pada stasiun ini lebih tinggi dari 2 stasiun lainnya. Menurut Poppo et al., (2008) dalam

Gultom (2010), penyebab utama berkurangnya oksigen terlarut dalam air adalah adanya buangan bahan-bahan yang mudah membusuk.

f. Kecepatan Arus

Dari Tabel 4 diperoleh kecepatan arus pada masing-masing stasiun adalah 0,65 m/s – 1,15 m/s, dimana kecepatan arus tertinggi terdapat pada stasiun 1 (0,65) dan terendah pada stasiun 3 (1.15). perbedaan ini dapat oleh kondisi fisik sungai, dimana pada stasiun 1 memiliki kedalaman yang relatif dangkal sehingga arus lebih cepat, sedangkan stasiun 3 terdapat belokan/lekukan dan sungai yang lebih lebar. Kecepatan arus sangat mempengaruhi kehidupan organisme bentik yang hidupnya melekat pada subtrat dan akan mempengaruhi jenis serta sifat organisme perairan tersebut. Kecepatan arus yang lebih besar dapat mengurangi organisme yang dijumpai dan hanya jenis yang mampu melekat kuat pada subtrat saja yang mampu bertahan. Welch (1980), menambahkan bahwa pada sungai dangkal dengan kecepatan arus cepat, biasanya didominasi oleh diatom epilitik.


(40)

g. BOD5 (Biochemical Oxygen Demand)

Dari Tabel 4 diperoleh kisaran nilai BOD5 yang didapat dari ketiga stasiun penelitian adalah 0,45-1,15 mg/l. Nilai BOD5 tertinggi terdapat pada stasiun 3 dengan nilai 1,15 sedangkan BOD5 terendah pada stasiun 1 dengan nilai 0,45. Rendahnya BOD pada stasiun ini dapat disebakan karena adanya pembusukan tanaman, limbah domestik maupun industri yang terbawa dari hulu sungai. Dari nilai rata-rata BOD5 diatas, dapat dikatakan bahwa kondisi perairan tersebut masih ba ik danmemenuhi baku mutu air kelas III dengannilai maksimum 6 mg/l (PP N O 28/2001). Jeffries & Mills (1996) dalam Effendi (2003), menambahkan bahwa perairan alami memiliki nilai BOD antara 0,5-7,0 mg/l.

h. Kejenuhan Oksigen

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai kejenuhan oksigen pada semua stasiun penelitian berkisar antara 86,4 – 94,7 %. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 94,7 % dan stasiun 3 memiliki kejenuhan terendah sebesar 86,4 %. Tingginya kejenuhan oksigen pada stasiun 1 berkaitan dengan tingginya nilai kandungan oksigen terlarut pada stasiun tersebut, dimana suhu pada stasiun tersebut sebesar 26,5

0

C. Hal ini menunjukkan defisit oksigen pada stasiun tersebut sedikit, sehingga mampu mendukung pertumbuhan bentik alga.

Menurut Barus (2004), nilai oksigen terlarut di suatu perairan mengalami fluktuasi harian maupun musiman. Fluktuasi ini dipengaruhi oleh temperature dan juga katifitas fotosintesis dari tumbuhan yang menghasilkan oksigen. Faktor yang dapat menurunkan kadar oksigen dalam air adalah kenaikan suhu air respirasi dan masuknya limbah organik.

i. Kadar Nitrat

Dari Tabel 4 diperoleh nilai kadar phosfat dengan rata-rata antara 1,024-1,382 mg/l. Kadar nitrat tetinggi diperoleh pada stasiun 3 dengan nilai 1,382, nitarat sendiri merupakan bentuk utama dari nitrogen diperairan alami dan merupakan sumber nutrient bagi pertumbuhan tanaman dan alga bentik akan tetapi, nitrat pada konsentrasi yang tinggi dapat menstimulasi pertumbuhan alga yang tak terbatas. Menurut Efendi (2003), kondisi perairan tersebut dapat dikatakan tidak


(41)

alami (> 0,1 mg/l). Namun nilai tersebut tidak menggambarkan kondisi pencemaran antropogenik (> 5 mg/l), sedangkan kandungan optimum NO3-N yang dibutuhkan Mahida (1993) dalam Ali (1994), menyatakan bahwa kandungan NO3-N yang dibutuhkan alga bentik dan fitoplankton berkisar 0,3-17,0 mg/l.

i. Kadar Fosfat.

Dari Tabel 4 diperoleh nilai rata-rata kadar fosfat adalah 0,118 – 0,142. Nilai kadar fosfat tertinggi adalah pada stasiun 2 dengan nilai 0,142 hal ini disebabkan karna pada daerah ini merupakan tempat pembuangan limbah dan area perkebunan sehingga keberadaan posfor lebih besar. Posfat sendiri merupakan unsur yang sangat penting dalam suatu ekosistem perairan dan termasuk sebagai

limitting factors yang digunakan untuk mendukung pertumbuhan biota air,

terutama diatom epilitik (Supono, 2008). Dari rata-rata nilai posfat diatas menunjukkan kondisi perairan yang masih alami hal ini sesuai dengan pernyataan Boyd (1988), dimana kisaran perairan alami yaitu kurang dari 1mg/l.

j. Kandungan Organik Substrat

Dari Tabel 4 diatas diperoleh nilai rata-rata kandungan organik substrat 0,953-1,337 kandungan organik tertinngi terdapat pada stsiun 1, hal ini disebabkan akumulasi kandungan organic yang berasal dari hulu sungai. Substart dasar suautu perairan sangat berperan penting bagi kehidupan organisme bentik sebagai tempat melekat dan menyediakan bahan organik yang terdapat pada substrat sebagai salah satu nutrisi bagi kehidupan alga bentik. Sedangkan tipe substarat pada stasiun 1 adalah pasir berbatu, Menurut Ramlis (1998) dalam Darojah (2005), tipe substarat dasar ikut menentukan jumlah dan jenis organisme bentik disuatu perairan.


(42)

4.2. Faktor Biotik Lingkungan 4.2.1. Klasifikasi Bentik Alga

Hasil klasifikasi Bentik Alga yang diperoleh dari setiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini.

Tabel 5. Klasifikasi Bentik Alga yang diperoleh pada Setiap Stasiun

Kelas Family Genus Stasiun

1 2 3

Bacillariophyceae Achnanthaceae 1. Acnanthes + + + 2. Coconeis + + + 3. Rhoicospenia - - + Coscinodiscaceae 4. Coscinodiscus - + + 5. Cyclotella + + + 6. Melosira + + + Cymbellaceae 7. Cymbella + + + 8. Amphora + - + Ephitemiaceae 9. Ephitemia + + + 10. Denticula + + + 11. Rhopalopodia - + + Eutoniaceae 12. Eutonia - + + Fragillariacea 13. Diatoma + + + 14. Fragillaria + + + 15. Meridion - + + 16. Opephora - + + 17. Synedra - + + 18.Tabellaria + + + Gomphonemaceae 19. Gomphonema + + + Naviculaceae 20. Amphipleura + + + 21. Amphipora - + + 22. Coloneis - + + 23. Frustulia - + + 24.Gyrosigma + + + 25. Navicula + + + 26. Neidium - + + 27. Pinnularia + + + 28. Stauroneis - + + Nitzschiaceae 29. Bacillaria - + + 30. Nitzschia + + + Rhizosoleniaceae 31. Guinardia + + + Surirellaceae 32. Surirella + + + Thalassiosinaceae 33.Skeletonema + + - Chloropyceae Charaliaceae 34. Dimorphococcus - + + Chaetophoraceae 35. Chaetophora - + + Cladophoraceae 36. Cladophora - -- + 37. Rizoclonium + + + Coelastraceae 38. Coelastraum - + +


(43)

Kelas Family Genus Stasiun

1 2 3

Desmidiaceae 39. Closterium + + + 40. Euastrum - + + 41. Docidium - + +

42. Penium - - +

43. Pleurotaenium - - + Dichotomosiphonaceae 44. Cosmarium + + + 45. Closteriopsis - - + 46. Dactylococcus - - + 47. Desmidium - + + 48. Hyalotheca - - + Mesotaeniaceae 49. Gonatozygon + + + 50. Mesotaenium - + + 51. Netrium - + + Microporaceae 52. Microspora - + + Oedogoniaceae 53. Oedogonium - - + Phytodiniaceae 54. Phytodinium - - + Scenedesmaceae 55. Scenedesmus - - + Shizogoniaceae 56. Shizogonium - + - Sphaeroplaceae 57. Spaeroplea + - + Ulothrichaceae 58. Geminella + - + 59. Hormidium + + + 60. Ulothrix - + + Zygnemataceae 61. Zygnema - - + 62. Mougeotia - - + Cyanophyceae Choroococcaceae 63. Chroococcus - + + Oscilatoriaceae 64. Lyngbya - + + 65. Oscillaotria + + + 66. Spirulina + - + Stigonemateceae 67. Anabaena - + + 68. Aphanizomeron - + + Xantophyceae Chrysocapsaceae 69. Phaeplacea + - + Keterangan: (+)= Ditemukan, (-)= tidak ditemukan

Dari Tabel 5 menunjukkan bahwa bentik alga yang didapat pada seluruh stasiun penelitian adalah 4 kelas alga yang terdiri dari 31 famili dan 69 genus. Keberadaan bentik alga pada setiap stasiun relatif tinggi, hal ini disebabkan intensitas cahaya yang cukup tinggi (Tabel 4), keadaan ini mendukung penyebaran bentik alga, Djuhanda (1980), menyatakan bahwa alga merupakan kunci yang membuka kehadiran semua kehidupan dalam air khususnya produktifitas perairan, melalui fotosintesis mikro alga dalam air mengubah cahaya matahari menjadi energi. Setiap proses fotosintesis membutuhkan cahaya


(44)

matahari, dan tentunya sejalan dengan jumlah cahaya yang tersedia di dalam perairan.

Dari tabel 5 diatas dapat dilihat juga bahwa bentik alga yang paling banyak didapatkan dari kelas Bacillariophyceae (12 family dan 33 genus) kemudian diikuti oleh Chlorophyceae (15 family dan 29 genus), Cyanophyceae

(3 Famili dan 6 genus) dan Xantophiceae (1 famili dan 1 genus).

Gambar 4. Diagram bentik alga yang diperoleh berdasarkan kelas pada setiap stasiun penelitian

Dari Gambar 4 diatas, persentase kepadatan bentik alga berdasarkan kelasnya yang paling banyak ditemukan yaitu pada kelas Bacillariophyceae (48%),

Chlorophyceae (42 %), Cyanophyceae (9%), dan Xantophyceae (1%). Persentase tertinggi terdapat pada kelas Bacillariophyceae dan merupakan kelas dengan genus yang paling banyak ditemukan. Hal ini disebabkan kelas Bacillariophyceae merupakan jenis ganggang yang paling penting dalam memberikan kontribusi dalam produktifitas suatu perairan, khususnya perairan sungai dan danau. Yudilasmono (1996) dalam Nainggolan (2011), menyatakan bahwa

Bacillariophyceae lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan perairan sementara itu Welch (1980), menambahkan Bacillariophyceae merupakan kelas yang paling sering mendominasi di sungai dan kelimpahannya sangat tinggi, kecuali di sungai berlumpur. Selain itu perkembangan Bacillariophyceae lebih cepat, hal ini

didukung oleh pernyataan Basmi (1999), menyatakan bahwa Bacillariophyceae Bacillariophyceae

48% Chlorophyceae

42% Cyanophyceae

9%

Xantophyceae


(45)

bereproduksi secara seksual dan aseksual, sehingga lebih cepat dalam memperbanyak diri dan mengakibatkan jumlahnya sangat berlimpah diperairan.

4.2.2. Kepadatan Bentik Alga di Sungai Batang Toru.

Hasil perhitungan Kepadatan Bentik Alga pada masing-masing stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini:

Tabel 6. Nilai Kepadatan (Ind/m2), Kepadatan Relatif (%) dan Frekwensi Kehadiran (%) pada Masing-Masing Stasiun Penelitian.

No Genus stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

K KR FK K KR FK K KR FK

1 Acnanthes 27.16 0.96 33.33 80.25 3.19 88.88 234.57 6.52 66.66 2 Coconeis 54.32 1.92 33.33 29.63 1.18 44.44 62.96 1.75 66.66 3 Rhoicospenia - - - 9.88 0.27 22.22 4 Coscinodiscus - - - 4.94 0.20 11.11 9.88 0.27 22.22 5 Cyclotella 88.89 3.15 88.88 82.72 3.29 66.66 141.98 3.95 66.66 6 Melosira 108.64 3.85 88.88 93.83 3.73 88.88 119.75 3.33 77.77 7 Cymbella 225.93 8.01 100 262.96 10.46 100 392.59 10.92 66.66 8 Amphora 6.17 0.22 11.11 - - - 22.22 0.62 66.66 9 Ephitemia 45.68 1.62 44.44 54.32 2.16 66.66 23.46 0.65 44.44 10 Denticula 32.10 1.14 33.33 64.20 2.55 100 9.88 0.27 33.33 11 Rhopalopodia - - - 46.91 1.87 33.33 1.23 0.03 11.11 12 Eutonia - - - 2.47 0.10 11.11 4.94 0.14 33.33 13 Diatoma 58.02 2.06 88.88 30.86 1.23 77.77 22.22 0.62 55.55 14 Fragillaria 214.81 7.61 100 322.22 12.82 66.66 346.91 9.65 77.77 15 Meridion - - - 3.70 0.15 22.22 4.94 0.14 11.11 16 Opephora - - - 24.69 0.98 44.44 1.23 0.03 11.11 17 Synedra - - - 1.23 0.05 11.11 27.16 0.76 55.55 18 Tabellaria 114.81 4.07 100 146.91 5.84 55.55 28.40 0.79 44.44 19 Gomphonema 498.77 17.67 100 260.49 10.36 100 308.64 8.59 77.77 20 Amphipleura 9.88 0.35 11.11 9.88 0.39 22.22 9.88 0.27 33.33 21 Amphipora - - - 22.22 0.88 55.55 3.70 0.10 11.11 22 Coloneis - - - 1.23 0.05 11.11 123.46 3.43 44.44 23 Frustulia - - - 3.70 0.15 11.11 9.88 0.27 22.22 24 Gyrosigma 53.09 1.88 55.55 55.56 2.21 88.88 7.41 0.21 33.33 25 Navicula 320.99 11.37 66.66 240.74 9.58 100 186.42 5.19 100 26 Neidium - - - 9.88 0.39 33.33 30.86 0.86 44.44 27 Pinnularia 108.64 3.85 88.88 65.43 2.60 66.66 54.32 1.51 66.66 28 Stauroneis - - - 14.81 0.59 33.33 13.58 0.38 55.55 29 Bacillaria - - - 2.47 0.10 22.22 16.05 0.45 22.22


(46)

No Genus Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

K KR FK K KR FK K KR FK

30 Nitzschia 14.81 0.52 33.33 13.58 0.54 33.33 211.11 5.87 77.77 31 Guinardia 12.35 0.44 22.22 82.72 3.29 33.33 8.64 0.24 11.11 32 Surirella 276.54 9.80 100 113.58 4.52 77.77 451.85 12.57 77.77 33 Skeletonema 8.64 0.31 33.33 16.05 0.64 55.55 - - - 34 Dimorphococus - - - 1.23 0.05 11.11 6.17 0.17 11.11

35 Chaetophora - - - 2.47 0.10 22.22 7.41 0.21 22.22 36 Cladophora - - - 13.58 0.38 33.33 37 Rizoclonium 19.75 0.70 22.22 2.47 0.10 11.11 64.20 1.79 44.44 38 Coelastraum - - - 1.23 0.05 11.11 4.94 0.14 22.22 39 Closterium 38.27 1.36 55.55 28.40 1.13 33.33 17.28 0.48 44.44 40 Euastrum - - - 12.35 0.49 11.11 2.47 0.07 11.11 41 Docidium - - - 3.70 0.15 22.22 4.94 0.14 22.22 42 Penium - - - 13.58 0.38 33.33 43 Pleurotaenium - - - 8.64 0.24 33.33 44 Cosmarium 61.73 2.19 66.66 25.93 1.03 66.66 18.52 0.52 44.44 45 Closteriopsis - - - 7.41 0.21 22.22 46 Dactylococcus - - - 12.35 0.34 33.33 47 Desmidium - - - 3.70 0.15 11.11 2.47 0.07 11.11 48 Hyalotheca - - - 2.47 0.07 22.22 49 Gonatozygon 137.04 4.86 66.66 127.16 5.06 100 53.09 1.48 66.66 50 Mesotaenium - - - 2.47 0.10 11.11 1.23 0.03 11.11 51 Netrium - - - 1.23 0.05 11.11 2.47 0.07 11.11 52 Microspora - - - 7.41 0.29 22.22 9.88 0.27 22.22 53 Oedogonium - - - 18.52 0.52 66.66 54 Phytodinium - - - 8.64 0.24 22.22 55 Scenedesmus - - - 18.52 0.52 55.55 56 Shizogonium - - - 6.17 0.25 33.33 - - - 57 Spaeroplea 7.41 0.26 11.11 - - - 27.16 0.76 33.33 58 Geminella 90.12 3.19 44.44 - - - 2.47 0.07 11.11 59 Hormidium 64.20 2.27 66.66 38.27 1.52 33.33 2.47 0.07 11.11 60 Ulothrix - - - 4.94 0.20 22.22 7.41 0.21 11.11 61 Zygnema - - - 11.11 0.31 22.22 62 Mougeotia - - - 16.05 0.45 22.22 63 Chroococcus - - - 1.23 0.05 11.11 4.94 0.14 11.11 64 Lyngbya - - - 4.94 0.20 22.22 6.17 0.17 22.22 65 Oscillaotria 55.56 1.97 33.33 62.96 2.50 33.33 149.38 4.16 44.44 66 Spirulina 60.49 2.14 33.33 - - - 6.17 0.17 11.11 67 Anabaena - - - 7.41 0.29 33.33 6.17 0.17 33.33 68 Aphanizomeron - - - 3.70 0.15 22.22 7.41 0.21 33.33 69 Phaeplacea 7.41 0.26 22.22 - - - 144.44 4.02 55.55 Total 2822.22 100.00 - 2513.58 100.00 - 3595.06 100.00 -


(47)

Keterangan :

Stasiun 1 : Daerah bebas aktifitas Stasiun 2 : Daerah perkebunan

Stasiun 3 : Daerah pertanian dan pemukiman penduduk.

Dari Tabel 6 diatas terlihat bahwa nilai total kepadatan bentik alga tertinggi pada stasiun 3 yaitu sebanyak 3595,06 Ind/m2, sedangkan untuk yang terendah terdapat di stasiun 2, yaitu sebanyak 2513,58 Ind/m2. Setiap kelimpahan pada masing- masing stasiun dipengaruhi oleh berbagai faktor pada perairan. Pengaruh faktor tersebut baik secara langsung akan terlihat dari kelimpahan, keanekaragaman dan keragaman jenis. Dari data diatas tingginya kelimpahan bentik alga pada stasiun 3 terjadi karena cukupnya ketersediaan nutrisi dan suhu yang cukup tinggi, stasiun ini merupakan daerah pertanian dan pemukiman penduduk yang memiliki suhu 28,5 0C, kadar fosfat 0,139 mg/L. Suhu berperan sebagai pengatur proses metabolisme dan fungsi fisiologis, suhu juga sangat berpengaruh terhadap percepatan atau perlambatan pertumbuhan dan reproduksi bentik alga. Dari nilai suhu pada stasiun 3 menunjukkan suhu yang sangat baik bagi pertumbuhan bentik alga, hal ini sesuai dengan pernyataan Haslam dalam effendi (2003), menyatkan bahwa suhu yang baik bagi pertumbuhan jenis diatom, Clorophyta dan

Cyanophyta adalah 20 – 400C. Fosfat, nitrat merupakan sumber nutrisi atau makanan yang berguna bagi perkembangan bentik alga pada suatu perairan, dapat dilihat pada stasiun 3 kadar fosfat lebih tinggi sehingga ketersediaan nutrisi lebih besar. Menurut Odum (1971), menyatakan bahwa kegiatan pertanian secara langsung ataupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap kualitas perairan. Penggunaan pupuk buatan yang mengandung unsur N dan P dapat menyuburkan perairan dan mendorong pertumbuhan ganggang serta tumbuhan lain.

Pada stasiun 1 kepadatan tertinggi terdapat pada genus Ghomponema,

yaitu sebanyak 498,77 Ind/m2 (K), 17,67 % (KR), dan 100 % (FK). hal ini disebabkan tingginya intensitas cahaya dan kandungan organik substrat pada stasiun 1 (tabel 4), dimana genus ini sangat tergantung cahaya matahari sebagai proses fotosintesis dan mampu hidup pada konsisi air yang kaya organik. Menurut Gurbuz and Kivrak (2004),Genus Ghomponema merupakan salah satu organisme bentik yang berlimpah pada saat musim panas dengan suhu berkisar 25 – 35 0C pada habitat epilithic. Prygiel & Horne (1999), menambahkan bahwa


(48)

unsur hara tinngi bahkan pada perairan tercemar sedang. Pada Stasiun 1 didapat nilai kepadatan, kepadatan relatif dan frekwensi kehadiran bentik alga terendah pada genus Amphora, yaitu sebanyak 6,17 Ind/m2 (K), 022 % (KR), dan 11,11% (FK). Hal ini disebabkan kadar pH yang cukup normal pada stasiun 1 (Tabel 4) sehingga pertumbuhan dan penyebaran Amphora pada stasiun satu kurang, dimana genus ini memiliki sifat toleransi yang luas terhadap sifat perairan yang lebih asam. Round (1990), menyatakan, dimana genus ini umumnya ditemukan pada air berkapur dengan pH asam yang mendominasi pada sedimen berbatu pada sungai. Mitbavkar (2002), menambahkan bahwa genus Amphora termasuk sering ditemui dengan distribusi sempit di perairan estuari, tawar, laut, dan memiliki sifat motile di substrat maupun semua ekosistem bentik.

Pada stasiun 2 Nilai kepadatan, kepadatan relatif, frekwensi kehadiran tertinggi bentik alga pada genus Cymbella, yaitu sebanyak 262,96 Ind/m2 (K), 10,46 % (KR), dan 100 % (FK). Hal ini disebabkan pada stasiun 2 memilki kecepatan arus yang cukup tinggi, dimana kemampuan dari Genus Cymbella dapat beradaptasi terhadap keberadaan arus yang besar sehingga mampu melekat pada arus yang sangat deras. Menurut Gell et al., (1999) dalam Hariyati (2010), menyatakan Bahwa Cymbella tergolong pada diatom Pennales dapat menempel erat pada substrat karena memiliki raphe, yaitu struktur melintang sepanjang valve yang mensekresi mucilage atau bantalan lendir, sehingga hanya organisme tetrsebut yang mampu bertahan yang dapat ditemukan pada kondisi tersebut. Selain itu Cymbella dapat berkembang dengan baik karena pada stasiun ini memilki kandungan nitrat dan phosfat yang cukup tinggi sehingga nutrisi yang dibutuhkan untuk berkembang tercukupi. Menurut Garcia (1985) in Atici and

Obali (2004), diatom akan tumbuh lebih cepat apabila berada dalam perairan yang perbandingan unsur hara N lebih besar daripada P. Pada stasiun 2 nilai kepadatan, kepadatan relatif, frekwensi kehadiran bentik alga terendah pada genus Synedra,

Dimorphococcus, Coelastraum, Netrium, Chrococcus, yaitu sebanyak 1,23 Ind/m2 (K), 0,05 % (KR), dan 11,11% (FK). Hal ini disebakan pH air pada stasiun 2 memiliki nilai 7,3 dimana pH tersebut kurang cocok untuk pertumbuhan genus tersebut, Synedra dan Netrium dapat berkembang dengan baik pada kondisi air dengan sedikit basa Gurbuz and Kivrak (2004). Selain pH penetrasi cahaya sangat


(49)

berpengaruh hal ini berhubungan langsung dengan proses fotosintesis. Stasiun 2 mempunyai nilai penetrasi cahaya lebih rendah di banding dua stasiun lain (Tabel 4), hal ini kemungkinan terjadi karena air yang sedikit keruh sehingga menghambat masuknya cahaya matahari. Rochoun (1999) in Chremer et al.,

(2007), menambahkan bahwa alga bentik dari kelas Bacilariophyceae dan

Clorophyceae hidupnya sangat tergantung pada cahaya matahari dan jumlah

cahaya yang masuk kedalam air.

Pada stasiun 3 nilai Kepadatan, kepadatan relatif, dan frekwensi kehadiran bentik alga tertinggi pada genus Surirella, yaitu sebanyak 451,85 Ind/m2 (K), 12,57 % (KR) dan 77,77 % (FK). Hal ini kemungkinan disebabkan rata-rata kadar organik yang cukup tinggi pada stasiun 3 dibanding dengan dua stasiun lain. Kepadatan genus ini dapat diduga karena genus ini memiliki tingkat toleransi lebih luas pada kondisi air yang tercemar bahan organik. Stasiun ini merupakan daerah pertanian dan pemukiman penduduk, dengan keberadaan genus tersebut maka dapat dijadikan sebagai bioindikator pencemaran, terutama pencemaran organik karena genus ini memiliki tingkat toleransi yang tinggi Lobo et al., (2004)

dalam Asprianti et al., (2013). Pada stasiun 3 nilai kelimpahan, kepadatan relatif, dan frekwensi kehadiran bentik alga terendan pada genus Rhopalopodia, dan

Opephora dengan nilai 1,23 Ind/m2 (K), 0,03 % (KR), dan 11,11% (FK). Hal ini kemungkinan disebabkan kandungan organik substrat yang cukup rendah pada stasiun 3 (Tabel 4) dimana genus Rhopalopodia mampu hidup pada air dengan kandungan organik yang tinggi. Singh et al., (2011), menambahkan bahwa genus Eutonia, Denticula, Rhopalopodia, Opephora

mengindikasikan ciri khas perairan yang kaya akan kandungan organik, dan dimana kebiasaan hidupnya adalah soliter dan membentuk beberapa koloni substrat.


(50)

4.3. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E).

Indeks keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) yang diperoleh pada masing-masing stasiun seperti pada Tabel 7 berikut:

Tabel 7. Nilai H’ Indeks Diversitas (Shannon-Winner) dan E (Indeks Eqiutabilitas) yang diperoleh pada masing-masing Stasiun Penelitian.

stasiun1 Stasiun 2 Stasiun 3

H' 2,86 3,1 3,17

E 0,84 0,78 0,75

Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa kisaran indeks keanekaragaman bentik alga pada semua stasiun penelitian adalah 3,17-2,86. Menurut Krebs (1985) dimana 0<’H’<2,302 keanekaragaman rendah, 2,302<H’<6,907 keanekaragaman sedang, H’>6,907 keanekaragaman tinggi, berdasarkan indeks keanekaragaman diatas, bentik alga yang diperoleh pada setiap stasiun masuk dalam kategori sedang. Barus (2004), menambahkan bahwa nilai indeks keanekaragaman sangat dipengaruhi oleh faktor jumlah spesies, jumlah individu dan penyebaran individu pada masing-masing spesies.

Dari Tabel diatas dapat dilihat juga bahwa nilai keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 dengan nilai 3,17 , hal ini disebabkan pada stasiun 3 memiliki nilai fisik kimia pada kadar nitrat yang lebih tinggi (tabel 4) dari 2 stasiun yang ada. Nitrat sendiri merupakan salah satu unsur penting bagi pertumbuhan alga bentik pada suatu perairan. Alaert & Santika (1984) dalam

Asprianti et al., (2013), menyatakan bahwa nitrat adalah bentuk senyawa nitrogen yang merupakan senyawa stabil. Nitrat juga merupakan salah satu senyawa penting untuk sintesis protein tumbuhan dan hewan, akan tetapi nitrat pada konsentrasi yang tinggi dapat menstimulasi pertumbuhan alga yang tak terbatas.

Berdasarkan Tabel 7 diperoleh indeks nilai Keseragaman (E’) pada setiap lokasi penelitian adalah 0,75-0,84. Stasiun yang memiliki nilai indeks Keseragaman tertinggi pada stsiun 1 sebesar 0,84 dan terendah pada stasiun 3 yaitu 0,75. Pada stasiun 1 menunjukkan bahwa keseregaman populasi bentik alga besar artinya penyebaran individu tiap jenis merata, sedangkan pada stasiun 3 menunjukkan keseragaman tiap jenis tidak merata atau penyebaran individunya


(1)

Lampiran G. Contoh perhitungan

g.

Kepadatan (K)

Acnanthes

Pada stasiun 1

Plot

Luas

ulangan

tal

spesies/to

suatu

individu

Jumlah

K

=

0,81

22

K

=

K= 27,16 Ind/m

2

2

+

2

=

2

h.

Kepadatan Relatif (KR)

Acnanthes

Pada stasiun 1

X100%

jenis

seluruh

kepadatan

Jumlah

jenis

suatu

Kepadatan

KR

=

X100%

2822,22

27,16

KR

=

KR = 0,96 %

i.

Frekuensi Kehadiran (FK)

Acnanthes

pada stasiun 1

plot

otal

Jumlah t

jenis

suatu

ditempati

yang

plot

Jumlah

FK

=

%

100

9

3

FK

=

X

FK= 33,33 %

j.

Indeks Keanekaragaman (H’) seluruh jenis bentik alga pada stasiun 1

H’= -

Σ pi ln pi

=-

Σ

22

2286

ln

22 2286

+

44 2286

ln

44 2286

+

72 2286

ln

72 2286

+

88 2286

ln

88 2286

+

183 2286

ln

183

2286

���

= 0,009 ln 0.009 + 0,019 ln 0,019 + 0.031 ln 0,031 + 0,038 ln 0,038 + 0,080 ln

0,080

dst..


(2)

k.

Indeks keseragaman (E) seluruh jenis bentik alga pada stasiun 1

E=

����

E =

22,86

ln 30

= 0,86

l.

Indeks similaritas (IS)

IS=

2.� �+�

IS=

2 .25

30+52

X 100%

IS=

50

82

X 100%

= 60,97


(3)

Lampiran H. Data Mentah Bentik Alga

stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

No TAKSA U1 U2 U3 U4 U5 U6 U7 U8 U9 U1 U2 U3 U4 U5 U6 U7 U8 U9 U1 U2 U3 U4 U5 U6 U7 U8 U9

Bentik Alga

I. Baccillariophyceae

A Achnanthaceae

1 Acnanthes 6 4 12 - - - 7 4 - 2 12 18 3 15 4 2 13 17 67 58 33

2 Coconeis - - - 15 17 12 - 10 6 2 6 - - - 7 11 7 11 8 7

3 Rhoicospenia 7 1

B Coscinodiscaceae

4 Coscinodiscus - - - 4 - - - 6 2

5 Cyclotella 4 - 2 10 8 12 7 12 17 26 16 8 12 1 4 - - - 9 36 26 11 10 23

6 Melosira 21 4 7 - 2 1 17 16 20 8 17 5 2 1 23 14 6 8 15 17 16 21 11 9

C Cymbellaceae

7 Cymbella 56 10 15 18 5 10 39 9 21 23 16 25 36 44 51 7 2 9 13 6 12 103 94 90

8 Amphora - - 5 - - - 5 5 1 - - - 1 3 3

D Ephitemiaceae

9 Ephitemia - - - - 2 - 15 15 5 12 0 8 2 8 12 2 3 3 1 12 - -

10 Denticula - - - 6 9 11 - - - 9 13 7 1 2 1 4 10 5 2 - - - 4 2

11 Rhopalopodia 3 11 24 - 1 -

E Eutoniaceae

12 Eutonia 2 1 1 2

F Fragillariacea

13 Diatoma - 6 6 8 6 11 4 5 1 5 2 13 1 1 1 2 - 1 3 5 - 1 - 8

14 Fragillaria 9 8 5 31 22 7 41 23 28 41 56 20 43 54 47 - - - 63 25 19 40 71 52 11

15 Meridion 2 1 4

16 Opephora 2 1 3 14 1

17 Synedra 1 5 5 3 8 1

18 Tabellaria 8 24 3 8 3 12 4 15 16 34 63 18 3 1 - - - 6 2 13 - - - 2

G Gomphonemaceae

19 Gomphonema 10 5 8 13 14 21 71 167 95 33 68 35 12 15 8 12 22 6 6 1 70 119 52 1 1


(4)

20 Amphipleura - - - 8 - - - - 4 4 - - - 5 2 1

21 Amphipora - - - 3 6 2 - 3 4 - - - 3

22 Coloneis - - - 1 - - - 43 46 9 2

23 Frustulia 3 6 2

24 Gyrosigma - - - 3 - 7 12 5 16 11 15 8 2 1 2 2 4 1 2 3 -

25 Navicula - - - 16 25 42 27 60 90 24 25 20 24 31 27 13 6 25 16 15 17 10 19 52 6 5 11

26 Neidium - - - 6 1 1 - - - 5 2 15 - - - 3

27 Pinnularia - 5 2 24 18 5 7 13 14 11 23 10 4 3 - 2 4 4 2 15 13 6

28 Stauroneis - - - 3 6 - - 3 3 2 - - 3 2 1

I Nitzschiaceae

29 Bacillaria 1 1 2 11

30 Nitzschia - - - 3 4 - 5 - - - 3 3 5 - 22 10 17 79 12 23 8

J Rhizosoleniaceae

31 Guinardia - - - 5 5 - 33 13 21 - - - 7

K Surirellaceae

32 Surirella 14 4 10 6 13 7 93 30 47 8 40 14 6 15 3 6 21 10 7 114 139 73 2

L Thalassiosinaceae

33 Skeletonema - - - 2 1 4 - - - 1 3 2 3 - 4 - - -

II. Chloropyceae

M Charaliaceae

34 Dimorphococcus 1 5

N Chaetophoraceae

35 Chaetophora 1 1 3 3

O Cladophoraceae

36 Cladophora 3 1 1 4 2

37 Rizoclonium - - - 10 6 - - - 2 - - - 5 - 2 43 2

P Coelastraceae

38 Coelastraum 1 2 2

Q Desmidiaceae

39 Closterium - - - 10 6 2 7 4 2 14 6 3 1 - 2 4 7

40 Euastrum - - - 10 - - - 2

41 Docidium 1 2 1 3


(5)

43 Pleurotaenium 3 2 2

R Dichotomosiphonaceae

44 Cosmarium - - - 3 7 5 7 20 8 - 3 - 3 8 1 3 3 - 4 2 4 5

45 Closteriopsis 2 4

46 Dactylococcus 1 1 8

47 Desmidium - - - 3 - - - 2

48 Hyalotheca 1 1

S Mesotaeniaceae

49 Gonatozygon 7 18 4 - - - 28 35 19 15 40 23 3 1 3 4 12 2 16 1 9 5 10 2

50 Mesotaenium 2 1

51 Netrium 1 2

T Microporaceae

52 Microspora 2 4 2 6

U Oedogoniaceae

53 Oedogonium 3 4 2 4 1 1

V Phytodiniaceae

54 Phytodinium - - - 4 - - 3

W Scenedesmaceae

55 Scenedesmus 7 1 3 3 1

X Shizogoniaceae

56 Shizogonium 1 3 1

Y Sphaeroplaceae

57 Spaeroplea - - 6 - - - 10 - - 3 9

Z Ulothrichaceae

58 Geminella 15 23 32 - - - 3 - - - 2

59 Hormidium - - - 11 14 6 - - - 2

60 Ulothrix - - - 5 8 3 14 14 8 - - - 3 - 1 6 - - -

A' Zygnemataceae

61 Zygnema 7 2

62 Mougeotia 12 1

III. Cyanophyceae

B' Choroococcaceae


(6)

C' Oscilatoriaceae

64 Lyngbya 2 2 2 3

65 Oscillaotria 17 13 15 - - - 13 12 26 - - - 40 34 38 - - 9

66 Spirulina - - - - 7 - - 34 8 - - - 5

D' Stigonemateceae

67 Anabaena 1 2 3 1 2 2

68 Aphanizomeron 2 1 3 2 1

IV. Xantophyceae

E' Chrysocapsaceae