Etika pola komunikasi dalam al-qur'an

(1)

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I.)

Oleh

Irpan Kurniawan

NIM: 105051001857

JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I.)

Oleh

Irpan Kurniawan

NIM: 105051001857

Pembimbing

Nurul Hidayat, M.Pd NIP. 19690322 1996032001

JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

(4)

i

Etika Pola Komunikasi Dalam Al-Quran

Manusia merupakan makhluk beragama dan juga makhluk sosial, yaitu makhluk yang selalu hidup bermasyarakat dan selalu membutuhkan peran serta pihak lain. Artinya, hidup bermasyarakat merupakan sesuatu yang tumbuh sesuai dengan fitrah dan kebutuhan kemanusiaan. Dalam al-Qur’an banyak memberikan arahan atau nilai-nilai positif yang harus dikembangkan, juga nilai-nilai negatif yang semestinya untuk dihindarkan. Karena dalam al-Qur’an/49: 13 menunjukan bahwa saling mengenal yang dimaksudkan itu tidak membedakan suku, ras, bahasa, kebudayaan, bahkan ideologi. Namum pada kenyataanya manusia sebagai pembuat penilai etika (homo ethicus) sering terdapat perbedaan budaya dan etika yang dianutnya masing-masing. Sehingga dalam hal ini perlu adanya etika dalam proses komunikasi agar bertujuan komunikasi yang akan terjalin menjadi baik (komunikatif), dengan demikian hubungan akan terjalin secara harmonis apabila antara komunikator dan komunikan saling menumbuhkan rasa senang. Rasa senag akan muncul apabila keduanya saling menghargai,dan penghargaan sesama akan lahir apabila keduanya saling memahami tentang karakteristik seseorang dan etika yang diyakini masing-masing.

Untuk memperoleh data yang representatif dalam pembahasan skripsi ini, digunakan metode penelitian kepustakaan (library reseach) dengan cara mencari, mengumpulkan, membaca, dan menganalisa buku-buku, yang ada relevansinya dengan masalah penelitian. Kemudian diolah sesuai dengan kemampuan penulis. Adapun pendekatan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah analisis isi. Adapun metode pembahasan tafsir dalam skripsi ini adalah metode tahlili yaitu suatu metode tafsir yang digunakan oleh para mufassir dalam menjelaskan kandungan ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana yang tercantum dalam mushaf. Dimulai dengan menyebutkan ayat yang akan ditafsirkan. Maka disini penulis menggunakan

beberapa tafsir al_Qur’an sebagai landasan dasar untuk menerjemahkan ayat tersebut, maka penulis menggunakan seperti Tafsir al-Misbah, Tafsir al-Maraghi,

Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Al-Azhar. Setelah penulis memperoleh rujukan yang

relevan kemudian data tersebut disusun, dianalisa, sehingga memperoleh kesimpulan.

Berbicara mengenai komuninkasi insani berarti berbicara mengenai nilai atau etika yang dianut seseorang atau komunitas tertentu karena setiap pribadi atau komunitas memiliki nilai yang diyakininya. Pentingnya etika dalam komunikasi bertujuan agar komunikasi kita berhasil dengan baik (komunikatif), karena hubungan antara budaya dan komunikasi bersifat timbal balik. Keduanya saling mempengaruhi. Apa yang kita bicarakan, bagaimana kita membicarakannya, apa yang kita lihat, perhatikan atau kita abaikan, bagaimana kita berpikir dan apa yang kita pikirkan, dipengaruhi oleh budaya. Jadi, perbedaan budaya sangat berpengaruh terhadap proses komunikasi.


(5)

ii

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 20 januari 2010


(6)

iii

Puji syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, sehingga atas segala limpahan karunia dan nikmatnya akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan meskipun masih belum sempurna. Shawalat beriring salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kedamaian dan rahmat untuk semesta alam. Atas jerih payah beliau kita berada di bawah bendera Islam. Penulis menyadari bahwa skripsi ini, terselesaikan atas dukungan dari dosen, orang tua, rekan dan lainnya. Banyaknya pihak yang turut mendukung penyelesaiannya, membuat penulis tidak mungkin menyebutkannya satu-persatu, namun di bawah ini akan kami sebutkan mereka yang memiliki andil besar atas terselesaikannya skripsi ini:

1. Dekan Fakultas Komukunikasi Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ketua dan Sekretaris jurusan Komunikasi Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Nurul Hidayati S.Ag M.Pd, dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan koreksi dan bimbingan dengan baik serta senantiasa memberikan motivasi agar skripsi ini dapat segera diselesaikan.

4. Dosen penasihat akademik yang memberikan motivasi kepada penulis agar penelitian dilakukan dengan sungguh-sungguh sehingga memberikan hasil yang memuaskan


(7)

iv

moril dan materil kepada penulis sejak kecil sampai sekarang dan seterusnya (kasih sayang mereka tidak pernah terputus sepanjang hayat), kakak Iif Setiawan, serta adikku Indra dan Tiara yang selalu mendorong penulis agar skripsi ini dapat segera diselesaikan.

6. Abah dan Nenek yang senantiasa memberikan bantuan baik moril maupun materil serta memberikan motivasi kepada penulis agar skripsi segera diselesaikan.

7. Staff Perpustakaan, yang memberikan kemudahan pelayanan dalam mencari literatur yang diperlukan

8. Rekan-rekan seperjuangan tercinta yang tidak dapat disebutkan satu persatu dan tidak bosan-bosannya memberikan motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan

9. Pihak-pihak lain yang berjasa baik secara langsung maupun tidak, membantu kelancaran dalam penulisan skripsi ini. Hanya rasa syukur yang dapat dipanjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan anugerah-Nya dalam penyusunan skripsi ini, sekali lagi penulis berterima kasih kepada pihak yang telah bekerja keras membantu penulis, semoga usaha tersebut dicatat sebagai bentuk amal kebaikan, dan mendapatkan balasan yang setimpal dari-Nya, Amiin.

Jakarta, Juli 2008 Penulis


(8)

v

SURAT PERNYATAAN... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Metodologi Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN TEORI ... 10

A. Dimensi Komunikasi ... 10

B. Ruang Lingkup Etika Pola Komunikasi Dalam Al-Qur’an ... ... 14

C. Tujuan Etika Pola Komunikasi Dalam Al-Qur’an ... . 24

D. Etika Pola Komunikasi Dalam Al-Qur’an ... 26

BAB III GAMBARAN UMUM... 28

A. Tafsir Surat Al-Hujurat/49 Ayat 13 Menurut Pandangan para mufasir ... 28


(9)

vi

Komunikasi ... 38

1. Etika sesama muslim ... 38

2. Etika komunikasi antar pribadi dalam kontek saling mengenal (ta’aruf) ... 38

3. Etika Komunikasi antar pribadi dan kelompok dalam dakwah fardiyah ... 40

4. Etika Komunikasi antarbudaya (persamaan derajat) .... 43

B. Hubungan etika komunikasi dalam Al-Qur’an ... 46

C. Tujuan setiap tingkat komunikasi ... 49

1. Sasaran dakwah melalui metode qaulan balighan ... 49

2. Sasaran dakwah melalui metode qaulan maisuran ... 51

3. Sasaran dakwah melalui metode qaulan kariman... 52

4. Sasaran dakwah melalui metode qaulan ma’rufa... 53

5. Sasaran dakwah melalui metode qaulan saddidan... 55

6. Sasaran dakwah melalui metode qaulan layyinan... 55

BAB V PENUTUP ... 65

A. Kesimpulan ... 65

B. Saran-saran ... 66


(10)

1

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟an merupakan salah satu keistimewaan dan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang paling utama. Rasulullah SAW mengatakan, sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah: ''Setiap Rasul selalu dikarunai kemukjizatan, sehingga karenanya umatnya akan mempercayainya. Tetapi mukjizat yang diturunkan Allah padaku adalah wahyu ilahi yang akan menjadikan jumlah di hari kiamat''.

Bahasa merupakan alat komunikasi manusia sejak awal penciptaannya sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Qur‟an surat al-Rahman ayat 4, “allamahu

al bayan” artinya: “Allah mengajarkan (manusia) pandai berbicara” ( al

-Rahman/55 :4 )1. Kata „al-bayan dan al-qaul” menurut Rahmat merupakan dua kata kunci yang dipergunakan Al-Qur‟an untuk berkomunikasi2.

Umat Islam meyakini Alquran itu wahyu dari Allah dan bukan rekayasa Nabi serta para juru tulisnya, karena Nabi Muhammad SAW sendiri tidak bisa membaca dan menulis. Alquran itu benar-benar wahyu (Allah) yang diturunkan dari Tuhan semesta alam. ''Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan perkataan atas nama Kami, Kami pasti akan menindaknya dengan

kekerasan, sebagaimana dijelaskan dalam surah Al-Haqqah/69:38-42.

1

Alquran dan Terjemahannya. (1998). Semarang: Departemen Agama RI.

2

Rakhmat, J. (1994). “Audienta” Prinsi-prinsi Komunikasi Menurut Al-Quran : Jurnal Komunikasi. I (1). 35-56.


(11)

























































“Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat. Dan dengan apa yang tidak kamu lihat. Sesungguhnya Al Quran itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia, Dan Al Quran itu bukanlah perkataan seorang penyair. sedikit sekali kamu beriman kepadanya. Dan bukan pula perkataan tukang tenung. sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya”.3

Sehingga diturunkannya Al-Qur‟an kepada nabi Muhammad SAW, yang secara berangsur-angsur. Surah al- Isra/17: 1064, sehingga menjadi mushaf Al-Quran yang sempurna. Al-Qur‟an merupakan wahyu yang disampaikan langsung oleh Allah SWT melalui perantara malaikat Jibril, kemudian Jibril menyampaikannya lagi kepada Nabi Muhammad SAW.

Diturunkannya Al-Qur‟an sebagai kitab suci yang menyempurnakan kitab-kitab terdahulu, adalah bukti keagungan dari Al-Qur‟an itu sendiri, Firman Allah SWT dalam Al-Qu‟ran, ” Hai orang-orang yang beriman tetaplah beriman kepada Allah, rasul rasul Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat Nya, kitab kitab Nya, rasul rasul Nya dan hari akhir maka sesungguhnya orang tersebut telah sesaat sejauh-jauhnya”. Surah an – Nissa/4:1365.

3

Departeman Agama RI. Alquran dan Terjemahannya., h. 453

4

Ibid., h. 234

5


(12)

Dalam Al-Qur‟an memuat begitu banyak aspek kehidupan manusia. Tak ada rujukan yang lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan Al-Qur‟an yang hikmahnya meliputi seluruh alam dan isinya baik yang tersurat maupun yang tersirat tak akan pernah habis untuk digali dan dipelajari.

Wahyu yang Allah sampaikan kepada nabi Muhammad SAW terdiri dari beberapa jenis ayat-ayat Al-Qur‟an, seperti ayat Muhkamaat ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah, ayat Mutasyabihaat adalah ayat – ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali setelah diselidiki secara mendalam (ungkapan) atau pesan simbiotik seperti surat al-Isra/17: 23.



















































"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.6"

Dan terakhir adalah Ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui, misalnya ayat-ayat yang berhubungan dengan ayat-ayat ghaib seperti ayat-ayat mengenai syurga, neraka, qiyamat dan sebagainya. Namun dalam penelitian ini ditekankan hanya akan membahas tentang pola

6


(13)

komunikasi yang akan dikaji pada surat Al-Hujurat/49 : 13 dan tidak akan membahas tentang pengertian ayat Muhkamat ataupun Mutasyabihat.

Karena dalam penelitian ini penulis lebih cenderung tertarik terhadap makna lafazh yang terkandung dalam surat al – hujurat/49 : 13, dimana dari ayat tersebut kita akan menemukan ungkapan (“supaya kamu saling mengenal”). Dengan demikian kita sebagai manusia dianjurkan atau mungkin diharuskan untuk senantiasa menjalin komunikasi agar saling mengenal dan berinteraksi dengan manusia lainnya.

Maka dengan demikian semoga penelitian ini dapat menguraikan bagaimana pola komunikasi yang berlangsung didalam ayat-ayat Al-Qur‟an tersebut. Dan inilah yang menjadi dasar pemikiran bagi penulis, untuk dijadikan latar belakang masalah dalam penulisan skripsi berjudul “Etika Pola Komunikasi Dalam Al-Quran”

Adapun alasan pemilihan judul oleh penulis, berdasarkan kepada: 1. Mempelajari dan memahami al-Qur‟an sebagai petunjuk dan pedoman

hidup manusia agar ajaran-ajarannya dapat direalisasikan dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari.

2. Menggali nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur‟an surat al-Hujurat Ayat 13 dan hasilnya dijadikan salah satu cara dalam meningkatkan kualitas dan keimanan kepada Allah SWT.

3. Untuk melihat kemukjizatan al-Qur‟an serta keagungannya dilihat dari tuntunan ajarannya, khususnya surat al-Hujurat ayat 13.


(14)

4. Ajaran yang terkandung dalam surat al-Hujurat ayat 13 tersebut adalah masalah yang banyak terjadi dan tetap aktual di dalam masyarakat dan kehidupan bermasyarakat.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Dalam mengartikan pola komunikasi yang berada di dalam Al-Qur‟an, maka terlebih dahulu harus menafsirkan ayat yang akan dijadikan sampel, sehingga terdapat hasil yang dapat bertautan dengan pola komunikasi itu sendiri, hingga tidak terlalu luas pembahasannya. Dalam sistematik penelitian ini, penulis mencoba untuk mengangkat ayat dalam Al-Qur‟an surat Al-Hujurat/49 :13, yang berbunyi :





















































Artinya” Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kaum saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui ;lagi Maha Mengenal”7

.

Dalam beberapa teori atau konsep komunikasi, dijelaskan bahwa manusia hampir 75% melakukan aktivitasnya melalui komunikasi, yaitu ketika bangun tidur hingga akan tidur kembali manusia selalu melakukan komunikasi. Karena dengan komunikasi itulah kita dapat membentuk hubungan, pengertian, melakukan aktivitas pendidikan dan sekaligus menjalin

7


(15)

kasih sayang sesama manusia. Namun dengan komunikasi pula kita dapat mengembangkan perpecahan, melestarikan permusuhan, menanamkan kebencian, dan juga mengbuntukan pemikiran8.

Dalam surat Al-Hujurat/49: 13 ini, pembahasan tentang penelitian ayat tersebut, kita harus mendefinisikannya lebih dalam lagi, karena dalam redaksi ayat tersebut akan memunculkan pertanyaan. Sejauh mana manusia itu mampu mentranformasikan nilai-nilai kemanusiaannya, sehingga manusia mampu untuk saling memahami, saling menghargai dan saling mengenal. Karena dalam hal ini manusia diciptakan tidak untuk saling membeda-bedakan Suku, Ras, Bangsa, Bahasa dan bahkan Ideologi. Karena jika manusia tidak mengindahkan hal tersebut maka nilai-nilai kemanusiannya telah hilang, dan akan menghambatnya proses komunikasi itu sendiri.

Dengan demikian penelitian ini, berusaha untuk menampilkan contoh konkrit dalam pola komunikasi yang berkenaan dengan ayat Al-Qur‟an tersebut, dengan mengkaji pola komunikasi dalam ayat Al-Qur‟an ini, semoga hal ini mampu memahami inti pesan yang hendak disampaikan dan mengetahui bagaimana proses komunikasi yang berlangsung.

Maka penulis membatasi permasalahan dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut :

1. Pendapat para mufasir terhadap etika komunikasi yang terkandung dalam surat Al-hujurat/49: 13.

8

Jalaluddin Rahmat, Psikologi komunikasi,(Bandung:Remaja Rosdakarya, 1996) Edisi Revisi


(16)

2. Tata cara menjalin hubungan etika komunikasi dalam surat Al-Hujurat/49: 13

3. Tujuan setiap tingkat komunikasi, yang terkandung dalam surat Al-Hujurat/49: 13

Adapun perumusan permasalah dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Apa pendapat para mufasir terhadap etika pola komunikasi ?

2. Apa hubungan komunikasi dan konteks komunikasi dalam Al-Qur‟an ? 3. Apa tujuan dan sasaran dakwah dalam etika komunikasi atau

prinsip-prinsip komunikasi ?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Penulis ingin mengambil kesimpulan dari pendapat para mufasir terhadap etika pola komunikasi.

2. Penulis ingin mengetahui hubungan etika komunikasi dalam Al-Qur‟an yang terkandung dalam surat al-Hujurat/49 : 13.

3. Aplikasi menjalin hubungan yang terdapat dalam surat al-Hujurat/49 : 13 ini.

Manfaat penelitian ini adalah :

Memberikan sumbangsih karya ilmiah yang bermanfaat untuk dipersembahkan kepada para pembaca umumnya dan bagi penulis khususnya.


(17)

D. Metodologi Penelitian 1. Waktu Penelitian

Adapun waktu penelitian ini, dilakukan antara bulan September 2010 sampai Agustus 2011.

2. Jenis Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan analisi isi kualitatif yaitu mengumpulkan data dari pendapat para ahli yang diformulasikan dalam buku-buku, istilah ini lazim disebut library research

yaitu pengambilan data yang berasal dari buku-buku atau karya ilmiah di bidang tafsir dan dakwah.

3. Sumber Bahan

Sumber primer dalam penulisan ini adalah tafsir al-Qur‟an surat al-Hujurat ayat 13. Tafsir al-Maraghi, Tafsir al-Misbah , Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fakhrur Razi,Tafsir Munir, Tafsir Wadhih, Tafsir Fathul

Qadir dan Tafsir Al-Azhar. Adapun sumber sekundernya adalah

buku-buku pendidikan yang relevan dengan pembahasan skripsi.

4. Pengolahan Data

Pengolahan data yang penulis lakukan adalah dengan cara membandingkan, menghubungkan dan kemudian diselaraskan serta diambil kesimpulan dari data yang terkumpul.


(18)

5. Analisa Data

Dalam menganalisa data yang telah terkumpul penulis menggunakan metode tafsir tahlili yaitu suatu metode tafsir yang digunakan oleh para mufassir dalam menjelaskan kandungan ayat al-Qur‟an dari berbagai seginya dengan memperhatikan ayat-ayat al-Qur‟an sebagaimana yang tercantum dalam mushaf.

Dimulai dengan menyebutkan ayat yang akan ditafsirkan, menjelaskan makna lafazh yang terdapat di dalamnya, menjelaskan hubungan ayat (munasabah) dan menjelaskan isi kandungan ayat yang kemudian dikaitkan dengan education approach dengan menggunakan beberapa tafsir sebagai sumber primer dalam penelitia ini seperti Tafsir al-Misbah, Tafsir al-Maraghi, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fakhrur Razi, Tafsir

al-Bayan, Tafsir Fathul Qadir dan Tafsir Al-Azhar.

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah yang diterbitkan CeQDA Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.”


(19)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Dimensi Komunikasi

Kata atau istilah “komunikasi” (Bahasa Inggris “communication”) berasal dari Bahasa Latin “communicatus” yang berarti “berbagi” atau “menjadi milik bersama”9

.Dengan demikian, kata komunikasi menurut kamus bahasa mengacu pada suatu upaya yang bertujuan untuk mencapai kebersamaan.Menurut Webster New Collogiate Dictionary dijelaskan bahwa komunikasi adalah suatu proses pertukaran informasi di antara individu melalui sistem lambang-lambang, tanda-tanda atau tingkah laku”.

Jadi dengan demikian komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian, dan lain-lain melalui penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata, gambar, angka-angka, dan lain-lain.

Manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai peranan penting dalam dunia ini. Karena hanya manusialah satu-satunya makhluk yang diberi karunia bisa berbicara. Dengan kemampuan berbicara itulah, memungkinkan manusia membangun hubungan sosialnya.

Kemampuan berbicara berarti kemampuan berkomunikasi, berkomunikasi adalah sesuatu yang dibutuhkan dihampir setiap kegiatan manusia. Dalam sebuah penelitian telah dibuktikan, hampir 75% sejak bangun

9


(20)

tidur manusia berada dalam kegiatan komunikasi. Dengan komunikasi kita dapat membentuk saling pengertian dan menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, dan menyebarkan pengetahuan. Akan tetapi dengan komunikasi juga manusia dapat menumbuhkan permusuhan, menghidupkan perpecahan, menanamkan kebencian, merintangi kemajuan, dan menghambat pemikiran10.

Kenyataan ini sekaligus memberikan gambaran betapa kegiatan manusia dalam berkomunikasi bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan oleh setiap orang.

Karena mungkin didasarkan atas asumsi bahwa komunikasi merupakan suatu yang lumrah dan alamiah yang tidak perlu dipermasalahkan. Karena begitu lumrahnya, sehingga seseorang cenderung tidak melihat kompleksitasnya atau tidak menyadari bahwa dirinya sebenarnya berkekurangan atau tidak berkompeten dalam kegiatan pribadi yang paling pokok ini.

Dengan demikian, berkomunikasi secara efektif sebenarnya merupakan suatu perbuatan yang paling sukar yang pernah dilakukan seseorang.

Dalam sebuah ungkapan bangsa Arab disebutkan : اكلا ةفص كت لا “Ucapan atau perkataan menggambarkan sipembicara”. Dari pernyataan diatas ini dapat disimpulkan bahwa perkatan atau ucapan, atau dengan istilah lain, kemampuan berkumonikasi akan mencerminkan apakah seseorang itu adalah

10

Jalaluddin Rahmat, Psikologi komunikasi,(Bandung:Remaja Rosdakarya, 1996), cet.ke-10, h. Kata Pengantar


(21)

terpelajar atau tidak. Dengan demikian, berkomuniksi tidaklah mudah, tidak juga identik dengan menyampaikan sebuah informasi saja.

Para pakar komunikasi, sebagaimana yang dikutip oleh Jalaluddin Rahmat, berpendapat bahwa setiap komunikasi mengandung dua aspek, yaitu aspek isi dan aspek kandungan, dimana yang kedua mengklasifikasikan yang pertama dan karena itu merupakan diluar komunikasi. Komunikasi memang bukan hanya menyampaikan informasi tetapi yang terpenting adalah mengatur hubungan sosial di antara komunikan.

Dengan demikian, demi terciptanya suasana kehidupan yang harmonis antar anggota masyarakat, maka harus dikembangkan bentuk-bentuk komunikasi yang beradab, yang digambarkan oleh Jalaluddin Rahmat, yaitu sebuah bentuk komunikasi dimana sang komunikator akan menghargai apa yang mereka hargai, ia berempati dan berusaha memahami realitas dari perspektif mereka.

Pengetahuannya tentang khalayak bukanlah untuk menipu, tetapi untuk memahami mereka, dan bernegosiasi dengan mereka, serta bersama-sama saling memuliakan kemanusiaannya. Adapun gambaran kebalikannya yaitu apabila sang komunikator menjadikan pihak lain sebagai objek, ia hanya menuntut agar orang lain bisa memahami pendapatnya, sementara itu, ia sendiri tidak bisa menghormati pendapat orang lain11.

11


(22)

Pola komunikasi dalam al-Qur‟an, mungkin disini ada hal penting yang perlu diketahui terlebih dahulu. Karena al-Qur‟an tidak memberikan uraian secara spesifik tentang komuniksi.

Karena pada dasarnya, kata „komunikasi‟ berasal dari bahasa Latin,

communication, dan bersumber dari kata cummunis yang berarti sama,

mempunyai satu makna. Artinya suatu komunikasi dikatakan komunikatif jika antara masing-masing pihak mengerti bahasa yang digunakan, dan paham terhadap apa yang dibicarakan. Karena dalam proses komunukasi, paling tidak terdapat tiga unsur, yaitu komunikator, media dan komunikan12.

Para pakar komunikasi juga menjelaskan bahwa komunikasi tidak hanya bersifat informatif, yakni agar orang lain mengerti dan paham, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain mau menerima ajaran atau informasi yang disampaikan, melakukan kegiatan atau perbuatan, dan lain-lain.

Bahkan menurut Hovland, seperti dikutip oleh Onong, bahwa berkomunikasi bukan hanya terkait dengan penyampaian informasi, akan tetapi juga bertujuan pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap public (public attitude)13.

Meskipun al-Qur‟an secara spesifik tidak membicarakan masalah komunikasi, namun, terdapat gambaran-gambaran tentang cara berkomunikasi.

Karena menurut para mufassir didalam al-Qur‟an dapat ditemukan

qaulan balighan, qaulan maisuran, qaulan kariman, qaulan ma‟rufan,Qaulan

12

Onong Uchana Effendy, Ilmu Komunikasi, h.9

13


(23)

layyinan, dan Qaulan sadidan, dalam hal ini penulis mengasumsikan term-term tersebut sebagai bagian dari pola-pola komunikasi. Karena ada beberapa ayat yang memberikan gambaran umum tentang pola komunikasi tersebut.

Dari berbagai teori komunikasi yang berkembang. Wilbur Schramm menyatakan komunikasi sebagai suatu proses berbagi (sharing process). Schramm menguraikannya sebagai berikut :

“Komunikasi berasal dari kata-kata (bahasa) Latin communis yang berarti umum (common) atau bersama. Apabila kita berkomunikasi, sebenarnya kita sedang berusaha menumbuhkan suatu kebersamaan (commonnes)

dengan seseorang. Yaitu kita berusaha berbagai informasi, ide atau sikap. Seperti dalam uraian ini, misalnya saya sedang berusaha berkomunikasi dengan para pembaca untuk menyampaikan ide bahwa hakikat sebuah komunikasi sebenarnya adalah usaha membuat penerima atau pemberi komunikasi memiliki pengertian (pemahaman) yang sama terhadap pesan tertentu”.14

Dari uraian tersebut, definisi komunikasi menurut Schramm tampak lebih cenderung mengarah pada sejauhmana keefektifan proses berbagi antarpelaku komunikasi. Schramm melihat sebuah komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang berhasil melahirkan kebersamaan (commonness), kesepahaman antara sumber (source) dengan penerima (audience)-nya. Menurutnya, sebuah komunikasi akan benar-benar efektif apabila audience menerima pesan, pengertian dan lain-lain persis sama seperti apa yang dikehendaki oleh penyampai.

Sedangkan Pakar komunikasi lain, Joseph A Devito mengemukakan komunikasi sebagai transaksi. Transaksi yang dimaksudkannya bahwa komunikasi merupakan suatu proses dimana komponen-komponennya saling

14


(24)

terkait dan bahwa para komunikatornya beraksi dan bereaksi sebagai suatu kesatuan dan keseluruhan. Dalam setiap proses transaksi, setiap elemen berkaitan secara integral dengan elemen lain15.

Jika dilihat sekilas dari ulasan di atas, kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa tiap ahli bisa memiliki pandangan beragam dalam mendefinisikan komunikasi. Komunikasi terlihat sebagai kata yang abstrak sehingga memiliki banyak arti. Kenyataannya untuk menetapkan satu definisi tunggal terbukti sulit dan tidak mungkin terutama jika melihat pada berbagai ide yang dibawa dalam istilah itu.

Ilmu komunikasi merupakan ilmu pengetahuan sosial yang bersifat multidisipliner sehingga definisi komunikasi pun menjadi banyak dan beragam. Masing-masing mempunyai penekanan arti, cakupan, konteks yang berbeda satu sama lain, tetapi pada dasarnya berbagai definisi komunikasi yang ada sesungguhnya saling melengkapi dan menyempurnakan sejalan dengan perkembangan ilmu komunikasi itu sendiri.

B. Ruang Lingkup Komunikasi ( Etika Pola Komunikasi Dalam Al-Qur’an)

Al-Qur‟an merupakan contoh konkrit bagaimana Allah selalu berkomunikasi dengan hamba-Nya melalui wahyu. Selain itu Rasulullah SAW pun berkomunikasi dengan keluarga, sahabat dan umatnya. Komunikasi beliau sudah terkumpul dalam ratusan ribu hadist yang menjadi penguat, penjelas al-Qur‟an sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia.

15


(25)

Komunikasi dalam al-Qur‟an dinilai sangat penting, karena adanya kewajiban berda‟wah atau menyampaikan (mentransfortasikan) ajaran ketuhanan itu sendiri, sehingga al-Qur‟an harus selalu dikomunikasikan kepada umat manusia.

Namun dalam hal ini, defenisi-definisi komunikasi yang secara jelas menjelaskan tentang komunikasi dalam al-Qur‟an belum dapat ditemukan, hanya saja para pakar komunikasi mencoba untuk menerangkannya melalui gambaran-gambaran ayat-ayat al-Qur‟an itu sendiri.

Definisi komunikasi. Seperti Kroeber dan Kluckhohn (1957) berhasil mengumpulkan 164 definisi kebudayaan, dan Dance (1970) menghimpun tidak kurang dari 98 definisi komunikasi.

Definisi-definisi tersebut dilatarbelakangi berbagai perspektif, seperti, mekanistis, sosiologis, dan psikologistis. Hovland, Janis, dan Kelly, semuanya psikolog, mendifinisikan komunikasi sebagai “the process by which an individual (the communicator) transmits stimuli (usually) to modify the

behavior of other individuals (the audience)”.16

Dance (1967) mengartikan komunikasi dalam kerangka psikologi behaviorisme sebagai usaha “menimbulkan respons melalui lambang-lambang verbal tersebut bertindak sebagai stimuli17. Namun kesemuanya itu tidak ada satu pun yang langsung berkaitan dengan pola komunikasi dalam al-Qur‟an. Maka dari itu penulis mencoba untuk mengkolaborasikan antara

16

Burgon dan Huffner. Human Communication, London, Sage Publication, 2002. Data diperoleh dari http://bagusspsi.blog.unair.ac.id/2010/03/02/bab-1/

17


(26)

definisi komunikasi umum dengan gambaran-gambaran etika pola komunikasi yang tersirat dalam al-Qur‟an.

Adapun etika pola komunikasi dalam al-Qur‟an menurut Dahlan yaitu : 1. Pola Qaulan balighoh









































































“Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, Kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna".Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan Katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka”18. ( an-Nissa/4 : 62-63)

Baligh, yang berasal dari ba la gha,oleh para ahli bahasa dipahami sampainya sesuatu kepada sesuatu kepada sesuatu yang lain.

Juga bisa dimaknai “cukup” (al-kifayah). Sehingga pola ini mengarahkan kita untuk bisa menyampaikan setiap pemikiran, perasaan dan nasehat dengan menggunakan pilihan kata, gaya bahasa, yang penuh makna sehingga membekas dalam diri atau jiwa orang yang kita ajak bicara, bahwa perkataan tersebut mengandung tiga unsur utama, yaitu bahasanya tepat, sesuai dengan yang dikehendaki, dan isi perkataan adalah kebenaran19.

18

Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, h. 70

19


(27)

Lebih lanjut Al- Maraghi mengaitkan “qaulan balighoh” dengan arti tabligh sebagai salah satu sifat Rasul (Tabligh dan baligh berasal dari kata dasar yang sama balagha), yakni Nabi Muhammad diserahi tugas untuk menyampaikan peringatan kepada umatnya dengan perkataan yang menyentuh hati mereka20.

Secara rinci, para pakar sastra, seperti dikutip oleh Quraish Shihab, membuat kriteria-kriteria khusus tentang suatu pesan dianggap baligh21, antara lain :

a. Tertampungnya seluruh pesan dalam kalimat yang disampaikan.

b. Kalimatnya tidak bertele-tele, juga tidak terlalu pendek sehingga pengertiannya menjadi kabur.

c. Pilihan kosa katanya tidak dirasakan asing bagi si pendengar d. Kesesuaian kandungan dan gaya bahasa dengan lawan bicara e. Kesesuaian dengan tata bahasa.

2. Pola Qaulan kariman



















































“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka

20

Al-Maraghi. (1943). Tafsir Al-Maraghi. Bairut: Dar el Fikr., jilid 4 h. 74-79

21


(28)

sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”22. (Al-Isra/17: 23)

Kata karim, yang secara bahasa berarti mulia. Merupakan sifat Allah yang Maha Karim, artinya Allah Maha Pemurah, juga bisa disandarkan kepada manusia, yaitu menyangkut akhlak dan kebaikan prilakunya. Artinya, seseorang akan dikatakan karim, jika kedua hal itu benar-benar terbukti dan terlihat dalam kesehariannya.

Namun jika term karim dirangkai dengan kata qaul atau perkataan, maka berarti suatu perkataan yang menjadikan pihak lain tetap dalam kemuliaan, atau perkataan yang membawa manfaat bagi pihak lain tanpa bermaksud merendahkan23.

Sayyid Quthb menyatakan bahwa perkataan yang karim, dalam konteks hubungan dengan kedua orang tua, pada hakikatnya adalah tingkatan yang tertinggi yang harus dilakukan oleh seorang anak. Yakni, bagaimana ia berkata kepadanya, namun keduanya tetap merasa dimuliakan dan dihormati.

Al- Maraghi menafsirkan qaulan kariman dengan menunjuk kepada pernyataan Ibn Musyayyab yaitu ucapan mulia itu bagaikan ucapan seorang budak yang bersalah di hadapan majikannya yang galak24.

Melihat gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa qaulan

kariman memiliki pengertian mulia, penghormatan, pengagungan, dan

22

Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, h. 227

23Katsir, I. (1410H). Tafsir Ibnu Katsir. Riyadh: Maktabah Ma‟arif., jilid 3. h.45

-46

24


(29)

penghargaan. Ucapan yang bermakna qaulan kariman berarti ucapan yang lembut berisi pemuliaan, penghargaan, pengagungan, dan penghormatan kepada orang yang diajak bicara. Sebaliknya ucapan yang menghinakan dan merendahkan orang lain merupakan ucapan yang tidak santun.

3. Pola Qaulan maisuran























“Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, Maka Katakanlah kepada mereka Ucapan yang pantas”25.(Al-Isra/17: 28)

Menurut bahasa qaulan maysuran artinya perkataan yang mudah. Al-maraghi mengartikannya dalam konteks ayat ini yaitu ucapan yang lunak dan baik atau ucapan janji yang tidak mengecewakan. Dilihat dari situasi dan kondisi ketika ayat ini diturunkan (asbab nuzul) sebagaimana diriwayatkan oleh Saad bin Mansur yang bersumber dari Atha Al-Khurasany ketika orang-orang dari Muzainah meminta kepada Rasulullah supaya diberi kendaraan untuk berperang fi sabilillah. Rasulullah menjawab; “Aku tidak mendapatkan lagi kendaraan untuk kalian”. Mereka berpaling dengan air mata berlinang karena sedih dan mengira bahwa Rasulullah marah kepada mereka.

Maka turunlah ayat ini sebagai petunjuk kepada Rasulullah dalam menolak suatu permohonan supaya menggunakan kata-kata yang lemah lembut26. Dalam tafsir Departemen Agama RI disebutkan bahwa qaulan

25

Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, h. 227

26


(30)

maysuran apabila kamu belum bisa memberikan hak kepada orang lain, maka katakanlah kepada mereka perkataan yang baik agar mereka tidak kecewa lantaran mereka belum mendapat bantuan dari kamu. Dan pada itu kamu berusaha untuk mendapatkan rizki dari Tuhanmu sehingga kamu dapat memberikan kepada mereka hak-hak mereka.

Dari konteks ayat yang ada, maka qaulan maysuran merupakan ucapan yang membuat orang mempunyai harapan dan menyebabkan orang lain tidak kecewa. Dapat pula dikatakan bahwa qaulan maysuran itu perkataan yang baik yang di dalamnya terkandung harapan akan kemudahan sehingga tidak membuat orang lain kecewa atau putus asa. Dengan demikian qaulan maysuran merupakan tata cara pengucapan bahasa yang santun.

4. Pola Qaulan ma‟rufan





































“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”. (an-Nissa/4 : 5)27

Secara bahasa arti ma‟ruf adalah baik dan diterima oleh nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Ucapan yang baik adalah ucapan yang diterima sebagai sesuatu yang baik dalam pandangan masyarakat

27


(31)

lingkungan penutur dengan demikian qaulan ma‟rufan sebagai perkataan yang baik dan pantas. Baik artinya sesuai dengan norma dan nilai, sedangkan pantas sesuai dengan latar belakang dan status orang yang mengucapkannya28.

Dari sinilah kemudian muncul pengertian bahwa ma‟ruf adalah kebaikan bersifat lokal, karena, jika akal dijadikan sebagai dasar pertimbangan dari setiap kebaikan yang muncul, maka tidak akan sama dari masing-masing daerah dan kebudayaan. Sementara menurut Ibn „Asyur, qaul ma‟ruf adalah perkataan baik yang melegakan dan menyenangkan lawan bicara29.

Perkataan yang mengadung penyesalan ketika tidak bisa memberi atau membantu. Perkataan yang tidak menyakitkan dan yang sudah dikenal sebagai perkatan baik. Pokok masalah yang dibahas dalam pola komunikasi dalam al-Qur‟an ini adalah bagaimana manusia bisa membangun komunikasi yang beradab secara universal, meskipun unsur terpenting dalam komunikasi adalah komunikator, media, dan komunikan. Namun yang terpenting ada hal diluar dari ketiga unsur ini, yaitu teknik atau cara.

Bahkan dalam beberapa kasus, seringkali cara lebih penting dari pada isi, karena yang perlu ditegaskan disini adalah bahwa cara penyampaian (berkomunikasi) terkadang seringkali lebih penting dari pada isi itu sendiri. Contoh sebuah kasus, ada seorang anak yang baru belajar

28

Amir,M. (1999). Etika Komunikasi Masa dalam pandangan Islam. Jakarta: Logos.

29Ibn „Asyur, al


(32)

agama. Di antara materi yang pernah didengar dan diterimanya adalah bahwa” setiap muslim harus berani berkata benar meskipun pahit”.

Maka setelah pesan itu diterimanya, maka ia akan berani mengatakan kepada kedua orang tuanya, “ kakek, apa kakek tidak takut masuk neraka, sudah setua ini kakek tidak pernah mau melakukan shalat”. Pernyataan ini benar, tetapi kata-kata ini cenderung meremehkan pihak lain, terlebih ia adalah kakeknya sendiri atau orang yang usianya lebih tua.

Maka komunikasi tersebut selanjutnya ditentukan oleh kriteria apakah baik atau buruk dalam menyampaikan pesannya itu sendiri. Dengan demikian ruang lingkup pembahasan pola komunikasi dalam al-Qur‟an ini berkaitan dengan adab atau norma, terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Jika perbuatan tersebut dikatakan baik atau buruk, maka ukuran yang harus digunakan adalah ukuran normatif.

Selanjutnya jika dikatakan sesuatu itu benar atau salah maka yang demikian itu termasuk masalah hitungan atau fikiran. Melihat keterangan di atas, bahwa ruang lingkup pola komunikasi dalam al-Qur‟an ialah agar manusia bisa membangun komunikasi yang beradab.

5. Pola Qaul layyinan

















“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut". ( at-Tahaa/20 : 44)

Qaulan layyinan dari segi bahasa berarti perkataan yang lemah


(33)

mengandung makna strategi sebagaimana diungkapkan Al- Maraghi, bahwa ayat ini berbicara dalam konteks pembicaraan Nabi Musa menghadapi Firaun. Allah mengajarkan agar Nabi Musa berkata lemah lembut agar Firaun tertarik dan tersentuh hatinya sehingga dapat menerima dakwahnya dengan baik30.

Senada dengan itu, Ash- Shiddiqi memaknai qaulan layyinan sebagai perkataan yang lemah lembut yang di dalamnya terdapat harapan agar orang yang diajak berbicara menjadi teringat pada kewajibannya atau takut meninggalkan kewajibannya31.

Dengan demikian yang dimaksud dengan qaulan layyinan adalah ucapan baik yang dilakukan dengan lemah lembut sehingga dapat menyentuh hati orang yang diajak bicara. Ucapan yang lemah lembut dimulai dari dorongan dan suasana hati orang yang berbicara. Apabila ia berbicara dengan hati yang tulus dan memandang orang yang diajak bicara sebagai saudara yang ia cintai, maka akan lahir ucapan yang bernada lemah lembut. Dampak kelemahlembutan itu akan membawa isi pembicaraan kepada hati orang yang diajak bicara.

Komunikasi yang terjadi adalah hubungan dua hati yang akan berdampak pada terserapnya isi ucapan oleh orang yang diajak bicara. Akibatnya ucapan itu akan memiliki pengaruh yang dalam, bukan hanya sekedar sampainya informasi, tetapi juga berubahnya pandangan, sikap, dan perilaku orang yang diajak bicara.

30

Al-Maraghi. (1943). Tafsir Al-Maraghi. Bairut: Dar el Fikr., jilid 16. h. 114

31


(34)

6. Pola Qaul Sadidan





































“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya dan (jika ada) orang-orang yang kamu Telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”. ( an-Nissa/4 : 33 )

Perkataan qaulan sadidan diungkapkan Alquran dalam konteks pembicaraan mengenai wasiat. Al- Maraghi melihat konteks ayat yang berkisar tentang para wali dan orang-orang yang diwasiati, yaitu mereka yang dititipi anak yatim, juga tentang perintah terhadap mereka agar memperlakukan anak-anak yatim dengan baik, berbicara kepada mereka sebagaimana berbicara kepada anak-anaknya, yaitu dengan halus, baik, dan sopan, lalu memanggil mereka dengan sebutan yang bernada kasih sayang32.

Memahami pandangan ahli tafsir di atas dapat diungkapkan bahwa

qaulan sadidan dari segi konteks ayat mengandung makna kekuatiran dan

kecemasan seorang pemberi wasiat terhadap anak-anaknya yang digambarkan dalam bentuk ucapan-ucapan yang lemah lembut (halus), jelas, jujur, tepat, baik dan adil.

Lemah lembut artinya cara penyampaian menggambarkan kasih sayang yang diungkapkan dengan kata-kata yang lemah lembut. Jelas mengandung arti terang sehingga ucapan itu tidak ada penafsiran lain.

32


(35)

Jujur artinya transparan, apa adanya, tidak ada yang disembunyikan. Tepat artinya kena sasaran, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, dan sesuai pula dengan situasi dan kondisi. Baik berarti sesuai dengan nilai-nilai, baik nilai moral-masyarakat maupun ilahiyah. Sedangkan adil mengandung arti isi pembicaraan sesuai dengan kemestiannya, tidak berat sebelah atau memihak.

C. Tujuan Pola Komunikasi dalam Al-Qur’an

Dalam konteks ini, pola komunikasi dalam al-Qur‟an menekankan bahwasanya dalam berkomunikasi dengan siapa, dimana, dan kapanpun kita harus bisa menunjukan adab dan norma kita sebagai mahkluk yang mempunyai peradaban.

Karena pada dasarnya al-Qur‟an banyak menampilkan contoh-contoh konkrit dalam upaya menyampaikan komunikasi yang beradab. Mengenai tujuan pola komunikasi dalam al-Qur‟an yaitu, menerapkan cara berkomunikasi, meskipun al-Qur‟an secara spesifik tidak membicarakan masalah komunikasi, namun, banyak ayat yang memberikan gambaran-gambaran umum pola-pola komuniksi.

Dalam hal ini, penulis akan merujuk kepada term yang diasumsikan sebagai penjelasan dari pola komuikasi tersebut. Salah satu contohnya adalah, surat an-Nisa/4 : 62-63.


(36)









































































“Maka Allah bagaimana halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa suatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu (Muhammad) sambil bersumpah,”Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian .” Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Karena itu, berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwa meraka”.

Ayat ini yang menginformasikan tentang kebusukan hati kaum munafik, bahwa mereka tidak akan pernah bertahkim kepada Rasulullah SAW, meski mereka bersumpah atas nama Allah, kalau apa yang mereka lakukan semata-mata hanya menghendaki kebaikan.

Walaupun demikian, beliau dilarang menghukum mereka secara fisik, akan tetapi, cukup memberi nasehat sekaligus ancaman bahwa perbuatan buruknya akan mengakibatkan turunnya siksa Allah33, dan berkata kepada mereka dengan perkataan yang baligh.

D. Etika / cara Pola Komunikasi Dalam Al-Qur’an

Al-Quran diturunkan kepada manusia yang memiliki sifat sebagai makhluk yang memerlukan komunikasi. Karena itu, Al-Quran memberikan tuntunan berkomunikasi, khususnya berbahasa bagi manusia. Dalam

33


(37)

berkomunikasi Hasnan menyebutkan bahwa ajaran Islam memberi penekanan pada nilai sosial, religius, dan budaya34.

Dalam hal ini, antara lain Dahlan menegaskan bahwa Al-Qur‟an menampilkan enam pola komunikasi yang sesogyanya dijadikan pegangan saat berbicara35.

1. Qaulan Sadidan, Surah an-Nisa/4: 9, yaitu berbicara dengan benar.

2. Qaulan Ma‟rufa, Surah an-Nisa/4: 8 , yaitu berbicara dengan menggunakan bahasa yang menyedapkan hati, tidak menyinggung atau menyakiti perasaan, sesuai dengan kriteria kebenaran, jujur, tidak mengandung kebohongan, dan tidak berpura-pura.

3. Qaulan Baligha, Surah an-Nisa/4: 63, yaitu berbicara dengan

menggunakan ungkapan yang mengena, mencapai sasaran dan tujuan, atau membekas, bicaranya jelas, terang, tepat. Ini berarti bahwa bicaranya efektif.

4. Qaulan Maysuran, Surah al-Isra/17: 28, yaitu berbicara dengan baik dan

pantas, agar orang lain tidak kecewa.

5. Qaulan Karima, Surah al-Isra/17: 23, yaitu berbicara kata-kata mulia yang

menyiratkan kata yang isi, pesan, cara serta tujuannya selalu baik, terpuji, penuh hormat, mencerminkan akhlak terpuji dan mulia.

6. Qaulan Layyinan, Surah Thaha/20: 44, yaitu berbicara dengan lembut.

34 Hasnan,I. (1993). “Audientia” Komunikasi Menurut Pendekatan Islam

, Jurnal Komunikasi : 1 (1) h. 15-21

35

Dahlan, M,D. dan Syihabuddin. (2001). Kunci-kunci Menyingkap Isi Al Quran. Bandung: Pustaka Fithri.


(38)

29

A. Tafsir Surat Al-Hujurat/49 : 13 Menurut Pandangan Para Mufasir

Surat yang tidak lebih dari 18 ayat ini termasuk surat Madaniah, surat al-Hujurat merupakan surah yang agung dan besar, yang mengandung aneka hakikat akidah dan syariah yang penting, mengandung hakikat wujud dan kemanusiaan. Hakikat ini merupakan cakrawala yang luas dan jangkauan yang jauh bagi akal dan kalbu.

Juga menimbulkan pikiran yang dalam dan konsep yang penting bagi jiwa dan nalar. Hakikat itu meliputi berbagai manhaj (cara) penciptaan, penataan, kaidah-kaidah pendidikan dan pembinaan. Padahal jumlah ayatnya kurang dari ratusan.

Surat al-Hujurat berisi pentunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh seorang mukmin terhadap Allah SWT, terhadap Nabi dan orang yang menentang ajaran Allah dan Rasul-Nya, yaitu orang fasik. Pada pembahasan ini dijelaskan apa yang harus dilakukan seorang mukmin terhadap sesamanya dan manusia secara keseluruhan, demi terciptanya sebuah perdamaian. Adapun etika yang diusung untuk menciptakan sebuah perdamaian dan menghindari pertikaian yaitu menjauhi sikap saling membedakan suku, ras, bahasa, kebudayaan, bahkan ideologi.

Karena, ketika manusia tidak peduli dengan lainnya, tidak mau saling kenal mengenal atau lebih cenderung egois, maka berarti ia telah kehilangan


(39)

sifat dasar kemanusiaannya. Berikut ini adalah bunyi lengkap surat al-Hujurat ayat 13:





















































Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal1. ( al-Hujurat/49: 13)

Turunnya ayat ini, menurut Abu Daud berkenaan dengan Abu Hind yang pekerjaan sehari-harinya adalah pembekam. Nabi meminta kepada Bani Bayadhah agar menikahkan salah seorang putrid mereka dengan Abu Hind, tetapi mereka enggan dengan alasan tidak wajar mereka menikahkan putri mereka dengannya yang merupakan salah seorang bekas budaknya.

Ada juga riwayat yang menyatakan bahwa Usaid Ibn Abi al-Ish berkomentar ketika mendengar Bilal mengumandangkan adzan di Ka‟bah bahwa: “Alhamdulillah ayahku wafat sebelum melihat kejadian ini.” Ada lagi yang berkomentar: “Apakah Muhammad tidak menemukan selain burung gagak ini untuk beradzan?”2

.

Untuk lebih memahami kandungan surat al-Hujurat ayat 13 ini , maka penulis akan mencoba mencari implikasinya secara mufradat (kosa kata), seperti berikut ini:

1

Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, h. 412

2


(40)

































“Dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku”.

Kata ( ﺏﻭﻌﺸ ) syu‟ub adalah bentuk jamak dari kata ( ﺏﻌﺸ ). Kata ini digunkan untuk menunjuk kumpulan dari sekian kabilah yang biasa diterjemahkan suku yang biasa merujuk kepada satu kakek. Qabilah pun terdiri dari sekian banyak kelompok keluarga yang dinamai „imarah, dan yang ini terdiri dari sekian banyak kelompok yang dinamai bathn. Di bawah bathn

ada sekian fakhd hingga akhirnya sampai pada himpunan keluarga yang terkecil3.

Supaya kamu saling mengenal. “Kata ta‟arafu terambil dari kata

arafa yang berarti mengenal, kata yang digunakan dalam ayat ini

mengandung makna timbal balik, dengan demikian berarti saling mengenal.”4

Upaya saling mengenal ini dapat dilakukan dengan cara kembali kepada kabilahnya masing-masing dan saling menolong di antara sesama kerabat. Dengan demikian, ayat ini menjadi alasan bahwa diciptakannya manusia adalah untuk saling mengenal dan tolong menolong, bukan untuk saling membanggakan dan menyombongkan diri. Upaya saling mengenal dapat dilakukan dengan proses bersilaturrahim.

Akan tetapi warna kulit, ras, bahasa, negara dan lainnya yang seringkali membuat orang enggan berinterkasi dengan yang lainnya disebabkan karena perbedaan tersebut. Padahal perbedaan-perbedaan tersebut

3

Ahmad, Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, terj, (Semarang: Toha Putra, 1993),h.220.

4


(41)

merupakan suatu Sunnatullah dan tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak saling mengenal.











“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa”.

“Kata ( ك ﺮﻛ ا ) akramakum terambil dari kata ( ﺮﻛ ) karuma yang pada dasarnya berarti yang baik dan istimewa sesuai objeknya. Manusia yang baik adalah manusia yang baik terhadap Allah, dan terhadap sesama makhluk5.

Firman inna akramakum inda Allah atqaakum mengandung dua makna, yang pertama seseorang yang paling bertakwa maka kedudukannya akan mulia di hadapan Allah SWT dengan kata lain ketakwaan akan membuat kedudukan seseorang menjadi mulia. Yang kedua, seseorang yang mulia di hadapan Allah SWT akan membuat orang menjadi takwa, artinya kemuliaan akan membuat seseorang menjadi takwa. Akan tetapi pendapat pertama adalah lebih terkenal dibanding yang kedua6.

Ketakwaan merupakan sumber segala keutamaan, dengan demikian dapat dikatakan takwa adalah manifestasi dari samal sedangkan ilmu adalah kemuliaan. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa seseorang yang salim

adalah lebih dibenci syaithan dibanding seribu abid yang rajin beribadah tapi tidak memiliki ilmu.

Ketakwaan merupakan buah dari pada ilmu, Allah SWT berfirman

Sesungguhnya orang yang paling takut kepada Allah adalah orang yang

5

Ibid., h. 262

6


(42)

alim” maka tidaklah dikatakan takwa kecuali bagi orang yang berilmu. Dengan demikian ilmu dan ketakwaan merupakan dua hal yang saling menyatu dan tidak bisa dipisahkan.

Orang salim tetapi tidak bertaqwa adalah seperti pohon yang tidak berbuah, oleh karena itu pohon yang berbuah adalah lebih utama disbanding yang tidak berbuah, pohon yang tidak berbuah tidak memiliki banyak manfaat kecuali hanya sebatas untuk kayu bakar. Begitu pula orang salim yang tidak bertaqwa hanya akan menjadi bahan bakar neraka.

Manusia memiliki kecenderungan untuk mencari bahkan bersaing dan berlomba menjadi yang terbaik. Banyak sekali manusia yang menduga bahwa kepemilikan materi, kecantikan serta kedudukan sosial karena kekuasaan atau garis keturunan, merupakan kemuliaan yang harus dimiliki dan karena itu banyak yang berusaha memilikinya.

Tetapi bila diamati apa yang dianggap keistimewaan dan sumber kemuliaan itu, sifatnya sangat sementara. Bahkan tidak jarang mengantar pemiliknya pada kebinasaan. Jika demikian hal-hal tersebut bukanlah sumber kemuliaan.

Kemuliaan adalah sesuatu yang langgeng sekaligus membahagiakan secara terus-menerus. Kemuliaan abadi dan langgeng itu ada di sisi Allah SWT dan untuk mencapainya adalah dengan mendekatkan diri kepada-Nya, menjauhi larangan-Nya, melaksanakan perintah-Nya serta meneladani sifat-sifat-Nya sesuai kemampuan manusia. Itulah takwa, dan dengan demikian yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa7.

7


(43)

Di sisi Allah hanya ada satu pertimbangan untuk menguji seluruh nilai dan mengetahui keutamaan manusia. Yaitu, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu “. orang yang paling mulia yang hakiki ialah yang paling mulia menurut pandangan Allah. ”Dengan demikian, berguguranlah segala perbedaan, gugurlah segala nilai. Lalu dinaikkanlah satu timbangan dengan satu penilaian. Timbangan inilah yang digunakan manusia untuk menetapkan hukum.

Nilai inilah yang harus dirujuk oleh manusia dalam menimbang. Adapun nilai/panji yang diperebutkan semua orang agar dapat bernaung di bawahnya yaitu, panji ketakwaan di bawah naungan Allah SWT. Inilah panji yang dikerek Islam untuk menyelamatkan umat manusia dari fanatisme ras, fanatisme daerah, fanatisme kabilah, dan fanatisme rumah8.

Semua ini merupakan kejahiliahan yang kemudian dikemas dalam berbagai model dan dinamai dengan berbagai istilah. Semuanya merupakan kejahiliahan yang tidak berkaitan dengan Islam. Islam memerangi fanatisme jahiliah ini serta segala sosok dan bentuknya agar sistem Islam yang manusiawi dan mengglobal ini tegak di bawah satu panji yaitu panji Allah. Bukan panji negara, bukan panji nasonalisme, bukan panji keluarga, dan bukan panji ras.

Semua itu merupakan panji palsu yang tidak dikenal Islam. Dalam konteks ini, sewaktu haji wada (perpisahan), Nabi SAW berpesan antara lain: “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Tuhan kamu Esa, ayah kamu satu,

8


(44)

tiada kelebihan orang Arab atas non Arab, tidak juga non Arab atas orang Arab atau orang (berkulit) hitam atas yang (berkulit) merah (yakni putih) tidak juga sebaliknya kecuali dengan takwa, sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa9.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa Durrah binti Abu Lahab r.a berkata, seorang laki-laki beranjak menemui Nabi yang sedang berada di atas mimbar. Orang itu berkata, Ya Rasulallah, manusia manakah yang paling baik? Rasulallah menjawab, Manusia yang paling baik adalah yang paling rajin membaca al-Qursan, yang paling bertakwa kepada Allah, yang paling sering memerintahkan kepada yang masruf dan mencegah dari perbuatan mungkar, dan yang paling sering menyambungkan tali silaturrahim.

Dalam suatu riwayat ayat ini turun ketika Fat-hu Makkah (Penaklukan kota Mekah), Bilal naik ke atas kasbah untuk mengumandangkan azan. Beberapa orang berkata: “Apakah pantas budak hitam ini azan di atas Kasbah?” Maka berkatalah yang lainnya: “Sekiranya Allah membenci orang ini, pasti Dia akan menggantinya.” Ayat ini turun sebagai penegasan bahwa dalam Islam tidak ada diskriminasi, yang paling mulia adalah yang paling bertakwa10.

Dengan demikian sebagian ulama berpendapat kafaah di dalam pernikahan tidaklah disyaratkan kecuali agamanya, karena kedudukan semua orang adalah sama, hanya ketakwaan yang membedakan antara satu dengan

9

M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 261

10


(45)

yang lainnya. Bahkan pada hari kiamat nanti seseorang tidak akan ditanya tentang nasab maupun kedudukan mereka, karena yang paling mulia adalah yang paling bertakwa kepada Allah SWT.











“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”, maksudnya Maha mengetahui apa yang dikerjakan dan Maha Mengenal/teliti terhadap semua urusan manusia. Allah memberi petunjuk kepada yang dikehendaki dan menyesatkan kepada yang dikehendaki, mengasihi dan menyiksa kepada yang dikehendaki, memuliakan kepada yang dikehendaki dan merendahkan kepada yang dikehendaki pula. Allah SWT Maha bijaksana, Maha Mengetahui dan Maha Teliti dalam semua urusan tersebut Sifat Alim

dan Khabir keduanya mengandung makna kemahatahuan Allah SWT.

Sementara ulama membedakan keduanya dengan menyatakan bahwa

Alim menggambarkan pengetahuaan-Nya menyangkut segala sesuatu yang

dikenal itu. Penekanannya pada Dzat Allah yang bersifat Maha Mengetahui bukan pada sesuatu yang diketahui itu. Sedang Khabir menggambarkan pengetahuan-Nya yang menjangkau sesuatu. Di sini, sisi penekanannya bukan pada dzat-Nya Yang Maha Mengetahui tetapi pada sesuatu yang diketahui itu11.

Dengan demikian, ayat 13 surat al-Hujurat ini mengandung kesimpulan bahwa:

11


(46)

1. Allah SWT menciptakan manusia dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa) dan menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya mereka saling mengenal dan tolong menolong. 2. Kemulian manusia tidak diukur dengan keturunannya, melainkan diukur

dengan ketakwaannya kepada Allah SWT.

3. Ayat ini menegaskan kesatuan asal usul manusia, yang pada dasarnya seluruh umat manusia lahir dari induk yang sama, yaitu Adam dan Hawwa.

4. Kesamaan kasta dihadapan Allah SWT, bahwasanya manusia itu sama, tidak ada orang kulit putih, kulit hitam atapun kulit coklat. Yang ada hanyalah manusia yang sama, yang diciptakan dari tanah oleh Allah.


(1)

memperbaikinya”, diperoleh pula petunjuk bahwa ucapan yang meruntuhkan jika disampaikan harus pula dalam saat yang sama memperbaikinya, dalam arti kritik yang disampaikan hendanya merupakan “kritik membangun”, atau dalam arti informasi yang disampaikan haruslah baik, benar, dan mendidik.26

6. Qaulan layyinan

Interaksi aktif dari qaulan layyinan adalah komunikasi yang ditunjukan pada dua karakter mad‟u. Pertama, adalah pada mad‟u tingkat penguasa dengan perkataan yang lemah lembut menghindarkan atau menimbulkan sikap konfrontatif. Kedua, mad‟u pada tataran budayanya yang masih rendah. Sikap dengan qaulan layyinan akan berimbas pada sikap simpati dan sebaliknya akan menghindarkan atau menimbulkan sikap antipati.27

26

Ibid.,h.187-188 27


(2)

65

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Komunikasi merupakan cerminan seseorang untuk menjalin hubungan, sehingga baik buruknya komunikasi seseorang dapat dilihat dari ia bergaul dengan masyarakat luas. Al-Qur‟an adalah sumber pokok dalam berprilaku dan menjadi acuan kehidupan, karena di dalamnya memuat berbagai aturan kehidupan dimulai dari hal yang urgent sampai kepada hal yang sederhana sekalipun. Jika al-Qur‟an telah melekat dalam kehidupan setiap insan, maka ketenangan dan ketentraman bathin akan mudah ditemukan dalam realita kehidupan.

Dengan demikian kesimpulan dari pembahasan ini adalah :

1. Memperoleh informasi dari para mufassir tentang tata cara menjalin hubungan aplikasi dalam surat Al-hujurat/49: 13.

2. Etika komunikasi yang terdapat dalam surat Al-Qur‟an Al-Hujurat/49: 13. 3. Aplikasi tentang menjalin hubungan yang terdapat dalam surat

Al-Hujurat/49: 13 didalam Islam.

Sehingga dari penelitian ini penulis dapat mengambil aplikasi dari etika pola komunikasi yang terkandung dalam surat al-Hujurat ayat 13 tersebut, adalah sebagai berikut:

1. Menjunjung tinggi kehormatan umat manusia seutuhnya, mendidik manusia untuk selalu menghargai dan menjaga kehormatan diri mereka


(3)

dan orang lain. Dengan demikian akan terwujud kehidupan masyarakat yang harmonis.

2. Mendidik manusia untuk selalu berfikir positif agar hidup menjadi lebih produktif, sehingga energi tidak terkuras hanya untuk memikirkan hal-hal yang belum pasti kebenarannya.

3. Ta‟aruf mendidik manusia untuk selalu menjalin komunikasi dengan sesama, karena banyaknya relasi merupakan salah satu cara untuk mempermudah menjalin hubugan dengan siapa, dimana dan kapanpun 4. Egaliter mendidik manusia untuk bersikap rendah hati, sedangkan rendah

hati adalah salah satu cara agar kita bisa diterima keberadaanya dihadapan orang lain.

Dengan demikian surat al-Hujurat/49 : 13 ini memberikan landasan bagi manusia, khususnya umat Islam untuk berorientasi kepada terwujudnya manusia yang shaleh baik secara ritual maupun sosial.

B. Saran-saran

Islam merupakan agama yang tidak hanya mengedepankan sisi kognitif saja, lebih dari itu, adalah aspek sikap (afektif). Oleh karenanya, perlu adanya usaha untuk memotivasi dan mendukung pembentukan pribadi Muslim yang tangguh (pemeluk agama yang taat) dengan berpedoman kepada al-Qur‟an dan as-Shunah. Hal ini tentu harus didasari oleh kemampuan-kemampuan dasar sebagai manusia. Sehingga secara terpadu dapat mewujudkan tujuan dan harapaan sebagai makhluk sosial dan beragama.


(4)

67

Jadi untuk mencapai tujuan, maka penanaman pola komunikasi dalam al-Qur‟an harus diterapkan dengan menggunakan metode yang tepat. Adapun aplikasinya yang meliputi menjunjung kehormatan umat manusia dapat disampaikan dengan cara keteladanan. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan dapat digunakan metode- metode lain sebagai penerapannya. Tentunya peranan orang-orang alim sebagai pendidik utama tidaklah kalah pentingnya dalam mewujudkan proses mengkomunikasikan al-Qur‟an dengan metode atau cara komunikasi yang baik. Sehingga mampu diterima oleh setiap idividu-individu atau masyarakat luas, walaupun dalam ukuran yang sangat sederhana (sesuai dengan kemampuan berfikir ). Sehingga nilai al-Qur‟an yang agung dapat terealisasikan dalam kehidupan sehari-hari.


(5)

68

Al-Maraghi, Mushthofa, Tafsir al-Maraghi, Beirut: Dar al-Fikr, t. th. Muslim, Imam, Shahih Muslim, Kairo: al-Masyad al-Husaini, t. th.

Alquran dan Terjemahannya. (1989). Jakarta: Departemen Agama RI. Ashiddiqi, H. (1977). Tafsir al-Bayan Jilid 1,2. Bandung: Al- Maarif.

Dahlan, M,D. dan Syihabuddin. (2001). Kunci-kunci Menyingkap Isi Al Quran. Bandung: Pustaka Fithri.

Effendy, Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya), cet XII, 1999.

Kamus Besar bahasa Indonesia. (1988). Jakarta: Balai Pustaka. Katsir, I. (1410H). Tafsir Ibnu Katsir. Riyadh: Maktabah Ma‟arif.

Purwadarminta, W,J,S. (1985). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Qardhawi, Yusuf. 1973.

Hajazi, Mahmud, Tafsir Wadhih, Beirut: Dar al-Jil, jilid III, tt. Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987. Hamka. (1983). Tafsir Al Azhar. Jakarta: Bulan Bintang.

Ibn Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-„Adhim, Beirut: al-Maktabah al-„Ashriyah, jilid IV, 2000. Jilid I, 2005.

Ilaihi, Mahmud, Komunikasi Dakwah, (Bandung: Remaja Rosdakarya), cet. I, 2007

Asqalani, Ibn Hajar : Tarjamah Hadist Bulugum Maram,(Gema Risalah Press Bandung, 1994)h. 499

Maraghi, Ahmad, Tafsir al-Maraghi, terj, Semarang: Toha Putra, Cet. III, 1993. Nimmo, Dan, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek, penerjemah Tjun

Surjaman, (Bandung: Remaja Rosdakarya), cet. II, 2000.

Rahmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya), cet. X, 1996.


(6)

69

Shihab, Muhammad Quraish, Wawasan al-Qur`an, Bandung: Mizan, cdet. II, 1996.

Razi, Fakhrur, Tafsir Fakhrur Razi, Beirut: Darul Fikr, jilid IV,1985.

Rifasi, Muhammad Nasib, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani, Jilid IV, 2000.

Shihab, M Quraish, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, Cet. I, volume 13, 2003.

Susanto, Astrid S., Komunikasi dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Bina Cipta), cet. V, 1986.

Al-Razi, Fakhr al-Din, al-Tafsir al-Kabir, Beirut: Dar al-Fikr, t. th.

Al-Ashfahani, Abu Qasim Abu Husain bin Muhammad Raghib, al-Mufradat fi al-Gharib al-Qur`an, Mesir: Mushthofa al-Bab al-halabi, 1961. Amir, Mafri, Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam, Jakarta: Logos

Wacana Ilmu, 1999.

Utsaimin, Muhammad, Syarah Riyadhus Shalihin, Jakarta: Darul Falah, Cet. I, Saefullah, Ujang, Drs. M.Si. Kapita Selekta komunikasi Pendekatan Budaya dan

Agama, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007

Syafe‟i, Rahmat, Aqidah, akhlak, Sosial dan Hukum, Bandung: Pustaka Setia, Cet. II, 2003.