Proses pemurnian gliserol harus dilakukan untuk meningkatkan derajat kemurnian gliserol sebelum digunakan. Yong et al. 2001 melakukan pemurnian
gliserol yang diperoleh dari industri metil ester minyak inti sawit melalui proses destilasi sederhana pada suhu 120
o
C – 126
o
C, tekanan 4,0 x 10
-1
- 4.0 x 10
-2
mbar dan kemudian didinginkan pada suhu 8
o
C. Proses pemurnian ini berhasil meningkatkan kemurnian gliserol dari 50,4 menjadi 96,6. Adanya penggunaan
panas pada proses destilasi metode tersebut menyebabkan meningkatnya biaya pemurnian gliserol yang tidak sebanding dengan nilai ekonomi yang diperoleh.
Proses peningkatan kemurnian gliserol yang lebih sederhana dan relatif lebih murah dilakukan oleh Farobie 2009 dengan cara mereaksikan gliserol kasar
dengan sejumlah asam fosfat sampai terbentuk endapan garam kalium fosfat. Tujuan utama proses ini adalah untuk menetralkan sisa katalis basa KOH dengan
asam fosfat. Proses ini berhasil meningkatkan kemurnian gliserol dari 50 menjadi 80. Proses ini juga menghasilkan produk samping berupa garam kalium
fosfat yang dapat digunakan sebagai pupuk. Selain garam kalium fosfat, produk lain yang dihasilkan pada saat pemurnian gliserol dengan menggunakan metode
ini adalah asam lemak. Selain diproduksi melalui transesterifikasi minyak dan lemak, gliserol juga
diproduksi melalui proses produksi dari alil klorida, propene oksida, proses fermentasi dari gula dan proses hidrogenasi karbohidrat. Beberapa proses non
komersial lainnya
yang memungkinkan
terbentuknya gliserol
adalah photoproduction
dari biomassa, sintetis hidrogenasi katalitik karbon dioksida, serta proses produksi gliserol sintetis dari molase yang terhenti sejak tahun 1969.
Gliserol yang dihasilkan baik dari proses transesterifikasi minyak dan lemak maupun yang disintesis dengan berbagai proses tersebut di atas merupakan bahan
baku utama dan pendukung yang digunakan dalam berbagai industri. National Biodiesel Board 2010 menyatakan bahwa gliserol paling banyak digunakan di
enam bidang industri yaitu industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetika, rokok, kertas dan percetakan serta industri tekstil. Gliserol digunakan baik sebagai
bahan baku proses, bahan antara dan sebagai bahan tambahan yang berfungsi untuk meningkatkan kualitas suatu produk. Rincian penggunaan gliserol di
berbagai macam industri dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Macam-macam penggunaan gliserol di industri
Bidang Industri Fungsi
Produk
Makanan dan minuman
Pelembab, pemanis dan pengawet intermediet
Minuman ringan, permen, kue, pelapis daging dan keju, makanan
hewan peliharaan, margarin, salad, makanan beku dan
kemasan makanan. Farmasi
Pelembut, media Kapsul, obat infeksi, anestesi,
obat batuk, pelega tenggorokan, obat kulit, antiseptik dan
antibiotik. Kosmetika dan
toiletris Pelembab, pelembut
Pasta gigi, krim dan lotion kulit, lotion cukur, deodorant, make up,
lipstik dan maskara. Kertas dan
pencetakan Pelembut, mencegah
penyusutan Kertas minyak, kemasan
makanan, kertas cetakan tinta Tekstil
Pemasti ukuran, pelunak,
Kain, serat dan benang
Lain —lain
Pelumas, pelicin, pelapis, menambah
fleksibilitas, Kemasan resin, plastik, karet,
busa, dinamit, komponen radio dan lampu neon.
Sumber : National Biodiesel Board, 2010
2.4 Debu Batubara
Batubara coal adalah bahan bakar yang berasal dari endapan sedimen tumbuhan purba yang hidup 100-400 juta tahun yang lalu. Batubara mengandung
sejumlah tertentu karbon, nitrogen, oksigen dan belerang yang bersatu dengan elemen lainnya termasuk mineral-mineral ASTM D 121-00, 2000. Batubara
merupakan padatan yang rapuh, mudah terbakar, yang dibentuk oleh dekomposisi dan perubahan vegetasi dengan pemadatan, suhu dan tekanan. Penampakan
batubara berbeda-beda tergantung karakteristiknya. Warna batubara bervariasi dari coklat sampai hitam dan biasanya bertingkat. Tanaman purba yang menjadi
batubara diidentifikasi mayoritas berasal dari lumut dan tumbuhan tingkat rendah Speight 2005.
Komposisi kimia batubara sangat dipengaruhi oleh jenis batubara itu sendiri. International Energy Agency 2009 mengklasifikasikan batubara
berdasarkan kandungan sedimen terbakar ke dalam empat kelompok yaitu Anthracite
, Bituminous, Sub-bituminous dan LigniteBrown coal. Walaupun demikian, secara garis besar IEA mengikuti The International Coal Classification
of the Economic Commission for Europe UNECE dalam membagi batubara
menjadi dua golongan besar yaitu hard coal – yaitu batubara yang memiliki
jumlah kalori lebih besar dari 5 700 kcalkg 23,9 GJt dan brown coal – batu
bara yang memiliki nilai kalori lebih rendah dari 5 700 kcalkg 23,9 GJt. Rumus struktur batubara dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Rumus struktur batubara Hambly 1998 Karakteristik batubara berbeda-beda sesuai dengan lingkungan dan formasi
batuan asalnya. Batubara dikelompokkan berdasarkan kandungan energinya menjadi beberapa kelompok antara lain antrasitik, bituminous, sub bituminous
dan lignitik ASTM D 388-99, 2002. Masalah lingkungan yang berkaitan dengan penggunaan batubara sebagai
sumber energi adalah timbulnya pencemaran pada saat transportasi dan pada saat
pembakaran. Pencemaran udara pada saat transportasi batubara berupa paparan debu batubara, sedangkan pada proses pembakaran, pencemaran yang terjadi
berupa emisi buangan yang banyak mengandung oksida asam seperti nitrogen monooksida NO. NO merupakan salah satu penyebab utama terjadinya hujan
asam. Hujan asam dianggap sebagai salah satu perusakan terparah yang diakibatkan manusia terhadap bumi Monk 2004
Pencemaran debu batubara disebabkan oleh terbentuknya partikel-partikel yang sangat kecil dan mudah tertiup angin dari satu lokasi ke lokasi lainnya.
Pencemaran batubara pada kondisi yang ekstrim sangat berbahaya terhadap kesehatan. Tiga jenis efek yang ditimbulkan oleh pencemaran debu batubara
terhadap kesehatan menurut Federal Coal Mine Health and Safety Act 1969 adalah gangguan pernapasan, penyakit epidemi seperti Coal Workers
Pneumoconiosis CWP dan Progressive Massive Fibrosis PMF, serta gangguan
mekanisme seluler United States Department of Labor 2006. Epidemi yang paling umum yaitu CWP, dapat mengakibatkan kerusakan paru-paru yang sangat
parah Pinho 2004. Kerusakan paru-paru tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Foto kerusakan paru-paru CWP akibat polusi debu batubara Connor 2011
Pengaruh pencemaran debu batubara terhadap kesehatan dan lingkungan tidak berbeda jauh dengan pengaruh pencemaran debu batubara terhadap manusia.
Pencemaran debu batubara bersamaan dengan aktivitas pembakaran batubara
berkontribusi terhadap pencemaran lingkungan perairan, udara dan daratan. Penebalan lapisan debu batubara pada daun tanaman di sekitar lokasi pencemaran
akan menyebabkan terganggunya aktivitas fotosintesis tanaman tersebut Naidoo dan Chirkoot 2004. Selain itu, debu batubara di udara juga dapat menyebabkan
berubahnya pH air hujan.
2.5 Coal Dust Suppressant CDS
Coal Dust Suppressant CDS merupakan senyawa kimia yang digunakan
untuk mencegah penyebaran debu batubara pada saat batubara dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain Dohner 1988. Selain itu, CDS juga dapat digunakan
pada penanganan debu batubara yang timbul dari aktivitas transportasi truk-truk pengangkut batubara di lokasi sekitar penimbunan batubara stockpile.
Prinsip kerja utama CDS dalam mencegah pembentukan debu batubara adalah dengan memperbesar ukuran partikel, memperberat bobot partikel dan
mengikat partikel debu batubara satu sama lain. Polimer pada komponen CDS akan membentuk lapisan film yang membungkus granula CDS menjadi lebih
berat dan lebih besar ukurannya, sehingga relatif tidak mudah terbang. Gliserol berfungsi sebagai agen pembasah yang menahan kelembaban partikel debu