1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Rumah sakit mempunyai bentuk yang unik, yang berbeda dengan organisasi lain pada umumnya. Rumah sakit mempunyai kekhususan seperti
adanya hubungan yang terjadi antara tenaga medis dan manajemen. Oleh karena itu, rumah sakit merupakan sebuah organisasi yang memiliki tingkat
kompleksitas tinggi akibat adanya hubungan-hubungan tersebut. Rumah sakit perlu menetapkan dan mengatur tentang tugas, kewenangan, hubungan
fungsional dan hubungan tanggung jawab antara karyawan untuk menjaga agar hubungan berjalan harmonis, sehingga tujuan organisasi rumah sakit
dapat dicapai. Organisasi sebagai struktur tata pembagian kerja dan struktur tata
hubungan kerja antara sekelompok orang yang bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu Supardi, 2002. Riggio 2009, menjelaskan dilihat dari
struktur organisasi, organisasi memiliki empat dimensi. Salah satu dimensinya yaitu struktur organisasi tradisional dan nontradisional. Pada
organisasi tradisional, setiap anggota ditetapkan sesuai peran, memiliki kekuasan yang kaku, dan tidak berubah serta menolak perubahan. Tugas,
kedudukan, dan wewenang ditetapkan secara jelas dalam struktur tradisional. Contoh dari struktur organisasi tradisional adalah birokrasi dan lini
– staff Riggio, 2009.
Sebaliknya, struktur organisasi nontradisional memiliki karakteristik peran dan prosedur kerja yang kurang formal. Artinya,
2
cenderung lebih fleksibel dan dapat menyesuaikan dengan situasi yang ada, tanpa hirarkhi yang kaku. Contohnya adalah
team organisasi dan project task role.
Terdapat empat ciri dari nontradisional organisasi yaitu memiliki tingkat fleksibilitas dan penyesuaian yang tinggi, kerjasama diantara karyawan,
kurang menekankan pada status organisasi, dan kelompok pengambilan keputusan.
Riggio 2009, menambahkan organisasi matiks yaitu gabungan antara desain organisasi tradisional dan nontradisional. Karakteristik dari organisasi
matriks yaitu memiliki fleksibilitas dan penyesuaian yang tinggi. Davis dan Newstrom 1985, menjelaskan organisasi matriks adalah jenis organisasi
yang melapisi organisasi lainnya sehingga terdapat dua garis komando yang mengarahkan para karyawan. Bentuk organisasi ini terutama diterapkan dalam
proyek besar yang khusus memerlukan sejumlah besar karyawan teknis dengan keterampilan yang berbeda-beda. Akan tetapi, Sherman dalam Davis
dan Newstrom, 1985 mengungkapkan efek dari pelaksanaan organisasi matriks yaitu dapat menimbulkan kebingungan. Struktur ini memperkecil
wewenang dan memperbesar perlunya koordinasi serta pengendalian. Karyawan diharuskan berperan rangkap, sehingga adakalanya mereka merasa
putus asa dan tidak aman dalam peranan yang ambigu. Struktur organisasi dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Cummings
dan Berger dalam Davis dan Newstrom, 1985 menjelaskan struktur organisasi merupakan hal yang signifikan karena sebagian menentukan kuasa
dalam organisasi dan persepsi tentang peran karyawan. Organisasi tradisional
3
seperti lini – staf umumnya lebih banyak digunakan pada organisasi-
organisasi, namun organisasi ini tidak cocok diterapkan pada rumah sakit. Hal tersebut didukung oleh pendapat Burns, Burns dan Wholey, Kolodny dalam
Riggio, 2009 yang mengungkapkan bahwa struktur nontradisional lebih sesuai diterapkan pada rumah sakit, agen kesehatan, lembaga keuangan dan
pemerintahan. Ketidakcocokan menerapkan struktur organisasi lini
– staf dapat dilihat pada contoh kasus di sebuah rumah sakit. Berdasarkan hasil wawancara
dengan pihak manajemen di sebuah Rumah Sakit, diungkapkan bahwa rumah sakit tersebut mempunyai tuntutan kinerja yang berat. Di samping
melaksakan pelayanan publik sesuai tugas dan fungsinya untuk tetap memberikan kepuasan pada masyarakat, rumah sakit juga perlu menjalankan
good governance
transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Selain tuntutan kinerja, struktur organisasi di rumah sakit tersebut dirasa masih belum sesuai
dengan pelaksanaan di lapangan. Rumah sakit tersebut menggunakan organisasi lini-staf namun pada pelaksaannya menerapkan organisasi matriks.
Ketidaksesuaian ini dapat mengakibatkan karyawan menjadi bingung menerima perintah dari beberapa atasan. Para karyawan yang terlalu
menspesialisasikan diri pada bidang tertentu menjadi sulit dalam koordinasi secara menyeluruh meskipun telah didukung oleh adanya pembidangan dan
pemahaman yang mendalam mengenai bidangnya masing-masing. Dampak berikutnya yaitu kesempatan berkembang para karyawan menjadi terbatas.
4
Hasil wawancara dari pihak komite keperawatan mengungkapkan hal yang berbeda yaitu para perawat merasa keamanan dan kenyamanan kerja
belum optimal. Ketidaknyamanan ini diantaranya disebabkan oleh ketersediaan sarana prasarana yang belum optimal, seperti penjamin kesterilan
alat yang kurang terkoordinasi, sarana cuci tangan dan tempat parkir. Perawat tidak mendapat jaminan keamanan untuk kendaraan khususnya saat
shift
malam. Masalah lainnya yaitu belum dilaksanakannya pensterilan ruang bangsal-bangsal secara rutin. Tidak tersedia jaminan kecelakaan kerja
mengakibatkan ketidaknyaman khususnya bagi perawat wanita yang bertugas di bangsal pasien laki-laki.
Permasalahan yang dihadapi para perawat tersebut termasuk dalam faktor organisasi yang mempengaruhi kepuasan kerja. Penjelasan tersebut
didukung oleh Mullin dalam Wijono, 2010, yang menyebutkan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja adalah faktor organisasi.
Faktor organisasi meliputi sifat dan ukuran, struktur formal, kebijakan- kebijakan personalia dan prosedur-prosedur, relasi karyawan, sifat pekerjaan,
teknologi dan organisasi kerja, supervisor dan gaya kepemimpinan, sistem manajemen dan kondisi-kondisi kerja.
Organisasi perlu memperhatikan kepuasan kerja karyawan agar dapat menghindari dampak dari ketidakpuasan kerja. Sanjaya dan Suryantini 2012
mengatakan diperlukan keterampilan,
maintenance
dan loyalitas serta rasa
pengabdian yang tulus dalam melayani pasien. Hal tersebut penting untuk
menciptakan kepuasan bagi para karyawan terlebih dahulu sebelum kepuasan
5
bagi para pasien. Almigo 2004, menjelaskan kepuasan kerja bagi seorang karyawan akan berdampak positif bagi organisasi, yang tentunya
meningkatkan produktivitas bagi organisasi tersebut. Menurut Munandar 2001 dilihat dari hasil beberapa penelitian,
ketidakpuasan kerja berdampak terhadap produktivitas, ketidakhadiran
absenteisme
dan keluarnya tenaga kerja
turnover
dan kesehatan. Kepuasan kerja merupakan sikap pekerja yang dihasilkan dari persepsi mereka mengenai
pekerjaannya Gibson, Ivancevich dan Donnelly, 1996. Hadi dalam Majorsy, 2007 mengungkapkan kepuasan kerja pada dasarnya adalah perasaan aman
yang meliputi segi sosial ekonomi dan sosial psikologi. Segi sosial ekonomi dapat dilihat dari gaji dan jaminan sosial yang diberikan oleh perusahaan.
Sedangkan segi sosial psikologi dapat dilihat dari kesempatan yang diberikan oleh perusahaan untuk maju, memperoleh penghargaan, serta berhubungan
baik dengan rekan kerja maupun atasan. Penelitian yang dilakukan oleh Wadhwa pada sebuah industri Semen
di India, menunjukkan bahwa lingkungan kerja, faktor dalam organisasi dan faktor perilaku berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja, tetapi faktor
organisasi merupakan aspek terpenting bagi kepuasan kerja karyawan dalam sebuah perusahaan Verghese dan Wadhwa, 2011. Penelitian yang dilakukan
oleh Okpara 2004 pada manajer yang dipilih dari United States Multinational Corporation US MNCs di Negeria dan Najafi, Noruzy, dan
Azar 2011 pada ahli pendidikan di sebuah universitas mengungkapkan hasil yang sama yaitu kepuasan kerja memiliki hubungan yang positif dan
6
signifikan terhadap komitmen organisasi. Penelitian Farley dan Allen dalam Husnawati, 2006 menunjukkan bahwa kondisi kerja yang buruk, pendapatan
yang tidak memadai dan kurangnya otonomi serta kurangnya stabilitas kerja berakibat pada rendahnya kepuasan kerja di kalangan pekerja Afrika-Amerika.
Kepuasan kerja dapat bertindak sebagai umpan balik terhadap kualitas kehidupan kerja Wether dan Davis, 1996. Kualitas kehidupan kerja adalah
sejumlah keadaan dan praktek dari tujuan organisasi. Contohnya: supervisi yang demokratis, keterlibatan pekerja dan kondisi kerja yang aman Cascio,
2006. Riggio dalam Kaihatu dan Rini, 2007, mengungkapkan bahwa kualitas kehidupan kerja ditentukan oleh kompensasi yang diterima karyawan,
kesempatan untuk berpartisipasi dalam organisasi, keamanan kerja, desain kerja dan kualitas interaksi antar anggota organisasi. Nuryati dan Haryati
2006 mengungkapkan bahwa peningkatan kualitas kehidupan kerja akan mengurangi tingkat absensi dan
turnover
. Pendapat tersebut didukung oleh Greenberg dan Baron dalam Botutihe, 2010, yang menyatakan selain
meningkatkan produktivitas, kualitas kehidupan kerja dapat berpengaruh terhadap menurunnya tingkat
turnover
tenaga kerja. Peningkatan kualitas kehidupan kerja seseorang dapat memberikan
positive feeling
yang lebih besar,
self esteem
yang lebih tinggi, peningkatan
job satisfaction,
dan peningkatan komitmen terhadap organisasi.
Penemuan Field
dan Thucker
dalam Husnawati,
2006 mengimplikasikan bahwa organisasi yang menginginkan pegawainya puas
dapat memilih pegawai dengan predisposisi memperoleh kepuasan atau
7
menciptakan lingkungan kerja yang memfasilitasi kepuasan, atau semuanya
dengan terlebih dahulu membangun kualitas kehidupan kerja. Dalam
penelitian ini kualitas kehidupan kerja meliputi kesempatan untuk berkembang, hubungan kerja, partisipasi kerja, kondisi kerja yang baik dan
layak, serta gaji dan bonus yang sesuai. Berdasarkan paparan di atas, terdapat penelitian yang telah membahas
hubungan antara kualitas kehidupan kerja dengan kepuasan kerja, tetapi belum ada penelitian pada konteks yang berbeda seperti di rumah sakit. Oleh karena
itu, menarik dan penting bagi peneliti untuk melihat hubungan antara kualitas kehidupan kerja dengan kepuasan kerja karyawan di rumah sakit.
B. Rumusan Masalah