BAB III BUDAYA PATRIARKI TERHADAP TOKOH PEREMPUAN
DALAM NOVEL REMBANG JINGGA
3.1 Pengantar
Dalam bab III, akan dibahas mengenai gambaran budaya patriarki terhadap tokoh perempuan yang terdapat dalam novel Rembang Jingga. Gambaran budaya
patriarki ini meliputi stereotipe gender dan kekerasan gender. Stereotipe gender akan dibagi menjadi pembagian kerja dan pendidikan. Kekerasan gender akan
dibagi menjadi empat, yaitu kekerasan fisik, kekerasan verbal, kekerasan psikis, dan kekerasan kekuasaan.
3.2 Stereotipe Gender
Stereotipe secara umum adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu Fakih, 2003: 16. Gender adalah perbedaan perilaku antara
laki-laki dan perempuan yang dikostruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia
melalui proses sosial dan kultural yang panjang Fakih, 2003:72. Sementara itu, stereotipe gender yang terjadi dalam masyarakat, merupakan diskriminasi yang
terjadi pada kaum perempuan yang berakibat membatasi, menyulitkan, memiskinkan dan merugikan kaum perempuan. Diskriminasi ini yaitu keyakinan
masyarakat bahwa laki-laki adalah pencari nafkah dan pekerjaan yang dilakukan kaum perempuan dinilai hanya sebagai “tambahan” dan oleh karenanya boleh saja
dibayar lebih rendah Fakih, 2012 : 74. Di rumah, perempuan memasak, membersihkan rumah, dan merawat anak, sedangkan laki-laki berkebun, merawat
mobil, dan memperbaiki rumah Sugihastuti, 2010 : 57. Kesimpulan dari para ahli di atas adalah stereotipe gender merupakan
pelabelan yang dibentuk oleh masyarakat terhadap kaum laki-laki dan perempuan, yang menyebabkan diskriminasi terhadap kaum laki-laki dan kaum perempuan.
Diskriminasi ini menyebabkan kaum perempuan menjadi kurang dihargai, dalam hal pendapatan. Mereka dianggap hanya sebagai pelengkap gaji suami, bukan
sebagai pemenuh kebutuhan. Pandangan ini disebabkan karena tidak sesuai dengan pekerjaan sehari-hari kaum perempuan. Berdasarkan konsep stereotipe
gender tersebut, dalam penelitian ini stereotipe gender yang tergambar dalam novel Rembang Jingga terhadap pembagian kerja dan pendidikan.
3.2.1 Stereotipe Gender dalam Pembagian Kerja
Stereotipe gender dalam novel ini terlihat yaitu di luar rumah dan di dalam rumah. Pembagian kerja di luar rumah berhubungan dengan mencari nafkah baik
bagi kaum laki-laki maupun kaum perempuan. Pembagian kerja di dalam rumah yaitu pekerjaan yang berhubungan dengan merawat anak dan bertanggung jawab
dalam unsur rumah tangga. Stereotipe gender yang terjadi dalam novel ini adalah pembagian beban kerja yang diterima oleh kaum laki-laki dan perempuan.
Pembagian beban kerja yang dimaksud adalah dalam hal mencari nafkah dan pekerjaan dalam rumah tangga.
3.2.1.1 Di Luar Rumah Publik Kaum laki-laki sering diidentikan sebagai pencari nafkah utama bagi
keluarga, sehingga kaum laki-laki akan melakukan pekerjaan apa saja untuk mencari nafkah bagi keluarga. Misalnya saja bekerja sebagai pedagang, tukang
bangunan, pegawai, dst. Sementara, kaum perempuan hanya dianggap sebagai penambah gaji suami, sehingga pekerjaan yang dikerjakan oleh kaum perempuan
hanya berkisar pada pekerjaan tertentu yang mengacu pada kegiatan sehari-hari seperti memasak, mengajar, merawat, dst. Namun, beberapa kaum perempuan
menjadi korban dari stereotipe gender, yaitu tidak diperbolehkan untuk bekerja di luar rumah, dengan alasan bahwa kaum laki-laki bertanggung jawab untuk
membiayai kebutuhan mereka sehari-hari, serta kebutuhan lainnya. Sebagai seorang kepala keluarga, ayah Ires memiliki tanggung jawab untuk
mencari nafkah bagi kebutuhan keluarganya, serta membiayai sekolah anaknya. Namun, kecelakaan sepeda motor yang dialami oleh ayah Ires, meyebabkan Ires
harus berhenti bersekolah dan menikah dengan kekasihnya yang bernama Herlambang. Herlambang merupakan seorang jaksa muda dianggap memiliki
penghasilan yang stabil, sehingga dapat memenuhi kebutuhannya dan kebutuhan Ires. Dengan kedudukannya sebagai jaksa muda, Herlambang memiliki hak untuk
melarang istrinya untuk tidak bekerja mencari nafkah. Herlambang juga memiliki pandangan bahwa kaum perempuan harus berada di rumah untuk memasak,
membereskan dan membersihkan rumah. Untuk itu, Herlambang sering menelepon ke rumah untuk memastikan apakah Ires ada di rumah atau tidak, dan
memastikan apakah pekerjaan yang dikerjakan Ires berjalan dengan baik. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Namun, dengan adanya pernikahan, Herlambang semakin mengekang Ires. Semua kegiatan dimonitor dan dicurigai. Segala pengeluaan
diperiksa, semua harus dengan tanda bukti. Dia bisa menelepon Ires di rumah beberapa kali sehari hanya untuk mengecek istrinya ada di
rumah atau tidak Oetoro, 2015 : 71.
3.2.1.2 Di Dalam Rumah Domestik Pekerjaan domestik selalu diidentikan dengan kaum perempuan, sehingga
terbentuk sebuah anggapan, bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Konsekuensinya banyak perempuan
yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapihan rumah tangganya Fakih, 2012 : 21. Sementara kaum laki-laki diperbolehkan
untuk tidak membantu kaum perempuan, untuk mengerjakan pekerjaan domestik atau pekerjaan rumah tangga. Selain bertanggung jawab atas pekerjaan rumah
tangga, kaum perempuan juga memiliki tugas untuk merawat, membesarkan dan mendidik anak. Sesuai dengan peran gender yang dibentuk oleh masyarakat, kaum
perempuan dituntut untuk dapat mengasuh dan mendidik anak, dari kecil hingga dewasa. Sementara itu, kaum laki-laki kurang begitu mengambil peran ini, dengan
alasan kaum laki-laki lebih sering berada di luar rumah untuk mencari nafkah, dibandingkan dengan kaum perempuan. Maka dari itu, kaum perempuan dianggap
memiliki peran penting terhadap tumbuh kembang anak, yang menyebabkan apabila seorang anak memiliki perilaku yang kurang baik, maka ibunya yang akan
disalahkan terlebih dahulu dibandingkan dengan ayahnya. Perempuan sebagai subjek yang mengandung anak, tidak hanya bertugas melahirkan, namun juga
membesarkan. Untuk urusan pemeliharaan, pekerjaan perempuan tidak hanya dilakukan untuk anak-anak melainkan juga seluruh keluarga. Selain itu,
perempuan dibebani tugas merawat rumah tempat tinggal mereka. Bila pembagian kerja hanya mengacu pada jenis kelamin maka perempuan bertugas mengandung
dan mengasuh anak sedangkan si laki-laki tidak Sugihastuti, 2010 : 54-55. Tokoh Ires mengalami stereotipe gender dalam hal tanggung jawab
terhadap rumah tangga. Sehingga ia bekerja keras untuk selalu membesihkan dan merapihkan rumahnya, serta menjaga agar rumahnya selalu bersih. Pernyataan
tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini. Mata Ires memerah menahan tangis melihat keadaan rumahnya.
Rumah yang selama ini selalu dia jaga kebersihannya. Tumpukan piring gelas kotor dibiarkan begitu saja di tempat cuci piring. Baju-
baju yang telah dipakai berserakan di lantai kamar. Puntung-puntung rokok menggunung di meja dengan abu dimana-mana. Di atas meja
makan terdapat berkas-berkas dan beberapa catatan yang dibuat Herlambang. Semua tampak berantakan dan seperti ditinggalkan
dalam keadaan terburu-buru Oetoro, 2015 : 144.
Selain tokoh Ires yang mengalami stereotipe gender dalam hal tanggung jawab terhadap rumah tangga, tokoh Karina memiliki masalah yang sama, yaitu
dalam hal mendidik dan membesarkan anak. Karina sebagai ibu harus mendidik dan mengasuh anaknya hingga dewasa tanpa bantuan dari ayah kandung anaknya
dan tanpa dukungan dari keluarganya. Karina sadar bahwa sulit untuk mendapatkan dukungan dan bantuan dari orangtuanya untuk membesarkan anak
dari hasil hubungan terlarang dengan pacarnya yang bernama Dodi. Namun,
Karina tetap mempertahankan anaknya itu dan merawatnya hingga dewasa. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Dulu Karina selalu bertanya-tanya dalam hatinya mengapa Dodi sampai hati meninggalkannya saat dia begitu membutuhkan pacarnya
itu. Kini tak ada lagi rasa keingintahuan tersebut. Aral melintang di saat kehamilan, kemarahan dan pengucilan oleh orangtuanya yang
sampai sekarang masih bersikap dingin kepada dirinya, semua dilalui dengan sabar Oetoro, 2015 : 112.
3.2.2 Stereotipe Gender dalam Pendidikan Pendidikan merupakan hal wajib yang harus dilaksanakan oleh semua
orang. Namun, ada beberapa orang juga menganggap bahwa pendidikan tidak terlalu penting. Apalagi bagi kaum perempuan, sehingga kaum perempuan tidak
diizinkan untuk melanjutkan pendidikannya, dengan alasan kaum perempuan pada akhirnya akan mengurus anak dan rumah tangga. Banyak orang menganggap ilmu
yang kaum perempuan dapatkan, pada saat menempuh pendidikan tidak akan digunakan saat mereka mengurus rumah tangga. Dalam rumah tangga, masyarakat
maupun n egara, banyak kebijakan dibuat tanpa „menganggap penting‟ kaum
perempuan. Misalnya, ada anggapan perempuan nantinya akan kembali bekerja di dapur, mengapa harus sekolah tinggi-tinggi? Fakih, 2003:73. Kondisi
pendidikan perempuan memang mengalami banyak peningkatan mulai tahunn 1550-1700, namun perempuan tetap dilarang untuk mendapat pendidikan pada
tingkat universitas Gamble, 2010 : 4. Dalam novel ini, tokoh Ires juga mengalami hal yang sama. Ia tidak
diperbolehkan melajutkan pendidikannya yang tertunda akibat kecelakaan kerja yang menimpa ayahnya. Pada saat ayah Ires mendengar bahwa anaknya akan
menikah dengan seorang jaksa muda, ayah Ires berpikir bahwa menantunya nanti akan memperbolehkan Ires untuk melanjutkan pendidikannya. Karena
Herlambang yang memiliki ekonomi yang cukup, dianggap mampu oleh orang tua Ires untuk membiayai pendidikan Ires. Namun, pada kenyataanya, Herlambang
melarang Ires untuk melanjutkan pendidikannya. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Darahnya mendidih kembali melihat Ires sedang sibuk melakukan aktivitas yang tidak ia ketahui sebelumnya. Begitu melihat tumpukan
kertas di meja makan, Herlambang langsung tahu, istrinya punya kegiatan rahasia, kegiatan yang tak pernah disetujuinya. Ikut
kelompok belajar. Sekolah Tanpa izin darinya Oetoro, 2015 : 88.
Tokoh Diar juga harus mengalami nasib yang sama dengan tokoh Ires. Pada saat Diar tengah menempuh pendidikannya yang akan memasuki kelas 2 SMP di
Jakarta, Sugeng, meminta Diar untuk datang ke Rembang membantu di warung milik Sugeng. Awalnya Diar sempat menolak karena ia masih ingin bersekolah
dan bermain dengan teman-teman sebayanya. Namun, karena perintah dari neneknya, akhirnya Diar pergi juga ke Rembang untuk membantu kedua orang
tuanya dan meninggalkan pendidikannya di Jakarta. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Diar diajak si Mbah ke Jakarta, menjadi asisten rumah tangga keluarga Anwar. Di Jakarta enak, bisa sekolah, bermain menjadi
anak-anak yang sesungguhnya, walau kadang-kadang membantu si Mbah melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Baru saja akan
memasuki kelas 2 SMP, Diar dijemput Sugeng untuk tinggal di warung bersamanya dan si Mbok Oetoro, 2015 : 62.
3.3 Kekerasan Gender