18
C. Tes Proyektif CAT
CAT Children’s Apperception Test merupakan metode proyeksi untuk mengamati kepribadian dengan mempelajari dinamika dari respon individu
dalam mempersepsi stimulus-stimulus gambar. CAT merupakan penurunan langsung dari TAT Thematic Apperception Test, dimana CAT merupakan alat
tes yang digunakan pada anak usia 3-10 tahun. CAT digunakan untuk memahami hubungan anak dengan figur-figur
penting dan dorongan-dorongannya. Gambar-gambar didesain untuk mengamati masalah persaingan dengan saudara, sikap dan hubungan anak
terhadap figur orang tua, maupun fantasi anak mengenai orang tua yang buruk. Melalui CAT, diharapkan dapat mengeluarkan fantasi anak tentang agresi,
penerimaan terhadap dunia orang dewasa, mempelajari mekanisme pertahanan diri anak dan membantu mengatasi masalah perkembangannya Bellack, 1997.
Secara klinis, CAT digunakan untuk mengamati faktor-faktor dinamis yang terkait dengan tingkah laku anak dan kelompok, sekolah atau di rumah.
Versi yang pertama dari CAT menggunakan gambar-gambar hewan sebagai stimulusnya CAT-animal. Namun kemudian dikembangkan versi
CAT dengan menggunakan figur manusia pada gambar-gambarnya, yang juga dikenal sebagai CAT-H Children Apperception Test-Human. CAT-animal
biasa digunakan pada anak usia prasekolah 3-5 tahun, sedangkan CAT-H biasa digunakan pada anak yang lebih besar 5-10 tahun serta untuk anak yang
lebih muda dengan kemampuan intelektual superior.
19
Setiap set CAT terdiri dari 10 kartu yang masing-masing kartunya memiliki tema dan kegunaan masing-masing untuk mengungkap kondisi
psikologis anak. 1. Kartu 1 menampilkan gambar anak-anak ayam duduk mengitari meja yang
di atasnya terdapat mangkuk berisi makanan. Pada sisi kiri, ada seekor ayam besar yang tergambar samar; mengungkap persaingan antar
saudara, situasi pemberian hadiah atau pemberian hukuman, serta masalah umum yang berkaitan dengan oralitas.
2. Kartu 2 menampilkan gambar seekor beruang menarik tambang pada satu ujung, sementara beruang lain dengan seekor anak beruang menarik
ujung tambang yang lain; mengungkap permainan, ketakutan akan agresi, sikap agresi anak.
3. Kartu 3 menampilkan gambar seekor singa dengan pipa dan tongkat duduk di kursi; di sudut kanan bawah, seekor tikus muncul dari lubang;
mengungkap kebingunan akan peran, konflik antara pemenuhan kebutuhan dan otonomi.
4. Kartu 4 menampilkan gambar seekor kangguru memakai topi, membawa keranjang berisi botol susu; di kantongnya ada anak kangguru yang
sedang memegang balon; sedangkan anak kangguru yang lebih besar sedang mengendarai sepeda; mengungkap persaingan antar saudara,
hubungan antara ibu dan anak, serta keinginan untuk mandiri dan berkuasa.
20
5. Kartu 5 menampilkan gambar sebuah kamar yang gelap dengan tempat tidur besar pada latar belakang; di depan terdapat tempat tidur bayi
dengan 2 bayi beruang di dalamnya; mengungkap keterlibatan emosi pada anak, pengamatan, kebingungan.
6. Kartu 6 menampilkan gambar suatu gua yang gelap dengan gambaran yang samar dari 2 ekor beruang di latar belakang; seekor bayi beruang
sedang berbaring di latar depan; merefleksikan perasaan cemburu. 7. Kartu 7 menampilkan gambar seekor harimau menunjukkan taring dan
cakarnya, menerkam seekor kera yang sedang melompat ke udara; mengungkap tingkap kecemasan anak yang berkaitan dengan agresi.
8. Kartu 8 menampilkan gambar dua ekor kera dewasa duduk di sofa, minum dari cangkir teh. Di depan, seekor kera dewasa tengah bicara dengan
anak kera; mengungkap peran anak dalam keluarga, konsep anak mengenai kehidupan sosial orang dewasa.
9. Kartu 9 menampilkan gambar sebuah kamar yang gelap terlihat melalui pintu terbuka dari kamar yang terang. Dalam kamar gelap terdapat
tempat tidur anak-anak yang di dalamnya berdiri seekor kelinci yang memandang melalui pintu; mengungkap ketakutan akan ditinggal sendiri,
dipisahkan oleh orang tua, rasa ingin tahu. 10. Kartu 10 menampilkan gambar seekor anak anjing telungkup di atas lutut
anjing dewasa dengan latar belakang situasi kamar mandi;
memperlihatkan mengenai konsep moral anak, ‘toilet training’.
21
D. Kebutuhan pada Anak Tunggal
Anak-anak usia sekolah bisa dikatakan merupakan periode kritis yang harus dilalui individu. Setiap anak haruslah dapat menyelesaikan setiap tugas-
tugas perkembangannya, agar dapat bertumbuh menjadi remaja yang matang serta memiliki harga diri yang tinggi. Untuk dapat menyelesaikan tugas
perkembangan tersebut, tentu saja bukan hanya anak yang berperan, tetapi faktor eksternal, misalnya orang tua, keluarga, maupun masyarakat juga
berpengaruh. Berdasarkan beberapa pendapat ahli, dapat disimpulkan bahwa tugas
perkembangan anak usia 6-12 tahun usia sekolah dapat meliputi beberapa aspek, yaitu: 1 fisik, meliputi meningkatkan kekuatan dan koordinasi otot; 2
kogitif, meliputi mengembangkan perasaan mampu, keterampilan dasar dalam membaca, menulis, berhitung; 3 sosial, meliputi menyesuaikan diri dengan
teman sebaya, mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial di lingkungan,
mengikuti aturan-aturan
sosial; 4
moral, meliputi
mengembangkan hati nurani, pengertian moral, dan tata nilai; 5 mental, meliputi membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai individu
yang sedang tumbuh, serta mencapai kebebasan pribadi. Secara umum, berkaitan tugas-tugas perkembangannya tersebut, anak
usia 6-12 tahun memiliki kebutuhan akan pemenuhan kebutuhan fisik atau jasmani dan kebutuhan akan kasih sayang yang akan terwujud pada hubungan
relasi dengan orang tua, saudara, maupun pertemanan. Anak juga memiliki kebutuhan akan penghargaan pribadi serta kedisiplinan yang mulai diajarkan
22
dan ditanamkan. Selain itu anak juga memiliki kebutuhan akan aktualisasi diri yang ditunjukkan dengan mengembangkan berbagai aspek kehidupannya.
Seorang anak tunggal merupakan satu-satunya anak dalam sebuah keluarga. Hal ini menimbulkan situasi yang unik dalam kehidupan anak
tunggal dibandingkan anak lain yang memiliki saudara. Ia tidak perlu bersaing dengan saudara-saudaranya, namun terhadap ayah atau ibunya JessGregory
Feist, 2010. Segala perhatian dan waktu orang tua pun otomatis akan tertuju dan diberikan padanya Falbo Polit, dalam Papalia Olds 2007. Namun di
sisi lain, seorang anak tunggal harus menerima kenyataan bahwa ia tidak memiliki teman untuk bermain serta berbagi di dalam rumah.
Anak tunggal memiliki kemungkinan yang besar untuk dibesarkan dengan pola asuh yang dimanjakan oleh orang tua. Orang tua terkadang
melakukan terlalu banyak untuk anaknya dan memperlakukan mereka seperti seolah-olah mereka tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Hal ini
akan berdampak buruk jika anak kemudian tumbuh menjadi manja. Orang yang manja akan mengharapkan orang lain untuk merawat, melindungi dan
memuaskan kebutuhan mereka. Karakteristik yang bisa terbentuk adalah putus asa yang berlebihan, kebimbangan, tidak sabar, dan emosi yang berlebihan
Adler dalam JessGregory Feist, 2010. Hal tersebut tentu akan menghambat seorang anak dalam menyelesaikan tugas perkembangannya, terutama di aspek
sosial, yang menuntut mereka untuk dapat menyesuaikan diri, berelasi dengan orang lain, dan mengikuti segala aturan di masyarakat dengan baik.