UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK KEPERDATAAN

BAB IV UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK KEPERDATAAN

WARGA MASYARAKAT DI ATAS TANAH YANG BERADA DALAM KAWASAN HUTAN BERDASARKAN SK MENTERI KEHUTANAN RI NO. 463MENHUT-II2013 DI KOTA BATAM A. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Keperdataan Warga Masyarakat Di Atas Tanah Yang Berada Dalam Kawasan Hutan Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Sengketa pertanahan yang bersifat keperdataan berkaitan dengan hak-hak keperdataan, baik oleh subyek hak maupun oleh pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap obyek haknya tanah. Adapun yang menjadi permasalahan berkaitan dengan kepastian hak atas tanahnya. 173 Hak keperdataan masyarakat atas suatu benda yang mereka miliki tentulah harus diberikan jaminan hukum. Menjamin kepastian hukum bagi setiap warga Negara Indonesia, baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun dalam kegiatan usaha atau investasi. Tindakan masyarakat yang tadinya legal “dianggap” menjadi tidak legal tentulah harus mendapatkan perlindungan hukum. Jaminan tersebut secara implisit diatur dalam berbagai ketentuan perundang-undangan, antara lain : 174 173 Rusmasi Murad, Menyingkap Tabir Masalah Pertanahan, Bandung: CV. Mandar Maju, 2007, hlm. 80. 174 Laporan Tim Terpadu V, Op. Cit., lm 28-29. Universitas Sumatera Utara 1. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-4, Pasal 28D Ayat 1 menyatakan ”setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Pada Pasal 28I Ayat 1 menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. 2. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dalam Pasal 7 menyatakan bahwa penataan ruang diperuntukan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat yang diselenggarakan oleh Negara melalui Pemerintah dan Pemerintah Daerah dan dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 37 Ayat 3 menyatakan ”izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan danatau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum”. 3. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan: a. Pasal 47 huruf b menyatakan bahwa perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan salah satu untuk mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. b. Pasal 68 Ayat 4: ”Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Universitas Sumatera Utara Pada kawasan hutan yang telah dilakukan pengukuhan hingga ditetapkan oleh Menteri Kehutanan maka kawasan hutan yang telah ditetapkan tersebut yang diacu. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 ayat 4 Peraturan Menteri Kehutanan Permenhut No. P.50Menhut-II2011 tanggal 28 Juni 2011, yaitu “dalam hal suatu areal telah ditunjuk dengan Keputusan Menteri, telah di tata batas, berita acara tata batas kawasan hutan telah ditandatangani oleh Panitia Tata Batas, berita acara tata batas telah disahkan oleh Menteri dan telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri maka yang digunakan sebagai acuan kawasan hutan adalah Keputusan Menteri tentang penetapan kawasan hutan”. Pada Pasal 13 Ayat 3 juga menyebutkan bahwa penataan batas dilakukan antara lain terhadap batas luar kawasan hutan dan batas fungsi kawasan hutan. Penataan batas yang dimaksud salah satunya dilakukan dengan pemasangan tanda batas pada bagian kawasan hutan yang: a berbatasan langsung dengan permukiman; b berbatasan langsung dengan hak atas tanah pihak ketiga; c berbatasan langsung dengan areal izin kegiatanusaha; d berbatasan langsung dengan jalan atau berpotongan dengan jalan; atau e enclave dalam kawasan hutan. Dengan demikian, kawasan hutan dengan fungsi yang sama yang telah ditetapkan dan berasal dari sebagian kawasan yang ditunjuk sebelumnya, maka kawasan hutan yang telah ditetapkan tersebut yang diacu, sedangkan diluar tata batas selain yang telah ditetapkan direkomendasi sebagai perubahan peruntukan karena terdapat hak-hak pihak ketiga. Berdasarkan Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang berbunyi : ”Perubahan peruntukkan dan fungsi kawasan hutan Universitas Sumatera Utara ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu”. Penelitian Terpadu terhadap perubahan kawasan hutan dalam usulan paduserasi TGHK dengan RTRW Provinsi Kepulauan Riau telah dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal, yaitu: 175 1. Provinsi Kepulauan Riau merupakan provinsi pemekaran dari Provinsi Riau sesuai UU No. 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau. Provinsi Kepulauan Riau, termasuk Provinsi Riau, belum pernah melakukan paduserasi kawasan hutan sejak diberlakukannya Tata Guna Hutan Kesepakatan TGHK Provinsi Riau sebagai lampiran Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 173Kpts-II1986 tanggal 6 Juni 1986. 2. Perubahan kawasan hutan yang diusulkan dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang RTRW Provinsi Kepulauan Riau merupakan proses perolehan persetujuan substansi dari sektor kehutanan melalui paduserasi. Substansi tersebut merupakan implementasi dari UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, PP No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, dan PP. No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. 3. Perubahan kawasan hutan yang diusulkan dalam RTRW Provinsi Kepulauan Riau terdiri atas perubahan fungsi, perubahan peruntukan dan penambahan kawasan hutan. Usulan merupakan kumulatif dari beberapa usulan selama tahun 2009-2012 sebagaimana tertuang dalam Surat Gubernur Provinsi Kepulauan Riau kepada Menteri Kehutanan, dan penelitiannya dilaksanakan oleh Tim Terpadu sesuai amanah Pasal 19 Ayat 1 UU No. 41 Tahun 1999 dan PP No. 10 Tahun 2010. 4. Tim Terpadu merupakan tim independen dengan anggota yang memiliki kepakaran sesuai bidang ilmunya dari berbagai institusi, dan dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK. 676Menhut-VII2009 tentang Pembentukan Tim Terpadu Dalam Rangka Penelitian Terpadu Perubahan Kawasan Hutan Dalam Usulan Paduserasi Tata Guna Hutan Kesepakatan Dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kepulauan Riau, beserta perubahannya. Tim Terpadu telah melakukan penelitian terhadap usulan perubahan kawasan hutan dengan menetapkan dan mengimplementasikan kriteria dan indikator berdasarkan aspek yuridis, bio- fisik dan sosial ekonomi masyarakat. 5. Telaah, analisis dan perumusan rekomendasi perubahan kawasan hutan oleh Tim Terpadu dilakukan melalui kajian intensif terhadap data dan informasi 175 Laporan Tim Terpadu VII, Loc.Cit., hlm 1-2. Universitas Sumatera Utara lapangan, gambaran peta dan penelusuran dokumen. Selain itu, Tim Terpadu juga merumuskan rekomendasi dengan mempertimbangkan pendapat dari narasumber; terutama para pakar di bidang geopolitis, oseanografi dan budidaya perikanankelautan; konsultasi publik dengan Pemerintah Daerah dan kelompok masyarakat; serta uji konsistensi dengan para pihak terkait lainnya. 6. Penelitian terpadu terhadap usulan perubahan peruntukan dan perubahan fungsi kawasan hutan yang berpotensi menimbulkan dampak danatau resiko lingkungan telah dilakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis KLHS sesuai Pasal 31 Ayat 5 dan Pasal 46 Ayat 2 PP No. 10 Tahun 2010. Kajian khusus yang tidak terpisahkan dengan KLHS juga dilakukan terhadap hasil perubahan peruntukan kawasan hutan yang dianggap berdampak penting dan cakupan yang luas, serta bernilai strategis DPCLS, yaitu yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik atau kondisi sosial ekonomi masyarakat Pasal 19 Ayat 2 UU No. 41 Tahun 1999 dan Pasal 48 PP No. 10 Tahun 2010. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap perubahan kawasan hutan tersebut, Tim Terpadu menyimpulkan beberapa hal, sebagai berikut: 176 1. Hasil penelitian terpadu terhadap usulan perubahan peruntukan, perubahan fungsi dan penambahan kawasan hutan merupakan bagian dari alternatif dan perbaikan Kebijakan, Rencana dan Program KRP perubahan kawasan hutan dengan pertimbangan hasil KLHS; yaitu menyetujui seluruh usulan, menolak seluruh usulan, menyetujui sebagian usulan danatau merekomendasikan usulan tersebut menjadi fungsi lain sesuai karakteristik pada areal usulan tersebut. Dengan demikian, terdapat rekomendasi perubahan kawasan hutan yang melebihi usulan sesuai dengan KLHS yang dilakukan, yaitu memberikan alternatif dan perbaikan terhadap perubahan peruntukan menjadi perubahan fungsi kawasan hutan. 2. Hasil penelitian terpadu telah menyetujui dan merekomendasi perubahan kawasan hutan di Provinsi Kepulauan Riau yang terdiri atas: Tipologi Perubahan Luas ha dari Ruang Daratan dari usulan Perubahan • Perubahan peruntukan kawasan hutan ± 367.635 44,47 68,98 • Perubahan fungsi kawasan hutan ± 147.161 17,80 263,81 176 Ibid. Universitas Sumatera Utara • Penambahan kawasan hutan ± 2.370 0,29 57,85 3. Persetujuan dan rekomendasi hasil penelitian terpadu menyebabkan perubahan luasan dan sebaran kawasan hutan tetap pengurangan pada hutan konservasi, HL dan HPT; tetapi penambahan pada HP dengan akumulasi pengurangan seluas ± 6.363 ha 0,77 dan pengurangan kawasan hutan tidak tetap HPK seluas ± 358.902 ha 43,42 . 4. Persetujuan dan rekomendasi hasil penelitian terpadu menyebabkan luas total kawasan hutan di seluruh wilayah daratan Provinsi Kepulauan Riau menjadi ± 367.719 ha 44,48 dengan luas kawasan hutan tetap ± 280.121 ha 33,89 . Tipologi fungsi kawasan hutan hasil rekomendasi Tim Terpadu tersebut adalah: a. Hutan Konservasi KPA dan TB ± 3.522 ha 0,43 b. Hutan Lindung HL ± 82.078 ha 9,93 c. Hutan Produksi Terbatas HPT± 115.071 ha 13,92 d. Hutan Produksi HP± 79.450 ha 9,61 e. Hutan Produksi yang dapat dikonversi HPK ± 87.598 ha 10,60 5. Hasil penelitian terpadu menyebabkan penambahan areal bukan kawasan hutan APL dengan akumulasi seluas ± 365.265 ha 44,19 , sehingga total APL awal dan penambahan menjadi seluas ± 453.185 ha 54,82 . 6. Luas tubuh air di daratan Provinsi Kepulauan Riau pada awal dan akhir penelitian Tim Terpadu tidak berubah, yaitu ± 5.732 ha 0,69 . Namun demikian, sebagian kecil perubahan peruntukan dan perubahan fungsi kawasan hutan, sebagaimana motivasi dan argumentasi pengusulan, dapat berpotensi menambah luasan dan lokasi tubuh air. 7. Identifikasi DPCLS terhadap perubahan peruntukan hasil rekomendasi Tim Terpadu, terdapat ± 47.826 ha atau ± 13,01 yang dianggap berpotensi menimbulkan pengaruh negatif terhadap kondisi biofisik danatau sosial ekonomi masyarakat. Lokus DPCLS tersebut terdiri atas kawasan hutan konservasi KSA, KPA dan TB seluas ± 8.406 ha, kawasan hutan lindung HL seluas ± 15.339 ha, kawasan hutan produksi dengan skoring 175 seluas ± 4.176 ha, kawasan hutan produksi pada pulau-pulau kecil terluar PPKT seluas ± 1.351 ha, kawasan hutan produksi bervegetasi mangrove seluas ± 9.305 ha, dan kawasan bervegetasi hutan pesisir pantai seluas ± 9.250 ha. Selain itu, berdasarkan kecukupan luas kawasan hutan minimal 30 pada SWP DASPulau diketahui bahwa SWP DASPulau Kepulauan Bintan menyisakan status kawasan hutan ± 29,21 dan SWP DASPulau Kepulauan Tambelan menyisakan status kawasan hutan ± 24,18 . 8. Terhadap lokus DPCLS berdasarkan tipologi kriteria dan keberadaannya pada kabupatenkota di Provinsi Kepulauan Riau, Tim Terpadu menganggap secara umum kebutuhan lahan dan kondisi existing telah memenuhi syarat argumentatif, namun demikian Tim Terpadu juga telah memberikan Universitas Sumatera Utara rekomendasi mitigasi, adaptasi dan pengelolaan DPCLS sehingga dapat menekan resiko terhadap biofisik danatau sosial ekonomi masyarakat. Rekomendasi pengelolaan DPCLS merupakan pula rekomendasi KLHS terkait dengan mitigasi dan adaptasi terhadap isu lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat. Perlindungan terhadap tanah hak-hak masyarakat terlihat jelas dalam rekomendasi umum aspek yuridis terhadap perubahan kawasan hutan di Provinsi Kepulauan Riau oleh Tim Terpadu yaitu : 177 1. Hasil penelitian terpadu ini tidak dimaksudkan menghilangkan unsur pelanggaran atau melakukan pemutihan atas pelanggaran yang terjadi dalam kawasan hutan. 2. Hasil penelitian terpadu ini tidak menghapus hak-hak kepemilikan, hak keperdataan danatau perizinan yang telah diterbitkan secara sah dan legal, baik perorangan maupun badan hukum. 3. Terkait angka 1 dan 2, perlu dibuat klausul dalam penunjukan kawasan hutan atau Perda tentang RTRW Provinsi Kepulauan Riau bahwa perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan tidak dimaksudkan melakukan pemutihan atas tindak pelanggaran yang terjadi dalam kawasan hutan. 4. Perlu diantisipasi petualang kawasan yaitu pemilik modal di belakang keberadaan surat keterangan tanah, dan sertifikat. 5. Untuk memecahkan konflik dalam kawasan hutan diperlukan terobosan hukum, yang dapat berfungsi sebagai payung hukum. 177 Ibid. Universitas Sumatera Utara 6. Untuk memecahkan persoalan kawasan hutan Provinsi Kepulauan Riau perlu dilakukan langkah-langkah yang tidak semata-mata dilandasi oleh norma perundang-undangan belaka, namun diperlukan sikap keberanian untuk mengambil keputusan hukum atau kebijakan, sepanjang lebih banyak memberi kemaslahatan umum, rasa keadilan dan mengangkat harkat kemanusiaan forest for people. Tanah yang berdasarkan SK 4632013 sebagai kawasan hutan namun di atasnya telah diberi hak guna bangunan dan hak pakai pada masyarakat jika menurut kajian lingkungan hidup tidak terlalu berpengaruh maka akan tetap dipertahankan hak-hak masyarakat, namun harus mendapat persetujuan dari DPR terlebih dahulu, tetapi tanah masyarakat yang berdampak pada lingkungan misalnya merupakan daerah hutan yang berfungsi untuk sanitasi air dan sebagainya harus diambil dan dijadikan sebagai kawasan hutan kembali. 178 Hak-hak masyarakat akan tetap dilindungi namun penyelesaiannya diserahkan kepada BP Batam sebagai pihak yang memberikan hak atas tanah yang berdasarkan SK 4632013 tersebut merupakan kawasan hutan. Perikatan yang dilakukan masyarakat terhadap sertifikat hak atas tanah yang masih bisa dilakukan antara orang perorangan, mengenai kepastian haknya tetap harus menunggu keputusan hasil rapat di DPR RI, sedangkan perjanian jaminan berupa agunan di Bank, tergantung Bank itu sendiri, namun karena status sertifikat hak atas tanah masyarakat dianggap menjadi 178 Hasil Wawancara dengan Bherly Andia sebagai Kepala Seksi Pemanfaatan dan Pengembangan Kehutanan Dishut Provinsi Kepulauan Riau di Tanjung Pinang pada tanggal 8 Mei 2014. Universitas Sumatera Utara ilegal maka bank tetap tidak mau menerima agunan berupa sertifikat hak atas tanah tersebut. 179 Sebenarnya masyarakat telah meminta perlindungan kepada Gubernur Kepulauan Riau, dan Gubernur Kepulauan Riau pun telah mengajukan rekomendasi kepada pihak Kementrian Kehutanan, namun pihak Kementrian Kehutanan belum mau menyetujuinya sebelum mendapat keputusan DPR RI dengan pertimbangan, berdasarkan studi literatur dan hasil konsultasi dengan para ahli, maka isu-isu strategis lingkungan hidup dalam pembangunan berkelanjutan di Kepulauan Riau yang perlu mendapat perhatian utama adalah: 180 1. Kerentanan ekosistem pulau-pulau kecil terhadap perubahan lingkungan. 2. Krisis persediaan air bersih air baku yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat. 3. Menipisnya hutan mangrove yang berfungsi untuk mengurangi abrasi pantai, menahan intrusi dan sebagai area pemijahan ikan. 4. Kerusakan hutan di beberapa DAS atau pulau sehingga luas tutupannya kurang dari 30. 5. Ancaman terhadap biodoversitas, khususnya terhadap spesies endemik Kepulauan Riau. Hubungan antara pembangunan dan lingkungan tidak dikerangkakan dalam konsep yang membonceng keduanya ke dalam pola yang bersifat akomodatif dan 179 Ibid. 180 Laporan Tim Terpadu V, Op.Cit., hlm. 31. Universitas Sumatera Utara mencari solusi yang mengarah kepada prinsip mutual existence 181 . Dalam konteks masalah demikian ada dua hal statement yang patut dihubungkan dengan masalah tersebut. Pertama, hakikat manusia yang memiliki sifat akomodasi dan kedua, terdapat titik yang paling menentukan dalam tindakan yang bersifat akomodatif ini dipegang manusia dengan kodratnya yang memiliki akalkecerdikan dan budi pekerti. 182 Berdasarkan kedua faktor ini maka hubungan Pembangunan dengan Lingkungan dengan akibat yang memprihatinkan kepada sumber-sumber alam dan ekosistem planet bumi ini mengajukanmenganalisis beberapa alternatif pemikiran dan konsep. Untuk menganalisis demikian perlu dihubungkan dengan doktrin-doktrin hubungan kondisional manusia dengan lingkungannya. 183 a. Doktrin tentang keterbatasan kemampuan sumber-sumber daya alam Pendapat ini berasal dari para ahli teori kependudukan terutama Malthus. Malthus menyampaikan suatu doktrin bahwa sumber-sumber daya alam adalah terbatas, sementara penduduk meningkat pada batas-batas subsitensi, sementara sumber daya alam berada pada batas-batas yang semakin langka, dan pada gilirannya mengakibatkan penurunan dalam output per kapita dan kemerdekaan pertumbuhan. 181 Mutual Existence adalah persoalan untuk menjamin hanya ada satu proses yang mengakses sumber daya pada suatu interval waktu tertentu. Lihat juga http:jerseybiru.wordpress.com20130425mutual-exclusion-dan-deadlock diakses pada Pukul 07.00 WIB 17 Juli 2014. 182 N.H.T. Siahaan, Hutan, Lingkungan dan Paradigma Pembangunan, Jakarta: Pancuran Alam, 2007, hlm 104. 183 Ibid. Universitas Sumatera Utara b. Doktrin Pembangunan Berkelanjutan Sustainable Development Doktrin ini berasal dari Komisi Dunia Untuk Lingkungan dan Pembangunan World Commission on Environment and Development, WCED yang memperlihatkan bahwa pertumbuhan pembangunan telah meningkatkan taraf hidup dan kualitas hidup di beberapa bagian dunia terutama sejak pertengahan tahun 1950-an. Tetapi bersamaan dengan itu muncul penyusutan sumber daya alam dan kerusakan sistem-sistem lingkungan. Laporan Komisi menyatakan antara lain “Produktifitas dan teknologi telah serta merta menimbulkan sejumlah besar cadangan sumber-sumber alam dan menimbul kan pencemaran. Dampaknya terhadap lingkungan lebih besar daripada yang pernah terjadi sebelumnya di dalam sejarah umat manusia.” Pada intinya Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan menyatakan bumi ini memerlukan penyelematan dari ancaman yang dibuat manusia sendiri dan pembangunan masih bisa ditopang dengan syarat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan keutuhan fungsi lingkungan hidup dalam proses pengembangannya. c. Doktrin Deep Ecology Doktrin ini menuntut suatu etika yang baru dalam hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya dengan tidak berpusat pada manusia melainkan berpusat pada mahluk hidup seluruhnya untuk mengatasi masalah lingkungan. Doktrin ini dipelopori oleh Arne Naess. Sebuah kesalahan reduksionistis yang Universitas Sumatera Utara mereduksi kehidupan dan maknanya hanya sebatas makna ekonomis. Naess merumuskan beberapa platform aksi yang antara lain menyebutkan : Pertama, manusia tidak mempunyai hak untuk mereduksi kekayaan dan keanegaragaman ini kecuali untu memenuhi kebutuhan-kebutuhan vital; Kedua, campur tangan manusia dewasa ini terhadap dunia di luar manusia sudah sangat berlebihan, dan situasi ini semakin memburuk; Ketiga, perlu ada perubahan kebijakan sehingga mempengaruhi struktur ekonomi, teknologi, dan ideologi, yang hasilnya akan berbeda dari keadaan sekaran ini. Oleh sebab itulah pihak Kementrian Kehutanan berusaha mengkaji dan mencari solusi agar hak-hak keperdataan masyarakat tidak dilanggar dan lingkungan hidup pun tetap terjaga demi kelangsungan generasi mendatang. B. Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Hak Keperdataan Warga Masyarakat Di Atas Tanah Yang Berada Dalam Kawasan Hutan Berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No. 463Menhut-II2013 Di Kota Batam 1 Upaya Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Pengadilan Saat ini wilayah yang telah dihuni oleh masyarakat dan telah dibangun perumahan, sarana dan prasarana, dan sebagainya yang berdasarkan SK 4632013 masuk dalam kawasan hutan mau kembali dijadikan hutan berdasarkan SK 4632013 Universitas Sumatera Utara yang tetapkan oleh Kementerian Kehutanan. Tentulah harus ada ganti kerugian bagi masyarakat jika pemerintah tetap menajalankan SK 4632013 tersebut. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 1365 KUHPerdata, yang berbunyi sebagai berikut: Tiap perbuatan yang melawan hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut. Dari rumusan ini dapat disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, mempunyai unsur-unsur: ada perbuatan melawan hukum, ada kesalahan,ada kerugian. 184 Penyelesaian sengketa melalui pengadilan membutuhkan waktu yang cukup lama, lamanya berperkara banyak disebabkan karena kemungkinan melalui tiga atau empat tahap, yaitu : Pemerintah yang mengambil hak-hak masyarakat dengan sewenang-wenang tanpa memberikan ganti rugi jika ditempuh melalui jalur penyelesaian sengketa di Pengadilan dapat dituntut berdasarkan perbuatan melawan hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 1365 KUHPerdata. 185 a Pada tingkat Pengadilan Negeri, yang akan berlangsung relatif cepat sekarang ini, karena ada petunjuk Mahkamah Agung MA bahwa sedapatnya harus dibatasi berperkara sampai kurang lebih 6 enam bulan. Namun dalam praktik bisa berbulan-bulan, kadang-kadang setahun. 184 Djaja S. Meliala, Op. Cit.,111. 185 Bernard Limbong, Konflik Pertanahan, Jakarta: Margaretha Pustaka, 2012, hlm 326. Universitas Sumatera Utara b Pada tingkat Pengadilan Tinggi, seperti halnya pengadilan negeri, perkara sering berlangsung lama. Disamping itu pemeriksaan perkara melalui pengadilan seringkali mementingkan kepentingan dirinya sendir saja atau lebih dikenal dengan sebutan mafia peradilan. c Pada tingkat kasasi, sering terjadi keterlambatan dalam pemeriksaan. Sebagaimana diungkapkan oleh Sudargo Gautama, bahwa untuk dapat diperiksa harus menunggu bertahun-tahun lamanya, biasanya tidak kurang dari 3 tiga tahun sebelum akhirnya diputuskan dalam kasasi. Hal ini disebabkan karena antrian pemeriksaan dalam acara kasasi yang ditangani d Pada peninjauan kembali waktu yang diperlukan bisa mencapai 8-9 tahun sebelum perkara ini tiba pada taraf dapat dilaksanakan eksekusi oleh Pengadilan Negeri. Jalur penyelesaian sengketa yang terbaik dalam menangani permasalahan akibat terbitnya SK 4632013 yang terbaik adalah memang penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Hal ini dikarenakan disamping prosesnya yang lama juga karena, jika pihak yang dimenangkan pengadilan adalah masyarakat maka daerah yang berdasarkan kajian lingkungan hidup sangat penting bagi sanitasi air dan sebagainya tidak akan dapat dipertahankan. Justru sebaliknya pula jika pihak Kementrian Universitas Sumatera Utara Kehutanan yang menang masyarakat sebagian besar tentu harus kehilangan hak-hak atas tanah mereka. 186 Proses penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan bertujuan untuk yaitu : 2 Upaya Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Luar Pengadilan 187 a Menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan demi keuntungan para pihak. b Mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran yang biasa terjadi c Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan Permasalahan tumpang tindih pemanfaatan atau penggunaan kawasan hutan akibat sewajarnya ditempuh upaya penyelesaiannya melalui jalur out of court settlement penyelesaian masalah di luar persidanganperadilan dengan istilah lain disebut Alternatif Dispute Resolution ADR. Di dalam doktrin penegakan hukum keperdataan, kualifikasi hukum bagi warga masyarakat yang telah memiliki izin berdasarkan Peraturan Daerah, maka secara yuridis digolongkan sebagai pihak yang berkualitas atau sebagai pihak yang dinilai beritikad baik atau goedetrouw, oleh karena itu harus dilindungi secara hukum. 188 Sengketa pertanahan yang berkembang di Batam, terutama yang diupayakan penyelesaiannya melalui ADR, cendrung lebih banyak diwarnai oleh sengketa yang 186 Hasil Wawancara dengan Bherly Andia sebagai Kepala Seksi Pemanfaatan dan Pengembangan Kehutanan Dishut Provinsi Kepulauan Riau di Tanjung Pinang pada tanggal 8 Mei 2014. 187 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Fikahati Aneska, 2002, hlm. 11. 188 Laporan Tim Terpadu V, Op.Cit., hlm.30. Universitas Sumatera Utara bercorak vertikal dibandingkan dengan yang bercorak horizontal yang melibatkan anggota-anggotan masyarakat sebagai pihak-pihak yang berpekara, sedangkan sengketa vertikal terjadi antara warga masyarakat di satu pihak dengan pemerintah atau koalisi pemerintah dan pemilik modal di pihak lain. Upaya penyelesaian sengketa terhadap sengketa vertikal tidak hanya melibatkan mediator ditingkat lokal atau daerah seperti tim yang dibentuk oleh pemerintah daerah, namun melibatkan juga mediator di tingkat pusat seperti DPR RI dan Komnas HAM. 189 Berkembangnya sengketa tanah vertikal disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : 190 a. Sengketa itu dipicu atau terkait dengan kebijakan pertanahan yang mengadung potensi berkembangnya konflik. Hal ini dapat ditenggarai oleh: 1 Kebijakan yang substansinya mengandung inkonsistensi 2 Kebijakan yang ada kurang memerhatikan aspek pemerataan atau keadilan terhadap kelompok masyarakat yang berhak 3 Orientasi kebijakan berkenaan dengan penguasaan dan pemanfaatan tanah hutan yang tidak jelas, yakni apakah kebijakan pemanfaatan tanah hutan itu diperuntukkan bagi instansi kehutanan sendiri, bagi masyarakat, atau kelompok tertentu pemilik modal 189 Maria S.W. Sumardjono, Nurhasan Ismail dan Isharyanto, Mediasi Sengketa Tanah Potensi Penerapan Aternatif Penyelesaian Sengketa ADR di Bidang Pertanahan, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2008, hlm 32. 190 Ibid. Universitas Sumatera Utara 4 Kebijakan pertanahan yang tidak didukung oleh pemberian izin lokasi 5 Kebijakan yang ada lebih berpihak kepada pemilik modal ketimbang warga masyarakat. b. Adanya fenomena semakin intensifnya keterlibatan instansi pemerintah sebagai subyek dalam persaingan dengan warga masyarakat untuk menguasai dan memanfaatkan tanah sebagai sumber pendapatan bagi instansi yang bersangkutan. c. Terjadinya tumpang tindih pemilikan tanah sengketa Mekanisme mediasi dalam rangka penyelesaian sengketa dimulai dengan tahapan sebagai berikut : 191 a. Adanya laporan atau pengaduan dari salah satu pihak yang bersengketa. Jika laporan atau pengaduan berasal dari masyarakat, hal ini berarti bahwa sebelumnya warga masyarakat telah mengalami kegagalan untuk menyampaikan dan memusyawarahkan sumber sengketanya dengan pihaklembaga yang menguasai tanah. b. Dengan adanya pengaduan dan sementara sengketa harus ditangani secara koordinatif, tim memanggil anggotanya dan melaksanakan pertemuan. Dalam pertemuan itu diputuskan langkah-langkah yang akan dijalankan dalam memperantai penyelesaian sengketa 191 Ibid. Universitas Sumatera Utara c. Pemanggilan para pihak yang bersengketa dalam pertemuan. Pertemuan ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada masing-masing pihak untuk menjelaskan sengketa dan tuntutan atau keinginannya. d. Peninjauan lapangan, yaitu dapat berupa pengamatan terhadap tanah sengketa atau menanyakan kepada warga masyarakat tentang riwayat kepemilikan tanah atau pengukuran luas tanah dan batas tanah sengketa. e. Perumusan kesepakatan, baik kesepakatan “antara” maupun kesepakatan “akhir” f. Pelaksanaan dari hasil kesepakatan. Dalam realitanya kesepakatan yang telah dicapai tidak selalu dapat diwujudkan karena adanya kendala tertentu. Upaya untuk meningkatkan posisi tawar dalam sengketa tanah, masyarakat dapat mengupayakan berbagai cara, antara lain : 192 a. Mengusahakan dukungan advokasi dari lembaga swadaya masyarakat LSM b. Mengusahakan agar sengeketa tanah vertikal yang dihadapi menjadi isu nasional dan memperoleh perhatian dari kalangan yang lebih luas atau di luar provinsi. Untuk itu masyarakat menyampaikan pengaduan kepada DPR, Komnas HAM, departemen dan nondepartemen yang menjadi atasan pihak lawan sengketa. 192 Ibid. Universitas Sumatera Utara c. Upaya yang lain untuk memberikan tekanan yang sekaligus berfungsi untuk meningkatkan posisi tawar adalah tindakan unjuk rasa ke lembaga yang menjadi lawan sengketa. d. Melakukan tindakan pendudukan secara fisik terhadap tanah yang menjadi obyek sengketa. Pendudukan tanah dimulai dengan pematokan tanah sengketa oleh masing-masing anggota kelompok dan kemudian ditindaklanjuti dengan penguasaan tanah. Tindakan ini tidak hanya sekedar meningkatkan posisi tawarnya, tetapi juga sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Selain perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, juga diusulkan perubahan areal non kawasan hutan menjadi kawasan hutan. Sebagaimana perubahan peruntukan kawasan hutan, perubahan areal penggunaan lain APL menjadi kawasan hutan harus dalam keadaan clear and clean. Clear dimaksudkan bahwa areal tersebut bersih dari penguasaan secara fisik, sedangkan persyaratan clean adalah bahwa areal yang dijadikan kawasan hutan bebas dari kepemilikan dan perizinan. Dengan demikian, APL yang telah diterbitkan perizinan yang sah tidak dapat dilakukan proses perubahan menjadi kawasan hutan, kecuali menguntungkan pemegang izin atau pemegang izin tidak keberatan. Demikian pula sertifikat dan hak-hak atas tanah lainnya harus dihormati. Apabila proses penyusunan tata ruang merugikan Universitas Sumatera Utara masyarakat karena tanah yang dimiliki secara sah ditunjuk sebagai kawasan hutan, maka pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus melakukan ganti rugi. 193 Tim Terpadu melihat adanya kepentingan yang lebih besar khususnya yang berhubungan dengan gejolakkonflik lahan. Tim Terpadu berpendapat bahwa ada beberapa masalah terkait penguasaan lahan oleh masyarakat, termasuk pula lokasi perizinan usaha yang arealnya berasal dari penguasaan masyarakat, sehingga sebaiknya diubah peruntukan kawasan hutan yang tinggi tingkat potensial konflik tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan ruang dalam rencana tata ruang wilayah provinsi tanpa menghilangkan atau memutihkan apabila telah terjadi pelanggaran, artinya bahwa pelanggaran tetap harus diproses sebagaimana mestinya. Selain itu, pemerintah daerah harus bertanggung jawab atas redistribusi lahan pasca perubahan peruntukan. Terhadap kasus seperti ini, Tim Terpadu memberikan rekomendasi perubahan peruntukan karena lebih dominan didasarkan atas pertimbangan sosial budaya dan ekonomi, antara lain : 194 1. Adanya pemukiman yang telah mempunyai pemerintahan secara defenitif. 2. Adanya kegiatan perladangan, perkebunan rakyatkoperasi yang dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama. 3. Adanya dokumen dan bukti penguasaan lahan: a. sertifikat dan alas hak termasuk bukti kepemilikan lainnya yang telah diterbitkan oleh institusi berwenang di daerah BPN. 193 Laporan Tim Terpadu V, Op.Cit., hlm.35. 194 Ibid. Universitas Sumatera Utara b. Lokus tersebut berada di sisi luar dari inisial pal batas B. 4. Lokasi perizinan usaha tanpa melalui prosedur pelepasan kawasan hutan dipertimbangkan karena berasal dari kepemiikan masyarakat danatau berada di kawasan HPKPL yang merupakan kawasan budidaya non kehutanan dalam RTRWP. Wilayah yang tidak termasuk dalam TGHK 1986 namun dalam SK 4632013 termasuk sebagai kawasan hutan masih merupakan penunjukkan dan pada tahap pengukuhan kawasan hutan saat melakukan inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga yang berkaitan dengan trayek batas, menghimpun tanah-tanah yang dimiliki oleh pihak ketiga tersebut yang terdapat didalam kawasan hutan yang akan ditentukan status hukumnya dan memberikan penyelesaiannya. Apabila ternyata di sekitar kawasan hutan atau dalam kawasan hutan ada hak pihak ketiga, alternatif pemecahannya dapat ditempuh dengan pembebasan tanah namun, pembebasan tanah sangat rawan dalam penanganannya, karena di dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak. Kalau dilihat dari kebutuhan Pemerintah akan tanah untuk keperluan berbagai macam pembangunan, dapatlah dimengerti bahwa tanah negara yang tersedia sangatlah terbatas sekali. Maka satu-satunya jalan yang ditempuh yaitu membebaskan tanah milik rakyat, baik yang dikuasai hukum adat maupun hak-hak lainnya yang melekat di atasnya. 195 195 Seodharyo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 75-78. Universitas Sumatera Utara a. Tanah-tanah yang telah mempunyai sesuatu hak berdasarkan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 b. Tanah-tanah dari masyarakat hukum adat Pembebasan tanah harus memperhatikan paling tidak rakyat benar-benar dilindungi haknya. Karenanya dalam penentuan harga tanah, panitia yang bertugas mengadakan penaksiranpenetapan besarnya ganti rugi atas tanah, dan bangunan- bangunan serta tanaman-tanaman yang ada di atasnya mengusahakan persetujuan kedua belah pihak berdasarkan musyawarah. Apabila tercapai kesepakatan harga, harus dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan kepada yang berhak menerima. Dengan demikian diharapkan tidak akan terjadi mandeknya pembangunan untuk kepentingan umum dari adanya oknum-oknum yang hendak mencari keuntungan pribadi. Hak dan kedudukan hukum pemegang harus dihormati, karena ini merupakan hak yang paling dasar. Mengingat tanah merupakan tumpuan hidup rakyat yang mempunyai nilai ekonomis, bagaimana mungkin kalau ganti rugi yang diterima untuk membeli tanah di tempat lain misalnya hanya dapat membeli tanah saja . Perlu diketahui disini makna ganti rugi ialah berdasarkan harga umum setempat, berarti pemerintah harus memperhatikan benar-benar kepentingan rakyat yang terkena pembebasan tanah. Sebagai pedoman maka Menteri Dalam Negeri dalam suratnya tanggal 19 Oktober 1976 Nomor SJ 161041, memberi petunjuk pembebasan tanah, di mana panitia mengadakan penaksiran. Penetapan besarnya ganti rugi atas tanah, bangunan-bangunan, serta tanaman-tanaman yang ada di Universitas Sumatera Utara atasnya dengan cara mengusahakan persetujuan antara kedua belah pihak berdasarkan musyawarah serta mempergunakan harga umum setempat dan harus memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi harga tanah yang bersangkutan. 196 Pembebasan hak atas tanah berikut tanaman dan bangunan yang ada diatasnya, dan kepada yang berhak diberikan ganti rugi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Menetapkan besarnya ganti rugi atas bangunan dan tanaman yang dilakukan panitia harus berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Pertanian setempat, tentang lokasi dan faktor-faktor strategis lainnya yang dapat mempengaruhi harga tanah. Demikian pula dalam menetapkan ganti rugi atas bangunan dan tanaman harus berpedoman pada ketentuan- ketentuan tersebut, yang ganti ruginya dapat berbentuk uang, tanah, atau fasilitas- fasilitas lain. 197 a. Kalau tanah tersebut merupakan tanah garapan yang tidak terdapat atas haktitle hak atas tanah maka yang dibebaskan dan diberikan ganti rugi adalah hanya tanaman dan bangunannya jika ada b. Apabila yang besangkutan ingin menyerahkan tanah tersebut secara sukarela untuk dijadikan kawasan hutan maka harus dibuatkan surat pernyataan dihadapan pejabatinstansi yang berwenang dalam hal ini PPAT 196 Ibid. 197 Ibid. Universitas Sumatera Utara c. Demi kepentingan umum PemerintahPresiden dapat mencabut hak atas tanah dengan mendapatkan ganti rugi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pihak Kementerian Kehutanan mengusulkan melakukan upaya penyelesaian sengketa tanah masyarakat yang sudah dihuni oleh masyarakat secara permanen namun termasuk sebagai kawasan hutan namun tidak berdampak bagi lingkungan hidup diselesaikan dengan cara tukar-menukar lahan contohnya: 198 1. Daerah Muka Kuning yang saat ini merupakan kawasan industri namun dalam SK 4632013 termasuk sebagai kawasan hutan, maka fungsi kawasan suaka alamkawasan pelestarian alamtaman buru di Muka Kuning tersebut akan di aihkan ke daerah Tembesi 2. Daerah Jodoh, yang saat ini merupakan daerah pusat perbelanjaan dan perumahan masyarakat namun berdasarkan SK 4632013 termasuk sebagai kawasan hutan, makan fungsi kawasan hutan tersebut akan dipindahkan ke Daerah Galang. Daerah yang berdasarkan SK 4632013 termasuk sebagai kawasan hutan namun dimiliki hak atas tanahnya sebagai tanah hak guna bangunan hak pakai oleh masyarakat tetapi tidak secara permanen dihuni dan belum dibangun di atas tanah 198 Hasil Wawancara dengan Bherly Andia sebagai Kepala Seksi Pemanfaatan dan Pengembangan Kehutanan Dishut Provinsi Kepulauan Riau dan merupakan salah satu anggota Tim Terpadu di Tanjung Pinang pada tanggal 8 Mei 2014. Universitas Sumatera Utara tersebut, maka pihak Kementrian Kehutanan mengusulkan untuk memberikan ganti rugi tanah hak masyarakat tersebut. 199 Perikatan dan perjanjian jual beli dan sewa-menyewa terhadap tanah yang termasuk kawasan hutan sebelum DPR RI mengeluarkan keputusan terhadap hak atas tanah tersebut sebenarnya masih tetap berstatus tanah hak masyarakat, masyarakat masih tetap dapat melakukan jual beli dan sewa-menyewa, namun akibat dari terganggunya transaksi jual beli misalnya masyarakat takut untuk membeli ataupun perumahan-perumahan yang tidak jadi dibangun akan diselesaikan oleh BP Batam dengan memberikan ganti kerugian kepada masyarakat dengan memberikan kompensasi penggantian uang, namun prosesnya belum berjalan dikarenakan menunggu kepastian dari DPR RI dan BPN Kota Batam tidak boleh lagi mengeluarkan sertifikat baru atas tanah yang berdasarkan SK 4632013 termasuk kasawan hutan. Khusus mengenai agunan ke Bank, memang sertifikat hak atas tanah tersebut tidak dapat dijadikan agunan karena Bank tidak mau menanggung resiko terhadap pinjaman yang akan diberikan pihak bank kepada debitor karena sertifikat hak atas tanah tersebut masuk dalam tanah sengketa. 200 199 Ibid. 200 Ibid. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Atas Penyitaan Jaminan Atas Tanah Hak Milik Yang Berada Dalam Kawasan Hutan Di Daerah Kabupaten Padang Lawas Utara

1 45 174

Problematika Yang Terjadi Dalam Mewujudkan Perlindungan Dan Kepastian Hukum Terhadap Pemegang Hak Atas Tanah (Studi Di Kantor Pertanahan Kota Batam)

1 44 145

PENDAHULUAN PEMBERIAN HAK GUNA BANGUNAN DI ATAS TANAH HAK PENGELOLAAN DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM DAN PERLINDUNGAN HUKUM BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH (PP) NO. 24 TAHUN 1997 DI KOTA BATAM PROVINSI KEPULAUAN RIAU.

0 3 25

TINJAUAN TERHADAP SURAT KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NO.463/MENHUT-II/2013 TERKAIT ALIH FUNGSI KAWASAN INDUSTRI MENJADI KAWASAN HUTAN LINDUNG DI KOTA BATAM DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAH.

0 1 2

Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan

2 25 138

PERLINDUNGAN HUKUM PEMILIKAN HAK ATAS TANAH BAGI WARGA MASYARAKAT ROWOK DI KAWASAN BISNIS PARIWISATA SELONG BELANAK, KABUPATEN LOMBOK TENGAH

0 0 16

HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS WILAYAHNYA DI KAWASAN HUTAN

0 2 138

Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Atas Penyitaan Jaminan Atas Tanah Hak Milik Yang Berada Dalam Kawasan Hutan Di Daerah Kabupaten Padang Lawas Utara

0 0 10

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Atas Penyitaan Jaminan Atas Tanah Hak Milik Yang Berada Dalam Kawasan Hutan Di Daerah Kabupaten Padang Lawas Utara

0 0 24

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR TERHADAP JAMINAN ATAS TANAH HAK MILIK YANG BERADA DALAM KAWASAN HUTAN DI DAERAH KABUPATEN PADANG LAWAS UTARA

0 0 16