Kegiatan Pembelajaran 6
156
6 Levirat, yaitu kebalikan dari sororat
d. Sistem mata pencaharian hidup
Sistem mata pencaharian berbagai suku bangsa di Indonesia dapat dibedakan berdasarkan mata pencahariannya, yaitu: 1 masyarakat
pemburu dan peramu, 2 masyarakat peternak pastoral societes, 3 masyarakat peladang shifting cultivators societes, 4 masyarakat
nelayan fishing communities, masyarakat petani-pedesaan peasant communities, 5 masyarakat perkotaan yang kompleks urban complex
societies. Di Indonesia masih terdapat penduduk yang hidup sebagai pemburuh dan
peramu hasil hutan, antara lain penduduk di Lembah Baliem Irian Jaya dan di sekitar daerah danau di Paniai Irian Jaya, dan suku Anak Dalam
atau orang Kubu di Sumatera. Mereka belum mengenal bercocok tanam, dan hidup berkelompok dalam jumlah yang tidak banyak. Bersama-sama
dengan penduduk yang masih hidup sebagai peladang berpindah-pindah slash and burn agriculture seperti orang Togutil di Halmahera Tengah;
mereka sering diklasifikasikan sebagai masyarakat “terasing”. Kategori ini, disamping mereka itu tinggal di suatu lokasi yang jauh dari jangkauan
alat transportasi, juga didasarkan atas tingkat kesejahteraan dan kemajuan, terutama yang berkaitan dengan proses akulturasi dan sikap
mereka terhadap inovasi. Selain itu ada juga orang Laut yang mengembara di sepanjang laut kepulauan Riau dan Bajo di kawasan
pantai Sulawesi Utara, orang Badui di Banten Jawa Barat, orang Donggo di pedalaman pegunungan Sumbawa Timur, orang Amma Toa di
Sulawesi Tengah Hari Poerwanto, 1997:122-123. Suku-suku bangsa peramu sagu di Papua memiliki konsepsi yang tegas
mengenai hutan-hutan sagu, yaitu bagian mana yang menjadi milik sendiri, milik kerabat ibu dan lain-lain, yang tidak demikian saja berani
mereka langgar. Hewan buruan yang utama di Irian Jaya adalah babi dan buaya, namun
jarang sekali penduduk Irian Jaya yang memiliki keahlian berburu buaya, sehingga umumnya mereka hanya sebagai pengendali perahu atau
IPS SMP KK G
157
pembantu pemburu. Sedangkan pemburu buaya pada umumnya berasal dari luar Irian Jaya, yaitu Ternate, Maluku Buton dan tempat-tempat lain
di Sulawesi. Setelah Perang Dunia Ke-2, penduduk pantai Irian Jaya mulai mengenal
bercocok tanam di ladang. Namun ini dilakukan secara sambilan, sebab hanya dilakukan terutama pada musim-musim kurang menguntungkan
bagi nelayan untuk pergi melaut. Perahu yang digunakan para nelayan tradisional, umumnya berbentuk
perahu lesung, yaitu batang pohon kayu yang ditinggikan sisinya dengan papan. Untuk menjaga keseimbangan perahu dilengkapi dengan cadik
pada salah satu sisi atau semua sisinya. Kadang-kadang perahu juga dilengkapi dengan layar. Bentuk perahu dengan ukuran yang lebih besar
menggunakan konstruksi lunas, dengan kerangka yang dibuat dari balok- balok.
Sistem berladang juga masih banyak diterapkan di Indonesia. Di pulau Jawa berladang memang hampir jarang ditemukan lagi, tetapi di daerah
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi Tengah, kepulauan Maluku, Nusa Tenggara dan Papua berladang merupakan kegiatan bercocok tanam
yang umum. Sistem kesatuan kerja dalam kegiatan berladang adalah keluarga inti,
namun tidak menutup kemungkinan juga keluarga luas. Tenaga tambahan juga kadang-kadang diperlukan. Pada suku bangsa Sumbawa
Barat tenaga tambahan itu disebut basiru tidak ada pembayaran jasa, saleng tulongpengembalian jasanya suatu saat di kemudian hari dan
nulong pembayaran tunailangsung. Mata pencaharian penduduk di Indonesia dengan cara bercocok tanam
menetap, dibagi atas bercocok tanam tanpa bajak hand agriculture, hoe agriculture atau horticulture dan bercocok tanam dengan bajak plough
agriculture. Perhitungan musim juga diperlukan dalam bercocok tanam. Pada suku
Batak ada 4, yaitu : si paha onom September=musim hujan, si paha