Putusan yang Dijatuhkan Tidak Boleh Melebihi Putusan Pengambilan dan Pemberitahuan Putusan dalam Waktu Penerapan Diskresi Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

41

i. Putusan yang Dijatuhkan Tidak Boleh Melebihi Putusan

Semula Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula. 14 Ketentuan ini tidak perlu ada jika jaksa penuntut umum dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali. Sebagaiman dimaklumi, memang ini merupakan upaya yang harus di lakukan guna menghindari Putusan Mahkamah Agung yang tidak menerapkan hukum atau menerapkan tidak sebagaimana mestinya, atau cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang. Ketentuan yang membatasi jaksa agung hanya dapat mengajukan kasasi demi kepentingan hukum, diamana hanya terbatas pada putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi adalah suatu hal yang sangat riskan, sebab ada kemungkinan putusan Mahkamah Agung juga mempunyai cacat hukum, sihingga wajar jika secara tegas dimungkinkan jaksa penuntut umum yang mewakili masyarakat mengajukan permintaan peninjauan kembali atas putusan kasasi Mahkamah Agung yang dirasakanya tidak adil. 15 14 Pasal 266 ayat 3KUHAP 15 Ibid, h. 236 42

j. Pengambilan dan Pemberitahuan Putusan dalam Waktu

Tujuh Hari Pertama salinan putusan Mahkamah Agung tentang peninjauan kembali beserta berkas perkaranya dalam waktu tujuh hari setelah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan yang melanjutkan permintaan peninjauan kembali. Kedua ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 243 ayat 2, ayat 3, ayat 4 dan ayat 5 berlaku juga putusan Mahkamah Agung mengenai peninjaun kembali 16 .

k. Permintaan Peninjauan Kembali Tidak Menangguhkan

Eksekusi Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelakanaan dari putusan tersebut. Apabilah suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali terebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya. Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja 17 . Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum luar biasa terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap inkracht van 16 Pasal 267 KUHAP 17 Pasal 168 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 KUHAP 43 gewisjde. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34PUU-XI2013 menyatakan, bahwa upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materiil, sehingga Pasal 268 ayat 3 KUHAP yaitu, Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menimbulkan pro dan kontra, disatu sisi ada yang berpendapat bahwa Peninjauan Kembali lebih dari satu kali merupakan upaya melindungi hak masyarakat dalam memperoleh keadilan, namun di sisi lain ada pendapat bahwa Peninjauan Kembali lebih dari satu kali merupakan pelanggaran terhadap prinsip kepastian hukum. Setelah mengkaji Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34PUUXI2013 dapat disimpulkan, pertama, peninjauan kembali lebih dari satu kali telah sesuai dengan tujuan masyarakat untuk memperoleh keadilan dalam penegakan hukum, karena dalam rangka mewujudkan keadilan dan menemukan kebenaran materiil tidak dapat dibatasi oleh waktu. Kedua, Putusan Mahakamah Kontitusi bersifat final dan mengikat final and binding, meskipun menimbulkan pro dan kontra maka semua pihak wajib melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, diharapkan kepada Mahkamah Agung segera menyempurnakan Peraturan Mahkamah Agung PERMA tentang pengajuan peninjauan kembali perkara pidana dengan menyesuaikan Putusan Mahakamah Konstitusi. 44 Dalam paham negara hukum yang demikian, harus diadakan jaminan bahwa hukum dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Karena prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum pada pokoknya berasal dari kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, prinsip negara hukum hendaklah dibangun dan dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat democratische rechtstaat. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka machtsstaat. Prinsip negara hukum tidak boleh ditegakkan dengan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang diatur dalam konstitusi. Karena itu, perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat yang dilakukan menurut konstitusi constitutional democratie yang di imbangi dengan penegasan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis democratische rechtstaat 18 .

2. Tujuan Hukum

Pemikir Yunani pertama kali berbicara masalah tujuan hukum adalah Aristoteles. Aristoteles menyadari bahwa dalam pelaksanaan hukum bukan tidak mungkin untuk kasus-kasus konkret akan terjadi kesulitan akibat penerapan hukum yang kaku. Untuk mengatasi masalah 18 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, h. 70. 45 tersebut, Aristoteles mengusulkan adanya equity. Aristoteles mendefinisikan equity sebagai koreksi terhadap hukum terjadi kasus yang mengharuskan hakim berani mengabaikan isi Undang-Undang dan memutus kasus dengan bertindak seakan-akan pembuat Undang-Undang yang seharusnya dapat menduga bahwa kasus semacam itu mungkin terjadi 19 . Apa yang dikemukakan oleh Aristoteles tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum menurut Aristoteles adalah untuk mencapai kehidupan yang baik. Akan tetapi, manakala hukum terlalu kaku, maka dilakukan pelunakan yang di sebut equity. Tujuan hukum yang utama ada tiga, yaitu keadilan untuk keseimbangan, kepastian untuk ketetapan dan kemanfaatan untuk kebahagiaan. 20 Pendapat Aristoteles mengenai kekakuan hukum menjadi solusi untuk penerapan hukum yang adil sehingga dalam hukum administrasi negara dikenal adanya Freies Ermessen 21 atau discretionary power, yaitu suatu tindakan yang dilakukan tanpa landasan tertulis tetapi karena tujuanya untuk nilai yang lebih tinggi harus dilakukan, bahkan terkadang tindakan itu merugikan kepentingan beberapa orang guna menyelamatkan kepentingan banyak orang 22 . 19 Ibid., 20 Pendapat G. Radbruch, Einfuhrung indie Rechtswissenchaft, Stuttgart 1961 dalam buku Muhamad Erwin. Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum. Jakarta., Rajawali Pers., 2012., hlm 123. 21 Ada juga yang menyebutkan Freies Ermessen dengan istilah diskersi. Untuk penulisan ini, penulis akan menggunakan dengan istilah Diskersi. 22 Ibid., 46 Pendapat-pendapat yang dijelaskan diatas dengan mengaitkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34PUU-XI2013 Tentang peninjauan kembali lebih dari satu kali yang membatalkan Pasal 268 ayat 3, menggambarkan bahwa lembaga legislatif saat ini tidak secara cepat mengantisipasi permasalahan hukum yang terjadi saat ini dan berkembang sangat pesat sesuai dengan perkembangan masyarakat, salah satunya di pengaruhi oleh perkembangan globalisasi ditambah lagi lambatnya rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang masih belum selasai. Hal ini menggambarkan lemahnya lembaga legislatif untuk mengantisipasi sekaligus menjawab permasalahan hukum dalam hal peninjauan kembali, maka dari itu putusan Mahkamah Konstitusi yang sekaligus membatalkan Pasal 268 ayat 3 adalah putusan yang berdasarkan rasa keadilan demi menjawab permasalahan hukum saat ini. Perbincangan mengenai tujuan hukum merupakan karakteristik aliran hukum alam yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat transenden dan metafisis disamping dengan hal-hal yang membumi 23 . Dalam teori hukum alam dianggap sebagai nilai yang universal dan selalu hidup disetiap individu, masyarakat maupun negara. Hal ini disebabkan karena hukum niscaya harus tunduk pada batasan-batasan moral yang menjadi pedoman bagi hukum itu sendiri. Diatas sistem hukum positif, ada subuah sistem hukum yang lebih tinggi Lex divina 24 , bersifat Ketuhanaan yang berdasarkan atas akal 23 Peter.Marzuki. Pengantar Ilmu Hukum. Kencana Pernada Media Group., 2008. H. 97 24 Lex divina yang dimaksud adalah aturan-aturan yang diturunkan oleh Yang Maha Kuasa contohnya kitab-kitab suci. 47 budi atau hukum alam itu sendiri, jadi hukum alam lebih superior dari hukum negara 25 . Kekuatan utama dari paradigma ini tidak hanya bertumpu pada nilai moralitas semata, namun juga berorientasi pada pencapaiaan nilai-nilai keadilan bagi masyarakat. Para pemikir paradigma hukum alam, berkeyakinan bahwa keadilan merupakan sebuah nilai esensial essential value dari hukum, bahkan sering keduanya diidentikan sebagai sebuah nilai yang tunggal dan menyatu. Hukum memiliki banyak tujuan dalam dirinya, karena hukum tidak hanya berfungsi sebagai sebuah alat untuk menegakan keadilan As a tool, namun juga berfungsi sebagai cermin rasa keadilan dan kedaulatan rakyat dalam suatu negara 26 . Pendapat lain tentang hukum dari sudut pandang ilmu sosial, menurut Lawrence Friedman, keadilan diartikan sebagaimana hukum memperlakukan masyarakat dan bagaimana hukum mendistribusikan keuntungan dan biaya 27 . Selanjutnya Friedman, menyatakan bahwa setiap fungsi hukum baik secara umum atau spesifik bersifat alokatif 28 . Menurut Lawrence Friedman, hukum merupakan suatu produk tuntutan sosial. Dikemukakan olehnya bahwa individu atau kelompok yang mempunyai kepentingan tidaklah serta merta berpaling kepada pranata hukum untuk mendesakkan tuntutan mereka. Sebaliknya mereka merumuskan kepentingan mereka dalam bentuk tuntutan datang dari 25 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barakatullah. Filsafat, Teori Ilmu Hukum Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan dan Bermartabat. Ed., Cet.1,.: Rajawali Pers 2012. Jakarta.h. 90. 26 Moh. Mahmud MD, Op. Cit., hlm. 91. 27 ibid 28 ibid 48 suatu keyakinan atau keinginan mengenai suatu yang harus terjadi untuk mewujudkan kepentingan itu. Tuntutan-tuntutan semacam itulah yang menentukan isi hukum 29 . Banyak literatur dikemukan bahwa tujuan hukum atau cita-cita hukum tidak lain adalah keadilan. Gustav Radburch menyatakan bahwa cita-cita hukum tidak lain dari pada keadilan. Selanjutnya ia menyatakan: “Est autem jus a justitia, sicut a matre sua ergo prius fuit justitia quam jus” Hak untuk keadilan, hak keadilan, yang ia pertama-tama, kemudian, seolah-olah dari ibunya. Menurut Ulpianus : Justitia est perpetua et constans voluntas jus suum cuique tribuendy Keadilan adalah suatu keinginan yang terus-menerus dan tetap untuk memberikan kepada orang apa yang menjadi haknya 30 . Esensi keadilan, dengan demikian berpangkal pada moral manusia yang telah mewujudkan rasa cinta kasih dan sikap kebersamaan 31 . Selain itu juga pandangan mengenai tujuan hukum yang disampaikan oleh Prof. Subekti, dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pengadilan, mengemukakan bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan negara yang intinya adalah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan rakyat-nya. Pengabdian tersebut dilakukan dengan cara menyelenggarakan keadilan dan ketertiban. Keadilan ini digambarkan 29 ibid 30 ibid 31 Thomas Aquinas adalah orang yang pertama kali mengemukakan moral sebagai dasar aturan hukum, yang mengikuti pandangan Aristoteles tentang tujuan hukum. 49 sebagai suatu keseimbangan yang membawa kententraman di dalam hati orang apabila melanggar menimbulkan kegelisahan dan guncangan. Kaidah ini menurut keadaan yang sama dan setiap orang menerima bagian yang sama pula. Menurut Prof. Subekti, keadilan berasal dari Tuhan Yang Maha Esa dan setiap orang diberi kemampuan dan kecakapan untuk meraba dan merasakan keadaan adil itu. Segala apa yang ada didunia ini sudah semestinya menimbulkan dasar-dasar keadilan pada manusia. Dengan demikian hukum tidak hanya mencarikan keseimbangan antara berbagai kepentingan yang bertentangan satu sama lain, tetapi untuk mendapatkan keseimbangan antara tuntutan keadilan tersebut dengan ketertiban atau kepastian hukum. Kesimpulan tujuan hukum dari pendapat-pendapat yang sudah disampaikan di atas maka penulis meminjam pendapat ahli hukum Belanda Prof Taverne bahwa hanya pada tangan hakim, jaksa, dan polisi yang baik, maka hukum yang buruk sekalipun, kita dapat mempersembahkan hukum yang baik dan adil bagi rakyat. Dalam konteks Indonesia, pendapat yang sama juga di sampaikan oleh Prof Satjipto Rahardjo bahwa keberanian, kepeloporan, komitmen moral, dan bertindak kreatif dari aparat hukum itu sangat di perlukan demi tercapainya tujuan hukum yang baik demi tercapainya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah yang menjadi landasan filosofis tentang putusan Mahkamah Konstitusi No. 34PUU-XI2013 tentang peninjauan 50 kembali lebih dari satu kali yaitu demi tercapainya tujuan hukum yang dapat melahirkan rasa keadilan bagi semua masyarakat Indonesia.

a. Penerapan Diskresi Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

No. 34PUU-XI2013 Tentang Peninjauan Kembali Berulang Kali. Istilah diskersi disebut juga dengan Freies Ermessen yang secara bahasa freies ermessen berasal dari kata frei artinya bebas, lepas, tidak terikat, dan merdeka. Freies artinya orang yang bebas, tidak terikat dan merdeka. Sedangkan kata ermessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga, dan memperkirakan . Menurut kamus hukum Freies Ermessen merupakan kewenanganwewenang berupa kebebasan bertindak pejabat negara untuk mengambil keputusan menurut pendapat sendiri Diskresi adalah sesuatu yang tak bisa dipungkiri bahwa pemberian diskresi merupakan sebuah kemestian seiring dengan cita- cita pemahaman tentang Negara Kesejahtreaan waelfare state, hal ini digunakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 34PUU- XI2013 Tentang peninjauan kembali lebih dari satu kali. Dengan adanya kelemahan dan keterbatasan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai peninjauan kembali dapat di lakukan lebih dari sekali. Tujuanya hanya untuk memberikan rasa keadilan kepada para pencari keadilan di Mahkamah Konstitusi. 51 Diskresi adalah putusan yang diambil tidak berdasarkan dengan undang-undang melainkan diluar dari peraturan perundang-undang. Manakala undang-undang belum mengatur secara jelas tentang permasalahan hukum, maka putusan diskresi bisa di keluarkan dengan tujuan untuk menjawab permasalahan hukum. Diskresi bisa saja terjadi lembaga-lembaga eksekutif maupun yudikatif, baik Presiden, Menteri, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Kepolisian, Gubernur, Bupati dan Walikota. Tindakan pemerintah harus berdasarkan wewenang bertindak yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Terhadap hal ini dapat dikemukan argumen bahwa penyelenggaraan negara sering ditemukan dalam realita permasalahan hukum yang terjadi sebagai berikut; - Semakin banyak, luas, dan kompleksnya masalah yang dihadapi oleh negara dalam kerangka welfare state yang menurut tindakan penyelesaian dari pemerintah; - Seringkali pemerintah berbuat sesuatu bukan berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undang, melainkan berdasar pada yang ditentukan, digariskan atau petunjuk- petunjuk dari instansi atasanya; - Dalam hal lain, wewenang pemerintah melakukan perbuatanya berdasarkan wewenang yang ditetapkan dalam peraturan, tetapi kerap kali rumusan wewenang tersebut demikian samar-samar atau demikian sangat luas; 52 - Apabilah asas legalitas dijalankan secara kaku, pemerintah akan sulit mengantisipasi setiap perkembangan yang terjadi dalam masyrakat oleh karena setiap saat harus menunggu peraturan perundang-undanganya terlebih dahulu seperti di bawah ini;  Dipihak lain, yaitu badan legislatif memiliki sejumlah kelemahan;  Tidak dapat sepenuhnya menangani semua perkembangan yang terjadi;  Tindakan sepenuhnya menguasai persoalan mengalami hambatan proses proedural dan;  Kesulitan-kesulitan dalam setiap kali mengambil keputuan. Mengacu pada pendapat Posner-Vermeule tentang hubungan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif berkenaan dengan kekuasaan diskresi. Pendapat Posner-Vermeule bahwa kekuasaan diskresi sesungguhnya dilakukan oleh pembentuk undang-undang melalui praktek delegasi dengan pertimbangan pembentuk undang-undang mengalami sejumlah kondisi yang dinamakan institutional disadvantages sehingga darinya tidak mungkin dituntut untuk melakukan tindakan. Hal ini berarti bahwa secara prinsip konsepsi yuridis mengenai kekuasaan diskresi sebagai delegasi dari pembentuk undang-undang memiliki pembenaran secara teoritis meskipun teori yang dirujuk adalah praktek hukum ketatanegaraan negara lain. 53 Kajian teori keadilan yang berkaitan dengan peninjauan kembali lebih dari sekali tidak terlepas juga dengan dukungan kajian filsafat hukum dan beberapa teori hukum yang akan dipakai dalam kajian teori keadilan mengenai peninjauan kembali lebih dari satu kali. Sehingga pengkajian dibawah ini penulis juga akan menambahkan pengkajian keadilan menurut pandangan filsafat hukum untuk memperkaya penulisan dan membuka pemahaman didalam skripsi ini untuk mengatahui tujuan dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34PUU- XI2013 Tentang peninjauan kembali lebih dari satu kali.

b. Kajian Keadilan Berkaitan Filsafat Hukum

Dokumen yang terkait

Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana (Perspektif Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan Sistem Hukum Islam)

0 12 0

SKRIPSI PENGARUH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUUXI/ 2013 TENTANG PENINJAUAN KEMBALI YANG DAPAT DILAKUKAN LEBIH DARI SATU KALI TERHADAP VONIS PIDANA MATI.

0 2 11

PENDAHULUAN PENGARUH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUUXI/ 2013 TENTANG PENINJAUAN KEMBALI YANG DAPAT DILAKUKAN LEBIH DARI SATU KALI TERHADAP VONIS PIDANA MATI.

0 2 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi No.34/PUU-XI/2013 tentang Peninjauan Kembali Lebih dari Satu Kali T1 312011018 BAB I

0 0 30

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi No.34/PUU-XI/2013 tentang Peninjauan Kembali Lebih dari Satu Kali

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Inkonsistensi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: studi terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi T1 312012002 BAB I

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Inkonsistensi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: studi terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi T1 312012002 BAB II

0 6 34

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Inkonsistensi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: studi terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi T1 312012002 BAB IV

0 0 4

UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 34/PUU-XI/2013 DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM.

0 2 100

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) NO, 34/PUU-XI/ 2013 TENTANG KEBOLEHAN PENINJAUAN KEMBALI (PK) PERSPEKTIF SIYASAH DUSTURIYAH - Raden Intan Repository

0 0 63